AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Ahad, 28 April 2013

HUKUM PAJAK ATAU BEA CUKAI DALAM FIQIH ISLAM

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


HUKUM PAJAK ATAU BEA CUKAI DALAM FIQIH ISLAM

Oleh: AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya berdasarkan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Di antara larangan Allah ialah melakukan kezhaliman kepada sesama manusia dengan mengambil harta benda mereka tanpa hak, seperti mencuri, korupsi, memakan harta riba, mewajibkan bayar pajak bagi seluruh masyarakat terutama kaum muslimin, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, dalam edisi kali ini kami akan menjelaskan tentang hukum pajak menurut pandangan Islam, bagaimana kaum muslimin menyikapinya, dan syarat-syarat dibolehkannya pemungutan pajak. Mudah-mudahan pembahasan ini bermanfaat.
A. DEFINISI PAJAK
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).
Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).
Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-Dharibah diantaranya adalah :
a. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam)
b. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam)
c. al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam)
B. BEBERAPA JENIS PAJAK DI ZAMAN SEKARANG:
Di zaman sekarang terdapat beberapa macam pajak yang sering kita jumpai, diantaranya ialah:
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pajak yang dikenakan terhapad tanah dan lahan dan bangunan yang dimiliki seseorang.
- Pajak Penghasilan (PPh), yaitu pajak yang dikenakan sehubungan dengan penghasilan seseorang.
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
- Pajak Barang dan Jasa
- Pajak Penjualan Barang Mewam (PPnBM)
- Pajak Perseroan, yaitu pajak yang dikenakan terhadap setiap perseroan (kongsi) atau badan lain semisalnya.
- Pajak Transit/Peron dan lain sebagainya.
C. HUKUM PAJAK DALAM FIQIH ISLAM:
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya.
Pendapat Pertama: Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).
Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.
2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)
3) Hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570 no.1789. Hadits ini dinilai dho’if (lemah) oleh syaikh Al-Albani karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Abu Hamzah (Maimun), menurut imam Ahmad bin Hanbal dia adalah dha’if hadistnya, dan menurut Imam Bukhari, ‘dia tidak cerdas’).
Mereka mengatakan bahwa dalil-dalil syar’i yang menetapkan adanya hak wajib pada harta selain zakat hanyalah bersifat anjuran (bukan kewajiban yang harus dilaksanakan), seperti hak tamu atas tuan rumah. Mereka juga mengatakan bahwa hak-hak tersebut hukumnya wajib sebelum disyariatkan kewajiban zakat, namun setelah zakat diwajibkan, maka hak-hak wajib tersebut menjadi mansukh (dihapuskan/dirubah hukumnya dari wajib menjadi sunnah).
4) Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentangnya:
فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hal. 715-716)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran dan hikmah yang agung diantaranya ialah, “Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.” (Lihat Syarah Shahih Muslim XI/202 oleh Imam Nawawi).
5) Hadits Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim, pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. Hadist ini dinilai dho’if oleh syaikh Al-Albani)
Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menggolongkan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara zhalim dan semena-mena, sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazm di dalam Maratib al Ijma’, Imam adz-Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al-Haitami di dalam az- Zawajir ‘an Iqtirafi al Kabair, Syaikh Shiddiq Hasan Khan di dalam ar-Raudah an-Nadiyah, Syaikh Syamsul al-Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan selainnya.
6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya.” (Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)
7) Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam kitabnya, Huquq Ar-Ra’iy war Ra’iyyah, mengatakan, “Adapun kemungkaran seperti pemungutan pajak, maka kita mengharap agar pemerintah meninjau ulang (kebijakan itu)”.
Pendapat Kedua: Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah imam al-Juwaini di dalam kitab Ghiyats al-Umam hal. 267, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di dalam al-I’tishom II/358, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336-337, dan selainnya.
Di antara dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
1) Firman Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada ayat ini Allah mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara: (a) Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya.
Point-point dalam group (a) di atas, bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri juga.
2) Hadits-hadits shahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan dengan iman kepada Allah dan hari Kiamat, dan setelah tiga hari dianggap sebagai sedekah.
3) Ayat Al-Quran yang mengancam orang yang menolak memberi pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat Al-Ma’un, dimana Allah mangaggap celaka bagi orang yang enggan menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang berbuat riya’.
4) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan. Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat yang menimpa individu atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara umum’. Kas Negara yang kosong akan sangat membahayakan kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun dari dalam. Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke tangan musuh.
5) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11, dll). Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad dengan harta ini.
6) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk memerangi Tatar, seraya berkata: “Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual (menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73).

Kesimpulan Hukum Pajak dalam Fiqih Islam:
Setelah memaparkan dua pendapat para ulama di atas beserta dalil-dalilnya, maka jalan tengah dari dua perbedaan pendapat ini adalah bahwa tidak ada kewajiban atas harta kekayaan yang dimiliki seorang muslim selain zakat, namun jika datang kondisi yang menuntut adanya keperluan tambahan (darurat), maka akan ada kewajiban tambahan lain berupa pajak (dharibah). Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam asy-Syathibi, Mahmud Syaltut, dan lain-lain. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra, Syaikh Mahmud Syaltut hal.116-118 cetakan Al-Azhar).
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani berkata, “Jika sekiranya seorang penguasa (pemerintahan muslim) hendak menyiapkan sebuah pasukan perang, maka sepantasnya dia menyiapkannya dengan harta yang diambil dari baitul mal kaum muslimin (kas Negara) jika di dalamnya memang ada harta kekayaan yang mencukupinya, dan tidak boleh baginya mengambil harta sedikitpun dari rakyat. Akan tetapi jika di dalam baitul mal tidak ada harta yang mencukupi penyiapan pasukan perang, maka dibolehkan bagi penguasa/pemerintah muslim menetapkan kebijakan kepada mereka (orang-orang kaya agar membayar pajak, pent) sehingga pasukan perang yang akan berjihad menjadi kuat.” (Lihat As-Sair Al-Kabir beserta syarahnya I/139).

D. SYARAT-SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK:
Para ulama yang membolehkan Pemerintahan Islam memungut pajak dari kaum muslimin, meletakkan beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam. Kedua: Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh. Ketiga: Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak. Keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat. Kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat. Keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja. Ketujuh: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja. Kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623) E. APAKAH PAJAK DI ZAMAN INI SESUAI DENGAN SYARIAH ISLAM?
Apakah pajak hari ini sudah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan para ulama di atas? maka jawabannya adalah tidak sesuai, hal itu dikarenakan beberapa sebab:
1. Negara belum komitmen untuk menerapkan syariat Islam.
2. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil.
3. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, renovasi rumah, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.
4. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.
5. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.
6. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.
7. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, malah diberikan kepada perusahaan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.
Dari keterangan di atas, menjadi jelas, bahwa pajak yang diterapkan hari ini di banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam, termasuk di dalamnya Indonesia adalah perbuatan zhalim yang merugikan rakyat kecil, apalagi hasilnya sebagian besar dihambur-hamburkan untuk sesuatu yang kurang bermanfaat, atau mengandung dosa dan maksiat, dan bahkan terbukti sebagiannya telah dikorupsi, hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Wallahu A’lam bish-Showab.

F. BAGAIMANA SIKAP KAUM MUSLIMIN TERHADAP PAJAK?
Berdasarkan dalil-dalil syar’i dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan dengan suatu kemaksiatan. Adapun jika penguasa memerintahkan rakyatnya dengan suatu kemaksiatan maka rakyat (kaum muslimin) dilarang keras oleh Allah dan Rasul-Nya untuk mentaatinya. Termasuk dalam hal ini adalah kewajiban membayar pajak dengan berbagai jenisnya yang telah disebutkan di atas.
Di dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, karena sesungguhnya kewajiban taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf (baik) saja.” (HR. Bukhari no.6830, dan Muslim III/1469 no.1840).
Akan tetapi, bagaimana sikap kaum muslimin jika penguasa memaksa atau menggunakan kekuatannya untuk memungut pajak dari mereka, bolehkah melakukan perlawanan atau pemberontakan?
Dalam keadaan demikian kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa. Di dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berwasiat kepada umatnya:
يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan tuntunanku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim III/1475 no.1847 dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan: “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu).” (Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)

Pertanyaan,
قرأت في كتاب ( الزواجر عن اقتراف الكبائر ) لابن حجر الهيتمي في حكم المكوس ، ونهي النبي صلى الله عليه وسلم عنها ، وأن أصحابها أشد الناس عذابا يوم القيامة ، وكثير من الدول يعتمد اقتصادها على تحصيل الرسوم الجمركية على الواردات والصادرات وهذه الرسوم بالتالي يقوم التجار بإضافتها إلى ثمن البضاعة المباعة بالتجزئة للجمهور ، وبهذه الأموال المحصلة تقوم الدولة بمشروعاتها المختلفة لبناء مرافق الدولة . فأرجو توضيح حكم هذه الرسوم وحكم الجمارك والعمل بها وهل يعتبر نفس حكم المكوس أم لا يعتبر نفس الحكم ؟.
“Aku membaca buku al Zawajir ‘an Iqtiraf al Kabair karya Ibnu Hajar al Haitami tentang hukum maks (pajak) dan larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal tersebut. Di sana juga disebutkan bahwa pemungut maks adalah manusia yang paling keras siksaannya pada hari Kiamat nanti. Di sisi lain, banyak negara yang perekonomiannya mengandalkan bea cukai atas barang impor ataupun barang ekspor. Pada gilirannya bea cukai ini oleh produsen dibebankan kepada konsumen sehingga harga barang tersebut menjadi lebih mahal. Dari uang bea cukai ini negara mengadakan berbagai proyek untuk membangun berbagai fasilitas negara. Aku berharap akan adanya penjelasan tentang hukum pajak dan bea cukai serta bekerja di bidang itu. Apakah hukum pajak itu sama dengan hukum maks ataukah berbeda?”
فيما يلي نص فتوى اللجنة الدائمة للإفتاء
تحصيل الرسوم الجمركية من الواردات والصادرات من المكوس ، والمكوس حرام ، والعمل بها حرام ، ولو كانت ممن يصرفها ولاة الأمور في المشروعات المختلفة كبناء مرافق الدولة لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن أخذ المكوس وتشديده فيه ،
Jawaban dari Lajnah Daimah,

Bea cukai atas barang impor atau ekspor itu termasuk maks sedangkan maks adalah haram. Oleh karena itu, bekerja di bidang itu hukumnya haram meskipun pajak tersebut dibelanjakan oleh negara untuk mengadakan berbagai proyek semisal membangun berbagai fasilitas negara. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bahkan memberi ancaman keras untuk perbuatan mengambil maks.


فقد ثبت في حديث عبد الله بن بريدة عن أبيه في رجم الغامدية التي ولدت من الزنا أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( والذي نفسي بيده لقد تابت توبة لو تابها صاحب مكس لغفر له ) الحديث رواه أحمد ومسلم وأبو داوود

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya tentang dirajamnya wanita dari suku al Ghamidiyyah setelah melahirkan anak karena zina. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang wanita tersebut, “Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh wanita ini telah bertaubat dengan suatu taubat yang seandainya penarik maks (baca: pajak) bertaubat seperti itu niscaya Allah akan mengampuninya” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud).


وروى أحمد وأبو داوود والحاكم عن عقبة بن عامر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : ( لا يدخل الجنة صاحب مكس ) وصححه الحاكم .

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan al Hakim dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Penarik pajak itu tidak akan masuk surga”. Hadits ini dinilai sahih oleh al Hakim.
وقد قال الذهبي في كتابه الكبائر : والمكاس داخل في عموم قوله تعالى : ( إنما السبيل على الذين يظلمون الناس ويبغون

في الأرض بغير الحق أولئك لهم عذاب أليم ) الشورى/42 .

Dalam al Kabair, adz Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu termasuk dalam keumuman firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih” (QS asy Syura:42).
والمكاس من أكبر أعوان الظلمة بل هو من الظلمة أنفسهم فإنه يأخذ ما لا يستحق ، واستدل على ذلك بحديث بريدة وحديث عقبة المتقدمين ثم قال : والمكاس فيه شبه من قاطع الطريق وهو من اللصوص ، وجابي المكس وكاتبه وشاهده وآخذه من جندي وشيخ وصاحب راية شركاء في الوزر آكلون للسحت والحرام . انتهى .

Pemungut pajak adalah termasuk pembantu bagi penguasa zalim yang paling penting. Bahkan pemungut pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak berhak untuk diambil”.
Adz Dzahabi lantas berdalil dengan hadits dari Buraidah dan ‘Uqbah yang telah disebutkan di atas. Setelah itu adz Dzahabi mengatakan, “Pemungut pajak itu memiliki kesamaan dengan pembegal bahkan dia termasuk pencuri. Pemungut pajak, jurus tulisnya, saksi dan semua pemungutnya baik seorang tentara, kepala suku atau kepala daerah adalah orang-orang yang bersekutu dalam dosa. Semua mereka adalah orang-orang yang memakan harta yang haram”. Sekian kutipan darial Kabair.

ولأن ذلك من أكل أموال الناس بالباطل وقد قال تعالى :( ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل ) البقرة/188 .

Dalam pajak terdapat perbuatan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar padahal Allah berfirman yang artinya, “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang tidak benar” (QS al Baqarah:188).
ولما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال في خطبته بمنى يوم العيد في حجة الوداع : ( إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا في بلدكم هذا في شهركم هذا ) .

Ketika memberikan khutbah di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah ketika haji wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian itu tidak boleh diganggu sebagaimana kehormatan hari ini, di negeri ini dan bulan ini”.
فعلى المسلم أن يتقي الله ويدع طرق الكسب الحرام ويسلك طرق الكسب الحلال وهي كثيرة ولله الحمد ومن يستغن يغنه الله ،

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah dengan meninggalkan cara-cara mendapatkan rezeki yang haram dan memilih cara-cara mendapatkan rezeki yang halal yang jumlahnya banyak, Alhamdulillah. Barang siapa yang merasa cukup dengan yang halal maka Allah akan memberi kecukupan untuknya.
قال الله تعالى : (ومن يتق الله يجعل له مخرجا * ويرزقه من حيث لا يحتسب ومن يتوكل على الله فهو حسبه إن الله بالغ أمره قد جعل الله لكل شيء قدرا ) الطلاق/2-3

Allah berfirman yang artinya, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (QS ath Thalaq:2-3).
وقال : ( ومن يتق الله يجعل له من أمره يسرا ) الطلاق/ 4

Allah juga berfirman yang artinya, “Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” (QS ath Thalaq:4).
Demikian penjelasan kami tentang hukum pajak dalam pandangan Islam. Jika ada kesalahan dan kekurangan maka itu datangnya dari diri kami pribadi dan setan. Dan jika benar, maka ini datangnya dari Allah Ta’ala semata. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.

وبالله التوفيق

Rabu, 24 April 2013

Apakah Ulamak,Masyarakat,Umat Islam Harus Terlibat Politik

 

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Apakah Ulamak,Masyarakat,Umat Islam Harus Terlibat Urusan Politik

Muqadimah

Perjuangan untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah tidak bisa dipisahkan dari upaya meraih kekuasaan di tengah-tengah rakyat. Kekuasaan adalah jalan bagi penerapan Islam secara sempurna. Tanpa kekuasaan, Islam tidak akan pernah boleh diterapkan secara sempurna. Tanpa kekuasaan tidak akan terwujud pemerintahan Islam yang akan mengatur dan mengendalikan seluruh interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan akidah dan syariah Islam.

Untuk itu, seluruh pejuang Islam harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk meraih kekuasaan dari tangan mereka. Sebab, kekuasaan adalah milik rakyat, dan rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Ketika rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada pejuang Islam, maka gerakan tersebut telah berkuasa dan berhak mengatur seluruh urusan rakyat sesuai dengan pemikiran yang diperjuangkannya.

Namun, rakyat hanya akan menyerahkan kekuasaannya kepada pejuang Islam jika pemikiran-pemikiran (mafâhim), standarisasi-standarisasi (maqâyis) dan tatanilai (qanâ’ât) pejuang Islam telah diterima oleh rakyat. Ketika pemikiran, standarisasi, dan tatanilai yang diperjuangkan pejuang Islam didukung oleh rakyat, gerakan itu pasti akan mendapatkan limpahan kekuasaan dari rakyat. Dalam kondisi semacam ini, pejuang Islam tersebut telah berhasil meraih kekuasaan dari rakyat dan menegakkan kekuasaan Islam yang menjadi prasyarat penerapan Islam secara sempurna.



Filosofi Mendirikan Kekuasaan Islam

Cara mendirikan kekuasaan dan pemerintahan Islam harus dimulai dengan menanamkan pemahaman, standarisasi, dan tatanilai Islam di tengah-tengah rakyat. Tiga hal inilah yang akan melahirkan trust (kepercayaan) dari rakyat. Kepercayaan (trust) ini adalah dasar untuk membangun sebuah kekuasaan (negara). Jika trust terhadap pemahaman, standarisasi dan tatanilai Islam tumbuh di tengah-tengah rakyat, niscaya mereka akan memberikan kekuasaan kepada pihak yang membawa pemikiran, standarisasi, dan tatanilai Islam tersebut. Oleh karena itu, meraih kekuasaan dari tangan umat harus dimulai dengan cara menanamkan pemahaman, standarisasi dan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat hingga pemikiran dan perasaan mereka menyatu dengan Islam.

Tidak hanya itu saja, hubungan yang ada antara rakyat dan penguasa harus dihancurkan dengan cara menyerang seluruh pemikiran, standarisasi dan tatanilai yang diterapkan oleh penguasa lama di tengah-tengah rakyat. Sebab, hanya dengan cara inilah trust islami bisa terbentuk dan trust sekularistik bisa dihancurkan. Ketika trust sekularistik telah hancur, rakyat akan menyerahkan trust-nya kepada partai politik Islam. Pada saat itu berdirilah kekuasaan Islam.


Manhaj
Rasulullah 

Kekuasaan adalah tharîqah (metode/jalan) untuk menerapkan syariah Islam. Cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah saw. Dakwah, sebagaimana ibadah-ibadah lain, harus selalu sejalan dengan sunnah Nabi saw. Berikut ini akan diuraikan manhaj dakwah Nabi saw. dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam.

Pertama: perjuangan membangun masyarakat Islam harus dilakukan secara kolektif (’amal jamâ’i), bukan individual. Caranya adalah dengan membentuk harakah, partai atau jamaah yang bersendikan akidah Islam dan bertujuan melangsungkan kehidupan Islam. Kewajiban mendirikan partai, firqah atau gerakan Islam didasarkan pada firman Allah Swt.:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok dari umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.”1

Imam Ali ash-Shabuni juga menyatakan, “Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah; untuk mengajak pada setiap kebajikan dan mencegah setiap kemungkaran.”2

Kewajiban berdakwah secara jamâ’i juga didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah saw. dan para Sahabat. Nabi saw. dan para Sahabat merupakan gambaran faktual perjuangan kolektif. Rasulullah saw. berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) Sahabat. Beliau memimpin para Sahabat untuk meruntuhkan kekuasaan kufur saat itu.3

Alasan lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul oleh perjuangan individual, tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan kolektif. Berdasarkan kaidah ushul fiqh, mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib, mendirikan dan bergabung dengan gerakan Islam hukumnya wajib.

Kedua: gerakan Islam yang harus didirikan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim wajib bergabung di dalamnya adalah gerakan Islam yang berlandaskan akidah Islam; bukan partai sekular, sosialis maupun nasionalis. Gerakan/partai Islam itu juga harus bertujuan mengajak manusia menuju Islam dan syariah Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Di dalam surat Ali Imran ayat 104, selain ditetapkan adanya kewajiban untuk membentuk gerakan Islam, Allah Swt. juga menggariskan tujuan didirikannya gerakan Islam tersebut: mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Di dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan: Abu Ja’far menyatakan, “…yakni adanya jamaah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan (al-khair), yakni Islam dan syariah Islam yang telah disyariatkan Allah atas hamba-Nya serta melakukan amar makruf nahimungkar, yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. dan agamanya yang berasal dari sisi Allah Swt. dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad saw. dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah…”4

Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa gerakan Islam harus bertujuan mengajak manusia menuju Islam dan syariah Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Kaum Muslim dilarang mendirikan atau berkecimpung di dalam partai yang berdiri di atas akidah kufur semacam sekularisme, demokrasi, nasionalisme dan sosialisme; atau menyerukan selain syariah Islam.

Ketiga: gerakan Islam tersebut harus berjuang sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah saw. yang dimulai dari: (1) fase pembinaan; (2) fase berinteraksi dengan masyarakat; (3) fase penerimaan kekuasaan dari tangan umat.

Berkenaan dengan fase pertama, Rasulullah saw. telah membina para Sahabat di rumah Arqam dengan akidah dan hukum Islam hingga terbentuk kepribadian Islam pada diri para Sahabat. Aktivitas pertama yang dilakukan Nabi saw. adalah mengajarkan prinsip-prinsip tauhid kepada para Sahabat. Pembinaan yang dilakukan oleh beliau juga ditujukan agar para Sahabat memiliki bekal untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat.

Setelah turun perintah untuk mendakwah-kan Islam secara terang-terangan, dakwah Nabi saw. masuk ke fase kedua, yakni berinteraksi dengan masyarakat. Pada fase kedua ini, beliau dan para Sabahat terjun ke tengah-tengah masyarakat Jahiliah dengan menyerang keyakinan dan sistem Jahiliah sekaligus menjelaskan pertentangannya dengan akidah dan syariah Islam. Berbekal wahyu, beliau dan para Sahabat menyinggahi pasar-pasar, Baitullah dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat untuk mendakwahkan Islam secara terang-terangan; mereka terus mengungkap kebusukan akidah dan pranata Jahiliah. Akibatnya, Nabi saw. dan para Sahabat harus menghadapi berbagai macam intimidasi dan siksaan dari kaum kafir Quraisy. Namun, beliau dan Sahabat terus bersabar hingga tiba pertolongan Allah Swt.

Pada saat perlawanan orang kafir terhadap dakwah dan kaum Muslim semakin meningkat, Nabi saw. menempuh strategi dakwah baru, yakni thalab an-nushrah (menggalang dukungan) dari ahl al-quwwah (para pemilik kekuasaan). Tujuannya adalah agar mereka rela membantu perjuangan Nabi saw. dalam menegakkan kekuasaan Islam. Di dalam Sîrah Ibn Hisyâm disebutkan, bahwa Nabi saw. menghubungi 18 kepala suku Arab untuk dimintai kekuasaannya. Namun, mereka menolak memberikan dukungan (nushrah) kepada Nabi saw. Nushrah akhirnya datang dari ahl al-quwwah di Madinah.

Keberhasilan Nabi saw. dalam meraih nushrah dari Madinah tidaklah datang secara tiba-tiba. Sebelumnya memang telah terjadi pembinaan Islam yang sangat intensif di tengah-tengah masyarakat Madinah oleh Sahabat beliau saw, Mushab bin Umair ra. Akhirnya, Islam menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat Madinah. Pada saat itulah, pemimpin dari suku Auz dan Khazraj bersedia memberikan kekuasaannya kepada Nabi saw. sekaligus menetapkan Madinah sebagai pusat Daulah Islamiyah melalui peristiwa Baiat Aqabah II di Bukit Aqabah.

Inilah manhaj dakwah Nabi saw. dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Manhaj inilah yang harus ditempuh oleh gerakan-gerakan Islam saat ini untuk mewujudkan kekuasaan Islam di muka bumi. Langkah-langkah dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. adalah sunnah Nabi yang wajib dijadikan sumber hukum bagi umat Islam dalam menjalankan dakwah pada masa sekarang ini.


Perubahan Masyarakat

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perubahan masyarakat disangga oleh tiga pilar utama: (1) pembinaan (kaderisasi); (2) pembentukan opini umum; (3) dukungan ahl al-quwwah.

Pembinaan (tatsqîf) adalah proses internalisasi pemikiran, standarisasi dan tatanilai Islam yang ditujukan untuk dua hal: (1) membentuk kader-kader dakwah; (2) membentuk kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat.

Kaderisasi dalam sebuah gerakan ditujukan untuk mencetak kader-kader dakwah yang memiliki kepribadian Islam serta mampu memikul tugas dakwah dan mempengaruhi masyarakatnya dengan Islam. Adapun membangun kesadaran umum dimaksudkan untuk membangun opini umum tentang Islam di tengah-tengah masyarakat agar umat bangkit menuntut perubahan secara radikal serta menyakinkan ahl al-quwwah agar rela memberikan dukungannya bagi perjuangan Islam.

Oleh karena itu, pembinaan (tatsqîf), baik yang ditujukan untuk kaderisasi maupun membina masyarakat secara umum, akan menentukan keberhasilan gerakan Islam dalam membentuk opini Islam di tengah-tengah masyarakat dan meraih dukungan dari ahl al-quwwah. Pembentukan opini umum tentang Islam di Madinah dan nushrah yang diberikan oleh pemimpin Auz dan Khazraj kepada Rasulullah saw. baru berhasil setelah sebelumnya beliau melakukan pembinaan dan penyadaran tentang Islam kepada masyarakat Madinah melalui utusan beliau, Mushab bin Umair ra. Dengan demikian, gerakan Islam tidak boleh mengabaikan pembinaan yang menjadi pilar terbentuknya opini umum tentang Islam di tengah-tengah masyarakat serta teraihnya dukungan (nushrah) dari ahl al-quwwah. Ketika pembinaan, opini umum dan dukungan ahl al-quwwah telah terwujud, maka terjadilah di sana suksesi (peralihan) kekuasaan yang bersifat sistemik dan revolusioner. Ketika suksesi ini berhasil dengan mulus, maka dengan ijin Allah, berdirilah Khilafah Islamiyah dengan kokoh dan kuat. Institusi inilah yang akan mengembalikan Islam dalam kehidupan sekaligus mengembalikan kemuliaan kaum Muslim yang kini dirampas oleh musuh-musuhnya.


Allah Mengambil Sumpah Ulama

Bukankah Allah Swt telah mengambil sumpah dari ulama bahwa mereka tidak boleh diam dan tenang menyaksikan kezaliman dan terjadinya kejahatan? “Wa Maa Akhdza Allahu Ala al-Ulamai Alla Yuqarru  Ala Kizzhati Zhalimin Wa Laa Saghabin Mazhlumin“. Bukankah Allah telah mengambil janji dari ulama untuk tidak diam menyaksikan kerakusan para pelaku kezaliman dan kelaparan orang-orang tertindas? (Nahjul Balaghah, Khutbah 3, Syiqsyiqiah)

Bukankah ulama merupakan hujjah para nabi dan maksumin as di atas bumi?

Bila memang demikian, hendaknya ulama, cendekiawan dan peneliti mengiyakan panggilan Islam dan menyelamatkannya dari keterasingan yang menyelimutinya. Jangan biarkan Islam menanggung kehinaan lebih dari ini. Mereka harus menghancurkan berhala kepemimpinan yang dipaksakan dari pelahap dunia. Mereka harus menampakkan wajah penuh cahaya dan kekuatan mereka dengan kepekaan hati dan politik. (Pesan haji Imam Khomeini ra 6/5/1366 Hs, Sahifah Nour, jilid 20, hal 127)
Penting Mereformasi Pemikiran Hauzah

Kita harus berusaha keras memperbaiki pemikiran dan moral kalangan hauzah. Kita harus melenyapkan dan melawan dampak pemikiran dan semangat yang muncul dari propaganda dan dogma pihak asing dan kebijakan negara-negara pengkhianat dan despotik.

Dampak dari pemikiran dan semangat ini dengan mudah dapat disaksikan. Sebagai contoh, kita melihat sebagian pelajar hauzah hanya duduk dan berbicara dengan yang lain bahwa kita tidak diciptakan untuk kerjaan yang semacam ini. Apa hubungannya dengan kita? Kerjaan kita adalah berdoa dan berbicara tentang masalah syariat.

Pemikiran seperti ini muncul dari propaganda dan dogma yang disampaikan pihak-pihak asing. Hasil dari propaganda keji ini adalah ratusan tahun imperialisme yang telah merasuki kedalam hauzah Najaf, Qom, Mashad dan hauzah yang lain. Pemikiran ini telah menciptakan depresi, kelemahan dan kemalasan. Fenomena ini tidak memberi kesempatan adanya pertumbuhan. Secara periodik mereka meminta maaf bahwa masalah politik bukan urusannya. (Velayat Faqih, hal 126)

Terlibat Urusan Politik Puncak Ajaran Nabi

Mereka menebar provokasi dan propaganda luas agar kita semakin terisolasi. Artinya, mereka bahkan mampu membaca isi otak kita dan kita sampai percaya bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan politik.

Tidak!

Tidak benar!

Masalah utamanya bukan ini. Karena masalah terlibat urusan politik berada di puncak ajaran para nabi. Masalahnya adalah perang dan mengangkat senjata menghadapi orang-orang yang tidak bisa menjadi manusia dan ingin menghancurkan kehidupan rakyat. Ini merupakan puncak dari seluruh program para nabi. Tapi kita meninggalkan ajara para nabi. Kita justru mengamalkan bagaimana untuk tidak terlibat dalam urusan politik dan sosial. Yang kita pelajari hanya shalat, sementara yang lainnya kita tinggalkan.

Apakah mungkin seorang menyebut dirinya Islam dan hanya melaksanakan shalat, puasa, haji dan kewajiban yang seperti ini, sementara ia tidak mencampuri usuan umat Islam? Bila tidak ada orang orang memperhatikan urusan Muslimin, maka ia bukan seorang Muslim. Ini sesuai dengan riwayat dari Nabi Muhammad Saw.

Logika Para Nabi

Saya berharap Allah Swt merahmati dan menyadarkan kita. Semoga Allah menyadarkan kita akan hukum-hukum Islam dengan segala kelengkapannya dan segala dimensinya. Jangan berkhayal bahwa Islam hanya sepenggal ini; hanya shalat dan puasa. Tidak benar yang demikian itu!

Bila memang Islam hanya terbatas pada hal-hal seperti itu, tidak mungkin Nabi Muhammad Saw hanya duduk di masjid dan melakukan shalat. Mengapa Nabi Saw harus berusaha keras sepanjang umurnya. Beliau harus berperang, kena pukul, sempat kalah, memenangkan perang dan mengurusi hal-hal yang dapat dilakukannya. Saidina Ali juga demikian, begitu juga dengan yang lain. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang saleh. Mereka yang sadar pasti melakukan semua ini.

Tidak benar bahwa mereka hanya duduk di masjid dan tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan ini. Tidak benar bahwa mereka hanya duduk di rumahnya dan tidak punya urusan dengan orang lain. Mereka bersikap netral dengan semua orang. Bila memang demikian, kita tidak punya kewajiban untuk melakukan sesuatu seperti ini!

Bila logika para nabi seperti ini, maka Nabi Musa as tidak akan pergi menghadap Firaun, atau sebaliknya Firaun tidak perlu mencari-cari Nabi Musa as.

Bila logika para nabi seperti ini, maka Nabi Ibrahim as tidak akan melawan Raja Namrud. Nabi Muhammad Saw juga tidak akan berperang dengan orang-orang Musyrik dan Kafir.

Logika para nabi tidak demikian!

Logika yang dipakai para nabi terkadang asyidda, bersikap keras terhadap orang-orang Kafir dan siapa saja yang anti nilai-nilai kemanusiaan. Sementara pada saat yang sama bersifat lemah lembut dengan sesama Muslim. Sikap keras itu juga pada hakikatnya adalah rahmat bagi mereka.

Semoga Allah Swt menyadarkan kita dan menganugerahkan keselamatan dan kemenangan, Insya Allah.

Semoga Allah Swt menyelamatkan manusia tertindas dari kekuatan-kekuatan besar dan melindungi agama dan dunia kita semua. (Pidato di depan presiden, anggota dewan ahli kepemimpinan dan …, 14 Bahman 1363, Sahifah Nour, jilid 19, hal 96)

Politik Hak Nabi, Wali dan Ulama

Saya harus mengatakan kepada kalian bahwa politik merupakan hak ulama, nabi dan wali Allah. Tapi perlu dicamkan bahwa politik yang mereka miliki berbeda dengan politik yang dimiliki Barat.

Bila kita asumsikan bahwa ada seorang yang muncul untuk menerapkan politik yang benar, bukan dengan cara tak betul dan kefasadannya, sebuah pemerintahan, seorang presiden, sebuah negara yang melaksanakan politik yang benar dan tujuannya demi kebaikan rakyat, maka politik semacam ini merupakan dimensi dari politik yang menjadi hak para nabi dan wali Allah. Sementara sekarang hak itu untuk ulama Islam.


Hubungan antara Agama dan Politik

Mengenai idiom “agama harus dipisahkan dari politik dan ulama jangan mengintervensi urusan sosial dan politik” adalah ucapan para imperialis dan mereka juga yang menyebarkannya. Ungkapan ini diucapkan oleh orang-orang yang tidak beragama.

Apakah di masa Nabi Muhammad Saw politik dipisahkan dari agama?

Apakah di masa itu sebagian ulama dan sebagian lainnya politikus?

Apakah di masa khalifah, berhak atau tidak, di masa kekhalifahan Imam Ali as, politik terpisah dari agama?

Apakah ada dualisme waktu itu?

Ungkapan ini dibuat oleh para imperialis dan disebarkan oleh kaki tangan mereka agar agama dapat disisihkan dari urusan dunia dan mengatur masyarakat Islam. Selain itu, dengan ungkapan ini mereka ingin memisahkan ulama dari rakyat dan perjuangan di jalan kebebasan dan kemerdekaan. Hanya dalam kondisi ini mereka dapat menguasai rakyat dan menjarah kekayaan kita. Ini maksud dari ungkapan di atas! (Velayat Faqih, hal 16)

Rasulullah Penggagas Politik dalam Agama

Rasulullah Saw yang meletakkan prinsip-prinsip politik dalam agama. Beliau membentuk pemerintahan dan pusat-pusat politik.

Mereka yang percaya dengan pemisahan agama dan politik harus menolak seluruh khalifah Islam di periode awal Islam, selama belum menyimpang. Mereka harus mengenyahkan para ulama istana, mereka harus menolak Nabi Saw dan khalifah Islam dan mengatakan bahwa semuanya bukan muslim. Karena mereka semua mencampuri urusan politik.

Politik yang ada di periode awal Islam merupakan politik universal. Nabi Muhammad Saw mengulurkan tangannya dan mengajak seluruh dunia kepada Islam dan politik Islam. Beliau membentuk pemerintahan dan khalifah setelahnya juga membentuk pemerintah.

Di periode awal Islam, sejak masa Rasulullah Saw hingga ketika belum ada penyimpangan, politik dan agama bersatu. Ini semua akibat ulama istana dan istilah yang dibuat oleh Amerika dan Uni Soviet. Bila tidak, maka seluruh nabi dan khalifah para nabi harus disalahkan atau harus menyalahkan dirinya dan pemerintahannya. Bila istilah pemisahan agama dari politik itu benar, maka masalahnya terbatas pada dua kondisi ini, tidak ada yang ketiga.

Islam Agama Politik

Keyakinan kami bukan hanya ulama saja, tapi semua kalangan masyarakat harus terlibat dalam urusan politik. Karena politik bukan masalah warisan milik pemerintah, parlemen atau kalangan tertentu. Politik itu sendiri bermakna kondisi segala sesuatu yang terjadi di sebuah negara dari sisi pengelolaan negara. Di sini, semua warga negara memiliki hak politik. Ibu-ibu berhak terlibat dalam urusan politik dan kewajiban mereka memang demikian. Ulama juga berhak untuk terlibat dalam urusan politik dan itu menjadi kewajiban mereka. Agama Islam merupakan agama politik dan segalanya memiliki dimensi politik, bahkan dalam urusan ibadah. (Pidato di hadapan anggota Forum Pendidikan Tayebeh Pirasteh Langgaroud, Sahifah Nour, jilid 9, hal 136)
Wilayah Faqih Prinsip Terbaik UUD

Prinsip terbaik dari segala bab dalam UUD adalah Wilayah Faqih dan terkait masalah ini ada yang lalai dan sebagian lainnya punya niat buruk. (Wawancara Profesor Hamid Algar dengan Imam Khomeini ra, Sahifah Nour, jilid 11, hal 133)

Memperhatikan Urusan Muslimin

Memperhatikan urusan umat Islam bukan bermakna saya melakukan shalat dan menjadi makmum seorang muslim lainnya. Ini bukan urusan Muslimin. Ini urusan Allah. Urusan Muslimin adalah urusan politik dan sosial Muslimin. (Pidato di hadapan para Imam Jamaat Provinsi Khorasan, Sahifah Nour, jilid 15, hal 146)

Jangan Meninggalkan Bidang Politik

Kalian hendaknya berusaha untuk mensucikan jiwa, memperkokoh prinsip-prinsip Islam, memperkuat fiqih Islam dan memperluasnya. Karena fiqih Islam itu begitu kaya. Tidak ada di dunia ini yang menyamai fiqih kalian. Fiqih ini sangat kaya dan berusahalah untuk memperluasnya. Tapi pada saat yang sama, kalian sebagai faqih tidak boleh meninggalkan urusan politik. Berpikirlah dalam urusan politik dan terlibat di dalamnya. Tidak benar itu bila ada yang berkata, “Saya seorang faqih dan tidak ada urusan dengan masalah politik.”

Kalian adalah faqih dan ahli fiqih, tapi pada saat yang sama harus terlibat dalam urusan politik. Kalian harus terlibat dalam penentuan nasib rakyat. Kalian adalah penjaga Islam dan harus melindunginya.

Semoga Allah Swt menganugerahi kalian semua dengan taufik-Nya. Semoga Allah melindungi kita semua dalam naungan-Nya.

Generasi Muda Ulama Harus Serius Memikirkan Islam

Kalian generasi muda hauzah ilmiah dan ulama muda harus hidup dan menghidupkan perintah ilahi. Kalian generasi muda perlu menumbuhkan dan menyempurnakan pemikiran. Kalian harus menjauhkan diri dari pemikiran seputar kebenaran dan ketelitian ilmu. Karena ketelitian yang berlebihan akan menjauhkan kita untuk melakukan tanggung jawab yang penting.

Bantulah Islam dan selamatkan umat Islam dari bahaya!

Musuh sedang berusaha memusnahkan Islam dengan memakai nama hukum Islam, atas nama Rasulullah Saw. (Pidato di hadapan ulama dan santri Qom, Sahifah Nour, jilid 5, hal 169)

Fiqih, Pelajaran dan Pembahasan untuk Melindungi Islam

Fiqih, pelajaran dan pembahasan yang dilakukan harus bertujuan untuk melindungi Islam. Suatu hari ketika Islam membutuhkan para ahli fiqih untuk pergi ke medan perang, maka mereka harus pergi. Suatu hari ketika Islam membutuhkan agar hauzah diliburkan dan harus melakukan satu pekerjaan, maka demi melindungi pondasi Islam, mereka harus meliburkan pelajarannya. (Pidato di hadapan ulama dan santri Qom, Sahifah Nour, jilid 5, hal 146)
Kewajiban Ulama

Apakah Imam Ali as bukan seorang mulla dengan pidatonya yang begitu panjang? Apakah Rasulullah Saw dengan pidato panjangnya tidak tergolong mulla?

Tapi ketika sampai pada kita, mulailah kita membuat alasan. Karena kita tidak ingin melakukan sebuah kewajiban. Jangan sampai kalian dididik seperti ini!

Kalian semua memiliki kewajiban untuk melayani dan berkorban demi Islam. Kalian berkewajiban tidak hanya untuk belajar. Karena ini juga bagian dari melayani Islam. Kalian berkewajiban mencampuri urusan terkait masalah yang dihadapi umat Islam. Bila terjadi umat Islam menghadapi masalah, kalian berkewajiban untuk ikut campur.

Ulama Harus Menjadi Anggota Aktif Masyarakat

Tidak demikian bahwa manusia yang baik adalah orang yang duduk menyendiri, menghitung bulir-bulir tasbihnya dan berzikir di masjid. Bila orang baik didefinisikan sepert ini, Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali as juga melakukan hal itu. Kita tidak pernah menyaksikan dalam sejarah ada orang yang mengatakan bahwa Nabi Saw dan Imam Ali as menyendiri, hanya duduk di masjid dan berzikir. Tapi kenyataan yang ada justru sebaliknya. Beliau hadir dan berpartisipasi di segala bidang.

Dengan demikian, tidak benar bila sebagian orang yang hanya duduk menyendiri dan mengatakan kita harus mengisolasi diri dari kehidupan. Ulama harus menjadi anggota masyarakat yang aktif dan membimbing masyarakat.

Kalian, wahai ulama, harus mengawasi apa yang terjadi di tempat tinggal kalian dan membimbing masyarakat. (Pidato di hadapan para Imam Jumat Provinsi Khorasan, Sahifah Nour, jilid 17, hal 84)

Kita Semua Harus Berkorban Demi Islam

Kullukum Ra’in wa Kullukum Mas’ulun” atau kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. Kata Ra’in yang berarti pemimpin untuk kalian dan lebih banyak mengarah kepada kalian. Kata itu untuk ulama dan kita semua bertanggung jawab.

Bila kita dibantai secara berkelompok-kelompok, maka mereka yang akan datang belakangan akan mengambil tempat kita. Islam! Kita semua harus mengorbankan diri demi Islam. Nabi Muhammad Saw juga mengorbankan dirinya demi Islam. Imam Husein as juga mengorbankan dirinya demi Islam. Harus dicamkan bahwa Islam adalah sesuatu yang paling besar yang diamanatkan kepada manusia. Kita harus menguatkan tekad kita untuk syahid di jalan ini dan ulama harus lebih dari yang lain. (Pidato di hadapan ulama Tehran, Sahifah Nour, jilid 15, hal 58)

Kewajiban Terbesar Adalah Mendirikan Pemerintahan Hak

Apa yang sudah dikatakan dan akan dikatakan bahwa para nabi hanya berurusan dengan hal-hal spiritual dan tidak mengurusi pemerintahan dan urusan dunia, para nabi, auliya dan tokoh agama memalingkan diri dari dunia dan kekuasaan lalu kita mengambil kesimpulan bahwa kita juga harus melakukan hal yang demikian, maka ini satu kesalahan dan patut disayangkan. Akibat dari pemikiran ini adalah kebinasaan bangsa-bangsa Islam dan terbukanya jalan bagi para imperialis, penghisap darah manusia. Karena yang ditolak sebenarnya adalah pemerintahan setan, diktator dan kezaliman. Pemerintah untuk menguasai dengan motifasi menyesatkan dan punya tujuan duniawi yang telah dilarang dalam agama. Mereka hanya ingin mengumpulkan kekayaan, haus kekuasaan dan bersikap seperti taghut. Pada akhirnya, dunia yang membuat manusia lupa kepada Allah Swt.

Tapi kekuasaan dan pemerintahan hak yang didirikan demi kepentingan orang-orang lemah, mencegah kefasadan dan menegakkan keadilan sosial adalah kekusaan yang seperti dimiliki oleh Nabi Sulaiman bin Dawud dan Nabi Muhammad Saw serta para Imam Maksumin as. Mereka berusaha untuk mendirikan pemerintahan hak. Karena itu adalah kewajiban terbesar dan mendirikan pemerintahan hak merupakan ibadah terbesar. Sebagaimana politik yang sehat menjadi kelaziman dari pemerintahan hak.


Politik dibagi menjadi dua bagian:
  1. Politik Negatif : Menjalankan politik yang didasarkan untuk mencari kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

  1. Politik Positif : Menjalankan politik sebagai amanah untuk kemaslahatan umat bersama yang didasari semata karena Ridha Illahi.

Dari dua jenis politik tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya bukan politiknya yang buruk melainkan jiwa pelaku politik itu sendiri yang perlu difitrahkan.

Rasulullah adalah seorang politikus ulung, sekaligus sebagai da’i, guru, hakim juga sebagai kepala negara yang mampu mengendalikan umat dengan baik dengan cara yang baik pula yang disertai dengan kebeningan hati. Begitu juga empat khalifah sesudahnya juga seorang politikus yang menjalankan system pemerintahan mewarisi kebaikan akhlak Rasulullah.

Akan tetapi di jaman sekarang akibat makin meningkatnya nilai-nilai keburukan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme juga karena terjadinya degradasi moral para penguasa dan pelaku politik akhirnya banyak umat muslim yang membenci politik dan hal-hal yang berhubungan dengan politik akibat kesalahan persepsi yang harus diluruskan.

Justru situasi inilah yang dimanfaatkan oleh musuh islam untuk menjauhkan masyarakat muslim dari panggung politik dengan harapan dapat memangkas kekuatan Islam dari kekuasaan sebuah Negara, dengan demikian maka masyarakat muslim akan lebih mudah dikendalikan.

Kita tentu masih ingat dengan semboyan kelompok Islam Liberalisme dengan motto “ISLAM YES, POLITIK NO” secara sepintas terkesan baik dan mengajak umat muslim untuk lebih religius dan memfokuskan diri dalam ritual ibadah. Tetapi jika kita sadar sebenarnya umat muslim hendak dijauhkan dari kekuasaan sehingga bisa dikendalikan oleh non muslim.

Padahal sesungguhnya Islam tidak menyukai jika seorang muslim hanya tinggal didalam rumah sementara iblis berkeliaran bebas dimana-mana dan membuat kerusakan di muka bumi ini. Seorang muslim tidak boleh mencukupkan diri dengan hanya berdzikir, bertasbih dan bertahlil dimasjid-masjid saja tetapi Islam juga mewajibkan umat muslim berperan serta menghancurkan kejahatan dan kemungkaran dengan cara amar ma'ruf nahi munkar dan berjihad dijalan Allah sebagaimana umat muslim diwajibkan untuk shalat, puasa dan zakat. Karena jihad adalah tanda keimanan seseorang.

Berkenaan dengan politik ada pendapat dua ulama besar yang mewakili dua golongan.

Ibnu Taymiyah
Politik adalah tindakan yang mendekatkan manusia pada kebaikan dan menjauhkan diri dari kerusakan selama tidak bertentangan dengan syariah.

Imam Al Ghazali
Dunia adalah lading akhirat, dunia tidak sempurna kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran yang harus bersinergi, agama ibarat tiang sedang penguasa adalahpenjaganya. Sesuatu yang tidak mempunyai tiang pasti akan roboh dan sesuatu yang tidak dijaga pasti akan hilang. Seorang pemimpin dan kekhalifahan diartikan sebagai wakil Rasulullah dalam menjaga agama dan menata kehidupan dunia.

Dari dua pendapat dua ulama diatas rasanya tidak ada alasan bagi umat muslim untuk men-tabukan politik karena sesungguhnya politik juga salah satu bagian dari kehidupan beragama. Yang terpenting adalah komitment kita dalam menentukan dan menjalankan kehidupan dengan baik berdasarkan rambu-rambu syariah Islam. Yang terjun dipolitik maka jadilah politisi yang berakhlak baik dengan mengedepankan kemaslahatan bersama bagi yang tidak ingin terjun sebagai politikus maka jadilah umat yang baik dan selalu mengingatkan mereka dengan cara yang baik dan benar.

Politik Dalam Islam


Kepemimpinan adalah politik, sedangkan jiwa politikus adalah moral. Karenanya, politikus harus berpolitik dengan moral. Sehingga, manuver dan kebijakan politik apapun yang ia ambil adalah produk berkualitas dari moral yang ia olah.

Ketika Allah SWT menurunkan Islam di bumi ini, tidak pernah mengindikasikan bahwa Islam akan mengemban tugas untuk mendeklarasikan otoritas negara atau politik sebagai bagian dari misi pembumian Islam, tetapi Islam lebih menitik beratkan pada pengembangan mental dan rohani masyarakat yang direalisasikan melalui pengisian hal-hal religius dan kualitas positif agama di masing personal sociality berupa ajaran tauhid.

Komponen tersebut akhirnya menjadi benih yang menata pranata-pranatanya sendiri seperti suatu negara.

Konsepsi islam merupakan konsepsi kolektif yang mencerminkan realitas kolektif sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Atas dasar inilah Islam mau tidak mau harus terlibat dalam dunia politik kaumnya dengan menetapkan qanun (aturan main) dalam berpolitik yang sealir dengan ideologinya. Pendapat bahwa politik harus lepas dari ikatan agama adalah kesalahan presepsi memandang islam.

Doktrin politik dalam Islam sebenarnya tidak terlalu mengikat pada setiap aspek secara literal --seperti permasalahan ritual-- dengan garis besar doktrin tersebut identik dengan apa yang dikatakan nurani “benar”. Sebab, kebenaran yang telah dirangkai dalam ikatan tekstual al-Qur'an dan al-Hadist yang universal, dengan meletakkan keadilan sebagai “kehidupan layak” setiap masyarakat.

Tuntutan akan persamaan merupakan sifat permanen dari konsep keadilan tersebut, sedangkan keadilan tak mungkin termanifestasikan bila persamaan hak bagi semua orang hanya dianggab kotoran sampah belaka.

Selama keadilan, baik di bidang HAM, ekonomi, ataupun sosial dan keamanan masih berbentuk hal yang abstrak, maka perpolitikan akan tetap dalam ambang kehancuran meskipun gong reformasi dan amandemen di beberapa undang-undang diberlakukan.

Sayangnya keadilan di tanah air kita masih belum bisa terealiasi. Permasalahan internal seperti pemekaran korupsi, perluasan narkoba, kezaliaman aparat, kasus Ambon, Poso atau Papua, menjadi back ground hilangnya kata “adil” dalam sepak terjang politikus Indonesia. Ditambah lagi dengan sifat egois dan agresif yang over acting dari para manusia bernama politikus.

Umar Bin Khattab dalam pidato sambutan kepemimpinannya mengatakan “Dimata saya tidak ada dari kalian orang yang lebih kuat dari orang yang lemah diantara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tidak ada orang yang lebih lemah dari orang yang kuat sebelum saya cabut haknya”.

Keadilan dan rasa sayang pada komunitas "duafa” (orang lemah) menjadikan Umar RA seorang pemimpin yang dikagumi rakyatnya.

Islam mengibaratkan politikus adalah “penggembala” umat yang bertanggung jawab atas idiologi Allah di muka bumi, oleh karena itu kedekatan spiritual dalam hubungan vertikal merupakan hal primer. Menjalankan Syariat Islam merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar.

Hal tersebut harus dicerminkan dalam etika lazim keseharian seorang politikus. Moral seseorang politikus adalah cermin dalam menganalisa mendalam kebaikan dan kejelekan yang ia lakukan, atau dengan kata lain moral adalah suatu sistem nilai yang sanggup memanajemen prilaku seseorang.

Sebab kerusakan moral pada diri politikus atau pemimpin adalah tanda kehancuran suatu bangsa.

Politikus yang baik dalam Islam, adalah politikus yang dekat dengan rakyat. Kesuksesan politik yang diraih dengan
mengorbankan prinsip dan pemonopolian rakyat adalah awal dari kehancuran. Dan menjauhi rakyat sama saja dengan membuat buta mata mereka akan persoalan bangsa. Sehingga yang terjadi seperti bangsa kita, sesuatu yang kecil tampak besar, yang benar tampak salah, yang salah tampak benar di hadapan masyarakat, hingga kebenaran harus bercampur dengan kepalsuan.


Jika tetap menjauhi rakyat, seorang politikus hanya memiliki dua pilihan, Pertama, ia melakukan kebenaran, lantas mengapa harus menyembunyikannya dari rakyat. Kedua, ia melakukan kesalahan, maka dengan kedekatannya dengan rakyat membuat ia tidak akan melakukannya lagi.



Kebenaran memang tidak pernah memiliki ciri yang jelas. Karenya, hanya dengan kedekatan dengan rakyat hal tersebut akan dapat dibedakan.



Ajaran islam akan pendekatan rakyat telah diterjemahkan dalam biografi Sayyidina Umar, diriwayatkan bahwa beliau ---yang berkaliber presiden-- pada suatu malam, seperti biasanya berkeliling memantau keadaan rakyatnya. Di tengah malam ia mendapati seorang perempuan yang anaknya meraung-raung menangis dikeliling kuali yang direjang diatas api untuk menipu sang anak.



Oleh Umar wanita itu kemudian dibawakan sekarung gandum yang diangkatnya di atas panggulnya sendiri, dan segera membawanya ke rumah sang ibu tersebut.



Kedekatannya pada rakyatnya di wujudkan lagi dengan keinginannya untuk turun gunung ke pelosok kekuasannya yang mencakup jazirah Arab. ”Kalau saya masih hidup, pasti saya akan mengunjungi seluruh rakyatku setahun penuh !”, ujarnya suatu ketika. Sayang ajal telah mendahulinya sebelum keinginannya yang mulia tercapai.



Di negara kita, reformasi yang digembor-gemborkan, mulai dari runtuhnya rezim Soeharto, ternyata belum mampu membawa Indonesia sampai pada klimaks tujuannya.



Politikus berwajah reformis masih sama dengan politikus zaman Soeharto. Lebih ironisnya, manuver politik dengan berdalih reformasi tanpa standar malah dijadikan senjata ampuh untuk “perang cari muka” di hadapan publik demi mempertahankan reputasi.



Di mata Islam kepemimpinan adalah amanat serta pengabdian tanpa pamrih, harus direalisasikan sebagai bukti kongkrit potensi manusia sebagai khalifah di muka bumi.



Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dalam suratnya ke gubernur Basrah, mengatakan, “Pemimpinmu (Ali) hanya memiliki dua pakaian usang dari potongan kain-kain, kalau saja aku mau, bisa saja aku minum madu, berpakaian sutra, menyimpan gandum, namun naudzubillah min dzalik, mungkinkah aku lalui malamku dengan perut kenyang, padahal di sekelilingku banyak rakyatku kelaparan ?, takutlah pada Allah putra Khunaif !, dan merasa cukuplah dengan lembaran roti yang kau dapatkan”.



Bagi beliau, kepemimpinan adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, tujuan berpolitik adalah menegakkan idelogi Allah, bukan tempat menimbun harta.



Konsensus ulama’ (Ijma’) telah menetapkan bahwa pemimpin harus orang yang bermoral, karena ilmu pemimpin adalah cahaya bagi rakyatnya.



Seorang pemimpin harus dapat mengendalikan rasa bangga, emosi, tangan dan lidah, sebesar apapun jabatannya. Karenanya, politikus yang baik, dia adalah manusia yang akan kembali pada Tuhannya.



Kemungkaran harus di tangani secara serius, karena Allah tidak akan ridha pada suatu kaum yang bergelimang dengan dosa, kegoncangan ekonomi dan kemarau berkepanjangan hanya secuil dari siksa yang Allah turunkan pada bangsa kita.



Ali RA pernah berkata “pemerintahan yang tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia”.

Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.  
 AL FADHIL USTAZ MUHAMMAD NAJIB
Catatan
1 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, QS Ali Imran [3]: 104. Lihat juga: Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, QS Ali Imran [3]: 104; Imam Suyuthi, Tafsir Jalâlayn, dan kitab-kitab tafsir lainnya.
2 Imam Ali ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsiî, 1/221.
3 Lihat Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah. Bandingkan pula dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 13-14.
4 Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS Ali Imran [3]: 104.
5.Kitab Assiyasah Ashar Iyyah .