Perdebatan
بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
الباب الرابعفي سبب إقبال الخلق على علم الخلاف وتفصيل آفات المناظرة والجدل وشروط إباحتها
Bab
Keempat: Mengenai sebabnya manusia suka
kepada ilmu khilafiah.Penghuraian
bahaya perdebatan dan pertengkaran. Syarat-syarat pembolehannya.
Ketahuilah bahwa jabatan
khalifah sesudah Nabi صلى الله
عليه وسلم dipegang oleh khulafa' rasyidin dengan petunjuk
Allah (yaitu : Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Mereka adalah imam, ahli ilmu
dan paham segala hukum Allah. Bebas mengeluarkan fatwa dan sanggup me
mennyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah meminta bantuan ahli-ahli hukum
Islam (fuqaha'). Kalau pun ada maka amat jarang sekali, yaitu mengenai
peristiwa-peristiwa yang harus dimusyawa-rahkan.
Dari itu, maka para alim
ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu
akhirat. Menolak mengeluarkan fatwa dan apa yang ada hubungannya dengan hukum
duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksi-mal kepada
Allah Ta'ala, sebagaimana dapat dibaca dalam riwayat hidup para alim ulama itu
sendiri.
Sewaktu jabatan khalifah
jatuh ke tangan golongan-golongan sesudah khulafa rasyidin itu, yang
mengendalikan pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang
berhubungan dengan fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para
fuqaha' dan mengikut-sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu
menjalankan hukum.
Dalam pada itu, masih ada
juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap dalam suasana yang lampau,
berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri-ciri ulama salaf
(ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta, lalu melarikan diri dan menolak.
Sehingga terpaksalah para khalifah itu melakukan paksaan dalam pengang-katan
anggota kehakiman dan pemerintahan.
Maka kelihatanlah kepada
rakyat umum kebesaran ulama dan perhatian para pembesar dan wali negara kepada
mereka. Sedang dari pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan men jauh kan
diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin memperoleh
kemudahan dan kemegahan mereka bertekun mempelajari ilmu
yang berhubungan dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenalkan diri
kepada para wali negeri, memohonkan kedudukan dan jabatan.
Diantaranya ditolak dan ada
juga yang diterima. Yang diterima tidak luput dari kehinaan meminta-minta dan
mohon dikasihani. Maka jadilah para fuqaha" itu meminta sesudah tadinya
diminta. Hina dengan menyembah-nyembah kepada pembesar sesudah tadinya mulia
dengan berpaling dari penguasa-penguasa itu. Yang terlepas dari keadaan
tersebut ialah orang-orang dari para ulama agama Allah yarig memperoleh taufiq
dari padaNya.
Amat besar perhatian pada
masa itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik
didaerah-daerah atau di pusat pemerintahan.
Sesudah itu lahirlah dari
orang-orang terkemuka dan pembesar-pem besar golongan yang suka memperhatikan
percakapan manusia tentang kaidah-kaidan kepercayaan dan tertarik hatinya
mendengar dalil-dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran
bertukar-pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam. Perhatian orang banyak-pun
tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat.
Dan dikeluarkanlah ulasan tentang mana kata-kata yang ber ten tangan.
Mereka mendakwakan bahwa
tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi saw. serta membasmi
bid'ah sebagaimana orang-orang sebelum mereka ini, mendakwakan untuk agama
dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus peri hal hukum. Karena
belas-kasihan kepada makhluk Tuhan dan untuk pengajaran kepada mereka.
Sesudah itu muncul lagi, dari
kalangan terkemuka orang-orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu
kalam dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan
kefanatik-an yang keji dan permusuhan yang meluap-luap, yang membawa kepada
pertumpahan darah dan penghancuran negeri. Tetapi golongan ini tertarik kepada
bertukar-pikiran tentang fiqih dan khusus memperbandingkan mana yang lebih
utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah ra.
Maka manusia-pun meninggalkan
ilmu kalam dan bahagian-bahagi-annya, terjun ke dalam masalah-masalah khilafiah
antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah khususnya. Dan tidak begitu mementingkan
apakah yang terjadi antara malik, Sulfan Ats-Tsufridan Ahmad ra. serta
ulama-ulama lainnya.
167
|
Mereka mendakwakan bahwa
maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan-alasan
madzhab dan memberikan kata peng-antar bagi pokok-pokok fatwa. Lalu diperbanyak
karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam-macam cara berdebat dan
mengarang.
Keadaan itu djteruskan mereka
sampai sekarang. Kami tidak dapat menerka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan
sesudah kami, pada masa-masa yang akan datang,
Maka inilah kiranya penggerak
kepada orang sampai bertekun dalam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain!
Kalaulah condong hati
penduduk dunia untuk berselisih dengan imam yang lain dari imam-imam tadi atau
kepada ilmu yang lain dari bermacam-macam ilmu pengetahuan, maka golongan yang
tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan bahwa
apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu agama dan tujuannya tak lain dari pada
mendekatkan diri kepada Tuhan seru sekalian alam.
* * *
PENJELASAN: Penipuan tentang samanya perdebatan
itu dengan musyawarah para shahabat dan pertukar-pikiran ulama salaf.
Ketahuilah bahwa golongan
tersebut, kadang-kadang menjerumus-kan manusia ke dalam pahamnya dengan
mengatakan : "Bahwa maksud kami dari perdebatan itu mencari kebenaran
supaya kebenaran itu nyata, karena kebenaranlah yang dicari.
Bertolong-tolong-an membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu, ada faedah dan
gunanya. Dan begitulah 'adat kebiasaan para shahabat ra. dalam bermusyawarah
yang diadakan mereka seperti musyawarah mengenai masalah nenek laki-laki,
saudara laki-laki (dalam soal warisan), hukuman minum khamar, kewajiban
membayar atas imam (kepala pemerintahan) apabila iabersalah. Seperti kejadian
seorang wanita keguguran kandungannya karena takut kepada Umar ra. dan seperti
masalah pusaka dan lainnya. Dan seperti persoalan-persoalan yang diterima dari Asy-Syafi'i, Ahmad, Muhammad bin Al-Hasan,
Malik, Abu Yusuf dan lainnya dari para ulama. Kiranya dirahmati Allah mereka
itu sekalian!".
Akan tampak kepada anda
penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini. Yaitu, benar bahwa bertolong-tolongan
mencari kebenaran itu sebahagian dari agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda
yang delapan macam
168
|
PERTAMA : Bahwa
tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam fardlu-kifayah itu,
orang-orang yang belum lagi menyelesaikan fardlu 'ain. Dan orang yang masih
berkewajiban dengan sesuatu fardiu 'ain, lalu mengerjakan fardlu-kifayah dengan
dakwa-an bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpama orang yang
meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyediakan kain dan menjahitkannya
dengan mengatakan : "Bahwa maksud ku hendak menutup aurat orang yang
bershalat telanjang dan tidak memperoleh kain".
Penjawaban itu mungkin cocok
dan bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli fiqih, bahwa
kejadian hal-hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas dan perselisihan
itu, bukan tidak mungkin.
Yang jelas, orang-orang yang
'asyik bertengkar itu, menyianyiakan urusan yang telah disepakati atas fardlu
'ainnya. Orang yang dihadapkan kepadanya untuk mengembalikan barang simpanan
sekarang juga, lalu tegak berdiri bertakbir melakukan shalat suatu ibadah yang
mendekatkan manusia kepada Tuhannya,adalah berdosa.
Jadi tidak cukup untuk
menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuat-annya termasuk perbuatan ta'at,
sebelum dijaga padanya waktu, syarat dan tata-tertib pada mengerjakannya.
KEDUA : bahwa
tidak melihat fardlu-kifayah itu lebih penting dari perdebatan. Jika ia melihat
ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka berdosalah ia
dengan sikapnya itu. Contohnya seumpama orang yang melihat serombongan orang
ke-hausan yang hampir binasa dan tak ada yang menolongnya. Orang tadi sanggup
menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi mempelajari berbekam
dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk fardlu-kifayah dan
kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan binasalah manusia. Dan
kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli bekam dan lebih dari
cukup
169
|
lalu jawabnya bahwa-ia 'tidak
dapat merobah pekerjaan berbekam menjadi tidak fardiu kifayah lagi. Maka
peristiwa orang yang pergi mempelajari berbekam dan menyia-nyiakan nasib orang
yang menghadapi bahaya kehausan itu, dari orang muslim in, samalah halnya
dengan peristiwa orang yang 'asyik mengadakan perdebatan sedang dalam negeri
terdapat banyak fardiu kifayah yang disia-siakan, tak ada yang mengerjakannya.
Mengenai fatwa maka telah
bangun segolongan manusia melaksanakannya.
Tak ada satu negeripun yang
didalamnya fardiu kifayah, yang tidak disia-siakan. Dan para ulama fiqih tidak
menaruh perhatian kepadanya. Contoh yang paling dekat ialah ilmu kedokteran.
Hampir seluruh negeri tidak didapati seorang dokter muslim yang boleh
diperpegangi kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada agama atas adpis
dokter. Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka bekerja dalam
lapangan kedokteran.
Begitu pula amar ma'ruf dan
nahi munkar, termasuk dalam fardiu kifayah. Kadang-kadang seorang pendebat
dalam majlis perdebatan melihat sutera dipakai dan dipasang pada tempat duduk.
Dia tinggal berdiam diri dan terus berdebat dalam persoalan, yang sekalipun tak
pernah terjadi. Kalaupun terjadi maka bangunlah serombongan fuqaha'
menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa maksudnya dengan fardiu kifayah
tadi, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Diriwayatkan Anas ra. bahwa
orang bertanya kepada Nabi صلى الله
عليه وسلم
يا رسول الله متى يترك الأمر بالمعروف والنهي عن
المنكر
(Mataa yutrakul amru
bilma'ruufi wannahyu 'anil munkar)
Artinya "Pabilakah amar ma'ruf dan nahi
munkar itu ditinggalkan orang?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم
فقال عليه السلام إذا ظهرت المداهنة في خياركم
والفاحشة في شراركم وتحول الملك في صغاركم والفقه في أراذلكم
(1)
170
|
Artinya :"Apabila telah lahir
sifat berminyak air dalam kalangan orang pilihan dari kamu dan perbuatan keji
dalam kalangan orang jahat dari kamu dan berpindah pemerintahan dalam kalangan
orang-orang kecil dari kamu dan fiqih (hukum) dalam kalangan orang-orang yang
hina dari kamu ". (1)
KETIGA : bahwa
adalah seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya sendiri,
tidak dengan madzhab Asy-Syafi'i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga apabila
lahirlah kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang sesuai
dengan pendapat Asy-Syafi'i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu seperti
yang diperbuat para shahabat ra. dan para imam.
Adapun orang, yang tidak
dalam tingkat ijtihad dan memang begi-tulah keadaan orang sekarang maka
berfatwalah dia dalam persoal-an yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang
dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya.
Dari itu, apakah faedahnya ia
mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal dan dia tak boleh
berfatwa dengan yang lain?
Kalau ada yang sulit, dia
harus mengatakan : "Semoga ada jawaban tentang ini pada yang empunya
madzhabku. Karena aku tidak berdiri sendiri dengan berijtihad pada pokok-pokok
agama".
Kalau ada pembahasannya
mengenai persoalan yang mempunyai dua pendapat atau dua kata (qaul) dari yang
empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat meragukan baginya.
Mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu, karena sepan-jang
penyelidikannya, ia coridong kepada yang satu itu. Maka tak adalah sekali-kali
jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.
Tetapi mungkin pula,
ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat atau kata itu dan
dicarinya persoalan yang ada perse-lisihan pendapat padanya sudah pasti.
1.Dirawikan Ibnu Majah
dengan isnad hasan.
|
171
|
KEEMPAT : bahwa tidak diperdebatkan selain dalam
persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi dalam masa dekat. Karena para
sbahabbt ra. tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan yang selalu
terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan warisan (faraidl).
Tetapi, kami tidak melihat
tukang berdebat itu mementingkan pengecaman dengan mengeluarkan fatwa tentang
persoalan yang Bering terjadi. Akan tetapi mereka memukul tambur dengan suara
nyaring, supaya lingkaran pertengkaran itu semakin meluas dengan tak memikirkan
apa yang akan terjadi.
Kadang-kadang ditinggalkan
mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan mengatakan "Itu soal kabar angin atau soal yang
diketepikan yang tak layak diperdengarkan".
Yang mengherankan, ialah
tujuan mereka mencari kebenaran. Tetapi persoalan yang semacam itu
ditinggalkan, beralasan kabar angin. Dan pada kabar angin tak dapat diperoleh
kebenaran. Atau persoalan itu tak layak diketengahkan ke muka umum. Mengenai
hal ini, tak usah kami perpanjang kalam. Menuju kepada kebenaran biarlah dengan
kata yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, ttdak berpanjang-panjang.
KELIMA : bahwa
perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada dihadapan
orang ramai dan di muka para pem-besar dan penguasa-penguasa. Pada tempat yang
sepi, pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk memperoleh
kejernihan hati, pikiran dan kebenaran.
Kalau di muka umum, dapat
menggerakkan ria, mendorong masing-masing pihak untuk menjadi pemenang, benar
dia atau salah.
Anda tahu bahwa orang suka ke
tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah karena Allah Ta'ala. Kalau di
tempat yang sepi, masing-masing mau memberikan kesempatan waktu kepada
kawan-nya untuk berpikir dan berdiam diri. Kadang-kadang dimajukan saran dan dibiarkan
tidak menjawab dengan cepat.
Tetapi bila di muka umum atau
dihadapan pertemuan besar, masing-masing pihak tidak mau meninggalkan
kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.
KEENAM : bahwa
dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya seperti orang mencari barang hilang.
Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang lain yang menolongnya.
172
|
Dia memandang temannya
berdebat itu penolong, bukan musuh. Diucapkannya terima kasih, waktu
diberitahukannya kesalahan dan dilahirkannya kebenaran.
Seumpama kalau dia mengambil
jalan mencari barangnya yang hilang, lalu temannya memberitahukan bahwa barang
yang hilang itu berada pada jalan yang lain, Tentu akan diucapkannya terima
kasih, bukan dimakinya. Tentu akan dimuliakannya dan disambutnya dengan gembira.
Demikianlah adanya musyawarah
para shahabat Nabi saw. itu. Seorang wanita pernah membantah keterangan Umar
ra. dan menerangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang berpidato
dihadapan rakyat banyak.
Maka menjawab Umar :
"Benar wanita itu dan salah laki-laki ini!".
Bertanya seorang laki-laki
kepada Ali ra. Lalu Ali memberi penja-waban atas pertanyaan itu.
Lalu menyahut laki-laki tadi
: "Bukan begitu wahai Amirul mu'-minin. Tetapi
bagini.............begini.........................!".
Maka menjawab Ali :
"Anda benar dan aku salah. Di atas tiap-tiap yang berilmu, ada lagi yang
lebih berilmu".
Ibnu Mas'ud menyalahkan Abu
Musa Al-Asy'ari ra. dalam suatu persoalan. Maka berkata Abu Musa :
"Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, selama tokoh ini masih
dihadapan kita".
Persoalan itu yaitu Abu Musa
ditanyakan tentang orang yang ber-perang sabilullah lalu tewas, maka menjawab
Abu Musa : "Masuk sorga".
Abu Musa ketika itu menjadi
amir di Kufah.
Tatkala mendengar pfinjawaban
Abu Musa tadi, maka bangun Ibnu Mas'ud seraya berkata : "Ulang lagi
pertanyaan tersebut kepada Amir itu, barangkali dia belum mengerti!".
Yang hadlir mengulangi lagi
pertanyaan di atas dan Abu Musa menjawab pula seperti tadi. Maka berkata Ibnu
Mas'ud : "Saya mengatakan bahwa jika orang itu tewas maka ia memperoleh
kebenaran, maka dia dalam Sorga".
Maka menjawab Abu Musa :
"Yang benar ialah yang dikatakan Ibnu Mas'ud".
Demikianlah kiranya
keinsyafan bagi orang yang mencari kebenaran.
173
|
Lihatlah tukang-tukang
berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang dari mulut
lawannya, maka hitamlah mukanya. Dia merasa malu din berusaha sekuat tenaganya,
menentang kebenaran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus-menerus selama
hidup-nya, orang yang telah mematahkan keterangannya itu.
Kemudian tidak pula malu
menyamakan dirinya dengan para shahabat ra. tentang bekerja sama dan
tolong-menolong mencari kebenaran.
KETUJUH : Jangan
dilarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil dan dari
satu persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama salaf
pada masa yang lampau.
Tetapi sekarang lain, dari
mulut orang berdebat itu meluncur seluruh bentuk pertengkaran yang tidak-tidak,
baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang Iain. Seumpama katanya "Ini tidak perlu saya sebutkan. Itu
bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama. Dari itu tidak
diterima".
Sebenarnya, kembali kepada
kebenaran adalah merombak yang batil dan wajib diterima. Anda melihat sekarang
seluruh majelis perdebatan, habis waktunya menolak dan bertengkar, sampai
memberi keterangan dengan alasan-alasan sangkaan.
Untuk menolak alasan tadi,
lalu yang sepihak lagi bertanya : "Apa keterangannya, maka untuk
menetapkan hukum masalah itu, didasarkan kepada alasan tadi?".
Pihak pertama menolak dengan
mengatakan : "Itulah yang ada padaku. Kalau ada pada saudara yang lebih
terang dan kuat dari itu, coba terangkan supaya saya dengar dan saya
perhatikan!".
Maka terus-meneruslah orang
itu bertengkar dan menyebut kata-kata yang lain lagi yang tidak saya sebutkan
tadi, seumpama : "Saya tahu, tetapi tidak mau saya sebutkan, sebab tidak
perlu saya menyebutkannya!
Yang sepihak lagi mendesak
untuk diterangkan apa yang disebutnya itu. Tetapi pihak yang kedua ini tetap
menolak.
Bertele-tele majelis
perdebatan itu dengan bersoal dan berjawab.
174
|
Pihak yang mengatakan bahwa
dia tahu,'tetapi tidak bersedia menerangkannya, beralasan tidak perlu, adalah
bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya ia tidak tahu, tetapi
mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu adalah seorang fasiq
pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi Allah dengan
mengatakan tahu, padahal tidak.
Kalau benar ia tahu, maka dia
menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang diketahuinya dari ilmu
agama, sedang saudaranya seagama telah bertanya untuk mengerti dan mengetahuinya.
Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu, maka dia dapat kembali kepada
kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang, maka lahirlah kekurangannya dan
dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada sinar ilmu yang
terang-benderang.
Dan tak khilaf lagi bahwa
melahirkan apa yang $iketahui dari ilmu agama setelah ditanyakan, adalah wajib
dan perlu.
Dari itu, katanya :
"Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku perkataan itu
dalam perdebatan yang diadakan untuk me-menuhi hawa nafsu dan ingin mencari
jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka menerangkan yang
diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan enggannya menerangkan,
jadilah dia pendusta atau fasiq.
Perhatikanlah musyawarah para
shahabat ra. dan bersoal jawab para ulama salaf! Adakah anda mendengar semacam
itu? Adakah dilarang orang berp indah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari
qias ke perkataan shahabat dan dari hadits ke ayat? Tidak, bahkan seluruh
perdebatan mereka termasuk ke dalam golongan-tadi. Karena mereka menyebutkan
apa yang terguris di hati, dengan tidak sembunyi-sembunyi. Dan masing-masing
mendengamya dengan penuh perhatian.
KEDELAPAN : bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada
faedanya bagi orang itu, seperti orang yang sedang menuntut ilmu.
Biasanya sekarang, orang
menjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam lapangan
ilmu pengetahuan. Karena takut nanti lahir kebenaran dari mulut mereka. Dari
itu dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya, karena mengharap yang batil
itu bisa laris.
175
|
Di balik syarat-syarat yang
tersebut, ada lagi teberapa syarat yang penting juga. Tetapi dengan syarat yang
delapan itu, cukuplati kiranya memberi petunjuk kepada anda, siapa kiranya yang
berdebat karena Allah dan siapa yang berdebat karena sesuatu maksud.
Ketahuilah secara
keseluruhan, bahwa orang yang tidak mendebati setan, di mana setan itu ingin menguasai
hatinya dan musuhnya yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya kepada
kebinasaan, lalu tampil mendebati orang lain mengenai masalah-masalah, di mana
seorang mujtahid memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang yang
memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi
ibarat bagi orang-orang yang ikhlas,
Karena itu, waspadalah
terhadap tipuan setan, yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam
kegelapan bahaya yang akan kami perinci dan menerangkan penjelasannya.
Kepada Allah Ta'ala kita
meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.
PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah) dan
hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.
Ketahuilah dan yakinlah bahwa
perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan, menundukkan la wan,
melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang
banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik perhatian orang,
adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh
Allah. Hubungannya kepada sifat-sifat kekejian bathin, seumpama takabur, 'ujub,
dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka kemegahan dan lainnya,
adalah seumpama hubungan minum khamar kepada sifat-sifat kekejian dhahir,
seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh dan mencuri.
Sebagaimana orang yang
disuruh memilih antara minum an yang memabukkan dan perbuatan-perbuatan keji
yang lain, lalu dianggap-nya minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu
oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada perbuatan-perbuatan
keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak oleh keinginan
menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan
keangkuhan, mengajaknya kepada bermacam-macam sifat keji yang tersembunyi dalam
jiwanya-Dan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang tercela.
176
|
Segala budi pekerti itu akan
diterangkan nanti dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan
tercelanya pada : "Bahagian Sifat-sifat Yang Membinasakan".
Sekarang kami tunjukkan
keseluruhan sifat-sifat jahat yang ditimbulkan oleh munadharah itu. Diantaranya
: "dengki".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
الحسد
يأكل الحسنات كما تأكل النار الحطب
(Al-hasadu yaTculul hasanaati
kamaa ta'kulun naarul hathaba).
Artinya :"Dengki itu
memakan yang baik seperti api memakan kayu kering'.(1)
Seorang pendebat tidak
terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang, sekali kalah. Sekali
kata-katanya dipuji orang dan sekali kata-kata lawannya dipuji orang. Selama di
dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan pemandangannya atau
disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka selama itu pula, ada
orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu hilang dan berpindah
kepada orang yang dengki itu.
Dengki adalah api yang
membakar. Orang yang menderita penya kit dengki, di dunia beroleh 'azab
sengsara dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata
Ibnu Abbas ra. : "Ambillah ilmu pengetahuan di mana saja kamu dapati. Dan
janganlah kamu terima perkataan fuqaha", karena diantara sesama mereka itu
berselisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya kambing-kambing jantan
dalam kandang".
Diantara sifat-sifat jahat
itu ; takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.
1.Dirawikan Abu Dawud dari
Abu Hurairah. Kata Al-Bukhari, hadits ini tidak benar.
|
177
|
من تكبر وضعه الله ومن تواضع رفعه الله
Artinya :"Barangsiapa
takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa merendahkan diri,
niscaya ditinggikan oleh Tuhan". (1)
Bersabda Nabi saw.
menceriterakan firman Allah Ta'ala :
العظمة إزاري والكبرياء ردائي فمن نازعني فيهما قصمته
(Al-adhamatu izaarii wal
kibriyaa-u ridaa-ii faman naaza 'anii fiihi-maa qashamtuhu).Artinya
:"Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa
bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya Aku binasakan dia". (2)
Selalulah orang yang berdebat
itu menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar.
Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba
meninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah,
dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit.
Kadang-kadang si bodoh dan si
keras kepala dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan
itu memeli-hara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mu'min itu dilarang
meng-hinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri
(tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan
tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan
penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah
diperbuat terhadap nama hikmah, ilmu dan lainnya.
Diantara sifat-sifat jahat
itu : dendam. Hampir seluruh orang yang
suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.
Nabi saw. pernah bersabda :
"Orang mu'min tidaklah pendendam ".(3)
1.Dirawikan Al-Khatib dari Umar dengan isnad
shahih.
|
2.Dirawikan Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah.
|
3.Menurut Al iraqi, dia tidak pernah
menjumpai hadits Ini.
|
Seorang yang mengambil
bahagian dalam perdebatan, tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat
pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan iawannya,
sedang terhadap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan
dengan baik.
Apabila dilihatnya demikian,
maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama ma kin mendalam.
Akhimya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada dhahir,
yang biasanya tidak dapat dibantah lagi.
Bagaimanakah melepaskan diri
dari ini? Dan tidaklah tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan
keterangannya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi
alasan. Bahkan jika timbul dari Iawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang
perhatian kepada perkataannya maka terta-namlah dalam dadanya sifat pendendam
itu yang payah hilang sampaii bercerai badan dengan nyawa.
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : mengupat.
Sifat mengupat itu
diserupakan oleh Allah dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang
berdebat itu memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari
menceriterakan Iawannya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran
dalam ceriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya sudah pasti—
keadaan-keadaan yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang
kelebihannya. Dan itulah mengupat
nama-nya. Sedang berdusta yaitu mengada adakan yang tidak-tidak.
Begitu pula tidak sanggup dia
menjaga lidahnya dari membentangkan hal keadaan orang yang menentang
perkataannya dan memperhatikan perkataan Iawannya dan menerimanya. Sehingga
orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan bebal.
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : membersihkan diri.
Berfirman Allah Ta'ala :
(Falaa tuzakkuu anfusakum
huwa a'lamu bimanit taqaa).
Artinya:"Janganlah kamu
membersihkan dtrimu. Dialah (Allah) yang Maha Mengetahui siapa yang
bertaqwa (surah.An Najm, ayat 32)
179
|
Ditanyakan kepada seorang
ahii'hikmah (hukama) : "Manakah kebenaran yang buruk?".
Menjawab hukama' itu :
"Memuji manusia akan dirinya'.
Tidaklah terlepas, si
pendebat itu memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari
teman-temannya. Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat : "Saya bukan
orang yang tidak mengerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam-macam
ilmu, berpaham sendiri tentang pokok-pokok agama dan menghafal banyak
hadits". Dan lain-lain perkataan yang timbul dari orang-orang yang memuji
diri. Sekali untuk memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya-
kata-katanya laris,
Sebagai dimaklumi bahwa
memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ad£ yang disebutkan itu, adalah
tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : mengintip dan mengikuti hal
ihwal orang.
Berfirman Allah Ta'ala :
(Wa laa tajassasuu).(S.
Al-Hujurat, ayat 12).
Artinya :"Janganlah kamu
mengintip-ngintip (memata-matai)".
(S. Al-Hujurat, ayat 12).
Si pendebat itu senantiasa
mencari kesilapan teman dan kekurangan Iawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat
lain ke tempatnya lalu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup
pendebat yang datang itu. Ditanyainya keburukan-keburukannya untuk menjadi
bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan.
Penyelidikan itu sampai
kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu semasa kecil dan
kekurangan-kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya
kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau lainnya.
180
|
Kemudian, apabila dirasanya
perlu, lalu dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu
dipandangnya baik untuk memperoleh sebab-sebab kemenangan. Dan tidak menjadi
halangan, menerangkan hal tersebut dengan diselang-selangi penghinaan dan
pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat-pendebat terkemuka yang
terhitung tokoh-tokoh penting.
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan
kegembiraan lawan.
Orang yang tidak menyukai
pada saudaranya muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah
dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap-tiap orang yang mencari kemegahan
dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenangkan baginya dengan
timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan
bathin diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan bathin diantara
wanita-wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang. dimadukan,
apabila melihat dari jauh saingannya, lalu gemetarlah sendi-sendi-nya dan pucatlah
mukanya. Maka demikian pula halnya dengan orang yang berdebat itu, apabila
melihat Iawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya.
Seolah-olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa.
Maka dimanakah sayang-menyayangi
dan cinta-mencintai itu, yang berlakudiantara para alim ulama ketika berjumpa?
Dan dimanakah persaudaraan, bertolong-tolongan dan senasib-sepenanggungan pada
masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama-ulama yang
terdahulu? Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Ilmu pengetahuan
diantara orang-orang yang terkemuka dan berpikiran tinggi itu, adalah dalam
bersilatur-rahmi yang sambung-menyambung".
Dari itu saya tidak mengerti,
bagaimana mendakwakan diri mengikuti madzhab Imam Asy-Syafi'i oleh segolongan
manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah menjadi alat
permusuh-an yang memutuskan silatur-rahmi? Mungkinkah tergambar sayang
menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan? Amat
jauh panggang dari api! Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan
berbudi pekerti munafiq dan terlepas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin.
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).
181
|
Orang-orang berdebat itu
memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan,
pencinta-pencinta lawan dan golongan lawan, maka tak ada jalan lain, selain
dari melahirkan kata pershahabatan dengan lisan, kata kasih-sayang dan
memuji-muji kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disadari oleh si
pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu kepadanya, bahkan oleh seluruh
yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih-sayang
dengan lisan, berdendam-khasumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan Allah
dari sifat nifaq itu!.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
إذا تعلم الناس العلم وتركوا العمل وتحابوا
بالألسن وتباغضوا بالقلوب وتقاطعوا في الأرحام
لعنهم الله عند ذلك فأصمهم وأعمى أبصارهم
(Idzaa ta'allaman naasul
'ilma wa tarakul 'amala wa tahaabbuu bil alsuni wa tabaaghadluu bil quluubi wa
taqaatha'uu fil arhaami la'anahumullaahu 'inda dzaalika fa-a-ehammahum wa a'maa
abshaa-rahum.) 1
Artinya :
"Apabila manusia mempelajari
ilmu dan meninggalkan amal, berka-sih-kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan
dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka kenalak kutukan Allah
ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya. (1)
Hadits ini diriwayatkan Al-Hasan.
Dan benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu!.
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : menyombong, menolak kebenaran dan bersungguh-sungguh menantangnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah
lahirnya kebenaran dari lidah Iawannya. Maka bagaimanapun kebenaran itu sudah
terang ibarat matahari waktu siang, mau juga di tanking dan dilawannya dengan
segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik dengan penipuan, pengkhianatan dan
kebusukan hati. Sehingga jadilah menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi
seorang pendebat. Bila saja didengarnya perkataan lawan, terus datang
keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat pada hatinya, tidak saja
terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil dari Al-Quran dan
kata-kata lain dari agama. Maka jadilah dalil-dalil itu berantakan satu sama
lain.
1.Dirawikan Ath Thabrani dari salman dengan
isnad dlaif
|
182
|
Berdebat menghadapi yang
batil itu harus dengan hati-hati. Nabi saw. berseru supaya meninggalkan perdebatan
mengenai hal yang benar melawan yang batil.
Nabi sawصلى الله عليه وسلم Bersabda :
من ترك المراء وهو مبطل بنى الله له بيتا في ربض
الجنة ومن ترك المراء وهو محق بنى الله له بيتا في أعلى الجنة
(Man tar akal miraa-a wabuwa
mubthilun banallaahu lahu baitan fii rabadlil jannati wa man tar akal miraa-a
wahuwa muhiqqun banallaahu lahu baitan fii a'-lal jannati).1
Artinya :Barangsiapa
meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dtbangun Allah
baginya sebuah rumah dalam perkampungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan
perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah
rumah dalam sorga tinggi". (1)
Allah Ta'ala menyamakan
antara orang yang mengada-adakan terhadapNya dengan kedustaan dan orang yang
mendustakan kebenaran. FirmanNya :
(Wa man adhlamu mimmanif
taraa 'alallaahi kadziban au kadzdzaba bil haqqi lammaa jaa-ahu).
Artinya :"Siapakah yang
lebih besar kesalahannya dari orang-orang yang mengada-adakan kedustaan tentang
Allah atau mendustakan kebenaran tatkala datang kepadanya (Al-Ankabut, ayat
68).
Dan firmanNya :
(Faman adhlamu mimman kadzaba
'alallaahi wa kadzdzaba bish-sbidqi idzjaa-ahu).
Artinya :"Siapakah yang
lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah dan
orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya!". (S-Zumar, ayat
32).
1.Dirawitkan Ath Tarmidzi dari ibnu Majah
dari Anas
|
183
|
Diantara sifat-sifat yang
jahat itu : ria, ingin memperlihatkan amalannya kepada orang banyak, berusaha
menarik hati dan pandangan mereka kepadanya.
Ria adalah penyakit bathin
yang amat berbahaya, dapat menjerumuskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan
diterangkan nanti pada "Kitab Ria".
Seorang pendebat, tidaklah
bermaksud, kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar
memujinya.
Inilah sepuluh perkara dari
induk kekejian bathin, selain dari yang timbul secara kebetulan dari
orang-orang di luar pendebat itu sendiri, yang merupakan permusuhan yang
mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain, penarikan janggut,
pemakian ibu-bapa, pengupatan guru dan tuduhan-tuduhan yang tegas me-nyakitkan
hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang yang masuk bilangan.
Sesungguhnya orang-orang yang
terkemuka dan yang terkenal pintar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara
yang sepuluh itu.
Benar, sebahagian dari mereka
terpelihara dari beberapa sifat tadi, di samping ada pula yang tidak begitu
jelas atau sangat jelas dengan sifat-sifat itu. Atau karena jauh dari
kampungnya dan unsur-unsur kehidupannya, maka sifat-sifat itu berbeda antara
satu sama lainnya.
184
|
Pendek kata, payahlah
terlepas dari -sifat-sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang
bermacam-macam, melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat
yang sepuluh tadi, masing-masing daripadanya bercabang pula kepada sepuluh yang
lain yang tak kurang kejinya.
Kami tidak berpanjang kalam
menyebut dan menguraikannya satu-persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam,
loba, ingin memperoleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, bang
ga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang-pergi
menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba lomba dengan kecantikan kuda dan
lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan
keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara,
hilang rasa-takut, hilang gemetar dan belas-kasihan di dalam hati, dikuasai
sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang mengerjakan shalat, tak tahu
lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang- bermunajat.
Dia tidak merasa khusyu' dalam
hatinya, padahal umurnya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang
dapat menolongkannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat.
Seumpama pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal
kata-kata yang ganjil dan lain-lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.
Orang-orang yang suka
berdebat itu, berlebih-kurang tingkat dari sifat-sifat tersebut. Bermacam-macam
tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara
mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur-unsur budi-pekerti. Hanya
usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari
padanya.
Dan ketahuilah bahwa budi
pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan
memberi nasehat dan pelajaran apabila tujuannya mencari kerelaan orang,
menegakkan kemfegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan.
Melekat juga pada orang yang
bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa-fatwa, apabila tujuannya
ingin menjadi kadli, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi
itu menimpa kepada tiap-tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap
pahala daripada
185
|
أشد
الناس عذابا يوم القيامة عالم لا ينفعه الله بعلمه
(Asyaddun naasi 'adzaaban
yaumal qiyaamati 'aalimun laa yanfa-'uhullaahu bi'ilmihi).Artinya
:"Manusia yang sangat menderita adzab pada hari qiamat,ialah orang yang
berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya(1).
Maka ilmu itu telah memberi
melarat kepada yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya.
Mudah-mudahan kiranya terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang
yang berilmu itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya!.
Sesungguhpya, bahaya ilmu itu
besar. Orang yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang
abadi dan kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari
kekayaan atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau
kebetulan tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari
kehinaan, bahkan —tidak mustahil—lebih buruk dari itu lagi.
Jika anda mengatakan, bahwa
ada gunanya diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka
menuntut ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta menjadi kepala, maka ilmu itu
telah terbenam.
Benar perkataan anda itu dari
satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak kecilpun tidak suka pergi ke
sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain anggardan bermain mengadu
pipit. Keadaan yang demikian, tidaklah menunjukkan bahwa kesukaan yang seperti
itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak karena suka menjadi kepala, lalu
ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak menunjukkan bahwa mencari kedudukan
kepala itu dapat melepaskan diri dari kebinasaan. Tetapi termasuklah diantara
orang yang diterangkan Nabi صلى الله
عليه وسلم dengan
sabdanya
1.Dirawikan Ath-Thabrani
dan Al-Baihaqi dari Abi Hurairah dengan isnad dla'if
|
186
|
إن الله ليؤيد هذا الدين
بأقوام لا خلاق لهم
(Innallaaha layuayyidu
haadzad diina birrajulil faajiri).
Artinya :"Sesungguhnya
Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum (orang-orang )yang tak berbudi. (1)
Dan Sabdanya Dalam Hadis Lain
وقال صلى الله عليه وسلم: إن الله ليؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر
Sesungguhnya Allah Akan
menguatkan Agama ini dengan orang zalim (2)
Orang yang mencari kedudukan
kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang-kadang ia dapat memperbuat
perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Yaitu
orang yang dhahimya sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi
bathinnya, ia menyembunyikan tujuannya mencari kemegahan.
Orang yang seperti itu,
adalah seumpama iilin yang membakar dirinya sendiri dan menerangi orang lain.
Kebaikan yang diperoleh orang lain, adalah terletak dalam kebinasaannya.
Maka apabila orang yang
berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api
pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya.
Dari itu, maka ulama ada
tiga, adakalanya membinasakan diri sendiri dan orang Iain, yaitu mereka yang
berterus-terang mencari dunia dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada dunia.
Adakalanya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang
memanggil manusia ke jalan Allah, dhahir dan bathin. Dan adakalanya
membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu orang yang memanggil
manusia ke jalan akhirat, tetapi dia
1.Dirawikan An-nasa-i dari
Anas dangan isnad shahih.
2.Dirawikan Al-Bukhari dan
Muslim dari Abi Hurairah.
|
187
|
sendiri menolak dunia pada
dhahirnya, sedang pada bathinnya bertujuan mempengaruhi orang banyak dan
menegakkan kemegahan diri.
Maka lihatlah! Dalam bahagian
manakah anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu?
Janganlah anda menyangka
bahwa Allah Ta'ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak ikhlas kepadaNya.
Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang
Membinasakan. Sehingga segala keragu raguan hilang dari hati nuranimu, Insya
Allah!.
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan