بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
PENJELASAN TENTANG ILMU YANG FARDHU KIFAYAH
Ketahuilah bahwa fardhu tidak berbeda dengan yang tidak fardhu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari'ah dan bukan ilmu syari'ah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syari'ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.
Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah, terbagi kepada : ilmu yang terpuji,
ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah
yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu
kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan
kepada ilmu utama yang tidak fardlu.
Yang fardhu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat
dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu
kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia. Dan
seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli,
pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah ilmu-ilmu,
jikalau kosonglah negeri dari pada orang- orang yang menegakkannya,
niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja
yang bangun menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang
lain dari kewajiban tersebut.
Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran
dan ilmu berhitung itu termasuk fardiu kifayah. Juga pokok-pokok
perusahaan (industri) juga termasuk fardiu kifayah, seumpama pertanian,
pertenunan dan siasat Bahkan juga pembekaman dan penjahitan, karena
jikalau kosonglah negeri dari tukang bekam maka segeralah datang
kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya
kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia
pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta
menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa
diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.
Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardu. Maka mendalami
hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan
lain-Iainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting.
Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pd kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya.
Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari'ah. Pada hal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.
Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat.
Yang pertama : pokok (ushul). Yaitu empat :
Kitabullah 'Azza wa Jalla, Sunnah Rasul صلى الله عليه وسلم ljma' ummat
dan peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).
Dan ljma' itu pokok, dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga.
Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur'an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.
Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur'an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.
Yang kedua : Cabang (furu'). yaitu apa yang
dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang
dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat
dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas,
Sehingga dari kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain.
Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :لا
يقضي القاضي وهو غضبان
(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-baanu).
Artinya :"Hakim (kadli) itu tidak mengadili perkara ketika dia sedang
marah'(1) Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar
atau merasa sakit .
Ilmu furu' itu terbagi dua :
Pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam
kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama
fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia.
Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab '."Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab '."Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.
Yang ketiga : mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu
ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua-nya
adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul
صلى الله عليه وسلم Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam
ilmu syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari'ah
(Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak
lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu
sebagai alat.
Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. "Karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم sendiripun tidak tahu tulis baca أميّاً (ummi) رسول الله صلى الله عليه وسلم أميّاً
Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.
Yang keempat : penyempurna, yaitu : mengenai ilmu Al-Quran. Dan terbagi
kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari
qira'ah (cara membaca), dan bunyi hurufhya. Dan yang berhubungan dengan
pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula
kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan
suasananya yang diperoleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci).
1.Dirawikan Al-Bukharl dan Muslim dari Abi Bikrah.2.Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar,
Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang
berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh,
yang umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara
menggunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu
suatu ilmu yang bernama "Ushulul-fiqh". Dan ilmu ini melengkapi juga
Sunnah Nabi.
Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan
shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya,
keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai
adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan
hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan
mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan
hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu
(**)
Inilah ilmu-ilmu syari'ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semua-nya termasuk fardlu kifayah.
Jikalau anda tanyakan : mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia?
Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian kesorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.
Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian kesorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.
Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.
Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan
**Hadits mursal, yaitu : perawi-perawinya tidak jelas sambung menyambung sampai kepada Nabi saw., sedang hadits musnad adalah Jelas (peny).
dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
Demi sebenarnya, hal tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi
tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia.
Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu
tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua
anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang
tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal
(berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain
dengan penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan
pemerintahan, ialah dengan fiqih.
Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk
sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah
penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan
dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi,
bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang
mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu
suatu hal dan berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan
mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain
dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya
upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.
Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan
dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh apa yang
dirawikan dari hadits musnad :
لا يفتي الناس إلا ثلاثة أمير أو مأمور أو متكلف
(Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au raa'muurun au mu-
takallifun).Artinya :"Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia
selain oleh tiga : amir atau ma'mur atau yang memikul beban itu
(mutakallif)". (1)
Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan.
1.Dirawikan Ibnu Majah dari 'Amr bin Syu'jib, isnadnya hassan (baik).
Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa.
Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka
tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Quran dan jalan
ke akhirat.
Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah : "Orang
yang bekerja dengan ria". Maka orang yang mau memikul risiko dengan
menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka
tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.
Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu,
kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda,
utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul
mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang
dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu'amalah, dari penjelasan
halal dan haram.
Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli
fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal
perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan
haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal
di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui
batas-batas dunia kepada akhirat.
Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya
lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan
tentang yang syah dari padanya, tentang yang batal dan tentang
syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada
lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli
fiqih. Karena Rasulullah saw. meletakkan pemegang pedang dan
kekuasaan,diluar hati, dengan sabdanya :
هلا شققت عن قلبه؟
(Hallaa syaqaqta 'an qalbih).
Artinya :"Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?". (1)
(1) Dirawikan Muslim dari Usamah bin Zaid.
Sabda ini ditujukan oleh Nabi sawصلى الله عليه وسل. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan pedang, pada hal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu memanjang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah dari padanya. Begitulah di dunia.
Dari itu, Nabi saw. bersabda :
قال صلى الله عليه وسلم : أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم
(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu
fa-idzaa qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa- lahura).
Artinya :Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan لا
إله إلا الله Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan
hartanya daripadaku". Nabi saw. menetapkan akibatnya pengucapan itu pada
darah (nyawa) dan harta". (1 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abl
Hurairah.)
Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi
nur-hati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak
termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan
diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan diri
dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar
bidangnya.
Mengenai shalat, maka. ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat
itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas
syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal
sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di pasar, kecuali
ketika bertakbir.
Shalat semacam itu tidaklah bermanfa'at di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfa'atnya.
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abl Hurairah. (mks90)
Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah
dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah
daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu' dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat
dan dengan itu bermanfa'atlah amal dhahir, maka tidaklah
disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, maka adalah di luar
bidangnya.
Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta
bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan membayar zakat, lalu
penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta
itu telah terlepas dari hak miliknya.
Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra.
Imam Abu Hanifah ra. menjawab : "Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia
benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya
lebih besar dari segala penganiayaan".
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal
dan haram, maka menjaga diri (wara') dari yang haram, adalah sebahagian
dari agama. Tetapi wara' itu mempunyai empat tingkat:
Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan pada
keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada,
maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri
yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua : ialah wara' orang-orang salih.
Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya
kemungkinan- kemungkinan yang diragukan.
Bersabda Nabi
قال صلى الله عليه وسلم: دع ما يريبك إلى مالا يريبك
(Da'-maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka).
Artinya :"Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragukan". (1)
Dan Nabi saw. bersabda :
وقال صلى الله عليه وسلم: الإثم حزاز القلوب
(Al-itsmu hazzaazul quluub).
Artinya :"Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)". (2)
Tingkat ketiga: ialah wara' orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi dikuwatiri terbawa kepada yang haram.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما لا بأس به مخافة مما به بأس
(Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi ma
khaafatan raimmaa bihi ba'sun) Artinya :"Tidaklah orang itu bernama
orang taqwa, sebelum ia meninggakan sesuatu yang tak ada apa-apanya,
karena takut kepada yang ada apa-apanya". (3)
Contohnya seumpama : menjaga diri (wara') dari
mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan
memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora
semangat dan tenaga yang membawa kepada perbuatan terlarang.
Tingkat keempat : ialah wara' orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut
1.Dirawikan At-Tirmidzi, An-Nasa-i- dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Ali .
2.Dirawikan Al-Baihaqi dari ibnu Mas'ud. Dan dirawikan Ai-'Adani, hadis mauquf.
3.Dirawikan At-Tirirmidzi, Ibn Majah dan Al-Hakim dan ditashihkannya dari 'Athiy- yah as-a'dl.
terpakai meskipun sesa'at dari umur, kepada yang tidak mendatang- kan
faedah lebih pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, walaupun ia
tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak membawa kepada yang haram.
Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara') saksi, hakim dan yang merusakkan 'adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang demikian, tidaklah meniada- kan dosa di akhirat. Bersabda Nabi saw. kepada Wabishah :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لوابصة: استفت قلبك وإن أفتوك وإن أفتوك
(Istafti qalbaka wa-in aftauka wa-in aftauka wa-in aftauka).
Artinya :"Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang telah memberi
fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun
orang telah memberi fatwa kepadamu!". (1)
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara
mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan 'adalah
(keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut
dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila
sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat-sifat hati dan hukum
akhirat, adalah termasuk ke dalam percakapannya itu secara sambil lalu.
Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan
kedokteran, berhitung, ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana
termasuknya ilmu falsafah ke dalam tatabahasa dan pantun.
Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir berkata : "Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat". Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila. Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta'at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.
1.Dirawikan Ahmad dari Wabishah.
Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan
ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia,
yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan
penyamaan ini menyalahi dengan ijma' ummat Islam?
Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan, bahan terdapat
perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu
kedokteran dari tiga segi :
Pertama : fiqih itu ilmu syari'ah, karena dia
diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu
tidaklah termasuk ilmu syari'ah.
Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan
diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia
sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh
orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.
Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbuatan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.
Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya,
adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari
sifat-sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala
dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah
kemuliaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat
kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat.
Jika anda menyatakan : "Uraikanlah kepadaku
dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta
tujuannya, meskipun tidak sampai terperinci benar!".
Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam,
Ilmu mukasyafah dan ilmu mu'amalah.
Yang pertama : ilmu mukasyafah itu ialah ilmu
bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah arifin
(ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenai Allah Ta'ala) : "Orang yang
tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan buruk
kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang
bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada
ahlinya".
Berkata yang lain : "Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".
Ada lagi yang mengatakan : "Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang meng- ingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini". Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :
Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
Oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya ".
Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah.
Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan
pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu,
tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah
didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak
jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma'rifat yang
hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna,
perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara
penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan
Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan,
cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat
kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal
alam malakut langit dan bumi, mengenai hati dan betapa benterokan antara
bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenai perbeda- an
antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenai akhirat, sorga dan
neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari
firman Allah Ta'ala :
ومعنى قوله تعالى:اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا= الاسراء
(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal yauma 'alaika hasiiban).
Artinya:" Bacalah kitabmu !!! Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri". (S. Al-Isra', ayat 14).
dan maksud firman Allah Ta'ala :
وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
(Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yala-muim).
Artinya:"Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui". (S. AI-Ankabut, ayat 64).
Dan arti berjumpa dengan Allah Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang
Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya, arti
memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan
Nabi-nabi arti berlebih-kurangnya pangkat ahli Sorga, sehingga mereka
melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar dilembaian
langit dan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan. Karena manusia,
mengenal pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan
pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka
berpendapat, bahwa semuanya itu adalah contoh-contoh. Dan yang
disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang
tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di
dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari
sifat-sifat dan nama-nama.
Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan
sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami
dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa
kesudahan mengenai Allah Ta'ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada
mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung,
tentang mengenai Allah Ta'ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas
mengenai Allah Ta'ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang
kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui,
maha kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.
Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup
yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya
itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan
lagi.
Hal yang demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya
tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor dengan kotoran
dunia.
Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu
mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran-kotoran tadi, yang
menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta'ala, daripada mengenal
sifat-sifat dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan
mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala
hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as.
Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan kearah
kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak
lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dam
dengan ilmu dan mengajarinya.
Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak
diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta'ala
dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan
bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.
inilah ilmu tersmbunyi yang dimakudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dengan sabdanya :
الذي أراده صلى الله عليه وسلم بقوله: إن
من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى فإذا نطقوا
به لم يجهله إلا أهل الاغترار بالله تعالى فلا تحقروا عالما آتاه الله
تعالى علما منه فإن الله عز وجل لم يحقره إذ آتاه إياه
(Innaa minal 'ilmi kahaiatil maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul
ma'rifati billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yjuhalhu illaa
ahlul ightiraari billaahi ta'aalaa. Falaa tahqiruu 'aaliman aataa-
hullaahu ta'aalaa 'ilman minhu, fa-innallaaha 'azza wa jalla lam yah-
qirhu idz-aataahu iyyaah).
Artinya :"Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenalnya (ma'rifat) akan Allah Ta'ala. Apabila mereka mempercakapkannya,........................ maka tidak ada yang tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahinya ilmu tadi". (1)
Yang kedua : ilmu mu'amalah, ialah ilmu perihal
hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur,
takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenai nikmat
Allah Ta'ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus
pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan ini,
batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara
mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang
sehingga kembali, adalah termasuk sebahagian dari ilmu akhirat.
Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah
kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di
puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur,
riat marah, keras kepala, suka bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira
tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan
ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat
dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima
kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara,
memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik
memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang
perasaan gun- dah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa
apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman
dhahir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta'ala, pada
menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka,
khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati,
gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati
dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh,
tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan..
Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa),
menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlarang-
1.Dirawikan Abu Abdirrahman As-Salami dari Abu Hurairah, isnad dla'if.Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah Ta'ala.
Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardiu 'ain menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.
Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan
kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandar kan kepada kepentingan
akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari
arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau
tentang menjaga diri dari sifat ria, maka ia akan tertegun, sedangkan
karena fardiu 'ainnya, bila diabai kan akan mendatangkan kebinasaannya
di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li'an,dhihar,berlomba kuda dan
memanah, niscaya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku
dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, pada hal
sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya
tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah
letih dan payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya,
malam dan siang, pada menghafal dan mempelajarinya. Dan melupakan dari
apa yang penting dalam agama.
Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : "Aku menghabiskan waktu
mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia
mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.
Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.
Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.
Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam
lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih,
lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri penuh dengan ulama
fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli
fiqih agama, memurahkan waktunya mengerjakan fardiu kifayah yang telah
dikerjakan oleh suatu golongan. Dan mengabaikan yang tak ada orang
bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya
pengetahuan kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf,
harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah,
terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan.
Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku
ulama jahat. Maka Allah Ta'ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya
tempat berlindung, kiranya 'dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang
membawa kepada amarahNya dan menertawakan setan.
Ahli wara' dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama bathin dan yang
mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i ra. pernah duduk dihadapan Syaiban
Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab,seraya
bertanya: "Bagaimana membuat itu dan itu?"
Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi'i : "Seperti engkau bertanya pada Badui ini?". Maka menjawab Imam Syafi'i : "Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan".
Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : "Bagaimana?". Sedang Rasulullah saw. pernah bersabda, ketika ditanyakan : "Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?".
maka Nabi صلى الله عليه وسلم: menjawab :
سلوا الصالحين واجعلوه شورى بينهم
(Salush shaalihiina waj-'aluuhu syuuraa bainahum).
Artinya :"Tanyakanlah kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan mereka". (1)
1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.
Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan
kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut.
Berkata Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri guruku- kepadaku pada suatu
hari : "Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau
bercakap-cakap?". Lalu aku jawab : "Dengan Al-Muhasibi". Maka ia berkata
: "Ya, betul! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya!
Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu
kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)! '. Kemudian
tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : "Kiranya Allah
menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikan-Nya
engkau, seorang sufi yang ahli hadits". Diisyaratkan oleh As-Sirri,
bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka
akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu
maka akan membahayakan bagi dirinya.
Kalau anda bertanya : "Mengapa anda tidak
membentangkan ilmu kalam dan falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan
anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau terpuji?".
Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam, ialah dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka Al-Quran dan hadits itu melengkapi padanya. Yang di luar dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa pertama dari agama.
Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid'ah.
Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid'ah yang
menyeleweng dari kehendak Al-Quran dan Sunnah. Dan telah tampil suatu
golongan yang mencampuradukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka
menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh
keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi sebagian dari fardlu
kifayah.
Yaitu kadar yang dihadapi oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud
menyerukan orang kepada bid'ah.Dan yang demikian kepada batas yang
tertenttu akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, insya
Allah Ta'ala
Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari empat bahagian :
Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah (dibolehkan)
sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu,
kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang tercela.
Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu
keluar kepada bid 'ah. Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari
kedua ilmu tadi, bukan karena'ain (diri) keduanya, sebagaimana dijaga
anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke dalam sungai. Dan
sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam,daripada bercampur-baur dengan
orang-orang kafir. Karena ditakuti mem- bahayakan kepadanya. Sedang
orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan mereka.
Kedua ilmu mantiq (ilmu logika), yaitu membahas cara membuat dalil dan
syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu
masuk dalam ilmu kalam.
Ketiga ilmu keTuhanan. Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta'ala dan sifatNya. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam.
Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu keTuhanan dengan bentuk
suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk
aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur
dan sebahagian lagi adalah bid'ah. Sebagaimana aliran Mu'tazilahpun
tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi
penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama mutakallimin
(ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri
dengan madzhab-madzhab yang batil. Maka seperti itu pulalah
filosuf-filosuf. Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi
syara' dan agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan,
sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian ilmu.
Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang
bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.
Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu
memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan
sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhatikan pada seluruh benda
yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah dan bergerak.
Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu
alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam
itu, tidak diperlukan kepadanya.
Jadi, ilmu kalam itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara
kifayah, untuk menjaga hati orang awwam, dari pengkhayalan ahli bid'ah.
Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya bid'ah, sebagaimana
datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji,
dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang
Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah
menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji.
Maka karena itulah, kalau tukang bid'ah itu telah meninggalkan perkataan
yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa
shahabat Nabi ra.
Maka ahli ilmu kalam hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan
kedudukan ilmu kalam dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam
perjalanan hajji. Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan,
niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam
apabila tidak melakukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan
pendirian, tidak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan
memperbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah
ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam itu agama, selain aqidah
yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain. 'Aqidah itu termasuk
dalam golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan lisan. Dan bedanya
ahli ilmu kalam dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan
penjagaan.
Adapun mengenal Allah Ta'ala, sifat dan af'al-Nya serta sekalian yang
telah kami isyaratkan dalam ilmu mukasyafah, maka tidaklah diperoleh
dari ilmu kalam. Malah hampir adalah ilmu kalam itu menjadi hijab dan
penghalang. Dan sesungguhnya, sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah
(bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah
bagi petunjuk, dengan firman-Nya :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Surah Al Ankabut Ayat 69
(Wal ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innal laaha
lama'al muhsiniin).Artinya :"Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami,
maka akan Kami tunjuki mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah
beserta orang yang berbuat baik ". (S.Al-Ankabut, ayat 69).
Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas
tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga 'aqidah orang awwam dari gangguan
pembuat bid'ah sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian
jama'ah hajji dari gangguan orang Arab dan berulang-kali aku mengatakan
akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang
dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang
lain.
Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan
ulama ummat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama
fiqih dan ulama kalam. Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah
Ta'ala. Maka bagaimanakah menurun- nya derajat mereka kepada kedudukan
yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama?
Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenal kebenaran dengan orang-orang
adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah
kebenaran, niscaya engkau akan mengenai ahli kebenaran itu, kalau engkau
berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau padakan dengan taqlid dan
melihat kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara
manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi saw. dan
ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku
bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu
kalam, atas terkemukanya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak
terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu
jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam dan fiqih,
akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya.
ما فضل أبو بكر رضي الله عنه الناس بكثرة صيام ولا صلاة ولا بكثرة رواية ولا فتوى ولا كلام ولكن بشيء وقر في صدره Tidaklah
Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat,
banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya
adalah karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui
oleh Nabi saw. Sendiri. (1)
1.Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Bakar bin Abdullah Al-Maini dan kata Al-lraqi, aku tidak mendapatinya marfu'.
Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar
yang bernilai dan mutiara yang tersimpan rapi. Tinggalkan lah akan apa
yang bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu,
terhadap pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan
penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.
Rasulullah saw. telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang
shahabat ra. Semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah صلى
الله عليه وسلم. Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik
tentang ilmu kalam. Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa,
kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah : Ibnu Umar ra.
Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta itu : "Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya".
Kata-kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai
persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan
dan pemerintahan.
Ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10) ilmu".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah anda berkata demikian,
padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?" Ibnu Mas'ud
menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku
maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah anda berpendapat bahwa
maksud Ibnu Mas'ud itu ilmu kalam dan ilmu berdebat? Kalau begitu
mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang
sembilan persepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah
yang menutup pintu ilmu kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin
'Isi dengan cemeti, tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang
bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur'an) dan memboikotinya
serta menyuruh orang banyak membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan
dia).
Adapun kata anda bahwa yang termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu
fiqih dan ahli ilmu kalam, maka ketahuilah bahwa kelebihan yang
diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemasyhuran
yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang lain.
Sesungguhnya kemasyhuran Abu Bakar ra. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya.
Kemasyuran Umar ra. adalah disebabkan siasah (politik). Dan
kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenal Allah, yang mati sembilan
persepuluh dari padanya, dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya
mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dalam pemerintahan,keadilan dan
kasih-sayangnya kepada makhluk Allah.
Dan itu adalah keadaan bathin dalam rahasia dirinya. Adapun segala
perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari
kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemashuran itu. Maka
adalah kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu,
mengenai hal rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusiapun.
Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, adalah seperti khalifah, kadli
(hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang
dikehendaki oleh Allah ta'ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya
akan Sunnah Nabi. Dan ia tidak mencari dengan yang demikian itu,
keridaan dan kemasyhuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah.
Dan kelebihan mereka pada sisiNya, karena telah berbuat sepanjang ilmu
mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan
pandangannya.
Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan.
Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu. Seorang tabib
(dokter) sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.
Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat
karena Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama
makhluk Allah. Maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah
swt. Tidak dari segi pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan
tetapi dari segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.
Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, tiga :
ilmu semata-mata, yaitu ilmu mukasyafah. Amal semata-mata. yaitu
seperti, keadilan bagi seorang raja dan perhatiannya akan kepentingan
rakyat. Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu : ilmu jalan ke
akhirat. Yang empunya ilmu tersebut , adalah sebagian dari ulama dan
orang-orang yang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri!
Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau
yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya?
Maka jadikanlah bahagianmu bersama kedua golongan itu Maka inilah yang
lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk semata-mata
kemasyhuran, seperti kata orang :
Ambillah apa yang engkau lihat,
Tinggalkanlah sesuatu yang didengar.
Untuk mengetahui matahari terbit,
engkau memerlukan bintang Zuhal
engkau memerlukan bintang Zuhal
Akan kami nukilkan dari riwayat hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di
mana anda akan mengetahui nanti, bahwa orang-orang yang menganut madzhab
mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka. Dan menjadi musuh
terbesar dari ulama-uiama itu pada hari qiamat.
Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah
Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang
menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti
pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk
ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang
berhubungan dengan hati. Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar
dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahulu,
dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama
fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa, Yang memalingkan dan yang
mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan di sini.
Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan
anda ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka.
Tetapi, adalah kecaman kepada orang-orang yang menyatakan dirinya
mengikuti dan menganut madzhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam
perbuatan dan perjalanan dengan para ulama fiqih itu.
Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat,
yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah
lima, yaitu : Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan
Sufyan Ats-Tsuri Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian.
Masing-masing mereka adalah 'abid (kuat beribadah), zahid. (tidak
terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan
kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan
wajah Allah Ta 'ala.
Ini lima perkara, di mana yang diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari
keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu : memberi tenaga dan
bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang empat
perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan yang satu
perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan
dia itu akhirat, maka sedikit lah kepentingannya untuk dunia.
Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa
dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat
dengan tukang-tukang besi'..
Marilah sekarang kami bentangkan hal-ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada empat perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiiqh itu, terang.
Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka yang menunjukkan ia seorang 'abid
adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, tiga bahagian :
sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk
tidur.
Berkata Ar-Rabi' : "Adalah Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan
(menamatkan bacaan) Al-Qur'an dalam bulan Ramadlan, enam puluh kali.
Semuanya itu dalam shalat.
Al-Buaithi salah seorang shahabatnya, mengkhatamkan Al-Qur'an dalam bulan Ramadlan, tiap-tiap hari sekali.
Berkata AI-Hasan Al-Karabisi : "Aku bermalam bersama Imam
Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan shalat hampir sepertiga
malam. Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat. Apabila dia
perbanyak maka sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu
berdo'a kepada Allah Ta'ala untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian
kaum muslimin dan mu'minin. Dan apabila ia membaca ayat 'azab, lalu
memohonkan perlindung- an dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan
untuk orang mu'min. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan
takut.
Lihatlah, betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat,
kepada melaut dan mendalam pemahamannya akan rahasia yang terkandung di
dalam Al-Qur'an.
Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah".
Maka lihatlah kepada hikmahnya pada menyebutkan bahaya-bahaya
kekenyangan! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia
meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu,
ialah menyedikitkan makan.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi : "Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar apalagi bohong".
Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan
oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt.!.
Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra. tentang suatu masalah, maka ia diam.
Ketika ditanyakan lagi". Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah
merahmati tuan".
Maka beliau menjawab : "Aku berpikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau jawabku".
Lihatlah, betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota
badan yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang
dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau
diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.
Berkata Ahmad bin Yahya bin Al Wazir: "Pada
suatu hari keluarlah Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar lampu, lalu
kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan
seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i menoleh kepada kami seraya
berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji
seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si
pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran,
melihat kepada barang yang sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia
berusaha menuangkannya ke dalam wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang
yang lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya,
sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra.: "Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isinya yaitu : "Engkau telah mendapat ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari, di mana ahli ilmu bekerja dengan nur ilmunya".
Adapun zuhudnya maka berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa
mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cinta kepada dunia dan cinta
kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya,maka dia itu
bohong".
Berkata Al-Humaidi : "Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman bersama
beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan
membawa wang sepuluh ribu dirham. Di luar kota Makkah dibangunnya suatu
tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia
terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis dibagi-bagikannya".
Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya wang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya,lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berterima kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra. Memberikan uang 50 dinar.
Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i ra. adalah lebih terkenal dari apa yang diceriterakan. Pangkal zuhud ialah kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya.Dan itulah arti zuhud.
Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta
kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang
diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin 'Uyaynah meriwayatkan suatu
hadits tentang sifat yang halus halus, lalu pingsanlah Asy-Syafi'i ra.
Maka orang mengatakan kepadanya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat. Lalu
Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah
orang yang paling utama bagi zamannya".
Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Balawi dengan katanya
: "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang
'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku
melihat orang yang lebih wara' dan lancar berbicara dari Muhammad bin
Idris Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan Al-Harits bin Lubaid
pergi ke bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash ShaIih Al-Marri. Ia
memulai membaca Al-Quran.
Adalah dia mempunyai suara merdu, lalu membaca ayat ini :
هَذَا يَوْمُ لا يَنْطِقُونَ ,وَلا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ
(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa laa yu'-dzanu lahum faya'tadziruun).
Artinya :"Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.Dan
kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan
keberatan (pembelaan)".(S. Al-Mursalat, ayat 35 - 36).
Maka aku lihat Imam Asy-Syafi'i ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya,badannya gemetar lalu jatuh tersungkur.
Ketika ia sadar kembali,maka ia berkata : "Aku berlindung dengan Engkau
ya Allah dari tempat berdirinya orang-orang dusta dan penyelewengan
orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua tunduk hati orang-orang
'arifin (orang yang mengenal Allah) dan membungkuk merendahkan diri
orang-orang yang rindu kepada Engkau'. Tuhanku! Anugerahilah kepadaku
limpah karuniaMu Mudakanlah aku dengan lindunganMu! Ma'afkanlah
kelalaianku dengan kemurahanMu!".
Abdullah bin Muhammad Al-Balawi menerangkan : "Kemudian ia pergi dan
kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad dan Asy-Syafi'i ra. masih di
Irak. Maka aku duduk di tepi sungai, mengambil wudlu untuk bershalat.
Tiba-tiba lewat disampingku seorang laki-laki, seraya berkata kepadaku :
"Ya, saudara! Berwudlulah dengan baik, niscaya Allah memberikan
kebaikan kepadamu di dunia dan di akhirat". Lalu aku menoleh, maka
tiba-tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka
bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia
memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu keperluan ?".
"Ada!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah kepadamu!".
Maka ia menjawab : "Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya terlepas dari bahaya. Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yang zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang pahala dari pada Allah Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi ?".
"Ya!", jawabku.
Lalu ia menyambung : "Orang yang ada padanya tiga perkara, maka
sempurnalah imannya : orang yang menegakkan amar ma'ruf terhadap orang
lain dan terhadap dirinya, orang yang menjalankan nahi mungkar terhadap
orang Iain dan terhadap dirinya dan orang yang menjaga batas-batas yang
ditentukan Allah Ta'ala.
Apakah aku tambahkan lagi?".
"Ya!", jawabku.
Maka ia menyambung : "Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke akhirat. Danbenarkanlah akan Allah Ta'ala dalam segala pekeijaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang-orang, yang terlepas dari segala mara bahaya". Kemudian ia pergi lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak : "Itulah Imam Asy-Syafi'i".
Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra. jatuh tersungkur, kemudian perhatikanlah
kepada pengajarannya, betapa membuktikan yang demikian itu,
kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta'ala.
Ketakutan dan kezuhudan ini tidak datang selain karena mengenal Allah 'Azza wa Jalla.
Allah berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Innamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u)
Artinya :"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Fathir, ayat 28).
Maka Imam Asy-Syafi'i ra. tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan
itu, dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa-menyewa dan lain-lain kitab
fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari
Al-Quran dan Hadits. Karena hukum dari orang-orang terdahulu dan yang
kemudian, tersimpan pada keduanya.
Adapun tentang ke'alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan
ilmu-ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata-kata hikmah
yang berasal daripadanya.
Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra.
tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas : "Ria adalah suatu fitnah
yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati
ulama-ulama. Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan
jiwa. Maka binasalah segala amalannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada
amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada
pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti, pada
sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila
engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah
rasanya pada matamu amalanmu itu".
Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan cara
mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : ''Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya".
Katanya lagi : "Barangsiapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu, maka
bermanfa'atlah bathinnya". Katanya lagi: "Tiada seorangpun melainkan
mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian,
maka hendaklah engkau bersama golongan orang yang ta'at kepada Allah
Ta'ala".
Diceriterakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang
wara'. Dan ia bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang masalah
wara' itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka menerima kedatangannya karena
wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah
ia kepada Imam Asy-Syafi'i ra. "Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji atau diberi keteguhan hati?".
Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i ra. : "Diberi keteguhan hati adalah
derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada keteguhan hati itu selain sesudah diuji.
Apabila diuji maka bersabar. Apabila sudah bersabar maka teguhlah hati.
Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala menguji Nabi Ibrahim as.,
kemudian la memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as.,
kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as.,
kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulaiman
as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya
kerajaan.
Maka ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama?
Berfirman Allah Ta'ala :
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأرْضِ
(Wa kadzaalika makkannaa li-yuusufa fil ardli).
Artinya:"Dan begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusuf dimuka bumi".(S. Yusuf, ayat 21).
Nabi Ayub as. sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan hati.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
(Wa aatainaahu ahlahuu wa mitslahum ma'ahum.).
Artinya :"Kami berikan kepadanya pengikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula". (S. Al-Ambiya', ayat 84).
Kata-kata tersebut dari Imam Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaut
pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur'an dan penglihatannya
tentang kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah Ta'ala, baik
Nabi-Nabi atau Wali-Wali. Semuanya itu
adalah dari ilmu akhirat.
Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. : "Bilakah seorang itu dipandang 'alim?".
Ia menjawab : "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu
itu. Kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana
yang belum diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seorang 'alim".
Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam-macam obat untuk satu penyakit".
Menjawab Jalinus : "Yang dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan
dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya,
karena kalau masing-masing sendiriannya itu membunuh".
Contoh tadi dan lain-lainnya yang tidak terkira banyaknya, menunjukkan
ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i tentang mengenai Allah Ta'ala dan
ilmu akhirat.
Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil untuk itu adalah riwayat yang menerangkan bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata:"Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu Iain yang ada padaku, meskipun sedikit".
Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. Memperhatikan kepada bahaya
ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia membersihkan hati dari
pada berpaling kepadanya, yang semata- mata niatnya adalah karena wajah
Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra,berkata :
"Tidaklah sekali-kali aku bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah".
Katanya lagi : "Tidaklah sekali-kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai
supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan. Dan tidaklah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatian ku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"
Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra. : "Tidaklah aku kemukakan kebenaran
dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan
aku takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya,
kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak
keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak
berhadapan dengan dia".
Inilah tanda-tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan
ilmu fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam
Asy-Syafi'i ra. dituruti orang dari jumlah perkara yang lima itu, kepada
satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula orang-orang itu
menyalahinya dalam satu perkara tadi. Dan karena inilah berkata Abu
Tsaur ra. : "Tak pernah aku dan orang-orang lain melihat seperti Imam
Asy-Syafi'i ra.". Berkata Imam
Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak pemah aku melakukan shalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy-Syafi'i ra.".
Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a dan betapa
pula derajat orang yang dido'akan. Cobalah bandingkan dengan Imam
Asy-Syafi'i ra. akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada masa ini.
Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan
permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti
ulama-ulama besar itu.
Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra.
lalu bertanyalah anaknya : "Orang mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah
mendo'a semua do'a ini?".
Maka menjawab Ahmad bin Hanbal : "Hai anakku! Imam Asy-Syafi'i itu adalah seumpama matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia".
Lihatlah, adakah bagi dua perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?
Imam Ahmad pernah berkata : "Tiada seorangpun menyentuh botol tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".
Berkata Yahya bin Sa'id Al-Qattan "Tidak pernah aku bershalat selama
empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam
Asy-Syafi'i.-Karena Allah 'Azza wa Jalla
telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar".
Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal-ikhwal Imam Asy-Syafi'i itu,
karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup
Imam Asy-Syafi'i ini, kami salin dari kitab biografinya, karangan Syekh
Nasar bin Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam
Asy-Syafi'i dan seluruh kaum muslim!.
Adapun Imam Malik ra. maka beliaupun berpakaian dengan yang lima perkara
itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu : "Apakah
yang hendak tuan katakan tentang menuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam
Malik ra. : "Bagus, baik!
Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagl sampai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu!".
Imam Malik ra. sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu".
Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Aku suka membesarkan hadits Rasulullah saw.'
Berkata Imam Malik ra. : "Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita'
Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menunjukkan kepada ketinggian mutu pengetahuannya tentang kebesaranAllah Ta'ala,
Tentang tujuan Imam Malik ra. dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh ucapannya "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali".Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat Imam Malik ra .ketika dimajukan kepadanya empat puluh delapan masalah, maka ia menjawab mengenai tiga puluh dua dari masalah -masalah itu ."Saya tidak tahu".
Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala,tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu. Dari itu, berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik".
Menurut riwayat, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik
daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan.
Kemudian Abu Ja'far mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik.
Lalu Imam Malik menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum
hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang
dipaksakan.
Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu.
Imam Malik ra. berkata : "Tiadalah seseorang yang benar dalam
pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya mendapat
hiasan dan tidak akan kena bencana dan pikiran-pikiran khurafat pada
hari tuanya".
Tentang zuhudnya Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya kepada Imam Malik:
"Adakah tuan mempunyai rumah?".
"Tidak ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah mendengar Rabi'ah bin Abi Abdir Rahman berkata :
"Bangsa seseorang ditunjukkan oleh rumahnya".
Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik : "Adakah tuan mempunyai rumah?"."Tidak ada!", jawabnya.
"Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan : "Belilah rumah dengan uang ini!".
Imam Malik mengambil wang itu, tetapi tidak dibelinya rumah.
Ketika Harunur Rasyid ingin bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada
Imam Malik ra. "Seyogialah tuan pergi bersama kami. Aku bercita-cita
membawa perhatian manusia kepada
kitab "Al-Muaththa' " (nama kitab yang dikarang Imam Malik),sebagaimana khalifah Utsman ra. membawa perhatian manusia kepada Al-Qur'an.
Menjawab Imam Malik : "Adapun membawa manusia kepada Kitab Al-Muaththa',
maka tiada jalan kepadanya. Karena parashahabat Rasulullah saw. sudah
bersebar kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan
hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi صلى الله
عليه وسلم pernah mengatakan :
صلى الله عليه وسلم : اختلاف أمتي رحمة .
(Ikhtilaafu ummatii rahmah).
Artinya : "Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat". (1)
Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya.
Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda :
المدينة خير لهم لو كانوا يعلمون
(Al-madiinatu khairun lahum lau kaanuu yalamuun).
Artinya :"Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya '.' (2)
Dan lagi Nabi صلى الله عليه وسلم Bersabda :
(المدينة تنفي خبثها كما ينفي الكير خبث الحديد)
(Al-madiinatu tanfii khabatsahaa kamaa yanfil kiiru khabatsal hadiid).
Artinya :"Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan
kotoran besi". (3)
1.Hadits ini dirawikan At-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan isnadnya dla'if.2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sufyan bin Abi Zuhair.3.Dirawikan AI-Bukharl dan Muslim dari Abi Hurairah.
Inilah dinarmu, seperti adanya! Kalau kamu mau, maka ambilkanlah!
Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah! Yakni sekiranya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madinah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullah saw.".
Begitulah zuhudnya Imam Malik ra. pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya
harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya
dan teman-temannya, maka dibagibagikannya uang itu pada jalan kebajikan.
Kemurahan hatinya
menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia.
Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah kosongnya
hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun salah seorang yang zuhud dalam
pemerintahannya.
Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu
riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam Asy-Syafi'i menerangkan : "Aku
melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan,
namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku
mengatakan kepadanya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".
Maka beliau menjawab : "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayah Abdullah!".
Maka aku menjawab : "Biarlah kuda irii untuk tuan hamba, menjadi kuda tunggangan tuan hamba sendiri".
Menyambung Imam Malik : "Aku malu kepada Allah Ta'ala memijakkan tanah
dengan kuku kuda, di mana di dalamnya dikuburkan Nabi Allah صلى الله
عليه وسلم.".
Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya
itu sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah!.
Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala
dan tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang
menerangkan bahwa Imam Malik pernah berkata
"Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkatalah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai Ayah Abdullah! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak kita mendengar kitab Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata : "Lalu jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan
Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti)".
Maka menyambung Harunur Rasyid : "Benar tuan! Keluarlah ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia ramai!".
Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah,amat takut kepadaNya dan menghendaki wajah Allah dengan ilmunya.
Adapun dia itu 'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan : "Imam Abu Hanifah ra.
adalah seorang yang berperikemanusiaan dan banyak mengerjakan shalat".
Menurut ceritera Hamrnad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah
menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah.
Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam dengan ibadah.
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan mengatakan kepada orang lain : "Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah".
Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan
ibadah dan mengatakan : "Aku malu kepada Allah swt. disebutkan tentang
ibadahku yang tidak sebenarnya".
Mengenai zuhudnya, diriwayatkan dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan : "Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah.
Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah
menjadi pengurus "baital-mal". Ia menolak lalu dipukul 20 kali".
Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.
Berkata Al-Hakam bin Hisyam At-Tsaqafi "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak.
Maka Abu Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak,
lalu Ibnul mubarak menjawab : "Adakah kamu sebutkan seorang laki-laki,
yang diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari
daripada kemewahan itu?".
Diriwayatkan dari Muhammad bin Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin Abu Ja'far Al-Manshur memerintahkan untuk dianugerahkan kepada tuan, uangsebanyak sepuluh ribu dirham".
Muhammad bin Syujja' mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut. Muhammad bin Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada hari yang diduga uang itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkatakata sepatah katapun".
Maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa wang, lalu masuk ke
tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbicara dengan dia. Lalu
berkata sebahagian orang yang hadlir :
"Beliau itu tidak berbicara dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah.
Artinya, itulah kebiasaan beliau".
Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah : "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah!".
Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta
benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada anaknya : "Apabila aku mati
kelak dan aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu
ini. Dan bawalah kepada Al- Hasan bin Quhthubah dan katakanlah
kepadanya : "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu
Hanifah!".
Berkata anak Abu Hanifah : "Maka aku laksanakan wasiat itu".
Lalu berkata Al-Hasan : "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguhnya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya".
Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab : "Aku tidak layak untuk jabatan itu!".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapa?".
Abu Hanifah menjawab : "Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka pembohong tak layak menjadi kadli!".
Adapun ilmunya dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa Jalla, maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'ala dan zuhudnya terhadap dunia.
Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku
tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu,
bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala".
Berkata Syuraik An-Nakha'i "Adalah Abu Hanifah seorang pendiam, selalu berpikir dan sedikit berbicara dengan manusia".
Inilah diantara tanda-tanda yang tegas, dari ilmu bathin dan bekerja
untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam dan zuhud, maka
telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.
Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut
keduanya adalah kurang, bila dibandingkan dengan pengikut imam yang tiga
itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut
Imam Ahmad. Tetapi kemasyhuran dua imam ini, dengan wara' dan zuhud,
adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan
ceriteia-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu
tidak perlu lagi diperinci sekarang.
Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan
perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan dan perbuatan
mereka itu, tentang berpaling dari dunia dan menumpah-kan. seluruh
perhatian kepada Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh semata-mata
pengetahuan dengan cabang-cabang fiqih, dari pengetahuan berjual beli,
menyewa, dhihar, ila' dan li'an atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan
lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan
lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam-imam itu,
apakah mereka benar pada pendakwaannya atau tidak?
--------------------------------------------------------------------------------
NEXT>>>
NEXT>>>
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan