بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه
ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله
فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك
له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ
مُسْلِمُون} سورة: آل عمران – الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURII B A D A H
Cara dan Suri Teladan Nabi SAW
CARA SHOLAT RASULULLAH SAW
1.
Menghadap Kiblat
“Hadapkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu sekalian berada hadapkanlah muka
kamu sekalian ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah : 144 atau 150)
Yang
dimaksud dengan Masjidil Haram adalah Ka’bah, menurut pendapat yang shahih,
berdasarkan hadits Barraa, ia berkata : “Kami
shalat bersama Nabi saw. ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau
tujuh belas bulan, kemudian dialihkannya ke arah Ka’bah.” (HR. Muslim)
Dari
Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda kepada orang yang melaksanakan
shalatnya kurang baik : “Apabila kamu
akan berdiri melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah
ke kiblat.” (HR. Syaikhani dan lainnya)
Dari
Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Antara timur dan barat adalah kiblat.” (Hadits tersebut hasan
shahih)
Cara
menghadap kiblat waktu ibadah shalat termasuk juga ibadah shalat di kendaraan,
hanya setelah menghadap kiblat kita meneruskan ibadah shalat walaupun arah
kendaraan berubah-ubah. (Abu Dawud dan Ibnu Hibban, Sifat Shalat Nabi : 20)
atau dimulai menghadap ke mana arah kita dibawa oleh kendaraan. (HR. Bukhari II
: 37)
2.
Niat
Yaitu
menyengaja untuk ibadah shalat menghambakan diri kepada Allah swt. serta
menguatkannya dalam hati sekaligus. Tidaklah disebutkan dari Nabi saw. dan
tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafazhkan dengan cara
mengucapkan “ushalli fardhu … rak’ah lillaahi ta’aalaa” atau ucapan sejenisnya.
3. Berdiri
Berdiri
bagi orang yang mampu berdiri, berdasarkan firman Allah swt. :
“… berdirilah untuk
Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (QS. Al-Baqarah : 238)
Yang
dimaksud dengan berdiri di sini adalah berdiri pada waktu shalat dan
berdasarkan hadits ‘Imran bin Husain r.a., dia berkata : “Saya mempunyai penyakit bawasir, lalu saya bertanya kepada Nabi saw.,
beliau bersabda : ‘Shalatlah kamu dengan berdiri! Kalau tidak mampu, dengan
duduk. Kalau tidak mampu, dengan berbaring.’ (HR. Bukhari dan Nasa’i
menambahkan : ‘Kalau kamu tidak mampu, shalatlah dengan berbaring. Allah tidak
membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.’)”
4. Takbiratul ihram
Takbiratul
ihram merupakan batas awal dari ibadah shalat. Dari ‘Ali bin Abu Thalib r.a.,
sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat adalah bersuci dan tahrim
shalat adalah takbir, sedangkan tahlil shalat adalah taslim.” (HR. Syafi’i,
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim dan Tirmidzi)
Tirmidzi
telah meshahihkan hadits ini dan dia berkata : “Hadits ini adalah yang paling
shahih dan paling hasan yang dibahas pada pembahasan ini.”
Nabi
saw. bersabda : “Tahrimnya shalat adalah
takbir.” Jumhur ulama berargumentasi bahwa permulaan shalat adalah dengan
takbir, bukan dengan dzikir lainnya.
Menurut
Malik, Ahmad dan kebanyakan para salaf, cara mengucapkan takbiratul ihram mesti
dengan lafazh allahu akbar, karena al pada lafadz takbir adalah lil’ahdi
(karena sudah diketahui). Yang diketahuinya adalah takbir yang telah dinukil
oleh umat yang sekarang dari yang dahulu, dari Nabi saw., bahwa beliau
mengucapkan takbiratul ihram pada setiap shalat dan tidak mengucapkan yang
lain.
Dari
Rifa’ah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Allah
tidak akan menerima shalat seseorang, sehingga kesucian itu terletak pada
tempatnya, kemudian menghadap ke kiblat dan mengucapkan allaahu akbar.”
(Abu Dawud)
Cara
pengucapan kalimat takbir allaahu akbar dilakukan sambil mengangkat kedua
tangan (telapak tangan menghadap ke depan) hingga betulan dada/sejajar dengan
pundak.
Dari
Wa’il bin Hajar, bahwa ia melihat cara Nabi saw. mengangkat kedua tangannya
bersamaan dengan takbir (HR. Ahmad, Baihaqi dan Abu Dawud)
Pada
riwayat lain disebutkan caranya : “Beliau bertakbir, kemudian mengangkat
tangannya.” Pendapat tersebut berdasarkan hadits : Dari Abu Qilabah,
sesungguhnya dia melihat Malik bin Huwairits apabila dia shalat, dia bertakbir,
kemudian mengangkat kedua tangannya (Al-Hadits). Pada hadits tersebut dia
menceritakan bahwa Rasulullah saw. biasa melakukan demikian.
Telah
berkata Ibnu ‘Umar : “Jika Rasulullah
saw. beridiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga
berbetulan dengan kedua bahunya, lalu beliau bertakbir.” (HR. Muslim I :
66, Bukhari I : 180)
Setelah
mengangkat tangan, kemudian tangan itu disimpan di dada (antra susu dan pusar)
dengan tangan kanan di atas tangan kiri, pergelangan tangan kanan menutup
pergelangan tangan kiri atau dengan cara tangan kanan menggenggam hasta tangan
kiri.
Wa’il
berkata : “Saya melihat Nabi saw.
mengangkat kedua tangan saat shalat, kemudian takbir, lalu beliau meletakkan
tangan kanan di atas tangan kiri.” (HR. Muslim I : 171, Bukhari I : 180)
Dari
Wa’il bin Hajar, ia berkata : “Saya
shalat beserta Rasulullah saw., lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas
tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan dia telah
menshahihkannya)
Thawus
berkata : “Ternyata Rasulullah saw.
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan menguatkan keduanya di
atas dadanya pada waktu shalat.” (HR. Abu Dawud)
Dari
Qabishah bin Halb, dari bapaknya, ia berkata : “Saya melihat Nabi saw. berpaling ke kanan dan ke kirinya dan saya
melihat beliau meletakkan ini (kedua tangannya) di atas dadanya.” (HR.
Ahmad)
Dalam
riwayat lain disebutkan :
Dari
Abu Hurairah : “Keadaan Rasulullah saw mengangkat tangan (waktu takbir),
jari-jarinya tegak ke atas.” (HR. An-Nasa’i II : 124, At-Tirmidzi : 240)
“Keadaan (Rasulullah
saw.) mengangkat kedua tangan dengan menegakkan jari-jemari serta
menghadapkannya ke kiblat.” (Ibnu Al-Qayyim, Zaadul Ma’ad I : 202)
Cara
pandangan waktu ibadah shalat kita tujukan ke tempat sujud, tidak boleh
memutar-mutar pandangan.
Rasulullah
saw. bersabda : “Bila shalat, janganlah
kalian memutar-mutar pandangan, karena Allah menghadapkan pandangan-Nya pada
wajah hamba-Nya waktu shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan.” (HR.
At-Tirmidzi, Hakim, Sifat Shalat Nabi : 47)
Dalam
riwayat Abu Dawud diterangkan :
“Selama Allah
menghadap kepada hamba-Nya dalam shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan.
Apabila ia memutar pandangan, Allah akan berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud :
909)
Bahkan
dalam Hadits Al-Baihaqi disebutkan apabila Rasul shalatl, beliau menundukkan
kepada dan mengarahkan pandangan ke tempat sujud. (Sifat Shalat Nabi : 45)
Untuk memungkinkan kita khusyu’ dalam shalat, hilangkan sesuatu yang akan
mengganggu kekhusyu’an itu, seperti gambar-gambar atau yang lainnya.
Rasulullah
bersabda : “Tidak pantas di dalam rumah
terdapat sesuatu yang bisa mengganggu shalat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad,
Sifat Shalat nabi : 46)
Kalau
berjama’ah, usahakan dengan cara memakai pakaian yang tidak berwarna-warni dan
bergambar sehingga dapat mengganggu kekhusyu’an. Rasulullah pernah shalat
memakai wol dan bergambar dan terlihat sekilas olehnya. Setelah selesai shalat
beliau bersabda : “Berikanlah bajuku ini
kepada Abu Jahm dan untukku baju polosnya, karena bajuku tadi telah mengganggu
shalatku.” (HR. Bukhari I : 183, Muslim I : 224)
5. Membaca do’a iftitah
Membaca
do’a iftitah dalam shalat pada raka’at pertama diucapkan sebelum membaca
Al-Fatihah :
5.1.
Cara do’a iftitah pertama :
Allaahumma
baa’id bainii wa baina khathayaaya kamaa baa’atta bainal masyriqi wal maghrib,
allaahumma naqqinii min khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad
danas, allaahummaghsil khathayaaya bil maa’i wats-tsalji wal barad.
“Ya Tuhanku,
jauhkanlah antaraku dan antara dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara
timur dan barat. Ya Tuhanku, bersihkanlah dosa-dosaku bagaikan baju putih yang
dibersihkan dari kotoran. Ya Tuhanku, cucilah dosa-dosaku dengan air, salju dan
embun.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
5.2. Cara do’a iftitah kedua :
Wajjahtu
wajhiya lil ladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wa maa ana
minal musyrikin, inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi
rabbil’aalamiin, laa syarika lahu wa bi dzaalika umirtu wa ana awwalul
muslimin. Allahumma antal maliku laa ilaaha illaa anta, subhaanaka wa bi
hamdika anta rabbii wa ana ‘abduk, zhalamtu nafsii wa’ taraftu bi dzambii
faghfir lii dzambii jamii ‘an innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta,
wahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdii li ahsanihaa illaa anta, washrif ‘anni
sayyi ‘ahaa laa yashrifu’ ‘anni sayyi ‘ahaa illaa anta, labbaika wa sa’daik,
wal khairu kulluhu fii yadaik, wasy syarru laisa alaik, wal mahdii man hadait,
wa ana bika wa ilaik, laa manja’a wa laa malja’a minka illaa ilaik, tabaarakta
wa ta’aalait, astaghfiruka wa atuubu ilaik.
“Kuhadapkan wajahku
kepada Dzat yang membuat langit dan bumi dengan lurus dan menyerah dan aku bukanlah
tergolong orang-orang yang menyekutukan (Dia). Sesungguhnya shalatku, ibadahku,
hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Dzat yang mengatur semesta alam.
Tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah dan aku adalah termasuk
orang yang pertama menyerah (kepada-Nya). Ya Tuhanku, Engkau adalah raja tiada
tuhan melainkan Engkau, Mahasuci Engkau dan dengan Memuji-Mu, Engkau adalah
Tuhan yang mengatur aku. Aku adalah hambu-Mu, aku telah menzhalimi diriku dan
(kini) aku mengakui akan dosaku. Oleh karena itu, ampunilah dosaku seluruhnya karena sesungguhnya tidak ada yang bisa
mengampuni dosa-dosa selain Engkau dan bimbinglah aku kepada akhlaq yang
teramat baik karena tidak ada yang bisa membimbing ke arah yang teramat baik
selain Engkau dan palingkanlah adriku akhlaq yang jelek dariku selain Engkau.
Kusambut panggilan-Mu dan demi kebahagiaan (dari)-Mu kebaikan itu semuanya
berada di tangan-Mu dan kejelekan itu sama sekali bukan kembali kepada-Mu.
Orang yang bisa memimpin adalah orang yang memang telah Engkau pimpin. Aku
dengan-Mu dan kepada-Mu, tidak ada tempat keselamatan dan tempat kembali dari
(adzab)-Mu melainkan kepada-Mu. Mahasuci
Engkau dan Mahatinggi, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim, Abu
‘Awanah, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ahmad dan Syafi’i)
5.3. Cara do’a iftitah ketiga :
Subhaanakallaahumma
wa bi hamdika wa tabaarakasmuka wa ta’aalaa jadduka wa laa ilaaha ghairuk.
“Mahasuci Engkau, ya
Tuhanku, (aku) tetap memuji-Mu. Mahasuci nama-Mu dan Mahaagung keagungan-Mu, tiada
tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau.” (HR. Ibnu Majah dan Nasa’i)
5.4. Cara do’a iftitah keempat :
Dilain riwayat, bacaan di atas ada tambahan :
Laa
ilaaha illaallaah (3x) allaahu akbar (3x) (HR. Abu Dawud dan Thahawi)
5.5. Cara do’a iftitah kelima :
Allaahu
akbar kabiiraa, wal hamdu lillaahi katsiraa, wa subhaanallaahi bukrataw wa
ashiilaa.
“Mahabesar Allah
dengan sebesar-besarnya. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang
sebanyak-banyaknya. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan sore.”
Do’a
iftitah ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Maka tatkala Rasulullah saw.
Mendengarnya, beliau bersabda : “Sungguh
aku kagum kepada laki-laki ini. Baginya dibukakan pintu-pintu (barakah dari)
langit.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.6. Cara do’a iftitah keenam :
Wal
hamdu lillaahi hamdan katsiran thayiibam mubaarakan fiih.
“Segala puji bagi
Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan diberkati-Nya.”
Do’a
ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Ketika Rasulullah saw. Mendengar,
beliau bersabda : “Sungguh aku melihat
dua belas malaikat yang berlomba untuk mengangkatnya, siapa di antara mereka
itu yang dapat mengangkatnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.7. Cara do’a iftitah ketujuh :
Allahumma
rabba jabraa’iila wa miikaa’iila wa israafiila faathiras samaawaati wal ardhi,
‘aalimal ghaibi wasy syahaadah, anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu
fiihi yakhtalifuun, ihinii limkhtalafa fiihi minal haqqi bi idznik, innaka
tahdii man tasyaa’u ilaa shiraathim mustaqiim.
“Ya Tuhanku, Than
Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi yang menghukumi perkara
yang ghaib dan alam nyata, Engkau menghukumi antara hamba-hamba-Mu tentang
sesuatu yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah daku jalan yang benar dengan
idzin-Mu karena sesuatu yang diperselisihkan itu. Engkau menunjukkan siapa saja
yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.8. Cara do’a iftitah kedelapan :
Allaahu
akbar (10x), alhamdu lillaah (10x), subhaanallaah (10x), laa ilaaha illaallaah
(10x), astaghfirullaah 10x), allaahummaghfir lii wahdinii warzuqnii wa ‘aafinii
(10x), allaahumma innii a’uudzu bika minadh dhayyiiqi yaumal hisaab (10).
“Mahabesar Allah
(10x). Segala puji bagi Allah (10x). Mahasuci Allah (10x). Tiada tuhan yang
layak diibadahi melainkan Allah (10x). Aku mohon pengampunan kepada Allah
(10x). Ya Tuhanku, ampunilah aku dan pimpinlah aku dan berilah aku rizki dan
peliharalak aku (10x). Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan-Mu
dari kesempitan pada hari hisab nanti (10x).” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu
Dawud dan Thabrani)
5.9. Cara do’a iftitah kesembilan :
Allahu
akbar (3x), dzul malakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah.
“Mahabesar Allah
(3x), Dzat yang memiliki kerajaan ini, yang memiliki segala kekuasaan,
kebesaran dan keagungan.” (HR. Ath-Thayalisi dan Abu Dawud)
6. Membaca
ta’awwudz
Sebelum
membaca Al-Fatihah kita diperintahkan membaca ta’awwudz, sebagaimana firman
Allah :
“Apabila kamu membaca
Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl : 98)
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi saw., sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk
shalat, beliau membaca do’a iftitah, kemudian membaca : “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dari
permainan gangguannya, serta ludahnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Telah
berkata Ibnu Al-Mundzir, telah datang dari Nabi (keterangan) bahwa ia membaca “a’uudzu billaahi minsysyaithaanir rajiim”
sebelum Fatihah.
Telah
berkata Al-Aswad : “Saya melihat ‘Umar
ketika memulai (do’a) shalatnya ia membaca : ‘Mahasuci Engkau ya Allah, dengan
memuji-Mu, Mahaagung nama-Mu, luhur keagungan-Mu. Tiada tuhan selain Engkau,
kemudian membaca ta’awwudz’.” (HR. Ad-Daruquthni, Nailu Al-Authar II : 220)
Atau
:
“Aku mohon
perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang
dirajam.” (HR.
Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Cara
membaca ta’awudz (dibaca ta’udz) hanya disyari’atkan pada raka’at pertama
dengan menganggap bahwa bacaan pada shalat adalah bacaan yang satu dan
disunnahkan dengan pelan, menurut kebanyakan ahli ilmu. Dalam Kitab Ad-Dinul
Khalish disebutkan, para ulama telah sepakat bahwa tidak dilaksanakan
(ta’awudz) kecuali pada raka’at pertama berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa
: Nabi saw. Apabila bergerak (bangun) untuk raka’at kedua, beliau memulai
dengan bacaan (Al-Fatihah) dan beliau tidak diam. (HR. Muslim, Nasa’i dan Ibnu
Majah)
7. Membaca
Al-Fatihah
Al-Fatihah
sebagai rukun keutamaan dalam shalat, caranya dibaca setelah membaca ta’awudz
yang dimulai dengan membaca kalimat bismillaahir rahmaanir rahiim, sebagaimana
diterangkan : “Ketika kamu membaca
alhamdu, hendaklah kamu membaca bismillaahir rahmaanir rahiim.” (HR.
Ad-Daruquthni)
Anas
pernah berkata : “Saya pernah mendengar
Rasulullah saw. Membaca bismillaahir rahmaanir rahiim dengan nyaring.” (HR.
Hakim)
Telah
berkata Abu Hurairah : “Adalah Nabi saw.
Apabila menjadi imam, beliau memulai dengan bacaan bismillaahir rahmaanir
rahiim.” (HR. Daruquthni)
Dari
Ummi Salamah, sesungguhnya ia telah ditanya tentang bacaan Rasulullah saw.,
maka ia selalu menjawab : “Adalah Nabi
memutuskan bacaan seayat-seayat, bismillaahir rahmaanir rahiim (berhenti),
kemudian al-hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dari
Qatadah, ia berkata bahwa Anas telah ditanya tentang bagaimana bacaan Nabi
saw., kemudian ia menjawab : “Bacaannya
panjang; beliau membaca bismillaahir rahmaanir rahiim, dengan memanjangkan
lafadz rahmaan dan rahiim.” (HR. Bukhari)
Abu
Bakar Al-Hanafi berkata : Telah meriwayatkan kepada kami, ‘Abdul Hamid Ibnu
Ja’far. Telah menceritakan kepadaku Nuh Ibnu Bilal, dari Sa’id Ibnu Abu
Al-Maqbari, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin itu tujuh
ayat; salah satunya adalah bismillaahir rahmaanir rahiim. (Al-Fatihah) itu
merupakan as-sab’ul matsaani (tujuh ayat yang diulang-ulang), Al-Qur’an ‘azhim,
ummul Qur’an, dan Fatihatul Kitab (pembuka Al-Qur’an).” Diriwayatkan oleh
Imam Thabrani dalam Al-Ausath dengan sanad yang rijalnya tsiqat.
Dari
Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah
saw. Bersabda : ‘Jika kamu sekalian akan membaca alhamdulillaahi rabbil
‘alamiin (Al-Fatihah), bacalah bismillaahir rahmaanir rahiim, itu adalah ummul
Qur’an, ummul kitab dan as’sab’ul matsaani, sedangkan bismillaahir rahmaanir
rahiim adalah salah satunya.” (HR. Daruquthni)
Kewajiban
membaca Al-Fatihah ini berlaku bagi makmum dan imam (jika shalatnya tidak
nyaring), sedang pada shalat jahar, ma’mum diperintahkan untuk membaca dalam
hati dan memperhatikan bacaan imam. Rasulullah saw. Bersabda : “Adakah di antara kalian tadi yang membaca
bersamaan denganku?” Salah seorang menjawab : “Ya, saya ya Rasulullah.” Nabi
bersabda : “Sekarang aku katakan, aku tak perlu disaingi.” (HR. Daruquthni,
Abu Dawud : 826, Tirmidzi)
Hadits
dari Jabir r.a., ia berkata : “Barangsiapa
melakukan shalat satu raka’at, tetapi tidak membaca Al-Fatihah, maka dia tidak
shalat, kecuali dia menjadi ma’mum.” (HR. Imam Malik dan Imam Tirmidzi)
Imam Tirmidzi menshahihkannya.
Membaca
Al-Fatihah dalam shalat hukumnya wajib. Rasulullah bersabda :
“Tidak ada shalat
(yang sah) bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah (Fatihah al-kitab).” (HR. Bukhari dan
Muslim, dari Ubadah bin Shamit)
“Barangsiapa yang
shalat tidak membaca ummul Qur’an (Al-Fatihah), maka shalatnya tidak sempurna.” (HR. Ahmad, Bukhari,
Muslim : I : 168)
Adapun
cara membaca Al-Fatihah adalah sebagai berikut :
Ayat
1. Bismillaahir rahmaanir rahiim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang).
Ayat
2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam).
Ayat
3. Ar-rahmaanir rahiim (Maha Permurah lagi Maha Penyayang).
Ayat
4. Maaliki yaumid diin (Yang menguasai hari pembalasan )
Ayat
5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin
(Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan).
Ayat
6. Ihdinas shiraathal mustaqiim
(Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Ayat 7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil
maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin (Yaitu jalan orang yang telah Engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan
pula jalan mereka yang sesat).
Setelah membaca “wa ladh dhaalliin”, maka disambung
dengan cara pengucapan “aamiin”, baik berjamaah maupun munfarid.
Rasul bersabda : “Bacalah
aamiin, maka kamu akan dicintai Allah.” (HR. Abu Dawud : 972)
Pada suatu riwayat
(disebutkan) : “Jika imam selesai
membaca ghairil maghdhuubi ‘alaihim, wa ladh dhaalliin, ucapkanlah amin,
sesungguhnya malaikat mengucapkan aamiin dan imam pun mengucapkan aamiin.
Barangsiapa yang pengucapan aamiinnya bersamaan dengan pengucapan aamiin
malaikat, pasti diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Imam Ahmad dan Imam
Nasa’i)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Apabila Rasulullah saw. telah mengucapkan ghairil maghdhuubi ‘alaihim
wa ladh dhaalliin, beliau mengucapkan aamiin, sehingga terdengar oleh ma’mum
yang ada pada shaf pertama.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Ibnu Majah
berkata : “… sehingga ucapan aamiin
Rasulullah saw. itu terdengar oleh ma’mum pada shaf pertama, sehingga dengan
suara itu (aamiin) masjid menjadi gemuruh.“ Juga diriwayatkan oleh
Daruquthni : “Isnad hadits ini hasan.”
Al-Hakim juga mengatakan : “Hadits ini
shahih mengikuti syarat (shahihnya) kitab.” Baihaqi mengatakan : “Hadits
ini hasan shahih.” Pada Hadits Tirmidzi terdapat syad.
“Sesungguhnya Nabi
saw. apabila membaca ‘Wa ladh dhaalliin’, beliau mengucapkan : ‘aamiin’ dan
beliau menyaringkan suaranya.” (HR. Tirmidzi : 248)
Aamiin artinya semoga Allah mengabulkan.
Setelah membaca Al-Fatihah, diteruskan dengan membaca
ayat-ayat Al-Qur’an pada rakaat pertama dan kedua jika munfaridh (sendiri) atau
imamnya membaca dengan sir (pelan).
Dari Abu Qatadah r.a., ia berkata bahwa Nabi saw.
(pernah) membaca – ketika shalat Zhuhur dan ‘Ashar pada dua raka’at – Fatihah
al-kitab (Al-Fatihah) dan kadang-kadang beliau memperdengarkan bacaannya
(dengan keras) kepada kami, juga membaca – pada dua raka’at terakhir – Fatihah
al-kitab. (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud)
Adapun surat yang dibaca setelah Al-Fatihah diserahkan
kepada yang mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya.
Caranya, Jika mengimami, ia harus melihat situasi dan kondisi ma’mum, mungkin
ada yang sakit, ada yang berhajat, orang tua, sehingga tidak memanjangkan
bacaannya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Jika kamu mendirikan shalat, sempurnakanlah
wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbir, kemudian membaca
ayat-ayat yang mudah dari Al-Qur’an”) (HR. Bukhari I : 192)
Telah berkata Abu Sa’id : “Kami diperintah (oleh Rasulullah) supaya membaca Al-Fatihah dan
apa-apa (ayat atau surah) yang mudah.” (HR. Abu Dawud)
Selanjutnya, setiap perpindahan dari satu rukun ke rukun
yang lainnya, disunnahkan dengan cara membaca takbir (allaahu akbar). Cara
takbir seperti ini disebut intiqal. Adapun cara pengangkatan tangan berlaku
untuk :
7.1. Memulai shalat
(takbiratul ihram);
7.2. Takbir untuk
ruku’;
7.3. Mengangkat
kepala (bangkit dari ruku’) dan
7.4. Bangkit setelah
raka’at kedua (tahiyyatul awal).
Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Aku melihat Rasulullah saw. Jika beliau memulai shalat beliau
mengangkat kedua tangannya sampai setentang (mendekati) kedua bahunya. Demikian
pula jika beliau hendak ruku’ dan setelah mengangkat kepalanya dari ruku’. Akan
tetapi beliau tidak melakukan itu ketika antara dua sujud.” (HR. Imam
Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai’i, Ibnu Majah, Daruquthni
dan Imam Baihaqi)
Imam Baihaqi menambahkan : “Begitulah cara shalat Rasulullah saw., sampai beliau menemui Allah
swt.”
Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Nabi saw. Apabila berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua
tangannya sampai setentang (sejajar atau mendekati) kedua bahunya, kemudian
beliau bertakbir (untuk ruku’) dengan kedua tangannya seperti posisi tersebut,
lalu ruku’, kemudian ketika beliau akan mengangkat punggungnya dari ruku’,
beliau pun mengangkat kedua tangannya sampai setentang dengan kedua bahunya,
kemudian beliau mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’ (semoga Allah swt. Mendengarkan
orang yang memuji-Nya). Akan tetapi, beliau tidak mengangkat kedua tangannya
ketika hendak sujud dan selalu mengangkat keduanya setiap bertakbir sebelum
ruku’, sampai selesai shalatnya.” (HR. Abu Dawud)
Juga dalam lafazh Daruquthni : “Beliau mengangkat kedua tangannya, sehingga ketika mendekati kedua
bahunya, beliau bertakbir (mengucapkan allaahu akbar). Jika hendak ruku’ beliau
mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, lalu beliau ruku’.
Demikian pulah jika hendak mengangkat punggungnya, beliau mengangkat kedua
tangannya sampai kedua bahunya, lalu beliau mengucapkan ‘sami’allaahu li man
hamidah’, lalu beliau sujud, tetapi tidak mengangkat kedua tangannya setiap
takbir sebelum sujud sampai selesai shalatnya.”
8. Ruku’
Cara ruku’ sebagai berikut :
8.1. Menaruh tapak
tangan di atas lutut sambil menggenggamnya;
8.2. Merenggangkan
jemarinya;
8.3. Punggung rata
(tidak terlalu bungkuk).
Rasululullah saw. Bersabda :
“Apabila ruku’,
letakkanlah tapak tanganmu di atas lutut, lalu renggangkan jemari dan diamlah,
sehingga anggota tubuh terletah pada posisinya.” (Ibnu Hibban)
“Apabila ruku’,
letakkanlah tapak tangan di atas lutut, luruskan punggung dan kokohkan ruku’.” (HR. Ibnu Majah :
169, Abu Dawud : 731)
Diriwayatkan dari Siti ‘Aisyah r.a., dalam hadits yang
panjang : “Rasulullah saw. Jika ruku’,
tidak mengangkat kepalanya dan tidak menundukkannya sampai ke bawah, tetapi
pertengahan antara itu (lurus antara kepala dengan punggung).” HR. Imam
Muslim)
Dari Salim Al-Barrad, ia berkata : “Kami beserta ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari mendatangi Abu Mas’ud, lalu
kami mengatakan kepadanya : ‘Ceritakanlah kepada kami mengenai shalat
Rasulullah saw!’ Lalu dia berdiri di hadapan kami – di dalam masjid – lalu ia
bertakbir dan ketika ruku’, ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya
dan jari-jarinya di bawah lutut. Ia merenggangkan kedua sikunya sehingga setiap
anggota tubuhnya menjadi tegak, (lalu berdiri atau bangkit dari ruku’) sambil
mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’.” (HR. Imam Nasa’i dan Abu Dawud)
Dari Anas r.a., sesungguhnya Nabi saw. Bersabda kepadanya
: “Hai anakku, jika kamu melakukan ruku’,
letakkanlah kedua telapak tanganmu pada kedua lututmu, renggangkan antara jari
tanganmu dan jauhkanlah kedua (siku) tanganmu dari kedua sisi pinggangmu.”
(HR. Imam Thabrani rahimahullah ta’ala)
9. Cara bacaan dalam ruku’
Setelah thuma’ninah ruku’, kita membaca :
9.1. Subhaana rabbiyal ‘azhiim (3x). “Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung.” (HR.
Tirmidzi)
9.2. Subbuuhun qudduusur rabbul malaa’ikati war
ruuh. “Mahasuci, Mahabersih, (ya) Tuhan malaikat dan ruh.” (HR. Muslim dan Abu
‘Awanah)
9.3. Subhaanakallahumma wa bi hamdika
allaahummaghfirlii. “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, ya
Tuhanku, ampunilah aku.” Do’a ini diucapkan oleh Rasulullah sebagai tafsir ayat
Al-Qur’an yang berbunyi :
“Mahasucikanlah dengan memuji Tuhanmu dan
minta ampunlah kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia amat menerima taubat.”
(QS. An-Nahsr : 3) (HR. Bukhari dan Muslim)
9.4. Allaahumma laka raka’tu wa bika aamantu wa laka
aslamtu anta rabbii, khasya’a laka sam’ii wa basharii wa mukhii wa ‘azhamii. “Ya Tuhanku, kepada-Mulah aku ruku’,
kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku menyerah. Engkau adalah Tuhanku.
Kepada-Mu pendengaran dan penglihatanku tunduk, begitu juga otak dan
tulang-tulangku.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
9.5. Allaahumma laka raka’tu wa bika aamantu wa laka
aslamtu wa ‘alaika tawakkaltu anta rabbii khasya’a sam’ii wa basharii wa damii
wa lahmii wa ‘azhamii wa ‘ashabii lillaahi rabbil ‘aalamiin. “Ya Tuhanku, kepada-Mulah aku ruku’,
kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku menyerah dan kepada-Mu aku tawakal. Engkau
adalah Tuhanku. Pendengaranku, penglihatanku, darahku, dagingku, tulangku dan
urat syarafku tunduk kepada Allah Dzat yang mengatur semesta alam.” (HR.
Nasa’i)
9.6. Subhaana dzil jabaruuti wal malakuuti wal
kibriyaa’i wal ‘azhamah. “Mahasuci Dzat
yang mempunyai seluruh kekuasaan, seluruh kerajaan, kebesaran dan keagungan.” (HR.
Abu Dawud dan Nasa’i)
10. Cara
Bangkit dari Ruku
Bangkit dari ruku membaca “sami’allaahu li man hamidah,
rabbanaa lakal hamdu” sambil :
10.1. Mengangkat tangan (sama dengan
takbiratul ihram)
10.2. Meluruskan tulang belakang sehingga
tulang-tulang itu kembali ke sendinya.
10.3. Tangan tidak disedekapkan (dirumbaikan)
“….
maka ketika kamu telah mengangkat kepalamu, luruskanlah tulang belakangmu,
sehingga kembali tulang-tulang itu ke sendi-sendinya.” (HR. Bukhari I : 19,
Fiqhus Sunnah I : 117)
Keterangan lain :
“…
kemudian ia bertakbir ketika ruku’, kemudian ia ucapkan ‘sami’allaahu li man
hamidah’ (mudah-mudahan Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya). Ketika
mengangkat kepala dari ruku’, ia mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamdu’ setelah
berdiri (Wahai Tuhan kami dan bagi-Mulah sekalian pujian).” (HR. Bukhari I :
179, Muslim I : 198)
Atau setelah membaca ‘sami’allaahu li man hamidah’
membaca :
Allahumma rabbanaa lakaal hamdu mil’as samaawaati wal
ardhi wa mil’a maa syi’ta min syai’im ba’du. “Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian, sepenuh langit dan bumi
dan sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki selain dari itu.” (HR. Muslim I :
190-197, Ibnu Majah : 878)
Pada Hadits Abu Hurairah r.a. disebutkan bahwa Nabi saw. Bersabda : “Jika imam mengucapkan ‘sami’allaahu li man
hamidah’, ucapkanlah oleh kalian ‘allaahumma rabbanaa lakal hamdu’, sebab
barang siapa yang bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, dia akan diampuni
dosanya yang telah lalu.” (HR. Malik, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan
Nasa’i)
Imam Ahmad-pun meriwayatkan dengan kata-kata : “Apabila imam mengucapkan ‘sami’allaahu
liman hamidah’, orang yang di belakangnya hendaklah mengucapkan ‘allaahumma
rabbana lakal hamdu’, maka ucapan itu (pasti) akan bersamaan dengan ucapan ahli
langit (malaikat), yakni ‘allaahumma rabbanaa lakal hamdu’, maka diampunilah
dosanya yang telah lalu.”
Dalil-dalil di atas diperkuat dengan :
Hadits Abu Musa Al-Asyar’i r.a., menyebutkan bahwa Nabi
saw. Bersabda : “Jika imam mengucapkan
‘sami’allaahu liman hamidah’, lalu ma’mum mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal
hamdu’, Allah swt. Akan mendengarkan kalian.” (HR. Imam Muslim, Nasa’i dan
Ibnu Majah)
Adapun do’a i’tidal ini cukup banyak, diantaranya :
10.1. Rabbanaa lakal hamdu.
“Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji.” (HR.
Bukhari)
10.2. Rabbanaa wa lakal hamdu (HR. Ahmad)
10.3. Allaahumma rabbanaa lakal hamdu mil’as
samaawaati wa mil’al ardhi wa mil’a maa syi’ta min sayi’im ba’du. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji
sepenuh (isi) langit dan sepenuh (isi) bumi dan sepenuh (isi) apa saja yang
Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu.”
10.4. Allaahumma lakal hamdu mil ‘as
samaawaati wa mil ‘al ardhi wa mil ‘a maa syi’ta min sya’im ba’du,
allaahummathahhirnii bits tsalji wal baradi wal maa’il baaridi, allaahumma
thahhirnii minadz dzunuubi wal khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu
minal wasakhi – dalam satu riwayat- minad danasi. “Ya Tuhanku, bagi-Mulah
segala puji sepenuh (isi) langit dan sepenuh (isi) bumi dan sepenuh (isi) apa
saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu. Ya Tuhanku, sucikanlah
daku dengan es, embun dan air yang dingin. Ya Tuhanku, sucikanlah daku dari
dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari
kotoran.” (HR. Muslim)
10.5. Rabbanaa lakal hamdu mil ‘as samaawaati
wa ardhi wa mil ‘a maa syi’ta min say’im ba’du, ahlats tsanaai wal majdi ahaqqu
maa qaalal ‘abdu wa kullunaa laka ‘abdun, allaahumma laa maani ‘a lima a’thaita
wa laa mu’thiya limaa mana’ ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji
sepenuh (isi) langit dan bumi dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki selain
langit dan bumi itu, (wahai) Dzat yang berhak mendapatkan pujian dan keagungan,
suatu pujian yang paling banyak diucapkan oleh seorang hamba dan kami semua ini
adalah hamba-Mu. Ya Tuhanku, tiada seorang pun yang bisa menghentikan sesuatu
yang berikan dan tiada seorang pun yang bisa memberikan sesuatu yang Engkau
hentikan dan kekayaan tidak bisa menolong orang yang mempunyai kekayaan itu
dari adzab-Mu.” (HR. Muslim)
10.6. Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan
katsiiran thayyibam mubaarakan fiihi ka maa yuhibbu rabbanaa wa yardlaa. “Ya
Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji, degan pujian yang banyak lagi baik dan
diberkahi sebagaimana yang disukai oleh Tuhan kami dan diridhai-Nya.” (HR.
Mailk, Bukhari dan Abu Dawud)
11. Cara
bersedekap dalam I’tidal
11.1. Alasan orang
yang berpendapat sedekap dalam i’tidal.
a. Dari Sahl bin
Sa’ad, ia berkata : “Adalah manusia
diperintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas tangan/lengan yang kiri pada
waktu shalat.” (HR. Bukhari I : 180)
b. Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Saya mendengar Nabi saw. Bersabda : ‘Kami
golongan para nabi telah diperintahkan untuk menyegarkan berbuka puasa dan
mengakhirkan sahur dan kami diperintahkan meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri pada waktu shalat.” (Majma’u Az-Zawaid II : 105)
c. Dari Ghadaif bin Harits, ia berkata : “Kami tidak lupa dari beberapa perkara yang
(biasa) kami lupakan. Sesungguhnya kami melihat Rasulullah saw. Meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat.” (HR. Ahmad)
d. Dari Qabishah bin Hulb, dari ayahnya r.a. ia
berkata : “Kami melihat Nabi saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan
kirinya dalam shalat.” (HR. Ahmad)
e. Dari Wa’il bin Hujr, dari ayahnya r.a., ia
berkata : “Saya shalat bersama Rasulullah saw., kemudian beliau meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
11.2. Alasan
orang yang berpendapat melepas kedua tangan pada waktu i’tidal.
a. Hadits-hadits tersebut di atas merupakan dalil
yang qath’i untuk sedekap kedua tangan di dada pada waktu i’tidal.
b. Bisa saja dengan
kata-kata shalat itu disebut “kulli” (secara keseluruhan), padahal yang
dimaksud “al-juz’u/sebagian”, sebagaimana contoh berikut :
- Dari Fudhalah bin
‘Ubaid r.a., ia berkata : Rasulullah saw. Mendengar seorang laki-laki berdo’a
dalam shalatnya, tetapi tidak memuji Allah dan tidak membaca shalawat Nabi.
Disini disebut “fii shalatihi”
(secara keseluruhan). Padahal yang dimaksud bagian dari shalat, yaitu
tasyahhud.
- Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sesungguhnya
ia kepada Rasulullah saw. : “Ajarkanlah kepadaku do’a yang saya baca pada waktu
shalat.” Nabi menjawab “Katakanlah : ‘Ya
Allah, sesungguhnya aku zhalim terhadap diriku…’.” Di sini juga disebut lafazh
shalat, padahal yang dimaksud bagian shalat, yaitu dalam tasyahhud. Dalam hal
ini tak seorang pun berpendapat boleh mambaca do’a tersbut dalam setiap gerakan
shalat, dengan berpegang pada umumnya hadits tersebut.
c. Kalau kita berpegang pada umumnya lafazh
hadits, seyogyanya kita meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika
turun untuk sujud, ketika mengangkat kepala/bangkit dari sujud, dan ketika
duduk di antara dua sujud. Padalah telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia
berkata : “Saya melihat Rasulullah saw.
Jika berdiri shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan
kedua bahunya. Beliau melakukan hal itu ketika takbir untuk ruku’ dan ketika
mengangkat kepala dari ruku’ seraya membaca ‘sami’allaahu liman hamidah’ dan
beliau tidak melakukan hal seperti itu (mengangkat tangan) ketika ia turun
untuk sujud.”
Maksud lafazh hadits “wa laa yaf’alu dzaalika fii sujuudi” ialah ia tidak
melakukannya/mengangkat tangan ketika turun untuk sujud dan tidak ketika bangkit
dari sujud. Dalam hal mana ia mengatakan : “Ketika
ia turun sujud dan tidak ketika ia bangkit dari sujud.” (Fathu Al-Bari III
: 220)
Adapun riwayat Thabrani dari Ibnu ‘Umar
bahwa Nabi saw. Mengangkat kedua tangannya ketika takbir untuk ruku’ dan ketika
takbir untuk sujud, maka hadits tersebut syadz, menyalahi hadits yang lebih
shahih, yaitu hadits riwayat Bukhari dalam kitab Shahihnya. Apabila kita
pahamkan bahwa yang dimaksud ucapan “hiina
yasjudu” ialah ketika sujud, hal ini tidak rasional, karena bagaimana
mungkin seseorang dapat mengangkat kedua tangannya pada waktu sujud.
d. Hadits 11.1 huruf c sampai e tersebut diatas,
itu merupakan hadits fi’li (perbuatan), bukan hadits qauli (ucapan), sedangkan
fi’li tidak menunjukkan hal yang umum. Dalam qaidah Ushul Fiqh disebutkan : “Perbuatan yang konkret jika mempunyai
beberapa aspek, tidak berarti umum untuk semua bagian-bagiannya.” Contoh
lafazh : “Ana ashuumu al-yauma (Saya
sedang saum hari ini).” Lafazh tersebut tidak mencakup semua macam shaum
yaitu puasa wajib, sunnah, puasa nadzar dan puasa lainnya, tetapi menunjukkan
khusus di antara macam-macam shaum. Beda dengan kata-kata : “Makan itu membatalkan shaum.” Ungkapan
ini mencakup segala macam shaum. Demikian juga lafazah hadits : “Saya melihat Rasulullah saw. Meletakkan
tangan kanannya di atas tangan kirinya pada waktu shalat.” Hadits ini tidak
mencakup semua gerakkan shalat, melainkan hanya menunjukkan satu gerakkan
tertentu saja.
e. Para ulama menyandarkan dalil hadits Wa’il,
yaitu : “Saya shalat bersama Nabi saw., kemudian beliau meletakkan tangan
kanannya di atas tangan kirinya di dadanya.” Sebagai Dalil disyari’atkannya
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri dalam shalat dan
mereka tidak menyinggung disyari’atkannya meletakkan tangan tersebut setelah
ruku’.
Dukungan atas pendapat itu hadits berikut :
- Dari Jabir bin ‘Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. Lewat kepada seorang
laki-laki yang sedang shalat, sedangkan (laki-laki) itu meletakkan tangan
kirinya di atas tangan kanannya, maka Rasulullah saw. Membukanya dan tangan
kanannya diletakkan di atas tangan kirinya.” (HR. Ahmad)
- Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Nabi saw. Melihatku ketika itu aku sedang
meletakkan tangan kiriku di atas tangan kananku waktu shalat, maka Nabi
memegang tangan kananku serta meletakkannya di atas tangan kiriku.” (HR.
Nasa’i II : 97)
f. Tidak meletakkan kedua tangan di dada/sedekap
pada waktu i’tidal, termasuk yang telah disepakati umat dan telah merata dalam
pengamalan. Adapun meletakkan kedua tangan di atas dada pada waktu i’tidal,
tidak seorang pun sahabat yang membicarakannya dan tidak juga para ulama dulu.
Andai hal itu disyari’atkan, tentu akan banyak riwayat tentang itu secara
mutawatir, juga akan mutawatir dalam pengamalannya. (Mutawatir’amali)
g. Andaikan irsal (lepas tangan) itu menyalahi
sunnah, tentu sahabat akan mengingkarinya, demikian juga para ahli hadits dan
fiqh sejak dulu.
h. Telah berkata : Mumhammad Nashiruddin Al-Bani :
“Adalah Nabi memerintahkan thuma’ninah
pada waktu i’tidal. Nabi berkata kepada orang yang shalatnya salah : ‘Angkatlah
kepalamu sehingga engkau tegak berdiri, kemudian setiap tulang kembali ke
tempatnya’.” Dalam riwayat lain : “Dan
jika engkau mengangkat kepala, tegakkan tulang rusukmu dan angkatlah kepalamu
sehingga tulang kembali ke tempat persendiannya.”
Sesungguhnya maksud dari hadits ini
terang dan jelas, yaitu menunjukkan cara thuma’ninah sewaktu berdiri. Adapun
istidhal atau pendapat saudara-saudara kita dari Hijaz dan yang lainnya
bahwasanya hadits ini menunjukkan cara atau disyari’atkannya meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri (bersedekap) pada waktu berdiri (bangkit dari ruku’),
maka jauh sekali dari kumpulan riwayat hadits, bahkan ia adalah istidhal yang
bathil karena cara meletakkan tangan tersebut (hatta tarji’al ‘izhamu ilaa
mafashilihaa/sehingga tulang-tulang kembali ke tempat persendiannya) tidak
diterangkan dalam berdiri di raka’at pertama dalam satu pun hadits dari sekian
banyak riwayat hadits dan lafazhnya.
Maka bagaimana mungkin menafsirkan
cara tersebut (sehingga tulang-tulang kembali ke tempat persendiannya) dengan
cara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada sebelum ruku’ ini
andaikan didukung oleh sejumlah hadits dalam tempat ini, tetapi bagaimana
mungkin sedangkan kandungan hadits itu sendiri dengan menunjukkan berbeda
dengan cara berdiri sebelum ruku’ dalam hal meletakkan tangannya.
Meletakkan tangan di atas dada dalam
berdiri i’tidal adalah bid’ah dhalalah sedikitpun tidak diriwayatkan dalam
hadits-hadits yang menerangkan tentang shalat. Kalaulah hal itu terdapat dasar
hukumnya, tentu akan sampai riwayatnya
kepada kita sekalipun hanya satu riwayatnya. Disamping itu pula, tak seorangpun
imam hadits menerangkannya. (Shifat An-Nabi : 120)
12.
Kedudukan dan Cara Membaca saat Sujud
Sujud itu dilakukan dua kali pada
setiap raka’at dan hukumnya fardhu berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta
ijma ulama. Allah berfirman : “Wahai
orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah…” (QS. Al-Hajj : 77)
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi
saw. Bersabda kepada orang yang tidak melaksanakan shalat dengan baik : “Kemudian sujudlah sampai thuma’ninah
(tenang) dalam sujud itu, lalu bangkitlah sehingga thuma’ninah dalam duduk,
lalu sujudlah sampai thuma’ninah dalam sujud itu.” (HR. Bukhari, Muslim,
Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Cara melakukan sujud dilakukan setelah
bangkit dari ruku’ dan setelah membaca ‘rabbana wa lakal hamdu, mendahului
lutut, kemudian kedua tapak tangan.
“Saya
melihat Nabi saw. apabila sujud, beliau letakkan dua lututnya sebelum dua
tangannya.”
(HR. Empat, Fiqhus Sunnah I : 139, Ibnu Majah : 882, At-Tirmidzi : 167)
Waktu sujud hidung kita menyentuh
lantai, juga dahi sebagaimana diterangkan :
“… Kami
diperintah sujud dengan tujuh tulang, yaitu dahi, dan ia isyaratkan juga pada
hidung, dua tangannya, dua lutut dan ujung-ujung tapak kakinya.” (HR. Bukhari I :
197, Muslim I : 203)
Pada Hadits ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib
r.a., disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda : “Jika seorang hamba bersujud, bersujudlah bersamanya tujuh anggota
tubuhnya, yakni mukanya, kedua tapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua tapak
kakinya.” (HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah)
Dalam keterangan lain disebutkan :
“Janganlah
kamu menghamparkan hasta seperti anjing menghampar.” (HR. Ibnu Majah :
891, Tirmidzi : 274, Muslim I : 204)
Dari Barra’ bin ‘Ajib, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda ‘Dan apabila kamu
sujud, maka letakkan dua tapak tanganmu dan angkatlah dua sikumu’.” (HR. Muslim
I : 204)
Dari Wa’il bin Hujr, bahwa keadaan
Nabi saw. bila ruku’, beliau renggangkan jari-jarinya danapabila sujud, beliau
kepit jari-jarinya. (HR. Hakim, Fiqhus Sunnah I : 136, Bukhari I : 197)
Juga jari tidak dikepalkan : “Faidzaa sajada wadha’a yadaihi ghairi
muftarisyin wa laa qaabidhihimaa.” (HR. Bukhari I : 200)
Nabi saw. sujud, ia simpan dua tapak
tangannya dengan tidak direnggangkan (jari-jarinya) serta tidak dikepalkan.
Sabdanya pula : “Janganlah membentangkan
hasta, bertumpulah dengan tapak tangan dan renggangkanlah kedua tanganmu.”
(HR. Ibnu Khuzaimah, Sifat Shalat Nabi : 148)
“….
Ketika sujud diletakkannya dua tapak tangannya, lengannya (hasta) tidak
diletakkan ke tempat sujud dan tidak dikepitkan ke rusuknya dan ujung jari
kakinya dihadapkan ke arah kiblat.” (Bukhari I : 201)
Pada saat sujud, selain tangan kita
rapatkan, demikian pula tumit kita pun diletakkan sebagaimana diriwayatkan.
Cara
membaca do’a-do’a sujud sangat banyak, antara lain :
12.1. Subhaana rabbiyal a’laa (3x)
“Mahasuci
Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni,
Thahawi, Al-Bazzar dan Thabrani)
12.2. Subbuuhun qudduusur rabbul malaaikati war
ruuh.
“Mahasuci
dan Mahabersih Tuhan malaikat dan ruh.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
12.3. Subhaanakallaahumma wa bi hamdika allaahummagh
fir lii.
“Mahasuci
Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, ya Tuhanku, ampunilah daku.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
12.4. Allaahumma laka sajattu wa bika aamantu wa
laka aslamtu wa anta rabbii, sajada wajhii lil ladzii khalaqahu wa shawwarahu
fa ahsana shuwarahu, wa syaqqa sam’ahu wa basharahu fa tabaarakallahu ahsanul
khaaliqiin.
“Ya
Tuhanku, kepada-Mu aku sujud dan kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku
menyerah. Engkau adalah Tuhanku. Mukaku sujud kepada Dzat yang menciptakannya
dan membentuknya, maka ia baguskan bentuknya dan ia telah membukakan
pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah sebaik-baik Dzat yang mencipta.”
(HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Thahawi dan Daruquthni)
12.5. Allaahummagh fir lii dzambii kullahu wa
diqqahu wa jillahu wa awwalahu wa aakhirahu wa ‘alaaniyatahu wa sirrahu.
“Ya
Tuhanku, ampunilah dosaku seluruhnya yang kecil maupun yang besar, yang pertama
maupun yang paling akhir, yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.”
(HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
12.6. Sajada laka sawaadii wa khayaalii wa aamana
bika fu’ aadii, abuu’u bi ni’matika ‘alayya, haadzihi yadii wa maa jiilat’alaa
nafsii.
“Kepada-Mu
hati kecilku dan khayalku sujud, kepada-Mu hatiku beriman, aku kembali dengan
nikmat-Mu yang (Engkau berikan) kepadaku. Ini adalah tanganku bersama apa yang
tergerak dalam diriku.” (HR. Ibnu Nashr, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
12.7. Subhaana dzii jabaruuti wal malakuuti wal
kibriyaa’i wal ‘azhamah.
“Mahasuci
Dzat yang mempunyai segala kekuasaan, segala kerajaan, kebesaran dan
keagungan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
12.8. Subhaanakallaahumma wa bi hamdika laa ilaaha
illaa anta.
“Mahasuci
Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, tiada tuhan yang layak diibadahi
melainkan Engkau.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Nasa’i dan Ibnu Nashr)
12.9. Allaahummaghfir lii maa asrartu wa maa
a’lantu.
“Ya
Tuhanku, ampunilah (dosa)ku yang kurahasiakan dan yang kulakukan dengan
terang-terangan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i dan Hakim)
12.10. Allaahummaj’al fii qalbii nuuran wa fii
lisaanii nuuran waj’al fii sam’ii nuuran waj’al fii basharii nuuran waj’al min
tahti nuuran waj’al min fauqi nuuran wa’an yamiinii nuuran wa’an yaasarii
nuuran waj’al amaamii nuuran waj’al khalfii nuuran waj’al fii nafsii nuuran wa
‘azhzhim lii nuuran.
“Ya
Tuhanku, jadikanlah cahaya dalam kalbuku, cahaya dalam lisanku, jadikanlah
cahaya dalam pendengaranku, jadikanlah cahaya dalam penglihatanku, jadikanlah
cahaya di bawahku, jadikanlah cahaya di atasku, cahaya di kananku, cahaya di
kiriku dan jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya di belakangku dan
jadikanlah cahaya dalam diriku dan besarkanlah cahaya bagiku.” (HR. Muslim,
Abu ‘Awanah dan Ibnu Syaibah)
12.11. Allaahumma innii a’uudzu bi ridhaaka min
sakhatika wa a’uudzu bi mu’ aafaatika min ‘uquubatik, wa a’uudzu bika minka,
laa uhshii tsanaa’an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu dan
aku berlindung diri dengan kema’afan-Mu dari siksa-Mu aku berlindung diri dengan
nama-Mu dan siksa-Mu. Aku tidak dapat membilang pujian atas-Mu, sebagaimana
Engkau telah memuji atas diri-Mu.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)
13. Duduk di antara
Dua Sujud
Setelah sujud pertama, kemudian mengangkat
kepala untuk duduk di antara dua sujud sambil bertakbir.
Rasulullah bersabda : “Tidak sempurna shalat seseorang sehingga ia sujud sampai tenang semua
persendiannya sambil mengucapkan ‘allaahu akbar’, kemudian mengangkat kepalanya
sampai duduk dengan tepat.” (HR. Abu Dawud : 875)
Dalam keterangan lain :
“…
kemudian ia sujud dan diantara dua sujud.” (HR. Muslim I : 197)
Duduk iftirasy dicontohkan sebagai berikut
:
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dari sunnah shalat menegakkan tapak kaki
yang kanan dan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat dan duduk di atas kaki
kirinya.” (HR. An-Nasa’i II : 235)
Bagi yang duduk di antara dua sujud
meletakkan tangan yang kanan di atas paha yang kanan dan tangan yang kiri di
atas paha kiri, ujung jari kedua tangan di atas ujung lutut dan menghadap
kiblat sambil membaca do’a sujud, antara lain sebagai berikut :
13.1. Allaahumaghfir lii warhamnii wajburnii
warfa’nii wahdinii wa’aafiinii warzuqhni.
“Ya
Tuhanku, ampunilah daku, berilah aku rahmat, cukupilah aku, angkatlah aku,
tunjukilah aku, jagalah aku dan berilah aku rizki.” (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
13.2. Rabbighfir li warmahnii wahdinii warzuqnii.
“Ya Tuhanku, ampunilah daku, berilah
aku rahmat, tunjukilah aku dan berilah aku rizki.” (HR. Abu Dawud dll.)
13.3. Rabbighfir lii (3x) atau allaahummaghfir lii
“Ya
Tuhanku, ampunilah daku (3x).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Selanjutnya kita membaca takbir (tanpa
angkat tangan) dan melakukan sujud yang kedua dengan bacaan sujud yang sama.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw.
bersabda : “Apabila kamu mendirikan
shalat…, kemudian sujudlah hingga tenteram dalam sujud, kemudian hendaklah
engkau bangkit (dari sujud) sehingga engkau tenteram dalam duduk, kemudian
sujudlah hingga engkau tetap di dalam sujud, lalu kerjakanlah itu di dalam
shalatmu semuanya.” (HR. Bukhari I : 192, Muslim I : 166, Bulughul Maram :
156)
14. Tata cara shalat raka’at kedua
Setelah sujud kedua, kemudian berdiri
untuk melaksanakan shalat raka’at yang kedua. Pada saat bangkit dari sujud yang
kedua kita dahulukan tangan, kemudian lutut dan takbir tanpa mengangkat tangan.
Diterangkan dalam suatu hadits :
Pada hadits Wa’il bin Hujr
(disebutkan), ia berkata : “Aku melihat
Rasulullah saw. apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua
tangannya dan apabila bangun, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua
lututnya.” (HR. Imam Nasa’i dan Al-Atsram)
Kedua tangannya bertekan ke bumi pada
waktu bangkit untuk raka’at berikutnya.
“Rasulullah
saw. bangkit kepada raka’at kedua, sambil bertekan kepada tanah.” (HR. Bukhari dan
Asy-Syafi’i)
Mengenai duduk istirahat sejenak
setelah bangun dari sujud kedua pada raka’at pertama dan raka’at ketiga (dalam
shalat empat raka’at) disebutkan dalam hadits berikut :
Pada hadits Abu Qilabah disebutkan : “Abu Sulaiman, Malik bin Al-Huwairits
mendatangi masjid kami. Dia berkata : ‘Demi Allah, aku akan mempraktekkan
shalat, padahal sebenarnya aku tidak akan shalat (saat ini), hanya aku ingin
memperlihatkan kepada kamu sekalian, bagaimana aku melihat shalat Rasulullah
saw.’, lalu dia duduk sebentar pada raka’at pertama setelah selesai dari
sujudnya yang kedua pada raka’at pertamanya itu.” (HR. Imam Ahmad, Bukhari,
Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Aku (Malik bin Al-Huwairits) berkata kepada
Abu Qilabah, bagaimana caranya aku melakukan shalat”. Malik bin
Al-Huwairits berkata : “Aku shalat
seperti syekh kita ini (yakni ‘Amr bin Salamah, imam mereka)”, dan
disebutkan di situ bahwa setelah beliau selesai sujud kedua pada raka’at
pertama, beliau mengangkat kepalanya, lalu duduk, kemudian berdiri. (HR. Imam
Bukhari, Imam Abu Dawud dan Nasa’i)
Dari Mali bin Al-Huwairits bahwa dia
melihat Nabi saw., jika beliau sujud pada raka’at ganjil (satu atau tiga),
beliau tidak segera bangkit berdiri, kecuali setelah duduk dengan tegak
terlebih dahulu. (HR. Imam Bukhari, Malik, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa
hadits ini hasan shahih dan perlu diamalkan menurut ahli ilmu)
Dalil-dalil tersebut dikuatkan juga
dengan hadits di bawah ini :
Pada hadits Abu Humaid As-Sa’idi
mengenai sifat-sifat shalat Rasulullah saw., dia berkata : “Kemudian Rasulullah bergerak turun ke bumi untuk sujud. Beliau
merenggangkan kedua tangannya dari kedua pinggangnya, lalu bangun sambil
mengangkat kepalanya, membengkokkan tapak kaki kirinya, lalu duduk di atasnya
dan menegakkan jari-jari kaki kirinya jika sujud, lalu beliau sujud lagi,
kemudian mengucapkan ‘allaahu akbar’, sambil mengangkat kepalanya. Beliau
membengkokkan kaki kirinya sambil mendudukinya. Beliau duduk setelah dua sujud,
yaitu pada raka’at pertama dan ketiga, sehingga setiap tulang kembali ke
tempatnya masing-masing (duduk dengan tegak), lalu bangkit dan begitulah yang
beliau lakukan pada raka’at ganjil lainnya.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud,
Baihaqi dan Tirmidzi). Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini hasan shahih.
Dalam suatu riwayat dari Abi Hurairah
:
“Adalah
Rasulullah saw….., kemudian bertakbir ketika turun ke sujud, kemudian bertakbir
ketika mengangkat kepalanya, kemudian beliau berbuat demikian dalam semua
shalat dan beliau bertakbir ketika bangkit dari dua raka’at setelah duduk.” (HR. Bukhari : 191,
Muslim I : 166)
Pada raka’at kedua kita membaca
Fatihatul kitab (Al-Fatihah) disambung dengan surat/ayat Al-Qur’an lainnya
sebagaimana diterangkan hadits berikut ini :
Dari Abu Qatadah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. shalat bersama kami.
Beliau membaca Fatihatul kitab dan dua surat pada dua raka’at pertama pada
shalat Zhuhur dan ‘Ashar dan kadangkala beliau memperdengarkan bacaan ayat itu
kepada kita dan memanjangkan bacaan pada raka’at pertama dan pada dua raka’at
terakhir membaca Fatihatul kitab saja.” (HR. Bukhari I : 191, Muslim I :
189)
Tata cara selanjutnya sama dengan
rakaat yang pertama, yaitu :
14.1. Membaca
Fatihah;
14.2. Membaca
surat;
14.3. Ruku dan
bacaannya;
14.4. Bangkit dari
ruku’ dan bacaannya;
14.5. Sujud pertama
dan bacaannya;
14.6. Bangkit dari
sujud (duduk diantara dua sujud) dan bacaannya;
14.7. Sujud kedua
dan bacannya;
14.8. Bangkit dari
sujud kedua langsung duduk tahiyyat awal
15. Sifat duduk
tasyahdud awal
Wa’il bin Hujr
berkata tentang sifat shalat Rasulullah saw. : “Jika (yang shalat, yakni Rasulullah saw.) duduk setelah dua raka’at,
beliau menelentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, meletakkan
tangan kanan pada paha kanannya, menegakkan jari (telunjuknya) untuk berdo’a
dan meletakkan tangan kiri pada kaki kirinya.” (HR. Imam Nasa’i)
Dalil tersebut
dikuatkan dengan :
Pada Hadits Ibnu
‘Umar r.a., (disebutkan) bahwa dia melihat seorang laki-laki yang mempermainkan
batu kecil dengan tangannya, padahal dia sedang shalat. Setelah laki-laki
tersebut shalat, (Ibnu ‘Umar) berkata kepadanya : “Janganlah menggerakkan batu kerikil jika kamu sedang shalat, sebab itu
termasuk perbuatan syetan, tetapi lakukanlah seperti yang dilakukan Rasulullah
saw.”. Orang itu bertanya : “Bagaimanakah
shalat yang dilakukan Rasulullah saw. itu?” Ibnu ‘Umar meletakkan tangan
kanannya pada paha kanannya dan mengisyaratkan jari telunjuk ke arah kiblat,
sedangkan dia memandang telunjuknya.” (HR. Imam Nasa’i)
Pada suatu riwayat
disebutkan : “Dia menegakkan (kaki)
kanannya, menelentangkan kaki kiri, meletakkan tangan kanannya pada paha kanan
dan tangan kiri pada paha kirinya, serta mengisyaratkan telunjuknya.”
Hadits itu pun
dikuatkan dengan hadits Ibnu Zubair, dia berkata : “Rasulullah saw. jika duduk dalam shalat, beliau meletakkan tapak kaki
kirinya di bawah paha kaki kanan dan betisnya. Beliau menancapkan tapak kaki
kanan, meletakkan tangan kiri pada lutut kirinya, meletakkan tangan kanan pada
paha kanannya, dan beliau berisyarat dengan (salah satu) jarinya dan ‘Abdu
Wahid bin Ziyad memperlihatkan kepada kami bahwa (Rasulullah) mengisyaratkan
dengan telunjuknya.” (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud melalui jalan ‘Affan
bin Muslim, dari ‘Abdul Wahid bin Ziyad)
Kedudukan tangan dan
kaki pada saat tasyahdud sama dengan posisi saat kita melakkan duduk antara dua
sujud, hanya kedudukan tangan kanan berbeda, yaitu membuat huruf O (jempol dan
jari tengah dilekatkan ujungnya, jari manis dan kelingking digenggam, sedangkan
telunjuk diisyaratkan) sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat sebagai
berikut :
Dari Ibnu ‘Umar r.a.,
sesungguhnya Rasulullah saw. apabila duduk tasyahdud (attahiyat), beliau
meletakkan tangan kiri di atas lutut yang kiri dan tangan yang kanan di atas
lutut yang kanan dan beliau genggam lima puluh tiga (jempol dan jari tengah
ujungnya dirapatkan membentuk huruf O, jari manis dan kelingking digenggamkan)
dan beliau mengisyaratkan jari telunjuknya. (HR. Muslim I : 235, Fiqhus Sunnah
Vi : 144)
Berdasarkan perkataan
Wa’il bin Hujr mengenai sifat shalat Rasulullah saw. : “Beliau duduk sambil membentangkan kaki kirinya dan meletakkan tapak
tangan kirinya pada paha kirinya dan lutut kirinya, siku kanannya diangkat dari
paha kanannya, kemudian mengepalkan tiga jarinya membentuk lingkaran (antara
ibu jari dengan jari tengahnya), kemudian mengangkat jari (telunjuk)nya. Aku
melihat beliau menggerakkan (telunjuknya) seraya berdo’a.” (HR. Ahmad,
Nasa’i dan Imam Baihaqi)
Pada saat
menggerakkan (mengisyaratkan) telunjuk, tidak terlalu ditegakkan, tetapi sedang
saja (agak dilekukkan) sebagaimana diriwayatkan : “Rasul mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya dengan melekukkan
sedikit.” (HR. Abu Dawud : 991, Zaadul Ma’ad I : 242)
16. Cara membaca
do’a tasyahdud awal
Pada saat duduk tasyahdud awal berbarengan
dengan menggerakkan (mengisyaratkan) telunjuknya. Membaca do’a tasyahdud banyak
macamnya, antara lain :
16.1. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia
berkata : “Rasulullah saw. mengajar aku
tasyahdud sebagaimana beliau mengajar kepadaku surat dari Al-Qur’an yang
berbunyi sebagai berikut : ‘Attahiyyaatu lillaahi washshalawaatu
waththayyibaat, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa
barakatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu al
laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh’ (Semua
penghormatan, do’a dan puji-pujian yang baik adalah untuk Allah. Semoga
sejahtera atas engkau, hai Nabi, termasuk juga rahmah Allah dan barakah-Nya.
Sejahteralah atas kita sekalian dan atas hamba-hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak diibadahi melainkan Allah dan aku
bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.)” (HR.
Bukhari dan Muslim)
16.2. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia
berkata : “Rasulullah saw. mengajar kami
tasyahdud sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat Al-Qur’an, yaitu :
‘Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah, assalaamu
‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa
‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu
anna muhammadar rasuulullaah.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Syafi’i)
16.3. Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : “….
dan apabila sedang duduk, hendaklah permulaan ucapan salah seorang di antara
kamu itu ialah : ‘Attahiyyaatuth, thayyibaatush shalawaatu lillaah, assalaamu
‘alaika ayyuhan nabiyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa
‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyahdu al laa ilaaha illaha illallaahu
wahdahu laa syariika lah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasululuh.”
16.4. Diriwayatkan bahwa ‘Umar Ibnul Khaththab
pernah mengajarkan tahiyyat kepada manusia dari atas mimbar sebagai berikut : “Attahiyyaatu lillaah, azzaakiyaatu lillaah,
aththayyibaatu lillaah, ashshalawaatu lillaah, assalaamu ‘alaika …dst” (HR.
Malik dan Al-Baihaqi)
Sesudah tahiyyat itu,
langsung diteruskan dengan do’a shalawat yang beberapa lafazhnya berbunyi
sebagai berikut (pilih salah satunya) :
16.5. Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa ahli
baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih, kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim
innaka hamiidum majiid wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa
dzurriyyatih, kamaa baarakta ‘alaa aali ibrahiim innaka hamiidum majiid. (HR.
Ahmad dan Thahawi dengan sanad yang shahih)
16.6. Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali
muhammad, kama shallaita ‘alaa ibrahiim wa ‘alaa aali ibrahim, innaka hamiidum
majid, allaahumma baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakta
‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Bukhari,
Muslim, Al-Humaidi dan Ibnu Mandah)
16.7. Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali
muhammad, kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim wa aali ibraahiim, innaka hamiidum
majiid, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakata ‘alaa
ibraahiim wa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Ahmad, Nasa’i dan Abu
Ya’la)
16.8. Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin nabiyyil
ummiyyi wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik
‘alaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakta ‘alaa
aali ibraahiima fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid. (HR. Muslim, Abu ‘Awanah
dan Ibnu Abi Syaibah)
16.9. Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin ‘abdika wa
rasuulik, kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin
‘abdika wa rasuulik, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa barakta ‘alaa ibraahiim, wa
‘alaa aali ibraahiim. (HR. Bukhari, Nasa’i, Thahawi dan Ahmad)
16.10. Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa
azwaajihi wa dzurriyyatih kama shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa
muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih, kamaa baarakta ‘alaa aali
ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Bukhari dan Muslim)
16.11. Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa
aali muhammad, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita
wa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid.
(HR. Thahawi dan Abu Sa’id Al-‘Arabi)
17. Bangkit dan
shalat raka’at ketiga
Setelah membaca
tasyahdud dan shalawat kita bangkit untuk raka’at yang ketiga sambil bertakbir
dan mengangkat tangan untuk takbir. Disebutkan dalam satu riwayat :
Takbir mengangkat
tangan saat raka’at ketiga ini sifat dan caranya sama dengan takbir-takbir
(mengangkat tangan) lainnya.
Bacaan-bacaan shalat
dan cara-caranya sama dengan raka’at kedua, hanya setelah takbir langsung
membaca Al-Fatihah tanpa membaca surat. Hal ini dijelaskan dalam suatu hadits
berikut :
“…. dan membaca pada dua raka’at terakhir Fatihatul Kitab
saja.”
(HR. Bukhari I : 189, Muslim I : 191)
Jika jumlah raka’at
hanya tiga (shalat Maghrib), setelah sujud kedua langsung tahiyyat akhir yang
bacaannya sama dengan tahiyyat awal, hanya bisa ditambah dengan do’a (akan
dijelaskan bacaan tahhiyat akhir pada raka’at keempat).
18. Raka’at keempat
Setelah sujud kedua
raka’at ketiga, kita bangkit dan takbir tanpa mengangkat tangan. Bacaan dan
caranya sama dengan raka’at ketiga. Hanya setelah sujud yang kedua kita duduk
untuk tahhiyyat akhir dengan cara berikut :
- Kedudukan tangan sama dengan ketika tahiyyat
awal.
- Kedudukan kaki diterangkan :
“… dan
apabila beliau duduk pada raka’at terakhir (tahiyyat akhir), diulurkannya tapak
kaki kirinya (ke sebelah kanan) dan ditegakkannya tapak kaki yang sebelah kanan
(ujung jari-jarinya menghadap kiblat) dan beliau duduk di punggulnya.” (HR.
Bukhari I : 201, Fiqhus Sunnah I : 145)
- Pandangan mata pada saat tasyahdud (baik awal
maupun akhir), diterangkan dalam hadits :
Dari ‘Abdillah bin Zubair, dari bapaknya …
pandangannya tidak melebihi isyaratnya (telunjuk waktu
berisyarat/menggerakkan). (HR. Abu Dawud : 990 dan Nasa’i III : 29)
Dalam keterangan lain disebutkan :
Berkata Ibnu ‘Umar : “Rasulullah meletakkan
tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau mengisyaratkan (menggerakkan)
telunjuknya pada arah kiblat dan beliau mengarahkan pandangannya pada jari
telunjuk atau arahnya.” (HR. Nasa’i II : 237, Fiqhus Sunnah I : 144)
Setelah membaca
tasyahdud (tahiyyat) dan shalawat sebagaimana tahiyyat awal, kita boleh
memanjangkan do’a yang kita ajukan kepada Allah. Diantara do’a-do’a yang
diajarkan Nabi saw. itu adalah sebagai berikut :
18.1. Allahumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil
qabri, wa a’uudzu bika min fitnatil mashiihid dajjaal, wa a’uudzu bika min
finatil mahyaa wal mamaat, allahumma innii a’uudzu bika minal ma’tsami wal
maghrami.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari adzab kubur. Aku
berlindung diri kepada-Mu dari fitnah Masih Dajjal. Aku berlindung diri
kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung
diri kepada-Mu dari berbuat dosa dan berhutang.”
Do’a ini sering diucapkan oleh
Rasulullah saw. Karena seringnya hingga ‘Aisyah bertanya kepada Nabi :
“Gerangan mengapa engkau sering berdo’a minta perlindungan dari hutang, ya
Rasulullah?” Nabi menjawab : “Sesungguhnya
seseorang itu apabila berhutang, kalau bicara ia suka dusta dan kalau berjanji
suka menyalahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18.2. Allahumma innii a’uudzu bika min syarri maa
‘amiltu wa min syarri maa lam a’mal.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan apa yang
kuperbuat dan dari kejelekkan apa yang tidak ku perbuat.” (HR. Nasai’i
dengan sanad yang shahih)
18.3. Allahumma haasibnii hisaabay yasiiraa.
“Ya
Tuhanku, hisablah aku dengan hisab yang ringan.” (HR. Ahmad dan Hakim,
shahih)
18.4. Allahumma bi ‘ilmikal ghaiba wa qudratika
‘alal khalqi ahyiinii maa ‘alimtal hayaata khairal lii, wa tawaffanii idzaa
kaanatil wafaatu khairal lii. Allahumma wa as’aluka khasy-yataka fil ghaibi way
syahaadati wa as’aluka kalimatal haqqi wal ‘adli fil ghadabi war ridhaa, wa as’alukal
qashda fil faqri wal ghinaa wa al’aluka na’iimal laa yabiid, wa as’aluka
qurrata ‘ainil laa tanqathi’u wa as’alukar ridhaa ba’dal qadhaa’i, wa al’aluka
bardal ‘aisyi ba’dal mauti, wa as’aluka ladzdzatan nazhari ilaa wajhika wa
as’alukasy syauqa ilaa liqaa’ika fii ghairi dharraa’i mudhirrah, wa laa
fitnatim mudhillah, allahumma zayyinaa bi ziinatil iimaani waj’alnaa hudaatam
muhtadiin.
“Ya
Tuhanku, dengan pengetahuan-Mu akan hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas
makhluk ini, hidupkanlah aku yang menurut pengetahuan-Mu hidupku itu adalah
baik bagiku dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik bagiku. Ya Tuhanku, aku
meminta kepada-Mu supaya bisa takut kepada-Mu pada waktu tersembunyi dan pada
waktu ramai. Aku meminta kepada-Mu beromong yang benar, jujur pada waktu marah
dan senang. Aku meminta kepada-Mu untuk bisa sederhana, baik pada waktu miskin
maupun pada waktu kaya. Aku minta kepada-Mu kenikmatan yang tiada hancur dan
aku minta kepada-Mu kesejukkan mata yang tidak terputus-putus. Aku minta
kepada-Mu kepuasan sesudah qadha dan aku minta kepada-Mu kesejukkan hidup
sesudah mati. Aku minta kepada-Mu kesenangan melihat wajah-Mu dan aku minta
kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu dalam keadaan tidak susah yang
menyusahkan dan tidak terdapat finah yang menyesatkan. Ya Tuhanku, hiasilah
hidup kami ini dengan perhiasan iman dan jadikanlah kami pemimpin yang
terpimpin.” (HR. Nasa’i dan Hakim, shahih)
18.5. Allahumma innii zhalamtu nafsii zhulman
katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, faghfir lii maghfiratam min
‘indik, warhamnii innaka antal ghafuurur rahiim.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan penganiayaan yang
banyak, sedang tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau. Oleh
karena itu, ampunilah aku dengan suatu pengampunan yang datangnya dari-Mu dan
sayangilah aku karena sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18.6. Allahumma innii as’aluka minal khairi kullihi
‘aajilihi wa aajilihi maa ‘alimtu minhu wa maa lam a’lam, wa a’uudzu bika
minasy syarri kulihi ‘aajilihi wa aajilihi ma ‘alimtu minhu wa maa lam ‘alam,
wa as’alukal jannata wa maa qarraba ilaihaa min qaulin au’amalin, wa ‘a’uudzu
bika minan naari wa maa qarraba ilaihaa min qaulin au’amalin, wa as’aluka minal
khairi maa sa’alaka ‘abduka wa rasuuluka muhammad, wa a’uudzu bika min syarri
masta’aadzaka minhu ‘abduka wa rasuuluka muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, wa as’aluka maa qadhaita lii min amrin an taj’ala ‘aaqibatahu lii
rusydaa.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu kebaikan semuanya, sekarang atau
nanti, yang aku ketahui atau yang tidak kuketahui. Aku berlindung diri
kepada-Mu dari kejelekkan semuanya, sekarang atau nanti, yang kuketahui atau
yang tidak kuketahui. Aku minta kepada-Mu surga dan sesuatu yang mendekatkan ke
surga, baik berupa omongan maupun perbuatan. Aku berlindung diri kepada-Mu dari
neraka dan sesuatu yang mendekatkan ke neraka, baik berupa omongan maupun
perbuatan. Aku minta kepada-Mu kebaikan yang pernah diminta oleh hamba-Mu dan
Rasul-Mu, Muhammad dan aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan sesuatu
yang pernah diminta perlindungannya oleh hamba-Mu suatu perkara yang telah
Engkau tentukan kepadaku yang Engkau akan jadikan akibatnya itu sebagai satu
pimpinan bagiku.” Do’a ini adalah do’a yang diajarkan Rasulullah saw.
kepada ‘Aisyah r.a. (HR. Ahmad, Thasyalisi, Ibnu Majah, Hakim dan Bukhari dalam
Adabul Mufrad)
18.7. Allahumma innii as’aluka yaa allaahul ahadsuh
shamad al-ladzii lam yalid wa lam yuulad wa lam yakul lahu kufuwan ahad an
taghfiraa lii dzunuubii innaka antal ghafuurur rahiim.
“Ya
Tuhaku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu, ya Allah, Dzat Yang Esa, yang menjadi
tempat bergantung, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tiada satupun (mkhluk)
yang sama dengan Dia, kiranya Engkau dapat mengampuni dosa-dosaku, karena
sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Mahabelas kasih.” Do’a
ini semula diucapkan oleh salah seorang sahabat. Akan tetapi setelah Rasulullah
saw. sendiri mendengarnya, lalu dipujinya orang itu dengan sabadany : “Sungguh Allah telah mengampuni dia. Sungguh
Allah telah mengampuni dia.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah
dan Hakim)
18.8. Allahumma innii as’aluka bi anna lakal hamd,
laa ilaaha illaa anta wahdaka laa syariika lak, almannaan, yaa badii’as
samaawaati wal ardhi, yaa dzal jalaali wal ikraam, ya hayyu yaa qayyuum, innii
as’alukal jannata wa a’uudzu bika minan naar.
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu, karena sesungguhnya bagi-Mulah segala
puji. Tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau Yang Esa, yang tiada
sekutu bagi-Mu, Mahamurah, wahai Dzat Pencipta langit dan bumi, waha Dzat yang
mempunyai keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang Maha hidup dan berdiri
sendiri. Sesungguhnya aku minta kepada-Mu surga dan aku berlindung diri
kepada-Mu dari neraka.” Do’a ini juga semula diucapkan oleh salah seorang
sahabat, kemudian ketika Rasulullah saw. mendengarnya, ia bertanya kepada para
sahabatnya : “Tahukah kalian apa yang ia katakan dalam do’anya itu?” Mereka
menjawab : “Allah dan Rasulnya yang lebih
tahu”. Rasulullah kemudian menjelaskan : “Demi Dzat yang diriku dalam
kekuasaan-Nya, sungguh telah berdo’a dengan nama-Nya, Yang Maha Agung, yang
apabila seseorang berdo’a dengan nama-Nya, pasti akan dikabulkan dan apabila
dia minta, pasti diberi.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Bukhari dalam
Adabul Mufrad)
Setelah membaca
tasyahdud atau do’a sebagai penutup shalat kita mengucapkan salam ke kanan dan
ke kiri, sebab salam merupakan penghalalan shalat. Hal ini diterangkan :
Dari ‘Ali r.a., bahwa
Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat itu
bersuci, permulaannya takbir dan penutupnya adalah mengucapkan salam.” (HR.
Syafi’i, Imam Ahmad, Al-Bazzar, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Tirmidzi)
Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini paling shahih dan hasan di antara hadits
lainnya yang berkenan dengan masalah ini. Imam Hakim dan Ibnu Sakan pun
menshahihkannya.
Cara bacaan salam
yang diajarkan Rasul adalah : Dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwa Nabi saw. biasa
mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sehingga terlihat warna putih pipinya
(dengan ucapan) : “Assalaamu ‘alaikum
warahmatullaah, assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah.” (HR. Imam Ahmad,
At-Thahawi, Abu Dawud, Tirmidzi, Imam Nasa’i, Ibnu Majah) Imam Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Dalil tersebut
dikuatkan dengan hadits :
Dari Sa’ad bin
Waqqash r.a., ia berkata : “Aku telah
melihat Rasulullah saw. mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sehingga aku
dapat melihat warna putih pipinya.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah,
Daraquthni, Ibnu Hibban, Al-Bazzar)
Atau mengucapkan
salam dengan sempurna.
Dari Wa’il bin Hujr
r.a., ia berkata : “Aku pernah mendirikan
shalat beserta Nabi saw. Ternyata Nabi saw. salam ke kanan dengan mengucapkan
‘Assalaamu ‘alaikum warahmutullahi wabarakaatuh’ (Semoga salam sejahter
dicurahkan kepada kamu sekalian. Demikian pula rahmat dan berkah dari Allah
swt.’), sedangkan ketika salam ke kiri beliau mengucapkan ‘Assalaamu ‘alaikum
warahmatullah’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih)
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa tata cara shalat itu adalah :
1. Suci dari hadats besar dan kecil (dengan
wudhu, tayammum dan mandi);
2. Niat untuk shalat (bukan talafudz bin niyat
dengan membaca ushalli) sebagaimana diterangkan : “Sesungguhnya amalah itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari);
3. Pakaian, tempat dan badan harus suci dari
najis;
4. Menghadap kiblat;
5. Mengangkat tangan (takbiratul ihram);
a. Jari tangan direnggangkan;
b. Tapak tangan sejajar dada atau sejajar daun
telinga atau sejajar pundak.
c. Tapak tangan dihadapkan ke arah kiblat;
6. Memeluk hasta tangan kiri oleh tapak tangan
kanan antara susu dan pusar;
7. Membaca do’a iftitah;
8. Membaca ta’awwudz, Fatihah dan surat (reka’at
pertama);
9. Takbir waktu ruku’ dengan mengangkat kedua
tangan, kedudukan tangan sama dengan ketika takbiratul ihram;
10. Bacaan ruku’
11. Mengangkat dua tangan, bangkit dari ruku’,
sambil membaca sami’allaahu li man hamidah dan rabbanaa wa lakal hamdu;
12. Takbir ke sujud dengan tidak mengangkat tangan;
a. Mendahulukan lutut, kemudian tapak tangan
sampai ke lantai;
b. Tujuh anggota badan menyentuh lantai : dahi,
hidung, dua tapak tangan dan dua lutut;
c. Jari kaki dihadapkan ke kibalat (lipat);
d. Dua tumit kaki dilekatkan;
e. Hasta tidak dikepitkan ke rusuk dan tidak
dihamparkan ke lantai (seperti menghamparkan anjing), siku diangkat sedikit;
13. Membaca bacaan dalam sujud;
14. Membaca bacaan waktu bangkit dari sujud tanpa
angkat tangan;
15. Membaca bacaan waktu bangkit dari sujud dan
meletakkan kedua tangan di atas paha yang sesuai;
16. Takbir waktu sujud tanpa mengangkat tangan;
17. Membaca bacaan dalam sujud;
18. Takbir, bangkit dari sujud tanpa mengangkat
tangan; Untuk raka’at kedua, ketiga dan seterusnya tidak ada :
a. Takbiratul ihram;
b. Do’a iftitah;
c. Ta’awwudz;
Tetapi ada :
a. Tahiyyat awal pada raka’at kedua;
b. Tahiyyat akhir pada raka’at terakhir yang lebih
dari dua rakaat atau yang dua raka’at;
c. Takbir mengangkat tangan waktu akan memulai
raka’at ketiga;
d. Bacaan waktu berdiri pada raka’at ketiga dan
atau keempat hanya Fatihah saja (tanpa surat);
e. Saat tahiyyat
menggoyangkan telunjuk, baik awal maupun akhir;
f. Salam ke kanan dan ke kiri;
g. Khusus raka’at ketiga dan keempat hanya Fatihah
saja tanpa membaca surat.