بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Apakah Ulamak,Masyarakat,Umat Islam Harus Terlibat Urusan Politik
Muqadimah
Perjuangan untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah tidak bisa dipisahkan dari upaya meraih kekuasaan di tengah-tengah rakyat. Kekuasaan
adalah jalan bagi penerapan Islam secara sempurna. Tanpa kekuasaan,
Islam tidak akan pernah boleh diterapkan secara sempurna. Tanpa kekuasaan
tidak akan terwujud pemerintahan Islam yang akan mengatur dan
mengendalikan seluruh interaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat
dengan akidah dan syariah Islam.
Untuk
itu, seluruh pejuang Islam harus terjun ke tengah-tengah masyarakat
untuk meraih kekuasaan dari tangan mereka. Sebab, kekuasaan adalah milik
rakyat, dan rakyat akan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa saja yang
dikehendakinya. Ketika rakyat menyerahkan kekuasaannya kepada pejuang Islam, maka gerakan tersebut telah berkuasa dan berhak mengatur
seluruh urusan rakyat sesuai dengan pemikiran yang diperjuangkannya.
Namun, rakyat hanya akan menyerahkan kekuasaannya kepada pejuang Islam jika pemikiran-pemikiran (mafâhim), standarisasi-standarisasi (maqâyis) dan tatanilai (qanâ’ât) pejuang Islam telah diterima oleh rakyat. Ketika pemikiran,
standarisasi, dan tatanilai yang diperjuangkan pejuang Islam didukung
oleh rakyat, gerakan itu pasti akan mendapatkan limpahan kekuasaan dari
rakyat. Dalam kondisi semacam ini, pejuang Islam tersebut telah berhasil
meraih kekuasaan dari rakyat dan menegakkan kekuasaan Islam yang
menjadi prasyarat penerapan Islam secara sempurna.
Filosofi Mendirikan Kekuasaan Islam
Cara
mendirikan kekuasaan dan pemerintahan Islam harus dimulai dengan
menanamkan pemahaman, standarisasi, dan tatanilai Islam di tengah-tengah
rakyat. Tiga hal inilah yang akan melahirkan trust (kepercayaan) dari rakyat. Kepercayaan (trust) ini adalah dasar untuk membangun sebuah kekuasaan (negara). Jika trust terhadap
pemahaman, standarisasi dan tatanilai Islam tumbuh di tengah-tengah
rakyat, niscaya mereka akan memberikan kekuasaan kepada pihak yang
membawa pemikiran, standarisasi, dan tatanilai Islam tersebut. Oleh
karena itu, meraih kekuasaan dari tangan umat harus dimulai dengan cara
menanamkan pemahaman, standarisasi dan nilai-nilai Islam di
tengah-tengah masyarakat hingga pemikiran dan perasaan mereka menyatu
dengan Islam.
Tidak
hanya itu saja, hubungan yang ada antara rakyat dan penguasa harus
dihancurkan dengan cara menyerang seluruh pemikiran, standarisasi dan
tatanilai yang diterapkan oleh penguasa lama di tengah-tengah rakyat.
Sebab, hanya dengan cara inilah trust islami bisa terbentuk dan trust sekularistik bisa dihancurkan. Ketika trust sekularistik telah hancur, rakyat akan menyerahkan trust-nya kepada partai politik Islam. Pada saat itu berdirilah kekuasaan Islam.
Manhaj Rasulullah
Kekuasaan adalah tharîqah (metode/jalan) untuk menerapkan syariah Islam. Cara untuk meraih kekuasaan dari tangan umat harus dilakukan sesuai dengan manhaj
dakwah Rasulullah saw. Dakwah, sebagaimana ibadah-ibadah lain, harus
selalu sejalan dengan sunnah Nabi saw. Berikut ini akan diuraikan manhaj dakwah Nabi saw. dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam.
Pertama: perjuangan membangun masyarakat Islam harus dilakukan secara kolektif (’amal jamâ’i), bukan individual. Caranya adalah dengan membentuk harakah, partai atau jamaah yang bersendikan akidah Islam dan bertujuan melangsungkan kehidupan Islam. Kewajiban mendirikan partai, firqah atau gerakan Islam didasarkan pada firman Allah Swt.:
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah
ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan
melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Ketika
menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Maksud ayat ini
adalah, hendaknya ada kelompok dari umat Islam) yang siap sedia
menjalankan tugas tersebut (mendakwahkan Islam dan melakukan amar makruf
nahi mungkar.”1
Imam
Ali ash-Shabuni juga menyatakan, “Maksudnya, hendaknya dirikanlah
kelompok dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah; untuk
mengajak pada setiap kebajikan dan mencegah setiap kemungkaran.”2
Kewajiban berdakwah secara jamâ’i
juga didasarkan pada fakta sejarah perjuangan Rasulullah saw. dan para
Sahabat. Nabi saw. dan para Sahabat merupakan gambaran faktual
perjuangan kolektif. Rasulullah saw. berkedudukan sebagai pemimpin bagi kutlah (kelompok) Sahabat. Beliau memimpin para Sahabat untuk meruntuhkan kekuasaan kufur saat itu.3
Alasan
lain, perjuangan menegakkan kembali sistem Islam tidak mungkin dipikul
oleh perjuangan individual, tetapi mutlak memerlukan sebuah perjuangan
kolektif. Berdasarkan kaidah ushul fiqh, mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib, mendirikan dan bergabung dengan gerakan Islam hukumnya wajib.
Kedua:
gerakan Islam yang harus didirikan oleh kaum Muslim dan kaum Muslim
wajib bergabung di dalamnya adalah gerakan Islam yang berlandaskan
akidah Islam; bukan partai sekular, sosialis maupun nasionalis.
Gerakan/partai Islam itu juga harus bertujuan mengajak manusia menuju
Islam dan syariah Islam serta melakukan amar makruf nahi mungkar. Di
dalam surat Ali Imran ayat 104, selain ditetapkan adanya kewajiban untuk
membentuk gerakan Islam, Allah Swt. juga menggariskan tujuan
didirikannya gerakan Islam tersebut: mendakwahkan Islam dan melakukan
amar makruf nahi mungkar.
Di dalam Tafsir ath-Thabari disebutkan: Abu Ja’far menyatakan, “…yakni
adanya jamaah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan
(al-khair), yakni Islam dan syariah Islam yang telah disyariatkan Allah
atas hamba-Nya serta melakukan amar makruf nahimungkar, yakni
memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw. dan agamanya
yang berasal dari sisi Allah Swt. dan mencegah kemungkaran; yakni mereka
mencegah dari ingkar kepada Allah serta (mencegah) mendustakan Nabi
Muhammad saw. dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah…”4
Berdasarkan
penjelasan ini dapat disimpulkan, bahwa gerakan Islam harus bertujuan
mengajak manusia menuju Islam dan syariah Islam serta melakukan amar
makruf nahi mungkar. Kaum Muslim dilarang mendirikan atau berkecimpung
di dalam partai yang berdiri di atas akidah kufur semacam sekularisme,
demokrasi, nasionalisme dan sosialisme; atau menyerukan selain syariah
Islam.
Ketiga: gerakan Islam tersebut harus berjuang sesuai dengan manhaj
dakwah Rasulullah saw. yang dimulai dari: (1) fase pembinaan; (2) fase
berinteraksi dengan masyarakat; (3) fase penerimaan kekuasaan dari
tangan umat.
Berkenaan
dengan fase pertama, Rasulullah saw. telah membina para Sahabat di
rumah Arqam dengan akidah dan hukum Islam hingga terbentuk kepribadian
Islam pada diri para Sahabat. Aktivitas pertama yang dilakukan Nabi saw.
adalah mengajarkan prinsip-prinsip tauhid kepada para Sahabat.
Pembinaan yang dilakukan oleh beliau juga ditujukan agar para Sahabat
memiliki bekal untuk berdakwah di tengah-tengah masyarakat.
Setelah
turun perintah untuk mendakwah-kan Islam secara terang-terangan, dakwah
Nabi saw. masuk ke fase kedua, yakni berinteraksi dengan masyarakat.
Pada fase kedua ini, beliau dan para Sabahat terjun ke tengah-tengah
masyarakat Jahiliah dengan menyerang keyakinan dan sistem Jahiliah
sekaligus menjelaskan pertentangannya dengan akidah dan syariah Islam.
Berbekal wahyu, beliau dan para Sahabat menyinggahi pasar-pasar,
Baitullah dan tempat-tempat yang sering dituju oleh masyarakat untuk
mendakwahkan Islam secara terang-terangan; mereka terus mengungkap
kebusukan akidah dan pranata Jahiliah. Akibatnya, Nabi saw. dan para
Sahabat harus menghadapi berbagai macam intimidasi dan siksaan dari kaum
kafir Quraisy. Namun, beliau dan Sahabat terus bersabar hingga tiba
pertolongan Allah Swt.
Pada
saat perlawanan orang kafir terhadap dakwah dan kaum Muslim semakin
meningkat, Nabi saw. menempuh strategi dakwah baru, yakni thalab an-nushrah (menggalang dukungan) dari ahl al-quwwah
(para pemilik kekuasaan). Tujuannya adalah agar mereka rela membantu
perjuangan Nabi saw. dalam menegakkan kekuasaan Islam. Di dalam Sîrah Ibn Hisyâm
disebutkan, bahwa Nabi saw. menghubungi 18 kepala suku Arab untuk
dimintai kekuasaannya. Namun, mereka menolak memberikan dukungan (nushrah) kepada Nabi saw. Nushrah akhirnya datang dari ahl al-quwwah di Madinah.
Keberhasilan Nabi saw. dalam meraih nushrah
dari Madinah tidaklah datang secara tiba-tiba. Sebelumnya memang telah
terjadi pembinaan Islam yang sangat intensif di tengah-tengah masyarakat
Madinah oleh Sahabat beliau saw, Mushab bin Umair ra. Akhirnya, Islam
menjadi opini umum di tengah-tengah masyarakat Madinah. Pada saat
itulah, pemimpin dari suku Auz dan Khazraj bersedia memberikan
kekuasaannya kepada Nabi saw. sekaligus menetapkan Madinah sebagai pusat
Daulah Islamiyah melalui peristiwa Baiat Aqabah II di Bukit Aqabah.
Inilah manhaj dakwah Nabi saw. dalam mengubah masyarakat kufur menjadi masyarakat Islam. Manhaj
inilah yang harus ditempuh oleh gerakan-gerakan Islam saat ini untuk
mewujudkan kekuasaan Islam di muka bumi. Langkah-langkah dakwah yang
dilakukan Rasulullah saw. adalah sunnah Nabi yang wajib dijadikan sumber
hukum bagi umat Islam dalam menjalankan dakwah pada masa sekarang ini.
Perubahan Masyarakat
Dari
seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa perubahan masyarakat
disangga oleh tiga pilar utama: (1) pembinaan (kaderisasi); (2)
pembentukan opini umum; (3) dukungan ahl al-quwwah.
Pembinaan (tatsqîf)
adalah proses internalisasi pemikiran, standarisasi dan tatanilai Islam
yang ditujukan untuk dua hal: (1) membentuk kader-kader dakwah; (2)
membentuk kesadaran umum di tengah-tengah masyarakat.
Kaderisasi
dalam sebuah gerakan ditujukan untuk mencetak kader-kader dakwah yang
memiliki kepribadian Islam serta mampu memikul tugas dakwah dan
mempengaruhi masyarakatnya dengan Islam. Adapun membangun kesadaran umum
dimaksudkan untuk membangun opini umum tentang Islam di tengah-tengah
masyarakat agar umat bangkit menuntut perubahan secara radikal serta
menyakinkan ahl al-quwwah agar rela memberikan dukungannya bagi perjuangan Islam.
Oleh karena itu, pembinaan (tatsqîf),
baik yang ditujukan untuk kaderisasi maupun membina masyarakat secara
umum, akan menentukan keberhasilan gerakan Islam dalam membentuk opini
Islam di tengah-tengah masyarakat dan meraih dukungan dari ahl al-quwwah. Pembentukan opini umum tentang Islam di Madinah dan nushrah
yang diberikan oleh pemimpin Auz dan Khazraj kepada Rasulullah saw.
baru berhasil setelah sebelumnya beliau melakukan pembinaan dan
penyadaran tentang Islam kepada masyarakat Madinah melalui utusan
beliau, Mushab bin Umair ra. Dengan demikian, gerakan Islam tidak boleh
mengabaikan pembinaan yang menjadi pilar terbentuknya opini umum tentang
Islam di tengah-tengah masyarakat serta teraihnya dukungan (nushrah) dari ahl al-quwwah. Ketika pembinaan, opini umum dan dukungan ahl al-quwwah
telah terwujud, maka terjadilah di sana suksesi (peralihan) kekuasaan
yang bersifat sistemik dan revolusioner. Ketika suksesi ini berhasil
dengan mulus, maka dengan ijin Allah, berdirilah Khilafah Islamiyah
dengan kokoh dan kuat. Institusi inilah yang akan mengembalikan Islam
dalam kehidupan sekaligus mengembalikan kemuliaan kaum Muslim yang kini
dirampas oleh musuh-musuhnya.
Politik Dalam Islam
Kepemimpinan adalah politik, sedangkan jiwa politikus adalah moral. Karenanya, politikus harus berpolitik dengan moral. Sehingga, manuver dan kebijakan politik apapun yang ia ambil adalah produk berkualitas dari moral yang ia olah.
Ketika Allah SWT
menurunkan Islam di bumi ini, tidak pernah mengindikasikan bahwa Islam
akan mengemban tugas untuk mendeklarasikan otoritas negara atau politik
sebagai bagian dari misi pembumian Islam, tetapi Islam lebih menitik
beratkan pada pengembangan mental dan rohani masyarakat yang
direalisasikan melalui pengisian hal-hal religius dan kualitas positif
agama di masing personal sociality berupa ajaran tauhid.
Komponen tersebut akhirnya menjadi benih yang menata pranata-pranatanya sendiri seperti suatu negara.
Konsepsi islam merupakan konsepsi kolektif yang mencerminkan realitas kolektif sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Atas dasar inilah Islam mau tidak mau harus terlibat dalam dunia politik kaumnya dengan menetapkan qanun (aturan main)
dalam berpolitik yang sealir dengan ideologinya. Pendapat bahwa politik
harus lepas dari ikatan agama adalah kesalahan presepsi memandang
islam.
Doktrin politik dalam Islam sebenarnya tidak terlalu mengikat pada setiap aspek secara literal --seperti permasalahan ritual-- dengan garis besar doktrin tersebut identik dengan apa yang dikatakan nurani “benar”.
Sebab, kebenaran yang telah dirangkai dalam ikatan tekstual al-Qur'an
dan al-Hadist yang universal, dengan meletakkan keadilan sebagai “kehidupan layak” setiap masyarakat.
Tuntutan akan persamaan
merupakan sifat permanen dari konsep keadilan tersebut, sedangkan
keadilan tak mungkin termanifestasikan bila persamaan hak bagi semua
orang hanya dianggab kotoran sampah belaka.
Selama keadilan, baik di
bidang HAM, ekonomi, ataupun sosial dan keamanan masih berbentuk hal
yang abstrak, maka perpolitikan akan tetap dalam ambang kehancuran
meskipun gong reformasi dan amandemen di beberapa undang-undang
diberlakukan.
Sayangnya keadilan di
tanah air kita masih belum bisa terealiasi. Permasalahan internal
seperti pemekaran korupsi, perluasan narkoba, kezaliaman aparat, kasus
Ambon, Poso atau Papua, menjadi back ground hilangnya kata “adil”
dalam sepak terjang politikus Indonesia. Ditambah lagi dengan sifat
egois dan agresif yang over acting dari para manusia bernama politikus.
Umar Bin Khattab dalam pidato sambutan kepemimpinannya mengatakan “Dimata
saya tidak ada dari kalian orang yang lebih kuat dari orang yang lemah
diantara kalian, sebelum saya berikan haknya, dan tidak ada orang yang
lebih lemah dari orang yang kuat sebelum saya cabut haknya”.
Keadilan dan rasa sayang pada komunitas "duafa” (orang lemah) menjadikan Umar RA seorang pemimpin yang dikagumi rakyatnya.
Islam mengibaratkan politikus adalah “penggembala”
umat yang bertanggung jawab atas idiologi Allah di muka bumi, oleh
karena itu kedekatan spiritual dalam hubungan vertikal merupakan hal
primer. Menjalankan Syariat Islam merupakan kewajiban yang tidak dapat
ditawar.
Hal tersebut harus
dicerminkan dalam etika lazim keseharian seorang politikus. Moral
seseorang politikus adalah cermin dalam menganalisa mendalam kebaikan
dan kejelekan yang ia lakukan, atau dengan kata lain moral adalah suatu
sistem nilai yang sanggup memanajemen prilaku seseorang.
Sebab kerusakan moral pada diri politikus atau pemimpin adalah tanda kehancuran suatu bangsa.
Politikus yang baik dalam Islam, adalah politikus yang dekat dengan rakyat. Kesuksesan politik yang diraih dengan
mengorbankan prinsip dan
pemonopolian rakyat adalah awal dari kehancuran. Dan menjauhi rakyat
sama saja dengan membuat buta mata mereka akan persoalan bangsa.
Sehingga yang terjadi seperti bangsa kita, sesuatu yang kecil tampak besar, yang benar tampak salah, yang salah tampak benar di hadapan masyarakat, hingga kebenaran harus bercampur dengan kepalsuan.
Jika tetap menjauhi rakyat, seorang politikus hanya memiliki dua pilihan, Pertama, ia melakukan kebenaran, lantas mengapa harus menyembunyikannya dari rakyat. Kedua, ia melakukan kesalahan, maka dengan kedekatannya dengan rakyat membuat ia tidak akan melakukannya lagi.
Kebenaran memang tidak pernah memiliki ciri yang jelas. Karenya, hanya dengan kedekatan dengan rakyat hal tersebut akan dapat dibedakan.
Ajaran islam akan pendekatan rakyat telah diterjemahkan dalam biografi Sayyidina Umar, diriwayatkan bahwa beliau ---yang berkaliber presiden--
pada suatu malam, seperti biasanya berkeliling memantau keadaan
rakyatnya. Di tengah malam ia mendapati seorang perempuan yang anaknya
meraung-raung menangis dikeliling kuali yang direjang diatas api untuk
menipu sang anak.
Oleh Umar wanita itu
kemudian dibawakan sekarung gandum yang diangkatnya di atas panggulnya
sendiri, dan segera membawanya ke rumah sang ibu tersebut.
Kedekatannya pada
rakyatnya di wujudkan lagi dengan keinginannya untuk turun gunung ke
pelosok kekuasannya yang mencakup jazirah Arab. ”Kalau saya masih hidup, pasti saya akan mengunjungi seluruh rakyatku setahun penuh !”, ujarnya suatu ketika. Sayang ajal telah mendahulinya sebelum keinginannya yang mulia tercapai.
Di negara kita, reformasi
yang digembor-gemborkan, mulai dari runtuhnya rezim Soeharto, ternyata
belum mampu membawa Indonesia sampai pada klimaks tujuannya.
Politikus berwajah
reformis masih sama dengan politikus zaman Soeharto. Lebih ironisnya,
manuver politik dengan berdalih reformasi tanpa standar malah dijadikan
senjata ampuh untuk “perang cari muka” di hadapan publik demi mempertahankan reputasi.
Di mata Islam
kepemimpinan adalah amanat serta pengabdian tanpa pamrih, harus
direalisasikan sebagai bukti kongkrit potensi manusia sebagai khalifah
di muka bumi.
Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dalam suratnya ke gubernur Basrah, mengatakan, “Pemimpinmu
(Ali) hanya memiliki dua pakaian usang dari potongan kain-kain, kalau
saja aku mau, bisa saja aku minum madu, berpakaian sutra, menyimpan
gandum, namun naudzubillah min dzalik, mungkinkah aku lalui malamku
dengan perut kenyang, padahal di sekelilingku banyak rakyatku kelaparan
?, takutlah pada Allah putra Khunaif !, dan merasa cukuplah dengan
lembaran roti yang kau dapatkan”.
Bagi beliau, kepemimpinan
adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, tujuan
berpolitik adalah menegakkan idelogi Allah, bukan tempat menimbun harta.
Konsensus ulama’ (Ijma’) telah menetapkan bahwa pemimpin harus orang yang bermoral, karena ilmu pemimpin adalah cahaya bagi rakyatnya.
Seorang pemimpin harus
dapat mengendalikan rasa bangga, emosi, tangan dan lidah, sebesar apapun
jabatannya. Karenanya, politikus yang baik, dia adalah manusia yang
akan kembali pada Tuhannya.
Kemungkaran harus di
tangani secara serius, karena Allah tidak akan ridha pada suatu kaum
yang bergelimang dengan dosa, kegoncangan ekonomi dan kemarau
berkepanjangan hanya secuil dari siksa yang Allah turunkan pada bangsa
kita.
Ali RA pernah berkata “pemerintahan yang tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia”.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
AL FADHIL USTAZ MUHAMMAD NAJIB
Catatan
1 Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, QS Ali Imran [3]: 104. Lihat juga: Imam Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, QS Ali Imran [3]: 104; Imam Suyuthi, Tafsir Jalâlayn, dan kitab-kitab tafsir lainnya.
2 Imam Ali ash-Shabuni, Shafwat at-Tafâsiî, 1/221.
3 Lihat Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah. Bandingkan pula dengan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyyah, hlm. 13-14.
4 Imam ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, QS Ali Imran [3]: 104.
5.Kitab Assiyasah Ashar Iyyah .
Tiada ulasan:
Catat Ulasan