AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Jumaat, 29 Ogos 2014

CARA SHOLAT RASULULLAH SAW


CARA SHOLAT RASULULLAH SAW


1.   Menghadap Kiblat
“Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu sekalian berada hadapkanlah muka kamu sekalian ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah : 144 atau 150)
Yang dimaksud dengan Masjidil Haram adalah Ka’bah, menurut pendapat yang shahih, berdasarkan hadits Barraa, ia berkata : “Kami shalat bersama Nabi saw. ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, kemudian dialihkannya ke arah Ka’bah.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda kepada orang yang melaksanakan shalatnya kurang baik : “Apabila kamu akan berdiri melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat.” (HR. Syaikhani dan lainnya)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Antara timur dan barat adalah kiblat.” (Hadits tersebut hasan shahih)
Cara menghadap kiblat waktu ibadah shalat termasuk juga ibadah shalat di kendaraan, hanya setelah menghadap kiblat kita meneruskan ibadah shalat walaupun arah kendaraan berubah-ubah. (Abu Dawud dan Ibnu Hibban, Sifat Shalat Nabi : 20) atau dimulai menghadap ke mana arah kita dibawa oleh kendaraan. (HR. Bukhari II : 37)
2.   Niat
Yaitu menyengaja untuk ibadah shalat menghambakan diri kepada Allah swt. serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Tidaklah disebutkan dari Nabi saw. dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafazhkan dengan cara mengucapkan “ushalli fardhu … rak’ah lillaahi ta’aalaa” atau ucapan sejenisnya.
3.   Berdiri
Berdiri bagi orang yang mampu berdiri, berdasarkan firman Allah swt. :
“… berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (QS. Al-Baqarah : 238)
Yang dimaksud dengan berdiri di sini adalah berdiri pada waktu shalat dan berdasarkan hadits ‘Imran bin Husain r.a., dia berkata : “Saya mempunyai penyakit bawasir, lalu saya bertanya kepada Nabi saw., beliau bersabda : ‘Shalatlah kamu dengan berdiri! Kalau tidak mampu, dengan duduk. Kalau tidak mampu, dengan berbaring.’ (HR. Bukhari dan Nasa’i menambahkan : ‘Kalau kamu tidak mampu, shalatlah dengan berbaring. Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.’)”
4.   Takbiratul ihram
Takbiratul ihram merupakan batas awal dari ibadah shalat. Dari ‘Ali bin Abu Thalib r.a., sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat adalah bersuci dan tahrim shalat adalah takbir, sedangkan tahlil shalat adalah taslim.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim dan Tirmidzi)
Tirmidzi telah meshahihkan hadits ini dan dia berkata : “Hadits ini adalah yang paling shahih dan paling hasan yang dibahas pada pembahasan ini.”
Nabi saw. bersabda : “Tahrimnya shalat adalah takbir.” Jumhur ulama berargumentasi bahwa permulaan shalat adalah dengan takbir, bukan dengan dzikir lainnya.
Menurut Malik, Ahmad dan kebanyakan para salaf, cara mengucapkan takbiratul ihram mesti dengan lafazh allahu akbar, karena al pada lafadz takbir adalah lil’ahdi (karena sudah diketahui). Yang diketahuinya adalah takbir yang telah dinukil oleh umat yang sekarang dari yang dahulu, dari Nabi saw., bahwa beliau mengucapkan takbiratul ihram pada setiap shalat dan tidak mengucapkan yang lain.
Dari Rifa’ah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Allah tidak akan menerima shalat seseorang, sehingga kesucian itu terletak pada tempatnya, kemudian menghadap ke kiblat dan mengucapkan allaahu akbar.” (Abu Dawud)
Cara pengucapan kalimat takbir allaahu akbar dilakukan sambil mengangkat kedua tangan (telapak tangan menghadap ke depan) hingga betulan dada/sejajar dengan pundak.
Dari Wa’il bin Hajar, bahwa ia melihat cara Nabi saw. mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir (HR. Ahmad, Baihaqi dan Abu Dawud)
Pada riwayat lain disebutkan caranya : “Beliau bertakbir, kemudian mengangkat tangannya.” Pendapat tersebut berdasarkan hadits : Dari Abu Qilabah, sesungguhnya dia melihat Malik bin Huwairits apabila dia shalat, dia bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya (Al-Hadits). Pada hadits tersebut dia menceritakan bahwa Rasulullah saw. biasa melakukan demikian.
Telah berkata Ibnu ‘Umar : “Jika Rasulullah saw. beridiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga berbetulan dengan kedua bahunya, lalu beliau bertakbir.” (HR. Muslim I : 66, Bukhari I : 180)
Setelah mengangkat tangan, kemudian tangan itu disimpan di dada (antra susu dan pusar) dengan tangan kanan di atas tangan kiri, pergelangan tangan kanan menutup pergelangan tangan kiri atau dengan cara tangan kanan menggenggam hasta tangan kiri.
Wa’il berkata : “Saya melihat Nabi saw. mengangkat kedua tangan saat shalat, kemudian takbir, lalu beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.” (HR. Muslim I : 171, Bukhari I : 180)
Dari Wa’il bin Hajar, ia berkata : “Saya shalat beserta Rasulullah saw., lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan dia telah menshahihkannya)
Thawus berkata : “Ternyata Rasulullah saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan menguatkan keduanya di atas dadanya pada waktu shalat.” (HR. Abu Dawud)
Dari Qabishah bin Halb, dari bapaknya, ia berkata : “Saya melihat Nabi saw. berpaling ke kanan dan ke kirinya dan saya melihat beliau meletakkan ini (kedua tangannya) di atas dadanya.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan :
Dari Abu Hurairah : “Keadaan Rasulullah saw mengangkat tangan (waktu takbir), jari-jarinya tegak ke atas.” (HR. An-Nasa’i II : 124, At-Tirmidzi : 240)
“Keadaan (Rasulullah saw.) mengangkat kedua tangan dengan menegakkan jari-jemari serta menghadapkannya ke kiblat.” (Ibnu Al-Qayyim, Zaadul Ma’ad I : 202)
Cara pandangan waktu ibadah shalat kita tujukan ke tempat sujud, tidak boleh memutar-mutar pandangan.
Rasulullah saw. bersabda : “Bila shalat, janganlah kalian memutar-mutar pandangan, karena Allah menghadapkan pandangan-Nya pada wajah hamba-Nya waktu shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan.” (HR. At-Tirmidzi, Hakim, Sifat Shalat Nabi : 47)
Dalam riwayat Abu Dawud diterangkan :
“Selama Allah menghadap kepada hamba-Nya dalam shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan. Apabila ia memutar pandangan, Allah akan berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud : 909)
Bahkan dalam Hadits Al-Baihaqi disebutkan apabila Rasul shalatl, beliau menundukkan kepada dan mengarahkan pandangan ke tempat sujud. (Sifat Shalat Nabi : 45) Untuk memungkinkan kita khusyu’ dalam shalat, hilangkan sesuatu yang akan mengganggu kekhusyu’an itu, seperti gambar-gambar atau yang lainnya.
Rasulullah bersabda : “Tidak pantas di dalam rumah terdapat sesuatu yang bisa mengganggu shalat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, Sifat Shalat nabi : 46)
Kalau berjama’ah, usahakan dengan cara memakai pakaian yang tidak berwarna-warni dan bergambar sehingga dapat mengganggu kekhusyu’an. Rasulullah pernah shalat memakai wol dan bergambar dan terlihat sekilas olehnya. Setelah selesai shalat beliau bersabda : “Berikanlah bajuku ini kepada Abu Jahm dan untukku baju polosnya, karena bajuku tadi telah mengganggu shalatku.” (HR. Bukhari I : 183, Muslim I : 224)
5.   Membaca do’a iftitah
Membaca do’a iftitah dalam shalat pada raka’at pertama diucapkan sebelum membaca Al-Fatihah :
5.1. Cara do’a iftitah pertama :
Allaahumma baa’id bainii wa baina khathayaaya kamaa baa’atta bainal masyriqi wal maghrib, allaahumma naqqinii min khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas, allaahummaghsil khathayaaya bil maa’i wats-tsalji wal barad.
“Ya Tuhanku, jauhkanlah antaraku dan antara dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Tuhanku, bersihkanlah dosa-dosaku bagaikan baju putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Tuhanku, cucilah dosa-dosaku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5.2. Cara do’a iftitah kedua :
Wajjahtu wajhiya lil ladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wa maa ana minal musyrikin, inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil’aalamiin, laa syarika lahu wa bi dzaalika umirtu wa ana awwalul muslimin. Allahumma antal maliku laa ilaaha illaa anta, subhaanaka wa bi hamdika anta rabbii wa ana ‘abduk, zhalamtu nafsii wa’ taraftu bi dzambii faghfir lii dzambii jamii ‘an innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, wahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdii li ahsanihaa illaa anta, washrif ‘anni sayyi ‘ahaa laa yashrifu’ ‘anni sayyi ‘ahaa illaa anta, labbaika wa sa’daik, wal khairu kulluhu fii yadaik, wasy syarru laisa alaik, wal mahdii man hadait, wa ana bika wa ilaik, laa manja’a wa laa malja’a minka illaa ilaik, tabaarakta wa ta’aalait, astaghfiruka wa atuubu ilaik.
“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang membuat langit dan bumi dengan lurus dan menyerah dan aku bukanlah tergolong orang-orang yang menyekutukan (Dia). Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Dzat yang mengatur semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah dan aku adalah termasuk orang yang pertama menyerah (kepada-Nya). Ya Tuhanku, Engkau adalah raja tiada tuhan melainkan Engkau, Mahasuci Engkau dan dengan Memuji-Mu, Engkau adalah Tuhan yang mengatur aku. Aku adalah hambu-Mu, aku telah menzhalimi diriku dan (kini) aku mengakui akan dosaku. Oleh karena itu, ampunilah dosaku seluruhnya karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Engkau dan bimbinglah aku kepada akhlaq yang teramat baik karena tidak ada yang bisa membimbing ke arah yang teramat baik selain Engkau dan palingkanlah adriku akhlaq yang jelek dariku selain Engkau. Kusambut panggilan-Mu dan demi kebahagiaan (dari)-Mu kebaikan itu semuanya berada di tangan-Mu dan kejelekan itu sama sekali bukan kembali kepada-Mu. Orang yang bisa memimpin adalah orang yang memang telah Engkau pimpin. Aku dengan-Mu dan kepada-Mu, tidak ada tempat keselamatan dan tempat kembali dari (adzab)-Mu  melainkan kepada-Mu. Mahasuci Engkau dan Mahatinggi, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ahmad dan Syafi’i)
5.3. Cara do’a iftitah ketiga :
Subhaanakallaahumma wa bi hamdika wa tabaarakasmuka wa ta’aalaa jadduka wa laa ilaaha ghairuk.
“Mahasuci Engkau, ya Tuhanku, (aku) tetap memuji-Mu. Mahasuci nama-Mu dan Mahaagung keagungan-Mu, tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau.” (HR. Ibnu Majah dan Nasa’i)
5.4. Cara do’a iftitah keempat :
Dilain riwayat, bacaan di atas ada tambahan :
Laa ilaaha illaallaah (3x) allaahu akbar (3x) (HR. Abu Dawud dan Thahawi)
5.5. Cara do’a iftitah kelima :
Allaahu akbar kabiiraa, wal hamdu lillaahi katsiraa, wa subhaanallaahi bukrataw wa ashiilaa.
“Mahabesar Allah dengan sebesar-besarnya. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang sebanyak-banyaknya. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan sore.”
Do’a iftitah ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Maka tatkala Rasulullah saw. Mendengarnya, beliau bersabda : “Sungguh aku kagum kepada laki-laki ini. Baginya dibukakan pintu-pintu (barakah dari) langit.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.6. Cara do’a iftitah keenam :
Wal hamdu lillaahi hamdan katsiran thayiibam mubaarakan fiih.
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan diberkati-Nya.
Do’a ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Ketika Rasulullah saw. Mendengar, beliau bersabda : “Sungguh aku melihat dua belas malaikat yang berlomba untuk mengangkatnya, siapa di antara mereka itu yang dapat mengangkatnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.7. Cara do’a iftitah ketujuh :
Allahumma rabba jabraa’iila wa miikaa’iila wa israafiila faathiras samaawaati wal ardhi, ‘aalimal ghaibi wasy syahaadah, anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun, ihinii limkhtalafa fiihi minal haqqi bi idznik, innaka tahdii man tasyaa’u ilaa shiraathim mustaqiim.
“Ya Tuhanku, Than Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi yang menghukumi perkara yang ghaib dan alam nyata, Engkau menghukumi antara hamba-hamba-Mu tentang sesuatu yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah daku jalan yang benar dengan idzin-Mu karena sesuatu yang diperselisihkan itu. Engkau menunjukkan siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.8. Cara do’a iftitah kedelapan :
Allaahu akbar (10x), alhamdu lillaah (10x), subhaanallaah (10x), laa ilaaha illaallaah (10x), astaghfirullaah 10x), allaahummaghfir lii wahdinii warzuqnii wa ‘aafinii (10x), allaahumma innii a’uudzu bika minadh dhayyiiqi yaumal hisaab (10).
“Mahabesar Allah (10x). Segala puji bagi Allah (10x). Mahasuci Allah (10x). Tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Allah (10x). Aku mohon pengampunan kepada Allah (10x). Ya Tuhanku, ampunilah aku dan pimpinlah aku dan berilah aku rizki dan peliharalak aku (10x). Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan-Mu dari kesempitan pada hari hisab nanti (10x).” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan Thabrani)
5.9. Cara do’a iftitah kesembilan :
Allahu akbar (3x), dzul malakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah.
“Mahabesar Allah (3x), Dzat yang memiliki kerajaan ini, yang memiliki segala kekuasaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Ath-Thayalisi dan Abu Dawud)
6.   Membaca ta’awwudz
Sebelum membaca Al-Fatihah kita diperintahkan membaca ta’awwudz, sebagaimana firman Allah :
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl : 98)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi saw., sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk shalat, beliau membaca do’a iftitah, kemudian membaca : “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dari permainan gangguannya, serta ludahnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Telah berkata Ibnu Al-Mundzir, telah datang dari Nabi (keterangan) bahwa ia membaca “a’uudzu billaahi minsysyaithaanir rajiim” sebelum Fatihah.
Telah berkata Al-Aswad : “Saya melihat ‘Umar ketika memulai (do’a) shalatnya ia membaca : ‘Mahasuci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu, Mahaagung nama-Mu, luhur keagungan-Mu. Tiada tuhan selain Engkau, kemudian membaca ta’awwudz’.” (HR. Ad-Daruquthni, Nailu Al-Authar II : 220)
Atau :
“Aku mohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang dirajam.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Cara membaca ta’awudz (dibaca ta’udz) hanya disyari’atkan pada raka’at pertama dengan menganggap bahwa bacaan pada shalat adalah bacaan yang satu dan disunnahkan dengan pelan, menurut kebanyakan ahli ilmu. Dalam Kitab Ad-Dinul Khalish disebutkan, para ulama telah sepakat bahwa tidak dilaksanakan (ta’awudz) kecuali pada raka’at pertama berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa : Nabi saw. Apabila bergerak (bangun) untuk raka’at kedua, beliau memulai dengan bacaan (Al-Fatihah) dan beliau tidak diam. (HR. Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)
7.   Membaca Al-Fatihah
Al-Fatihah sebagai rukun keutamaan dalam shalat, caranya dibaca setelah membaca ta’awudz yang dimulai dengan membaca kalimat bismillaahir rahmaanir rahiim, sebagaimana diterangkan : “Ketika kamu membaca alhamdu, hendaklah kamu membaca bismillaahir rahmaanir rahiim.” (HR. Ad-Daruquthni)
Anas pernah berkata : “Saya pernah mendengar Rasulullah saw. Membaca bismillaahir rahmaanir rahiim dengan nyaring.” (HR. Hakim)
Telah berkata Abu Hurairah : “Adalah Nabi saw. Apabila menjadi imam, beliau memulai dengan bacaan bismillaahir rahmaanir rahiim.” (HR. Daruquthni)
Dari Ummi Salamah, sesungguhnya ia telah ditanya tentang bacaan Rasulullah saw., maka ia selalu menjawab : “Adalah Nabi memutuskan bacaan seayat-seayat, bismillaahir rahmaanir rahiim (berhenti), kemudian al-hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dari Qatadah, ia berkata bahwa Anas telah ditanya tentang bagaimana bacaan Nabi saw., kemudian ia menjawab : “Bacaannya panjang; beliau membaca bismillaahir rahmaanir rahiim, dengan memanjangkan lafadz rahmaan dan rahiim.” (HR. Bukhari)
Abu Bakar Al-Hanafi berkata : Telah meriwayatkan kepada kami, ‘Abdul Hamid Ibnu Ja’far. Telah menceritakan kepadaku Nuh Ibnu Bilal, dari Sa’id Ibnu Abu Al-Maqbari, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin itu tujuh ayat; salah satunya adalah bismillaahir rahmaanir rahiim. (Al-Fatihah) itu merupakan as-sab’ul matsaani (tujuh ayat yang diulang-ulang), Al-Qur’an ‘azhim, ummul Qur’an, dan Fatihatul Kitab (pembuka Al-Qur’an).” Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Ausath dengan sanad yang rijalnya tsiqat.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. Bersabda : ‘Jika kamu sekalian akan membaca alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin (Al-Fatihah), bacalah bismillaahir rahmaanir rahiim, itu adalah ummul Qur’an, ummul kitab dan as’sab’ul matsaani, sedangkan bismillaahir rahmaanir rahiim adalah salah satunya.” (HR. Daruquthni)
Kewajiban membaca Al-Fatihah ini berlaku bagi makmum dan imam (jika shalatnya tidak nyaring), sedang pada shalat jahar, ma’mum diperintahkan untuk membaca dalam hati dan memperhatikan bacaan imam. Rasulullah saw. Bersabda : “Adakah di antara kalian tadi yang membaca bersamaan denganku?” Salah seorang menjawab : “Ya, saya ya Rasulullah.” Nabi bersabda : “Sekarang aku katakan, aku tak perlu disaingi.” (HR. Daruquthni, Abu Dawud : 826, Tirmidzi)
Hadits dari Jabir r.a., ia berkata : “Barangsiapa melakukan shalat satu raka’at, tetapi tidak membaca Al-Fatihah, maka dia tidak shalat, kecuali dia menjadi ma’mum.” (HR. Imam Malik dan Imam Tirmidzi) Imam Tirmidzi menshahihkannya.
Membaca Al-Fatihah dalam shalat hukumnya wajib. Rasulullah bersabda :
“Tidak ada shalat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah (Fatihah al-kitab).” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ubadah bin Shamit)
“Barangsiapa yang shalat tidak membaca ummul Qur’an (Al-Fatihah), maka shalatnya tidak sempurna.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim : I : 168)
Adapun cara membaca Al-Fatihah adalah sebagai berikut :
Ayat 1. Bismillaahir rahmaanir rahiim  (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha  Penyayang).
Ayat 2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).
Ayat 3. Ar-rahmaanir rahiim (Maha Permurah lagi Maha Penyayang).
Ayat 4. Maaliki yaumid diin (Yang menguasai hari pembalasan )
Ayat 5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Ayat 6. Ihdinas shiraathal mustaqiim (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Ayat 7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin (Yaitu jalan orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat).
Setelah membaca “wa ladh dhaalliin”, maka disambung dengan cara pengucapan “aamiin”, baik berjamaah maupun munfarid.
Rasul bersabda : “Bacalah aamiin, maka kamu akan dicintai Allah.” (HR. Abu Dawud : 972)
Pada suatu riwayat  (disebutkan) : “Jika imam selesai membaca ghairil maghdhuubi ‘alaihim, wa ladh dhaalliin, ucapkanlah amin, sesungguhnya malaikat mengucapkan aamiin dan imam pun mengucapkan aamiin. Barangsiapa yang pengucapan aamiinnya bersamaan dengan pengucapan aamiin malaikat, pasti diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Nasa’i)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Apabila Rasulullah saw. telah mengucapkan ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin, beliau mengucapkan aamiin, sehingga terdengar oleh ma’mum yang ada pada shaf pertama.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Ibnu Majah berkata : “… sehingga ucapan aamiin Rasulullah saw. itu terdengar oleh ma’mum pada shaf pertama, sehingga dengan suara itu (aamiin) masjid menjadi gemuruh.“ Juga diriwayatkan oleh Daruquthni : “Isnad hadits ini hasan.” Al-Hakim juga mengatakan : “Hadits ini shahih mengikuti syarat (shahihnya) kitab.” Baihaqi mengatakan : “Hadits ini hasan shahih.” Pada Hadits Tirmidzi terdapat syad.
“Sesungguhnya Nabi saw. apabila membaca ‘Wa ladh dhaalliin’, beliau mengucapkan : ‘aamiin’ dan beliau menyaringkan suaranya.” (HR. Tirmidzi : 248)
Aamiin artinya semoga Allah mengabulkan.
Setelah membaca Al-Fatihah, diteruskan dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada rakaat pertama dan kedua jika munfaridh (sendiri) atau imamnya membaca dengan sir (pelan).
Dari Abu Qatadah r.a., ia berkata bahwa Nabi saw. (pernah) membaca – ketika shalat Zhuhur dan ‘Ashar pada dua raka’at – Fatihah al-kitab (Al-Fatihah) dan kadang-kadang beliau memperdengarkan bacaannya (dengan keras) kepada kami, juga membaca – pada dua raka’at terakhir – Fatihah al-kitab. (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud)
Adapun surat yang dibaca setelah Al-Fatihah diserahkan kepada yang mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya. Caranya, Jika mengimami, ia harus melihat situasi dan kondisi ma’mum, mungkin ada yang sakit, ada yang berhajat, orang tua, sehingga tidak memanjangkan bacaannya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Jika kamu mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbir, kemudian membaca ayat-ayat yang mudah dari Al-Qur’an”) (HR. Bukhari I : 192)
Telah berkata Abu Sa’id : “Kami diperintah (oleh Rasulullah) supaya membaca Al-Fatihah dan apa-apa (ayat atau surah) yang mudah.” (HR. Abu Dawud)
Selanjutnya, setiap perpindahan dari satu rukun ke rukun yang lainnya, disunnahkan dengan cara membaca takbir (allaahu akbar). Cara takbir seperti ini disebut intiqal. Adapun cara pengangkatan tangan berlaku untuk :
7.1. Memulai shalat (takbiratul ihram);
7.2. Takbir untuk ruku’;
7.3. Mengangkat kepala (bangkit dari ruku’) dan
7.4. Bangkit setelah raka’at kedua (tahiyyatul awal).
Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Aku melihat Rasulullah saw. Jika beliau memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setentang (mendekati) kedua bahunya. Demikian pula jika beliau hendak ruku’ dan setelah mengangkat kepalanya dari ruku’. Akan tetapi beliau tidak melakukan itu ketika antara dua sujud.” (HR. Imam Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai’i, Ibnu Majah, Daruquthni dan Imam Baihaqi)
Imam Baihaqi menambahkan : “Begitulah cara shalat Rasulullah saw., sampai beliau menemui Allah swt.”
Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Nabi saw. Apabila berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai setentang (sejajar atau mendekati) kedua bahunya, kemudian beliau bertakbir (untuk ruku’) dengan kedua tangannya seperti posisi tersebut, lalu ruku’, kemudian ketika beliau akan mengangkat punggungnya dari ruku’, beliau pun mengangkat kedua tangannya sampai setentang dengan kedua bahunya, kemudian beliau mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’ (semoga Allah swt. Mendengarkan orang yang memuji-Nya). Akan tetapi, beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud dan selalu mengangkat keduanya setiap bertakbir sebelum ruku’, sampai selesai shalatnya.” (HR. Abu Dawud)
Juga dalam lafazh Daruquthni : “Beliau mengangkat kedua tangannya, sehingga ketika mendekati kedua bahunya, beliau bertakbir (mengucapkan allaahu akbar). Jika hendak ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, lalu beliau ruku’. Demikian pulah jika hendak mengangkat punggungnya, beliau mengangkat kedua tangannya sampai kedua bahunya, lalu beliau mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’, lalu beliau sujud, tetapi tidak mengangkat kedua tangannya setiap takbir sebelum sujud sampai selesai shalatnya.”
8.   Ruku’
Cara ruku’ sebagai berikut :
8.1. Menaruh tapak tangan di atas lutut sambil menggenggamnya;
8.2. Merenggangkan jemarinya;
8.3. Punggung rata (tidak terlalu bungkuk).
Rasululullah saw. Bersabda :
“Apabila ruku’, letakkanlah tapak tanganmu di atas lutut, lalu renggangkan jemari dan diamlah, sehingga anggota tubuh terletah pada posisinya.” (Ibnu Hibban)
“Apabila ruku’, letakkanlah tapak tangan di atas lutut, luruskan punggung dan kokohkan ruku’.” (HR. Ibnu Majah : 169, Abu Dawud : 731)
Diriwayatkan dari Siti ‘Aisyah r.a., dalam hadits yang panjang : “Rasulullah saw. Jika ruku’, tidak mengangkat kepalanya dan tidak menundukkannya sampai ke bawah, tetapi pertengahan antara itu (lurus antara kepala dengan punggung).” HR. Imam Muslim)
Dari Salim Al-Barrad, ia berkata : “Kami beserta ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari mendatangi Abu Mas’ud, lalu kami mengatakan kepadanya : ‘Ceritakanlah kepada kami mengenai shalat Rasulullah saw!’ Lalu dia berdiri di hadapan kami – di dalam masjid – lalu ia bertakbir dan ketika ruku’, ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya dan jari-jarinya di bawah lutut. Ia merenggangkan kedua sikunya sehingga setiap anggota tubuhnya menjadi tegak, (lalu berdiri atau bangkit dari ruku’) sambil mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’.” (HR. Imam Nasa’i dan Abu Dawud)
Dari Anas r.a., sesungguhnya Nabi saw. Bersabda kepadanya : “Hai anakku, jika kamu melakukan ruku’, letakkanlah kedua telapak tanganmu pada kedua lututmu, renggangkan antara jari tanganmu dan jauhkanlah kedua (siku) tanganmu dari kedua sisi pinggangmu.” (HR. Imam Thabrani rahimahullah ta’ala)
9.   Cara bacaan dalam ruku’
Setelah thuma’ninah ruku’, kita membaca :
9.1. Subhaana rabbiyal ‘azhiim (3x). “Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung.” (HR. Tirmidzi)
9.2. Subbuuhun qudduusur rabbul malaa’ikati war ruuh. “Mahasuci, Mahabersih, (ya) Tuhan malaikat dan ruh.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
9.3. Subhaanakallahumma wa bi hamdika allaahummaghfirlii. “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, ya Tuhanku, ampunilah aku.” Do’a ini diucapkan oleh Rasulullah sebagai tafsir ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
 “Mahasucikanlah dengan memuji Tuhanmu dan minta ampunlah kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia amat menerima taubat.” (QS. An-Nahsr : 3) (HR. Bukhari dan Muslim)
9.4. Allaahumma laka raka’tu wa bika aamantu wa laka aslamtu anta rabbii, khasya’a laka sam’ii wa basharii wa mukhii wa ‘azhamii. “Ya Tuhanku, kepada-Mulah aku ruku’, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku menyerah. Engkau adalah Tuhanku. Kepada-Mu pendengaran dan penglihatanku tunduk, begitu juga otak dan tulang-tulangku.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
9.5. Allaahumma laka raka’tu wa bika aamantu wa laka aslamtu wa ‘alaika tawakkaltu anta rabbii khasya’a sam’ii wa basharii wa damii wa lahmii wa ‘azhamii wa ‘ashabii lillaahi rabbil ‘aalamiin. “Ya Tuhanku, kepada-Mulah aku ruku’, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku menyerah dan kepada-Mu aku tawakal. Engkau adalah Tuhanku. Pendengaranku, penglihatanku, darahku, dagingku, tulangku dan urat syarafku tunduk kepada Allah Dzat yang mengatur semesta alam.” (HR. Nasa’i)
9.6. Subhaana dzil jabaruuti wal malakuuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah. “Mahasuci Dzat yang mempunyai seluruh kekuasaan, seluruh kerajaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
10. Cara Bangkit dari Ruku
Bangkit dari ruku membaca “sami’allaahu li man hamidah, rabbanaa lakal hamdu” sambil :
10.1.         Mengangkat tangan (sama dengan takbiratul ihram)
10.2.         Meluruskan tulang belakang sehingga tulang-tulang itu kembali ke sendinya.
10.3.         Tangan tidak disedekapkan (dirumbaikan)
“…. maka ketika kamu telah mengangkat kepalamu, luruskanlah tulang belakangmu, sehingga kembali tulang-tulang itu ke sendi-sendinya.” (HR. Bukhari I : 19, Fiqhus Sunnah I : 117)
Keterangan lain :
“… kemudian ia bertakbir ketika ruku’, kemudian ia ucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’ (mudah-mudahan Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya). Ketika mengangkat kepala dari ruku’, ia mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamdu’ setelah berdiri (Wahai Tuhan kami dan bagi-Mulah sekalian pujian).” (HR. Bukhari I : 179, Muslim I : 198)
Atau setelah membaca ‘sami’allaahu li man hamidah’ membaca :
Allahumma rabbanaa lakaal hamdu mil’as samaawaati wal ardhi wa mil’a maa syi’ta min syai’im ba’du. “Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian, sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki selain dari itu.” (HR. Muslim I : 190-197, Ibnu Majah : 878)
Pada Hadits Abu Hurairah r.a.  disebutkan bahwa Nabi saw. Bersabda : “Jika imam mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’, ucapkanlah oleh kalian ‘allaahumma rabbanaa lakal hamdu’, sebab barang siapa yang bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, dia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Malik, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Imam Ahmad-pun meriwayatkan dengan kata-kata : “Apabila imam mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’, orang yang di belakangnya hendaklah mengucapkan ‘allaahumma rabbana lakal hamdu’, maka ucapan itu (pasti) akan bersamaan dengan ucapan ahli langit (malaikat), yakni ‘allaahumma rabbanaa lakal hamdu’, maka diampunilah dosanya yang telah lalu.”
Dalil-dalil di atas diperkuat dengan :
Hadits Abu Musa Al-Asyar’i r.a., menyebutkan bahwa Nabi saw. Bersabda : “Jika imam mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’, lalu ma’mum mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamdu’, Allah swt. Akan mendengarkan kalian.” (HR. Imam Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Adapun do’a i’tidal ini cukup banyak, diantaranya :
10.1. Rabbanaa lakal hamdu.
“Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji.” (HR. Bukhari)
10.2.  Rabbanaa wa lakal hamdu (HR. Ahmad)
10.3.         Allaahumma rabbanaa lakal hamdu mil’as samaawaati wa mil’al ardhi wa mil’a maa syi’ta min sayi’im ba’du. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji sepenuh (isi) langit dan sepenuh (isi) bumi dan sepenuh (isi) apa saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu.”
10.4.         Allaahumma lakal hamdu mil ‘as samaawaati wa mil ‘al ardhi wa mil ‘a maa syi’ta min sya’im ba’du, allaahummathahhirnii bits tsalji wal baradi wal maa’il baaridi, allaahumma thahhirnii minadz dzunuubi wal khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minal wasakhi – dalam satu riwayat- minad danasi. “Ya Tuhanku, bagi-Mulah segala puji sepenuh (isi) langit dan sepenuh (isi) bumi dan sepenuh (isi) apa saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu. Ya Tuhanku, sucikanlah daku dengan es, embun dan air yang dingin. Ya Tuhanku, sucikanlah daku dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran.” (HR. Muslim)
10.5.         Rabbanaa lakal hamdu mil ‘as samaawaati wa ardhi wa mil ‘a maa syi’ta min say’im ba’du, ahlats tsanaai wal majdi ahaqqu maa qaalal ‘abdu wa kullunaa laka ‘abdun, allaahumma laa maani ‘a lima a’thaita wa laa mu’thiya limaa mana’ ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji sepenuh (isi) langit dan bumi dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu, (wahai) Dzat yang berhak mendapatkan pujian dan keagungan, suatu pujian yang paling banyak diucapkan oleh seorang hamba dan kami semua ini adalah hamba-Mu. Ya Tuhanku, tiada seorang pun yang bisa menghentikan sesuatu yang berikan dan tiada seorang pun yang bisa memberikan sesuatu yang Engkau hentikan dan kekayaan tidak bisa menolong orang yang mempunyai kekayaan itu dari adzab-Mu.” (HR. Muslim)
10.6.         Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyibam mubaarakan fiihi ka maa yuhibbu rabbanaa wa yardlaa. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji, degan pujian yang banyak lagi baik dan diberkahi sebagaimana yang disukai oleh Tuhan kami dan diridhai-Nya.” (HR. Mailk, Bukhari dan Abu Dawud)
11. Cara bersedekap dalam I’tidal
11.1. Alasan orang yang berpendapat sedekap dalam i’tidal.
a. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas tangan/lengan yang kiri pada waktu shalat.” (HR. Bukhari I : 180)
b. Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Saya mendengar Nabi saw. Bersabda : ‘Kami golongan para nabi telah diperintahkan untuk menyegarkan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur dan kami diperintahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada waktu shalat.” (Majma’u Az-Zawaid II : 105)
c.  Dari Ghadaif bin Harits, ia berkata : “Kami tidak lupa dari beberapa perkara yang (biasa) kami lupakan. Sesungguhnya kami melihat Rasulullah saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat.” (HR. Ahmad)
d. Dari Qabishah bin Hulb, dari ayahnya r.a. ia berkata : “Kami melihat Nabi saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat.” (HR. Ahmad)
e. Dari Wa’il bin Hujr, dari ayahnya r.a., ia berkata : “Saya shalat bersama Rasulullah saw., kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
11.2.         Alasan orang yang berpendapat melepas kedua tangan pada waktu i’tidal.
a. Hadits-hadits tersebut di atas merupakan dalil yang qath’i untuk sedekap kedua tangan di dada pada waktu i’tidal.
b. Bisa saja dengan kata-kata shalat itu disebut “kulli” (secara keseluruhan), padahal yang dimaksud “al-juz’u/sebagian”, sebagaimana contoh berikut :
- Dari Fudhalah bin ‘Ubaid r.a., ia berkata : Rasulullah saw. Mendengar seorang laki-laki berdo’a dalam shalatnya, tetapi tidak memuji Allah dan tidak membaca shalawat Nabi. Disini disebut “fii shalatihi” (secara keseluruhan). Padahal yang dimaksud bagian dari shalat, yaitu tasyahhud.
-  Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sesungguhnya ia kepada Rasulullah saw. : “Ajarkanlah kepadaku do’a yang saya baca pada waktu shalat.” Nabi menjawab  “Katakanlah : ‘Ya Allah, sesungguhnya aku zhalim terhadap diriku…’.” Di sini juga disebut lafazh shalat, padahal yang dimaksud bagian shalat, yaitu dalam tasyahhud. Dalam hal ini tak seorang pun berpendapat boleh mambaca do’a tersbut dalam setiap gerakan shalat, dengan berpegang pada umumnya hadits tersebut.
c.  Kalau kita berpegang pada umumnya lafazh hadits, seyogyanya kita meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika turun untuk sujud, ketika mengangkat kepala/bangkit dari sujud, dan ketika duduk di antara dua sujud. Padalah telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Saya melihat Rasulullah saw. Jika berdiri shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan kedua bahunya. Beliau melakukan hal itu ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala dari ruku’ seraya membaca ‘sami’allaahu liman hamidah’ dan beliau tidak melakukan hal seperti itu (mengangkat tangan) ketika ia turun untuk sujud.”
     Maksud lafazh hadits “wa laa yaf’alu dzaalika fii sujuudi” ialah ia tidak melakukannya/mengangkat tangan ketika turun untuk sujud dan tidak ketika bangkit dari sujud. Dalam hal mana ia mengatakan : “Ketika ia turun sujud dan tidak ketika ia bangkit dari sujud.” (Fathu Al-Bari III : 220)
     Adapun riwayat Thabrani dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi saw. Mengangkat kedua tangannya ketika takbir untuk ruku’ dan ketika takbir untuk sujud, maka hadits tersebut syadz, menyalahi hadits yang lebih shahih, yaitu hadits riwayat Bukhari dalam kitab Shahihnya. Apabila kita pahamkan bahwa yang dimaksud ucapan “hiina yasjudu” ialah ketika sujud, hal ini tidak rasional, karena bagaimana mungkin seseorang dapat mengangkat kedua tangannya pada waktu sujud.
d. Hadits 11.1 huruf c sampai e tersebut diatas, itu merupakan hadits fi’li (perbuatan), bukan hadits qauli (ucapan), sedangkan fi’li tidak menunjukkan hal yang umum. Dalam qaidah Ushul Fiqh disebutkan : “Perbuatan yang konkret jika mempunyai beberapa aspek, tidak berarti umum untuk semua bagian-bagiannya.” Contoh lafazh : “Ana ashuumu al-yauma (Saya sedang saum hari ini).” Lafazh tersebut tidak mencakup semua macam shaum yaitu puasa wajib, sunnah, puasa nadzar dan puasa lainnya, tetapi menunjukkan khusus di antara macam-macam shaum. Beda dengan kata-kata : “Makan itu membatalkan shaum.” Ungkapan ini mencakup segala macam shaum. Demikian juga lafazah hadits : “Saya melihat Rasulullah saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya pada waktu shalat.” Hadits ini tidak mencakup semua gerakkan shalat, melainkan hanya menunjukkan satu gerakkan tertentu saja.
e. Para ulama menyandarkan dalil hadits Wa’il, yaitu : “Saya shalat bersama Nabi saw., kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dadanya.” Sebagai Dalil disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri dalam shalat dan mereka tidak menyinggung disyari’atkannya meletakkan tangan tersebut setelah ruku’.
     Dukungan atas pendapat itu hadits berikut :
-  Dari Jabir bin ‘Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. Lewat kepada seorang laki-laki yang sedang shalat, sedangkan (laki-laki) itu meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, maka Rasulullah saw. Membukanya dan tangan kanannya diletakkan di atas tangan kirinya.” (HR. Ahmad)
-  Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Nabi saw. Melihatku ketika itu aku sedang meletakkan tangan kiriku di atas tangan kananku waktu shalat, maka Nabi memegang tangan kananku serta meletakkannya di atas tangan kiriku.” (HR. Nasa’i II : 97)
f.  Tidak meletakkan kedua tangan di dada/sedekap pada waktu i’tidal, termasuk yang telah disepakati umat dan telah merata dalam pengamalan. Adapun meletakkan kedua tangan di atas dada pada waktu i’tidal, tidak seorang pun sahabat yang membicarakannya dan tidak juga para ulama dulu. Andai hal itu disyari’atkan, tentu akan banyak riwayat tentang itu secara mutawatir, juga akan mutawatir dalam pengamalannya. (Mutawatir’amali)
g. Andaikan irsal (lepas tangan) itu menyalahi sunnah, tentu sahabat akan mengingkarinya, demikian juga para ahli hadits dan fiqh sejak dulu.
h. Telah berkata : Mumhammad Nashiruddin Al-Bani : “Adalah Nabi memerintahkan thuma’ninah pada waktu i’tidal. Nabi berkata kepada orang yang shalatnya salah : ‘Angkatlah kepalamu sehingga engkau tegak berdiri, kemudian setiap tulang kembali ke tempatnya’.” Dalam riwayat lain : “Dan jika engkau mengangkat kepala, tegakkan tulang rusukmu dan angkatlah kepalamu sehingga tulang kembali ke tempat persendiannya.”
Sesungguhnya maksud dari hadits ini terang dan jelas, yaitu menunjukkan cara thuma’ninah sewaktu berdiri. Adapun istidhal atau pendapat saudara-saudara kita dari Hijaz dan yang lainnya bahwasanya hadits ini menunjukkan cara atau disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) pada waktu berdiri (bangkit dari ruku’), maka jauh sekali dari kumpulan riwayat hadits, bahkan ia adalah istidhal yang bathil karena cara meletakkan tangan tersebut (hatta tarji’al ‘izhamu ilaa mafashilihaa/sehingga tulang-tulang kembali ke tempat persendiannya) tidak diterangkan dalam berdiri di raka’at pertama dalam satu pun hadits dari sekian banyak riwayat hadits dan lafazhnya.
Maka bagaimana mungkin menafsirkan cara tersebut (sehingga tulang-tulang kembali ke tempat persendiannya) dengan cara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada sebelum ruku’ ini andaikan didukung oleh sejumlah hadits dalam tempat ini, tetapi bagaimana mungkin sedangkan kandungan hadits itu sendiri dengan menunjukkan berbeda dengan cara berdiri sebelum ruku’ dalam hal meletakkan tangannya.
Meletakkan tangan di atas dada dalam berdiri i’tidal adalah bid’ah dhalalah sedikitpun tidak diriwayatkan dalam hadits-hadits yang menerangkan tentang shalat. Kalaulah hal itu terdapat dasar hukumnya, tentu akan sampai  riwayatnya kepada kita sekalipun hanya satu riwayatnya. Disamping itu pula, tak seorangpun imam hadits menerangkannya. (Shifat An-Nabi : 120)
12. Kedudukan dan Cara Membaca saat Sujud
Sujud itu dilakukan dua kali pada setiap raka’at dan hukumnya fardhu berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta ijma ulama. Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah…” (QS. Al-Hajj : 77)
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. Bersabda kepada orang yang tidak melaksanakan shalat dengan baik : “Kemudian sujudlah sampai thuma’ninah (tenang) dalam sujud itu, lalu bangkitlah sehingga thuma’ninah dalam duduk, lalu sujudlah sampai thuma’ninah dalam sujud itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Cara melakukan sujud dilakukan setelah bangkit dari ruku’ dan setelah membaca ‘rabbana wa lakal hamdu, mendahului lutut, kemudian kedua tapak tangan.
“Saya melihat Nabi saw. apabila sujud, beliau letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.” (HR. Empat, Fiqhus Sunnah I : 139, Ibnu Majah : 882, At-Tirmidzi : 167)
Waktu sujud hidung kita menyentuh lantai, juga dahi sebagaimana diterangkan :
“… Kami diperintah sujud dengan tujuh tulang, yaitu dahi, dan ia isyaratkan juga pada hidung, dua tangannya, dua lutut dan ujung-ujung tapak kakinya.” (HR. Bukhari I : 197, Muslim I : 203)
Pada Hadits ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib r.a., disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda : “Jika seorang hamba bersujud, bersujudlah bersamanya tujuh anggota tubuhnya, yakni mukanya, kedua tapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua tapak kakinya.” (HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dalam keterangan lain disebutkan :
“Janganlah kamu menghamparkan hasta seperti anjing menghampar.” (HR. Ibnu Majah : 891, Tirmidzi : 274, Muslim I : 204)
Dari Barra’ bin ‘Ajib, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda ‘Dan apabila kamu sujud, maka letakkan dua tapak tanganmu dan angkatlah dua sikumu’.” (HR. Muslim I : 204)
Dari Wa’il bin Hujr, bahwa keadaan Nabi saw. bila ruku’, beliau renggangkan jari-jarinya danapabila sujud, beliau kepit jari-jarinya. (HR. Hakim, Fiqhus Sunnah I : 136, Bukhari I : 197)
Juga jari tidak dikepalkan : “Faidzaa sajada wadha’a yadaihi ghairi muftarisyin wa laa qaabidhihimaa.” (HR. Bukhari I : 200)
Nabi saw. sujud, ia simpan dua tapak tangannya dengan tidak direnggangkan (jari-jarinya) serta tidak dikepalkan. Sabdanya pula : “Janganlah membentangkan hasta, bertumpulah dengan tapak tangan dan renggangkanlah kedua tanganmu.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Sifat Shalat Nabi : 148)
“…. Ketika sujud diletakkannya dua tapak tangannya, lengannya (hasta) tidak diletakkan ke tempat sujud dan tidak dikepitkan ke rusuknya dan ujung jari kakinya dihadapkan ke arah kiblat.” (Bukhari I : 201)
Pada saat sujud, selain tangan kita rapatkan, demikian pula tumit kita pun diletakkan sebagaimana diriwayatkan.
Cara membaca do’a-do’a sujud sangat banyak, antara lain :
12.1.  Subhaana rabbiyal a’laa (3x)
           “Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni, Thahawi, Al-Bazzar dan Thabrani)
12.2.  Subbuuhun qudduusur rabbul malaaikati war ruuh.
           “Mahasuci dan Mahabersih Tuhan malaikat dan ruh.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
12.3.  Subhaanakallaahumma wa bi hamdika allaahummagh fir lii.
           “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, ya Tuhanku, ampunilah daku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
12.4.  Allaahumma laka sajattu wa bika aamantu wa laka aslamtu wa anta rabbii, sajada wajhii lil ladzii khalaqahu wa shawwarahu fa ahsana shuwarahu, wa syaqqa sam’ahu wa basharahu fa tabaarakallahu ahsanul khaaliqiin.
           “Ya Tuhanku, kepada-Mu aku sujud dan kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku menyerah. Engkau adalah Tuhanku. Mukaku sujud kepada Dzat yang menciptakannya dan membentuknya, maka ia baguskan bentuknya dan ia telah membukakan pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah sebaik-baik Dzat yang mencipta.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Thahawi dan Daruquthni)
12.5.  Allaahummagh fir lii dzambii kullahu wa diqqahu wa jillahu wa awwalahu wa aakhirahu wa ‘alaaniyatahu wa sirrahu.
           “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku seluruhnya yang kecil maupun yang besar, yang pertama maupun yang paling akhir, yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
12.6.  Sajada laka sawaadii wa khayaalii wa aamana bika fu’ aadii, abuu’u bi ni’matika ‘alayya, haadzihi yadii wa maa jiilat’alaa nafsii.
           “Kepada-Mu hati kecilku dan khayalku sujud, kepada-Mu hatiku beriman, aku kembali dengan nikmat-Mu yang (Engkau berikan) kepadaku. Ini adalah tanganku bersama apa yang tergerak dalam diriku.” (HR. Ibnu Nashr, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
12.7.  Subhaana dzii jabaruuti wal malakuuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah.
           “Mahasuci Dzat yang mempunyai segala kekuasaan, segala kerajaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
12.8.  Subhaanakallaahumma wa bi hamdika laa ilaaha illaa anta.
           “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Nasa’i dan Ibnu Nashr)
12.9.  Allaahummaghfir lii maa asrartu wa maa a’lantu.
           “Ya Tuhanku, ampunilah (dosa)ku yang kurahasiakan dan yang kulakukan dengan terang-terangan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i dan Hakim)
12.10.       Allaahummaj’al fii qalbii nuuran wa fii lisaanii nuuran waj’al fii sam’ii nuuran waj’al fii basharii nuuran waj’al min tahti nuuran waj’al min fauqi nuuran wa’an yamiinii nuuran wa’an yaasarii nuuran waj’al amaamii nuuran waj’al khalfii nuuran waj’al fii nafsii nuuran wa ‘azhzhim lii nuuran.
           “Ya Tuhanku, jadikanlah cahaya dalam kalbuku, cahaya dalam lisanku, jadikanlah cahaya dalam pendengaranku, jadikanlah cahaya dalam penglihatanku, jadikanlah cahaya di bawahku, jadikanlah cahaya di atasku, cahaya di kananku, cahaya di kiriku dan jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya di belakangku dan jadikanlah cahaya dalam diriku dan besarkanlah cahaya bagiku.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Syaibah)
12.11.       Allaahumma innii a’uudzu bi ridhaaka min sakhatika wa a’uudzu bi mu’ aafaatika min ‘uquubatik, wa a’uudzu bika minka, laa uhshii tsanaa’an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu dan aku berlindung diri dengan kema’afan-Mu dari siksa-Mu aku berlindung diri dengan nama-Mu dan siksa-Mu. Aku tidak dapat membilang pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau telah memuji atas diri-Mu.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)
13. Duduk di antara Dua Sujud
      Setelah sujud pertama, kemudian mengangkat kepala untuk duduk di antara dua sujud sambil bertakbir.
      Rasulullah bersabda : “Tidak sempurna shalat seseorang sehingga ia sujud sampai tenang semua persendiannya sambil mengucapkan ‘allaahu akbar’, kemudian mengangkat kepalanya sampai duduk dengan tepat.” (HR. Abu Dawud : 875)
      Dalam keterangan lain :
      “… kemudian ia sujud dan diantara dua sujud.” (HR. Muslim I : 197)
      Duduk iftirasy dicontohkan sebagai berikut :
      Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dari sunnah shalat menegakkan tapak kaki yang kanan dan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat dan duduk di atas kaki kirinya.” (HR. An-Nasa’i II : 235)
      Bagi yang duduk di antara dua sujud meletakkan tangan yang kanan di atas paha yang kanan dan tangan yang kiri di atas paha kiri, ujung jari kedua tangan di atas ujung lutut dan menghadap kiblat sambil membaca do’a sujud, antara lain sebagai berikut :
13.1.  Allaahumaghfir lii warhamnii wajburnii warfa’nii wahdinii wa’aafiinii warzuqhni.
           “Ya Tuhanku, ampunilah daku, berilah aku rahmat, cukupilah aku, angkatlah aku, tunjukilah aku, jagalah aku dan berilah aku rizki.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
13.2.  Rabbighfir li warmahnii wahdinii warzuqnii.
           “Ya Tuhanku, ampunilah daku, berilah aku rahmat, tunjukilah aku dan berilah aku rizki.” (HR. Abu Dawud dll.)
13.3.  Rabbighfir lii (3x) atau allaahummaghfir lii
         “Ya Tuhanku, ampunilah daku (3x).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Selanjutnya kita membaca takbir (tanpa angkat tangan) dan melakukan sujud yang kedua dengan bacaan sujud yang sama.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda : “Apabila kamu mendirikan shalat…, kemudian sujudlah hingga tenteram dalam sujud, kemudian hendaklah engkau bangkit (dari sujud) sehingga engkau tenteram dalam duduk, kemudian sujudlah hingga engkau tetap di dalam sujud, lalu kerjakanlah itu di dalam shalatmu semuanya.” (HR. Bukhari I : 192, Muslim I : 166, Bulughul Maram : 156)
14. Tata cara shalat raka’at kedua
Setelah sujud kedua, kemudian berdiri untuk melaksanakan shalat raka’at yang kedua. Pada saat bangkit dari sujud yang kedua kita dahulukan tangan, kemudian lutut dan takbir tanpa mengangkat tangan.
Diterangkan dalam suatu hadits :
Pada hadits Wa’il bin Hujr (disebutkan), ia berkata : “Aku melihat Rasulullah saw. apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangun, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Imam Nasa’i dan Al-Atsram)
Kedua tangannya bertekan ke bumi pada waktu bangkit untuk raka’at berikutnya.
“Rasulullah saw. bangkit kepada raka’at kedua, sambil bertekan kepada tanah.” (HR. Bukhari dan Asy-Syafi’i)
Mengenai duduk istirahat sejenak setelah bangun dari sujud kedua pada raka’at pertama dan raka’at ketiga (dalam shalat empat raka’at) disebutkan dalam hadits berikut :
Pada hadits Abu Qilabah disebutkan : “Abu Sulaiman, Malik bin Al-Huwairits mendatangi masjid kami. Dia berkata : ‘Demi Allah, aku akan mempraktekkan shalat, padahal sebenarnya aku tidak akan shalat (saat ini), hanya aku ingin memperlihatkan kepada kamu sekalian, bagaimana aku melihat shalat Rasulullah saw.’, lalu dia duduk sebentar pada raka’at pertama setelah selesai dari sujudnya yang kedua pada raka’at pertamanya itu.” (HR. Imam Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Aku (Malik bin Al-Huwairits) berkata kepada Abu Qilabah, bagaimana caranya aku melakukan shalat”. Malik bin Al-Huwairits berkata : “Aku shalat seperti syekh kita ini (yakni ‘Amr bin Salamah, imam mereka)”, dan disebutkan di situ bahwa setelah beliau selesai sujud kedua pada raka’at pertama, beliau mengangkat kepalanya, lalu duduk, kemudian berdiri. (HR. Imam Bukhari, Imam Abu Dawud dan Nasa’i)
Dari Mali bin Al-Huwairits bahwa dia melihat Nabi saw., jika beliau sujud pada raka’at ganjil (satu atau tiga), beliau tidak segera bangkit berdiri, kecuali setelah duduk dengan tegak terlebih dahulu. (HR. Imam Bukhari, Malik, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih dan perlu diamalkan menurut ahli ilmu)
Dalil-dalil tersebut dikuatkan juga dengan hadits di bawah ini :
Pada hadits Abu Humaid As-Sa’idi mengenai sifat-sifat shalat Rasulullah saw., dia berkata : “Kemudian Rasulullah bergerak turun ke bumi untuk sujud. Beliau merenggangkan kedua tangannya dari kedua pinggangnya, lalu bangun sambil mengangkat kepalanya, membengkokkan tapak kaki kirinya, lalu duduk di atasnya dan menegakkan jari-jari kaki kirinya jika sujud, lalu beliau sujud lagi, kemudian mengucapkan ‘allaahu akbar’, sambil mengangkat kepalanya. Beliau membengkokkan kaki kirinya sambil mendudukinya. Beliau duduk setelah dua sujud, yaitu pada raka’at pertama dan ketiga, sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya masing-masing (duduk dengan tegak), lalu bangkit dan begitulah yang beliau lakukan pada raka’at ganjil lainnya.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Baihaqi dan Tirmidzi). Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini hasan shahih.
Dalam suatu riwayat dari Abi Hurairah :
“Adalah Rasulullah saw….., kemudian bertakbir ketika turun ke sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian beliau berbuat demikian dalam semua shalat dan beliau bertakbir ketika bangkit dari dua raka’at setelah duduk.” (HR. Bukhari : 191, Muslim I : 166)
Pada raka’at kedua kita membaca Fatihatul kitab (Al-Fatihah) disambung dengan surat/ayat Al-Qur’an lainnya sebagaimana diterangkan hadits berikut ini :
Dari Abu Qatadah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. shalat bersama kami. Beliau membaca Fatihatul kitab dan dua surat pada dua raka’at pertama pada shalat Zhuhur dan ‘Ashar dan kadangkala beliau memperdengarkan bacaan ayat itu kepada kita dan memanjangkan bacaan pada raka’at pertama dan pada dua raka’at terakhir membaca Fatihatul kitab saja.” (HR. Bukhari I : 191, Muslim I : 189)
Tata cara selanjutnya sama dengan rakaat yang pertama, yaitu :
14.1.  Membaca Fatihah;
14.2.  Membaca surat;
14.3.  Ruku dan bacaannya;
14.4.  Bangkit dari ruku’ dan bacaannya;
14.5.  Sujud pertama dan bacaannya;
14.6.  Bangkit dari sujud (duduk diantara dua sujud) dan bacaannya;
14.7.  Sujud kedua dan bacannya;
14.8.  Bangkit dari sujud kedua langsung duduk tahiyyat awal
15. Sifat duduk tasyahdud awal
Wa’il bin Hujr berkata tentang sifat shalat Rasulullah saw. : “Jika (yang shalat, yakni Rasulullah saw.) duduk setelah dua raka’at, beliau menelentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, meletakkan tangan kanan pada paha kanannya, menegakkan jari (telunjuknya) untuk berdo’a dan meletakkan tangan kiri pada kaki kirinya.” (HR. Imam Nasa’i)
Dalil tersebut dikuatkan dengan :
Pada Hadits Ibnu ‘Umar r.a., (disebutkan) bahwa dia melihat seorang laki-laki yang mempermainkan batu kecil dengan tangannya, padahal dia sedang shalat. Setelah laki-laki tersebut shalat, (Ibnu ‘Umar) berkata kepadanya : “Janganlah menggerakkan batu kerikil jika kamu sedang shalat, sebab itu termasuk perbuatan syetan, tetapi lakukanlah seperti yang dilakukan Rasulullah saw.”. Orang itu bertanya : “Bagaimanakah shalat yang dilakukan Rasulullah saw. itu?” Ibnu ‘Umar meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya dan mengisyaratkan jari telunjuk ke arah kiblat, sedangkan dia memandang telunjuknya.” (HR. Imam Nasa’i)
Pada suatu riwayat disebutkan : “Dia menegakkan (kaki) kanannya, menelentangkan kaki kiri, meletakkan tangan kanannya pada paha kanan dan tangan kiri pada paha kirinya, serta mengisyaratkan telunjuknya.”
Hadits itu pun dikuatkan dengan hadits Ibnu Zubair, dia berkata : “Rasulullah saw. jika duduk dalam shalat, beliau meletakkan tapak kaki kirinya di bawah paha kaki kanan dan betisnya. Beliau menancapkan tapak kaki kanan, meletakkan tangan kiri pada lutut kirinya, meletakkan tangan kanan pada paha kanannya, dan beliau berisyarat dengan (salah satu) jarinya dan ‘Abdu Wahid bin Ziyad memperlihatkan kepada kami bahwa (Rasulullah) mengisyaratkan dengan telunjuknya.” (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud melalui jalan ‘Affan bin Muslim, dari ‘Abdul Wahid bin Ziyad)
Kedudukan tangan dan kaki pada saat tasyahdud sama dengan posisi saat kita melakkan duduk antara dua sujud, hanya kedudukan tangan kanan berbeda, yaitu membuat huruf O (jempol dan jari tengah dilekatkan ujungnya, jari manis dan kelingking digenggam, sedangkan telunjuk diisyaratkan) sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat sebagai berikut :
Dari Ibnu ‘Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. apabila duduk tasyahdud (attahiyat), beliau meletakkan tangan kiri di atas lutut yang kiri dan tangan yang kanan di atas lutut yang kanan dan beliau genggam lima puluh tiga (jempol dan jari tengah ujungnya dirapatkan membentuk huruf O, jari manis dan kelingking digenggamkan) dan beliau mengisyaratkan jari telunjuknya. (HR. Muslim I : 235, Fiqhus Sunnah Vi : 144)
Berdasarkan perkataan Wa’il bin Hujr mengenai sifat shalat Rasulullah saw. : “Beliau duduk sambil membentangkan kaki kirinya dan meletakkan tapak tangan kirinya pada paha kirinya dan lutut kirinya, siku kanannya diangkat dari paha kanannya, kemudian mengepalkan tiga jarinya membentuk lingkaran (antara ibu jari dengan jari tengahnya), kemudian mengangkat jari (telunjuk)nya. Aku melihat beliau menggerakkan (telunjuknya) seraya berdo’a.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Imam Baihaqi)
Pada saat menggerakkan (mengisyaratkan) telunjuk, tidak terlalu ditegakkan, tetapi sedang saja (agak dilekukkan) sebagaimana diriwayatkan : “Rasul mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya dengan melekukkan sedikit.” (HR. Abu Dawud : 991, Zaadul Ma’ad I : 242)
16. Cara membaca do’a tasyahdud awal
      Pada saat duduk tasyahdud awal berbarengan dengan menggerakkan (mengisyaratkan) telunjuknya. Membaca do’a tasyahdud banyak macamnya, antara lain :
16.1.  Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah saw. mengajar aku tasyahdud sebagaimana beliau mengajar kepadaku surat dari Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut : ‘Attahiyyaatu lillaahi washshalawaatu waththayyibaat, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu al laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh’ (Semua penghormatan, do’a dan puji-pujian yang baik adalah untuk Allah. Semoga sejahtera atas engkau, hai Nabi, termasuk juga rahmah Allah dan barakah-Nya. Sejahteralah atas kita sekalian dan atas hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak diibadahi melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.)” (HR. Bukhari dan Muslim)
16.2.  Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata : “Rasulullah saw. mengajar kami tasyahdud sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat Al-Qur’an, yaitu : ‘Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Syafi’i)
16.3.  Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : “…. dan apabila sedang duduk, hendaklah permulaan ucapan salah seorang di antara kamu itu ialah : ‘Attahiyyaatuth, thayyibaatush shalawaatu lillaah, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyahdu al laa ilaaha illaha illallaahu wahdahu laa syariika lah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasululuh.”
16.4.  Diriwayatkan bahwa ‘Umar Ibnul Khaththab pernah mengajarkan tahiyyat kepada manusia dari atas mimbar sebagai berikut : “Attahiyyaatu lillaah, azzaakiyaatu lillaah, aththayyibaatu lillaah, ashshalawaatu lillaah, assalaamu ‘alaika …dst” (HR. Malik dan Al-Baihaqi)
Sesudah tahiyyat itu, langsung diteruskan dengan do’a shalawat yang beberapa lafazhnya berbunyi sebagai berikut (pilih salah satunya) :
16.5.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih, kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa dzurriyyatih, kamaa baarakta ‘alaa aali ibrahiim innaka hamiidum majiid. (HR. Ahmad dan Thahawi dengan sanad yang shahih)
16.6.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita ‘alaa ibrahiim wa ‘alaa aali ibrahim, innaka hamiidum majid, allaahumma baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Bukhari, Muslim, Al-Humaidi dan Ibnu Mandah)
16.7.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim wa aali ibraahiim, innaka hamiidum majiid, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakata ‘alaa ibraahiim wa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Ahmad, Nasa’i dan Abu Ya’la)
16.8.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakta ‘alaa aali ibraahiima fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid. (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Abi Syaibah)
16.9.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin ‘abdika wa rasuulik, kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin ‘abdika wa rasuulik, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa barakta ‘alaa ibraahiim, wa ‘alaa aali ibraahiim. (HR. Bukhari, Nasa’i, Thahawi dan Ahmad)
16.10.       Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih kama shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih, kamaa baarakta ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Bukhari dan Muslim)
16.11.       Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita wa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Thahawi dan Abu Sa’id Al-‘Arabi)
17. Bangkit dan shalat raka’at ketiga
Setelah membaca tasyahdud dan shalawat kita bangkit untuk raka’at yang ketiga sambil bertakbir dan mengangkat tangan untuk takbir. Disebutkan dalam satu riwayat :
Takbir mengangkat tangan saat raka’at ketiga ini sifat dan caranya sama dengan takbir-takbir (mengangkat tangan) lainnya.
Bacaan-bacaan shalat dan cara-caranya sama dengan raka’at kedua, hanya setelah takbir langsung membaca Al-Fatihah tanpa membaca surat. Hal ini dijelaskan dalam suatu hadits berikut :
“…. dan membaca pada dua raka’at terakhir Fatihatul Kitab saja.” (HR. Bukhari I : 189, Muslim I : 191)
Jika jumlah raka’at hanya tiga (shalat Maghrib), setelah sujud kedua langsung tahiyyat akhir yang bacaannya sama dengan tahiyyat awal, hanya bisa ditambah dengan do’a (akan dijelaskan bacaan tahhiyat akhir pada raka’at keempat).
18. Raka’at keempat
Setelah sujud kedua raka’at ketiga, kita bangkit dan takbir tanpa mengangkat tangan. Bacaan dan caranya sama dengan raka’at ketiga. Hanya setelah sujud yang kedua kita duduk untuk tahhiyyat akhir dengan cara berikut :
- Kedudukan tangan sama dengan ketika tahiyyat awal.
-  Kedudukan kaki diterangkan :
   “… dan apabila beliau duduk pada raka’at terakhir (tahiyyat akhir), diulurkannya tapak kaki kirinya (ke sebelah kanan) dan ditegakkannya tapak kaki yang sebelah kanan (ujung jari-jarinya menghadap kiblat) dan beliau duduk di punggulnya.” (HR. Bukhari I : 201, Fiqhus Sunnah I : 145)
-  Pandangan mata pada saat tasyahdud (baik awal maupun akhir), diterangkan dalam hadits :
   Dari ‘Abdillah bin Zubair, dari bapaknya … pandangannya tidak melebihi isyaratnya (telunjuk waktu berisyarat/menggerakkan). (HR. Abu Dawud : 990 dan Nasa’i III : 29)
   Dalam keterangan lain disebutkan :
   Berkata Ibnu ‘Umar : “Rasulullah meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau mengisyaratkan (menggerakkan) telunjuknya pada arah kiblat dan beliau mengarahkan pandangannya pada jari telunjuk atau arahnya.” (HR. Nasa’i II : 237, Fiqhus Sunnah I : 144)
Setelah membaca tasyahdud (tahiyyat) dan shalawat sebagaimana tahiyyat awal, kita boleh memanjangkan do’a yang kita ajukan kepada Allah. Diantara do’a-do’a yang diajarkan Nabi saw. itu adalah sebagai berikut :
18.1.  Allahumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil qabri, wa a’uudzu bika min fitnatil mashiihid dajjaal, wa a’uudzu bika min finatil mahyaa wal mamaat, allahumma innii a’uudzu bika minal ma’tsami wal maghrami.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari adzab kubur. Aku berlindung diri kepada-Mu dari fitnah Masih Dajjal. Aku berlindung diri kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari berbuat dosa dan berhutang.”
           Do’a ini sering diucapkan oleh Rasulullah saw. Karena seringnya hingga ‘Aisyah bertanya kepada Nabi : “Gerangan mengapa engkau sering berdo’a minta perlindungan dari hutang, ya Rasulullah?” Nabi menjawab : “Sesungguhnya seseorang itu apabila berhutang, kalau bicara ia suka dusta dan kalau berjanji suka menyalahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18.2.  Allahumma innii a’uudzu bika min syarri maa ‘amiltu wa min syarri maa lam a’mal.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan apa yang kuperbuat dan dari kejelekkan apa yang tidak ku perbuat.” (HR. Nasai’i dengan sanad yang shahih)
18.3.  Allahumma haasibnii hisaabay yasiiraa.
           “Ya Tuhanku, hisablah aku dengan hisab yang ringan.” (HR. Ahmad dan Hakim, shahih)
18.4.  Allahumma bi ‘ilmikal ghaiba wa qudratika ‘alal khalqi ahyiinii maa ‘alimtal hayaata khairal lii, wa tawaffanii idzaa kaanatil wafaatu khairal lii. Allahumma wa as’aluka khasy-yataka fil ghaibi way syahaadati wa as’aluka kalimatal haqqi wal ‘adli fil ghadabi war ridhaa, wa as’alukal qashda fil faqri wal ghinaa wa al’aluka na’iimal laa yabiid, wa as’aluka qurrata ‘ainil laa tanqathi’u wa as’alukar ridhaa ba’dal qadhaa’i, wa al’aluka bardal ‘aisyi ba’dal mauti, wa as’aluka ladzdzatan nazhari ilaa wajhika wa as’alukasy syauqa ilaa liqaa’ika fii ghairi dharraa’i mudhirrah, wa laa fitnatim mudhillah, allahumma zayyinaa bi ziinatil iimaani waj’alnaa hudaatam muhtadiin.
           “Ya Tuhanku, dengan pengetahuan-Mu akan hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas makhluk ini, hidupkanlah aku yang menurut pengetahuan-Mu hidupku itu adalah baik bagiku dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik bagiku. Ya Tuhanku, aku meminta kepada-Mu supaya bisa takut kepada-Mu pada waktu tersembunyi dan pada waktu ramai. Aku meminta kepada-Mu beromong yang benar, jujur pada waktu marah dan senang. Aku meminta kepada-Mu untuk bisa sederhana, baik pada waktu miskin maupun pada waktu kaya. Aku minta kepada-Mu kenikmatan yang tiada hancur dan aku minta kepada-Mu kesejukkan mata yang tidak terputus-putus. Aku minta kepada-Mu kepuasan sesudah qadha dan aku minta kepada-Mu kesejukkan hidup sesudah mati. Aku minta kepada-Mu kesenangan melihat wajah-Mu dan aku minta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu dalam keadaan tidak susah yang menyusahkan dan tidak terdapat finah yang menyesatkan. Ya Tuhanku, hiasilah hidup kami ini dengan perhiasan iman dan jadikanlah kami pemimpin yang terpimpin.” (HR. Nasa’i dan Hakim, shahih)
18.5.  Allahumma innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, faghfir lii maghfiratam min ‘indik, warhamnii innaka antal ghafuurur rahiim.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan penganiayaan yang banyak, sedang tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau. Oleh karena itu, ampunilah aku dengan suatu pengampunan yang datangnya dari-Mu dan sayangilah aku karena sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18.6.  Allahumma innii as’aluka minal khairi kullihi ‘aajilihi wa aajilihi maa ‘alimtu minhu wa maa lam a’lam, wa a’uudzu bika minasy syarri kulihi ‘aajilihi wa aajilihi ma ‘alimtu minhu wa maa lam ‘alam, wa as’alukal jannata wa maa qarraba ilaihaa min qaulin au’amalin, wa ‘a’uudzu bika minan naari wa maa qarraba ilaihaa min qaulin au’amalin, wa as’aluka minal khairi maa sa’alaka ‘abduka wa rasuuluka muhammad, wa a’uudzu bika min syarri masta’aadzaka minhu ‘abduka wa rasuuluka muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa sallam, wa as’aluka maa qadhaita lii min amrin an taj’ala ‘aaqibatahu lii rusydaa.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu kebaikan semuanya, sekarang atau nanti, yang aku ketahui atau yang tidak kuketahui. Aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan semuanya, sekarang atau nanti, yang kuketahui atau yang tidak kuketahui. Aku minta kepada-Mu surga dan sesuatu yang mendekatkan ke surga, baik berupa omongan maupun perbuatan. Aku berlindung diri kepada-Mu dari neraka dan sesuatu yang mendekatkan ke neraka, baik berupa omongan maupun perbuatan. Aku minta kepada-Mu kebaikan yang pernah diminta oleh hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad dan aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan sesuatu yang pernah diminta perlindungannya oleh hamba-Mu suatu perkara yang telah Engkau tentukan kepadaku yang Engkau akan jadikan akibatnya itu sebagai satu pimpinan bagiku.” Do’a ini adalah do’a yang diajarkan Rasulullah saw. kepada ‘Aisyah r.a. (HR. Ahmad, Thasyalisi, Ibnu Majah, Hakim dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
18.7.  Allahumma innii as’aluka yaa allaahul ahadsuh shamad al-ladzii lam yalid wa lam yuulad wa lam yakul lahu kufuwan ahad an taghfiraa lii dzunuubii innaka antal ghafuurur rahiim.
           “Ya Tuhaku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu, ya Allah, Dzat Yang Esa, yang menjadi tempat bergantung, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tiada satupun (mkhluk) yang sama dengan Dia, kiranya Engkau dapat mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Mahabelas kasih.” Do’a ini semula diucapkan oleh salah seorang sahabat. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. sendiri mendengarnya, lalu dipujinya orang itu dengan sabadany : “Sungguh Allah telah mengampuni dia. Sungguh Allah telah mengampuni dia.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Hakim)
18.8.  Allahumma innii as’aluka bi anna lakal hamd, laa ilaaha illaa anta wahdaka laa syariika lak, almannaan, yaa badii’as samaawaati wal ardhi, yaa dzal jalaali wal ikraam, ya hayyu yaa qayyuum, innii as’alukal jannata wa a’uudzu bika minan naar.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu, karena sesungguhnya bagi-Mulah segala puji. Tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau Yang Esa, yang tiada sekutu bagi-Mu, Mahamurah, wahai Dzat Pencipta langit dan bumi, waha Dzat yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang Maha hidup dan berdiri sendiri. Sesungguhnya aku minta kepada-Mu surga dan aku berlindung diri kepada-Mu dari neraka.” Do’a ini juga semula diucapkan oleh salah seorang sahabat, kemudian ketika Rasulullah saw. mendengarnya, ia bertanya kepada para sahabatnya : “Tahukah kalian apa yang ia katakan dalam do’anya itu?” Mereka menjawab : “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu”. Rasulullah kemudian menjelaskan : “Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaan-Nya, sungguh telah berdo’a dengan nama-Nya, Yang Maha Agung, yang apabila seseorang berdo’a dengan nama-Nya, pasti akan dikabulkan dan apabila dia minta, pasti diberi.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Setelah membaca tasyahdud atau do’a sebagai penutup shalat kita mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sebab salam merupakan penghalalan shalat. Hal ini diterangkan :
Dari ‘Ali r.a., bahwa Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat itu bersuci, permulaannya takbir dan penutupnya adalah mengucapkan salam.” (HR. Syafi’i, Imam Ahmad, Al-Bazzar, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Tirmidzi) Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini paling shahih dan hasan di antara hadits lainnya yang berkenan dengan masalah ini. Imam Hakim dan Ibnu Sakan pun menshahihkannya.
Cara bacaan salam yang diajarkan Rasul adalah : Dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwa Nabi saw. biasa mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sehingga terlihat warna putih pipinya (dengan ucapan) : “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah, assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah.” (HR. Imam Ahmad, At-Thahawi, Abu Dawud, Tirmidzi, Imam Nasa’i, Ibnu Majah) Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Dalil tersebut dikuatkan dengan hadits :
Dari Sa’ad bin Waqqash r.a., ia berkata : “Aku telah melihat Rasulullah saw. mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sehingga aku dapat melihat warna putih pipinya.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah, Daraquthni, Ibnu Hibban, Al-Bazzar)
Atau mengucapkan salam dengan sempurna.
Dari Wa’il bin Hujr r.a., ia berkata : “Aku pernah mendirikan shalat beserta Nabi saw. Ternyata Nabi saw. salam ke kanan dengan mengucapkan ‘Assalaamu ‘alaikum warahmutullahi wabarakaatuh’ (Semoga salam sejahter dicurahkan kepada kamu sekalian. Demikian pula rahmat dan berkah dari Allah swt.’), sedangkan ketika salam ke kiri beliau mengucapkan ‘Assalaamu ‘alaikum warahmatullah’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tata cara shalat itu adalah :
1.   Suci dari hadats besar dan kecil (dengan wudhu, tayammum dan mandi);
2.   Niat untuk shalat (bukan talafudz bin niyat dengan membaca ushalli) sebagaimana diterangkan : “Sesungguhnya amalah itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari);
3.   Pakaian, tempat dan badan harus suci dari najis;
4.   Menghadap kiblat;
5.   Mengangkat tangan (takbiratul ihram);
a.   Jari tangan direnggangkan;
b. Tapak tangan sejajar dada atau sejajar daun telinga atau sejajar pundak.
c.  Tapak tangan dihadapkan ke arah kiblat;
6.   Memeluk hasta tangan kiri oleh tapak tangan kanan antara susu dan pusar;
7.   Membaca do’a iftitah;
8.   Membaca ta’awwudz, Fatihah dan surat (reka’at pertama);
9.   Takbir waktu ruku’ dengan mengangkat kedua tangan, kedudukan tangan sama dengan ketika takbiratul ihram;
10. Bacaan ruku’
11. Mengangkat dua tangan, bangkit dari ruku’, sambil membaca sami’allaahu li man hamidah dan rabbanaa wa lakal hamdu;
12. Takbir ke sujud dengan tidak mengangkat tangan;
a. Mendahulukan lutut, kemudian tapak tangan sampai ke lantai;
b. Tujuh anggota badan menyentuh lantai : dahi, hidung, dua tapak tangan dan dua lutut;
c.  Jari kaki dihadapkan ke kibalat (lipat);
d. Dua tumit kaki dilekatkan;
e. Hasta tidak dikepitkan ke rusuk dan tidak dihamparkan ke lantai (seperti menghamparkan anjing), siku diangkat sedikit;
13. Membaca bacaan dalam sujud;
14. Membaca bacaan waktu bangkit dari sujud tanpa angkat tangan;
15. Membaca bacaan waktu bangkit dari sujud dan meletakkan kedua tangan di atas paha yang sesuai;
16. Takbir waktu sujud tanpa mengangkat tangan;
17. Membaca bacaan dalam sujud;
18. Takbir, bangkit dari sujud tanpa mengangkat tangan; Untuk raka’at kedua, ketiga dan seterusnya tidak ada :
a. Takbiratul ihram;
b. Do’a iftitah;
c.  Ta’awwudz;
Tetapi ada :
a. Tahiyyat awal pada raka’at kedua;
b. Tahiyyat akhir pada raka’at terakhir yang lebih dari dua rakaat atau yang dua raka’at;
c.  Takbir mengangkat tangan waktu akan memulai raka’at ketiga;
d. Bacaan waktu berdiri pada raka’at ketiga dan atau keempat hanya Fatihah saja (tanpa surat);
e. Saat tahiyyat menggoyangkan telunjuk, baik awal maupun akhir;
f.  Salam ke kanan dan ke kiri;
g. Khusus raka’at ketiga dan keempat hanya Fatihah saja tanpa membaca surat.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan