AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Isnin, 27 Oktober 2014

Hukum Mengikuti Banyak Mazhab

بسم الله الرحمٰن الرحيم

إنَّ الحمدَ للَّهِ نحمدُهُ ونستعينُهُ ونستغفرُهُ ونعوذُ باللَّهِ من شرورِ أنفسنا ومن سيِّئاتِ أعمالنا ، من يَهدِهِ اللَّهُ فلاَ مضلَّ لَهُ ومن يضلل فلاَ هاديَ لَهُ وأشْهدُ أن لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وحدَهُ لاَ شريكَ لَهُ وأنَّ محمَّدًا عبدُهُ ورسولُهُ

أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار



OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
 
 Bagaimana Hukum Mengikuti Banyak Mazhab…?
bagaimana hukumnya mengikuti atau mengamalkan banyak mazhab….?
 Karena di beberapa pesantren dikatakan bahwa hal tersebut tidak boleh…


Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan keimanan dan keislaman ke dalam hati kita semua, serta telah menunjukkan kita ke jalan dakwah ini. Shalawat dan salam untuk junjungan kita Rasulullah SAW.

Berkaitan dengan pertanyaan ini, dalam bahasa pesantren dikenal dengan sebutan talfiq, ada satu statement yang ingin ana sampaikan bahwa,"Tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam, akan tetapi yang ada adalah kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang sudah dijelaskan dalam kitab-kitab hadits." Mungkin sebagian dari kaum muslimin yang belum pernah menelaah sejarah lengkap kehidupan dan proses pembelajaran tafsir dan hadits-hadits nabi SAW, yang berlangsung di berbagai belahan bumi khususnya Mekah, Madinah, Mesir, Irak (kufah dan Basrah), dan tempat-tempat lainnya, yang berlangsung dari Abad ke-1 hingga abad ke-7 Hijriyah akan mengatakan bahwa statement ana adalah suatu kesalahan.

Sebenarnya, ana ingin menyampaikan sejarah pengembangan hadits-hadits nabi di masa kejayaan islam, yaitu abad ke-1 hingga abad ke-7. Akan tetapi, jika hal itu ana sampaikan disini, maka akan sangat memerlukan tulisan yang panjang. Dengan demikian, bagi yang kurang setuju dengan statement ana di atas, ana anjurkan untuk menelaah sendiri langsung ke kitab-kitab sejarah yang membahas pengajaran tafsir dan hadits-hadits nabi SAW di 7 abad tersebut.

Mungkin akan muncul pertanyaan, apa buktinya bahwa tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam…???
 
Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita lihat apa komentar dan wasiat langsung dari para Imam Mazhab yang terkenal, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebenarnya imam mazhab sangatlah banyak, namun ana hanya menyebutkan imam yang empat ini, karena imam yang empat inilah yang sangat populer di Indonesia (semoga Allah merahmati mereka semuanya ).

Berikut ini ana sampaikan wasiat mereka yang secara langsung ataupun tidak langsung menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bermazhab dalam islam, yaitu:

Wasiat Imam Abu Hanifah
1) "Jika telah shahih suatu hadits, maka ia adalah mazhabku." (Disebutkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam Al-Hasyiyyah)
2) "Tidak halal bagi seorang pun untuk berdalil dengan pendapat kami, jika ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya."
3) "Haram hukumnya bagi orang yang tidak mengetahui dalil yang aku gunakan, untuk berfatwa dengan pendapatku."
4) "Sesungguhnya kami hanyalah manusia biasa, kami terkadang mengeluarkan suatu pendapat mengenai masalah tertentu pada suatu hari, dan kami berpaling darinya pada esoknya."
5) Suatu ketika beliau berkata kepada murid terbaiknya yang bernama Ya'qub atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Yusuf,"Celaka kamu hai Ya'qub! Janganlah engkau menulis segala sesuatu yang telah engkau dengar dariku, karena aku terkadang mengeluarkan suatu pendapat pada suatu hari, dan esok harinya aku meninggalkannya, aku pun terkadang mengeluarkan pendapat pada esok harinya, dan pada lusanya aku meninggalkannya."
6) "Jika aku mengatakan sebuah perkataan yang bertentangan dengan Kitab Allah dan khabar/sunnah yang datang dari Rasulullah SAW, maka tinggalkanlah perkataanku!"

Wasiat Imam Malik bin Anas
1) "Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, aku bias benar, dan bisa juga salah, maka perhatikanlah oleh kalian pendapat-pendapatku!, semua pendapat yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, maka ambillah!, dan semua pendapat yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Al-Sunnah, maka tinggalkanlah!."
2) "Tidak seorang pun di dunia ini, melainkan pendapatnya bisa diambil dan bisa pula ditolak, kecuali Nabi SAW."

Wasiat Imam Syafi'i
1) "Tidak seorangpun di dunia ini, melainkan pasti ada sunnah/hadits yang tidak diketahuinya. Jika aku mengeluarkan sebuah perkataan ataupun kaidah yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW, maka perkataanku adalah (kembali) kepada apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW."
2) "Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah/hadits dari Rasulullah SAW (terhadap suatu masalah), maka tidak halal baginya untuk menggantinya dengan perkataan siapapun."
3) "Jika kalian menemukan dalam kitab karyaku sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah SAW, maka berpendapatlah dengan menggunakan sunnah Rasulullah SAW, dan tinggalkanlah perkataanku."
4) "Jika telah shahih suatu hadits, maka itulah mazhabku."
5) Suatu ketika Imam Syafi'i berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal,"Engkau lebih mengetahui banyak hadits dan rijalnya dibandingkan denganku. Jika telah shahih suatu hadits, maka beritahukanlah kepadaku di daerah mana ia (periwayatnya) berada, Kuffah, Bashrah, ataupun Syam, hingga aku bisa pergi mendapatkannya, jika ia telah shahih."
6) "Setiap masalah yang telah shahih berasal dari Rasulullah SAW menurut para ahli hadits, dan menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku menyatakan diri untuk kembali (membatalkan perkataanku), baik ketika aku masih hidup, ataupun ketika aku sudah meninggal."
7) "Jika kalian menemukan aku mengatakan sebuah perkataan yang di dalamnya telah shahih hadits Rasulullah SAW dan aku menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa pada saat itu akal sehatku sudah tidak ada."
8) "Setiap pendapat yang aku katakan, dan hadits Nabi SAW yang shahih menyelisihi perkataanku, maka yang harus didahulukan adalah hadits Nabi SAW, dan janganlah taqlid kepadaku."
9) "Setiap hadits Nabi SAW adalah perkataan yang menjadi pendapatku, meskipun kalian tidak pernah mendengarnya dariku."

Wasiat Imam Ahmad bin Hanbal
1) "Janganlah kalian taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Al-Auza`i, ataupun Imam Al-Tsauri, dan ambillah oleh kalian sunnah itu dari tempat mereka mengambilnya."
2) "Janganlah taqlid kepada seorang pun dalam urusan agamamu, akan tetapi ambillah ilmu itu dari apa-apa yang dating dari Rasulullah SAW, para sahabatnya, dan tabi'in yang terkenal kebaikannya."
3) "Imam Al-Auza`i telah mengeluarkan pendapat, demikian pula dengan Imam Malik dan Abu Hanifah. Semuanya hanyalah pendapat yang semuanya aku anggap sama saja. Akan tetapi, hujjah yang sebenarnya adalah yang terdapat dalam atsar (dari Nabi SAW dan para sahabatnya)."

Inilah pendapat dan wasiat para imam mazhab yang mereka ajarkan dan sampaikan kepada murid-murid mereka sebelum mereka meninggal (semoga Allah SWT merahmati mereka semuanya). Akan tetapi, nukilan-nukilan yang menjelaskan wasiat-wasiat mereka di atas, sangat jarang diajarkan dan disampaikan oleh para asatidz yang mengajar dan menjadi panutan umat ini, sehingga di sebagian kalangan yang memiliki keilmuan kurang muncul fanatisme ekstrim yang keluar dari sunnah Rasulullah SAW dan lebih memilih pendapat para imam mereka.

Mungkin akan muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya jika kita tidak mampu melakukan pengkajian sendiri secara langsung kepada kitab-kitab referensi hadits, karena terbatasnya waktu dan kemampuan yang dimiliki..???

Dalam hal ini ana katakan bahwa jika memang faktanya demikian, maka merujuk dan bertanyalah kepada para asatidz dan ulama yang keilmuannya dianggap sangat mumpuni, karena para asatidz dan ulama tersebut adalah pewaris para nabi, yang di pundak mereka beban dakwah untuk menjawab berbagaimacam pertanyaan yang muncul dari umat ini diletakkan. Akan tetapi perlu diingat, jika suatu saat ditemukan bahwa ada pernyataan ulama ataupun asatidz yang dirujuk dan menjadi tempat bertanya tersebut menyelisihi hadits Rasulullah SAW, maka wajib untuk meninggalkan pendapat mereka untuk merujuk kembali kepada hadits Nabi SAW."

Untuk memperlengkap bahasan ini, ana merasa perlu menyampaikan dua buah pendapat Imam Syahid Hasan Al-Banna, yang beliau ungkapkan ketika menjelaskan rukun bai`at (al-Arkan al-Bai`at) pada poin al-Fahmu, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Ushul al-Isyrin (dua puluh prinsip dakwah), yaitu:

"Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan menelaah terhadap dalil-dalil hukum furu` (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika bersamaan dengan sikap mengikutinya ini ia berusaha semampu yang ia lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia juga menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan, jika ia termasuk orang yang pandai, hingga mencapai derajat penelaah."

"Khilaf (perselisihan) dalam masalah fiqh furu' (cabang) hendaknya tidak menjadi factor pemecah belah agama, tidak menyebabkan pemusuhan, dan tidak menyebabkan kebencian. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu tidak ada larangan melakukan studi ilmiyah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih saying dan saling membantu karena Allah SWT, untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik."

Sebagai kesimpulan ana tegaskan kembali bahwa,"Tidak ada larangan untuk mengambil dan mengikuti berbagai pendapat imam mazhab dalam berbagai masalah jika di dalamnya terdapat ruang ijtihad, selama masih sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan yang bersumber dari Al-Qur'an, hadits-hadits Nabi SAW."
Ana juga ingin mempertegas bahwa,"Dibolehkan untuk mengambil pendapat dari Imam Mazhab tertentu dalam suatu masalah tertentu, dan mengambil pendapat Imam Mazhab yang lain dalam masalah yang lainnya."

Semoga Allah SWT memberikan kecintaan kepada kita, keluarga, pasangan hidup dan keturunan kita terhadap sunnah Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi bekal utama dalam menempuh panjangnya perjalanan dakwah ini.

Semoga bermanfaat, jika tulisan ini dianggap sangat bermanfaat, maka silahkan disebarkan, dan di akhir tulisan ini ana minta keikhlasan antum antunna semua untuk mendoakan ana, agar diberi keberkahan dalam ilmu, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih luas untuk kaum muslimin dan dakwah ini.


Apakah boleh kita mempunyai Dua atau lebih dari satu mazhab?

Tidak dapat tidak, seseorang itu akan memulakan proses mempelajari dan mengamalkan sistem Islam dengan cara bertaqlid kepada satu Mazhab. Apabila seseorang itu melalui proses pembelajaran, dan melihat akan ada alternatif kepada padangan yang ada, dia dikatakan telah melalui proses Takhayyur. Takhayyur adalah proses memilih pendapat dari pelbagai pendapat atau Mazhab.

Proses Takhayyur ini selalunya terhasil tanpa seseorang itu mengetahui nas-nas atau dalil-dalil kenapa hukum itu terjadi. Hasil dari proses ini akan berlaku Talfiq. Seseorang itu akan dikatakan melakukan Talfiq apabila dia berpegang kepada satu Mazhab eg: Syafie, dan ada beberapa hukum yang lain memilih pandangan Mazhab yang lain eg: Hanafi. Contohnya seperti seorang bermazhab Syafie mengatakan tidak batal wudhu’ apabila besentuhan dengan wanita kerana berpegang kepada pandangan Mazhab Hanafi, walaupun tidak mengetahui dalilnya.

Seseorang yang melakukan Talfiq yang sedemikian, juga dikatakan melakukan Taqlid juga; iaitu berubah taqlid dari mazhab Syafie kepada bertaqlid kepada Mazhab Hanafi. Perkara perubahan ini, boleh diakibatkan oleh :

a. Pemerintah; misalnya membayar Zakat Fitrah menggunakan wang sebagaimana yang ditetapkan oleh Majlis Agama Islam Negeri.

b. Darurat; disebabkan keadaan dan suasana, misalnya menggunakan kaedah batal wudhu’ menurut Mazhab Hanafi atau Hanbali, kerana kesukaran menjaga diri di Mekah dari disentuh wanita ajnabi.

Keadaan (a) menyebabkan seseorang itu melakukan Talfiq tanpa dia sendiri sedar atau mengetahui. Sebagaimana kata Syiekh Ibn Utsaimin, Mazhab orang Awam ialah Mazhab Pemerintahnya. Apa sahaja keketapan yang telah dibuat oleh pihak pemerintah, itulah mazhab mereka.

Ada juga proses pemilihan hukum dilakukan dengan ijtihad, dengan menurut dalil-dalil dan nas yang kuat atau yang lebih Rajih. Di sini kita melihat proses Tarjih atau saringan hukum dijalankan. Peringkat ini bukan dimiliki oleh orang-orang awam. Ini adalah proses yang dilakukan oleh Imam-Imam yang Mujtahid atau satu badan Fatwa yang melakukan Ijtihad.

Secara umum dan ringkasnya, bolehlah kitakan bahawa proses dihadapi oleh orang awam adalah proses Talfiq. Apabila melihat (bukan memilh) nas atau dalil yang dipakai oleh Mujtahid tadi, kita dikatakan telah melakukan al-‘ittibaa’. Seseorang itu dikatakan telah memilih pandangan tersebut tanpa melihat akan Mazhab itu sendiri. Ketetapan nas dan dalil itu telah dilakukan oleh Mujtahid tersebut, dan kita Cuma al-‘ittibaa’ atau “menuruti” pendapat Imam tersebut.

Terdapat ulama’ yang melarang Talfiq atas beberapa syarat. Yang membenarkannya juga meletakkan beberapa syarat, dan diantaranya :-

a. Niat melakukan Talfiq; disebabkan keperluan, darurat, dsb. Tidak boleh dilakukan kerana mengikut nafsu.

b. Tidak bertujuan memilih keringanan dari pandangan Mazhab tersebut. Jumhur ulama’ melarang menghimpuan kesemua keringan didalam setiap Mazhab. Ini dinamakan Tatabu’ Rukhas (mengambil pendapat-pendapat yang ringan).

c. Tidak membawa kepada perlanggaran Ijma’.

c. Tidak boleh bertalfiq atas perkara yang bukan Ibadat badan; seperti nikah kahwin, hudud, penetapan awal bulan, dsb. Perkara ini memerluka kuasa yang memerintah. Contohnya, berkahwin tanpa wali sebagaimana bertalfiq dengan Mazhab Hanafi. WA.

Berdasarkan syarat-syarat ini, dan dilakukan dengan penuh hati-hati, seseorang itu dibolehkan melakukan Talfiq. Perlu ingat, ini merupakan talfiq diantara Mazhab yang muktabar dan orang awam tidak dibenarkan melakukan tarjih oleh kerana ia adalah sebahagian dari proses Ijtihad yang

Empat Madzhab & Mazhab Dalam Hukum Islam

بسم الله الرحمٰن الرحيم

إنَّ الحمدَ للَّهِ نحمدُهُ ونستعينُهُ ونستغفرُهُ ونعوذُ باللَّهِ من شرورِ أنفسنا ومن سيِّئاتِ أعمالنا ، من يَهدِهِ اللَّهُ فلاَ مضلَّ لَهُ ومن يضلل فلاَ هاديَ لَهُ وأشْهدُ أن لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وحدَهُ لاَ شريكَ لَهُ وأنَّ محمَّدًا عبدُهُ ورسولُهُ

أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار



OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
 
 
Empat Madzhab & Mazhab Dalam Hukum Islam
===============================

Untuk mengetahui perbedaan yang prinsipil antara empat Imam Madzhab, kita mulai dengan sejarah kehidupan mereka.
1. Pada masa Nabi Muhammad Saw hidup, yang dituliskan hanyalah Al-Qur’an. Hadits tidak dituliskan. Pada masa Khalifah yang ke III, Saidina Ustman bin Affan Rda (23 -35H) ayat Al-Qur’an yang ditulis cerai berai itu dikumpulkan menjadi satu mushaf yang sekarang dinamakan Mushaf ustman bin Affan Rda.
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, yakni ucapan-ucapan, perbuatan Beliau yang dinamakan Sunnah Rasul semuanya tersimpan dalam dada para Sahabat yang boleh dinamakan “Pemangku Hadits”. Para Sahabat, Pemangku Hadits ini, baik sebelum Nabi Muhammad wafat maupun sesudahna, telah mengembara ke seluruh pelosok negeri, sesuai dengan perkembangan daerah-daerah Islam. Ada diantara mereka yang tetap di Mekkah, di Madinah dan ada pula yang sudah pindah ke Mesir, Iraq, Yaman, Persia, Hadharal-maut, Ethiopia, Sudan dan bahkan kabarnya ada yang sampai ke Timur jauh, ke Tiongkok dan lain sebagainya. Nasib Hadits agak malang ketika itu, karena belum terkumpul ke dalam satu atau dua buku, tetapi tersimpan dalam ribuan dada dan hati Sahabat-Sahabat Nabi yang telah mengembara ke sana-sini.
3. Pada zaman para sahabat Nabi, kira-kira dari tahun 13 H sampai 70 H (yakni 57 tahun) fatwa-fatwa agama dan hokum-hukum dalam pengadilan dipegang oleh para Sahabat Nabi.
Mereka tidak merasa banyak kesulitan dalam menghadapi masalah hukum sesuatu peristiwa, karena mereka mempunyai kitab suci Al-Qur’an dan banyak pula diantara mereka yang hafal Sunnah Rasul di luar kepala.
Sesuatu persoalan yang datang / timbul ditetapkan hukumnya sesuai dengan Al-Qur’an dan sesuai pula dengan Hadits yang dihafalnya. Apabila ia tidak banyak menghafal Hadits, maka ditanyaklan kepada kawannya sesame Sahabat, kiranya diantara mereka ada yang menghafal Hadits yang dapat dipakai dalam menghadapi persoalan yang baru timbul.
Masalah-masalah yang dihadapinya dalam soal-soal yang baru tidak banyak. Selain dari itu baik diketahui bahwa para Sahabat Nabi seakan-akan sudah menjadi dua golongan:
Golongan yang pertama dan jumlahnya banyak, ialah Pemangku Hadits saja dengan pekerjaannya hanya menyampaikan Hadits-hadits yang dihafalnya itu kepada pengikut-pengikutnya tanpa komentar tentang isinya. Golongan ini dinamakan “Ahli Riwayah”, yakni golongan yang menyampaikan/ merawikan Hadits- hadits.
Golongan kedua yang jumlahnya lebih sedikit, selain Pemangku Hadits, juga berfatwa dan menghadapi hokum-hukum masalah yang ditanyakan kepada mereka. Golongan ini dinamakan golongan “Mufti”, “Fuqaha” atau “Pemberi Fatwa”. Tidak banyak Sahabat yang masuk golongan kedua ini, hanya kira-kira 130 orang saja.

4. Kemudian tibalah masa Tabi’in yaitu masa orang-orang berjumpa/berguru dengan/kepada Sahabat Nabi. Orang-orang ini tidak berjumpa dengan nabi. Para Tabi’in aktif sekali , selain mempelajari bermacam-macam ilmu juga menerima Hadits-hadits Nabi dari para Sahabat-sahabat.
Para Tabi’in ini sudah besar jumlahnya dari jumlah Sahabt karena setiap Sahabt mengajar 10 sampai 50 orang Tabi’in.
Para Tabi’in itu setelah belajar dari Sahabat, lantas bertebaran keseluruh pelosok dunia untuk mengajar, bertabligh dan menjadi hakim dalam pelbagai pengadilan.
Masa Tabi’in ini dapat kita katakana dari tahun 70 H s/d 130 H (yaitu kira-kira 60 tahun).
Para Tabi’in ini sama juga dengan para Sahabat, terbagi dalam dua golongan tadi, yaitu
Golongan pertama, yaitu pemangku Hadits saja (perawi)
Golongan kedua, selain pemangku Hadits, juga memberikan fatwa, menjadi Qadli, menjadi Mufti dan menjadi Muballigh.

Diantara para Tabi’in terdapat seorang Ulama Besar di Kufah (Iraq) namanya, Nu’man bin Tsabit. Asalnya dari Persia dan kemudian menetap di Kufah dekat Bagdad. (Lahir 80 H, Wafat 150H)
Beliau ini Ulama Besar sehingga sampai derajat ilmunya kepada bisa menjabat Imam Mujtahid.
Beliau melaksanakan istinbath (menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits) dan beliau menjadi Imam Mujtahid dalam Ilmu Fiqih yang kemudian dinamai Madzhab Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit atau Madzhab Hanafi.
Imam Abu Hanifah hanya berjumpa dengan 7 orang sahabat Nabi, yaitu:
Anas bin Malik, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Abi Aufa, Wasnilan bi Al Asda, Maaqil bin Yasar, Abdullah bin Anis, Abu Thafail.
Guru-gurnya yang lain para Tabi’in. Abu Hanifah menggali hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, baik hukum yang ditanyakan kepada beliau atau yang belum ditanyakan.
5. Pada waktu hampir bersamaan, muncul pula di Madinah seorang Ulama Besar dalam ilmu Fikih, yaitu Malik bin Anas, pembangun Madzhab Maliki. (Lahir 93H – Wafat 179H)
Beliau hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in (orang yang berjumpa dengan Sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang telah berjumpa dengan Sahabat Nabi)
Perbedaan umur antara Imam Hanafi dan Imam Maliki hanya 13 tahun, karena Imam Maliki lahir tahun 93H dan Imam Hanafi tahun 80H.
Walaupun pada zaman yang sama, tetapi keadaan tempat tinggal berbeda
Imam Hanafi di Kufah (Ibu kerajaan Islam), tetapi Imam Maliki tinggal di Madinah, negeri yang pada ketika itu boleh dikatakan tidak ramai, hanya didiami oleh pemangku-pemangku hadits, ulama ahli tasawuf, ahli tafsir, sedang kota Kufah didiami oleh ahli-ahli politik dan ulama-ulama fungsinya.
Pemangku-pemangku hadits yaitu Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in banyak tinggal di madinah. Hal ini sangat menolong Imam Maliki dengan mudahnya dalam mengumpulkan Hadits-hadits Nabi, Sunnah Rasul.
Imam Maliki sebelum menjadi Imam Mujtahid Muthlaq telah menghafal hadits-hadits sahih sejumlah 100.000 hadits yang dikumpulkan dari gurunya.
Hadits yang 100.000 itu diteliti lagi oleh beliau, diteliti matannya, diteliti pemangkunya, dicocokan isinya dengan Al-Qur’an dan kalau kedapatan agak lemah maka hadits itu ditinggalkannya dan tidak pakai untuk dasar hukum.
Satu keistimewaan yang harus dicatat bahwa di kota Madinah waktu itu, boleh dikatakan hanya didiami semula oleh nabi dan Sahabat-sahabat Beliau, kemudian oleh Tabi’in dan sesudah itu Tabi’ Tabi’in. Orang yang tidak demikian halnya, seumpama orang yang datang dari luar daerah tetapi bukan Sahabat dan tidak pula berjumpa dengan Nabi, ataupun berjumpa tetapi tidak iman dengan Nabi dan orang yang bukan Tabi’in (orang yang berada di Madinah tetapi tidak berjumpa dengan Sahabat, karena berada tinggal di pinggir kota, sehingga tidak berjumpa dengan Sahabat Nabi). Orang yang demikian tidak ada di Madinah pada zaman Imam Maliki.
Hal ini penting untuk dimaklumi karena Imam Maliki memakai pula dasar “amalan orang Madinah” sebagai dasar hukum
6. Pada zaman Imam Maliki muncul pula di Mekkah seorang Tabi’ Tabi’in, yaitu Muhammad bin Idris yang kemudian ternyata pembangun Madzhab Syafi’I Rhl.
Imam Syafi’I sebagai dimaklumi adalah seorang yang sering pindah-pindah tempat tinggal dari satu negeri ke negeri lain.
Beliau tinggal di Mekkah dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, kemudian pindah ke Madinah dan bergaul juga dengan seluruh Tabi’in, pndah lagi ke Yaman dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Iraq dan bergaul dengan seluruh Tabi’in, pindah ke Persia, kembali lagi ke Mekkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir.
Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama.
Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’I Rhl, lebih banyak mendapatkan hadits daripada Tabi’in yang lain, melebih dari yang didapat oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki.
Ilmu beliau pun lebih banyak dari kedua Imam sebelumnya karena beliau banyak melihat, banyak mendengar, banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain bukan Arab (dari Persia, Turki dll).
Hadits-hadits dicari beliau kemana-mana. Para Tabi’in yang telah berjauhan tempat tinggalnya dijumpai dan ditemui bliau. Oleh karena itu beliau banyak sekali mendapat Hadits.
7. Pada tahun 164H , lahir di Bagdad (Iraq) seorang yang bernama Ahmad bin Hanbal. Beliau lebih muda dari Imam Syafi’I 14 tahun. Beliau wafat tahun 214H, yaitu 37 tahun terkemudian dari Imam Syafi’I Rhl.
Barang siapa yang mempelajari riwayat Imam hanbali ini, ia akan kagum dengan ke’alimannya, ketaqwaannya, ketabahannya menghadapi cobaan, kezuhudannya dengan harta dunia dan kepintarannya yang luar biasa.
Beliau Imam Hanbali belajar Agama di Baghdad dengan Ulama-ulama Tabi’ Tabi’in.
Imam Hanbali belajar Tafsir, Hadits, Tasauf dan lain-lain, yaitu kepada murid-murid Imam Abu Hanifah dan lain-lain, juga kepada Imam Syafi’I Rhl, ketika beliau berada di Bagdad.
Imam Hanbali kemudian sampai derajat ilmunya kepada Mujtahid yang bisa berijtihad sendiri, lepas dari ijtihad guru-gurnya. Sebagai bukti atas ke’aliman beliau adalah sebagai yang diceritakan oleh anak beliau sendiri Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa, “ayahku telah menghafal diluar kepala 10.000.000 (sepuluh juta).
Di dalam kitab al Masnad karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang kemudian terkenal dengan nama Masnad Ahmad bin Hanbal dikumpulkannya empat puluh ribu (40.000) hadits, yaitu hadits-hadits yang disaringnya dari yang 10.000.000 itu.
Di antara Imam Mujtahid yang empat ini terdapat persamaan dan perbedaan dalam cara-cara mengagali hukum (istinbath) dalam menghadapi peristiwa-peristiwa / permasalahan yang terjadi.
Persamaan dalam memakai dan mempergunakan Al-Qur’an untuk menjadi dasar hukum. Setiap beliau yang berempat ini sama halnya, yakni mula-mula sekali melihat dan mencari hukum dalam Al-Qur’an.
Kalau dalam satu masalah yang terjadi ada hukumnya dalam Al-Qur’an, syukur, tetapi kalau tidak ada maka beliau-beliau itu pindah kepada yang kedua yaitu Hadits / Sunnah Rasul.
Berikut daftar ringkas mengambil hukum dikalangan Imam Mujtahid yang empat.
a. Sumber Madzhab Hanafi
Al-Qur’an
Hadits Nabi yang kuat , sahih-sahih dan masyur saja
Ijma’ sahabat Nabi
Qiyas (pendapat)
Ihtisan (pendapat, kebaikan umum atau yang “lebih baik”).

b. Sumber Madzhab Maliki
Al-Quran
Hadits Nabi yang sahih menurut pandangan beliau.
Amalan para Ulama Ahli Madinah ketika itu.
Qiyas (pendapa)
Masalihul-mursalah (kepentingan umum)

c. Sumber Madzhab Syafi’i
Al-Qur’an
Hadits yang sahih menurut pandangan beliau (hadits shahih mutawatir, hadits shahih aahaad, hadits shahih masyur)
Ijma’ para Mujtahid
Qiyas

d. Sumber Madzhab Hanbali
Al-Qur’an
Ijma Sahabat nabi
Hadits, termasuk hadits mursal dan hadits dha’if.
Qiyas (pendapat)

Nah, dengan pendapat yang berbeda-beda ini dapatlah kita ketahui dalam 4 Madzhab itu muncul hukum-hukum yang berlainan karena asalnya perbedaan prinsip dalam sumber hukum dan cara memakai hadits-hadits itu.
Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa Dunia Islam dari dulu sampai sekarang telah menerima dan mengikuti madzhab-madzhab itu. Tidak seorang pun dari mereka yang membantah. Jadi seolah-olah ijma’ (sepakat), yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
Dari Mekkah, sampai Madinah, sampai Kufah dab Baghdad terus ke Mesir, Maroko, Spanyol sampai ke pelosok-pelosok Afrika dan dari Timur sampai ke Persi, ke India, ke Thailand, ke Indonesia, ke Philipina dan bahkan sampai ke Amrika, kesemuanya adalah penganut Madzhab
Jadi, melarang orang mengikut madzhab adalah bertentangan dengan ijma’ dan berlawanan dengan dunia Islam.
Di mesjid Mekkah berabad-abad lamanya didirikan tempat-tempat khusus bagi Imam-imam yang berempat, ada maqam Hanafi, ada maqam Maliki, ada maqam Syafi’I, dan ada maqam Hanbali. Setiap maqam itu mempunyai sepihak Ka’bah.
Rupanya sudah satu isyarat dari Tuhan yang menjadikan Ka’bah bersegi empat, sehingga setiap Imam yang berempat mempunyaiu satu segi.
Walaupun sekarang pada zaman pemerintahan Wahabi maqam-maqam itu sudah ditiadakan dengan alasan untuk memperluas tempat Thawaf, akan tetapi madzhab-madzhab itu berjalasn terus dan penguasa-penguasa Wahabi menganut madzhab Hanbali dalam furu’ syariat.
Mazhab Dalam Hukum Islam
Islam merupakan agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hukum-hukum islam diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Begitu banyaknya hukum islam, hingga banvak ulama yang memberikan penjelasan tentang hukum-hukum itu. Akhirnya, hukum islam ini terbagi dalam beberapa mazhab, yang kita kenal sekarang.
Mazhab secara bahasa berarti jalan yang dilalui dan dilewati sesuatu yang menjadi tujuan seseorang. Sedangkan menurut para ulama dan ahli agama islam, mazhab adalah metode (manhaj) yang dibuat setelah melalui pemikiran dan penelitian sebagai pedoman yang jelas untuk kehidupan umat. Lain lagi menurat para ulama fiqih. Menurat mereka, yang dimaksud dengan mazhab adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang ahfi fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang mengantarkannya memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu'.
Sebenamya mazhab dalam islam cukup banyak. Hal mi karena begitu banyaknya ulama-ulama sejak masa para sababat yang berijtihad. Namun dari sekian banyak mazhab yang ada tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan dan masih terus dijadikan panduan hingga saat ini. Mazhab yang digunakan saat ini terbagi atas dua kelompok besar, yaitu mazhab golongan Sunni (Ahlus-sunnah wal Jamaah) dan mazhab golongan Syi'ah.
Pengertian Madzhab
Kalimat Madzhab berasal dari bahasa Arab yang bersumberkan dari kalimat Dzahaba, kemudian diubah kepada isim maf ul yang berarti, Sesuatu yang dipegang dan diikuti, dalam makna lain mana-mana pendapat yang dipegang diikuti disebut madzhab, dengan begitu madzhab adalah suatu pegangan bagi seseorang dalam berbagai masalah, mungkin lebih kita kenal lagi. Dengan sebutan aliran kepercayaan atau sekte, bukan hanya dari permasalahan Fiqih tetapi juga mencakup permasalahan 'Aqidah, Tashawuf, Nahu, Shorof, dan Iain-lain, didalam Fiqih kita dapati berbagai macam madzhab, seperti madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafi'i, didalam 'Aqidah kita dapati madzhab 'Asya'irah, Maturidiyah, Muktazilah, Syi'ah, didalam Tashawuf kita dapati madzhab Hasan al-Bashri, RabPatu adawiyah, Ghazaliyah, didalam Nahu kita dapati madzhab al-Kufiyah dan madzhab al-Bashriyah.
Pada zaman Rasulullah SAW "madzhab" belum dikenal dan digunakan karena pada zaman itu Rasul masih berada bersama sahabat, jadi jika mereka mendapatkan permasalahan maka Rasul akan menjawab dengan wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi setelah Rasulullah meninggal dunia, para shahabat telah tersebar diseluruh penjuru negeri Islam, sementara itu umat islam dihadirkan dengan berbagai permasalahan yang menuntut para shahabat berfatwa untuk menggantikan kedudukan Rasul, tetapi tidak seluruh shahabat mampu berfatwa dan berijtihad, sebab itulah terkenal dikalangan para sahabat yang berfatwa ditengah sahabat-sahabat Rasul lainnya, sehingga terciptanya Mazhab Abu bakar, Umar, Utsman, AH, Sayyidah 'Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah Bin Umar, Abdullah Bin Mas'ud dan yang lainnya, kenapa shahabat-sahabat yang lain hanya mengikuti sahabat yang telah sampai derajat mujtahid, karena tidak semua sahabat mendengar hadits Rasul dengan jumlah yang banyak, dan derajat kefaqihan mereka yang berbeda-beda, sementara Allah telah menyuruh mereka untuk bertanya kepada orang yang ' Alim diantara mereka. Hendaklah kamu bertanya kepada orang yang mengetahui jika kamu tidak mengetahui Pada zaman TabHn timbul pula berbagai macam madzab yang lebih dikenal dengan madzhab Fuqaha Sab'ah ( Madzhab tujuh tokoh Fiqih) di kota Madinah, setalah itu bermunculanlah madzhab yang lainnya dinegeri islam, seperti madzhab Ibrahin an-Nakha'l, asy-Syukbi, sehingga timbulnya madzhab yang masyhur dan diikuti sampai sekarang yaitu Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, madzhab ini dibenarkan oleh ulama-ulama untuk diikuti karena beberapa sebab :
Madzhab ini disebarkan turun-temurun dengan secara mutawatir.
Madzhab ini diturunkan dengan sanad yang Shahih dan dapat dipegang
Madzhab ini telah dibukukan sehingga aman dari penipuan dan perobahan
Madzhab ini berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits, selainnya para empat madzhab berbeda pendapat dalam menentukan dasar-dasar sumber dan pegangan.
Ijma' nya ulama Ahlus Sunnah dalam mengamalkan empat madzhab tersebut
Sejarah Timbulnya Madzhab

fiqih pada periode ini merupakan puncak Dari perjalane kesejarahan tasyri'. Bahwa munculnya madzhab-madzhab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaru hokum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.
Fenomena perkembangan tadyrik pada periode ini, seperti tumbuh suburnya kajian-kajian ilmiah, kebebasan berpendapa banyaknya fatwa-fatwa dan kodifikasi ilmu, bahwa tasyri' memiliki keterkaitan sejarah yang panjangdan tidak dapat dipisahkan ant satu dengan lainnya.
Munculnya madzhab dalam sejarah terlihat adanya pemikirah fiqih dari zaman sahabat, tabi'in hingga muncul madzhal madzhabfiqih pada periode ini. Seperti contoh hokum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalib ialah masa iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati oleh suaminya. Golongan sahabat berbeda pendapat dan mengikuti salah satu pendapat tersebut, sehingga munculnya madzhab-madzhab yang dianut.
Di samping itu, adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzhab ada beberapa faktor yang mendorong, diantaranya :
Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum islampun menghadapi berbagai macam masyarakat yang berbeda-beda tradisinya
Muncunya ulama-ulama besar pendiri madzhab-madzhab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama AI-Madzhab atau AI-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.
Adanya kecenderungan masyarakat islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzhab ketika menghadapi masalah hukum. Sehingga pemerintah (kholifah) merasa perlu menegakkan hokum islam dalam pemerintahannya.
Permasalahan politik, perbedaan pendapat di kalangan muslim awal trntang masalah politik seperti pengangkatan kholifah-kholifah dari suku apa, ikut memberikan saham bagi munculnya berbagai madzhat hukum islam.
Dampak Adanya Madzhab Terhadap Perkembangan Fiqih
Dampak Positifnya

Adanya madzhab-madzhab tersebut berarti memberikan peluang yang cukup signifikan terhadp fiqh islam untuk berkembang dan bahkan berpeluang untuk tersebar lebih luas.
Dampak Negatif
Sesudah munculnya madzhab-madzhab muncul pula pola pikir fanatis terhadap madzhab yang berdampak terhadap semakin menipisnya sikap toleransi bermadzhab dan bahkan berdampak terhadap persaingan yang kurang sehat dan bahkan lebih dari itu berdampak terhadap terjadinya permusuhan akibat fanatisme madzhab yang berlebihan.
Setelah munculnya madzhab-madzhab fiqh tersebut, muncul pula anggapan bahwa pintu ijtihad ditutup.

Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul perayataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah £ mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhat dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawat berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu/diyakini sebagai yang benar, dan leblh jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.

Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada pada mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat

Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian bijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang disepakati daripada hal-hal lain di mana terdapat perbec pendapat di kalangan para ulama.
Sesuai dengan kaidah :
Adapun sebab-sebab terjadinya peroeaaan penaapat tersebut adalah:
Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata- kata dan istilah baik dalam Al-Qur'an maupunHadits. Seperti lafal musytarak, makna haqiqat (sesungguhnya) atau majaz (kiasan), dan lain-lainnya.
Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Kalau Hadits tersebut diketahui oleh semua ulama, sering terjadi sebagian ulama menerimanya sebagai Hadits sahih, sedang yang lain menganggap dha'if, dan lain sebagainya.
Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul. Misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lapal am yang sudah ditakh'sis itu bisa dijadikan hujah. Demikian pula ada yang berpendapat segala macam mafhum tidak bisa dijadikan hujah. Ulama-ulama yang berpendapat bahwa mahfum itu adalah hujah, kemudian berbeda lagi tanggapannya terhadap mafhum mukhalafah.
Berbeda tanggapannya tentang taarudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil yang lain). Seperti: tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu Ushul Fiqh.
Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-Shahihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapatnya tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang Qiyas: Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bisa digunakan. Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula dalam hukumnya.
Pengertian Perbandingan Madzhab

Perbandingan mazhab dalam bahasa Arab disebut muqaranah al-madzahib, kata muqaranah menurut bahasa, berasala dari kata kerja qarana yuarinu muqaranatan yang berarti mengmpulkan, membandingkan dan menghimpun. Pengertian ini diambil dari perkataan orang Arab yang berarti menggabungkan sesuatu. Mazhab asal artinya tempat berjalan, aliran. Dalam istilah islam ber; pendapat paham atau aliran seseorang alim besar dalam islam yang disebut imam seperti mazhab imam Abu Hanifah dan sebagainya.
Ruang lingkup perbandingan mazhab adalah:
Hukum Amaliyah, baik yang disepakati, maupun yang masih diperselisihkan antara para mujtahid dengan membahas cara berrjtihad mereka dan sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar oleh mereka dalam menetapkan hukum.
Dalil-dalil yang dijadikan dasar oleh para mujtahid bak dari Al-Qur'an maupun sunah atau dalil lain yang diakui oleh syara hukum-hukum vang berlaku di Neaara tempat muqarin hidup. baik hukum nasional maupun positif dan hukum internasional.
Tujuan Melakukan Perbandingan Madzhab
Dapat memahami pendapat-pendapat imam muztahid tentang masalah yang di ikhtilafkan (selisih) diantara mereka dan dapat mengetahui sandaran pendapat tersebut.
Dapat mengetahui dasar-dasar dan faedah-faedah yang dipergunakan oleh setiap imam mazhab dalam menetapkan hukum melalui dalil supaya mengetahui pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil yang kuat.
Dapat mengetahui bahwa dalil yang dipergunakan oleh imam mazhab adakalanya Al-qur'an dan adakalanya Hadits dan ada pula yang mempergunakan Qiyas atau kaidah-kaidah yang bersifat umum dan khusus yang dipergunakan mazhab tertentu, tapi tidak dipegunakan mazhan yang lain.
Yang paling diharapkan adalah mengamalkan hukum yang diyakini kuat dalilnya dan tidak boleh berpaling daripadanya.

Untuk mengetahui pendapat-pendapat para imam Mazhab dalam berbagai masalah yang diperselisihkan hukumnya disertai dalil-dalil atau alasan yang dijadikan dasar bagi setiap pendapat dan cara istibath hukum dari dalilnya oleh mereka. Untuk mengetahui dasar-dasar dan qaidah-qaidah yan digunakan setiap imam mazhab (imam mujtahid). Dalam mengistinathkan hukum dari dall-dalilna. Dimana setiap imam mujtahid tersebut tidak menyimpang dan tidak keluar dan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan memperhatikan landasan berpikir para imam mazhab, orang yang melakukan studi perbandingan mazhab dapat mengetahui hahwa dasar-dasar mereka pada hakikatnya tidak kejuar dari As-Sunnah dan Al-Our'an denoan perbedaan interpretasi.
 

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

PENGENALAN MAZHAB & SEJARAH MAZHAB

بسم الله الرحمٰن الرحيم

إنَّ الحمدَ للَّهِ نحمدُهُ ونستعينُهُ ونستغفرُهُ ونعوذُ باللَّهِ من شرورِ أنفسنا ومن سيِّئاتِ أعمالنا ، من يَهدِهِ اللَّهُ فلاَ مضلَّ لَهُ ومن يضلل فلاَ هاديَ لَهُ وأشْهدُ أن لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وحدَهُ لاَ شريكَ لَهُ وأنَّ محمَّدًا عبدُهُ ورسولُهُ

أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار





OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
 
 

PENGENALAN MAZHAB & SEJARAH MAZHAB


Kita panjatkan kesyukuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kesempatan yang diberikan kepada kita pada hari ini untuk kita bertemu dan insyaAllah untuk kita mulakan satu kuliah pengajian yang baru. Seperti yang dicadangkan, kita akan membaca buku Umdatul Ahkam karangan Imam Al-Hafidz Abdul Ghaniy Al-Maqdisi.
Seperti mana yang para ikhwah sedia maklum, ilmu agama yang kita cari, yang kita semua berusaha untuk peroleh adalah suatu yang cukup penting lebih-lebih lagi mengenangkan situasi pada akhir zaman ini.
Banyak disebutkan dalam hadis tentang kepentingan ilmu khususnya di akhir zaman, antaranya Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا
“Di antara tanda-tanda Hari Kiamat adalah diangkatnya ilmu dan kejahilan berleluasa.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
Ini adalah satu hal yang cukup menggerunkan kita. Dalam hadis yang lain, apabila diceritakan bagaimana ilmu itu diangkat, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahawa,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba, tetapi Allah mencabut ilmu dengan dimatikan para ulama, sehingga apabila ulama tidak tersisa lagi, manusia akan mengambil orang-orang yang jahil, maka mereka (orang-orang jahil) ditanya maka mereka berfatwa tanpa ilmu. Mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain.” (Riwayat Al-Bukhari & Muslim)
Ini yang kita khuatir, memandangkan semua tanda-tanda itu telah banyak kita lihat di sekeliling kita. Ini sewajarnya memberi kesedaran kepada kita dan mudah-mudahan ia menguatkan lagi kesungguhan kita untuk terus mencari serta menambahkan ilmu agama sebanyak mungkin.

MUQADDIMAH  MEMAHAMI ILMU FEQAH

Beberapa perkara perlu diperjelaskan sebagai muqaddimah sebelum kita membaca buku seperti Umdatul Ahkam ini.
Pengertian Umdatul Ahkam; Umdah (Asas) Ahkam (Hukum-hukum) yakni asas kepada hukum-hukum. Yang dimaksudkan dengan Umdatul Ahkam adalah asas kepada hukum-hukum fekah (permasalahan-permasalahan fekah).
Kita sedia maklum bagaimana kaitan ilmu fekah dengan ilmu mazhab-mazhab yang ada. Maka sejauh manakah kesahihan untuk kita mengikuti mazhab;
  1. Adakah dibolehkan untuk kita menjadikan mana-mana mazhab sebagai ikutan? Bagaimana pula tanggungjawab kita untuk mengikuti Al-Quran dan Al-Sunnah?
  2. Apakah kaitan antara keduanya; mengikut mazhab dan mengikut Al-Quran dan Al-Sunnah? Apakah kedua-duanya adalah perkara yang sama atau sebaliknya?
  3. Apa pula peranan para ulama dalam bermazhab, dan dalam mengikut kedua Al-Quran dan Al-Sunnah?
  4. Kemuncaknya, apakah kewajipan seorang Muslim dalam masalah-masalah fekah contohnya seperti yang akan kita hadapi apabila kita membaca buku seperti Umdatul Ahkam ini?
Masalah-masalah fekah yang banyak akan disebutkan dalam hadis-hadis. Umdatul Ahkam adalah buku hadis kerana penulisnya iaitu Syaikh Abdul Ghaniy Al-Maqdisi, atas permintaan sahabat-sahabatnya pada zamannya, mereka meminta beliau untuk menghimpunkan hadis-hadis hukum yang menyentuh bab fekah.
Maka beliau menjawab permintaan mereka lalu menghimpunkan hadis-hadis hukum yang disepakati kesahihannya oleh Al-Bukhari dan Muslim sahaja. Kesudahannya terhasillah buku Umdatul Ahkam ini; himpunan hadis-hadis hukum bersumberkan kedua kitab Sahih Al-Bukhari dan Muslim.
Jadi bagaimana kita berdepan dengan hadis-hadis hukum yang menyentuh bab fekah ini, apakah tanggungjawab kita? Apakah peranan mazhab, apakah peranan para ulama, dan bagaimana pula kita melaksanakan tanggungjawab beramal dengan kedua Al-Quran dan juga Al-Sunnah.

SEJARAH PERKEMBANGAN MAZHAB

Untuk lebih faham tentang masalah mazhab, ada baiknya kita lihat sejarah mazhab fekah itu sendiri. Bagaimana ia bermula, bagaimana ia berkembang sehinggalah seperti yang kita lihat pada hari ini.
Ilmu fekah telah melalui beberapa peringkat;
  • Permulaannya adalah semasa zaman Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam iaitu pada zaman turunnya wahyu; iaitu bagaimana proses ilmu-ilmu fekah, ilmu-ilmu hukum itu turun kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dan diajar kepada para sahabat. Proses ini berterusan 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.
  • Setelah itu datang pula zaman atau peringkat kedua iaitu peringkat Sahabat. Para Sahabat didahului oleh Fuqaha-u Al-Sahabah (ulama-ulama fekah di kalangan para sahabat) yang didahului oleh para sahabat yang banyak meriwayatkan hadis seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah binti Abu Bakar dan lain-lain ulama-ulama yang banyak meriwayatkan hadis. Merekalah yang menjadi rujukan generasi yang datang berikutnya iaitu generasi Tabi’in.
  • Generasi Tabi’in mempelajari ilmu agama termasuklah ilmu fekah daripada ulama-ulama fekah dari kalangan para Sahabat.
  • Ilmu berkembang ke generasi berikutnya, Tabi’ Al-Tabi’in. Mereka mengembangkan ilmu secara umumnya dan ilmu fekah secara khasnya kepada generasi berikutnya iaitu Atba’ Tabi’ Al-Tabi’in. Pada generasi inilah lahirnya para ulama fekah seperti Abu Hanifah – ulama mazhab Hanafi (80H – 150H), juga ulama mazhab Maliki iaitu Imam Malik bin Anas (93H – 179H), kemudian ulama mazhab Syafi’i iaitu Muhammad bin Idris (150H – 204H), dan yang keempat, Ahmad bin Hanbal (164H – 241H).
Pada zaman generasi Tabi’ Al-Tabi’in ini, ilmu agama terus berkembang dan terus dimantapkan. Ilmu fekah sudah mula disusun dan dibukukan. Namun pada generasi berikutnya sesudah generasi Tabi’ Al-Tabi’in, kajian ilmu fekah mula beralih fokus.
Ketiga-tiga generasi pertama, fokusnya adalah pada Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber ilmu fekah. Tetapi pada generasi berikutnya, fokus mula beralih kepada mempelajari mazhab ataupun ilmu yang dibawa oleh ulama yang kita sebutkan tadi, dan hakikatnya ada ulama-ulama yang lain seperti Sufyan Al-Tsauri dan lain-lain cuma ilmu mereka tidak berkembang dan berterusan, sampai satu ketika ia berhenti kerana kurangnya murid-murid yang mengembangkan ilmu mazhab ulama-ulama itu.
Jadi yang terus berkembang adalah ilmu keempat-empat ulama mazhab yang disebutkan tadi. Ia bermula dengan ilmu, tetapi lama kelamaan bertukar menjadi mazhab, satu aliran khusus yang mempunyai kaedah dan prinsip-prinsip yang diikuti.
Fokus mula beralih; dari fokus kepada Al-Quran dan Sunnah kepada fokus kepada mazhab. Kata-kata ulama dalam mazhab itu menjadi sumber utama kepada ilmu fekah yang dibincangkan, manakala dalil dari Al-Quran dan Al-Sunnah seakan-akan diketepikan dan dilupakan.
Pada suatu ketika sampai ke satu tahap di mana kata-kata ulama itu menjadi dalil dan hujjah. Bahkan jangan terkejut kalau kita lihat tidak ada dalil Al-Quran dan Sunnah yang disebut dalam buku-buku fekah mazhab. Apa yang ada semuanya aqwal Ulama (kata-kata Ulama).
Maka beralihlah umat Islam dari ittiba’ kepada Al-Quran dan Sunnah menjadi taqlid kepada mazhab. Pada tiga generasi pertama, keutamaan diberikan kepada ittiba’ Al-Quran dan Sunnah, tetapi pada generasi yang datang berikutnya sehinggalah ke hari ini, ia telah beralih kepada taqlid kepada mazhab (ikut mazhab semata-mata).
Apabila taqlid kepada mazhab menjadi trend, tentulah kejahilan, kejumudan dan ta’assub juga timbul. Apabila masyarakat sudah jahil terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah, mereka sudah jumud kepada mazhab yang mereka pilih, datanglah ta’assub (fanatik). Dia akan mempertahankan mazhab sedaya mungkin. Dari situ timbul kebencian, permusuhan, dan perbalahan di kalangan umat Islam. Semuanya berpunca dari taqlid kepada mazhab.

KESAN BURUK TAQLID MAZHAB

Sejarah telah menunjukkan apabila taqlid kepada mazhab, timbullah permusuhan, kebencian dan perbalahan. Antara bentuknya adalah datangnya hadis-hadis palsu yang direka semata-mata untuk mempertahankan mazhab masing-masing.
Di antara hadis yang dibukukan dan disebutkan oleh para Ulama, yang mana hadis ini adalah maudhu’ (palsu): Dikatakan kepada Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi, “Bagaimana pendapatmu tentang Al-Syafi’i dan para pengikutnya di Khurasan?” Dia menjawab, “Daripada Ahmad bin Abdillah bin Mi’dan daripada Anas secara marfu’,
يَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ أَضرّ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبَا حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ
“Akan datang pada umatku seorang lelaki bernama Muhammad bin Idris, dia lebih bahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang lelaki bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku. (Maudhu’. Tadrib Al-Rawi dan Lisan Al-Mizan)
Hadis ini disebarkan oleh pengikut-pengikut mazhab Hanafi untuk mempertahankan mazhabnya dan memburukkan mazhab lawan (mazhab Al-Syafi’i). Di samping hadis, juga diletakkan kaedah-kaedah fekah (yang batil) sebagai asas dalam berhukum. Antara kaedah yang disebutkan oleh Ulama terdahulu iaitu Abu Al-Hasan Al-Karkhi Al-Hanafi (wafat 340H),
كُلُّ آيَةٍ تُخَالِفُ أَقْوَالُ أَئِمَّتِنَا مُؤَوَّلٌ أَوْ مَنسُوخ وَكُلُّ أَحَادِيثٌ كَذلِك
“Semua ayat (Al-Quran) yang menyalahi kata-kata ulama kita hendaklah ditakwil atau dimansuh (dibatalkan), dan semua hadis juga begitu (ditakwil atau dimansuh)”
Kalau kita lihat kaedah fekah yang diletakkan ini, jelas mereka telah menjadikan kata-kata ulama itu sebagai asas utama dalam berhukum, beramal dan beribadah, kerana kata-kata ulama dijadikan asas, manakala Al-Quran dan Al-Sunnah dipaksakan mengikut pegangan ulama mazhab mereka. Mana-mana ayat Al-Quran atau hadis yang tidak selari perlu diselarikan, kalau tidak dapat diselarikan ia dianggap mansukh iaitu ayatnya ada tetapi hukumnya terbatal.
Sudah terbalik. Apa yang sepatutnya adalah Al-Quran dan Al-Sunnah dijadikan asas, dan kata-kata ulama yang perlu diselarikan.
Buku-buku fekah telah merakamkan perbalahan, perselihan di antara pengikut-pengikut mazhab sehingga ada pengikut mazhab menganggap batal solat di belakang pengikut mazhab yang lain, atau paling kurangnya makruh. Kemudian meleret dari bab solat kepada bab perkahwinan. Seorang lelaki Hanafi haram berkahwin dengan seorang perempuan Syafi’i. Sejarah fekah telah merakamkan bahawa hukum ini terus terlaksana dan diamalkan oleh pengikut-pengikutnya.
Mungkin pada hari ini kita tidak rasa, Alhamdulillah kerana ini satu nikmat, tetapi ia pernah berlaku dan berterusan, sehinggalah datang seorang Ulama Hanafi mengatakan boleh. Bahkan dia diberi gelaran Mufti Al-Tsaqalain (Mufti Jin dan Manusia). Setelah sekian lama ulama mazhab Hanafi kata tidak boleh, hukum itu dibukukan dan diamalkan, datang seorang ulama mengeluarkan fatwa mengatakan boleh.
Alangkah baiknya jika dia tarik semula hukum itu dan mengatakan boleh kahwin kerana sesama Islam, tetapi dukacitanya bukan itu kesnya. Sebaliknya, dia mengatakan boleh kahwin dengan perempuan Syafi’i kerana qiyas kepada Ahli Kitab.
Sungguh ta’assub dan dahsyat sampai ke tahap itu sekali. Tinggal dia hendak melafazkan bahawa orang yang berbeza mazhab itu kafir sahaja, tetapi dia tidak lafaz, mereka masih berhati-hati.
Inilah keadaan umat Islam, berterusan zaman berzaman. Taqlid kepada mazhab, taksub kepadanya, menjadikan kata-kata ulama sebagai panduan dan seakan-akan melupakan kedudukan Al-Quran dan Al-Sunnah.
Mereka seakan-akan lupa kepada firman Allah dalam surah Al-Nisaa ayat ke-59,
 فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
“Sekiranya kamu berselisih di dalam sesuatu permasalahan maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul (Al-Quran dan Al-Sunnah).” (Surah Al-Nisa, 4: 59)
Juga firman Allah dalam surah Ali ‘Imran ayat yang ke-105, Allah mengatakan,
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِن بَعْدِ مَاجَآءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلاَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمُ
“Dan janganlah kamu menjadi seperti mereka yang telah berpecah dan berbalah sesudah datang kepada mereka penjelasan, dan sesungguhnya bagi mereka azab siksa yang pedih.” (Surah Ali Imran, 3: 105)
Ayat ini merujuk kepada umat terdahulu daripada kalangan Ahli Kitab dan lain-lain, di mana para Rasul telah diutuskan tetapi mereka tidak mengikut panduan para Rasul, sebaliknya mereka berselisih dan berbalah, maka Allah memberi peringatan kepada mereka. Tetapi dukacitanya seakan-akan keadaan umat Islam turut mengikut seperti apa yang telah berlaku kepada umat-umat terdahulu.
Maka kita hendak tegaskan, ini menjadi asas kita apabila kita berbincang dan membacakan hadis-hadis Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam yang dibukukan oleh Syaikh Al-Maqdisi ini, iaitu wajibnya kita berpegang kepada dalil Al-Quran dan Al-Sunnah.
Di antara dalil yang cukup banyak, antaranya dalam surah Ali Imran ayat ke-132,
وَأَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatilah kamu akan Allah dan Rasul semoga kamu dirahmati.” (Surah Ali Imran: 132)
Juga dalam surah Al-Nur ayat ke-63, Allah memberi amaran dan peringatan kepada mereka yang tidak ikut suruhan ini,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka berjaga-jagalah mereka yang menyelisihi suruhan RasulNya, dikhuatiri mereka akan ditimpa fitnah atau mereka akan ditimpa azab yang pedih.” (Surah Al-Nur, 24: 63)
Para Ulama mengatakan fitnah dalam ayat ini adalah kekufuran, menunjukkan betapa bahayanya kalau kita menyelisihi panduan Al-Quran dan Al-Sunnah iaitu boleh membawa kepada kekufuran dan kesyirikan di dunia, adapun di Akhirat akan ditimpa azab yang pedih.
Juga surah Al-Ahzab ayat ke-36,
وَمَاكَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا
“Dan tidak patut bagi seorang lelaki yang beriman dan bagi seorang perempuan yang beriman apabila Allah dan RasulNya menetapkan suatu hukum, mereka mempunyai pilihan selain daripadanya. Dan barangsiapa yang mengingkari Allah dan RasulNya maka dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab, 33: 36)
Ini di antara ayat-ayat Al-Quran yang cukup banyak, insyaAllah sebahagian yang kita sebutkan ini telah memadai.
Adapun hadis yang juga cukup banyak, antaranya adalah hadis yang kita semua sedia maklum, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang berpaling dari sunnahku maka bukan dari kalangan aku.” (Riwayat Al-Bukhari)
Juga dalam satu riwayat yang juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ، إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ : مَنْ أطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk Syurga, kecuali mereka yang enggan (tidak mahu).” Para sahabat bertanya, “Siapa pula yang enggan?” Baginda bersabda, “Barangsiapa yang mentaatiku dia akan masuk Syurga, dan barangsiapa yang mengingkariku maka dia enggan.” (Riwayat Al-Bukhari)
Apa yang pelik, kita dapati Ulama mazhab yang dijadikan sebagai tokoh yang mereka taksub melebihi taksub mereka kepada Al-Quran dan Al-Sunnah juga turut menekankan kewajipan berpegang dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Bahkan mereka memberi peringatan supaya jangan taksub.
Mereka menyuruh hanya mengikut apa yang bertepatan dengan Al-Quran dan Sunnah. Adapun mana yang bertentangan, mereka secara jelas dan terang menyuruh kita tolak kata-kata mereka dan ikut Al-Quran dan Al-Sunnah. Di antara mereka adalah Imam Al-Syafi’i sendiri, di mana beliau mengatakan,
أجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
Kaum Muslimin telah ijma’ bahawa barang siapa yang telah jelas baginya satu Sunnah dari Rasulullah, tidak halal baginya meninggalkannya untuk mengikuti pendapat seseorang yang lain.”
Juga Imam Al-Syafi’i mengatakan,
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ  وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ
Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah, maka berpeganglah dengan Sunnah Rasulullah dan tinggalkan pendapatku –dalam riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah ia (Sunnah) dan jangan pedulikan ucapan orang.”
Kenapa kita tidak boleh taksub kepada para Ulama, tidak kira siapa pun dia? Ini kerana kita semua (Ahli Sunnah wal Jamaah) telah sepakat bahawa tidak ada yang maksum selain daripada Rasulullah. Namun apa yang mereka lakukan bercanggah dengan kata-kata mereka, kerana apabila mereka berinteraksi dengan kata-kata ulama, seolah-olah mereka memaksumkannya.

 umdatul ahkam siri 1
HUKUM BERPEGANG DENGAN MAZHAB

Kita secara terang dan jelas mengatakan bahawa tidak wajib ke atas seorang Muslim untuk berpegang kepada mana-mana mazhab tertentu. Sebaliknya, bergantung pada kedudukan atau keadaan seseorang itu. Perinciannya seperti berikut;
1. Orang awam
Bagi orang awam, mazhabnya adalah mazhab muftinya. Mufti yang dimaksudkan bukanlah seorang yang berjawatan mufti, tetapi mana-mana Ulama, Syaikh, Mufti, Ustaz, dan seumpamanya, iaitu orang yang dipercayainya sebagai berilmu dalam agama.
Sekiranya dia bertanya kepada muftinya dan muftinya berfatwa kepadanya, dia wajib mengikutinya, kecuali jika terjelas kepadanya kesalahan fatwa itu berdasarkan penjelasan fatwa daripada ulama lain yang dia percaya juga.
Untuk dia mengikat dirinya dengan satu-satu mazhab, untuk tidak keluar dari mazhab itu, maka itu adalah suatu yang batil kerana dia telah mewajibkan dan mengikat dirinya kepada sesuatu yang tidak wajib dan tidak patut. Firman Allah dalam surah Al-Anbiya’ ayat ke-7,
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kamu kepada ahli zikir sekiranya kamu tidak tahu.” (Surah Al-Anbiya’, 21: 7)
Ini suruhan Allah kepada orang yang tidak tahu (orang awam), iaitu bertanya kepada ahli zikir. Ahli zikir bererti ahli ilmu (Ulama) secara umumnya.
Tidak ada kita dapati mana-mana ayat Al-Quran menyuruh kita merujuk kepada mazhab atau ulama tertentu secara khasnya, apatah lagi dengan menyebut namanya; “Ikutlah Abu Hanifah”, “Ikutlah Malik bin Anas”, “Ikutlah Muhammad bin Idris”, semua ini tidak ada.
Ini bagi orang awam secara umum. Orang jahil kewajipannya bertanya, dan apabila Ulama menjawab, orang jahil yang bertanya wajib mengikutinya. Tidak boleh dia mengingkari kerana tidak sesuai dengan kehendak dan hawa nafsunya, sedangkan dia bertanya kepada Ulama itu kerana yakin pada ilmunya.
2. Orang ‘Alim atau Ulama
Bagi Ulama atau orang yang berilmu tentang Al-Quran dan Al-Sunnah, kewajipannya adalah mempraktikkan ilmunya. Apa gunanya berilmu tetapi tidak beramal? Maka menjadi kewajipannya untuk beramal dengan ilmu Al-Quran dan Al-Sunnah yang ada pada dirinya.
3. Muttabi’
Kedudukan Muttabi’ adalah di pertengahan antara orang jahil dan Ulama. Muttabi’ ialah orang yang mengikut sesuatu dengan mengetahui dalilnya. Dia tidak jahil dan pada masa yang sama banyak benda juga yang dia tidak tahu.
Muttabi’ berbeza dengan Muqallid. Muqallid ertinya orang yang bertaqlid, mengikut kata-kata orang tanpa mengetahui dalilnya. Dukacitanya, rata-rata masyarakat Islam yang jahil memilih untuk menjadi muqallid. Ini masalah. Bahkan di kalangan Ulama, mufti, qadhi sekalipun ada yang memilih untuk jadi muqallid. Sedangkan muqallid maknanya orang yang jahil, kerana itu dia ikut.
Bagaimana hendak membezakan antara muqallid dengan muttabi’?
  1. Orang muqallid (kepada mazhab), apabila dia bertanya dalam masalah yang dia tidak tahu, dia tidak bertanya hukum Allah dan RasulNya, sebaliknya dia bertanya apa kata-kata ulama itu. Ini objektifnya dalam masalah agama; bertanya apa kata Ulama. Dia tidak bertanya apa kata-kata Allah dan apa kata-kata Rasul. Jika kata-kata ulama mazhabnya menyelisihi Al-Quran dan Sunnah, dia akan tetap mengikut kata-kata mazhabnya walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
  2. Adapun muttabi’ -kita memohon daripada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya kita tergolong dalam golongan ini- apabila bertanya, dia akan bertanya hukum Allah dan RasulNya. Adapun kata-kata mazhab, itu tidak penting baginya. Jika dia mengetahui kata-kata mazhab dia bersyukur, jika dia tidak tahu dia tidak merasa rugi. Dia tidak mengikat dirinya kepada mana-mana mazhab atau mana-mana Ulama. Dia akan bertanya/merujuk kepada mana-mana Ulama yang dia percaya dan yakin dengan ilmunya. Baginya, kebenaran tidak semestinya ada pada individu tertentu, tetapi kebenaran itu boleh datang daripada mana-mana ulama. Bahkan muttabi’ akan meninggalkan kata-kata ulama yang pertama untuk mengikut kata-kata ulama yang kedua apabila terjelas kepadanya kelemahan hujjah ulama yang pertama, kerana matlamatnya adalah beramal dengan apa yang paling hampir dan bertepatan dengan Al-Quran dan Al-Sunnah.
Kesimpulannya, muttabi’ akan menjadikan para Ulama sebagai ‘pintu’ untuk dia sampai kepada matlamatnya iaitu Al-Quran dan Al-Sunnah. Peranan ulama ini penting kerana tanpa Ulama yang memberi panduan dan bimbingan, seseorang tidak akan dapat sampai kepada Al-Quran dan Sunnah. Maka ulama adalah ibarat pintu untuk sampai kepada Al-Quran dan Sunnah.
Bukan sebaliknya; di mana Al-Quran dan Sunnah dijadikan pintu untuk sampai kepada pendapat Ulama seperti yang dilakukan oleh muqallid. Mereka cuba memusingkan maksud ayat Al-Quran dan Sunnah supaya selari dengan kata-kata mazhabnya, jika tidak dapat, mereka mengatakan ianya mansukh (terbatal).
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

 



OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

UZLAH ADALAH PINTU TAFAKUR



بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران الآية: 102



OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


                       
TIADA SESUATU YANG SANGAT BERGUNA BAGI HATI SEBAGAIMANA UZLAH UNTUK MASUK KE MEDAN TAFAKUR. Kalam-kalam Hikmat pertama hingga ke sebelas telah memberi gambaran tentang keperibadian tauhid yang halus-halus. Seseorang yang mencintai Allah s.w.t dan mahu berada di sisi-Nya sangat ingin untuk mencapai keperibadian yang demikian. Dalam membentuk keperibadian itu dia gemar mengikuti landasan syariat, kuat beribadat dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan dosa. Dia sering bangun pada malam hari untuk melakukan sembahyang tahajud dan selalu pula melakukan puasa sunat. Dia menjaga tingkah-laku dan akhlak dengan mencontohi apa yang ditunjukkan oleh Nabi s.a.w. Hasil daripada kesungguhannya itu terbentuklah padanya keperibadian seorang muslim yang baik. Walaupun demikian dia masih tidak mencapai kepuasan dan kedamaian. Dia masih tidak mengerti tentang Allah s.w.t. Banyak persoalan yang timbul di dalam kepalanya yang tidak mampu dihuraikannya. Dia telah bertanya kepada mereka yang alim, tetapi dia tidak mendapat jawapan yang memuaskan hatinya. Jika ada pun jawapan yang baik disampaikan kepadanya dia tidak dapat menghayati apa yang telah diterangkan itu. Dia mengkaji kitab-kitab tasauf  yang besar-besar. Ulama tasauf  telah memberikan penjelasan yang mampu diterima oleh akalnya namun, dia masih merasakan kekosongan di satu sudut di dalam dirinya. Bolehlah dikatakan yang dia sampai kepada perbatasan akalnya.
Hikmat 12 ini memberi petunjuk kepada orang yang gagal mencari jawapan dengan kekuatan akalnya. Jalan yang disarankan ialah uzlah atau mengasingkan diri dari orang ramai. Jika dalam suasana biasa akal tidak mampu memecahkan kubu kebuntuan, dalam suasana uzlah hati mampu membantu akal secara tafakur, merenungi perkara-perkara yang tidak boleh difikirkan oleh akal biasa. Uzlah yang disarankan oleh Hikmat 12 ini bukanlah uzlah sebagai satu cara hidup yang berterusan tetapi ia adalah satu bentuk latihan kerohanian bagi memantapkan rohani agar akalnya dapat menerima pancaran Nur Kalbu kerana tanpa sinaran Nur Kalbu tidak mungkin akal dapat memahami hal-hal ketuhanan yang halus-halus, dan tidak akan diperolehi iman dan  tauhid yang hakiki.
 Hati adalah bangsa rohani atau nurani iaitu hati berkemampuan mengeluarkan nur jika ia berada di dalam keadaan suci bersih. nur yang dikeluarkan oleh hati yang suci bersih itu akan menerangi otak yang bertempat di kepala yang menjadi kenderaan akal. Akal yang diterangi oleh nur akan dapat mengimani perkara-perkara ghaib yang tidak dapat diterima oleh hukum logik. Beriman kepada perkara ghaib menjadi jalan untuk mencapai tauhid yang hakiki.
 Nabi Muhammad s.a.w sebelum diutus sebagai Rasul pernah juga mengalami kebuntuan akal tentang hal ketuhanan. Pada masa itu ramai pendeta Nasrani dan Yahudi yang arif tentang hal tersebut, tetapi Nabi Muhammad s.a.w tidak pergi kepada mereka untuk mendapatkan jawapan yang mengganggu fikiran baginda s.a.w, sebaliknya baginda s.a.w telah memilih jalan uzlah. Ketika umur baginda s.a.w 36 tahun baginda s.a.w melakukan uzlah di Gua Hiraa. Baginda s.a.w tinggal sendirian di dalam gua yang sempit lagi gelap, terpisah dari isteri, anak-anak, keluarga, masyarakat hinggakan cahaya matahari pun tidak menghampiri baginda s.a.w. Amalan uzlah yang demikian baginda s.a.w lakukan secara berulang-ulang sehingga umur baginda s.a.w mencapai 40 tahun. Masa yang paling baginda s.a.w gemar beruzlah di Gua Hiraa’ ialah pada bulan Ramadan. Latihan uzlah yang baginda lakukan dari umur 36 hingga 40 tahun itu telah memantapkan rohani baginda s.a.w sehingga berupaya menerima tanggungjawab sebagai Rasul. Latihan semasa uzlah telah menyucikan hati baginda s.a.w dan meneguhkannya sehingga hati itu mampu menerangi akal untuk mentafsir wahyu secara halus dan lengkap. Wahyu yang dibacakan oleh  Jibrail a.s hanyalah singkat tetapi Rasulullah s.a.w dapat menghayatinya, memahaminya dengan tepat, mengamalkannya dengan tepat dan menyampaikannya kepada umatnya dengan tepat meskipun baginda s.a.w tidak tahu membaca dan menulis.
 Begitulah kekuatan dan kebijaksanaan yang lahir dari latihan semasa uzlah. Tanpa latihan dan persiapan yang cukup seseorang tidak dapat masuk ke dalam medan tafakur tentang ketuhanan. Orang yang masuk ke dalam medan ini tanpa persediaan dan kekuatan akan menemui kebuntuan. Jika dia masih juga merempuh tembok kebuntuan itu dia akan jatuh ke dalam jurang gila.
 Orang awam hidup dalam suasana: “Tugas utama adalah menguruskan kehidupan harian dan tugas sambilan pula menghubungkan diri dengan Allah s.w.t”. Orang yang di dalam suasana ini sentiasa ada masa untuk apa juga aktiviti tetapi sukar mencari kesempatan untuk bersama-sama Allah s.w.t. Orang yang seperti ini jika diperingatkan supaya mengurangkan aktiviti kehidupannya dan memperbanyakkan aktiviti perhubungan dengan Allah s.w.t mereka memberi alasan bahawa Rasulullah s.a.w dan sahabat-sahabat baginda s.a.w tidak meninggalkan dunia lantaran sibuk dengan Allah s.w.t. Mereka ini lupa atau tidak mengerti bahawa Rasulullah s.a.w dan para sahabat telah mendapat wisal atau penyerapan hal yang berkekalan. Hati mereka tidak berpisah lagi dengan Allah s.w.t. Kesibukan menguruskan urusan harian tidak membuat mereka lupa kepada Allah s.w.t walau satu detik pun. Orang yang mata hatinya masih tertutup dan cermin hatinya tidak menerima pancaran Nur Sir, tidak mungkin hatinya berhadap kepada Allah  s.w.t ketika sedang sibuk melayani makhluk Allah s.w.t. Orang yang insaf akan kelemahan dirinya akan mengikuti jalan yang dipelopori oleh Rasulullah s.a.w dan diikuti oleh para sahabat iaitu memisahkan diri dengan semua jenis kesibukan terutamanya pada satu pertiga malam yang akhir. Tidak ada hubungan dengan orang ramai. Tidak dikunjung dan tidak mengunjungi. Tidak ada surat khabar, radio dan televisyen. Tidak ada perhubungan dengan segala sesuatu kecuali perhubungan dengan Allah s.w.t.
 Dalam perjalanan tarekat   tasauf  amalan uzlah dilakukan dengan bersistematik dan latihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk dinamakan murid atau salik. Si salik menghabiskan kebanyakan daripada masanya di dalam bilik khalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baharu menjalani jalan kerohanian iaitu pergaulan dengan orang ramai. Imannya belum cukup teguh dan mudah menerima rangsangan daripada luar yang boleh menggelincirkannya untuk melakukan maksiat dan melalaikan hatinya daripada mengingati Allah s.w.t. Apabila dia dipisahkan dari dunia luar jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan perhubungan dengan Allah s.w.t.
 Semasa beruzlah, bersuluk atau berkhalwat, si murid bersungguh-sungguh di dalam bermujahadah memerangi hawa nafsu dan tarikan duniawi. Dia memperbanyakkan sembahyang, puasa dan berzikir. Dia mengurangkan tidur kerana memanjangkan masa beribadat. Kegiatan beribadat dan pelepasan ikatan nafsu dan duniawi menjernihkan cermin hatinya. Hati yang suci bersih menghala ke alam ghaib iaitu Alam  Malakut. Hati mampu menerima isyarat-isyarat  dari alam ghaib. Isyarat yang diterimanya hanyalah sebentar tetapi cukup untuk menarik minatnya bagi mengkaji apa yang ditangkap oleh hatinya itu. Terjadilah perbahasan di antara fikirannya dengan dirinya sendiri. Pada masa yang sama dia menjadi penanya dan penjawab, murid dan pengajar. Perbahasan dengan diri sendiri itu dinamakan tafakur.
 Pertanyaan timbul dalam fikirannya namun, fikirannya tidak dapat memberi jawapan. Ketika fikirannya meraba-raba mencari jawapan, dia mendapat bantuan daripada hatinya yang sudah suci bersih. Hati yang berkeadan begini mengeluarkan nur yang menerangi akal, lalu jalan fikirannya terus menjadi terang. Sesuatu persoalan yang pada mulanya difikirkan rumit dan mengelirukan, tiba-tiba menjadi mudah dan terang. Dia mendapat jawapan yang memuaskan hatinya kepada persoalan yang dahulunya mengacau fikiran dan jiwanya. Dia menjadi bertambah berminat untuk bertafakur menghuraikan segala kekusutan yang tidak dapat dihuraikannya selama ini. Dia gemar merenung segala perkara dan berbahas dengan dirinya, menghubungkannya dengan Tuhan sehingga dia mendapat jawapan yang memuaskan hatinya. Semakin dia bertafakur semakin terbuka kegelapan yang menutupi fikirannya. Dia mula memahami tentang hakikat, hubung-kait antara makhluk dengan Tuhan, rahsia Tenaga Ilahi dalam perjalanan alam dan sebagainya.
 Isyarat-isyarat tauhid yang diterima oleh hatinya membuat mata hatinya melihat bekas-bekas Tangan Allah s.w.t dalam alam maya ini. Dia dapat melihat bahawa semuanya adalah ciptaan Allah s.w.t, gubahan-Nya, lukisan-Nya dan peraturan-Nya. Hasil dari kegiatan bertafakur tentang Tuhan membawa dia bermakrifat kepada Allah s.w.t melalui akalnya. Makrifat secara akal menjadi kemudi baginya untuk mencapai makrifat secara zauk.
Dalam pengajian ketuhanan akal hendaklah tunduk mengakui kelemahannya. Akal hendaklah sedar bahawa ia tidak mampu memahami perkara ghaib. Oleh itu akal perlu meminta bantuan hati. Hati perlu digilap supaya bercahaya. Dalam proses menggilap hati itu akal tidak perlu banyak mengadakan hujah. Hujah akal melambatkan proses penggilapan hati. Sebab itulah Hikmat 12 menganjurkan supaya mengasingkan diri. Di dalam suasana pengasingan nafsu menjadi lemah dan akal tidak lagi mengikut telunjuk nafsu. Baharulah hati dapat mengeluarkan cahayanya. Cahaya hati menyuluh kepada alam ghaib. Apabila alam ghaib sudah terang benderang baharulah akal mampu memahami hal ketuhanan yang tidak mampu dihuraikannya sebelum itu.