AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Isnin, 20 Mei 2013

PERANAN PEMUDA DALAM MEMBAWA DAKWAH ISLAM


بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

Foto Saya
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

PERANAN PEMUDA DALAM MEMBAWA DAKWAH ISLAM 

 

Pemuda Harapan Islam

 

Al-Quran banyak mengisahkan perjuangan para Nabi dan Rasul a.s yang kesemuanya adalah orang-orang terpilih daripada kalangan pemuda yang berusia sekitar empat puluhan. Bahkan ada diantara mereka yang telah diberi kemampuan untuk berdepat dan berdialog sebelum umurnya genab 18 tahun. Berkata Ibnu Abbas r.a. “Tak ada seorang nabi pun yang diutus Allah, melainkan ia dipilih di kalangan pemuda sahaja (yakni 30-40 tahun). Begitu pula tidak seorang ‘Alim pun  yang diberi ilmu, melainkan ia (hanya) dari kalangan pemuda”. Kemudian Ibnu Abbas membaca firman Allah swt: “Mereka berkata: Kami dengan ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim: Qs. Al Anbiyaa:60, Tafsir Ibnu Katsir III/183).

 


Tentang Nabi Ibrahim, Al-Quran lebih jauh menceritakan bahawa beliau telah berdebat dengan kaumnya, menentang peribadatan mereka kepada patung-patung. Saat itu beliau belum dewasa. Sebagaimana firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Ibrahim kepandaian sejak dahulu (sebelum mencapai remajanya) dan Kami lenal kemahirannya. Ketika dia berkata:’Sungguh kalian  dan bapak-bapak kalian dalam kesesatan yang nyata’. Mereka menjawab:’ Apakah engkau membawa kebenaran kepada kami, ataukah  engkau  seorang yang bermain-main sahaja? Dia berkata: Tidak! Tuhan kamu adalah yang memiliki  langit dan bumi yang diciptakan oleh-Nya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu”. Qs. Al Anbiyaa:51-56.

 

Perlu ditekankan bahawa para Nabi a.s itu hanya diutus untuk mengubah keadaan, sehingga setiap Nabi yang diutus adalah orang-orang terpilih dan hanya daripada kalangan pemuda (syabab) sahaja. Bahkan kebanyakan daripada pengikut mereka daripada kalangan pemuda  juga (meskipun begitu ada juga pengikut mereka itu terdiri daripada mereka yang sudah tua dan juga yang masih kanak-kanak. “Ashabul Kahfi”, yang tergolong sebagai pengikut nabi Isa a.s adalah sekelompok adalah  sekelompok anak-anak muda yang usianya masih muda lagi yang mana mereka  telah menolak  untuk kembali keagama nenek moyang mereka yakni menyembah selain Allah. Disebabkan bilangan mereka yang sedikit (hanya tujuh orang), mereka telah bermuafakat untuk mengasingkan diri  daripada masyarakat dan berlindung di dalam sebuah gua. Fakta ini diperkuatkan oleh  Al-Quran di dalam surah Al-Kahfi ayat 9-26, diantaranya: “(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan (gua) lalu berdoa: ‘Wahai uhan kami berikanlah rahmat depada kami dari sisi-Mu dan tolonglah kami dalam menempuh langkah yang tepat dalam urusan kami (ini) (10)…Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad saw) dengan sebenarnya. Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta) dan Kami beri mereka tambahan pimpinan (iman, taqwa, ketetapan hati dan sebagainya) (13).

 

Junjungan kita Nabi Muhammad saw diangkat menjadi Rasul tatkala baginda berumur 40 tahun. Pengikut-pengikut baginda pada generasi pertama kebanyakannya juga  daripada kalangan pemuda, bahkan ada yang masih kecil. Usia para pemuda Islam yang dibina pertama kali oleh Rasulullah saw di Daarul Arqaam pada tahap pembinaan, adalah sebagai berikut: yang paling muda adalah 8 tahun, iaitu Ali bin Abi Thalib dan Az-Zubair bin Al-Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, 11 tahun, Al Arqaam bin Abil Arqaam 12 tahun, Abdullah bin Mazh’un berusia 17 tahun, Ja’far bin Abi Thalib 18 tahun, Qudaamah bin Abi Mazh’un berusia 19 tahun, Said bin Zaid dan Shuhaib Ar Rumi berusia dibawah 20 tahun, ‘Aamir bin Fahirah 23 tahun, Mush’ab bin ‘Umair dan Al Miqdad bin al Aswad berusia 24 tahun, Abdullah bin al Jahsy 25 tahun, Umar bin al Khathab 26 tahun, Abu Ubaidah Ibnuk Jarrah dan ‘Utbah bin Rabi’ah, ‘Amir bin Rabiah, Nu’aim bin Abdillah, ‘ Usman bin Mazh’un, Abu Salamah, Abdurrahman bin Auf dimana kesemuanya sekitar 30 tahun, Ammar bin Yasir diantara 30-40 tahun, Abu Bakar Ash Shiddiq 37 tahun. Hamzah bin Abdul Muththalib 42 tahun dan ‘Ubaidah bin Al Harith yang paling tua diantara mereka iaitu 50 tahun.

 

Malah ratusan ribu lagi para pejuang Islam yang terdiri daripada golongan pemuda. Mereka memperjuangkan dakwah Islam, menjadi pembawa panji-panji Islam, serta merekalah yang akan kedepan menjadi benteng pertahanan ataupun serangan bagi bala tentera Islam dimasa nabi ataupun sesudah itu. Mereka  secara keseluruhannya  adalah daripada kalangan pemuda, bahkan ada diantara mereka adalah remaja  yang belum atau  baru dewasa. Usamah bin Zaid dianggat oleh Nabi saw sebagai komander untuk memimpin pasukan kaum muslimin menyerbu wilayah Syam (saat itu merupakan wilayah Rom) dalam usia 18 tahun. Padahal diantara prajuritnya terdapat orang  yang lebih tua daripada Usamah, seperti Abu Bakar, Umar bin Khathab dan lain-lainnya. Abdullah bin Umar pula telah memiliki semangat juang  yang  bergelora umntuk berperang sejak berumur 13 tahun. Ketika Rasulullah saw sedang mempersiapkan  barisan pasukan pada perang Badar, Ibnu Umar bersama al Barra’ datang kepada baginda seraya meminta agar diterima sebagai prajurit. Saat itu  Rasulullah saw menolak kedua pemuda kecil itu. Tahun berikutnya, pada perang Uhud, keduanya datang lagi, tapi yang diterima hanya Al barra’. Dan pada perang Al Ahzab barulah Nabi menerima Ibnu Umar sebagai  anggota pasukan kaum muslimin (Shahih Bukhari VII/266 dan 302).

 

Terdapat satu peristiwa yang sangat menarik untuk renungan para pemuda di zaman ini. Peristiwa ini selengkapnnya diceritakan  oleh Abdurrahman bin Auf: “Selagi aku berdiri di dalam barisan perang Badar, aku melihat kekanan dan kekiri ku. Saat itu tampaklah olehku dua orang Anshar yang masih muda belia. Aku berharap semoga aku lebih kuat daripada mereka. Tiba-tiba salah seorang daripada mereka menekanku sambil berkata: ‘Wahai pakcik apakah engkau mengenal Abu Jahal ?’ Aku menjawab: ‘Ya, apakah keperluanmu padanya, wahai anak saudara ku ?’ Dia menjawab: ‘ Ada seorang memberitahuku bahawa Abu Jahal ini sering mencela Rasulullah saw. Demi (Allah) yang jiwaku ada ditangan-Nya, jika aku menjumpainya tentulah tak kan kulepaskan dia sampai siapa yang terlebih dulu mati antara aku dengan dia!” Berkata Abdurrahman bin Auf: ‘Aku merasa hairan ketika mendengarkan ucapan anak muda itu’. Kemudian anak muda yang satu lagi menekan ku pula dan berkata seperti temannya tadi. Tidak lama berselang daripada itu aku pun melihat Abu Jahal mundar dan mandir di dalam barisannya, maka segera aku khabarkan (kepada dua anak muda itu): ‘Itulah orang yang sedang kalian cari.”

 

Keduanya langsung menyerang  Abu Jahal, menikamnya denga pedang sampai tewas. Setelah itu mereka menghampiri Rasulullah saw(dengan rasa bangga) melaporkkan kejadian itu. Rasulullah berkata: ‘Siapa di anara kalian yang menewaskannya?’ Masing-masing menjawab: ‘sayalah yang membunuhnya’. Lalu Rasulullah bertanya lagi: ‘Apakah kalian sudah membersihkan mata pedang kalian?’  ‘Belum’ jawab mereka serentak. Rasulullah pun kemudian melihat pedang mereka, seraya bersabda: ‘Kamu berdua telah membunhnya. Akan tetapi segala pakaian dan senajta yang  dipakai  Abu Jahal(boleh)  dimiliki Mu’adz bin al Jamuh.” (Berkata perawi hadits ini): Kedua pemuda itu adalah Mu’adz bin “afra” dan Mu’adz bin Amru bin Al Jamuh” (Lihat Musnad Imam Ahmad I/193 . Sahih bukhari Hadits nomor 3141 dan Sahih Muslim hadits nombor 1752.

Pemuda seperti itulah yang sanggup memikul beban dakwah serta  menghadapi berbagai  cobaan dengan penuh kesabaran. Allah SWT berfirman: “Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama beliau, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan merekalah orang -orang  yang memperoleh berbagai kebaikan dan merekalah orang-oang yang beruntung .(QS At Taubah: 88)

 

Raulullah SAW menjanjikan bahawa Islampun akan menguasai dunia seperti sabdanya: “Sesungguhn;ya Allah SWT  telah memberikan bagiku dunia ini, baik ufuk Timur maupun Barat. Dan kekuasaan umatku sampai kepada apa yang telah diberikan kepadaku dari dunia ini. “HR Muslim VIII/hadits no. 17771. Abu Daud hadits no 4252. Tirmidzi II/27. Ibnu Majah hadits no 2952 dan Ahmad V/278-284).

 

DAKWAH ISLAM MASA KINI

 

Perbedaan antara dakwah Islam di masa kini dengan masa dahulu; antara lain adanya tentangan yang lebih kompleks dan pemahaman ummat terhadap Islam berada pada titik terlemah. Dulu Rasul SAW dan para sahabat hanya menghadapi kaum musyrikin Quraisy, ahli kitab(Yahudi Madinah, Nasrani Najran, dan Nasrani Rumawi), dan Majusi Persia. Kini, disamping berbagai agama di atas, telah berkembang isme-isme atau ideologi yang beragam banyaknya yang intinya sama iaitu faham-faham  yang bertolak dari kekufuran terhadap agama secara umum. Celakanya isme-isme tersebut sempat menipu sebahagia kaum muslimin di berbagai dunia Islam dan menyebabkan mereka berkelompok-berklompok serta berpecah belah dan bermusuhan atas nama isme-isme tersebut, padahal mereka sama-sama mengaku  muslim. Isme-Isme yang telah menyebar di seluruh dunia saat ini adalah memisahkan  agama dari kehidupan – konsekwensinya memisahkan agama dari negara. Fahaman yang muncul dari ketidakpuasan mesyarakat Barat terhadap gereja, yang menyengsarakan masarakat itu kemudin melahirkan  fahaman-fahaman Barat lainnya seperti nasionalisme, liberalisme, kapitalisme, demokrasi, fasisme, totalisterianisme, dan anarkihisme (Dr M. Manzoor Alam, Perana Pemuda Muslim Menata dunia  masa kini, hal 19). Para pemuda wajib mempersiapkan diri dengan pemahaman Islam yang jernih secara mendalam agar mampu menampilkan Islam sebagai sistem hidup yang komprehensif. Sistem Barat yang sedang memimpin dunia  kini telah terbukti tak mampu menjamin  kesejahteraan dan ketenteraman serta kebahagian umat manusia, bahkan untuk masyarakat mereka sendiri pun tidak. Komunisme telah dikubur masyarakatnya sendiri pada tahun 1991. Kapitalisme nampaknya akan segera pula  berakhir. Dua orang ahli dan praktis ekonomi AS, Harry Fifi dan Gerald Swanson, dalam bukunya yang terbit awal 1994 memperkirakan  negaranya akan mengalami kebangkrutan ekonomi pada tahun 1995. Mereka meramalkan, As takkan mampu melunasi hutangnya yang mencapai  6.56 trilyun dolar pada tahun tersebut! Jadi Islamlah yang berhak memimpin dunia ini seperti dulu pernah tejadi. Rasulullah  SAW bersabda: “Perkara ini (iaitu Islam) akan merebak ke segenap penjuru yang  ditembus malam dan siang. Allah tidak akan membiarkan satu rumahpun, baik gedung maupun gubuk melainkan Islam akan memasukinya sehingga dapat memuliakan agama yang mulia dan menghinakan agama yang hina. Yang dimuliakan adalah Islam dan yang dihinakan adalah kekufuran. “(HR ibnuHibban no. 1631-1632)

 

Inilah misi dan tanggung jawab generasi Islam di masa kini, iaitu mengembang dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin untuk menghidupkan Islam kembali. Hanya pemuda-pemuda Islamlah yang mampu mensukseskan rencana tersebut.

 

Banyak di antar pemuda sekarang  yang telah bangkit, sedar dan bangun dari tidurnya bahawa Islamlah satu-satunya  pandangan hidup mereka. Timbul dorongan besar dalam diri mereka untuk memperjuangkan islam, bersama gerakan-gerakan Islam yang saat ini sudah ada di seluruh dunia Islam yang jumlahnya sudah mencapai ratusan dan anggotanya kebanyakan adalah dari kalangan pemuda. Inilah masa kebangkitan pemuda Islam. Persatuan dunia Islam dan tegaknya kembali panji Laa Ilaha Illallaah MuhammadurRasululllah ada di hadapan mereka.

 

Ahad, 19 Mei 2013

CIRI-CIRI PEMIMPIN,PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB DALAM ISLAM

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

Foto Saya
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

CIRI-CIRI PEMIMPIN DALAM ISLAM

Firman Allah swt, Al Anfaal: 27. Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengkhianati (amanah) Allah swt dan Rasul-Nya, dan (janganlah) kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan keatas kamu, sedang kamu mengetahui (salahnya).
Marilah kita bertakwa kepada Allah swt di mana sahaja kita berada dengan meningkatkan rasa takut kita kepada-Nya, semoga kita sentiasa dibawah jagaan-Nya.

Sekarang kita tahu bahwa pemimpin itu adalah pribadi-pribadi unggul yang memiliki dua karakter asasi yaitu al’ilm dan al quwwat. Maka saatnya kita membedah dua karakter tersebut.

1. AL ‘ILM

Yang dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu dan hikmah) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wa wasan hanyalah sarana menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah Allah berfirman,”Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir: 28). Ibnu Mas’ud pun mengatakan,”Bukanlah ilmu itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”.

Namun bagaimana rasa takut itu bisa muncul ? Tentu saja rasa itu muncul sesudah mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu itu tidak lain adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat) pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa.

Jadi jelaslah, bahwa pemimpin organisasi da’wah adalah pribadi unggul yang “pembelajar”. Dalam bahasa Al Qur’an “ …kuunuu Robbaniyyiin bima kuntum tu’allimuunal kitaaba wabimaa kuntum tadrusuun (3:79)”. Pemahaman dan penguasaan aqidah, fikrah dan manhaj da’wah menjadi kewajiban dari karakter ini. Aspek manejemen dan kepemimpinan merupakan tuntutan tak terelakkan. Selebihnya ikhwah fillah kita bahas lebih dalam dalam karakter kedua yaitu al quwwat.

2. AL QUWWAT

Mihwar muassasi yang merupakan tangga menuju mihwar dauli, menuntut aktifis da’wah terutama para pemimpinnya untuk lebih serius melakukan “wa’aidduu lahum mas tatha’tum min Quwwat”, guna meningkatkan kualitasnya menjadi rijalud(qiyadah) da’wah, rijalul(qiyadah) ummah wa rijalud(qiyadah) daulah.

Nah menurut saya, ada 5 komponen dominan Al Quwwat yang saya sebut “Asasul khamsah/ the big five”yang bisa mengantarkan pemimpin organisasi da’wah menjadi GREAT LEADER (qiyadatud da’wah-qiyadatul ummah- qiyadatud daulah). 5 komponen dominan tersebut adalah :

2.a. Visioner

Ciri utama pemimpin visioner adalah keteguhannya dalam memegang prinsip (nilai-nilai imani) menjadikannya mampu melihat dengan tajam “big picture”, mampu memvisualisasikannya pada diri dan seluruh pengikutnya. Contoh spektakuler adalah keputusan Rasul untuk menerima perjanjian Hudaibiyah, Abu Bakar mengumpulkan Al Qur’an, dll. Sedangkan terhadap hal yang murunah (flexible secara syar’i) pemimpin visioner sangat “openness to experience”

CARA BERPIKIR TERBUKA, CENDERUNG…

Imaginatif dan kreatif Lebih menyukai hal-hal baru (novelty) dan keragaman (variety)
Banyak pilihan dan minat Mengutamakan hal-hal baru yang original Sangat menghargai emosi
Cenderung fleksibel

CARA BERPIKIR “MUSEUM”, CENDERUNG…

Fokus pada “sekarang” dan “disini”, hal yang kasat mata Lebih menyukai hal-hal yang rutin dan mekanistik Sedikit pilihan dan minat Menyukai hal-hal konvensional Tidak anggap penting emosi Cenderung dogmatik

2.b. Pemberani/ Enthusiasm/keterbukaan hati dan telinga (Courageness)

Pemimpin da’wah bekerja selalu dengan hati, terus melakukan terobosan-terobosan baru (inisiatif), dan berani mengambil resiko (risk taker). Contoh praktis pada fase sekarang adalah ; pengembangan organisasi, revitalisasi fungsi lembaga secara serius dan berkelanjutan serta dipastikan benar-benar sampai bawah berjalan semua prosesnya, penerapan ‘semacam penyaringan’ untuk calon-calon pemimpin baru. Demikian pula untuk yang ‘sudah terlanjur’ jadi pemimpin namun belum memenuhi kualifikasi diwajibkan untuk mengikuti pelatihan dengan sangat serius dan dipantau perkembangannya. Ciri lain bisa kita lihat pada bagan dibawah ini;

KETERBUKAAN HATI TINGGI, CENDERUNG…

terpola, metodologis terorganisir, tertata ( secara bertahap) menghargai waktu, tepat
dapat diandalkan disiplin tinggi ada dorongan/ motivasi kuat persistensi bergerak otomatis (self motivated)

KETERBUKAAN HATI RENDAH, CENDERUNG…

spontan, random tak terorganisir, kacau terlambat , tidak tepat waktu kurang bertanggung jawab semaunya tidak berambisi menunda-nunda, mengabaikan tugas harus didorong-dorong

2.c. Ats- Tsiqah/ Extrovertness (Keterbukaan terhadap orang Lain)

Karakter ini sangat penting, sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT. Dalam al Qur’an : “… aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariitsun ‘alaikum bil mu’miniina rouufur rohiim.” (QS. 9:128). Qiyadah da’wah memiliki pengaruh yang kuat, disebabkan karena kepeduliannya pada a’dho dan semua orang. Ia cukup peka terhadap setiap kesulitan a’dho’nya dan berempati pada mereka. Ia bekerja dengan hati dan penuh percaya diri.

Pemimpin yang berkarakter seperti ini akan selalu membangun paradigma KESALINGTERGANTUNGAN, yaitu; -. Dalam prinsip kepemimpinan antar pribadi – BERPIKIR MENANG/MENANG

-. Dalam prinsip komunikasi empatiknya – BERUSAHA MAU MENGERTI DULU BARU DIMENGERTI

-. Dalam prinsip kerjasama kreatifnya – WUJUDKAN SINERG

KETERBUKAAN TINGGI, CENDERUNG…

senang berkawan, bekerja dalam tim,senang mendatangi,lugas,mengukir ‘kesenangan’,tertantang dengan emosi positif,berenergi, bergairah,aktif dalasenang berkawan, bekerja dalam tim senang mendatangi tugas mengukir ‘kesenangan’m pembicaraan percaya orang lain percaya diri, penuh keberanian

KETERBUKAAN RENDAH, CENDERUNG…

senang menyendiri enggan mendatangi orang menjadi sangat pribadi bukan pengukir’kesenangan’datar, kurang “menggigit” ritme “santai” pasif, diam curiga pada orang lain takut berlebihan 

2.d. Al Wafa’/ Keterbukaan Terhadap kesepakatan (Agreeableness)

Pembaharuan, pertumbuhan dan perkembangan membutuhkan sekian banyak kesepakatan-kesepakatan, keputusan-keputusan. Disinilah tanggung jawab pemimpin dipertaruhkan “… wakullukum mas’uulun ‘an Ra’iyyatihi…”. Pemimpin bertanggung jawab besar untuk mengawal dan memastikan diri berkomitmen tinggi untuk merealisasikannya, demikian pula pemimpin-pemimpin dibawahnya (kabid, kadep, kadiv, kabag, kabiro, dll.).

KETERBUKAAN TINGGI, CENDERUNG…

komitmen dengan kesepakatan-kesepakatan mempercayai mau melimpahkan wewenang kooperatif suka memberi, bersahabat mau menerima siap berkorban

KETERBUKAAN RENDAH, CENDERUNG…

mengabaikan kesepakatan skeptis ( ragu-ragu) arogan enggan bekerja sama menolak/ kasar agresif menghindar/ enggan berkorban

2.e. Istiqamah/ Kegigihan terhadap tekanan-tekanan

Salah satu unsur terpenting dalam organisasi da’wah adalah Istimrariyatut Tarbiyyah. Tarbiyah ini bagaikan ibu bagi organisasi da’wah yang akan melahirkan futuhat di bidang-bidang yang lainnya. Tarbiyahlah yang melahirkan futuhat di bidang siyasi ( legislatif ataupun eksekutif, di berbagai tingkatannya), futuhat di bidang sosial, dll. Karakter pemimpin yang paling dibutuhkan untuk menjaga istimrariyatut tarbiyah ini adalah Istiqamah/ Kegigihan terhadap berbagai tekanan, misalnya dominasi/tekanan politik, dominasi/ tekanan ekonomi, social, dll. Ciri-ciri pemimpin yang berkarakter seperti ini adalah;

KEGIGIHAN TINGGI

kalem, kenyal ,tidak takut, tidak emosional, terkendali resisten terhadap godaan
tidak mudah cemas

KEGIGIHAN RENDAH

mudah bersedih pencemas, gelisah, mudah marah, tak terkendali ekspresif
mudah tergoda(impulsif) sering nerveous

Dengan karakter ini, dalam fase apapun, mihwar apapun, di bawah tekanan dan acaman seperti apapun niscaya pemimpin organisasi da’wah tetap mampu mengawal ummat dengan da’wah sampai pada tujuan asasinya dengan tetap pada relnya yaitu mardhatillah/ ridha Allah swt( lillah-ma’alloh-ilalloh).

Peranan Dan Tanggungjawab Pemimpin Dalam Islam

Firman Allah swt, Al Anfaal: 27. Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengkhianati (amanah) Allah swt dan Rasul-Nya, dan (janganlah) kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan keatas kamu, sedang kamu mengetahui (salahnya).

Ikhwan muslimin, hari ini ramai orang yang ghairah untuk menjadi pemimpin tanpa melihat dan mengukur kelayakan diri sendiri, sedangkan jawatan pemimpin itu satu amanah dan tanggungjawab. Mereka meminta menjadi pemimpin dalam berbagai jawatan dalam sektor awam atau swasta, sehingga  meminta menjadi wakil rakyat dan menteri. Demi untuk memperolehi sesuatu jawatan ada kemungkinan mereka akan melakukan apa saja dan bersedia menghalalkan cara walaupun dengan melakukan jenayah dan perkara-perkara yang ditegah oleh syarak seperti rasuah, mencaci, mengumpat, menipu dan sebagainya.
Memimpin adalah amanah dan tanggungjawab yang akan dipersoalkan di akhirat nanti. Amanah dan tanggungjawab ini tidak akan terlaksana tanpa adanya pemimpin yang berwibawa memeliki ciri-ciri dan sifat-sifat yang tertentu, sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya, mengajak manusia mengabdikan diri sesungguhnya kepada Allah swt, melalui kerja-kerja memakmurkan bumi Allah swt, melakukan islah, menegakkan kebenaran, mengujudkan keamanan, keharmonian dan kesejahteraan dalam masyarakat dan negara.
Berdasarkan amanah dan tanggungjawab seorang pemimpin, maka orang yang lemah dan tidak memiliki kelayakan tidak boleh menjadi pemimpin. Oleh itu melantik seorang pemimpin atau pegawai yang tidak memeliki kelayakan kepada sesuatu jawatan sedangkan masih ada orang yang lebih layak kepada jawatan tersebut, merupakan suatu pengkhianatan besar kepada Allah swt dan Rasulullah saw. Dan sangat bertentangan dengan ajaran syariat Islam kerana akibat dari perbuatan itu, masyarakat dan negara akan musnah dan tergadai serta diangkat keberkatannya.
Sabda Rasulullulah saw; ‘Apabila disandarkan pekerjaan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat (saat kehancuran)’.
Sabda Rasulullulah saw lagi; ‘Barang siapa melantik seseorang sebagai pemimpin/pegawai di dalam sebuah kumpulannya sedangkan masih ada di kalangan mereka orang yang lebih layak, orang yang lebih disukai Allah swt daripadanya maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah swt dan Rasul-Nya dan mengkhianati orang-orang yang beriman’.
Demi menjaga kepentingan umat dan negara, demi menjaga pengaruh keduniaan agar tidak meresab masuk ke dalam jiwa pemimpin, Rasulullah saw melarang meminta sesuatu jawatan di dalam pemerintahan, apa lagi merebut tanpa kelayakan dan persedi aan yang mencukupi. Sabda Rasulullulah saw yang bermaksud; ’Kami demi Allah, tidak akan melantik ke jawatan pemerintahan ini, orang yang memohonnya dan juga orang yang sangat-sangat berkeinginan untuk mendapatkannya’.
Sifat loba dan sifat tamak dan menginginkan jawatan akan mendorong seseorang untuk berbuat zalim dan dosa demi untuk mendapatkannya. Apabila sudah dapat berjawatan maka akan dipergunakannya untuk kepentingan-kepentin gan dirinya. Adapun orang yang diberikan jawatan berdasarkan kelayakkan, sedangkan ia tidak mengingin kan jawatan itu, maka Allah swt akan memberikan pertolongan dan taufik kepadanya di dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang pemimpin yang merupakan amanah daripada Allah swt.
Orang yang menginginkan jawatan kerana mengejar pangkat, mencari pengaruh, mengumpul harta kekayaan, kemewahan duniawi semata-mata, sangat terdedah kepada melakukan sebarang penyelewengan, pengkhianatan dan penipuan semasa menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Kepada mereka ini diingatkan bahawa pengkhianatan dan penipuan yang dilakukan oleh seorang pemimpin sangat besar kesan dan akibatnya keatas diri, keluarga, rakyat dan negara. Diatas perbuatannya itu ia akan menanggung kesusahan hidup di dunia dan di akhirat dan dia akan menyesal kerana disiksa oleh Allah swt di dalam Neraka jahanam nanti.
Sabda Rasulullulah saw yang bermaksud; ‘Tiadalah seorang hamba Allah swt yang diberi tugas pemimpin untuk memimpin rakyat kemudian dia mati di hari kematiannya dalam keadaan dia menipu rakyatnya melainkan Allah swt mengharamkannya dari memasuki syurga’. (Hadis Muttafaq’alaih)
Seorang pemimpin hendaklah menjalankan tugas dengan jujur, tidak boleh melarikan diri dari menjalankan tanggungjawabnya. Kalau dia seorang pemimpin rakyat, maka dia harus turun ke medan menemui rakyat dan menyelesaikan permasalahan mereka. Rakyat hendaklah dilayani dengan adil dan saksama.
Sabda Rasulullulah saw yang bermaksud; ’Sesiapa yang diberi Allah swt kuasa untuk menguruskan sesuatu urusan kaum Muslimin, tetapi dia berlindung tidak menunaikan keperluan mereka atau menghiraukan kemiskinan mereka, nescaya Allah swt berlindung Diri tidak melayani hajat dan permintaannya’. (Hadis Sahih)
Ikhwan muslimin, sudah menjadi hak masyarakat untuk dididik dan dibantu oleh pemimpin begitu juga menasihati dan menegur mana-mana pemimpin yang terlanjur dengan cara berkhikmah kerana Islam adalah agama ‘al-nasihah’; nasihah kerana Allah, berpandukan kitabnya dan Rasulnya untuk memimpin kaum Muslimin dan sekalian rakyatnya. Masyarakat dan rakyat hendaklah mentaati pemimpin dalam perkara-perkara kebaikan dan kebajikan dan hendaklah bersedia membantu dalam melaksanakan program-program pembangunan dan kebajikan.
Penyalahgunaan kuasa oleh pemimpin adalah merupakan satu kezaliman yang sangat besar bahayanya, demikian juga menyalahgunaan kekayaan negara dan harta rakyat. Pemimpin atau pegawai yang terlibat dengan mengurus harta kerajaan tidak boleh menggunakan harta kerajaan atau makan harta kerajaan dengan cara yang tidak benar dari segi syariat Islam dan melanggar peraturan. Apapun harta yang di sampaikan kepadanya, hendaklah ia menyerahkan kepada perbendaharaan atau Baitulmal milik kaum muslimin, jangan ada sedikitpun yang dijadikan milik peribadi.
Rasulullulah saw bersabda yang bermaksud; ‘Barang siapa di antara kamu yang kami tugaskan untuk memimpin, lalu dia menyembunyikan harta walaupun sebesar jarum atau lebih kecil dari itu, maka pada hari kiamat nanti dia akan datang membawanya sebagai  seorang pengkhianat’.
Seorang pemimpin hendaklah sentiasa peka dan berwaspada terhadap perbagai manusia yang keluar masuk kepadanya dan yang ada di sekelilingnya, lantaran itu hendaklah ia mengambil penasihat-penasihat dari kalangan orang-orang yang baik-baik, ikhlas lagi dipercayai dari kalangan ulamak dan orang yang bijak pandai.
Rasulullulah saw pernah mengingatkan kita dengan sabdanya, bermaksud; ‘Tidak ada seorang nabi diutuskan Allah dan tidak ada pula seorang pemimpin yang diangkat kecuali mereka mempunyai dua jenis teman rapat; teman rapat yang menyuruhnya dan yang mendorongnya berbuat kebaikan dan selalu mendorongnya untuk berbuat baik sedangkan teman yang satu lagi menyuruhnya membuat kejahatan serta mendorongnya berbuat kejahatan. Orang yang terpelihara sebenarnya ialah orang yang mendapat jagaan dan pemeliharaan daripada Allah swt.’ (Sahih Bukhari)
Jalan yang selamat ialah sentiasa berhati-hati, tidak terburu-buru membuat keputusan atau tindakan tanpa bermesyuarah terlebih dahulu. Seorang pemimpin hendaklah bersikap jujur dan mesra dengan masyarakat atau orang bawahannya serta memberi layanan yang adil kepada semua tanpa memilih kasih.
Pemimpin yang baik ialah pemimpin yang disayangi oleh rakyat atau orang bawahannya. Oleh itu seorang pemimpin hendaklah memupuk kesetiaan masyarakat kepada kepimpinannya dan jangan melakukan sesuatu yang melemahkan kepercayaan mereka dan kesetiaan mereka. Ingatlah sabda Rasulullulah saw; kepada Abu Dzar ra ketika ia meminta dilantik menjadi pegawai Rasulullulah saw, Rasulullulah saw menepuk bahunya serta bersabda; ‘Hai Abu Dzar kamu seorang yang lemah sedangkan jawatan itu adalah satu amanah (tanggungjawab) yang kelak di hari kiamat menjadi hina dan menyesal kecuali orang yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajipannya’.
Was’salam mualaikum wrt. Wallah A’lam.

AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR MENURUT HUKUM ISLAM

 

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR MENURUT HUKUM ISLAM



Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kekhususan dan keistimewaan umat Islam yang akan mempengaruhi kemulian umat Islam. Sehingga Allah kedepankan penyebutannya dari iman dalam firman-Nya,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". [Ali Imron :110]

Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin dari kaum munafikin dengan hal ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[At-Taubah:71]

Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,"Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, umat Islam adalah umat terbaik bagi segenap umat manusia. Umat yang paling memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan amar ma'ruf nahi mungkar. Mereka tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka. Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Umat lain tidak memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma'ruf (kebaikan) dan melarang semua kemungkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil- kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan kebaikan, tidak pula untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Hal ini digambarkan dalam ucapan Nabi Musa.

يَاقَوْمِ ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ قَالَ رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذاَ دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَآ أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلآَ إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”. Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”. [Al-Maidah : 21-24]

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا قَالُوا وَمَالَنَآ أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمُُ بِالظَّالِمِينَ

"Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim". [Al-Baqarah:246]

Mereka berperang lantaran diusir dari tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan begi mereka harta rampasan perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang. [1]

Demikianlah anugerah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam. Dia menjadikan amar ma'ruf nahi mungkar sebagai salah satu tugas penting Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Bahkan beliau diutus untuk itu, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

الذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّي الذِيْ يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

"(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung". [Al- A'raaf : 157).

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan orang-orang yang selalu mewarisi tugas utama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, bahkan memerintahkan umat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Al-Imron:104]

Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik zaman atau tempat. Meliputi seluruh umat dan bangsa dan terus bergerak dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban umat Islam sejak masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.

HUKUM AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR [2]
Amar ma'ruf nahi mungkar merupakan kewajiban yang dibebankan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat Islam sesuai kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur'an dan As-Sunnah serta Ijma' para Ulama.

Dalil Al Qur'an
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung".[Al-Imran:104].

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,"Maksud dari ayat ini, hendaklah ada sebagian umat ini yang menegakkan perkata ini".[3]

Dan firman-Nya.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah". [Al-Imran :110].

Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat ini,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya".[4]

Dalil Sunnah
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

"Barang siapa yang melihat satu kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu selemah-lemahnya iman". [Riwayat Muslim].

Sedangkan Ijma' kaum muslimin, telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya:

1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, "Seluruh umat telah bersepakat mengenai kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar, tidak ada perselisihan diantara mereka sedikitpun”.[5]

2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,"Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menegaskan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar melalui beberapa ayat dalam Al Qur'an, lalu dijelaskan Rasulullah n dalam hadits yang mutawatir. Dan para salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya".[6]

3. An-Nawawi berkata,"telah banyak dalil-dalil Al Qur'an dan Sunnah serta Ijma yang menunjukkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar" [7]
.
4. Asy-Syaukaniy berkata,"Amar ma'ruf nahi mungkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari'at terbesar dalam syariat. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya".[8]

Jelaslah kewajiban umat ini untuk beramar ma'ruf nahi mungkar.

DERAJAT KEWAJIBAN AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR [9]
Amar ma'ruf nahi mungkar sebagai satu kewajiban atas umat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya? Apakah fardhu 'ain ataukah fardhu kifayah? Para ulama berselisih tentang hal ini.

Pendapat pertama memandang kewajiban tersebut adalah fardhu 'Ain. Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir, Az Zujaaj, Ibnu Hazm .Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar'i, diantaranya:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat yaitu: وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut hukumnya fardhu 'ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya wajib 'ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:

مَا لاَ يَتِمُّّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". [Ali Imran :110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan syarat bergabung dengan umat Islam yang terbaik, yaitu dengan amar ma'ruf nahi mungkar dan iman. Padahal bergabung kepada umat ini, hukumnya fardu 'ain. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ

"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan berkata,"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." [Fushilat :33]

Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi fardhu 'ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah bagi orang yang bergabung ke dalam barisan umat Islam. Beliau berkata setelah membaca surat Ali Imran:110,"Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk umat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya"

Sedangkan pendapat kedua memandang amar ma'ruf nahi mungkar fardhu kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash [12] , Al-Mawardiy, Abu Ya'la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy [13], Ibnu Qudamah [14], An-Nawawiy [15] , Ibnu Taimiyah [16] , Asy-Syathibiy [17] dan Asy-Syaukaniy [18].

Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung". [Ali Imran:104]

Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.

Imam Al Jashash menyatakan,"Ayat ini mengandung dua makna. Pertama, kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Kedua, yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain tidak terkena kewajiban".[19]

Ibnu Qudamah berkata,"Dalam ayat ini terdapat penjelasan hukum amar ma'ruf nahi mungkar yaitu fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain".[20]

2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya". [At-Taubah : 122]

Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan sekelompok kaum mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu kifayah.

Syeikh Abdurrahman As Sa'diy menyatakan,"Sepatutnya kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka. Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan agama dan dunianya"[21]

3. Tidak semua orang dapat menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari'at, tingkatan amar makruf nahi mungkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian juga dikhawatirkan bagi orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar bila tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemungkaran dan mencegah kema'rufan atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.

4. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

الذِّيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُوْرِ

"(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan". [QS. 22:41]

Imam Al Qurthubiy berkata,"Tidak semua orang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya"[22]

Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,"Demikian kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah" [23]

Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau beramar makruf nahi mungkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin terbebani kewajiban tersebut.

Pelaku amar makruf nahi mungkar adalah orang yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan lebih dari orang yang melaksanakan fardhu 'ain. Karena pelaku fardhu 'ain hanya menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga fardhu 'ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.

Pendapat ini Insya Allah pendapat yang rajih.

Amar makruf nahi mungkar dapat menjadi fardhu 'ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :

Pertama : Ditugaskan oleh pemerintah.
Al Mawardi menyatakan,"Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar fardhu 'ain dengan perintah penguasa".[24]

Kedua : Hanya dia yang mengetahui kema'rufan dan kemungkaran yang terjadi.
An Nawawiy berkata,"Sesungguhnya amar makruf nahi mungkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu 'ain, jika dia berada ditempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia".[25]

Ketiga : Kemampuan amar makruf nahi mungkar hanya dimiliki orang tertentu.
Jika kemampuan menegakkan amar makruf nahi mungkar terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain bagi mereka.

An Nawawi berkata,"Terkadang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain, jika berada di tempat yang tidak mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau anak atau budaknya berbuat kemungkaran atau tidak berbuat kema'rufan".[26]

Keempat : Perubahan keadaan dan kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang amar makruf nahi mungkar menjadi fardhu 'ain dengan sebab perubahan kondisi dan keadaan, ketika beliau berkata, "Ketika sedikitnya para da'i. Banyaknya kemungkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang ini, maka dakwah menjadi fardhu 'ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya".[27]

Demikianlah amar makruf nahi mungkar dalam tinjauan hukum Islam, mudah-mudahan hal ini mendorong kita untuk melaksanakan dan menegakkannya dalam kehidupan.




Menurut Ulama' Sufi,Saat Pelacur Melarang Buka Aurat
Seandainya, ada seorang muslim memperkosa seorang muslimah yang mengenakan jilbab, lalu ditengah pemerkosaan itu, si Muslimah membuka jilbab, maka hakikatnya si pemerkosa tetap memiliki tanggung jawab untuk menegur Muslimah tersebut karena telah membuka aurat secara sengaja.





Imam al-Ghazali membuat gambaran ‘aneh’ semacam ini dalam Ihya’ Ulumiddin. Gambaran tersebut disampaikan oleh beliau untuk menyatakan bahwa orang jahat sekalipun tetap memiliki tanggung jawab untuk melakukan nahi munkar, kendatipun kemunkaran yang ia lakukan jauh lebih besar dibanding kemunkaran orang yang hendak ia tegur.

Hakikatnya begitu. Hanya saja, setiap orang pasti mencibirnya dengan nada sinis, karena nahi munkar yang dilakukan tanpa adanya keteladanan akan terkesan memuakkan. Namun demikian, bukan berarti seseorang yang melakukan sebuah keburukan tidak diperkenankan untuk mencegah keburukan tersebut.

Imam al-Ghazali membuat sebuah tamsil: ada orang kehilangan kuda beserta pelananya. Lalu, kemana-mana dia hanya sibuk mencari pelana, tanpa mencari kudanya. Orang ini jelas tampak aneh di mata orang lain, bukan karena dia sibuk mencari pelana, tapi karena dia tidak mencari kudanya. Begitu pula orang fasik yang melakukan nahi munkar, dia dipandang dengan mata sinis oleh orang lain, bukan karena nahi munkar tersebut merupakan sesuatu yang buruk bagi dia. Dia dipandang sinis karena memilih melakukan sesuatu yang penting, dan pada saat bersamaan, meninggalkan sesuatu yang lebih penting.

Jadi, bagi setiap muslim ada dua tugas yang tidak saling menafikan. Tugas yang pertama adalah memperbaiki diri sendiri; sedangkan tugas kedua adalah memperbaiki orang lain. Tugas yang pertama memang jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada tugas kedua, namun bukan berarti seseorang dilarang melakukan tugas kedua jika ia belum melakukan tugas yang pertama.

Dalam bahasa Ibnu Hazm, seseorang itu wajib melakukan amar makruf, sekaligus amal makruf. Orang yang bisa memenuhi keduanya, dia berada dalam posisi ideal. Sedangkan orang yang mengajarkan kebaikan, tapi tidak mengamalkannya, maka dia mendapat nilai positif dalam hal pengajarannya, dan mendapat nilai negatif dalam hal kelalaiannya terhadap amal. Dia masih lebih baik ketimbang orang yang tidak mengajarkan kebaikan, sekaligus tidak melakukannya. Orang ini sudah tidak memiliki nilai positif sama sekali. Akan tetapi, masih ada yang jauh lebih buruk daripada dia, yaitu orang yang menghalangi amar makruf nahi munkar, atau orang yang mengajak pada keburukan.

Tidak ada ulama yang menyatakan bahwa orang yang akan mencegah kemunkaran, harus terlebih dahulu bersih dari kemunkaran. Dalam ajaran Islam tidak mungkin ada nalar, “ Seorang Muslim wajib melarang orang lain meminum tuak, kecuali apabila dia sendiri meminum tuak.” Meski nalar ini benar-benar menggelikan, namun kenyataannya, tidak sedikit orang yang secara tidak sadar menganut pikiran semacam ini.

Said binJubair berkata, “Kalau yang bisa melakukan amar makruf nahi munkar hanyalah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka tidak akan ada orang yang menyuruh pada kebaikan (atau melarang keburukan).”

Mengenai hal itu, konon, ada seseorang datang kepada Imam Hasan al-Bashri dan berkata, “Si fulan tidak mau memberikan mauizah. Dia bilang: aku takut untuk mengucapkan sesuatu yang tidak aku lakukan.” Mendengar hal itu Imam Hasan al-Bashri berkata, “Lalu siapa diantara kita yang bisa melaksanakan (semua) yang kita ucapkan!? Setan ingin sekali menguasai manusia dengan (menebarkan pikiran semacam) itu, sehingga tidak ada orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemunkaran.”

Memang ada beberapa dalil yang mengecam orang yang melakukan amar makruf nahi munkar jika ia sendiri tidak melaksanakan. Mengenai hal itu perlu diketahui, bahwa kecaman tersebut ditujukan kepada perbuatan buruknya, bukan amar makruf nahi munkarnya.

razia FPI

Perlu Juga Mengukur Maslahah-Mudaratnya 
Seperti diuraikan di atas, orang fasik sekalipun memang di bebani tanggung jawab  untuk mencegah keburukan, baik melalui perbuatan ataupun ucapan. Akan tetapi, tanggung jawab tersebut juga perlu mengukur maslahah dan mudaratnya. Sebab, selain harus dilakukan dengan cara yang baik, nahi munkar tidak boleh menyebabkan kemunkaran yang lebih besar.

Oleh karena itu, menurut Imam al-Ghazali, orang yang fasik tidak berkewajiban melakukan nahi munkar melalui ucapan atau nasehat kepada orang yang mengetahui kefasikannya. Sebab, kemungkinan besar, orang tersebut akan merasa muak dengan nasehat yang ia sampaikan, sehingga nasehat itu tidak memberikan pengaruh apa-apa pada dia. Bahkan, jika misalnya si fasik itu yakin bahwa orang yang dinasehati akan merespon dengan gunjingan atau ucapan-acapan buruk, maka dia tidak diperkenankan memberikan nasehat. Sebab, selain tidak memberikan manfaat, nasehat tersebut justru akan melahirkan mudarat.
Agar sebuah nasehat memberikan manfaat serta diterima dengan baik, salah atu syarat utamanya adalah ketulusan dan keteladanan dari orang yang memberi nasehat. Tanpa keteladanan, sebuah nasehat akan berlalu begitu saja, tanpa memberikan bekas sedikitpun di dalam hati. Malik bin Dinar berkata, “jika orang alim tidak mengamalkan ilmunya, maka mauizah yang ia berikan akan hilang begitu saja, seperti tetesan air yang terlepas dari saringan.”

“Lidah prilaku jauh lebih mengena daripada lidah mulut,” begitu ditegaskan dalam mutiara hikmah sufistik. Karena itulah, tidak jarang ditemukan kisah para sufi yang tidak perlu mengeluarkan ‘keringat’ bahkan ‘suara’ untuk mencegah terjadinya sebuah kemunkaran.
Salah satunya Syekh Ibrahim al-Matbuli, tokoh sufi Mesir di Abad 9 Hijriyah. Suatu ketika, beliau bersama murid-muridnya berteduh di bawah pohon besar di pinggiran Mesir. Beberapa saat kemudian, datanglah sekelompok prajurit, mereka berteduh tidak jauh dari tempat Syekh al-Matbuli. Mereka mengeluarkan botol-botol minuman keras hendak berpesta.

Melihat hal itu, beberapa murid beliau memohon izin. “Syekh, saya akan menghancurkan botol-botol khamr mereka.”

“Jangan....Mereka akan membuat kalian babak belur. Tapi, jika di antara kalian ada yang memiliki hati, hadapkanlah kepada Allah untuk memecahkan botol-botol itu, lalu terjadi perpecahan di antara mereka.”

Maka, salah seorang murid Syekh al-Matbuli memantapkan batinnya sesuai petunjuk beliau. Ajaib, botol-botol itu pecah seketika. Maka, mereka pun bersitegang, saling menuduh mengenai siapa yang memecahkan botol-botol tersebut di antara mereka.

Cara nahi munkar semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang khas yang mengandalkan keteladanan dan ketulusan. Satu kata teduh yang teruntai dari mulut mereka, jauh lebih baik daripada kilatan pedang di tangan yang kekar. Satu detak batin mereka, jauh lebih mengena ketimbang berjuta-juta kata dari mulut yang senang bersendawa.Wallahu a'lam.