بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Husein bin Ali bin Abi Thalib – Peristiwa Syahidnya Cucu Nabi
Peristiwa Kesyahidan Husein bin Ali bin Abi Thalib
Bulan Muharram merupakan
bulan yang agung dan memiliki banyak keutamaan; Nabi Musa ‘alaihissalam
diselamatkan dari Firaun dan bala tentaranya di bulan Muharram. Untuk
menghormati bulan ini, Allah haramkan peperangan walaupun perang
tersebut bertujuan meninggikan kalimat-Nya. Di bulan ini pun terdapat
suatu hari, yang dapat mengampuni dosa setahun yang lalu dengan berpuasa
di hari tersebut. Namun, bulan Muharram juga
mengisahkan sebuah duka, duka dengan wafatnya penghulu pemuda penghuni
surga, cucu Rasulullah, Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Terkait peristiwa tersebut, ada sebuah kelompok yang rutin memperingati wafatnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu dengan
cara meratapi dan menyiksa diri. Mereka berandai-andai jika saja waktu
itu mereka bersama Husein dan menolong Husein yang dizalimi. Mereka
menamakan diri mereka Syiah, pencinta dan pendukungahlul bait (keluarga
Nabi). Setiap orang bisa mengklaim diri sebagai penolong keluarga Nabi,
namun pertanyaannya adalah benarkah mereka menolongnya?!
Kita tidak hendak saling menyalahkan, tidak juga memicu perpecahan, kita hanya akan mengangkat fakta sejarah bagaimana cucu manusia yang paling mulia ini bisa terbunuh di tanah Karbala.
Kita awali kisah ini dengan memasuki tahun 60 H ketika Yazid bin
Muawiyah dibaiat menjadi khalifah. Saat itu Yazid yang berumur 34 tahun
diangkat oleh ayahnya Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah umat Islam menggantikan dirinya.
Ketika Yazid dibaiat ada dua orang sahabat Nabi yang enggan membaiatnya,
mereka adalah Abdullah bin Zubeir dan Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Abdullah bin Zubeir pun dipinta untuk berbaiat, ia mengatakan,
“Tunggulah sampai malam ini, akan aku sampaikan apa yang ada di
benakku.” Saat malam tiba, maka Abdullah bin Zubeir pergi dari Madinah
menuju Mekah. Demikian juga Husein, ketika beliau dipinta untuk
berbaiat, beliau mengatakan, “Aku tidak akan berbaiat secara
sembunyi-sembunyi, tapi aku menginginkan agar banyak orang melihat
baiatku.” Saat malam menjelang, beliau juga berangkat ke Mekah menyusul
Abdullah bin Zubeir.
Kabar tidak berbaiatnya Husein dan
perginya beliau ke kota Mekah sampai ke telinga penduduk Irak atau
lebih spesifiknya penduduk Kufah. Mereka tidak menginginkan Yazid
menjadi khalifah bahkan juga Muawiyah, karena mereka adalah pendukung
Ali dan anak keturunannya. Lalu penduduk Kufah pun mengirimi Husein
surat yang berisi “Kami belum berbaiat kepada Yazid dan tidak akan
berbaiat kepadanya, kami hanya akan membaiat Anda (sebagai khalifah).”
Semakin hari, surat tersebut pun semakin banyak sampai ke tangan Husein,
jumlanya mencapai 500 surat.
Tidak terburu-buru menanggapi isu ini, Husein mengutus sepupunya Muslim
bin Aqil bin Abi Thalib menuju Kufah untuk meneliti dahulu kebenaran
berita tersebut. Tibalah Muslim bin Aqil di Kufah dan ia melihat
kebenaran berita yang sampai kepada Husein. Penduduk Kufah pun membaiat
Husein melalui Muslim bin Aqil.
Kabar dibaiatnya Husein melalui Muslim bin Aqil sampai ke Syam, tempat
Khalifah Yazid bin Muawiyah. Ia segera mencopot gubernur Kufah, Nu’man
bin Basyirradhiallahu ‘anhu karena
Nu’man tidak mengambil tindakan apa pun atas kejadian itu. Sebagai
penggantinya, diangkatlah Ubaidullah bin Ziyad menjadi amir Kufah.
Ubaidullah langsung bergerak cepat hendak mengupayakan penangkapan
Muslim bin Aqil. Langkah pertama yang dilakukan Ubaidullah adalah
mengintrogasi sahabat-sahabat dekat Muslim. Ia menangkap Hani’ bin
Urwah, kemudian menanyai keberadaan Muslim kepadanya. Hani’ bin Urwah
bersikukuh tidak akan membocorkan rahasia persembunyian Muslim, akhirnya
ia ditahan.
Penahanan Hani’ bin Urwah memancing reaksi dari Muslim bin Aqil, ia
mengerahkan 4000 orang mengepung benteng Ubaidullah bin Ziyad menekannya
agar membebaskan Hani’. Sayang, kisah penghianatan penduduk Kufah
ternyata berulang, mereka yang sebelumnya membaiat Muslim bin Aqil pergi
meninggalkannya. Di siang hari saja jumlah 4000 tersebut menyusut hanya
menjadi 30 orang dan ketika matahari terbenam tinggallah Muslim bin
Aqil seorang diri. Akhirnya ia pun terbunuh. Sebelum wafat, ia memberi
pesan kepada Umar bin Sa’ad untuk menyampaikannya kepada Husein bin Ali
bin Abi Thalib “Pulanglah bersama keluargamu. Jangan engkau terpedaya
oleh penduduk Kufah. Karena mereka telah berhianat kepadamu dan
kepadaku.”
Husein radhiallahu ‘anhu Menuju Kufah
Pada saat hendak berangkat menuju Kufah, Husein bertemu dan dinasihati
oleh beberapa sahabat Nabi agar tidak menuju Kufah. Di antara sahabat
yang menasihati Husein adalah:
Abdullah bin Abbas “Kalau sekiranya orang-orang tidak mencela aku dan
engkau, akan aku ikat tanganku ini di kepalamu. Tidak akan kubiarkan
engkau pergi.”
Abdullah bin Umar, setelah mendengar keberangkatan Husein menuju Kufah,
ia bergegas menyusulnya dan berhasil bertemu dengannya setelah
perjalanan 3 malam.
Abdullah bin Umar: Hendak kemana engkau?
Husein: Menuju Irak.
Husein mengeluarkan surat-surat penduduk Irak yang menunjukkan mereka
berpihak kepada dirinya. Husein mengatakan, “Ini surat-surat mereka, aku
akan kesana dan menerima baiat mereka.”
Abdullah bin Umar: Aku akan sampaikan kepadamu sebuah hadis. Sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ia memberi pilihan kepada Nabi antara dunia dan akhirat, beliau pun
memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Engkau adalah darah daging
Rasulullah, demi Allah! Janganlah salah seorang dari kalian (keluarga
Nabi) mengambil dunia tersebut atau menggapai bagian yang telah Allah jauhkan dari kalian.
Husein pun tetap pada pendiriannya berangkat menuju Kufah. Melihat
pendirian Husein, menangislah Abdullah bin Umar dan mengatakan “Aku
titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.”
Abdullah bin Zubeir mengatakan, “Hendak kemana engkau wahai Husein?
Engkau mau menemui orang-orang yang telah membunuh ayahmu dan menghina
saudaramu (Hasan bin Ali)? Janganlah pergi! Namun Husein pun tetap
berangkat.
Abu Said al-Khudri mengatakan, “Wahai Abu Abdullah (maksudnya Husein pen.),
aku ada sebuah nasihat untukmu dan aku adalah orang yang sangat
mencintaimu. Aku mendengar berita bahwa Syiah (pendukung)mu di Kufah
menulis pernyataan kepadamu, mereka mengajakmu keluar dari Mekah dan
bergabung dengan mereka di Kufah. Janganlah engkau menemui mereka!
Sesungguhnya aku mendengar ayahmu sewaktu di Kufah mengatakan, ‘Demi
Allah, aku telah membuat mereka (penduduk Kufah) bosan dan marah dan
mereka pun membuatku bosan juga membuatku marah. Tidak ada seorang pun
di antara mereka yang memenuhi janji.”
Saat Husein melanjutkan perjalanan, sampailah Amir bin Sa’ad utusan dari
Muslim bin Aqil. Amir mengabarkan tentang terbunuhnya Husein dan
penghianatan orang-orang Kufah. Mendengar berita tersebut
Husein pun sadar apa yang ia lakukan akan sia-sia, ia pun memutuskan
untuk pulang. Namun anak-anak Muslim bin Aqil menginginkan perjalanan
dilanjutkan menuntut hukuman atas tewasnya ayah mereka.
Husein bin Ali bin Abi Thalib Tiba di Tanah Karbala
Mengetahui Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu berangkat
menuju Kufah, Ubaidullah bin Ziyad berencana mencegatnya agar tidak
memasuki Kufah dengan mengirim 1000 pasukan yang dipimpin oleh al-Hurru
bin Yazid at-Tamimi kemudian ditambah 4000 pasukan dibawah kepemimpinan
Umar bin Sa’ad.
Saat tiba di Karbala, Husein bertanya tentang nama daerah tersebut,
“Daerah apa ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.”
Husein pun langsung mengatakan, “Karbun (bencana) dan bala’ (musibah).”
Dibayang-bayangi 5000 pasukan membuat Husein semakin menyadari bahwa
janji-janji penduduk Kufah itu hanyalah bualan semata. Apalagi
pasukan-pasukan itu sendiri adalah penduduk Kufah yang telah
mengiriminya surat. Lalu Husein mengajukan 3 alternatif kepada pasukan
Kufah sebagai jalan keluar; pertama, Husein meminta agar pasukan Kufah
mengawalnya pulang ke Mekah (agar ia dan keluarganya terjaga) atau yang
kedua, pasukan Kufah mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan
agar ia bergabung dengan pasukan kaum muslimin untuk berjihad atau
alternatif ketiga, mereka mengizinkannya menuju Yazid agar ia
membaiatnya secara langsung.
Umar bin Sa’ad pun menanggapi positif pilihan yang diajukan Husein, ia
mengusulkan agar Husein mengirimkan utusan ke Yazid terlebih dahulu dan
ia sendiri mengirimkan utusan ke Ubaidullah untuk memberitakan kabar ini
sekaligus alternatif yang diajukan Husein.
Setibanya utusan Umar bin Sa’ad di hadapan Ubaidullah dan menyampaikan
apa yang dikehendaki Husein, Ubaidullah pun bergembira dan memberi
kemuliaan kepada Husein agar ia sendiri yang memilih sesuai dengan yang
ia kehendaki; kembali ke Mekah atau Madinah, menuju daerah perbatasan,
atau menuju Yazid di Syam, ia serahkan kepada pilihan Husein. Namun
seseorang yang dekat dengan Ubaidullah yang bernama Syamr bin Dzi
al-Jasyan angkat bicara atas keputusan Ubaidullah, “Demi Allah,
urusannya tidak demikian, dia yang harus tunduk kepada putusanmu.”
Maksud Syamr engkau (Ubaidullah) adalah pemimpin bukan dia (Husein),
jadi dia yang harus tunduk kepada putusanmu bukan sebaliknya. Ternyata
Ubaidullah yang tadinya memuliakan Husein berpaling mengikuti saran dari
sahabat dekatnya, Syamr bin Dzi al-Jausyan. Ubaidullah memutuskan
menawan Husein dan dibawa ke hadapannya di Kufah sebagai tawanan kemudia
ia yang menentukan kemana Husein seharusnya diasingkan.
Setelah sampai perintah Ubaidullah di tanah Karbala, Husein pun menolak
kalau dirinya dijadikan tawanan, ia seorang muslim terlebih ia adalah
keluarga Rasulullah. Karena Husein menolak untuk ditawan, maka pasukan
Ubaidullah itu berusaha menangkap paksa dirinya, Husein mengatakan,
“Kalian renungi dulu apa yang hendak kalian lakukan. Apakah dibenarkan
(secara syariat), kalian memerangi orang sepertiku? Aku anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anakdari putri Nabi kalian selain diriku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda tentang aku dan saudaraku (Hasan bin Ali), ‘Dua orang ini adalah pemimpin para pemuda penghuni surga.’
Akhirnya Husein pun terbunuh bersama keluarga Rasulullah yang lain.
Seorang yang secara langsung membunuh Husein dan memenggal kepalanya
bernama Sinan bin Anas.
Demikianlah mereka yang mengaku Syiah (pendukung) Ali dan keluarganya, mereka membelot dan menumpahkan darah ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam
peristiwa ini, ada tiga orang yang berperan besar sehingga cucu Nabi
yang mulia ini tewas. Mereka adalah Ubaidullah bin Ziyad, Syamr bin Dzi
al-Jauzyan, dan Sinan bin Anas, ketiga orang ini adalah Syiah
(pendukung) Ali di Perang Shiffin, mereka termasuk dalam barisan pasukan
Ali bin Abi Thalib. Bisa jadi mereka yang meratapi kematian Husein di
hari Asyura, menganiaya diri mereka, berandai-andai bersama Husein, dan
merasakan penderitaannya, seandainya mereka berada di hari tersebut.
Mereka akan turut serta dalam pasukan Kufah dan membelot dari Husein bin
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.