SEJARAH ULAMA’NUSANTARA
PEMBIMBING UMMAH DI TANAH JAWA
DAN SEKITARNYA
Walisongo atau Walisanga dikenal
sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di
tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya
dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan
Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat
besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para
Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti
Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang
ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa
kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti
tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa
Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan
Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan
(Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan
Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji
(Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra
dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan
Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual
yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam
beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan.
Nama-nama Walisongo
Meskipun terdapat perbedaan pendapat
mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat
sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal,
yaitu:
- Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
- Sunan Ampel atau Raden Rahmat
- Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
- Sunan Drajat atau Raden Qasim
- Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
- Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
- Sunan Kalijaga atau Raden Said
- Sunan Muria atau Raden Umar Said
- Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah
Para Walisongo tidak hidup pada saat
yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila
tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh
yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah
seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan
keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi
babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu
cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa
ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana
Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa
Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan
Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa.
Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa,
dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian,
beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku)
adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah
cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para
Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain
kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat
yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta.
Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]
Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah
seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di
tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia
kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil
Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin
van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil
Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin
Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]
Silsilah Syekh Maulana Akbar
(Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut:
Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali
al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi
Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad
Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah
(al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana
Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian
besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana
Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara;
adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang
berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang
berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al
Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan)
memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan
para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat
tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di
Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat
dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat
turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana
Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat
sumber sejarah lainnya.
Syekh Quro
Syekh Quro adalah pendiri pesantren
pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun
1428.[4]
Nama aslinya Syekh Quro ialah
Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar
agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang
dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia
turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah
Tanjung Pura, Karawang.
Syekh Quro sebagai guru dari Nyai
Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang
cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa
Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga
Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang
selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.
Makam Syekh Quro terdapat di desa
Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.
Syekh Datuk Kahfi
Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh
asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang.
Ia bernama asli Idhafi Mahdi.
Majelis pengajiannya menjadi
terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran
Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya
dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah
tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah,
cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif
Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Makam Syekh Datuk Kahfi ada di
Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.
Syekh Khaliqul Idrus
Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang
muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia
diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh
Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.
Syekh Khaliqul Idrus di Jepara
menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden
Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri
Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad
Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul
Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati
Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus
dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang
menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat
lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur
penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar
adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh
Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut:
L.W.C van den Berg, Islamolog dan
ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le
Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[6] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam
penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif.
Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa
dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut
(yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah
keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
van den Berg juga menulis dalam buku
yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah
terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan
Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan
sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di
kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena
sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW).
Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran
baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek
moyangnya.”
Pernyataan van den Berg spesifik
menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran
sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari
abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum
Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
Hingga saat ini umat Islam di
Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di
Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia.
Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan
dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
Kesamaan dalam pengamalan madzhab
Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan
Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah
dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar,
Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i
Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari
Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi.
Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut
adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i
dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang
berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama
menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering
dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14,
yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin
Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad
ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh
hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang
banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar,
Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang
kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan
bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[7] Pendapat tersebut
mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah
keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku
tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan
dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini
masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat
diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk
kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada
seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga
sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai
sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van
den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di
Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut
nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan
referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J.
de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in
the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia
meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan
bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat
ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [8].
Sumber tertulis tentang Walisongo
1. Terdapat beberapa sumber tertulis
masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya
Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri
II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak
dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî
b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan
tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta:
Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin
Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah
Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para
keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu
Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid
Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung
Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Referensi
1. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat
Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage.
2. ^ Istilah maqam, selain berarti
kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi
seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram.
3. ^ van Bruinessen, Martin, 1994.
Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya
influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 150, hal 305-329.
4. ^ Drs. H. Ridwan Saidi (27 Maret
2007). Disampaikan pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi.
Diselenggarakan oleh JIC (Jakarta Islamic Centre), Jakarta. Artikel Republika
Online: Jumat, 13 April 2007.
6. ^ van den Berg, Lodewijk Willem
Christiaan, 1886. ”Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien.
Impr. du gouvernement, Batavia.
7. ^ Muljana, Slamet (2005).
Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara.
LkiS, xxvi + 302 hlm.. ISBN 9799798451163.
8. ^ Russell Jones, review on
Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by H. J. de
Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental
and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm.
423-424.
Sunan Bonang
Sunan Bonang
adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik
penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk
Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang.
Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang
sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya
sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J.
Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya.
Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana
Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel
dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525
M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering
diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua
karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang
muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai
ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat
membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat
melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang
mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka
memperebutkannya.
Silsilah
Terdapat silsilah yang menghubungkan
Sunan Bonang dan Nabi Muhammad
- Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
- Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
- Maulana Malik Ibrahim bin
- Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
- Ahmad Jalaludin Khan bin
- Abdullah Khan bin
- Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
- Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
- Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
- Ali Kholi’ Qosam bin
- Alawi Ats-Tsani bin
- Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
- Alawi Awwal bin
- Ubaidullah bin
- Ahmad al-Muhajir bin
- Isa Ar-Rumi bin
- Muhammad An-Naqib bin
- Ali Uradhi bin
- Ja’afar As-Sodiq bin
- Muhammad Al Baqir bin
- Ali Zainal ‘Abidin bin
- Hussain bin
- Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).
Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra
berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil
yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga
menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang
kini masih sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya sastra dalam
bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh
ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan)
Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap
bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal
ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah
SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan[rujukan?] yang
disebut dengan rahasia Alif Lam Mim yang artinya hanya Allah SWT yang tahu.
Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau
ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari
huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan
simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh
dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk
menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya
diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang
diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud
atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang
masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan
nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
Sunan Muria
Sunan Muria
atau Raden Umar Syaid, atau Raden Said adalah putera dari Sunan Kalijaga dalam
perkawinannya dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung. Nama kecilnya ialah
Raden Prawoto. Dadi kakak Sunan Kudus, Sunan Muria memperoleh seorang putera
yang diberi nama pangeran santri, dan kemudian mendapat julukan dengan : Sunan
Ngadilungu.f
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Muria atau Raden Umar Syaid, atau Raden Said adalah putera dari Sunan Kalijaga
dalam perkawinannya dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung. Nama kecilnya
ialah Raden Prawoto. Dari kakak Sunan Kudus,
Sunan Muria memperoleh seorang putera yang diberi nama pangeran santri, dan
kemudian mendapat julukan dengan : Sunan Ngadilungu.
Sunan Muria juga terhitung salah
seorang penyokong dari kerajaan Bintoro yang setia, disamping ikut pula
mendirikan masjid Demak., semasa hidupnya dalam menjalankan dakwah ke-Islam-an,
yang menjadi daerah operasinya terutama adalah di desa-desa yang jauh letaknya
dari kota pusat keramaian. beliau lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal
di desa, bergaul serta hidup di tengah-tengah rakyat jelata, sunan muria lebih
suka mendidik rakyat jelata tentang agama Islam disepanjang lereng Gunung Muria
yang terletak 18 km jauhnya sebelah utara kota Kudus sekarang.
Cara beliau menjalankan dakwah
ke-Islam-an, adalah dengan jalan mengadakan kursus-kursus terhadap kaun dagang,
nelayan, pelaut dan rakyat jelata, beliaulah kabarnya yang mempertahankan tetap
berlangsungnya gamelan sebagai satu-satunya sebagai seni jawa yang sangat
digemari rakyat serta dipergunakannya untuk memasukkan rasa ke-Islam-an ke
dalam jiwa rakyat untuk mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Disamping itu beliau adalah pencipta
dari gending “sinom dan kinanti”. Kini beliau dikenal dengan sebutan Sunan
Muria, oleh karena beliau dimakamkan diatas gunung Muria, termasuk dalam daerah
kerajaan Kudus.
Sunan Kudus
Sunan Kudus
adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah adik dari
Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai
seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan
Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia
banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang
pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya
Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal
ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam.
Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Kudus Ja’far Sodiq, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, adalah
putera dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngudung di
Jipang Panolan (ada yang mengatakan letaknya disebelah utara kota blora). Dalam
hubungan ini di dalam sejarah, kita mengenal pula seorang wali yang tekenal di
Iran, yang hidup dalam abad ke VIII, yang namanya juga Ja’far Sodiq seorang
Imam Syi’ah yang keenam.
Sunan Kudus adalah putra dari Sunan
Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro, dan Syarifah, adik
dari Sunan Bonang.
Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai
panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan
Prawoto, dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima
perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim
pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Dalam melakukan dakwah penyebaran
Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat
untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara
Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat
Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus
mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal
dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang
Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah.Peninggalan lain
dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong
hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat
penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban
kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh
masyarakat Kudus hingga saat ini.
Semasa hidupnya Sunan Kudus
mengajarkan agama Islam disekitar daerah Kudus khususnya dan di Jawa Tengah
pesisir utara pada umumnya. beliau terhitung salah seorang ulama, guru besar
agama yang telah mengajar serta menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan
sekitarnya. terkenal dengan keahliannya dalam ilmu agama. terutama dalam Ilmu
Tauhid, Usul , Hadits, Sastra Mantiq dan lebih-lebih di dalam Ilmu Fiqih
Oleh sebab itu beliau digelari
dengan sebutan sebagai Waliyyul ‘Ilmi. menurut riwayat beliau juga termasuk
salah seorang pujangga yang berinisiatif mengarang cerita-cerita pendek yang
berisi filsafat serta berjiwa agama. diantara buah ciptaannya yang terkenal,
ialah Gending Maskumambang dan Mijil. Adapun Imam Ja’far Sodiq yang terkenal di
Iran itu tidak saja sebagai seorang imam dari kaum Syi’ah, akan tetapi juga
sebagai seorang yang terkemuka di dalam soal-soal hukum maupun ilmu pengetahuan
lainnya.
Dengan demikian, maka menurut hemat
kita Ja’far Sodiq yang terkenal di Iran sebagai seorang wali, seorang imam dari
golongan Syi’ah yang amat dipuja serta dihormati itu, kiranya bukanlah Ja’far
Sodiq seorang wali yang menjadi salah seorang anggota dari kesembilan wali di
Jawa, yang makamnya terdapat di kota Kudus, adapun Ja’far Sodiq yang kemudian
ini, terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Disamping bertindak sebagai guru
agama Islam. juga sebagai salah seorang yang kuat syariatnya, Senan Kudus-pun
menjadi senopati dari kerajaan Islam di Demak.
Antara lain yang termasuk bekas
peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan
sebutan masjid menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat
sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng
(legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan
Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah arab, kemudian
beliaupun mengajar pula di sana. pada suatu masa, di tanah arab konon
berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit mana kemudian
menjadi reda, berkat jasa sunan kudus., oleh karena itu, seorang amir disana
berkenan untuk memberikan suatu hadian kepada beliau. akan tetapi beliau
menolak,hanya kenang-kenangan beliau meminta sebuah batu. Batu tersebut katanya
berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada
kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama
Kudus. Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal
dengan sebutan menara Kudus.
Adapun mengenai nama Kudus atau Al
Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : “Al kuds
the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it
commonly bait al makdis (according to some : mukaddas), with really meant the
temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but itu because
applied to the whole town.”
Mengenai perjuangan Sunan Kudus
dalam menyebarkan agama Islam tidak berbeda dengan para wali lainnya, yaitu
senantiasa dipakai jalan kebijaksanaan, dengan siasat dan taktik yang demikian
itu, rakyat dapat diajak memeluk Agama Islam.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur.
Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit
dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya
dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden
Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta
atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya,
Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat
Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan
Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga
disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3
putra: R. Umar Said (Sunan Muria),
Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau dimakamkan di
Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih
ramai diziarahi orang.
Sejarah Hidup
Masa hidup Sunan Kalijaga
diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa
akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon
dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
“tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang
sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya
cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).
Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal.
Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka
mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan
Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan
lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam
mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah
Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan
sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan
Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat
efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga;
di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta
Pajang.
Sunan Giri
Sunan Giri
adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin
Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan
Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang
selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia
timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal
ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan
Bima.
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Giri adalah nama salah seorang
Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah
Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa
nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden
‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat
yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia
adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah.
Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan
bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur
keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir,
Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’
Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan),
Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin
Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa
Timur, dan catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan
dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi
Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir
Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah
penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu
menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan
oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia
diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih.
Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko
Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel.
Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel
mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel
mengirimnya dan Makdhum Ibrahim
(Sunan Bonang),
untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang
tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata
bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada
ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden ‘Ainul Yaqin kembali ke
Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa
Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia
dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi
terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan
pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri
Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai
akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni
tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri,
diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan
Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti
Asmaradana dan Pucung.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra
Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan
keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga
Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan
pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya
yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan
menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal
berdirinya Kesultanan Banten.
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M,
namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan
Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Orang Tua
Sunan Gunung Jati bernama Syarif
Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin
Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh
dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana
Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal
Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad
Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada
Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai
Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga
Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan
Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam
klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.
Silsilah
- Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
- Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
- Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan @ ‘Ali Nurul ‘Alam
- Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin
- Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
- Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan bin
- Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
- Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
- Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
- Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
- Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
- Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
- Sayyid Alawi Awwal bin
- Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
- Ahmad al-Muhajir bin
- Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
- Sayyid Muhammad An-Naqib bin
- Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
- Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
- Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
- Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
- Al-Imam Sayyidina Hussain
- Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad
Silsilah dari Raja Pajajaran
- Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
- Rara Santang (Syarifah Muda’im)
- Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
- Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
- Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I
- Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)
Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah
Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran
Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang
yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama
asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa kita
temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif
Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat
(lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis
yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan
mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang
(tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis
Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana
Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu
mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong
perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu
Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar
melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Proses belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi
kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika
telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur
Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali
(mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai
bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika
Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka
sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun
kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu
setelah Uwaknya wafat.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar
diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu
bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri
yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten
I.
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para
sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana
beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang
sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar
37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi
Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan
Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan
beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah
sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam
Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak
adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai
Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang
telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh,
bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai
pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan Demak
antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif
Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami
gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit
(di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah
mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif
Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam
beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh
Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama
berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti
ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan
Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka
salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring
masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi
pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya
Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif
Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan
Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir
Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan
putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati
Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan
Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan
dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di
Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing
Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan
telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan
bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh
Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat
diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis
Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah
Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada
Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah
bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka
1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa
secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi
Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara
Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi
Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan
moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak
wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima
Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari
personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu
kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam
usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan
terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan
yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar
Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton
masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka
harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk
diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang
sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan
Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan
Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat
Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam
sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena
keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus
pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli
hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka
menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk
agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di
dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan
yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana
Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya.
Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang
diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah
dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib
sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak
menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah
peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya
Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga
1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal
dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di
Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif
Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Sunan Drajat
Sunan Drajat
adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia
menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat,
sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara
mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya
adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra
dari Sunan Ampel,
dan bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat
mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama
kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan
kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam
di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini
diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden
Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh
dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer – Panarukan), namun bila
lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.
Sejarah singkat
Sunan Drajat bernama kecil Raden
Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah
pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil tempat di Desa Drajat wilayah
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar
abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan
Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam
yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia
terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman
tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras,
kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke
arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk
mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya
menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan
menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan
Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520
Masehi.
Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam
pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran
komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga
tersebut sebagai berikut :
- Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
- Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
- Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
- Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
- Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita – cita luhur).
- Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
Menehono teken marang wong kang
wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang
wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi
pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan
pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Penghargaan
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga
dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa –
sisa gamelan Singomengkoknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa – jasa Sunan
Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk
melestarikan budaya serta benda-benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat,
keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam,
Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Musium Daerah Sunan Drajat disebelah
timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1
Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad
Faried, SH untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini
mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu
pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangunan Gapura Paduraksa
senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu untuk pembangunan
kembali Masjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal
27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs
Makam Sunan Drajat dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban,
bale rante serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP.
131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14
Januari 1994.
Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga
Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan
lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[1] Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal.
Malik Ibrahim umumnya dianggap
sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara
baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan
masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim
berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada
tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan,
Gresik, Jawa Timur.
Posted on 7 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Gresik atau Maulana Malik
Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo,
yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia
dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang
meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya
disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang
diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari
Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma
menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti
pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa
Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad
14.[1]
Dalam keterangannya pada buku The
History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles
menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang
Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu
Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans[2]
lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.[3]
Namun demikian, kemungkinan pendapat
yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima
tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang
mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]
Terdapat beberapa versi mengenai
silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan
Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin,
Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa
ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah,
Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih,
Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal,
Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim. [5] [6]
[7] [8]
Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap
termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa,
dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.[9] Beberapa versi
babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang
ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran,
Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai
menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama
di desa Pasucinan, Manyar.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah
mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa
diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara
tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya
memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat
keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama
Islam.[10]
Sebagaimana yang dilakukan para wali
awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah
berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan
desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan
masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta
dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal
atau pemodal.[12]
Setelah cukup mapan di masyarakat,
Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di
Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan
baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah
itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut
diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada
saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing
termasuk dari Asia Barat. [13]
Demikianlah, dalam rangka
mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran
Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat
mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih
diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam
berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai
berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan
setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya.
Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat
Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.[14]
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan
bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim
dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau
Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di
Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil
Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka
berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke
Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan
bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin)
selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra;
yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri.
Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa
dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya
menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita
rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil
dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati
masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah
diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Wafat
Setelah selesai membangun dan menata
pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat.
Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang
tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
Ini adalah makam almarhum seorang
yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada
rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat
sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang
berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal
dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga
menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.
Sunan Ampel
Sunan Ampel
bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat
adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan
masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja
Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat
penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah
anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak
di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Posted on 7 November 2009 by Murid
Paramartha
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan
lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini.
Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri
kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa
terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua
Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi
raja di sana.
Ibrahim Asmarakandi disebut juga
sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh
Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.
Silsilah
- Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
- Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin
- Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
- Ahmad Jalaludin Khan bin
- Abdullah Khan bin
- Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
- Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
- Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
- Ali Kholi’ Qosam bin
- Alawi Ats-Tsani bin
- Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
- Alawi Awwal bin
- Ubaidullah bin
- Ahmad al-Muhajir bin
- Isa Ar-Rumi bin
- Muhammad An-Naqib bin
- Ali Uraidhi bin
- Ja’far ash-Shadiq bin
- Muhammad al-Baqir bin
- Ali Zainal Abidin bin
- Imam Husain bin
- Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah
Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah
keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk
keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua
anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa.
Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana
Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak
mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah
Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri
Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa
pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang
putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai
Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka
dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan ibu
dari Sunan Kudus.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel
mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada
tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya
Posted on 9 November 2009 by Murid
Paramartha
Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam
banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah
seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di
Pulau Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat
terdapat banyak varian cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya
sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan
tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual
yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang
dalam pupuh, yaitu karya sastra yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang
sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan
ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo.
Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo
terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo
.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling
kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan
kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang
bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya,
yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari
kehidupan yang hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat
dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak
termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah.
Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa
manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu:
syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku
sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga
berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman
inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip dengan konsep
Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan
Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan kesamaan
sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat
dll); 2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu
dan hitungan tertentu; 3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian
hidup akan ditemukan; dan 4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna
seluas-luasnya. Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut
maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa
dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan
oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan
tahun pasca wafatnya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar
kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan
adalah pada tingkatan ‘syariat’. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki
tahap ‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan
yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti
Jenar hanya dapat dibendung dengan kata ‘SESAT’.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar
merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu
dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa.
Hanya saja masing – masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda – beda
dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu,
masing – masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan
bahwa agamanya yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan
agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan
ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti
belum bisa disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya
berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan.
Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan
Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk.
Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi bersatu dengan
Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling
Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari
ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan
manusia (“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya
dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya (Shaad; 71-72)”)>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan
ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an
dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh
manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.
Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti
saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini terutama dalam agama Islam
yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha
Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana
Allah bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak
Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah….
disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak,
Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini…. dan inilah yang
dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada
AlQuran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah
ditetapkan Allah untuk manusia.Karena hamba ini akan gampang terpengaruh
syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan
menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll… mereka adalah hamba yang ingin
dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati masa ini, karena
apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa
mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah
melewati masa ini dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini
akan menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta jasadnya.
Seperti juga Syekh Siti Jenar yang kematiannya menjadi kontroversi.Dalam
masyarakat jawa kematian ini disebut “MUKSO” ruh beserta jasadnya diangkat
Allah.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan
bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang
dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi
lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi
di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu
telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan,
Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat
salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah
keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik
di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo
yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus
berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini
membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera
menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat
ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri
Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon
akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di
mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat
untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah
membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh
Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga,
Pangeran Modang, Sunan Kudus,
dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi
perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut
Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti
Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat
menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti
Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya,
serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo,
Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang
misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah pada saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan
bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat
Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti
Jenar.
Jenazah Siti Jenar sendiri
dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia
dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh
Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan
yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang
Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
Posted on 20 November 2009 by Murid
Paramartha
Raden Patah adalah pendiri dan
sultan pertama Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1500-1518. Pada masanya
Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.
“Saya adalah ulama asing yang
datang ke Pulau Jawa. Hanya sementara waktu saja saya memimpin masyarakat Islam
Jawa berkat ijin Sang Prabu (Raja Majapahit). Berbeda dengan kamu. Kamu orang
Jawa tulen, turun-temurun orang Jawa yang memiliki Pulau Jawa.”
Kata-kata Sunan Ampel
(salah seorang Wali Songo)
itu telah menjadi perangsang kepada Raden Patah yang kemudiannya telah
menegakkan kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam yang pertama di Jawa. Raden
Patah telah memainkan peranan yang amat penting dalam pengislaman orang-orang
di Jawa dan timur Nusantara. Dengan berdirinya kerajaan Islam Demak dan
penaklukannya atas kerajaan Hindu Majapahit serta pengusiran tentara Portugis
dari Jawa Barat, jalan pengislaman Jawa menjadi terbuka lebar. Pembangunan
kerajaan Islam Demak merupakan satu titik peralihan dalam sejarah Jawa dan
timur Nusantara.
Asal-Usul Raden Patah
Terdapat berbagai versi tentang
asal-usul pendiri Kesultanan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden
Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang
selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa
merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra
sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah,
putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen.
Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po
Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre
Kertabhumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Kemudian selir
Cina diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang.
Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan tahun
kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi
belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama
asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik.
Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.
Menurut Sejarah Banten, Pendiri
Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu
Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati
Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah
adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas
jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak
bergelar Arya Sumangsang.
Menurut Suma Oriental karya Tome
Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah
di Gresik.
Meskipun terdapat berbagai versi,
namun terlihat kalau pendiri Kesultanan Demak memiliki hubungan dengan
Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.
Raden Patah Mendirikan Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden
Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke
pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada
Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan
Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah
pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi
semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak.
Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah
untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah
ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah
sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan
Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Cina, Jin Bun pindah
dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477
sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun,
berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia
mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di
Bing-to-lo.
Perang Demak dan Majapahit
Perang antara Demak dan Majapahit
diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat
Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit
karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal
Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam
serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki
takhta Majapahit selama 40 hari.
Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong
juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun
1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun
menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap
dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan
Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati
karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi
sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan
Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti
Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga
mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit.
Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena
serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Pemerintahan Raden Patah
Apakah Raden Patah pernah menyerang
Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja pertama Kesultanan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman
Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya,
bergelar Sultan Syah Alam Akbar.
Nama Patah sendiri berasal dari kata
al-Fatah, yang artinya “Sang Pembuka”, karena ia memang pembuka kerajaan Islam
pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid
Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian
Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain,
sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa
kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho
yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi
umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah
babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi
persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen
agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak
Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Tome Pires dalam Suma Oriental
memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid
Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus
bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.
Tokoh Pate Unus
ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang diberitakan menyerang bangsa
asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus
adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua
berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan
armada Demak hancur dalam pertempuran ini.
Menurut kronik Cina, Jin Bun alias
Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Ia digantikan Yat
Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran
Sabrang Lor.
Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad dan serat,
Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel
, menjadi permaisuri utama, melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang
masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang
Lor dan Sultan Trenggana.
Istri yang kedua seorang putri dari
Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada
pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.
Istri yang ketiga adalah putri
bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran
Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing
memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden
Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena
itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang
gugur di sungai.
Kronik Cina hanya menyebutkan dua
orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing
identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Suma Oriental menyebut Pate Rodin
memiliki putra yang juga bernama Pate Rodin, dan menantu bernama Pate Unus.
Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya dari
pada Pate Unus
. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang
Lor.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan