AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Jumaat, 30 November 2012

Konspirasi Global Dakwah Syiah

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Konspirasi Global Dakwah Syiah

Konspirasi Global Dakwah Syiah


Idelisme Khomeini tentang Revolusi Iran tahun 1979 menginspirasi aktivis Islam di belahan dunia, sekaligus menyingkap intrik-intrik politik Khomeini untuk internasionalisasi Syiah yang ambisius. Strategi dan perencanaannya sangat politis, namun tetap ideologis. Ambisinya boleh dikata melebihi batas-batas ajaran Syiah. Tapi memang, status ajaran Syiah paska imam kesebelas ghaib tidak selalu stagnan, tapi berkembang. Mungkin mengikuti jalur pemikiran para pengganti sementara imam Syiah. Dia menegaskan, revolusi yang ia gerakkan bukan sekedar revolusi lokalitas Syiah Iran, namun mencitrakan Republik Iran sebagai pusat global Islam. Ambisinya bukan sekedar menjadikan dirinya pemimpin tertinggi Iran, atau pempimpin kaum Syiah di dunia, tapi juga memimpikan semua elemen dunia mengakuinya sebagai pemimpin tertinggi. Mimpi politis ini digerakkan oleh tuntutan ideologis dengan konsep imamah-nya.
Maka, ia merancang strategi-strategi politis untuk diterapkan kepada umat Sunni seluruh dunia. Ketika berdiri di dalam orang Sunni, Khomeini memberikan kesan netral.  Ia menciptakan citra diri sebagai seorang pahlawan. Vali Nasr, intelektual muda Syiah yang moderat dalam bukunya Shiah Revival (edisi Indonesia “Kebangkitan Syiah, Islam, Konflik dan Masa Depan) membedah kondisi di dalam internal Revolusi 1979. Khomeini sesungguhnya sadar, betapa sulit untuk dapat diterima sebagai pemimpin Islam di kalangan Sunni. Meski momentumnya cukup tepat, di saat kaum Muslimin merindukan kejayaan di saat keterpurukan di bawah bayang-bayang imperialism Barat. Namun, Sunni yang sekian lama dalam sejarah menjadi rival teologi dan politik tidak lah mudah diajak dalam satu garis pengendalian politik. Maka, dagangan politik yang ditawarkan adalah mencitrakan Iran sebagai pengawal terdepan revolusi Islam dunia. Tapi kaum Sunni tidak membelinya[1].
Vali Nasr, yang juga putra Seyyed Hossein Nasr,  seakan membukan tabir wajah Syiah modern di Iran pasca Revolusi 1979. Khomeini akhirnya membuat jalan keluar. Ia memusatkan pada isu-isu konfrontasi sekularisme dan Barat, daripada menggugat seputar agama yang lebih memungkinkan terjadinya perpecahan. Dua langkah ditempuh. Mencitrakan diri sebagai ikon penentang sekularisme, Barat dan lebih anti-Israel daripada Barat, dan fokus pada gerakan Islam tentang perlawanan terhadap orang luar. Vali memandang, ambisi Khomeini tersebut dalam rangka agar diterima sebagai pemimpin Muslim dunia, serta menyatukan Syiah dan Sunni di bawah jubahnya. Ambisi menaungi Sunni dalam jubahnya, ternyata tidak lah mudah. Sebab, pemikiran Sunni sangat kuat, apalagi mayoritas sedunia. Boleh dikata, Khomeini tidak sukses. Namun, hasil sampingannya itu tetap bisa masuk ke dalam Negara-negara Muslim.
Ambisi Khomeini untuk memposisikan dirinya sebagai pemimpin mutlak menurut Vali Nasr, mirip sistem kepausan Katolik. Paus bagi umat Katolik adalah perantara Tuhan setelah disalibnya Yesus. Khomeini dengan system wilayat al-faqih-nya menggantikan imam yang ghaib menentukan jalannya pemerintahan dan kekuasaan Islam. Menurut Khomeini, otoritas yang dimiliki faqih dalam hal pemerintahan sama dengan otoritas yang dimiliki Rasul dan imam, dalam arti bahwa kewajiban melaksanakan sayariat Islam tidak ada bedanya antara Rasul dan para imam. Khomeini mengajukan ‘hadist’ yang dikalangan Syiah disebut hadist tawqi’, yaitu perintah imam Mahdi kepada kaum Syiah untuk menunjuk kepada para fuqaha’ dalam masalah-masalah yang mereka hadapi, dan hadist yang dikenal dengan maqbulah Umar Ibn Hanzalah yang telah mengangkat fuqaha’ sebagai hakim (penguasa dan atau pemutus perkara) yang terjadi dalam masyarakat Syiah[2]. Atas dasar pandangan ini, Khomeini pernah menggaungkan “ekspor revolusi” ke negeri-negeri Islam.
Kerangka kekuatan revolusi Iran terbangun dari semangat messianisme Syiah. Khomeini dengan Syiah-nya begitu kuat menanamkan harapan ke masa depan, yang memberikan agama dengan suatu kerangka untuk memahami sejarah dan politik masa kini, seperti halnya misteri juru selamat di akhir zaman. Rumor-rumor berbau mistik kerap diungkapan para pengikut setia Khomeini. Misalnya disebar rumor bahwa mereka melihat wajah Khomeini di bulan, yang dijadikan sebagai bukti bahwa Allah telah memberkati setiap keinginannya.
Menurut Vali, sesungguhnya Khomeini gagal mempersatukan Islam dalam posisi di bawah kepemimpinannya. Buah ambisinya melahirkan perang delapan tahun dengan Irak, tetangganya. Saddam Hussein, Presiden Irak, sangat khawatir gelombang revolusi akan mungkin meluber ke Negara tetangga. Sementara Iran sangat mengharapkan bahwa warga Syiah Irak yang mayoritas itu akan menjawab panggilan Khomeini untuk memberontak Saddam Husein. Khomeini barangkali sukses di Lebanon. Ia berhasil menanan Garda Revolusinya di Lebanon. Garda Revolusi cukup tangguh, bahkan militer pemerintah Lebanon kalah kuat. Faksi Garda Revolusi inilah yang kemudian hari menjadi Hizbullah. Gaung Akal politik Khomeini cerdik. Ia lantas mengelolanya dengan membangkitkan perasaan anti-Amerika, menanamkan ketakutan serta kecurigaan di mata Barat. Gaung Hizbullah yang sukses membunuh ratusan tentara Israel pada 1982-1984 sangat kuat menarik perhatian sekelompok masyarakat Arab.
Namun, selain kegagalannya, revolusi Iran sesungguhnya bukan keberhasilan dunia Islam merdeka dari hegemoni Barat. Melainkan keberhasilan Khomeini dengan Syiah koservatifnya atas Syah Reza Pahlevi dengan Syiah modernnya. Korban revolusi tidak hanya menimpa kaum Sunni, tapi juga rivalnya yang berpaham Syiah modern.  Minoritas Sunni dibohongi dengan janji untuk mendapatkan wakil di parlemen atau pemerintah. Padahal kaum Sunni menyatakan kesediaan mendukung revolusi gara-gara ada janji politis dari Khomeini. Semuanya berbalik. Kaum Sunni kesulitan mendirikan masjid dan sekolah di Teheran. Sadeg Gotbzadeh, Perdana Menteri era Pahlevi, dihukum mati, Ayatullah Syariat Madari, rival politik Khomeini dikucilkan hingga mati dalam derita tahanan rumah, bahkan Ayatullah Bahesti tewas dibom. Jadi, revolusi membangkitkan radikalisme kaum Syiah konservatif.
Intrik-intrik politik makin kentara, ketika ada tawaran damai perang panjang Iran-Irak, Khomeini menolaknya dengan mengibaratkan seperti minum racun. Isu anti-Amerika dan Israel yang digaungkan di dunia Islam tiba-tiba menciut ketika terkuak skandal “Iran-Gate”. Kasus pembelian senjata Iran kepada Isrel secara diam-diam. Bahkan jual beli senjata selama perang dengan Irak tersebut melibatkan AS. Ada sesuatu yang tertupi dan sengaja diburamkan di sini. Tanda tanya menjadi besar, ketika ada kabar guru Khomeini, Ayatullah Abul Qisim Kashani, disebut-sebut sebagai agen CIA dalam buku Devil’s Game Orkestra IblisIi). Revolusi Iran memang penuh dengan tanda-tanya dan inkonsistensi. Tapi memang itulah siasat politik. Dari siasat yang demikian, revolusi diekspor ke Negara-negara Muslim, termasuk di Indonesia.
  1. A.   Ekspor Revolusi Melalui Beasiswa
Salah satu strategi Iran untuk memperluas jaringan Syiah adalah melalui jalur pendidikan. KH. Ali Maschan Musa, mantan ketua PWNU Jawa Timur, ketika berkunjung ke Iran pada tahun 2007 menginformasikan bahwa ada ribuan pelajar Indonesia yang belajar di Iran. Menurut anggota DPR RI ini keberadaan mereka patut diwaspadai. Ia juga menghimbau kepada kepolisian, bahwa Polri juga harus ikut memerhatikan aliran Syiah selain mewaspadai penyebaran Ahmadiyah di Indonesia.
Keberadaan kader-kader mereka bisa memicu ketidakstabilan di Indonesia. Ali Maschan mengaku, pelajar-pelajar asal Indonesia itu meminta agar mereka punya masjid sendiri. Kondisi macam itu, kata Ali, juga harus menjadi perhatian Polri ke depan “Kalau memang kembali, mereka (pelajar Indonesia di Iran) itu akan menjadi pekerjaan Polri,” katanya. Ali mengatakan adanya pelajar Indonesia yang belajar Syiah di Iran itu datang atas beasiswa dari pemerintah Iran. Jumlah penerima beasiswa itu sebanyak 5000 orang. Ia memperkirakan total ada sekitar 6000-7000 an mahasiswa jika ditambah dengan para mahasiswa yang menerima beasiswa langsung dari mullah-mullah Iran (www.republika.co.id 11/03/03). Kampus-kampus yang dituju untuk belajar di antaranya di ibukota Iran Teheran, Isfahan, Qozvin dan yang masyhur di Hauzah Qom. Ini berarti dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan diramaikan oleh demam paham Syi`ah. Karena dalam hitungan 4-5 tahun ke depan, tentu mereka akan kembali ke Indonesia dengan membawa paham yang secara tegak lurus bertentangan dengan paham umat Islam di Indonesia.
Kota Qom sendiri merupakan rumah bagi sekitar tiga ratus pesantren dan lembaga pendidikan formal. Ia telah menjadi konstalasi terbesar dari lembaga pendidikan di Iran. Ada sekitar limapuluh ribu santri dari tujuh puluh Negara, dan tidak semua murid yang masuk adalah penganut Syiah. Adapula pesantren yang dikhususkan wanita yaitu Jami’at al-Zahra dan Jamiat Bint al-Huda. Alumni mereka kembali ke negaranya masing-masing dan mengajar di berbagai sekolah Syiah bagi wanita. Hampir semua pelajar dari luar negeri menikmati studi dengan beasiswa.
Website NU pada 15/04/2005 memberitakan bahwa NU membuka pendaftaran beasiswa kulian di Iran. Berikut petikan beritanya:
Biro Urusan Kerjasama Beasiswa PBNU untuk Timur Tengah yang dipimpin oleh KH Said Aqil Siradj kali menerima pendaftaran beasiswaprogram S2 di Iran yang akan diambil sebanyak 5 orang.
Surat harus sudah sampai di PBNU maksimal tanggal 24 April dan kemudian akan dilakukan test secepatnya karena pada bulan Juli sudah kuliah di Iran, tandas Dawam Sukardi yang mengurusi masalah pengiriman beasiswa ini.
Jurusan yang dapat diambil adalah filsafat dan agama. Dalam hal ini penjurusan ditentukan oleh nilai test yang diperoleh. Test akan dilakukan sendiri oleh atase kebudayaan Iran yang ada di Indonesia.
Jika group pertama ini berhasil dan sesuai dengan kriteria yang mereka inginkan maka pada tahun depan pihak Iran berjanji untuk menambah peserta menjadi 15 orang mahasiswa. Terdapat beberapa universitas seperti Universitas Qum dan model pendidikan Islam model pesantren yang bahkan lebih bagus kualitasnya.
Peluang beasiswa ini terbuka bagi laki-laki dan perempuan. Namun demikian, Dawam mengungkapkan bahwa karena Iran merupakan Negara Syiah, maka sebaiknya Laki-laki saja yang pergi ke sana.
Tentang kekhawatiran para kader NU tersebut menjadi Syiah Dawam mengakuinya. Ada kekhawatiran dari beberapa kyai yang memberitahukan lewat SMS tentang hal tersebut, tetapi PBNU setelah melalui pertimbangan yang mendalam memiliki keyakinan hal tersebut tak akan terjadi.
Dalam hal ini, mereka akan memberikan beasiswa penuh, yaitu mulai biaya kuliah termasuk living cost, tetapi nampaknya karena jumlah yang diberikan terbatas, mungkin untuk kebutuhan tertentu mungkin mahasiswa yang bersangkutan harus menyediakan sendiri.
Persyaratan yang dibutuhkan adalah foto coyp ijazah, akte kelahiran, transkrip nilai SKKB, Curriculum Vitae, rekomendasi dari PCNU dan foto warna 4 X 6 sebanyak 5 lembar.
Permohonan beasiswa dapat dikirimkan ke Biro Urusan Kerjasama Beasiswa PBNU untuk Timur Tengah Gedung PBNU Lt IV Jln. Kramat Raya No. 164 Jakarta Pusat 10430 Telp (021) 3908424 ext 4423 atau hubungi Sdr Dawam Sukardi di HP 08561023524 (sumber: www.nu.or.id Jumat, 15/04/2005 12:52).
Di internal PBNU sendiri, sesungguhnya tidak menyepakati adanya kerjasama bidang pendidikan dengan Iran. Bahkan penyediaan beasiswa yang terjadi di NU terkesan ‘main belakang’. Pada 2011 jajaran Syuriah PBNU membatalkan MoU PBNU dengan Universitas al-Musthofa, Qom Iran karena tidak ada musyawarah dengan Dewan Syuriah PBNU. PBNU sendiri tidak meinginginkan jalinan kerjasama dengan penyediaan beasiswa tersebut. Disinyalir ada pihak-pihak yang bermain dengan membidik kader NU sebagai targetnya.
Memang, pasca revolusi tahun 1979 program beasiswa begitu gencar diiklankan dalam rangka membuat jaringan-jaringan jama’ah dengan kontrol Iran. Kader-kader yang selesai studi kembali ke tanah air dengan manjadi kader Syiah dan disediakan lahan-lahan dakwah berupa instusi pendidikan, yayasan dan lembaga penelitian.  Ada sekitar 100 yayasan dan pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia disamping juga memiliki 5 radio. Di tanah air para alumni Iran ini dikoordinir dalam sejumlah lembaga. Di antaranya, LKAB (Lembaga Komunikasi Ahlul Bayt) beralamat di Jl. Bintaro Kodam Grand Bintaro Jakarta Selatan. LKAB ini membina yayasan-yayasan seperti al-Muntazhar, al-Rodhiyah, Mulla Sadr, dan al-Kubro. Kegiatan seperti ini perlu mendapat perhatian dan penataan. Peringatan kewaspadaan dari Ali Maschan cukup beralasan, sebab tidak mudah menyelesaikan persinggungan Sunnah dan Syiah.
Wakil Ketua Umum PBNU, H. As’ad Said Ali pernah menjelaskan bahwa generasi pertama penerima beasiswa Qom Iran di antaranya adalah Umar Shahab dan Husein Shahab, keduanya alumnus YAPI Bangil. Dari keduanya, dakwah Syiah melebar ke kampus-kampus pada awal tahun 1980-an, misalnya membidik kampus ITB dan UI. Di antara kader dua tokoh ini adalah Haidar Bagir dari ITB yang kemudian mendirikan lembaga penerbitan Mizan. Namun, dakwah di kampus tersebut  tidak bertahan lama, karena kalah dengan perkembangan dakwah jama’ah tarbiyah yang mendominasi hingga sekarang ini (nu-online.com 30/05/2011). Karena itu, maka program pengirimian beasiswa ditingkatkan.
Pengikut Syiah dengan doktrin imamah-nya memiliki idealisme politis. Menegakkan ajaran agama (baca:Syiah) secara kaffah melalui imamah. Roisul Hukama, mantan penganut Syiah asal Sambang pernah memberi penjelasan tentang idealisme politik Syiah. Menurutnya, Syiah Indonesia memiliki cita-cita menegakkan revolusi di Indonesia. Karena ini sebuah desain yang cukup besar, rencana itupun tengah dimatangkan dengan melibatkan berbagai tahapan. Salah satunya menanam kader-kader Syiah di berbagai ormas dan pemerintahan. Mereka semua ada di Ormas, Pemerintahan, dan juga partai politik.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan