AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Rabu, 30 April 2014

Panduan Amalan di Bulan Rajab

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


Amalan di Bulan Rajab


Segala puji bagi Allah Rabb Semesta Alam, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman. Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah Ta’ala karena pada saat ini kita telah memasuki salah satu bulan haram yaitu bulan Rajab. Apa saja yang ada di balik bulan Rajab dan apa saja amalan di dalamnya? Insya Allah dalam artikel yang singkat ini, kita akan membahasnya. Semoga Allah memberi taufik dan kemudahan untuk menyajikan pembahasan ini di tengah-tengah pembaca sekalian.

Rajab di Antara Bulan Haram

Bulan Rajab terletak antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya’ban. Bulan Rajab sebagaimana bulan Muharram termasuk bulan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (Qs. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, “Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya. Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu, Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan munculnya hilal.
Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan perpuataran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.” (Latho-if Al Ma’arif, 202)
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut? Dari Abu Bakroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Setahun berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679)
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2) Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab.

Di Balik Bulan Haram

Lalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Dinamakan bulan haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan amalan ketaatan.” (Lihat Zaadul Maysir, tafsir surat At Taubah ayat 36)
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)

Bulan Haram Mana yang Lebih Utama?

Para ulama berselisih pendapat tentang manakah di antara bulan-bulan haram tersebut yang lebih utama. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Rajab, sebagaimana hal ini dikatakan oleh sebagian ulama Syafi’iyah. Namun An Nawawi (salah satu ulama besar Syafi’iyah) dan ulama Syafi’iyah lainnya melemahkan pendapat ini. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Muharram, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri dan pendapat ini dikuatkan oleh An Nawawi. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair dan lainnya, juga dinilai kuat oleh Ibnu Rajab dalam Latho-if Al Ma’arif (hal. 203).

Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Rajab

Hukum yang berkaitan dengan bulan Rajab amatlah banyak, ada beberapa hukum yang sudah ada sejak masa Jahiliyah. Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap berlaku ketika datang Islam ataukah tidak. Di antaranya adalah haramnya peperangan ketika bulan haram (termasuk bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ini masih tetap diharamkan ataukah sudah dimansukh (dihapus hukumnya). Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum tersebut sudah dihapus. Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diketahui dari satu orang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorong ketika itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” (Lathoif Al Ma’arif, 210)
Begitu juga dengan menyembelih (berkurban). Di zaman Jahiliyah dahulu, orang-orang biasa melakukan penyembelihan kurban pada tanggal 10 Rajab, dan dinamakan ‘atiiroh atau Rojabiyyah (karena dilakukan pada bulan Rajab). Para ulama berselisih pendapat apakah hukum ‘atiiroh sudah dibatalkan oleh Islam ataukah tidak. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa ‘atiiroh sudah dibatalkan hukumnya dalam Islam. Hal ini berdasarkan hadits Bukhari-Muslim, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ
“Tidak ada lagi faro’ dan  ‘atiiroh.” (HR. Bukhari no. 5473 dan Muslim no. 1976). Faro’ adalah anak pertama dari unta atau kambing, lalu dipelihara dan nanti akan disembahkan untuk berhala-berhala mereka.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Tidak ada lagi ‘atiiroh dalam Islam. ‘Atiiroh hanya ada di zaman Jahiliyah. Orang-orang Jahiliyah biasanya berpuasa di bulan Rajab dan melakukan penyembelihan ‘atiiroh pada bulan tersebut. Mereka menjadikan penyembelihan pada bulan tersebut sebagai ‘ied (hari besar yang akan kembali berulang) dan juga mereka senang untuk memakan yang manis-manis atau semacamnya ketika itu.” Ibnu ‘Abbas sendiri tidak senang menjadikan bulan Rajab sebagai ‘ied.
‘Atiiroh sering dilakukan berulang setiap tahunnya sehingga menjadi ‘ied (sebagaimana Idul Fitri dan Idul Adha), padahal ‘ied (perayaan) kaum muslimin hanyalah Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Dan kita dilarang membuat ‘ied selain yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam. Ada sebuah riwayat,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَنْهَى عَن صِيَامِ رَجَبٍ كُلِّهِ ، لِاَنْ لاَ يَتَّخِذَ عِيْدًا.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab agar tidak dijadikan sebagai ‘ied.” (HR. ‘Abdur Rozaq, hanya sampai pada Ibnu ‘Abbas (mauquf). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Majah dan Ath Thobroniy dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’, yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Intinya, tidaklah dibolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan suatu hari sebagai ‘ied selain apa yang telah dikatakan oleh syari’at Islam sebagai ‘ied yaitu Idul Fithri, Idul Adha dan hari tasyriq. Tiga hari ini adalah hari raya dalam setahun. Sedangkan ‘ied setiap pekannya adalah pada hari Jum’at. Selain hari-hari tadi, jika dijadikan sebagai ‘ied dan perayaan, maka itu berarti telah berbuat sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam Islam (alias bid’ah).” (Latho-if Al Ma’arif, 213)
Hukum lain yang berkaitan dengan bulan Rajab adalah shalat dan puasa.

Mengkhususkan Shalat Tertentu dan Shalat Roghoib di bulan Rajab

Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.
Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.
Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).
Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)
Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)
Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Mengkhususkan Berpuasa di Bulan Rajab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.”(Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
Bahkan telah dicontohkan oleh para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari bulan Rajab karena ditakutkan akan sama dengan puasa di bulan Ramadhan, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin Khottob. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,
لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ
“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih. Begitu pula riwayat ini dikatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil)
Adapun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/291)
Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka jika ada orang yang menjadikan menyempurnakan puasa satu bulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yaitu ‘Aisyah tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan berpuasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latho-if Ma’arif, 215)
Ringkasnya, berpuasa penuh di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga point berikut:
  1. Jika dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan lainnya sehingga orang-orang awam dapat menganggapnya sama seperti puasa Ramadhan.
  2. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sunnah rawatib (sunnah yang mengiringi amalan yang wajib).
  3. Jika dianggap bahwa puasa di bulan tersebut memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya. (Lihat Al Hawadits wal Bida’, hal. 130-131. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 235-236)

Perayaan Isro’ Mi’roj

Sebelum kita menilai apakah merayakan Isro’ Mi’roj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu, apakah Isro’ Mi’roj betul terjadi pada bulan Rajab?
Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat kapan terjadinya Isro’ Mi’roj. Ada ulama yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isro’ Mi’roj pada bulan tertentu atau sepuluh hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Ibnu Rajab mengatakan, “Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab ada kejadian-kejadian yang luar biasa. Namun sebenarnya riwayat tentang hal tersebut tidak ada satu pun yang shahih. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau dilahirkan pada awal malam bulan tersebut. Ada pula yang menyatakan bahwa beliau diutus pada 27 Rajab. Ada pula yang mengatakan bahwa itu terjadi pada 25 Rajab. Namun itu semua tidaklah shahih.”
Abu Syamah mengatakan, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isro’ Mi’roj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (pengkritik perowi hadits) menyatakan bahwa klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 274)
Setelah kita mengetahui bahwa penetapan Isro’ Mi’roj sendiri masih diperselisihkan, lalu bagaimanakah hukum merayakannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak dikenal dari seorang dari ulama kaum muslimin yang menjadikan malam Isro’ memiliki keutamaan dari malam lainnya, lebih-lebih dari malam Lailatul Qadr. Begitu pula para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak pernah mengkhususkan malam Isro’ untuk perayaan-perayaan tertentu dan mereka pun tidak menyebutkannya. Oleh karena itu, tidak diketahui tanggal pasti dari malam Isro’ tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 1/54)
Begitu pula Syaikhul Islam mengatakan, “Adapun melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian malam Rojab (perayaan Isro’ Mi’roj), hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan Idul Abror (ketupat lebaran)-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnul Haaj mengatakan, “Di antara ajaran yang tidak ada tuntunan yang diada-adakan di bulan Rajab adalah perayaan malam Isro’ Mi’roj pada tanggal 27 Rajab.” (Al Bida’ Al Hawliyah, 275)
Catatan penting:
Banyak tersebar di tengah-tengah kaum muslimin sebuah riwayat dari Anas bin Malik. Beliau mengatakan, “Ketika tiba bulan Rajab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan,
“Allahumma baarik lanaa fii Rojab wa Sya’ban wa ballignaa Romadhon [Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan perjumpakanlah kami dengan bulan Ramadhan]“.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan-amalan di bulan Rajab dan beberapa amalan yang keliru yang dilakukan di bulan tersebut. Semoga Allah senantiasa memberi taufik dan hidayah kepada kaum muslimin. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan kebenaran.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallim.

Bulan Rajab dan Keutamaannya dalam Islam


بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Bulan Rajab dan Keutamaannya dalam Islam

Bulan Rajab adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak. [1]

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (95): 2)

Ayat mulia ini menerangkan secara khusus keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya. Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalah dzul qa’dah, dzul hijjah, rajab, dan muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.

“Setahun ada 12 bulan, di antaranya terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara dua jumadil dan sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)

Dinamakan Rajab karena itu adalah bulan untuk yarjubu, yakni Ya’zhumu (mengagungkan), sebagaimana dikatakan Al Ashmu’i, Al Mufadhdhal, dan Al Farra’. (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif, Hal. 117. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Banyak manusia meyakini bulan Rajab sebagai bulan untuk memperbanyak ibadah, seperti shalat, puasa, dan menyembelih hewan untuk disedekahkan. Tetapi, kebiasaan ini nampaknya tidak didukung oleh sumber yang shahih. Para ulama hadits telah melakukan penelitian mendalam, bahwa tidak satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan shalat khusus, puasa, dan ibadah lainnya pada bulan Rajab, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi. Benar, bulan Rajab adalah bulan yang agung dan mulia, tetapi kita tidak mendapatkan hadits shahih tentang rincian amalan khusus pada bulan Rajab. Wallahu A’lam

Sebagai contoh:

“Sesungguhnya di surga ada sungai bernama Rajab, airnya lebih putih dari susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa yang berpuasa Rajab satu hari saja, maka Allah akan memberikannya minum dari sungai itu.” (Status hadits: BATIL. Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 1898)

“ Ada lima malam yang doa tidak akan ditolak: awal malam pada bulan Rajab, malam nishfu sya’ban, malam Jumat, malam idul fitri, dan malam hari raya qurban.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 1452)

“Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)

“Dinamakan Rajab karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)

Dan masih banyak lagi yang lainnya, seperti shalat raghaib (12 rakaat) pada hari kamis ba’da maghrib di bulan Rajab (Ini ada dalam kitab Ihya Ulumuddin-nya Imam Al Ghazali. Segenap ulama seperti Imam An Nawawi mengatakan ini adalah bid’ah yang buruk dan munkar, juga Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Nuhas, dan lainnya mengatakan hal serupa).

Walau demikian, tidak berarti kelemahan semua riwayat ini menunjukkan larangan ibadah-ibadah secara global. Melakukan puasa, sedekah, memotong hewan untuk sedekah, dan amal shalih lainnya adalah perbuatan mulia, kapan pun dilaksanakannya termasuk bulan Rajab (kecuali puasa pada hari-hari terlarang puasa).

Tidak mengapa puasa pada bulan Rajab, seperti puasa senin kamis dan ayyamul bidh (tanggal 13,14,15 bulan hijriah), sebab ini semua memiliki perintah secara umum dalam syariat. Tidak mengapa sekedar memotong hewan untuk disedekahkan, yang keliru adalah meyakini dan MENGKHUSUSKAN ibadah-ibadah ini dengan fadhilah tertentu yang hanya bisa diraih di bulan Rajab, dan tidak pada bulan lainnya. Jika seperti ini, maka membutuhkan dalil shahih yang khusus, baik Al Quran atau As Sunnah.

Sementara itu, mengkhususkan menyembelih hewan (istilahnya Al ‘Atirah) pada bulan Rajab, telah terjadi perbedaan pendapat di dalam Islam. Imam Ibnu Sirin mengatakan itu sunah, dan ini juga pendapat penduduk Bashrah, juga Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang dikutip oleh Hambal. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa hal itu adalah kebiasaan jahiliyah yang telah dihapuskan oleh Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits shahih: “Tidak ada Al Fara’ dan Al ‘Atirah.” (Imam Ibnu Rajab, Lathaif Al Ma’arif Hal. 117)

Namun, jika sekedar ingin menyembelih hewan pada bulan Rajab, tanpa mengkhususkan dengan fadhilah tertentu pada bulan Rajab, tidak mengapa dilakukan. Karena Imam An Nasa’i meriwayatkan, bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, dahulu ketika jahiliyah kami biasa menyembelih pada bulan Rajab?” Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اذبحوا لله في أي شهر كان

“Menyembelihlah karena Allah, pada bulan apa saja.” (HR. An Nasa’i, hadits ini shahih. Lihat Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 1/208)

Benarkah Isra Mi’raj Terjadi Tanggal 27 Rajab?

Ada pun tentang Isra’ Mi’raj, benarkah peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab? Atau tepatnya 27 Rajab? Jawab: Wallahu A’lam. Sebab, tidak ada kesepakatan para ulama hadits dan para sejarawan muslim tentang kapan peristiwa ini terjadi, ada yang menyebutnya Rajab, dikatakan Rabiul Akhir, dan dikatakan pula Ramadhan atau Syawal. (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7/242-243)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, bahwa banyak ulama yang melemahkan pendapat bahwa peristiwa Isra terjadi pada bulan Rajab, sedangkan Ibrahim Al Harbi dan lainnya mengatakan itu terjadi pada Rabi’ul Awal. (Ibid Hal. 95).

Beliau juga berkata:

و قد روي: أنه في شهر رجب حوادث عظيمة ولم يصح شيء من ذلك فروي: أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد في أول ليلة منه وأنه بعث في السابع والعشرين منه وقيل: في الخامس والعشرين ولا يصح شيء من ذلك وروى بإسناد لا يصح عن القاسم بن محمد: أن الإسراء بالنبي صلى الله عليه وسلم كان في سابع وعشرين من رجب وانكر ذلك إبراهيم الحربي وغيره

“Telah diriwayatkan bahwa pada bulan Rajab banyak terjadi peristiwa agung dan itu tidak ada yang shahih satu pun. Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dilahirkan pada awal malam bulan itu, dan dia diutus pada malam 27-nya, ada juga yang mengatakan pada malam ke-25, ini pun tak ada yang shahih. Diriwayatkan pula dengan sanad yang tidak shahih dari Al Qasim bin Muhammad bahwa peristiwa Isra-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terjadi pada malam ke-27 Rajab, dan ini diingkari oleh Ibrahim Al Harbi dan lainnya.” (Lathaif Al Ma’arif Hal. 121. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sementara, Imam Ibnu Hajar mengutip dari Ibnu Dihyah, bahwa: “Hal itu adalah dusta.” (Tabyinul ‘Ajab hal. 6). Imam Ibnu Taimiyah juga menyatakan peristiwa Isra’ Mi’raj tidak diketahui secara pasti, baik tanggal, bulan, dan semua riwayat tentang ini terputus dan berbeda-beda.

Adakah Doa Khusus Menyambut Rajab, Sya’ban dan Ramadhan?

Tidak ditemukan riwayat yang shahih tentang ini. Ada pun doa yang tenar diucapkan manusia yakni: Allahumma Bariklana fi rajaba wa sya’ban, wa ballighna ramadhan, adalah hadits dhaifi (lemah).

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ

Dari Anas bin Malik berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika masuk bulan Rajab, dia berkata: “Allahumma Barik lanaa fii Rajaba wa Sya’ban wa Barik lanaa fii Ramadhan.” (Ya Allah Berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban wa Berkahilah kami di bulan Ramadhan). (HR. Ahmad, No. 2228. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4086, dengan teks agak berbeda yakni, “Wa Balighnaa fii Ramadhan.” Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3654)

Syaikh Al Albany mendha’ifkan hadits ini. (Misykah Al Mashabih, No. 1369). Apa yang menyebabkan kelemahan riwayat hadits ini? Jawabnya silahkan lihat di catatan kaki.[2]

2. Bulan Sya’ban dan Keutamaannya

Bulan Sya’ban adalah bulan mulia yang disunnahkan bagi kaum muslimin untuk banyak berpuasa. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم حتى نقول لا يفطر، ويفطر حتى نقول لا يصوم، فما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر إلا رمضان، وما رأيته أكثر صياما منه في شعبان.

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa sehingga kami mengatakan dia tidak pernah berbuka, dan dia berbuka sampai kami mengatakan dia tidak pernah puasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyempurnakan puasanya selama satu bulan kecuali Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat dia berpuasa melebihi banyaknya puasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1868)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga, katanya:

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ

“Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah berpuasa dalam satu bulan melebihi puasa pada bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1869)



Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

شعبان بين رجب ورمضان يغفل الناس عنه ترفع فيه أعمال العباد فأحب أن لا يرفع عملي إلا وأنا صائم

“Bulan Sya’ban, ada di antara bulan Rajab dan Ramadhan, banyak manusia yang melalaikannya. Saat itu amal manusia diangkat, maka aku suka jika amalku diangkat ketika aku sedang puasa.” (HR. An Nasai, 1/322 dalam kitab Al Amali. Status hadits: Hasan (baik). Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1898. Lihat juga Tamamul Minnah Hal. 412. DarAr Rayyah)

Adakah Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?

Ya, sebagamana diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, bahwa Beliau bersabda:

يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه
إلا لمشرك أو مشاحن

“Allah Ta’ala menampakkan diriNya kepada hambaNya pada malam nishfu sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hambaNya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Shahih menurut Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat kitab As Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab Shahih Al Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al Maktab Al Islami. Namun, dalam kitab Misykah Al Mashabih, justru Syaikh Al Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang benar adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan)

Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk kecuali yang menyekutukanNya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in.. Tetapi, dalam hadits ini –juga hadits lainnya- sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al Quran, atau lainnya. Oleh, karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin menganggap itu adalah hal yang bid’ah (mengada-ngada dalam agama). Sebenarnya membaca Al Quran, Shalat malam, memperbanyak zikir pada malam nishfu sya’ban adalah perbuatan baik, dan merupakan pengamalan dari hadits di atas, namun yang menjadi ajang perdebatan adalah tentang ‘cara’nya, apakah beramai-ramai ke masjid lalu di buat paket acara secara khusus, atau melakukannya secara sendirian baik di rumah atau masjid dengan acara yang tidak baku dan tidak terikat.

Berikut adalah Fatwa Para ulama tentang acara ritual Nishfu Sya’ban:

1. Imam An Nawawi (bermadzhab syafi’i)

Beliau Rahimahullah memberikan komentar tentang mengkhususkan shalat pada malam nishfu sya’ban, sebagai berikut:

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب وهي ثنتى عشرة ركعة تصلي بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب واحياء علوم الدين ولا بالحديث المذكور فيهما فان كل ذلك باطل



“Shalat yang sudah dikenal dengan sebutan shalat Ragha’ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, yakni malam awal hari Jumat pada bulan Rajab, dan shalat malam pada nishfu sya’ban seratus rakaat, maka dua shalat ini adalah bid’ah munkar yang buruk, janganlah terkecoh karena keduanya disebutkan dalam kitab Qutul Qulub[3] dan Ihya Ulumuddin[4], dan tidak ada satu pun hadits yang menyebutkan dua shalat ini, maka semuanya adalah batil.” Demikian komentar Imam An Nawawi. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/379. Dar ‘Alim Al Kitab)

2. Syaikh ‘Athiyah Saqr (Mufti Mesir)

Beliau Rahimahullah ditanya apakah ada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengadakan acara khusus pada malam nishfu sya’ban?

Beliau menjawab (saya kutip secara ringkas):

ثبت أن الرسول عليه الصلاة والسلام احتفل بشهر شعبان ، وكان احتفاله بالصوم ، أما قيام الليل فالرسول عليه الصلاة والسلام كان كثير القيام بالليل فى كل الشهر، وقيامه ليلة النصف كقيامه قى أية ليلة .

ويؤيد ذلك ما ورد من الأحاديث السابقة وإن كانت ضعيفة فيؤخذ بها فى فضائل الأعمال ، فقد أمر بقيامها ، وقام هو بالفعل على النحو الذى ذكرته عائشة .

وكان هذا الاحتفال شخصيا، يعنى لم يكن فى جماعة ، والصورة التى يحتفل بها الناس اليوم لم تكن فى أيامه ولا فى أيام الصحابة ، ولكن حدثت فى عهد التابعين . يذكر القسطلانى فى كتابه “المواهب اللدنية”ج 2 ص 259 أن التابعين من أهل الشام كخالد بن معدان ومكحول كانوا يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة ، وعنهم أخذ الناس تعظيمها ، ويقال أنهم بلغهم في ذلك آثار إسرائيلية . فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس ، فمنهم من قبله منهم ، وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة ، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم ، وقالوا : ذلك كله بدعة، ثم يقول القسطلانى :

اختلف علماء أهل الشام فى صفة إحيائها على قولين ، أحدهما أنه يستحب إحياؤها جماعة فى المسجد، وكان خالد بن معدان ولقمان ابن عامر وغيرهما يلبسون فيها أحسن ثيابهم ويتبخرون ويكتحلون ويقومون فى المسجد ليلتهم تلك ، ووافقهم إسحاق بن راهويه على ذلك وقال فى قيامها فى المساجد جماعة : ليس ذلك ببدعة، نقله عنه حرب الكرمانى فى مسائله . والثانى أنه يكره الاجتماع فى المساجد للصلاة والقصص والدعاء ، ولا يكره أن يصلى الرجل فيها لخاصة نفسه ، وهذا قول الأوزاعى إمام أهل الشام وفقيههم وعالمهم .



“Telah pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melakukan kegiatan pada bulan Sya’ban yakni berpuasa. Sedangkan qiyamul lail-nya banyak beliau lakukan pada setiap bulan, dan qiyamul lailnya pada malam nisfhu sya’ban sama halnya dengan qiyamul lail pada malam lain. Hal ini didukung oleh hadits-hadits yang telah saya sampaikan sebelumnya, jika hadits tersebut dhaif maka berdalil dengannya boleh untuk tema fadhailul ‘amal (keutamaan amal shalih), dan qiyamul lailnya beliau sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah yang telah saya sebutkan. Aktifitas yang dilakukannya adalah aktifitas perorangan, bukan berjamaah. Sedangkan aktifitas yang dilakukan manusia saat ini, tidak pernah ada pada masa Rasulullah, tidak pernah ada pada masa sahabat, tetapi terjadi pada masa tabi’in.

Al Qasthalani menceritakan dalam kitabnya Al Mawahib Al Laduniyah (Juz.2, Hal. 259), bahwa tabi’in dari negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan, dan Mak-hul, mereka berijtihad untuk beribadah pada malam nishfu sya’ban. Dari merekalah manusia beralasan untuk memuliakan malam nishfu sya’ban. Diceritakan bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat [5] tentang hal ini. Ketika hal tersebut tersiarkan, maka manusia pun berselisih pendapat, maka di antara mereka ada yang mengikutinya. Namun perbuatan ini diingkari oleh mayoritas ulama di Hijaz seperti Atha’, Ibnu Abi Malikah, dan dikutip dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam bahwa fuqaha Madinah juga menolaknya, yakni para sahabat Imam Malik dan selain mereka, lalu mereka mengatakan: “Semua itu bid’ah!”

Kemudian Al Qasthalani berkata: “Ulama penduduk Syam[6] berbeda pendapat tentang hukum menghidupkan malam nishfu sya’ban menjadi dua pendapat: Pertama, dianjurkan menghidupkan malam tersebut dengan berjamaah di masjid., Khalid bin Mi’dan dan Luqman bin ‘Amir, dan selainnya, mereka mengenakan pakain bagus, memakai wewangian, bercelak, dan mereka menghidupkan malamnya dengan shalat. Hal ini disepakati oleh Ishaq bin Rahawaih, dia berkata tentang shalat berjamaah pada malam tersebut: “Itu bukan bid’ah!” Hal ini dikutip oleh Harb Al Karmani ketika dia bertanya kepadanya tentang ini. Kedua, bahwa dibenci (makruh) berjamaah di masjid untuk shalat, berkisah, dan berdoa pada malam itu, namun tidak mengapa jika seseorang shalatnya sendiri saja. Inilah pendapat Al Auza’i, imam penduduk Syam dan faqih (ahli fiqih)-nya mereka dan ulamanya mereka.” Selesai kutipan dari Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah. (Fatawa Al Azhar, Juz. 10, Hal. 131. Syamilah)

3. Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah

Beliau menjelaskan tentang hukum mengkhususkan ibadah pada malam Nishfu Sya’ban:

ومن البدع التي أحدثها بعض الناس: بدعة الاحتفال بليلة النصف من شعبان، وتخصيص يومها بالصيام، وليس على ذلك دليل يجوز الاعتماد عليه، وقد ورد في فضلها أحاديث ضعيفة لا يجوز الاعتماد عليها، أما ما ورد في فضل الصلاة فيها فكله موضوع، كما نبه على ذلك كثير من أهل العلم، وسيأتي ذكر بعض كلامهم إن شاء الله. وورد فيها أيضًا آثار عن بعض السلف من أهل الشام وغيرهم. والذي عليه جمهور العلماء: أن الاحتفال بها بدعة، وأن الأحاديث الواردة في فضلها كلها ضعيفة وبعضها موضوع، وممن نبه على ذلك الحافظ ابن رجب في كتابه [لطائف المعارف] وغيره، والأحاديث الضعيفة إنما يعمل بها في العبادات التي قد ثبت أصلها بأدلة صحيحة، أما الاحتفال بليلة النصف من شعبان فليس له أصل صحيح حتى يستأنس له بالأحاديث الضعيفة.



“Dan di antara bid’ah yang di ada-adakan manusia pada malam tersebut adalah: bid’ahnya mengadakan acara pada malam nishfu sya’ban, dan mengkhususkan siang harinya berpuasa, hal tersebut tidak ada dasarnya yang bisa dijadikan pegangan untuk membolehkannya. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang keutamaannya adalah dha’if dan tidak boleh menjadikannya sebagai pegangan, sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan shalat pada malam tersebut, semuanya adalah maudhu’ (palsu), sebagaimana yang diberitakan oleh kebanyakan ulama tentang itu, Insya Allah nanti akan saya sampaikan sebagian ucapan mereka, dan juga atsar (riwayat) dari sebagian salaf dari penduduk Syam dan selain mereka. Jumhur (mayoritas) ulama berkata: sesungguhnya acara pada malam itu adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang bercerita tentang keutamaannya adalah dha’if dan sebagiannya adalah palsu. Di antara ulama yang memberitakan hal itu adalah Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Latha’if alMa’arif dan lainnya. Ada pun hadits-hadits dha’if hanyalah bisa diamalkan dalam perkara ibadah, jika ibadah tersebut telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang shahih, sedangkan acara pada malam nishfu sya’ban tidak ada dasar yang shahih, melainkan ‘ditundukkan’ dengan hadits-hadits dha’if.” (Fatawa al Lajnah ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 4/281) Sekian kutipan dari Syaikh Ibnu Baz.

Larangan Pada Bulan Sya’ban

Pada bulan ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada yaumusy syak (hari meragukan), yakni sehari atau dua hari menjelang Ramadhan. Maksud hari meragukan adalah karena pada hari tersebut merupakan hari di mana manusia sedang memastikan, apakah sudah masuk 1 Ramadhan atau belum, apakah saat itu Sya’ban 29 hari atau digenapkan 30 hari, sehingga berpuasa sunah saat itu amat beresiko, yakni jika ternyata sudah masuk waktu Ramadhan, ternyata dia sedang puasa sunah. Tentunya ini menjadi masalah.

Dalilnya, dari ‘Ammar katanya:

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barang siapa yang berpuasa pada yaumus syak, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari, Bab Qaulun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Idza Ra’aytumuhu fa shuumuu)

Para ulama mengatakan, larangan ini adalah bagi orang yang mengkhususkan berpuasa pada yaumusy syak saja. Tetapi bagi orang yang terbiasa berpuasa, misal puasa senin kamis, puasa Nabi Daud, dan puasa sunah lainnya, lalu dia melakukan itu bertepatan pada yaumusy syak , maka hal ini tidak dilarang berdasarkan riwayat hadits berikut:

لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ
“Janganlah salah seorang kalian mendahulukan Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari, kecuali bagi seseorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya, maka puasalah pada hari itu.” (HR. Bukhari No. 1815)

4. Bulan Ramadhan dan Keutamaannya

Ini adalah bulan agung yang pling banyak dinantikan oleh seluruh umat Islam. Banyak keutamaan yang diterangkan dalam Al Quran dan As Sunah tentang bulan ini. Sebagaian di antaranya:

-Bulan diturunkannya Al Quran

Allah Ta’ala berfirman:

”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS. Al Baqarah (2): 185)

-Bulan Terdapat Lailatul Qadar (malam kemuliaan)

Allah Ta’ala berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu? malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS. Al Qadr (97) : 1-3)

- Shalat pada malam Lailatul Qadar menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه

”Barang siapa yang shalat malam pada malam Lailatul Qadar karena iman dan ihtisab (mendekatkan diri kepada Allah) , maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 35, 38, 1802)

- Shalat malam (tarawih) Pada Bulan Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

”Barang siapa yang shalat malam pada Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37 1904, 1905)

- Berpuasa Ramadhan menghilangkan dosa-dosa yang lalu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ومن صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

”Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 38, 1910, 1802)

Makna ‘diampuninya dosa-dosa yang lalu’ adalah dosa-dosa kecil, sebab dosa-dosa besar –seperti membunuh, berzina, mabuk, durhaka kepada orang tua, sumpah palsu, dan lainnya- hanya bias dihilangkan dengan tobat nasuha, yakni dengan menyesali perbuatan itu, membencinya, dan tidak mengulanginya sama sekali. Hal ini juga ditegaskan oleh hadits berikut ini.

- Diampuni dosa di antara Ramadhan ke Ramadhan

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر

“Shalat yang lima waktu, dari jumat ke jumat, dan ramadhan ke Ramadhan, merupakan penghapus dosa di antara mereka, jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim No. 233)

- Dibuka Pintu Surga, Dibuka pinta Rahmat, Ditutup Pintu Neraka, dan Syetan dibelenggu

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَان فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِين

”Jika datang Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dibelenggu.” (HR. Muslim No. 1079)

Dalam hadits lain:

إذا كان رمضان فتحت أبواب الرحمة، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين

”Jika bulan Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu rahmat, ditutup pintu-pintu neraka dan syetan dirantai.” (HR. Muslim No. 1079)

Demikianlah keutamaan bulan Ramadhan dan keutamaan ibadah di dalamnya, yang ditegaskan dalam Al Quran dan hadits-hadits yang shahih. Sedangkan cerita dari mulut ke mulut, dari khathib ke khathib, dan dari buku ke buku, bahwa:

- Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya Ramadhan maka diharamkan masuk ke neraka.

- Tidurnya orang puasa adalah ibadah (Naumush Shaim ‘Ibadah)

- Sepuluh hari pertama Ramadhan adalah rahmat, yang kedua adalah maghfirah, dan yang ketiga adalah dijauhkan dari api neraka.

- Keutamaan tarawih malam pertama adalah begini, malam kedua adalah begitu ..dst.

Hadits-hadits ini adalah dhaif (lemah), bahkan ada yang munkar dan palsu. Dan masih banyak hadits-hadits dhaif seputar Ramadan dan puasa yang beredar di masyakarat, dan ini hanyalah contoh.

Sedangkan, hadits-hadits yang menyebutkan:

- Bau mulut orang puasa lebih Allah cintai dibanding minyak kesturi

- Barangsiapa yang berpuasa fi sabilillah maka akan dijauhkan wajahnya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan

- Setiap amal anak adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa, dia adalah untukKU, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri

- Disediakan bagi orang puasa pintu surga bernama Ar Rayyan.

Hadits-hadits ini semuanya adalah shahih diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Tetapi, hadits-hadits ini tidak bicara tentang puasa Ramadhan secara khusus, melainkan juga bagi orang berpuasa walau pun di bulan lain secara umum.



Wallahu A’lam




[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan, Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan, 9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama), pelaranagn hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)



[2] Kelemahan hadits ini, karena dalam sanad hadits ini terdapat Zaidah bin Abi Ruqad dan Ziyad an Numairi.

Imam Bukhari berkata tentang Zaidah bin Abi Ruqad: “Munkarul hadits.” (haditsnya munkar) (Imam al Haitsami, Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 165. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam An Nasa’i berkata: “Aku tidak tahu siapa dia.” Imam Adz Dzahabi sendiri mengatakan: “Dha’if.” Sedangkan tentang Ziyad an Numairi beliau berkata: “Ziyad dha’if juga.” (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, Juz. 2, Hal. 65)

Imam Abu Daud berkata: “Aku tidak mengenal haditsnya.” Sementara Imam An Nasa’i dalam kitabnya yang lain, Adh Dhu’afa, mengatakan: “Munkarul hadits.” Sedangkan dalam Al Kuna dia berkata: “Tidak bisa dipercaya.”(Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Juz. 3, Hal. 263)

Sedangkan tentang Ziyad An Numairi, berkata Imam Al Haitsami tentang Ziyad an Numairi: “Dia dha’if menurut jumhur (mayoritas ahli hadits).” (Majma’ az Zawaid, Juz. 10, Hal. 388. Darul Kutub Al Ilmiyah) )

Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa penduduk Bashrah meriwayatkan dari Ziyad hadits-hadits munkar. Imam Yahya bin Ma’in meninggalkan hadits-haditsnya, dan tidak menjadikannya sebagai hujjah (dalil). Imam Yahya bin Ma’in juga berkata tentang dia: “Tidak ada apa-apanya.” (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, Juz. 1, Hal. 306)

Sementara dalam Al Jarh wat Ta’dil, Imam Yahya bin Ma’in mengatakan: “Dha’if.” (Imam Abu Hatim ar Razi, Al jarh Wat Ta’dil, Juz. 3, Hal. 536). Demikian

[3] Kitab tasawwuf yang ditulis oleh Syaikh Abu Thalib Muhammad bin Ali bin ‘Athiyah Al Haritsi Al Makki

[4] Kitab tasawwuf yang sangat terkenal yang ditulis oleh Imam Al Ghazali Ath Thusi

[5] Atsar Israiliyat adalah berita atau riwayat yang berasal dari kisah-kisah orang Bani Israel yang menyusup ke dalam kitab-kitab dan keyakinan umat Islam. Statusnya, tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), walau memiliki hikmah yang baik

JIHAD DAN MENDUKUNG JIHAD

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
 

JIHAD DAN MENDUKUNG JIHAD


Jihad adalah amal tertinggi dalam Islam, dan jalan keluar bagi permasalahan ummat adalah dengan menunaikan Jihad. Pada saat sekarang ini, ketika bumi Islam dijajah oleh orang kafir, ketika penjara kuffar dan thowaghit dipenuhi oleh para tawanan muslim, ketika hukum Allah tidak tegak di atas bentang kehidupan dunia, dan ketika Islam dikepung dari seluruh arah untuk dimusnahkan, Jihad hukumnya fardlu ‘ain, kewajiban atas setiap pribadi muslim. Jihad harus ditunaikan oleh seorang anak meskipun orang tuanya menolak, Jihad harus ditunaikan seorang isteri meskipun suaminya melarang, dan Jihad harus ditunaikan oleh seorang yang berhutang meskipun yang memberi hutang menghalanginya.
Saudara Saudariku, isu (Jihad) ini semakin penting untuk diangkat karena hari ini musuh kuffar yang kita hadapi bukan lagi berbentuk satu bangsa atau satu ras. Tetapi ia adalah sistem kekufuran global yang merambah seluruh dunia. Kaum kuffar hari ini berkonspirasi untuk memerangi kita, yang belum pernah kita saksikan sebelumnya. Jadi, akankah kita siap untuk menghadapi peperangan besar antara balatentara Roma melawan Ummat Islam –Al Malhamah– sebagaimana yang telah dikabarkan Rasulullah saw?
Kembali aku ingin tekankan: Jihad hari ini hukumnya Fardlu Ain atas setiap muslim yang mampu. Maka, siapa saja kita yang hendak meraih ridha Allah, wajib bagi kita berusaha mencari jalan untuk menunaikan faridlah ini dan mendukungnya. Berikut aku persembahkan kepada Ikhwah fillah semua, 44 Cara Mendukung Jihad Fi Sabilillah:

1. Berniat secara jujur dan ikhlash
Engkau harus sentiasa menguatkan niat dan tekad untuk dapat bergabung dengan barisan Mujahidin. Rasulullah bersabda: Siapa yang tidak pernah berperang (fi sabilillah) dan tidak pernah berniat berperang, maka ia mati di atas cabang dari cabang-cabang kemunafiqan. (Riwayat Muslim)
Dan tanda dari niat yang jujur adalah kesungguhan dan mempersiapkan diri menerjuni Jihad. Allah berfirman: Seandainya mereka benar-benar berniat untuk berangkat (berjihad), tentu mereka mempersiapkan dirinya. (QS At Taubah 46)
Kondisi dari Jihad Difaa’ (Jihad defensif) ada lima sebagaimana ditetapkan oleh Abu Qudamah Al Hanbali: Islam, baligh, berakal, memiliki bekal finansial, dan sehat dari ketidakmampuan fisik. Jika seseorang tidak punya bekal finansial dan tidak dapat menemukan orang yang dapat membiayainya berjihad, atau ia memiliki kendala fisik, atau berbagai kendala lain yang membuatnya luput dari menunaikan Jihad, maka salah satu tanda dari niat yang jujur dan sungguh-sungguh, adalah ia merasa sangat bersedih karena luput dari menunaikan Jihad. Allah berfirman tentang orang-orang yang tidak dapat mengusahakan perbekalan dan perlengkapan untuk dapat berangkat berjihad dalam Perang Tabuk: Dan tiada (dosa) atas orang-orang yang datang kepadamu (Muhammad) supaya engkau mengusahakan mereka kendaraan untuk membawa mereka (berjihad), lalu engkau berkata, “Aku tidak dapat mengusahakan kendaraan untuk kalian”. Mereka kembali sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak dapat memperoleh apa yang dapat dinafkahkan (untuk berjihad). (QS At Taubah 92)

2. Berdoa dengan jujur kepada Allah untuk mendapat syahadah
Rasulullah bersabda: “Siapa yang jujur meminta kepada Allah syahadah, maka niscaya akan Dia anugerahkan pahala syuhada meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur”. (Diriwayatkan oleh Muslim)
Meminta dengan jujur kepada Allah untuk mati syahid membuat Allah ridha, karena itu menunjukkan bahwa engkau bersungguh-sungguh mau menyerahkan hidupmu untukNya. Tetapi berhati-hatilah, agar jangan engkau hanya mengucapkan harapan sekedar di bibir saja (lip service). Seseorang yang betul-betul jujur meminta mati syahid akan cepat merespon setiap seruan Jihad kapan saja ia mendengarnya, dan ia sentiasa mencari cara apa saja yang dapat menghantarkannya menuju mati syahid di Jalan Allah, di tempat mana saja yang ia persangkakan.

Salah satu sebab mengapa musuh Allah sampai hari ini berhasil mengalahkan Ummat Islam dan merampas negerinya adalah karena telah hilang dari jiwa kita cinta kematian di Jalan Allah. Rasulullah bersabda: Ummat-ummat akan berkumpul mengepung kalian seperti kawanan hewan buas mengelilingi meja hidangan. Para Shahabat bertanya, “Apakah saat itu jumlah kita sedikit?” Rasulullah menjawab, “Tidak, jumlah kita banyak tetapi kita seperti buih di tengah laut. Allah telah mencabut rasa takut dari hati musuh terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati kalian “Al Wahn”. Mereka bertanya, “Apa itu ‘Al Wahan’ ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Cinta dunia dan takut/benci kematian”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud)
Kita harus menghidupkan kembali tradisi syahadah dan cinta kematian karena segenap musuh Allah begitu gentar menghadapi orang-orang yang cinta kematian.

3. Jihad dengan harta
Jihad dengan harta mendahului Jihad dengan diri kita dalam berbagai ayat Al Quran kecuali satu ayat (yaitu ayat 111 Surah At Taubah. Pent). Ini menunjukkan kepada kita pentingnya Jihad dengan harta, karena Jihad fi Sabilillah sangat memerlukan harta dan pendanaan. Dengan kata lain, tidak ada uang, Jihad sulit dilaksanakan, dan Jihad sungguh memerlukan banyak pendanaan. Inilah mengapa dalam tafsirnya Al Qurtubi menjelaskan bahwa harta yang dinafkahkan untuk shodaqoh akan dilipatgandakan sepuluh kali, tetapi harta yang dinafkahkan untuk Jihad fie Sabilillah akan dilipatgandakan lebih dari tujuh ratus kali! Allah berfirman: Perumpamaan harta yang dinafkahkan di Jalan Allah seperti sebuah benih yang tumbuh menjadi tujuh tangkai; masing-masing tangkai berbuah seratus butir. Dan Allah melipatgandakan pahala kepada siapa saja yang Dia kehendaki. (QS Al Baqarah 261)
Mungkin kontribusi paling penting yang dapat diberikan Muslim di barat (atau mereka yang keadaannya semisal) untuk berjihad adalah berpartisipasi dalam Jihad dengan harta mereka, karena dalam banyak kesempatan Mujahidin sangat memerlukan pendanaan melebihi kebutuhan mereka akan orang. Al Imam Sheikh Abdullah Azzam berkata: Laki-laki membutuhkan Jihad, dan Jihad membutuhkan harta.

4. Fundraising (mencari pembiayaan) untuk Mujahidin
Sebagai tambahan membiayai Jihad dari uang kita, maka kita juga dapat mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Rasulullah bersabda: Siapa yang menunjukkan seseorang kebaikan maka akan mendapat pahala yang sama dengan orang yang mengamalkannya. Dengan mengusahakan fundrising engkau juga telah memenuhi Sunnah Rasulullah saw di mana Beliau juga melakukan fundrising untuk Jihad sebelum berangkat ke medan perang.

5. Membiayai Seorang Mujahid
Rasulullah saw bersabda: Siapa yang ikut membiayai (termasuk membeli perlengkapan perang) seorang Mujahid fie Sabilillah, maka ia telah ikut berperang. (Majma uz Zawaid). Ini termasuk membiayai segala hal agar sang Mujahid dapat berangkat ke medan perang, mulai dari biaya perjalanan, paspor, tiket, perbekalan, hingga perlengkapan perang. Ini memberikan kesempatan bagi orang kaya dan orang miskin ‘berkongsi’ dalam Jihad. Orang kaya membiayai orang miskin yang akan berangkat berjihad.

6. Menjaga dan memelihara Keluarga Mujahid
Menjaga dan memelihara keluarga Mujahid bisa dalam bentuk melindungi mereka, memenuhi seluruh nafkah dan kebutuhan mereka, menyediakan bantuan keuangan bagi mereka, serta menjaga kehormatan mereka.
Rasulullah bersabda:
· Siapa saja yang memelihara dan menjaga keluarga dan kekayaan Mujahid maka akan mendapat pahala setengah dari Mujahid itu. (Riwayat Muslim)
· Kewajiban untuk menjaga kehormatan isteri para Mujahidin bagi mereka yang tidak berangkat berjihad seperti kewajiban mereka menjaga kehormatan ibu-ibu mereka. Jika seseorang berjanji untuk menjaga kehormatan isteri seorang Mujahid, lalu kemudian ia mengkhianatinya, maka di Hari Qiyamat sang Mujahid akan diberitahu bahwa orang ini telah mengkhianatinya, maka ambillah dari segenap pahala amal sholehnya apa yang diinginkan Mujahid itu. Maka sang Mujahid akan mengambil apa saja dari amal sholeh orang itu. (Muslim)
· Siapa saja yang tidak (pernah) berperang, atau ikut membiayai para Mujahidin, atau ikut memelihara/menyantuni keluarga para Mujahidin, maka Allah akan menimpakan bencana dan kehinaan sebelum kematiannya. (Riwayat Abu Dawud)
Jika seseorang khawatir akan keselamatan atau nasib keluarganya, setan akan berusaha mencari celah dan mencegahnya dari berangkat berjihad. Mungkin orang itu akan tetap berangkat berjihad, maka setan akan berusaha melemahkan hatinya dengan membisikkan padanya tentang nasib orang-orang tercinta yang ditinggalkan. Karena itulah, menjaga dan memelihara keluarga Mujahidin akan menolong mereka untuk mengokohkan hati dan menaikkan moral mereka. Dan betapa Islam menaruh perhatian yang sangat besar atas persoalan menjaga dan memelihara keluarga dan kekayaan Mujahidin.

7. Menanggung Keluarga para Syuhada
Para Syuhada telah berjuang demi Islam dan Muslimin. Mereka mempersembahkan hidupnya untuk aku dan kalian. Maka wajib bagi kita untuk menghormati dan melayani keluarga para syuhada. Ketika Ja’far bin Abi Thalib terbunuh di Perang Mu’tah, Rasulullah saw berkata pada para isterinya: Siapkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka tengah dirundung kesedihan. Lalu Beliau mengunjungi keluarga Ja’far. (Diriwayatkan Abu Dawud an At Tirmidzi).
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah menerima kabar syahidnya Ja’far, Beliau segera pergi mengunjungi rumahnya dan meminta isteri Ja’far untuk mengumpulkan anak-anaknya. Ketika anak-anak itu telah berkumpul, Beliau saw memeluk mereka semua dan mencium wajahnya sementara air mata Beliau jatuh bercucuran. Asma, isteri Ja’far, berkata: Saya bertanya pada Rasulullah apa yang telah terjadi. Rasulullah menjawab: Ja’far telah syahid. Asma berkata: Ketika aku mendengar kabar syahidnya Ja’far aku menangis dan menjerit. Rasulullah kemudian pergi dan berkata pada para isterinya: Sediakan makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini tengah diliputi kedukaan.
Anak-anak yatim para syuhada membutuhkan seseorang dari ummah ini yang peduli untuk menjadi ayah bagi mereka. Para janda/isteri syuhada seharusnya mendapat kesempatan prioritas untuk dinikahkan kembali jika ia menginginkannya. Hal ini membutuhkan dua perubahan kultural. Yang pertama: masyarakat Muslim harus merubah cara pandang negatifnya atas para perempuan yang menjadi janda. Sayangnya, sampai saat ini banyak kaum lelaki dan pemuda, menghindari menikahi para janda. Stigma seperti ini yang melanda para Saudari muslimah kita harus segera diubah. Yang kedua: masyarakat Islam saat ini masih sangat antipati terhadap poligami, yang sesungguhnya sebuah jalan solusi yang telah disediakan Allah khususnya pada masa perang seperti ini. Bukankah menjadi suatu hal yang tidak adil jika kita ‘mengabaikan’ nasib jutaan Saudari muslimah kita, sehingga mereka tidak dapat merasakan keberkahan pernikahan? Di masa para Shahabat, tidak ada perempuan yang dibiarkan sendiri tanpa adanya suami, sebagai pendamping yang akan memenuhi kebutuhan psikologi, finansial, dan fisik dari para Saudari muslimah itu. Ketika Ja’far syahid di Perang Mu’tah, Abu Bakr menikahi isteri Ja’far dan menanggung keluarganya.

8. Menanggung Keluarga para Mujahid yang dipenjara
Merawat dan menanggung keluarga muslim yang dipenjara sama pahala dan keutamaannya dengan menanggung keluarga para syuhada. Sungguh sangat penting dan urgen, agar praktek taawun (saling menolong) seperti ini menjadi norma kebiasaan dalam masyarakat Muslim, sehingga ketika ada ikhwah kita yang pergi fi Sabilillah, mereka akan merasa tenang karena ketika mereka terbunuh atau tertangkap, mereka mengetahui bahwa keluarga mereka tidak akan terlunta-lunta.

9. Membayar zakatmu kepada Mujahidin
Distribusi zakat dibatasi kepada delapan kategori (delapan asnaf): Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang faqir, orang miskin, para amil (pengurus) zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, untuk melunasi orang yang berhutang, untuk fi Sabilillah, dan untuk ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan… (QS At Taubah 60)
Fi Sabilillah, di Jalan Allah, merujuk kepada Mujahidin. Para Fuqoha Maliki seperti Abu Bakr bin Al Arabi menyatakan: Imam Malik berkata, “fi Sabilillah memiliki banyak arti, tetapi semua bersepakat, bahwa pengertian fi Sabilillah di sini adalah Jihad”.
Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Minhaj ketika membahas tentang pengeluaran zakat: Mujahidin fi Sabilillah harus diberikan nafkah untuk apa saja yang ia butuhkan juga nafkah bagi keluarganya selama ia pergi berjihad hingga ia kembali pulang. Meskipun kepergiannya memakan waktu yang lama sekali.
Saat ini tidak banyak orang yang membayarkan zakatnya kepada Mujahidin. Tetapi seandainya saja Ummat Islam dapat terhindar dari bisikan setan yang menipu, mereka akan menyadari bahwa hari ini penunaian zakat yang utama adalah untuk Mujahidin. Rasulullah pernah bersabda: Infaq dan shodaqoh tidak boleh diberikan kepada golongan yang kaya, kecuali kepada lima golongan… salah satunya yang disebutkan Nabi saw adalah Mujahidin fi Sabilillah. (Riwayat Abu Dawud). Maka jika zakat saja boleh diberikan kepada Mujahidin sementara ia seorang yang kaya dan mampu, bagaimana dengan kondisi hari ini, ketika Mujahidin kita hari ini setidaknya adalah golongan yang menghimpun empat asnaf zakat sekaligus: mereka adalah kaum yang faqir (sangat membutuhkan), mereka adalah orang-orang yang miskin, mereka adalah ibnu sabil (karena mereka adalah muhajirun, orang yang berhijrah meninggalkan kampung halaman dan negerinya), dan mereka adalah Fi Sabilillah!
Bayarkanlah zakatmu kepada Mujahidin dan ajaklah sebanyak mungkin orang untuk melakukan hal yang sama.

10. Kontribusi dalam memenuhi kebutuhan medis dan pengobatan Mujahidin
Mujahidin kita sangat membutuhkan bantuan medis apa saja yang bisa mereka dapatkan. Mereka sangat membutuhkan para dokter dan pekerja medis, mereka membutuhkan rumah sakit dan klinik, dan mereka membutuhkan obat-obatan. Ada ratusan bahkan ribuan dokter muslim. Tetapi betapa banyak kami mendengar berbagai kisah Mujahid yang terluka, yang sesungguhnya luka mereka dapat tertolong, tetapi mereka syahid menghadap Allah, karena tiadanya pertolongan medis yang memadai. Para Mujahid ini menderita sakit yang sangat panjang sebelum mereka syahid menghadap Allah. Kepada kalian wahai Ummah, yang mempelajari ilmu medis dan kedokteran, dan kalian berkata bahwa kalian melakukannya demi meraih ridla Allah, kepada kalian kami katakan: ‘Aina Antum? Di manakah kalian?
(Al Imam Abdullah Azzam bercerita, banyak peristiwa amputasi dilakukan sementara sang Mujahid yang terluka dalam keadaan sadar, dan alat yang digunakan adalah gergaji kayu! Sehingga sang Mujahid ini syahid bukan karena lukanya, tetapi karena kehabisan darah setelah amputasi. Pent)
Dikisahkan tentang Khattab (Shamir bin Sholeh As Suwailim), Komandan Islam legendaris di Chechnya, pernah terluka dan para sahabatnya tidak dapat menemukan satupun dokter Muslim untuk memberi perawatan medis untuknya, sehingga terpaksa Beliau dibawa ke klinik Palang Merah, dan mereka memberi perawatan medis untuknya di bawah todongan senjata!
Para dokter dan pekerja kesehatan Muslim memiliki tanggung jawab sangat besar dan kontribusi mereka begitu diperlukan. Kenyataannya bisa jadi pahala mereka bahkan lebih besar dari para Mujahid.
11. Memberikan dukungan moral dan mendorong semangat
Ketika Mujahidin mendengar para Imam memanjatkan doa untuk mereka, para ulama menyampaikan fatwa untuk mendukung dan membela mereka, serta mendengar kumpulan masyarakat Islam memuji dan menyemangati mereka, ini akan mendorong kekuatan dan meneguhkan hati mereka. Sayangnya, kami mendapati banyak Muslim mengkhianati saudara mereka Mujahidin dengan melontarkan cercaan dan hinaan terhadap mereka (mereka berkata bahwa Mujahidin adalah teroris, mereka berkata bahwa aksi jihad adalah irhab/teror, mereka membeda-bedakan bumi jihad, dll. Pent). Kami menyaksikan banyak ulama mengeluarkan fatwa untuk mendukung pemerintah murtaddin dalam rangka memerangi Mujahidin. Janganlah engkau meremehkan efek negatif pengkhianatan seperti ini terhadap Mujahidin.

12. Melindungi Mujahidin dan bangkit membela mereka
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa membela kehormatan saudaranya, Allah akan menjaga wajahnya dari api Neraka pada Hari Qiyamat. (Diriwayatkan At Tirmidzi)
Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa membiarkan kesucian saudara muslimnya dilecehkan dan kehormatannya dihinakan, Allah akan meninggalkannya ketika ia tengah sangat butuh pertolongan. Barangsiapa melindungi kesucian saudara muslimnya, dan membela kehormatannya, Allah akan melindungi dan membelanya ketika ia tengah membutuhkan pertolongan. (Diriwayatkan Abu Dawud)
Maka wajib bagi kita untuk bangkit membela dan mempertahankan saudara kita yang telah membela kita dan agama kita. Seperti ‘hukum ibu jari’, kita tidak boleh saling bersepakat dalam kata dan tindakan untuk melawan saudara kita di dalam Islam, terlebih lagi mereka yang telah mempersembahkan hidupnya demi membela Islam. Dan kita tidak boleh saling bersepakat dalam kata dan tindakan bersama kaum kafir yang memusuhi Allah SWT.
Dan jika engkau tidak mampu menyampaikan kebenaran, maka diam lebih baik.

13. Melawan kebohongan media barat
Persepsi dari banyak Muslim hari ini dibentuk dan diarahkan oleh media barat. Padahal Allah berfirman: Wahai orang Mu’min, jika datang orang fasiq kepadamu membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar jangan engkau menimpakan satu mushibah pada satu kaum disebabkan karena ketidaktahuanmu, yang menyebabkan engkau kemudian menyesal. (QS Al Hujurat 6)
Lalu bagaimana jika ternyata yang membawa berita itu bukan hanya fasiq, tetapi kafir?
Media barat telah memainkan perannya yang sangat berbahaya, karena kenyataannya mereka sengaja membungkus kejahatan dan kekejian dengan jubah kebenaran dan obyektifitas. Tidakkah engkau saksikan, media barat secara konsisten berusaha menutupi segala kekejian dan kekejaman yang dilakukan pihak barat (kuffar) sementara mereka ‘memblow up’ berbagai insiden, yang sesungguhnya sangat kecil dan tak sebanding dengan kejahatan barat, jika itu dilakukan oleh Muslim? Tidakkah engkau saksikan media barat telah berhasil mempresentasikan para auliya Allah, mereka yang berjihad membelaNya, sebagai pengikut setan dan kejahatan, sementara Firaun hari ini beserta seluruh antek-anteknya dipersepsikan sebagai tentara kebaikan? Media barat telah memainkan perannya dalam menyebarkan kebohongan kepada masyarakat Muslim kita.
Inilah rentetan kenyataannya. Media ini telah secara konsisten melakukan aksi demonisasi (pemburukan citra) terhadap Mujahidin, menyebarkan berbagai kebohongan tentang mereka, memblowup kekeliruan mereka (meski itu sekedar kekeliruan kecil), menebarkan benih perpecahan di antara Mujahidin, berusaha membunuh karakter dan menghancurkan citra/reputasi para pimpinan Jihad, mengabaikan atau memburukkan citra para ulama yang shidq, sementara di sisi lain mengagung-agungkan serta mempromosikan ulama su’ (ulama thowaghit). Karena itu saudara saudariku, di antara bagian kewajiban kita adalah mengkampanyekan kesadaran ini kepada masyarakat Muslim kita. Engkau harus mendorong masyarakat Muslim untuk bersikap hati-hati dan kritis terhadap media barat. Seorang Muslim tidak boleh mempercayai narasumber barat kecuali mereka telah dikonfirmasi oleh sumber Muslim yang terpercaya. Aku katakan sumber Muslim yang terpercaya, karena ayat Al Quran yang berbicara tentang peringatan Allah terkait dengan berita adalah berita yang bersumber dari orang Muslim yang fasiq. Bukan berarti kita tidak menerima seluruhnya segala hal dari media barat itu bahkan ramalan cuaca! Tidak, tetapi yang ingin kami tegaskan adalah hendaknya engkau bersikap kritis dan tabayyun khususnya jika itu berita yang terkait dengan Islam dan Muslimin. Kita sering menyaksikan, media yang telah terkenal reputasinya sebagai media yang obyektif dan menjunjung tinggi kode etik pers, berubah menjadi media ‘pembohong’ dan manipulatif manakala isu yang diangkat adalah berbagai berita tentang Ummat Islam. Kita menyaksikan demikianlah orang-orang kafir telah mentradisikan ‘kedengkian’ ini terhadap kita semenjak masa awal fajar sejarah, lalu apakah ada alasan kuat bagi kita untuk percaya saat ini bahwa mereka telah berubah?

14. Membongkar kebusukan Kaum Munafiq
Kaum Munafiqin telah memainkan peran yang sangat membahayakan masyarakat Islam semenjak masa Nabi saw, dan demikian terjadi hingga sekarang. Rasulullah memerangi mereka dan memerintahkan kita memerangi mereka dengan membongkar segala kebusukan mereka. Jika pertempuran terhadap kaum kuffar utamanya dengan pedang, maka pertempuran terhadap kaum munafiq menggunakan bayan, penjelasan, ide, dan hujjah. Orang munafiq bersembunyi di balik tameng agama dan simbol-simbol religius untuk menyebarkan ide beracunnya, maka salah satu cara untuk menghadapi mereka adalah menyampaikan Al Haq dan membuka kebohongan mereka. Senjata kalian untuk menghadapi mereka adalah Al Quran dan Sunnah.
Beberapa tokoh kemunafiqan ini bisa jadi sangat kharismatik. Mereka tampil sangat impresif, menarik perhatian (ditambah lagi blowup media massa terhadap mereka). Tetapi sesungguhnya mereka semua palsu. Allah berfirman: Jika kamu melihat mereka, penampilan mereka akan membuatmu kagum. Dan jika mereka bicara, maka kamu akan mendengarkannya. Mereka seperti kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan yang keras ditujukan terhadap mereka. Mereka itu adalah musuh sebenarnya, maka waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah menghancurkan mereka, bagaimanakah mereka sampai dapat dipalingkan (dari kebenaran)? (QS Al Munafiqun 4)
Para ulama su’ (ulama yang buruk), serta penyebar ideologi sesat adalah di antara mereka yang harus dihadapi dengan hujjah untuk mengungkapkan kebusukan mereka.

15. Mendorong ummat (orang lain) untuk berjihad
Mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan adalah salah satu bentuk ibadah. Ia adalah salah satu amal dari usaha amr ma’ruf nahi munkar. Sebagai tambahan, mendorong ummat untuk berjihad adalah salah satu bentuk ibadah yang diperintahkan Allah kepada kita. Allah berfirman: Wahai Nabi, doronglah kaum Mu’minin untuk berperang… (QS Al Anfaal 65). Dan Allah berfirman: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri[324]. Kobarkanlah semangat Para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah Amat besar kekuatan dan Amat keras siksaan(Nya). (QS An Nisaa 84)

16. Melindungi Mujahidin dan menjaga rahasia mereka (Wa’yul Amni)
Kita harus menjaga lisan. Kadangkala engkau membahayakan saudaramu secara tak sengaja karena lisanmu. Seorang Muslim harus membiasakan dirinya mampu menjaga rahasia. Kita dapat mengambil ibrah dan pelajaran dari Sirah bagaimana para Shahabat menolak menceritakan sesuatu bahkan kepada para isteri mereka jika hal itu merupakan rahasia yang disampaikan Nabi saw kepada mereka. Kadangkala engkau perlu menjaga rahasia dari orang-orang terdekatmu: isteri, orang tua, anak, saudara, karena mereka ini bisa jadi celah yang dapat menerobos kita. Seorang Muslim cukuplah mengatakan sesuatu yang memang diperlukan. Bekerjalah berdasarkan kaidah ‘sebatas tahu dan sebatas perlu’. Banyak amal-amal serta kerja Jihad yang pada dasarnya bersifat rahasia dan klandestin (tersembunyi). Maka hendaknya kita berhati-hati dengan lisan kita. Banyak kegagalan dan bahaya menimpa berbagai kerja Jihadi disebabkan seorang ikhwah yang baik dan jujur tetapi tidak berhati-hati menjaga lisannya.
Musuh Islam berusaha merekrut Muslim untuk menginfiltrasi amal Islami. Mereka akan berkata kepada kita bahwa apa yang kita kerjakan itu demi melindungi Islam. Mereka bahkan dapat mendatangkan ulama untuk meyakinkan kita. Di antara kewajiban yang harus engkau lakukan dalam hal ini adalah memperingatkan masyarakat Islam bahwa kegiatan mata-mata (tajassus, mengintai) terhadap sesama Muslim untuk kepentingan kaum kuffar dan antek-anteknya adalah satu tindakan kekufuran. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS Al Maidah 51)

17. Berdoa untuk Mujahidin
Jangan pernah meremehkan doa yang sholeh dan ikhlash. Rasulullah saw bersabda: Ummat ini diberi kemenangan melalui kaum yang lemah di antara mereka, melalu doa yang mereka panjatkan, doa yang sholih dan ikhlash. Berdoalah sentiasa untuk Mujahidin di setiap sujudmu karena itu adalah saat paling dekat antara engkau dengan Rabbmu. Yang juga penting adalah doa qunut di dalam shalat. Doronglah para Imam masjid untuk memanjatkan doa qunut setiap shalat terutama ketika terjadi kondisi genting atau membahayakan Mujahidin. Beginilah Sunnah Rasulullah.
Salah seorang Panglima Besar Islam dari Bani Ummayah, Komandan Qutaibah bin Muslim Al Bahili berkata dalam satu pertempuran: Melihat Sheikh Muhammad bin Wasi’ (salah seorang ulama salaf) mengangkat telunjuknya ke angkasa (untuk berdoa kepada Allah di tengah kecamuk perang) lebih aku sukai daripada seribu bilah pedang termasyhur di tangan seribu pemuda perwira.

18. Mengikuti berita tentang Jihad dan menyebarkannya
Sentiasa mengikuti perkembangan Jihad dan Mujahidin sangat penting karena:
· Akan menjaga engkau untuk tetap ‘menyatu’ dengan Jihad dan berinteraksi secara hidup
· Akan mengokohkan rasa ‘sense of belonging’ (rasa memiliki), ghirah (semangat, kecemburuan) demi Ummah ini
· Akan semakin meneguhkan cita-citamu untuk bergabung dalam Jihad, manakala engkau menyaksikan berbagai aksi kepahlawanan para Mujahidin. Juga akan menajamkan cita-cita serta doamu untuk mati syahid, manakala engkau menyaksikan keteguhan dan keperwiraan para syuhada
· Mereka yang sentiasa mengikuti perkembangan berita Jihad dan Mujahidin akan menyaksikan bagaimana Allah melindungi dan membela hamba-hambaNya serta memimpin mereka meraih kejayaan. Mereka akan menyaksikan bagaimana Ummah ini diarahkan menuju Era Islam di bawah kepemimpinan At Thaifah Al Manshurah, sebagaimana telah banyak disebutkan dalam hadits Rasulullah saw
· Membaca dan mempelajari kitab sirah serta fiqh tentang Jihad akan memberimu wawasan teoritis. Mengikuti perkembangan berita Jihad dan Mujahidin akan memberimu wawasan praktis dan teladan nyata bagaimana saudaramu Mujahidin tengah menerapkan berbagai teori tentang Din ini ke tengah kancah kehidupan nyata hari ini. Hal ini akan memberimu wawasan yang nyata, pemahaman yang realistis.
· Berita tentang Jihad sesungguhnya berita tentang peperangan abadi antara Al Haq melawan Al Bathil yang telah berlangsung semenjak masa Adam as hingga Hari Qiyamat nanti. Mengikuti berbagai perkembangan Jihad akan menghidupkan interaksimu dengan Al Quran. Ketika engkau membaca Al Quran dan mempelajarinya dengan wawasan seperti ini maka engkau akan semakin erat berhubungan dengan Kitabullah daripada mereka yang membaca/mempelajari Al Quran tetapi ‘menutup dirinya’ dari berbagai dinamika nyata kehidupan dan hidup di ‘ketinggian menara gading’. Hubungan dan pemahamanmu dengan Kitabullah akan mencapai puncaknya ketika engkau terjun langsung mengalami sendiri konflik pertempuran abadi ini manakala engkau telah bergabung dengan barisan Mujahidin
Aku perlu untuk menegaskan kembali apa yang telah aku jelaskan di point 13, yaitu engkau harus mengambil dan menyebarkan berita dari sumber yang terpercaya. Karena menyebarkan rumor dan kabar burung adalah salah satu karakter orang munafiq. Allah berfirman: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS An Nisaa 83)

19. Menyebarkan tulisan Mujahidin dan karya ilmiah para Ulama mereka
Sungguh sangat disayangkan, kita mendengar beberapa kalangan Muslim berkata bahwa Mujahidin tidak memiliki ulama yang mendukung mereka dan mengarahkan mereka. Mereka mengklaim bahwa karena tidak adanya ulama, Mujahidin dalam aksinya sangat reaksioner, spontan, dan tanpa strategi yang matang. Kenyataannya ada banyak ulama dan para pemikir strategis yang hari ini mendukung Jihad. Permasalahannya, karena mereka berada di atas Al Haq maka kebanyakan mereka terbunuh syahid, dipenjara, atau terpaksa bergerak di bawah tanah (secara rahasia). Meskipun begitu, Alhamdulillah, Jihad tetap memiliki sumber daya dan materi yang mendukung amaliyatnya dan mengarahkan strateginya.
Kenyataannya, banyak tulisan, analisa, pembahasan masalah, dan karya ilmiyah para Ulama Jihad (Ulama Ahlu Tsugur) mungkin yang paling baik, paling mendalam, paling kuat hujjahnya, dan sangat berakar aspek syariahnya. Hal ini tidak aneh, karena mereka berbicara dan mengungkapkan segala hal apa adanya, secara jujur. Mereka menyampaikan Al Haq sebagaimana sejatinya Al Haq itu, tanpa perlu mengabaikan berbagai hujjah syariah yang telah nyata, memanipulasi berbagai teks syariah, mencari-cari fatwa atau pendapat ‘aneh’ (sebagaimana sering dilakukan para ulama thowaghit dalam rangka mencari ‘pembenaran’ – atau legitimasi syar’i atas pesanan para thowaghit). Para Ulama Mujahidin menampakkan secara tegas bahwa mereka tidak takut pada siapapun, pada apapun. Mereka hanya takut kepada Allah. Mereka juga tidak khawatir dibenci atau membuat marah orang lain, asalkan Allah ridla pada mereka. Mereka sentiasa merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Shohihah, serta pemahaman dan atsar Salafush Sholeh, seperti para ulama salaf dari ummat kita, antara lain Ibnu Hajar Al Atsqalani, Imam An Nawai, Al Qurthubi, Al Hafidz Ibnu Katsir, Sheikhul Islam Ibnu Taimiyah, serta Imam yang empat. Tidak ada yang mereka sembunyikan atau mereka tutup-tutupi. Hal ini membuat karya ilmiyah mereka adalah yang paling shohih, shorih, dan rajih.
Untuk mengatasi masalah tidak adanya penerbit atau media yang mau menerbitkan dan menyebarkan karya mereka, maka tugas ini jatuh ke pundak Mujahidin dan para pendukungnya untuk menyebarkan karya ilmiyah para ulama mereka. Ini adalah bagian dari tugas dan tanggung jawab kita untuk menyebarkan ilmu mereka. Beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam bagian ini:
· Menyebarkan buku dan risalah kepada keluarga, kerabat, dan teman
· Memposkan berbagai materi dan risalah ke internet (online)
· Merancang dan mengelola website (situs, blog, milis, dll) untuk mempublikasikan risalah itu
· Mengelola jejaring milis
· Menyebarkan risalah ke masjid-masjid
· Mendistribusikan risalah di perkumpulan-perkumpulan
· Aktif membina lingkar-lingkar halaqah yang mempelajari risalah tersebut

20. Menerbitkan dan menyebarkan fatwa untuk mendukung Mujahidin
Ada para ulama yang masih bersedia berbicara menegaskan kebenaran. Para ulama hanif seperti ini harus didorong untuk mendukung Mujahidin, dan para ikhwah harus mendukung ulama ini, sehingga para ulama hanif itu mengetahui ada para ikhwah yang mendukungnya. Fatwa dari para ulama ini harus disebarluaskan. Ada banyak Saudara dan Saudari, para pemuda yang sesungguhnya memiliki pandangan yang sama dan menyepakati manhaj Mujahidin tetapi mereka belum betul-betul menerimanya hingga mereka menyaksikan adanya ulama yang menyetujui dan mendukung manhaj itu. Sesungguhnya segenap ummat ini tengah menanti adanya ulama yang akan mengarahkan mereka.

21. Menyampaikan informasi dan berbagai perkembangan Jihad dan Mujahidin kepada para Ulama dan Imam
Seorang ulama bukan berarti ia mengetahui segalanya. Bahkan kenyataannya, seseorang yang mengambil spesialisasi pada disiplin ilmu tertentu menjadi sangat fokus pada ilmunya itu, dan mengabaikan ilmu yang lain. Para ulama dan imam perlu untuk sentiasa diberikan informasi yang shohih. Dalam beberapa pengalamanku berbicara dan berdiskusi dengan beberapa ulama, bahkan beberapa di antara mereka adalah ulama kaliber dunia, aku dibuat heran mengetahui ternyata banyak di antara mereka yang sedikit pengetahuannya tentang Mujahidin. Mereka tidak tahu dan kekurangan informasi tentang Mujahidin, tentang pendirian Mujahidin atas suatu isu, mereka juga kekurangan berita serta materi publikasi tentang Mujahidin.

Musuh Islam mengetahui peran penting ulama dalam masyarakat Islam. Karena itu mereka memberikan perhatian khusus kepada para ulama. Musuh Islam sangat senang jika para ulama kita disibukkan dalam debat dan berselisih mengenai berbagai isu dan masalah yang bukan pokok, untuk mengalihkan perhatian mereka dari berbagai isu sentral dan nyata yang tengah dihadapi oleh Ummah.
Apa yang dapat dilakukan oleh ikhwah sekalian, adalah mempengaruhi para ulama itu, dan mengarahkan cara pandangnya ke arah kebenaran. Karena ketika engkau dapat mengarahkan pola pandang sang ulama, engkau dapat mengarahkan pola pandang ribuan Muslim yang lain. Berikanlah para ulama berbagai bahan bacaan pilihan. Pada tahap awal, berikanlah kepada mereka bahan materi yang ringkas. Ingatlah, para ulama itu cenderung ada dalam keadaan sibuk, dan memiliki banyak agenda serta bahan di meja kerja mereka untuk mereka telaah dan pelajari, Karena itu kita harus mengikuti irama kerja mereka dan mengakomodasi kesibukan mereka. Berdiskusilah dengan mereka terkait dengan bahan yang mereka baca, dan berdiskusilah dengan mereka sebagai murid, bukan sebagai lawan/opponent. Hindari mengkonfrontasi mereka dengan pertanyaan kontroversial, karena kekhawatiran atau kewaspadaan mereka akan dapat menyebabkan mereka menghujani engkau dengan rentetan opini yang sebetulnya tidak benar-benar mereka yakini, tetapi mereka kemudian bersikukuh dan membela mati-matian opini tersebut hanya karena mereka telah mengatakannya. Berikanlah para imam dan khatib bahan untuk diskusi dan khutbah mereka, sehingga mereka dapat menyampaikan bahan materi itu dalam khutbahnya, khususnya khutbah Jum’at.

22. Melatih kebugaran fisik
Rasulullah saw bersabda: Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah daripada Mu’min yang lemah, dan pada keduanya tetap ada kebaikan. (diriwayatkan oleh Muslim). Melatih kekuatan fisik adalah bagian dari I’dad (persiapan) untuk Jihad. Yang diperlukan oleh Jihad bukanlah tubuh yang kekar. Yang dibutuhkan Jihad adalah seorang Mujahid yang dapat berjalan jauh berjam-jam, berlari jarak jauh (sangat penting dalam perang gerilya), dapat berlari cepat – sprint (sangat berguna dalam perang kota), serta mendaki gunung – tebing. Seorang Mujahid harus mampu melakukan berbagai hal itu sambil membawa beban yang berat. Di medan Jihad seperti Bosnia dan Chechnya, seorang ikhwah yang lemah atau sakit akan menjadi beban penghalang bagi saudaranya yang lain, karena ikhwah yang lemah ini akan memperlambat gerak pasukan secara keseluruhan, serta mudah jatuh ke tangan musuh. Karena itu melatih ketahanan – endurance (daya tahan, keshabaran) lebih didahulukan. Baru setelahnya kita dapat melatih kekuatan – strength, dan kelenturan – flexibility.
Meskipun seorang Muslim tidak sedang berangkat berjihad, kebugaran fisik tetap penting. Sebagai contoh, seorang Muslim yang kuat fisiknya dapat bertahan menghadapi siksaan di penjara lebih lama dari Muslim yang lemah. Muslim generasi awal sentiasa dalam keadaan sehat dan kuat karena mereka hidup dalam tradisi kemiliteran – askari (ketentaraan). Shahabat Amr bin Ash, salah seorang komandan Islam yang membuka Bumi Mesir pada masa Khalifah Umar ra, dan kemudian ditunjuk sebagai gubernur di sana pernah menyampaikan dalam khutbah Jum’at: Saya tidak ingin melihat kalian bertambah gemuk sementara kuda-kuda kalian bertambah kurus. Jika saya melihat hal itu, maka saya akan mengurangi gaji kalian sepadan dengan pertambahan berat badan kalian.
Ikhwah fillah, berlatih kekuatan fisik dengan niyat yang benar adalah bagian dari ibadah. Dan para Saudari saudari kita juga tidak terkecuali. Para Saudari muslimah kita juga harus sehat dan kuat. Menjadi tanggung jawab dari komunitas Muslim untuk mengusahakan sarana yang memungkinkan bagi Saudari Muslimah kita untuk berlatih kekuatan fisik yang sesuai dengan tuntunan syariat.

23. Berlatih senjata
Mempersiapkan diri untuk Jihad adalah kewajiban, karena Jihad hari ini adalah faridlah ain. Satu prinsip syariat berbunyi: Suatu kewajiban yang tidak dapat dilakukan kecuali dengan memenuhi prasyaratnya, maka usaha untuk memenuhi prasyarat tersebut menjadi wajib.
Berlatih senjata adalah bagian yang sangat esensial dalam persiapan Jihad. Allah berfirman: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS Al Anfaal 60)
Dan mengomentari ayat 60 Surah Al Anfaal ini, Rasulullah bersabda: Sesungguhnya kekuatan itu ada pada melontar (menembak), sesungguhnya kekuatan itu ada pada melontar (menembak). (Diriwatkan oleh Muslim)
Persoalan ini sangat kritis, sehingga jika pelatihan senjata tidak dimungkinkan di negeri kalian, maka engkau harus berusaha mencari kesempatan pelatihan seperti itu di negara lain, jika engkau dapat.

24. Keterampilan medis dan P3K
Dalam banyak situasi Mujahidin tidak dapat mengakses rumah sakit dan klinik. Dalam situasi seperti itu keterampilan medis dan P3K menjadi pilihan yang ada. Karena itu berlatih keterampilan P3K sangat relevan untuk menghadapi berbagai kemungkinan eksterm yang dihadapi di medan Jihad. Maka perlu ada koordinasi antara Saudara atau Saudari yang ditunjuk untuk mendalami keterampilan medis dan P3K untuk berkoordinasi dengan ikhwah yang memiliki pengalaman dalam Jihad, sehingga ikhwah yang mendalami bidang medis tersebut dapat memiliki gambaran tentang situasi yang mungkin dihadapi.

25. Mempelajari Fiqh Jihad
Engkau harus berusaha mempelajari fiqh Jihad, termasuk fatwa para ulama terkait berbagai isu yang dihadapi Mujahidin dalam medan Jihad hari ini. Berbagai pemahaman yang mesti dipelajari misalnya hukum Jihad hari ini, hukum dan kondisi Daarul Harb, permasalahan rakyat sipil dan ‘collateral damage’ (korban rakyat sipil tak disengaja), masalah perjanjian keamanan dengan pemerintahan nonmuslim, berjihad ketika tidak ada Imam, hukum pemerintahan Muslim yang ada saat ini. Mempelajari berbagai aspek dari fiqh Jihad sama pentingnya dengan mempelajari fadlilah Jihad (seperti yang telah ditulis dalam kitab Masyariul Aswaq, Ibnu Nuhas Ad Dimasyqi). Engkau juga perlu untuk mempelajari berbagai tulisan para ulama dan cendekiawan yang tengah memetakan kondisi Jihad hari ini.

26. Melindungi Mujahidin dan membantu mereka
Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain saling melindungi. (QS Al Anfaal 72)
Allah berfirman: Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (QS Al Anfaal 74)

Ketika Mujahidin dalam bahaya, kita harus memberi mereka perlindungan. Memang benar, seringkali tindakan seperti itu sangat berbahaya dan menuntut konsekuensi yang besar. Tetapi itu bisa jadi semua adalah pengorbanan yang mungkin kita persembahkan demi mendapat ridlo Allah. Taliban memberikan perlindungan dan menyediakan naungan bagi Mujahidin antar bangsa yang berhijrah. Dan apa konsekuensi yang harus mereka bayar? Mereka kehilangan kekuasaan dan pemerintahannya. Tetapi itu bukanlah satu bentuk kekalahan. Di mata Allah itu adalah kemenangan. Sesungguhnya engkau telah menang, meski berapapun harga dan kehilangan dunia yang engkau derita, selama engkau tetap teguh memegang Din Allah. Dan engkau sesungguhnya telah kalah, meski berapapun banyaknya keuntungan dunia yang engkau peroleh, jika ternyata dengan itu engkau mengorbankan Din dan imanmu.
Kita harus membuka rumah kita untuk Mujahidin di antara kita, dan kita harus memberi mereka bantuan dan perlindungan yang mereka butuhkan. Bukankah hal ini adalah hal yang menyebabkan kaum Anshar mendapatkan status yang mulia di sisi Allah?

27. Membangun aqidah Al Walaa’ wal Baraa’
Perihal membangun wala’ (loyalitas) hanya kepada Allah, RasulNya dan orang beriman, serta deklarasi permusuhan dan peperangan terhadap orang-orang kafir dan tuhan-tuhan mereka seringkali tidak mendapat perhatian yang semestinya dalam lingkar-lingkar studi keislaman. Allah berfirman: Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. kecuali Perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan Kami hanya kepada Engkaulah Kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah Kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah Kami kembali.". (QS Al Mumtahanah 4)
Allah berfirman menggambarkan mereka yang berjuang di jalanNya sebagai: Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui. (Qs Al Maidah 54)
Seorang Mujahid harus memiliki pemahaman yang bersih tentang arti wala’/loyalitas terhadap Allah, RasulNya, dan kaum mu’min, dan di saat yang sama mendeklarasikan permusuhan dan kebencian terhadap kaum kafir dan kekufuran. Ibnu Taimiyah menegaskan: Engkau harus tetap lebih mencintai orang mu’min kendati ia mengecewakanmu atau berbuat salah kepadamu, dan engkau harus tetap lebih membenci orang kafir kendati ia berlaku baik kepadamu.
Membenci orang kafir dan kekafiran adalah elemen sentral dari aqidah kita. Kita harus menyadari bahwa Allah SWT tidak akan pernah melimpahkan kita kemenangan selama kita tidak memiliki sikap yang tegas mengenai wala dan bara, selama kita masih memiliki rasa cinta walaupun sedikit dalam hati kita terhadap musuh kita dan musuh Allah dan RasulNya. Kondisi spiritual di mana terbangun kokoh loyalitas total kepada Allah dan permusuhan total kepada musuh-musuhNya adalah salah satu pilar penting yang menjadi dasar keputusan Allah antara rasul-rasulNya dengan ummatnya yang kafir. Allah tidak akan pernah melimpahkan kemenangan kepada para Nabi dan ummatnya hingga mereka menegakkan loyalitas yang sempurna kepada Allah dan menegakkan permusuhan yang sempurna kepada kaum kuffar.

28. Menunaikan tanggung jawab kita terhadap para tawanan muslim
Rasulullah bersabda: … dan bebaskan para tawanan… (diriwayatkan oleh Bukhari). Para ulama kita telah berkata bahwa wajib bagi kaum Muslim untuk membebaskan saudaranya yang ditawan musuh, meski itu harus ditebus mengorbankan seluruh kekayaan mereka.
(Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengutus AbdurRahman bin Amrah untuk pergi menghadap Kaisar Konstantinopel menebus kaum muslimin yang ditawan. Umar bin Abdul Aziz berkata: Tawarkan kepada mereka uang tebusan. AbdurRahman bin Amrah bertanya: Ya Amirul Mu’minin, bagaimana jika mereka meminta dua kali lipat? Umar bin Abdul Aziz berkata: Tebuslah mereka apapun yang diminta dengan apa yang kita punya, meski itu akan menghabiskan seluruh harta kita. Sesungguhnya ketika engkau menebus kaum Muslimin yang ditawan, sesungguhnya engkau tengah menebus Islam! Pent)
Banyak saudara kita Mujahidin yang terlupakan, meringkuk dalam sel-sel penjara rahasia di hampir setiap benua di seluruh dunia. Kita harus membangkitkan kesadaran Ummah terkait masalah ini. Berdoalah sentiasa untuk para asraa (tawanan) dan berjuanglah sekuat tenaga demi pembebasan mereka.

29. WWW Jihad (Jihad internet)
Internet telah menjadi media yang luar biasa dalam menyebarkan seruan Jihad dan mengirimkan berita tentang Mujahidin. Dalam beberapa hal, Saudara dan Saudari fillah dapat berpartisipasi sebagai “Mujahidin internet” (Sheikh Aiman Adz Dzawahiri menyebutnya dengan “Junudul Majhulin” – Tentara tak dikenal. Pent) dengan melakukan beberapa hal seperti di bawah ini:
· Merancang forum diskusi internet yang menyediakan media yang bebas dan tak disensor mengenai informasi tentang Jihad.
· Merancang milis untuk saling berbagai informasi dengan para ikhwah yang memiliki minat yang sama
· Posting atau mengirim email mengenai literatur dan berita Jihad
· Merancang website yang merangkung topik yang spesifik tentang Jihad, seperti: berita Mujahidin, tawanan muslim, dan literatur Jihad.

30. Mendidik dan membesarkan anak-anak kita untuk mencintai Jihad dan Mujahidin

Anak-anak kita harus dibesarkan dalam suasana perjuangan, dan dididik untuk mencintai Jihad dan Mujahidin. Cerita yang kita sampaikan, kisah sebelum tidur, sedapat mungkin berasal dari sejarah Din kita ini yang kaya dengan berbagai teladan Jihad. Mari kita didik dan kita besarkan anak-anak kita bersama Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Jarrah, Saad bin Abi Waqqash, Muhammad Al Fatih, Muhammad bin Qasim, dan Sholahuddin. Jadikan figur dan idola mereka adalah tokoh-tokoh Mujahidin masa kini. Pada saat yang sama mereka juga harus belajar tentang kehinaan firaun, qarun, abu jahl. Mereka juga harus diajari untuk memahami firaun-firaun masa kini, qarun-qarun masa kini, dan abu jahl masa kini. Anak-anak kita harus diajarkan tidak untuk “jauhi masalah dan jadilah anak yang baik”, tetapi seharusnya ajarkan mereka untuk “berlaku jujur dan benar meski untuk itu engkau mungkin akan menghadapi masalah”. Ajari anak-anak kita sikap inisiatif, proaktif daripada bersikap pasif. Al Zubair bin Awwam, salah seorang dari sepuluh Shahabat yang mendapat kabar gembira masuk Surga, selalu membawa anaknya yang bernama Abdullah ke medan Jihad bahkan sejak sang anak masih kecil. Karena Abdullah masih kecil dan belum mahir bertempur, maka sang ayah membekalinya dengan pisau belati dan membiarkannya berkelana di medan perang mencari orang kafir yang terluka untuk kemudian mengeksekusinya. Kelak Abdulllah tumbuh menjadi salah satu pahlawan legenda dalam sejarah ummat.
Meski Jihad secara fisik adalah domain kaum lelaki, kaum perempuan juga perlu menyelami kehidupan para Mujahid sebagaimana kehidupan para suaminya. Ia harus bersikap suportif jika sang suami akan pergi berjihad, tabah ketika sang suami syahid, dan shabr ketika sang suami tertawan musuh. Para saudari kita Mujahidah harus meneladani kaum perempuan Anshar. Mereka menyaksikan Islam ‘merenggut’ ayah mereka, saudara mereka, para suami mereka, dan anak-anak mereka, tetapi mereka tetap shabar dan bergembira, antusias menyambut Muhajirin, membuka rumah mereka untuk perlindungan, menghabiskan harta dan uang mereka demi Mujahidin, padahal mereka memahami konsekuensi dari segala hal ini.

31. Menghindari hidup mewah
Syuhada (insya Allah) Sheikh Abdullah Yusuf Azzam pernah berkata: Kemewahan adalah musuh Jihad. Jihad adalah jalan kehidupan yang penuh kesulitan dan menuntut pengorbanan. Karena itu menghindari hidup mewah akan menghilangkan beberapa penghalang antara seseorang dengan Jihad. Engkau harus berlatih tidur di lantai, makan makanan sederhana yang berbeda dari yang biasa dimasak ibumu atau isterimu, menggunakan air dingin untuk wudlu dan ghusl (mandi), dan tidak keberatan jika tidak menggunakan shower setiap hari. Seorang ikhwah yang bercita-cita menjadi mujahid harus mampu mengendalikan keinginannya dan mengekang nafsunya. Ia harus melatih dirinya hidup prihatin, ia harus mematahkan beberapa kebiasaannya hidup mewah atau bermanja-manja dan santai. Hendaknya ia berlatih sedikit tidur dengan membiasakan qiyamullail dan berlatih sedikit makan dengan membiasakan shoum setidaknya pada hari Senin dan Kamis. Seorang Mujahid sejati harus mampu melepaskan dirinya dari segala ikatan dengan dunia demi menggapai ridla Allah.

32. Mempelajari keahlian yang dapat bermanfaat bagi Mujahid
Medan Jihad sangat luas dan menuntut banyak keahlian. Para Ikhwah harus mendalami keahlian ini dan memanfaatkannya untuk melayani Islam. Aku menekankan hendaknya keahlian yang kita dapatkan itu kita manfaatkan seoptimal mungkin demi melayani Islam, karena kami banyak mendengar kaum muslimin yang mengklaim bahwa alasan mereka belajar dan mengejar karir/gelar adalah demi melayani Allah dan Islam tetapi setelah mereka mendapatkan gelarnya atau karirnya mereka kemudian lebih melayani kantong mereka dan nafsu pribadinya semata.

33. Bergabung dengan Jamaah/Kelompok yang beramal demi Jihad
Amal jamai adalah kewajiban Muslim hari ini, karena upaya menegakkan hukum Allah, dan itu merupakan kewajiban kita, tidak dapat dilakukan kecuali bersama jamaah. Tetapi banyak sekali jamaah yang berkata bahwa mereka bekerja demi Islam, lalu yang mana yang selayaknya dapat engkau bergabung?
Karena Jihad adalah amal paling besar setelah iman kepada Allah, dan ia adalah di antara peribadatan yang paling diperlukan hari ini, sementara ia juga ibadah yang paling dilupakan, maka engkau harus berusaha dapat bergabung dengan jamaah yang menjadikan Jihad sebagai tujuan utamanya. Setiap jamaah Islam yang tidak beramal demi Jihad, paling tidak ia dikatakan tidak sempurna. Hal ini dikarenakan semenjak Jihad ditetapkan setelah hijrahnya Nabi saw, jamaah di mana di dalamnya terdapat para Shahabat radliallahu’anhum telah selalu menjadikan Jihad sebagai fokus utamanya. Inilah kebenaran dan kenyataan di masa Rasulullah saw, Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan Muawiyah. Sirah mencatat ada sembilan belas pertempuran yang diterjuni langsung Rasulullah dan 55 ekspedisi perang yang ia perintahkan. Kesemuanya terjadi dalam rentang sepuluh tahun! Hal yang sama kita jumpai di masa Khulafa Rasyidin setelah Nabi saw.

34. Persiapan spiritual
Muslim dikalahkan bukanlah karena kekuatan musuh tetapi karena kelemahan Muslim sendiri. Allah berfirman: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS Asy Syura 30)
Karena itu persiapan spiritual diperlukan untuk menunaikan berbagai kewajiban agama. Ketika Rasulullah akan memanggul beban yang berat, maka Allah memerintahkannya untuk mempersiapkan diri secara spiritual: Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari seperdua itu. dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu Perkataan yang berat. (QS Al Muzammil 1 – 5).
Karena Jihad adalah salah satu perintah Allah yang paling berat, maka kita membutuhkan banyak persiapan ruhani.

35. Menuntun Ummat kepada Ulama yang jujur
Kita harus menyadari bahwa saat ini kita hidup pada masa di mana ulama dapat ‘dibentuk/dipesan’. Musuh Islam, melalui kendali mereka atas media dan rejim pemerintahan muslim dapat mempromosikan figur-figur tertentu yang mereka pertimbangkan dapat merepresentasikan sebagai Islam yang lunak dan moderat, mereka kemudian memblowupnya dan menjadikan figur-figur ini seperti selebriti. Seseorang yang ditunjuk menjadi Grand Mufti (mufti besar) di beberapa negeri muslim akan dapat ‘menyulap’ orang-orang ini dengan cepat menjadi ulama kaliber dunia. Rekayasa media, mulai dari program televisi, media cetak, dll, akan menjadikan para figur ini terkenal. Di sisi lain, para Ulama Haq, ulama yang jujur didesak, dibungkam, dikejar-kejar, ditangkap dan dipenjara, atau dibunuh. Media mengabaikannya atau menampilkan figurnya sebagai figur yang jahat sehingga masyarakat tidak memperhatikan atau malah membencinya. Tetapi dengan semua kenyataan itu, apakah para Ulama Haq itu ilmunya lebih lemah dibanding para ulama pemerintah? Kenyataannya, para Ulama Haq, para ulama yang jujur menegaskan kebenaran, lebih mendalam ilmunya, lebih kokoh pemahamannya, karena mereka memahami kebenaran dan bertindak semata demi kebenaran yang mereka yakini.
Menjadi tanggung jawab kita untuk menuntun ummat mengikuti Ulama Haq ini.

36. Mempersiapkan diri untuk berhijrah
Muslim yang hidup di tengah komunitas nonmuslim telah menempatkan diri mereka di bawah belas kasihan orang-orang kafir. Ketika daulah Islam ditegakkan di Madinah, Rasulullah saw mendeklarasikan haram hukumnya hidup di tengah orang-orang kafir. Maka Muslim harus mempersiapkan dirinya untuk berhijrah jika kesempatan telah terbuka. Mempersiapkan diri untuk berhijrah bukan hanya ditujukan untuk mereka yang tinggal di negeri kafir, tetapi juga berlaku kepada seluruh Muslim karena kita sering mendapati Jihad membutuhkan hijrah. Itulah mengapa Rasulullah saw pernah bersabda: Hijrah tidak akan berhenti selama Jihad melawan musuh terus berkobar. (diriwayatkan oleh Ahmad).
(Sementara Rasulullah sendiri pernah bersabda: Jihad akan berlaku sampai hari Qiyamat. Pent)

37. Menyampaikan nasehat kepada Mujahidin
Mujahidin juga dapat berbuat keliru dan memiliki keterbatasan, sehingga mereka juga butuh nasehat. Engkau dapat menyampaikan nasehat secara langsung kepada mereka, engkau dapat mengirimkan, atau mempostingnya melalui internet; apapun metode nasehat yang engkau lakukan, pastikan bahwa semua engkau lakukan demi ridla Allah semata, bukan semata mengkritik dan menyalahkan saudaramu.
Nasehat bukan hanya menunjukkan kelemahan atau kekeliruan mereka, tetapi juga dapat mengusulkan kepada mereka ide-ide baru atau memperingati mereka akan bahaya.

38. Mempelajari hadits tentang Fitan
Hadits tentang fitan (bentuk plural dari fitnah) adalah serangkaian hadits yang disampaian Rasulullah saw yang berbicara tentang berbagai peristiwa yang akan terjadi menimpa Ummatnya setelah Beliau saw wafat. Fitnah berarti cobaan, mushibah. Mempelajari hadits tentang fitan sangat penting, dengan alasan sebagai berikut:
· Ada banyak sekali hadits yang berbicara tentang fitan, sehingga ini mengindikasikan betapa pentingnya untuk mengetahui dan memahaminya
· Umumnya khutbah dan nasehat Rasululllah ringkas dan padat. Tetapi diriwayatkan Rasulullah pernah menyampaikan khutbah atau nasehat kepada sekelompok Shahabat terus bersambung mulai selesai shalat shubuh hingga isya, tidak berhenti kecuali untukk shalat. Dan topik apa yang dibicarakan? Fitnah dan cobaan yang akan melanda Ummat semenjak wafatnya Beliau hingga hari Qiyamat. Jika topik tentang fitan ini tidak penting, mengapa Rasulullah merasa perlu menyampaikannya sehari penuh kepada para Shahabatnya?
· Para Shahabat sangat antusias mengetahui berbagai fitan yang akan melanda, sehingga mereka kerap bertanya pada Rasulullah bagaimana mereka dapat melindungi diri dari fitan itu.
Ada banyak manfaat bagi Mujahidin dalam mempelajari dan mengajarkan hadits tentang fitan:
· Manfaat yang utama adalah mempelajari bagaimana melindungi diri dan menghindari dari jatuh terjerumus ke dalam fitnah
· Ummat Islam dapat memperoleh pemahaman menyeluruh tentang bagaimana ummat dapat memimpin dan bagaimana mencapai kemenangan
· Jihad memainkan peran utama dalam kancah sejarah ummat ini. Mempelajari hadits tentang fitan akan meletakkan Jihad dalam perspektif yang sesuai. Dua pemimpin ummat ini di akhir jaman adalah para Rijalul Jihad, lelaki Jihad: Al Mahdi dan Isa putra Maryam.
· Berbagai hadits tentang fitan menjelaskan secara gamblang kepada ummat ini bahwa kebangkitan ummat menuju kemenangan sejati tidak akan dapat diraih melalui jalan pemilihan (demokrasi) atau da’wah dengan jalan damai, tetapi melalui bertempur dan berperang fi sabilillah.
· Mempelajari hadits tentang fitan dan melihat peran Jihad akan membentuk visi yang jelas kepada setiap Muslim dan mendorong mereka untuk bergabung dalam barisan Mujahidin

39. Menyingkap kebusukan firaun dan para tukang sihir pendukungnya
Berbagai rejim yang kini memerintah negara Islam hari ini memainkan peran sebagai firaun terhadap Musa, dan para ulama thowaghit serta segenap pendukung yang mengelilingi mereka memainkan peran seperti para tukang sihir pembela firaun yang bertugas menipu dan masyarakat. Segenap rejim thowaghit dan para pendukungnya adalah lingkar ketiga dari poros musuh Islam bersama penyembah salib dan zionis, lalu kaum musyrikin dan atheis.

40. Nasyid
Muslim perlu sentiasa diinspirasi untuk melaksanakan Jihad. Pada masa Rasulullah saw, Beliau memiliki sejumlah penyair yang akan menggubah syair untuk memompa semangat kaum Muslimin dan menjatuhkan moral orang-orang kafir. Hari ini peran itu dimainkan oleh nasyid. Nasyid yang baik dapat menyebar begitu luas dan diterima banyak kalangan, yang mana bisa jadi tidak dapat dicapai oleh kuliah atau buku. Nasyid khususnya banyak menginspirasi kaum muda, dan mereka ini adalah pondasi Jihad di setiap masa dan jaman. Nasyid dapat digunakan sebagai elemen penting untuk membangun tradisi dan budaya Jihad. Nasyid cukup banyak dalam bahasa arab, tetapi masih sedikit yang digubah dalam bahasa lain (inggris, indonesia). Maka ini sangat penting bagi para penyair dan seniman untuk mengambil peran dan tanggung jawab ini. Nasyid dapat mengangkat berbagai topik seperti: kesyahidan, Jihad adalah solusi, mendukung Mujahidin, mendukung para pimpinan Jihad saat ini, kondisi ummah, tanggung jawab pemuda, futuhat Islam, dan berjuang mempertahankan Din. Nasyid harus memfokuskan temanya pada keadilan daripada perdamaian, kekuatan daripada kelemahan/kelembutan. Nasyid haruslah tegas, kuat, dan membangkitkan semangat, ketimbang penuh penyesalan dan feminin.

41. Boykot perekonomian musuh
Ketika Tsumamah bin Athaal masuk Islam, ia memboykot Quraisy dengan mencegat setiap karavan yang membawa gandum menuju Mekah yang melewati negerinya. Hari ini Muslim harus memboykot perekonomian musuh dengan berusaha tidak memakai produknya dan mengembangkan produk sendiri.

42. Mempelajari Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa Jihad internasional. Hampir semua literatur Jihad tersedia dalam bahasa Arab dan para penerbit tidak mau mengambil resiko untuk menterjemahkannya. Sementera saat ini, pihak yang bersedia mengeluarkan uang dan mau menerjemahkan literatur Jihad adalah badan intelijen barat… dan sayangnya, mereka tentu tidak mau menyebarkannya kepadamu. Bahasa Arab juga menjadi bahasa komunikasi yang mendominasi, dipakai oleh para Mujahidin antar bangsa di hampir semua medan Jihad, jadi bagi engkau yang ingin berangkat berjihad, tidak ada pilihan lain kecuali engkau harus berusaha mempelajarinya. Sangat penting bagi para Mujahidin untuk saling berkomunikasi dengan bahasa yang standar dan Bahasa Arab adalah pilihan yang paling sesuai.

43. Menerjemahkan literatur Jihad ke bahasa lain
Sebagaimana aku katakan di bagian sebelumnya, hampir seluruh literatur Jihad ditulis dalam Bahasa Arab. Saudara dan Saudari yang mampu berbicara dalam bahasa asing selain Bahasa Arab harus menterjemahkan berbagai literatur berharga ini ke dalam bahasa mereka.
Setiap gerakan perubahan dimulai dengan perubahan intelektual. Menurut riwayat, Sholahuddin memulai gerakan Jihad membebaskan Bumi Islam, pertamakali dengan menggalakkan berbagai tulisan tentang Jihad. Kami menyaksikan hal seperti ini terjadi saat ini. Gelombang kebangkitan Jihad harus disebarkan ke seluruh Muslim dalam berbagai bahasa.

44. Mengajarkan ummat tentang karakteristik At Thaifah Al Manshurah
Rasulullah saw bersabda: Akan sentiasa ada satu thoifah (kelompok) dari ummatku, berperang dan bertempur, mereka mematuhi perintah Allah, mengalahkan musuh mereka, dan mereka tidak akan dapat ditimpakan bahaya dari orang-orang yang melawan mereka hingga tibanya Hari Qiyamat. (diriwayatkan oleh Al Hakim, dan ia menyatakan shahih)
Ini adalah kelompok yang akan sentiasa dimenangkan oleh Allah, dan setiap kita harus berjuang untuk dapat bergabung menyertainya. Engkau dapat mengenali mereka dari beberapa ciri khas yang sentiasa ada pada mereka:
· Mereka adalah ath Thaifah, al jamaah, sekelompok orang yang saling beramal jamai, saling bekerja sama demi kebaikan
· Berperang, ini adalah ciri khas yang menjadi kunci dari thaifah ini. Ciri khas bahwa mereka adalah kelompok yang berperang telah membedakan mereka dari berbagai kelompok dan jamaah Islam yang hari ini ada.
· Tidak akan ditimpakan bahaya dari orang yang melawan/menyelisihi mereka, hal ini terjadi karena mereka memiliki Allah di pihak mereka. Aku pernah mendengar sebuah nasyid (meskipun yang menyanyikannya seorang laki-laki tetapi suaranya begitu feminin sehingga engkau merasa muak mendengarnya), nasyid itu berisi syair yang berbunyi dalam narasi yang berbeda: mereka tidak akan ditimpa bahaya dari orang yang mengkhianati mereka, artinya thaifah ini akan menghadapi pengkhianatan kebanyakan ummat Islam, tetapi itu semua tidak akan membahayakan mereka.
· Mereka kelompok yang menang, menang di sini tidak harus selalu berarti menang atas musuh mereka di dunia. Menang artinya mereka berhasil memelihara Din dan berjuang membelanya hingga mereka mati menemui Allah. Ini artinya mereka tidak pernah menyerah, tidak pernah lemah, tidak pernah berkompromi, dan tidak ragu dalam meninggikan panji-panji Islam.
Mengajarkan orang lain tentang Ath Thaifah Al Manshurah akan menolong mereka untuk menemukan kebenaran. Muslim yang memiliki pengetahuan dasar tentang Islam, memiliki akal sehat, umumnya bersedia mengikuti (bertaqlid) kelompok, jamaah, harakah, atau syuyukh. Dan berpikir sedikit obyektif akan dengan mudah menuntun mereka untuk menemukan jamaah yang mana yang memiliki karakteristik seperti disebutkan di atas. Karena karakteristik Ath Thaifah Al Manshurah ini melekat pada jamaah itu seperti sarung tangan yang melekat pada tangan.

Demikianlah Saudara dan Saudari fillah, ini adalah serangkaian nasehat tentang bagaimana engkau dapat mendukung Jihad hari ini. Seluruh rangkaian nasehat ini tidak akan memiliki arti apa-apa kecuali untuk dilaksanakan. Maka berbuatlah, lakukanlah apa yang dapat engkau lakukan, dan ajaklah orang lain untuk ikut melakukannya.
Sebagai penutup, kami berdoa kepada Allah agar Dia menunjukkan kita jalan yang lurus dan menjadikan kita orang yang sudi mendengarkan nasehat dan mengikuti kebaikan.
Ya Allah! Jadikan kami dapat bergabung menyertai Mujahidin dan limpahkanlah kemenangan kepada kami atas musuh-musuh kami.
Allahumma Aamiin.