بسم الله الرحمٰن الرحيم
إنَّ الحمدَ للَّهِ
نحمدُهُ ونستعينُهُ ونستغفرُهُ ونعوذُ باللَّهِ من شرورِ أنفسنا ومن سيِّئاتِ
أعمالنا ، من يَهدِهِ اللَّهُ فلاَ مضلَّ لَهُ ومن يضلل فلاَ هاديَ لَهُ وأشْهدُ
أن لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وحدَهُ لاَ شريكَ لَهُ وأنَّ محمَّدًا عبدُهُ ورسولُهُ
أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله وأحسن الهدي هدي محمد وشر
الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
70 RIBU JENIS HIJAB
Kenapa Tuhan Yang Maha Kuasa memberi keterbatasan pada
manusia sehingga manusia tidak mampu langsung “melihat” Nya? Itu disebabkan
karena kebanyakan mata manusia tidak mampu melihat betapa luar biasa “CAHAYA”
yang terpancar pada Dzat-Nya. Hanya manusia yang berusaha keras ingin melihat,
dan sudah memiliki PERSIAPAN KHUSUS yang mampu untuk melihat CAHAYA MAHA
CAHAYA. Kecuali bila Anda diijinkan Tuhan melalui jalan pintas.
Dia akhirnya tersungkur, pingsan, tidak sadarkan diri,
ekstase saat ingin melihat Dzat-nya yang sangat terang. Matanya nyaris buta
bila dia tidak pingsan. Bahkan bisa-bisa langsung lenyap tanpa bekas. Menjadi
arang bahkan debu pun saya rasa masih luar biasa.
Dialah Nabi Musa atau Moses –begitu orang Barat menyebut – saat menantang agar Tuhan menampakkan diri dalam wujud fisik. Bayangkan saja bagaimana bila kita melihat matahari dalam jarak ratusan kilometer sebagaimana jarak Musa melihat Tuhan? Pasti Musa akan terbakar habis, bis! Itu hanya satu matahari, bagaimana bila …dua…tiga…empat… semilyar sinar matahari yang kekuatan membakarnya dijadikan satu?
Sejatinya, Tuhan adalah Dzat yang Bukan Maha Pembakar.
Dia adalah Maha Lembut dan Welas Asih, sehingga akhirnya dia menyapa Musa dengan bahasa kasih sayang. Tuhan memberikan cara untuk melihat-Nya: Hai Musa, Kau harus ekstase!. Musa hanya diminta untuk tidak menyadarkan “diri” yang masih diliputi oleh tirai kemanusiaan. Diri yang belum siap untuk bertatap “MUKA” dengan-NYA.
Bagaimana sesungguhya kehebatan CAHAYA TUHAN? Dalam Kitab
Suci disebutkan dengan bahasa analogi, bahasa perumpamaan, agar manusia
berpikir. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA-NYA adalah
ibarat misykat. Dalam misykat itu ada PELITA. PELITA itu ada dalam KACA. KACA
itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati.
Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat. Yang minyaknya hampir-hampir
menyala dengan sendirinya, walaupun tidak ada API yang menyentuhnya. CAHAYA DI
ATAS CAHAYA! ALLAH menuntun kepada CAHAYA-NYA, siapa saja yang Ia kehendaki.
Dan ALLAH membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh ALLAH mengetahui segala
sesuatu. (QS AN NUR, 35).
Kenapa Tuhan membuat perumpamaan dengan MISYKAT, KACA, PELITA, MINYAK DAN POHON? Jawaban ini tercantum dalam Hadits: Allah mempunyai tujuh puluh hijab (Tirai Penutup) CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya.
Masalah utama dalam untuk mengenali Dzat Tuhan yang tidak terbatas adalah ilmu dan pengetahuan dan akal kita sebagai manusia yang terbatas. Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.
Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki,
bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak
terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud
nir-batas? Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan
memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk
mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.
Dari sisi lain, wujud tanpa batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah TUHAN SEMESTA ALAM. Sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas. Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan?
Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin, sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya. Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh: Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: “Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah”. Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Tuhan.
Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang DZAT YANG TANPA BATAS melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil. Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal.
Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat. Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia?
Ketika kita mengarahkan pikiran ke arah realitas DZAT TUHAN,
kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan
mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk
menyentuh hakikatnya adalah tertutup. Itulan sebabnya, DZAT TUHAN dalam kitab
suci hanya dipaparkan dalam bahasa perumpamaan saja. Namun perumpamaan dalam
kitab suci, kita yakin bukan asal perumpamaan.
Perumpamaan ini hanya bisa bisa diinterpretasi dengan akal yang panjang dan hati nurani yang bersih, bening, tenang dan ikhlas. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jalan atau cara untuk sampai pada pintu Tuhan, selanjutnya Bertemu dan Mampu untuk “melihat” Dzat-Nya?
Pada artikel saya terdahulu telah disebutkan bahwa jalan untuk menuju Tuhan adalah perjalanan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, kotoran, nafsu-nafsu kemanusiaan sehingga kita akhirnya hati kita benar-benar bersih, berkilau dan akhirnya memiliki MATA HATI YANG BISA MELIHAT DZAT-NYA. Nurani yang terkoneksi secara otomatis sehingga “KEMANA KAU MENGHADAP DISITULAH WAJAH ALLAH.”
Sekarang, marilah kita menganalisa secara lebih detail apa saja HIJAB/ PENGHALANG/ TABIR PENUTUP/ DINDING yang harus dilewati oleh para pejalan sunyi yang dengan gigih ingin bertemu, bertamu, dan melihat WAJAHNYA YANG MAHA INDAH….
70 RIBU HIJAB
Dalam Hadits disebutkan sebagai berikut: Allah mempunyai tujuh puluh (riwayat lain menyebut tujuh ribu, tujuh puluh ribu) hijab CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya. Berarti manusia dari awalnya berstatus MAHJUB: dalam keadaan tertutupi dinding/hijab dari Tuhan. Manusia tidak mampu melihat TAJALLI pada Dzat-Nya (Tajalli: Menyatakan diri setelah hijab-Nya terbuka/tersingkap.
Dari TUJUP PULUH HIJAB tadi, menurut Al Ghazali bisa
dikategorikan menjadi TIGA. PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. KEDUA,
YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. KETIGA, YANG
TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA.
PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. (1). Tidak yakin
ADA Tuhan (ATEIS).
(2). Yakin penyebab segala sesuatu BERASAL DARI MATERI, DAN DARI ALAM.
(3). Sibuk dengan
DIRI SENDIRI, tidak sempat mempertanyakan penyebab
terwujudnya alam semesta. Terlena dengan HAWA NAFSU, sebagaimana Rasulullah SAW
bersabda: “Hawa Nafsu adalah sesembahan yang paling dibenci oleh Allah SWT.”
Ketiga hijab ini memiliki banyak varian lagi.
KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN
KEGELAPAN. Kegelapan berasal dari INDERA, Kegelapan berasal dari DAYA KHAYAL,
Kegelapan berasal dari RASIO/ AKAL YANG SALAH.
(1). Menyembah BERHALA hingga percaya TUHAN BERJUMLAH DUA ATAU BANYAK. Termasuk percaya alam semesta itu Tuhan Yang Maha Indah. Percaya bahwa Tuhan bisa dilihat (mahsus). Mereka yang terhijab oleh CAHAYA KETINGGIAN, KECEMERLANGAN, KEKUASAAN, yang kesemuanya memang CAHAYA-CAHAYA ALLAH SWT (seperti menyembah bintang). Percaya bahwa Tuhan itu adalah Matahari, Tuhan adalah semua hal yang bercahaya> percaya bahwa Tuhan adalah CAHAYA MUTLAK YANG MENGHIMPUN SEMUA CAHAYA. Masih banyak lagi variasi hijab tingkat ini.
(2). Menganggap Tuhan bertubuh, yakin bahwa keberadaan Tuhan BISA DITUNJUKKAN di arah tertentu misalnya DI ATAS, termasuk mereka yang percaya bahwa Tuhan berada di luar alam dunia atau di dalam dunia. Sesungguhnya mereka ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang dapat dicerna akal adalah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.
(3). Mereka yang menyimpulkan dengan akal namun salah KESIMPULAN. Menyimpulkan bahwa Tuhan memiliki sifat mendengar, melihat, mengetahui, menghendaki sesuai dan menyetarakan dengan sifat-sifat manusiawi. Sifat Tuhan adalah sama seperti sifat manusia. Masing masing memiliki variasi hijab.
KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA. Kategori
ketiga ini berjumlah sangat banyak, namun untuk mempermudah bisa dipilah sbb:
(1). Mengetahui benar-benar sifat-sifat Allah SWT tidak sama dengan manusia,
(2). Percaya penggerak semua benda planet ini adalah malaikat yang berjumlah banyak. Percaya bahwa Ar Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara) adalah Penggerak seluruh benda. Padahal, Ia wajin DINAFIKAN DARI SEGALA BENTUK KEMAJEMUKAN.
(3). Percaya bahwa Perbuatan MENGGERAKKAN BENDA-BENDA SECARA LANGSUNG sepantasnya merupakan bentuk PELAYANAN KEPADA TUHAN. Percaya bahwa TUHAN MAHA PENGATUR ini adalah memiliki penggerak utama lagi dengan cara mengeluarkan perintah bukan menangani secara langsung. Ringkasnya, mereka yang masih terliputi HIJAB TINGKAT TINGGI ini terhijab oleh CAHAYA-CAHAYA MURNI.
(4). Ini adalah hijab bagi ORANG-ORANG YANG TELAH SAMPAI DI AKHIR PERJALANAN (Al Washilun). Mereka percaya AL MUTHA (yang ditaati) ini, bagaimanapun juga masih memiliki sifat yang berlawanan dengan KEESAANNYA YANG MURNI DAN KESEMPURNAAN YANG MUTLAK. Padahal, YANG DITAATI/YANG DIPATUHI yaitu sesuatu yang menjadi penghubung antara Tuhan dengan alam semesta ini, dalam hubungannya dengan AL WUJUD AL HAQQ adalah seperti matahari dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api.
Ini juga hijab bagi mereka yang telah sampai di akhir
perjalanan. Yaitu pemahaman bahwa TUHAN ADALAH YANG MAHA TERSUCIKAN DARI
PARADIGMA KEMANUSIAAN, baik itu oleh mata maupun oleh mata hati. Mereka
mengalami keadaan yang menyebabkan TERBAKARNYA SEGALA YANG PERNAH DICERAP OLEH
PENGELIHATAN, lalu ia sendiri ikut larut kendati masih terus menatap KEINDAHAN
dan KESUCIAN disamping menatap dirinya sendiri dalam KEINDAHAN yang diraihnya
dengan telah mencapai HADRAT ILAHIYAH.
Selain itu, masih ada golongan kecil yang sebenarnya sudah sampai di akhir perjalanan spiritual namun ternyatan masih terhijab, yaitu mereka yang berada pada tingkat KHAWASUL KHAWAS (yang spesial di antara yang spesial). Mereka telah TERBAKAR oleh cahaya WAJAH-NYA dan telah TENGGELAM dalam gelombang KEAGUNGAN. Mereka tidak lagi memiliki perhatian pada diri sendiri, karena DIRI TELAH FANA! Tidak ada satupun yang ada kecuali YANG MAHA SATU DALAM KETUNGGALAN: Ini sesuai dengan Firman-Nya: SEGALA SESUATU BINASA KECUALI WAJAH-NYA.
Yang perlu diketahui, ada pula yang tidak menjalani pendakian atau MIKRAJ dengan cara setahap demi setahap untuk menyingkirkan hijab atau penghalang sebagaimana yang harus dilakoni oleh Nabi Ibrahim Khalilullah A.S. (Sahabat Tuhan). Ada yang cepat telah meraih MAKRIFAT yaitu mampu MENSUCIKAN TUHAN DENGAN CARA YANG BENAR. Mereka tiba-tiba bisa diserbu oleh TAJALLI ILAHI (Ketersingkapan Hijab di antara Tuhan dan manusia) sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang bisa dicerap oleh pengelihatan mata indera maupun mata hati sebagaimana jalan yang dilalui oleh Nabi Muhammad SAW, sang Habibullah (Kekasih Tuhan).
Apakah maksud hadis ini,
"Allah mempunyai 70 000 hijab cahaya dan gelap;
sekiranya Dia membuka hijab itu, maka Keagungan wajahNya nescaya
akan menelan tiap-tiap orang yang menelannya dengan pandangannya"
(Setengah mengatakan "70 000"
hijab, dan ada pula yang mengatakan "700" hijab).
Maka saya(Imam Ghazali) terangkan
demikian. Allah itu sendiri memang Agung dan Mulia. Hijab atau
tirai itu adalah berkaitan kepada mereka yang terdinding dengan Zat Yang Agung
itu. Ada tiga jenis hijab yang ada pada manusia iaitu;
- Gelap sebenarnya,
- Campuran gelap dengan cahaya,
- Cahaya sebenarnya.
Pecahan kepada ketiga-tiga jenis itu adalah banyak. Setakat itu sahaja yang dapat
kita petikkan. Boleh juga dibanyakkan atau dibilang-bilangkan
pecahan-pecahan ini kepada yang lain, tetapi tidak berapa yakin dengan
hasil bilangan dan penentuannya itu. Tidak ada siapapun yang tahu sama
ada ianya benar-benar boleh dipastikan atau tidak. Perkara menentukan
bilangan itu sebanyak "700" atau "70 000" adalah perkara
yang hanya kuasa Kenabian sahaja yang boleh mengetahuinya. Pada pendapat
saya(Imam Ghazali) bilangan-bilangan ini bukanlah perkara yang tetap kerana
selalu juga bilangan-bilangan disebut tanpa bermaksud untuk membatas atau
menghadkan bilangan itu, tetapi hanya bermaksud untuk menyebut
"banyak" sahaja. Allah lebih mengetahuinya.
Oleh itu perkara bilangan tersebut
adalah di luar keupayaan kita untuk menentukannya. Maka sekarang saya
akan terangkan tiga bahagian atau pecahan yang utama dan beberapa
pecahan-pecahan selanjutnya daripada tiga itu.
1. Mereka Yang Terhijab Oleh Yang Sebenarnya.
Bahagian pertama ialah mereka yang
terhijab atau terdinding oleh gelap yang sebenarnya. Mereka ini ialah
orang "Atheis" tidak percaya dengan Allah dan hari kemudian.
Inilah orang "yang kasih kepada kehidupan dunia ini lebih daripada
kehidupan akhirat"- (Al-Quran); kerana mereka tidak percaya
dengan apa yang akan datang kemudian.
Mereka ini pula terbahagi kepada
beberapa pecahan.
Pertama, mereka yang hendak
mencari sebab terhadap kehidupan di dunia ini dan mereka jadikan Alam Tabie ini
sebagai sebab. Tetapi Alam Tabie ini ialah satu sifat yang ada pada
benda-benda. Ianya pula adalah gelap kerana ia;
- tidak ada ilmu pengetahuan,
- tidak ada pandangan,
- tidak ada kesedaran terhadap diri sendiri,
- tidak ada kesedaran terhadap yang lain,
- tidak ada cahaya pandangan melalui perantaraan mata.
Kedua, mereka yang dipengaruhi oleh kepentingan diri sendiri dan tidak mahu mengetahui tujuan hidup ini. Mereka hidup sebagai kehidupan binatang. Hijab ini ialah diri mereka sendiri (self-centered ego) dan hawa nafsu gelap mereka itu. Tidak ada gelap yang lebih gelap daripada penghambaan kepada dorongan diri sendiri dan cinta diri sendiri.
Firman Allah yang bermaksud; "Tidakkah
engkau orang yang mempertuhankan diri?"-(Al-Quran); dan sabda Nabi
Muhammmad SAW.; "Mempertuhankan yang lain dari Allah, yang paling
dibenci ialah mempertuhankan diri sendiri".
Bahagian yang kedua ini boleh
dibahagi-bahagikan lagi kepada beberapa pecahan.
- Satu daripadanya ialah manusia yang menganggap dan berkeyakinan bahawa matlamat atau tujuan akhir hidup di dunia ini ialah untuk memuaskan hawa nafsu kebinatangan mereka sahaja, sama ada berkenaan dengan jantina(sex), atau makan-minum atau pun pakaian. Inilah hamba nafsu. Hawa nafsu itulah Tuhan mereka. Mereka percaya bahawa dengan memuaskan nafsu itu, mereka akan mendapat kebahagiaan. Inilah manusia yang merendahkan martabat mereka lebih rendah daripada martabat binatang. Adakah sesuatu yang lebih gelap daripada in????. Inilah orang yang dihijab sebenarnya.
- Satu lagi ialah golongan manusia yang menganggap matlamat akhir hidup ini ialah menakluk dan menguasai, seperti mengambil orang-orang tawanan, membunuh dan merampas. Demikian itulah anggapan orang-orang Arab, orang-orang Kurdi yang tertentu dan kebanyakan orang-orang yang jahil. Hijab pada mereka ialah sifat-sifat ganas dan garang. Sifat-sifat ini menguasai mereka. Mereka berasa senang hati dengan sifat-sifat mereka itu. Inilah orang-orang yang bersifat binatang. Mereka merendahkan martabat kemanusian mereka itu lebih rendah lagi daripada binatang.
- Satu golongan manusia ialah yang menganggap matlamat akhir hidup ini ialah kekayaan harta benda kerana kekayaan ini adalah alat untuk memuaskan tiap-tiap nafsu syahwat mereka. Mereka menghabiskan masa muda dan tenaga mereka dengan memperbanyakkan dan mengumpul harta kekayaan -wang ringgit, emas dan perak, tanah dan rumah yang indah, gedung-gedung besar dan lain-lain lagi. Mereka mengumpul dan menyimpan wang ringgit sebanyak-banyaknya. Mereka bertungkus lumus siang dan malam di mana sahaja untuk memperbanyakkan harta dengan puas-puasnya. Apa yang ada itu nampak sedikit dan mereka terus mencari lagi tanpa berhenti dan berpuas hati. Inilah orang-orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah "orang malang, hamba orang!!!, orang malang, hamba emas!!". Adakah gelap yang lebih gelap daripada ini?" Mereka telah dibutakan oleh emas dan perak. Mereka tidak sedar bahawa emas dan perak itu adalah jenis logam yang tidak berguna jika semata-mata untuknya sahaja. Logam yang tidak lebih daripada batu-batu atau logam lainnya. Emas dan perak hanya bernilai jika ia dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang berfaedah dan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang berguna.
- Golongan keempat ialah yang lebih buruk lagi. Mereka ialah manusia-manusia yang menganggap bahawa kebahagiaan itu ialah dengan mencapai kemasyhuran diri, mencari "nama" dan memperluaskan pengaruh sampai ramai orang yang menjadi pengikutnya serta menyanjungnya. Mereka sentiasa berlagak dan melihat bayangan dirinya dalam cermin. Ada yang mencurahkan wang ringgitnya membeli pakaiannya yang indah-indah sampai bagus dipandang orang dan disaksikan kecantikkannya itu, meskipun ia menderita kekurangan dan dapur tidak berasap di rumahnya.
Banyak lagi jenis-jenisnya yang terhijab ini. Semua mereka itu terhijab dari Allah
dengan hijab yang paling gelap dan mereka sendiri pun gelap. Cukuplah
dengan beberapa jenis dan misalan yang saya beri itu. Tidak perlulah
diterangkan tiap-tiap semua jenis itu lagi. Satu daripada jenis yang
patut kita terangkan di sini ialah orang-orang yang mengucap dengan lidah
mereka kalimah "Syahadah" kerana disebabkan oleh ketakutan atau
bertujuan untuk mengemis daripada orang-orang Islam atau untuk bermuka-muka
dengan orang-orang Islam, atau hendakkan pertolongan kewangan dari
orang-orang Islam atau hendak menyokong pendapat nenek-moyang mereka secara
fanatik.
Jika kalimah syahadah itu tidak boleh merevolusikan atau
mengubahkan perangai seseorang itu supaya berbuat amal kebaikan, maka itu
bererti mereka belum lagi keluar dari gelap dan masuk ke dalam lingkungan
cahaya. Begitu juga wali-wali iblis yang membawa mereka keluar dari
cahaya masuk ke dalam lingkungan gelap. Tetapi bagi orang yang telah
dipengaruhi sebenar-benarnya kalimah itu dan ia beramal sholeh dan meninggalkan
dosa maksiat, maka inilah orang keluar dari dalam gelap meskipun mungkin ia
masih ada dosa.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan