Pemikiran Politik Imam Al-Ghazali
بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
Pendahuluan
Corak pemikiran politik Imam Al-Ghazali di latar belakangi
oleh pengalaman-pengalaman Al-Ghazali dengan dunia kekuasaan pada
masanya dan latar belakang keilmuannya yang mendunia. Hal yang menonjol
dari sosok al-Ghazali adalah kepakarnnya dalam tasawwuf dan peningkatan
spiritualitas. Di zaman al-Ghazali, praktik-praktik politik banyak yang
menyimpang dari jalur syari’at, seperti korupsi, penyalah gunaan
kekuasaan dan krisi ulama’. Kritik tajam Imam al-Ghazali pada ulama’
pada waktu itu adalah adanya ulama’-ulama’ yang terikat oleh ambisi
duniawi. Ulama yang berfungsi sebagai penasihat penguasa tidak
menjalankan misinya dengan baik.[1] Kritik-kritik tajam al-Ghazali dituangkan dalam beberapa karyanya, seperti Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddin, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Fadhaih al-Batiniyah.
Kitab Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk
adalah karya utama tentang politik beliau yang berisi nasihat-nasihat
untuk penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang
dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk.
Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah pelindung pelaksanaan syari’at.
Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab seorang penguasa. Maka,
menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen. Dalam hal ini
pandangannya tidak banyak berbeda dengan pemikiran Ibnu Taimiyah.
”Keteraturan agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam
(pemimpin negara) yang ditaati”, kata al-Ghazali[2].
Oleh karena itu, seorang sultan beserta perangkat-perangkat politiknya
harus menjalankan tugas sesuai dengan adab berpolitik. Jika seorang
sultan yang menjaga adab berpolitik, menurut al-Ghazali, maka
sebenenarnya politik, dalam hal ini adalah tugas mulia. Jika penguasa
dan pejabat negara berbuat dzalim, hendaknya dijauhi[3].
Kegelisahan Imam al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa
Buwyhids waktu itu, menyimpulkan dalam pikirannya, bahwa krisis penguasa
sebenarnya berakar dari krisis ulama. Dalam Kitab Ihya Ulumuddin,
beliau berpesan:
Sesungguhnya, kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa
disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh
cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi
ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah
lah tempat meminta segala hal[4].
Di samping krisis ulama’ dan penguasa, pada masa al-Ghazali
sempat berkuasa pemimpin yang beraliran menyimpang dari Ahlussunnah wal
Jamaah. Pada masa kekuasaan Buwaihiyah, tidak saja mereka beraliran
Syi’ah, akan tetapi mereka juga bersikap oposan terhadap kekhalifahan
Abbasiyah dan melakukan tindakan korupsi dan politik kotor. Mereka jelas
tidak mengakui kekhalifahan Abbasiyah yang Sunni. Ironisnya, beberapa
khalifah Abbasiyah seperti al-Mustakfi (333-334), al-Muti’ (334-363),
al-Ta’i (363-381) menggantungkan pada hegemoni Buwaihiyah[5].
Kondisi ini mendorong al-Ghazali menulis kitab Fadaih Batiniyyah yang sarat kritik terhadap doktrin Syi’ah batiniah dan konsep Imamah Syiah. Pada bab tujuh kitab Fadaih Batiniyyah
Imam al-Ghazali menuangkan kritik-kritiknya tentan kebatalan konsep
Imamah dan membongkar kelemahan argumen mereka yang mendasarkan
konsepnya dengan nas-nash al-Qur’an[6].
Dari karya-karya beliau dalam Ihya Ulumuddin, Al-Tibr al-Masbuk fii Nashihat al-Muluk, Ihya’ Ulumuddi, dan Fadaih Batiniyyah
kita bisa menangkap bahwa sosok al-Ghazali adalah ilmuan yang
menerapkan integralitas ilmu, sehingga sebagai seorang yang pernah masuk
ranah politik juga menerapkan integralitas antara ulama-umara, dan
agama-politik. Corak pemikirannya yang anti-dikotomis ini menarik untuk
direlevankan pada dunia politik saat ini yang pada satu sisi menghadapi
krisis moral.
Latar Belakang Sosio-Historis Imam al-Ghazali
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Nama
aslinya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu
Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al
Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada
daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al
Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah
seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin
Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin
Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang
mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami
tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali)[7].
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada
pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya
ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan
Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”[8]
Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah
anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Al-Ghazali muda hidup dan berkembang di lingkungan yang
sangat kondusif bagi peningkatan keintelektualnya. Ayahnya, meskipun
bukan orang ‘alim akan tetapi Muhammad Ath Thusi, ayah beliau, adalah
orang yang sangat mencintai ilmu dan ulama’, ayahnya sering mengunjungi
majelis-majelis ilmu di negerinya. Ayahnya adalah seorang penenun wol
yang meski dengan penghasilan yang biasa ia suka mendermakan sebagaian
hartanya untuk kegiatan-kegiatan keilmuan[9]. Tradisi ayahnya inilah yang membentuk karakter Imam al-Ghazali dalam kelananya mencari ilmu.
Pergulatan al-Ghazali dalam dunia keilmuan dimulai pada
saat usianya masih 15 tahun. Di usianya yang masih remaja ia menunjukkan
tekadnya untuk memburu ilmu kepada Syekh Abu Nasr al-Ismaili – yang
berada di negeri Jurjan. Usai berguru kepada Abu Nasr al-Ismaili
selanjutnya ia meneruskan pengembaraan ilmunya kepada al-Juwaini di
Madrasah Nisabur.
Di Madrasah inilah, bakat keilmuan yang luar biasa dimulai.
Ia belajar dan berdialektika dengan pemikiran-pemikiran yang berkembang
saat itu. Bahkan dengan bekal ilmu fikih, teologi, tafsir, hadis, ushul
fikih, logika dan perangkat ilmu yang lain ia sudah berijtihad – dan
sesekali melakukan perdebatan. Diusia yang baru menginjak tiga puluhan,
al-Ghazali mampu menjawab dan mengkritik tantangan-tangan pemikiran
logika dan filsafat Yunani dan mematahkan pendapat-pendapat
lawan-lawannya.[10]
Sepeninggal gurunya al-Juwaini, al-Ghazali berkelana lagi
bergelut dengan dunia keilmuan. Ia perkgi ke daerah Muaskar dan bertemu
dengan Nizam al-Mulk. Nizam yang menjadi wazir di Daulah Abbasiyah
menyamput baik dan menempatkan al-Ghazali sebagai guru besari di
Madrasah Nizamiyah –Baghdad yang telah berdiri sejak 1065. [11]
Jabatan sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah ini menjadi awal bagi
al-Ghazali untuk menjadi ilmuan Islam yang terkenal di negeri Irak.
Bahkan ia disini ia mengkader seiktar 300-an siswa yang akan menjadi
ulama. Bahkan, kemasyhurannya hampir mengalahkan popularitas penguasa
Abbasiyah[12].
Di madrasah ini al-Ghazali banyak bergelut dengan dunia pemikiran, ia
mempelajari filsafat baik filsafat Yunani maupun dari filsafat Islam. Ia
menulis buku Maqashid al-Falasifah dan Tahafut Falasifah.[13]
Salah satu yang menarik pada masa ini adalah, hubungan
pemerintah yang mendukung dalam jalan dakwah al-Ghazali. Pada masa
Khalifah al-Mustazhir billah, pihak pemerintah sangat peduli dengan
perkembangan pemikiran Islam saat itu. Pemikiran yang keluar dari garis
Sunni, berusaha ditolak. Pada saat itu berkembang madzhab Syi’ah
Batiniyah. Melihat pergerakan yang mereka yang tidak baik akhirnya, Imam
Ghazali didukung penuh untuk mengkounter pemikiran – pemikiran
Batiniyah. Buku Fadaih al-Batiniyah wa Fada’il Mustazhiriyyah
yang ditulis oleh Ghazali khusus untuk mengkounter madzhab Syi’ah
didukung, bahkan diberi biaya untuk menuntaskan penulisan buku tersebut.[14]
Latar Belakang Perpolitikan Semasa al-Ghazali
Sebelum al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) lahir peta
perpolitikan terpecah dalam beberapa faksi yang berakar dari perbedaan
madzhab kalam. Dalam wilayah Daulah Abbasiyah (132-656 H) berkembang
aliran Mur’jiah, Syiah dan Ahlussunnah. Kelompok besar yang berkonflik
adalah Syiah dan Ahlussunnah. Di samping itu kekuasaan Daulah Umaiyah di
Andalusia masih terdapat sisa-sisa yang terpecah-pecah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Sedangkan di Mesir, berkuasa Daulah yang
dipimpin kelompok Syiah Isma’iliyah.[15]
Ketika kekuasaan Abbasiyah mengalami kemerosotan, dinasti
Buwaihi (333-447) di bawah Mu’iz al-Daulah ibn Buwaihi memaksa menguasai
kekuasaan Abbasiah. Dinasti Buwihi masuk perpolitikan Abbasiyah. Mereka
mendirikan institusi Sultan, yang sebelumnya tidak ada dalam Abbasiyah.
Institusi Sultan berhasil memperdayai Khalifah di tubuh Daulah
Abbasiyah. Peran Khalifah seakan tidak berdaya, yang berkuasa penuh
adalah Sultan – dari orang Buwaihi yang berpaham Syi’ah. Bahkan Khalifah
Al-Fadal tidak memiliki kekuatan apapun, ia bahkan samapi dikurung oleh
orang-orang Buwaihi. Khalifah pada masa itu seperti sekedar menjadi
boneka orang-orang Buwaihi.[16]
Akhirnya, kekhalifahan dikuasai oleh Dinasti Buwaihi selama
110 tahun. Di samping melakukan penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam,
yang juga memprihatinkan adalah kalangan pejabat pemerintah banyak
melakukan korupsi[17].
Di bawah penguasaan pejabat Buwaihi spiritual umat mengalamai
kemerosotan. Di antara ulama juga banyak terjangkit penyakit-penyakit
hati.
Bahkan Buwaihi bercita-cita mengubah kerajaan Abbasiah
menjadi kerajaan Syi’ah Zaidiyah, bahkan salah seorang sultannya, Abu
Kalijar mengungumkan bahwa Abbasiah berafiliasi ke Dinasti Fatimi Mesir
yang berpaham Syi’ah Ismailiyah[18].
Namun pada tahun 1055 dinasti Seljuk yang Sunni berhasil menguasai
Baghdad. Dinasti Buwaihid pun menjadi lemah. Meskipun otoritas politik
Daulah Saljuk dipegang oleh sulatan yang dilimpahkan kepada wazir bukan
Khalifah, namun yang menjadi dinasti ini berjaya adalah perhatian
sulatan dalam peningkatan keilmuan warganegara dan memperbaiki pemikiran
umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan mendirikan madrasah Nizamiyah
yang salah satunya menyebarkan paham Sunni.[19] Bahkan menurut al-Subki, Nizam al-Muluk mendirikan 9 madrasah selain madrasah Nizamiyah.
Dinasti Seljuk pun menguasai hampir seluruh negeri, meski
di bebarapa wilayah Buwaihi memiliki kekuasaan. Di bawah Tughrul Beg,
kekacauan masyarakat dan pejabat negera diakhiri dan mendirikan
perubahan penting terutama dalam peningkatan pengetahuan masyarakat.
Yang utama adalah mereka berjasa mendirikan perguruan Nizamiyah.[20]
Di perguruan Nizamiyah inilah karir keilmuan al-Ghazali memuncak,
setelah dingkat Khalifah sebagai Guru Besar di perguruan Nizamiyah.
Kepedulian Sultan Saljuk terhadap ilmu ternyata membawa
angin positif bagi masa depan perpolitikan Nizam al-Muluk. Beberapa
kerajaan bergabung diantaranya, Gaznawi India, kerajaan di Sudan. Dan
pada saat yang sama dengan sendirinya pengaruh Syiah merosot hingga ke
negeri mesir. Hal inilah yang menyebabkan Dinasti Fatimi Mesir merosot
drastis menuju keruntuhan. Fatimiyah diliputi krisis multidimensional,
mulai ekonomi, politik, dan sosial. Masa ini merupakan era kejayaan
Sunni dan kemerosotan Syiah. Di samping dinasti Fatimi, di selatan
kerajaan Ismili Yaman yang berkuasa mulai tahun 438-569 H di bawah Bani
Sulaihi pun juga menyusut.[21]
Seluruh komunitas Sunni di hampir seluruh negeri menolak
kehadiran syiah batiniyah, yang disamping menyimpang, mereka juga
menunjukkan gerakan militan radikal. Atas dasar inilah Nizam Muluk
melarang aliran batiniyah berkembang di wilayah negerinya. Di sini imam
Ghazali memainkan peranannya sebagai ilmuan Islam. Ia menulis buku Fadaih al-Batiniyah yang mengkritik pemikiran syiah batiniyah.
Gerakan politik Syiah di Irak bukan berarti mati, ketika
kerajaan-kerajaan Syi’ah mulai menyusut, militan syiah bergerak di bawah
tanah. Pada tahun 1092 mereka bahkan tiba-tiba mulai tunjukkan kekuatan
yang dipimpin oleh Hasan Ibn al-Sabbah. Bahkan secara mengjutkan, syiah
batiniyah membantai Nizam Muluk.
Pasca wafatnya Nizam al-Muluk inilah kebesaran Abbasiah
mulai turun pada tahun 485 H. Hal ini membawa dampak buruk bagi
kehidupan perpolitikan dan keilmuan di negeri Irak. Kejatuhan khalifah
berdampak pada kembalinya budaya korupsi di kalangan pejabat, munculnya
ulama’ suu’ (jahat) dan pertikaian dengan kelompok sempalan.[22]
Situasi seperti ini yang menjadi tantangan besar bagi Imam al-Ghazali.
Ia mempunyai dua tugas besar yang harus diemban, pertama, memperbaiki
pemahaman ilmu masyarakat dan kedua ia memiliki kewajiban politik untuk
mengingatkan pejabat, sebagaimana yang sudah ia lakukan pada
pejabat-pejabat dinasti Saljuk.
Pengalaman-pengalaman dalam situasi sosial politik seperti
tersebut di atas ditambah dengan corak keilmuan Imam al-Ghazali inilah
yang membentuk karakter pemikiran al-Ghazali tentang politik Islam.
Al-Ghazali telah menunjukkan sebagai ulama yang memiliki pemikiran
cemerlang yang disegani dan diteriman oleh para pejabat negara serta
para ulama lainnya. Penulis menilai corak pemikiran politiknya sangat
benuansa etika dan adab politik. Pemikiran yang cukup menarik adalah
dalam teorinya bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang
mempertimbangkan moralitas untuk kemaslahatan bersama dengan pemimpin
yang mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan moral yang
memenuhi beberapa kriteria yang al-Ghazali idealkan[23]. Pemikiran seperti ini sangat relevan untuk dijadikan referensi bagi para pejabat saat ini.
Etika Kuasa Menurut al-Ghazali
a. Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Perpolitikan
Pikiran-pikiran utama al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam buku al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad
ibn Malik Syak dari dinasti Saljuk. Kumpulan nasehat ini ditujukan
kepada Sultan Muhammad Ibnu Malik Syah dari dinasti Seljuk.
Sebagai ilmuan yang memiliki pemikiran dan jiwa yang
tajam, al-Ghazali berusaha menempatkan diri sebagai agen perubahan dalam
perbaikan pemerintahan. Yang menarik, beliau tidak terjun langsung di
dalam praktisi pemerintahan, namun ia berposisi sebagai ulama yang
berkewajiban amar ma’ruf nahi munkar kepada umara, bukan sebagai oposisi
akan tetapi sebagai mitra menyebarkan ma’ruf dan menjegah yang munkar.
Karena al-Ghazali melihat, dinasti saljuk – di luar sisi-sisi negatifnya
seperti penyalahgunaan wewenang dan ketidaksiplinan moral – sultan
masih sangat memperhatikan perkembangan pendidikan dan keilmuan warga
negara dan pada taraf perbenturan teologis, sultan bertempat pada posisi
yang tepat.[24]
Oleh karena itu, al-Ghazali melihat pemerintahan masih dapat
dipertahankan dan diperbaiki. Itulah sebabnya ia menulis surat-surat
yang berisi nasihat.
Dengan mengkaji pemikirannya dalam al-Tibr al-Masbuk fii Nasihati al-Muluk
al-Ghazali hendak melakukan reformasi moral terhadap pemerintahan.
Reformasi moral ini bagi al-Ghazali menjadi kewajiban bagi ’alim dan
cendekiawan ahli syari’ah. Ia mengatakan:
Seorang faqih adalah orang yang menguasai aturan-aturan
politik Islam dan mengetahui cara sebagai mediator diantara manusia
(pejabat negara) jika berselisih dengan hukum yang tidak benar. Maka
seorang fakih hendaknya menjadi guru dan membimbing sultan.[25]
Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat
dikelompokkan ke dalam dua poin besar. Pembahasan pertama, al-Ghazali
memprioritaskan pada kekuatan akidah tauhid, yang kedua berisi
naihat-nasihat moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama. Dua pembahasan
utama tersebut lahir dari pemikiran al-Ghazali kemungkinan karena
desakan situasi sosial, keagamaan dan politis saat itu. Atas dasar itu,
al-Ghazali merasa memiliki kewajiban untuk memperbaiki ilmu masyarakat
dan pejabat negara.
Kegelisahan yang membuat al-Ghazali memeras pikiran adalah fenomena Syiah Batiniyah[26]
yang pelan-pelan merebak. Meskipun Sultan dan Khalifah tidak
terpengaruh oleh ideologi Batiniyah – akan tetapi al-Ghazali merasa
nasihat-nasihat tentang tauhid sangat perlu bagi pejabat negara dalam
situasi seperti itu.
Dalam awal naskah nasihatnya, al-Ghazali memulai dengan
kaidah-kadiah Iman. Dalam bab ini, disamping menginginkan sultan tetap
loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali ingin mengingatkan sultan
bahwa kekuasaan tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik (Allah SWT).
Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit al-Ghazali memberi
peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah SWT. Allah
memberi amanah kepada sultan untuk menstabilkan negeri sesuai dengan
syariat-Nya. Dalam sub-sub babnya, al-Ghazali menulis tentang
Keesan-Nya, tiada satu pun yang menyamai-Nya, sifat-sifat Allah,
mengingatkan tentang akhirat, dan tugas Nabi Muhammad.[27]
Pembahasan tersebut adalah pembahasan utama dalam rangka menjaga basicfaith para pejabat negara agar stabil loyal dalam pandangan hidup Islam. Disamping itu, untuk mempertahankan basicfaith
warga negara saat itu al-Ghazali melakukannya dengan mengkritik dan
menjawab syubhat-syubhat Syi’ah. Hal itu diwujudkan dengan menulis kitab
al-Fadaih al-Batiniyyah. Al-Ghazali merupakan pemikir aktif.
Di satu sisi ia memberi penguatan iman baik kepada pejabat negara maupun
kepada masyarakat dengan mengajar ilmu di madrasah Nizamiyah juga
melakukan kritik terdapat pemikiran yang menyimpang. Penguatan dan
kritik (istbat wa nafyu ) ini merupakan dua kewajiban yang memang mestinya berjalan sinergis.
Nasihat tauhid ini penting karena, demi melindungi
pejabat-pejabat negara agar tidak terpengaruh denga pemikiran Syi’ah
Batiniyah sekaligus juga membentengi rakyat dari pemikiran menyimpang
tersebut. Sebab, Batiniyah terkenal sebagai kelompok sempalan yang
radikal. Kalau kita mencoba merujuk kembali kepada sejarah aliran-aliran
pemikiran Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa gerakan Bathiniyah
merupakan kelompok atau aliran yang terisolir dan sangat dimusuhi oleh
seluruh aliran pemikiran lainnya, baik dari kalangan Ahli Sunah
Asy’ariah, Maturidiyah, ataupun dari kalangan Mu’tazilah. Dan bahkan
dari kalangan Syi’ah sendiri ikut mengkafirkan mereka, seperti Syi’ah
Imamiyah (Itsna ’asyariah), atau golongan Syi’ah Zaidiyah yang merupakan aliran Syi’ah yang memiliki kedekatan dengan Ahli Sunnah.[28]
Oleh karena itu al-Ghazali menentang setiap klaim-klaim
golongan Batiniyah baik klaim teologis maupun politis. Klaim teologis
Batiniyah sangat jelas bertolak belakang dengan keyakinan mayoritas umat
Islam. Mereka meyakini bahwa semua teks-teks al-Qur’an tanpa terkecuali
mengandung makna lahir dan batin.[29] Batiniyah sebenarnya adalah kelompok yang bertopengkan Islam. berasumsi bahwa teks-teks agama mengandung makna lahir dan batin.[30]
Klaim politis – yang sebenarnya juga berkait dengan telogi Syi’ah yang
mengatakan bahwa keimamahan itu diwariskan yang harus dipegang oleh para
Imam keturuunan Ali r.a. Jika imam telah meninggal dunia maka, yang
menggantikan adalah wakil imam.
Selain itu, pemikiran Batiniyah lain yang ditentang
mayoritas ulama adalah bahwa mereka percaya al-Qur’an memiliki arti
tersembunyi yang berbeda dari arti zahirnya. Menurut mereka, yang
mengetahui kebenaran dan mengkoreksi pemahaman al-Qur’an baik yang
eksplisit maupun implisit. Memahami al-Qur’an seperti itu diperoleh
melalui ta’lim (pengajaran oleh yang memiliki otoritas yaitu Imam, wakil
imam atau orang yang diberikan oleh Imam).[31]
b. Politik Beradab dan Kewajiban Khalifah
Nasihat-nasihat al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap
kestabilan politik sultan Seljuk. Terutama sekali meredam gerakan Syi’ah
Batiniyah. Nizam al-Muluk menyatakan bahwa Batiniyah adalah kelompok
sesat. Menurut sultan tujuan utama gerakan mereka sebenarnya adalah
untuk menyingkirna Islam Sunni.[32]
Selanjutnya di pembahasan berikutnya, al-Ghazali memulai
dengan adab dan etika seorang pemimpin. Yang pertama-tama harus
dipahami, menurut al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan bahaya-bahayanya – jika tidak amanah.
Al-Wilayah adalah kenikmatan yang diberikan oleh
Allah SWT jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka apabila
seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak
mengetahui hakikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat
dzalim dengan kukuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya, maka pemimpin
yang demikian, menurut al-Ghazali telah menempatkan posisinya sebagai
musuh Allah.[33]
Jika seseorang telah menempatkan posisinya sebagai musuh
Allah SWT sebagaiman tersebut di atas, maka inilah titik bahayanya
seorang pemimpin. Sebagaimana peringatan Rasulullah SAW bahwa seorang
pemimpin harus memperhatikan tiga perkara, pertama, apabila rakyat
meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang khalifah wajib berbagi kasih
kepada mereka, kedua, apabila menghukumi mereka maka berbuatlah adil,
ketiga, lakasanakan apa yang telah kamu katakan (tidak menyalahi janji)[34]. Imam al-Ghazali mengingatkan sultan bahwa jika tiga perkara tersebut ditinggalkan maka bahaya negara akan mengancam.
Untuk menghindari hal tersbut, al-Ghazali mengingatkan
seorang sultan atau khalifah tidak boleh meninggalkan Ulama. Namun,
seorang sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus
diminta nasihat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara
pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak
wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebalikanya
seorang ulama sejati (ulama al-akhirah) ia sama sekali tidak
mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja, ia memberi nasihat
murni ikhlas karena meminginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan
masyarakat.[35]
Imam al-Ghazali tampak tidak ingin memisahkan negara
dan urusan agama. Dari usaha-usaha nasihatnya kepada khalifah terlihat
bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang orang-orangnya
memiliki basicfaith Islam yang kuat, sehingga negara diurus
dengan parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus,
kadaan negara stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran
menyimpang tidak dihirau oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan
kecil yang bergabung, mendukung Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin itu memiliki basicfaith
yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga penting
adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali, biasanya
setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang
pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan
mendorong pada perbuatan saling bermusuhan yang tentu menarik pada
pertumpahan darah[36].
Untuk itulah, seorang raja harus rela berdekatan dengan
rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya memenuhi
kebutuhan rakyat kecil, al-Ghazali bahkan berfatwa bahwa mendatangi
rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik daripada
menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka rakyat kecil adalah lemah,
maka harus deperlakukan denga lembut dan penuh kasih. Ia juga
mengingatkan sultan agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya
dengan meninggalkan syariat[37].
Ada dua penting yang ditekankan oleh al-Ghazali dalam
nasihat-nasihatnya. Yaitu penguatan akidah dan adab. Dua hal ini
tampaknya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba Allah SWT
sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan kepada para pejabat negara adalah al-tasawwur al-Islamiy (pandangan hidup Islam). Karena al-tasawwur al-Islamiy
adalah asas bagi setiap perilaku manusia, termasuk aktifitas-aktifitas
ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas manusia akhirnya dapat dilacak
pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu aktifitasnya itu dapat
direduksi kedalam pandangan hidup.[38]
Maka seorang khalifah yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh,
maka semua kebijakannya tak terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting karena manusia yang beradab (Insan adabi)
adalah orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada
Tuhan Yang Maha Benar, yang memahami dan menunaikan keadilah terhadap
dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya; yang terus berupaya
meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia.[39]
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai
al-Ghazali pada masa itu. Tantangan perang pemikiran dan degradasi
moral. Maka perbaikannya pun dengan menawarkan konsep adab dan menjawab
tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, al-Ghazali dalam teori kenegaraannya
mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan
dipimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik.
Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian
dunia dan akhirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa
dipisahkan, agama adalah pondasi sedangkan pemerintahan adalah penjaga.
Urgensi Negara Menurut al-Ghazali
Sebagaimana para pemikir muslim sunni lainnya, al-Ghazali
berpendapat bahwa wujud sebuah pemerintahan yang syar’i harus ada. Jika
tidak ada pemerintahan yang memegang otoritas publik, maka hal tersebut
menyebabkan kekacauan, permusuhan, pertumpahan darah, kemiskinan, dan
tidak stabilnya ekonomi masyarakat[40].
Apalagi sebagaimana disebut di atas bahwa tidak ada dikotomi antara
agama dan negara. Maka keberadaan pemerintahan sangat signifikan dalam
mewujudkan masyarakat dan perdamaian.
Ketertiban merupakan keniscayaan bagi keberlangsungan
kehidupan beragama. Dan kestabilan kehidupan beragama sangat penting
untuk mencapai kesejahteraan dunia akhirat. Negara adalah suatu
prasyarat penting bagi berlangsungnya hukum-hukum Allah SWT untuk
ditegakkan di muka bumi. Tanpa pemerintahan, kehidupan masyarakat tidak
dapat diwujudkan dengan baik.
Bagi al-Ghazali, politik juga tidak hanya bertujuan untuk
menghindarkan pergolakan sosial melalui pemberlakukan hukum dan
ketertiban dan manajemen publik oleh agen negara, tetapi juga bertujuan
untuk menghindarkan pergolakan sosial melalui bimbingan dan kepemimpiann
yang diberikan oleh penguasa dengan pelayanan menarik[41].
Oleh karena itu, al-wilayah (kepemimpinan) adalah profesi
yang ditipkan oleh Allah SWT yang dibutuhkan oleh warga negara. Karean
begitu pentingnya profesi ini, al-Ghazali berpendapat bahwa, seorang
pemimpin harus memiliki kompetensi yang cakap[42].
Mengenai pemimpin ideal, pendapat al-Ghazali hampir sama
dengan al-Mawardi tentang kriteria pemimpin yang ideal. Yakni seorang
yang mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi
rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Selain itu, seorang pemimpin harus memiliki integritas, penguasaan dalam
bidang ilmu Negara dan agama, agar dalam dalam menentukan kebijakan ia
bisa berijtihad dengan benar, sehat panca inderanya (mata, pendengaran,
lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia menjalankan tugas),
keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat mengganggu
tugas, pemberani memiliki keahlian siasat perang, dan kemampuan
intelektual untuk mengatur kemaslahatan rakyat.[43]
Selain itu, bagi al-Ghazali tujuan pendirian kekhalifahan adalah untuk
dalam rangka memenuhi kebahagian akhirat manusia. Dalam hal ini
al-Ghazali cenderung perpadangan jauh ke depan[44].
Namun, jika seorang sultan itu dzalim dan sudah membahayakan agama,
maka harus dilihat lagi keabsahan kekuasaannya. Baik itu diberhentikan
atau harus berhenti sendiri.[45]
Ia menerangkan bahwa, selama sultan itu masih menerpakan
hukum Islam, hanya saja etika politiknya kurang baik maka sultan harus
diingatkan – dan belum perlu untuk diberhentikan, apalagi jika
pemberhentian itu akan melahirkan kekacauan. Sedapat mungkin rakyat
memperkecil hubungan dengannya dalam arti memboikot sampai ia kembali
baik.
Negara, berkewajiban menyediakan bantuan kepada rakyat
untuk memasksimalkan kehidupan di bumi dengan penuh tanggung jawab.
Kondisi jiwa dan fisik harus dilindungi dengan bijaksana, dengan bantuan
ulama menjaga kestabilan sosial spiritual berdasarkan keimanan.
Kehidupan dunia adalah sementara, maka manusia perlu dipersiapkan secara
matang untuk menuju kehidupan yang hakiki. Karena kebahagiaan sejati
itu hanya didapat ketika di akhirat (surga) kelak.[46]
Hal tersebut menunjukkan secara jelas bahwa urusan agama
dan dunia tidak dapat dipisahkan. Korelasi ini oleh al-Ghazali dikuatkan
dengan sebuah hadis Nabi SAW bahwa dunia adalah bagaikan ladang yang
manusia dapat memanen hasilnya di akhirat kelak. Sedangkan untuk menjaga
kestabilan dunia diperlukan sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan
syari’ah. Negara adala penjaga bagi terlaksananya hukum-hukum agama
Islam[47].
Berarti, pemikiran politik yang ditawarkan bukanlah pemikiran
pragmatis, karena al-Ghazali konsisten bahwa pendirian negara tidak
sekedar demi terlaksananya kepentingan individu atau kelompok, akan
tetapi ia menginginkan perbaikan semua umat manusia di dunia. Ia tidak
hanya mengarahkan pendidikan fisik dan moralitas akan tetapi lebih jauh
al-Ghazali semuanya itu menurut beliau adalah dianggap sangat penting
agar dapat selamat dan bahagia di akhirat.
Maka, mengangkat pemimpin (imamah) adalah wajib. Beliau memberi argumentasi:
لايحصل نظام الدين إلا بإمام مطاع، صاحب الشرع هو الإمام
المطاع، ونظام الدين لا يحصل إلابنظام الدنيا ونظام الدنيا لايحصل إلا
بإمام مطاع، نظام الدين لايحصل إلا بإمام مطاع[48]
Oleh karena itu al-Ghazali berpendapat, peraturan syara’
tidak berjalan sempurna dan efektif kecuali didukung oleh adanya
pemerintahan yang Islami, menurut beliau nidzamu al-dunya syartun li nidzami al-diin[49].
Argument-argumen al-Ghazali tentang pentingnya imamah dan Negara
sekaligus menjawab terhadap ide-ide sekularisme dan konsep imamah Syi’ah[50].
Pemisahan iman dan dunia – yang berarti sekularisme –
menurut al-Ghazali adalah dikarenakan oleh kesalahan memahami konsep
iman dan konsep imamah. Sesuai dengan ciri khas pemikiriannya,
al-Ghazali menjelaskan bahwa kehidupan dunia dengan segala kesenangannya
adalah sementara dan berlebihan hidup mewah dapat merusak jiwa dan
moral. Hidup adalah cukup untuk memenuhi kebutahan dasar manusia. Orang
yang memahami hal tersebut disebut orang beradab, dan orang beradab
adalah orang yang sebenar-benarny mu’min. Pendirian negara, bukanlah
sekedar memenuhi kebutuhan manusia di duni saja tapi juga untuk
kepentingan di akhirat. [51]
Untuk itulah, imam al-Ghazali menekankan pentingnya
penguasaan ilmu-ilmu yang benar. Hal itu tidak bisa dicapai dengan
efektif kecuali manusia dalam kondisi yang memadai terpenuhi kebutuhan
dasarnya, dapat perlindungan dan kondisi yang damai.
Maka pendirian sisitem dunia yang terorganisir akan lebih
jelas jika dilengkapi dengan sistem hukum dan aturan yang benar sehingga
bisa memberi bimbingan tepat bagai warga negara, yang berarti ikut
menstabilkan spiritual rakyat. Menurut al-Ghazali menjadi muslim yang
baik bukanlah orang yang tidak menyisakan sama sekali harta duniawi.
Baginya, seorang zahid bukanlah orang yang tidak mengharapkan kekayaan
sama sekali, akan tetapi zahid adalah orang yang tidak terobsesi dan
hatinya tidak terlalu dikuasai oleh kekayaan, meskipun ia ditakdirkan
menjadi orang terkaya di dunia.
Semuanya harus terlaksana dengan mengamalkan syari’ah.
Pelaksanaa syariat sangat membutuhkan penopang yaitu legitimasi negara.
Dan agama meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya termasuk
aspek moral dan spiritual kehidupan. Sehingga dengan demikian agama
dipandan sangat penting dan tidak bisa dikesampingkan untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan kekal di akhirat.[52]
Dengan demikian emikian, pendirian negara dan mengangkat
imam menurut al-Ghazali tujuan utamanya adalah menghasilkan kebahagiaan
hakiki – yakni kebahagiaan di akhirat. Hal ini sebenarnya sejalan dengan
misi kenabian. Negara dan politik merupakan bagian penting terutama
dalam tema sentralnya, baik di dunia maupun di akhirat.
Merupakan sebuah keharusan bahwa agama adalah poros, dan
penguasa adalah penjaga, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya pasti
akan hancur[53].
Syari’ah yang tidak mendapat legitimasi dari negara untuk diterapkan,
maka syariah tersebut kehilangan keefektifan dan kesempurnaan.
Pernyataan al-Ghazali tersebut jelas menunjukkan bahwa sekularisme
tidak mendapat tempat di dalam Islam. Karena sekulerisme menceraikan
antara agama dan politik. Yang berarti mereduksi syariah untuk
diterapkan dalam masyarakat Islam.
Penutup
Pemikiran-pemikiran Imam al-Ghazali
memiliki corak bahwa konsepsi etika politik al-Ghazali adalah suatu
teori sistem pemerintahan yang berisikan masyarakat dan aparatur negara
yang mempunyai moral yang baik dengan ditopang oleh agama sebagai dasar
negara. Hal yang menarik dan patut menjadi referensi politisi muslim
adalah, al-Ghazali mementingka ilmu dan adab yang benar dalam
berpolitik. Dengan ilmu dan adab yang benar, akan melahirkan
pemerintahan yang baik, termasuk unsur-unsur yang sangat penting seperti
keadilan, transparansi dan integritas.
Usaha-usaha perbaikan perpolitikan al-Ghazali dilakukan
dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Tahapan usaha yang dilakukan
adalah, peringatan, kemudian nasehat. Al-Ghazali sangat komitmen
terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau
ilmuan tidak semestinya melakukan reformasi konstruktif di dalam arena
politik. Karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam memenuhi tugas tersebut, perbaikan harus dimulai dari diri lebih dulu, terutama memperbaiki basicfaith
– karena hal itu mempengaruhi model perilaku manusia. Politik, moral,
pemikiran dan tindakan harus benar-benar memiliki keterkaitan antara
satu dan yang lainnya dalam sistem yang integratif.
Ilmu dan adab yang ditekankan al-Ghazali dalam perbaikan
politik adalah model perbaikan integratif. Seorang pemimpin atau pejabat
negara tidak saja menguasai teori-teori politik akan tetapi mereka juga
harus faqih. Yang ditekankan adalah tidak saja seorang
politikus itu paham ilmu-ilmu fardlu kifayah akan tetapi ia juga harus
menguasai ilm-ilmu fardlu ’ain.[54]
Poin penting lainnya yang bisa disimpulkan dari pemikiran
politik al-Ghazali adalah seorang pemimpin negara dan pejabatnya mesti
membina hubungan baik dengan ulama. Karena dari mereka akan diperolah
kebaikan-kebaikan. Ulama tidak boleh ditinggalkan, sebagaimana agama
tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulama, juga harus memberikan
kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat
akidah dan moral.