AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Khamis, 16 April 2015

Perbandingan Antara Aqidah Wahabiyah Dan Aqidah Yahudi

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


Perbandingan Antara Aqidah Wahabiyah Dan Aqidah Yahudi



Aqidah Wahabiyah  Dan Aqidah Yahudi

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada sayyidina Muhammad al Amin dan para keluarga serta para sahabatnya yang baik nan shalih.

Sebagian orang telah ditimpa musibah berupa penyimpangan aqidah, menyesatkan dan bukan bagian dari ajaran Islam. Aqidah tersebut disebarkan atas nama agama sebagai kedok untuk mengelabuhi aqidah umat.

Jika mengingatkan orang lain dari  penjual yang menipu dalam jual belinya adalah kewajiban, maka mengingatkan umat dari orang yang menipu dalam agama mereka lebih wajib lagi. Karenanya, kami ingin menjelaskan aqidah-aqidah sekelompok orang yang kitab-kitabnya telah menyebar di antara kalangan awam. Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara mereka ada yang bersembunyi dibalik nama Islam, padahal mereka menentang Islam. Aqidah mereka dan aqidah Yahudi sama sebagaimana yang terdapat dalam karya-karya dan pemikiran mereka. Di antara mereka adalah golongan Wahabi sebagimana terbukti dengan jelas dalam dokumen-dokumen mereka dan fakta-fakta dari kitab-kitab mereka yang akan dikupas dalam kitab ini dengan jelas dan gamblang.

Peringatan penting: Wahabiyah mengingkari adanya madzhab wahabi atau kelompok yang disebut dengan wahabiyah, karena mereka mengetahui bahwa sejarah mereka penuh dengan kerusakan, penghancuran, aksi-aksi terorisme dan mereka mengklaim diri mereka dengan sebutan salafiyah.

Di antara bukti bahwa mereka adalah wahabiyah dan bahwa nama wahabiyah memang identik dengan kelompok mereka adalah pengakuan mereka dalam kitab yang mereka sebarkan dengan judul Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab Aqidatuhu as-Salafiyyah wa Dakwatuhu al Islamiyah karya Ahmad ibn Hajar Al Buthami salah seorang da’i mereka di Qatar dan juga seorang qhadi di sana. Buku tersebut diberi kata pengantar oleh Abdul Aziz ibn Abdullah ibn  Baz cetakan II 1393 H, dicetak oleh Syarikat Mathabi’ al Jazirah hal. 105 disebutkan beberapa pernyataan sebagai berikut: “Ketika bertemu dengan orang-orang Wahabi di Makkah, orang-orang Islam wahabiyah telah mampu mendirikan negara Islam atas dasar ajaran wahabi, dan mereka beragama Islam menurut madzhab Wahabi.”

Bukti lain yang menguatkan hal ini terdapat dalam kitab Muhammad ibn Jamil Zainu seorang pengajar wahabi di Makkah yang berjudul Qutuf min as-Syamail al Muhammadiyah cetakan Dar as Shahabah. Kitab tersebut didistribusikan di Lebanon oleh sebuah organisasi yang bernama Jam’iyah an-Nur wa al Iman al Khairiyah al Islamiyah.. Pada hal. 67 dengan bangga menyebut nama Wahabiyah, ia mengatakan: “Wahabi berasal dari nama al Wahhab yang  merupakan salah satu nama dari nama Allah”.

Sungguh, ia telah melakukan kebohongan, sebab Wahabiyah adalah nama yang diadopsi dari nama Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Pengakuan mereka juga menjadi bukti bahwa agama yang mereka anut adalah agama Wahabi dan mereka menamakan gerakan mereka dengan al Harakah al Wahabiyah sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam sebuah kitab karya salah seorang pemuka mereka  Muhammad Khalil Harras yang berjudul al Harakah al Wahabiyah cetakan Dar al kitab al Arabi yang banyak memuat pembelaan terhadap wahabiyah dan menyebutnya dengan nama dakwah wahabiyah, lihat hal. 37.

Jelas bahwa mereka sendiri dan dengan tulisan mereka atau para pemukanya bahwa merekalah golongan wahabiyah. Maka waspadalah terhadap mereka meskipun mereka sering berganti nama akan tetapi mereka sebenarnya satu dan mengemban misi yang sama. Semoga Allah melindungi negara ini dari fitnah mereka.

Jadi, wahabiyah adalah musuh umat Islam dan antek-anteknya orang-orang kafir.


Muqaddimah
Pergulatan Ahlul Haq vs Ahlul  Bathil

Sesungguhnya tujuan utama musuh-musuh Islam sejak munculnya dakwah yang dibawa Nabi Muhammad adalah menghancurkan umat Islam, menyulutkan perselisihan di antara mereka, mendiskreditkan dan bahkan mereka ingin menghabiskan umat Islam. Ekspansi para penjajah bertujuan untuk menghancurkan umat Islam.  Peran Yahudi sangat nampak dalam menyebarkan tipu daya dan menebarkan benih-benih perpecahan di antara umat Islam dari dulu hingga sekarang.

Dari sini, muncul gerakan ekstrim yang berkedok Islam pada paruh kedua abad 20 sejalan dengan rencana jahat musuh-musuh Islam untuk menghancurkan dan melemahkan serta menanam benih-benih perbedaan di antara umat Islam.  Lebih tepatnya kita katakan bahwa gerakan ekstrim ini adalah fokus utama dalam politik “belah bambu” para penjajah.

~~~~

Strategi Musuh-musuh Islam

Metode dan cara yang digunakan musuh-musuh Islam dalam memerangi umat Islam sangatlah beragam. Akan tetapi yang paling berbahaya adalah meracuni aqidah umat Islam dengan jalan menggunakan atribut-atribut Islam. Mereka didik orang-orang yang mengaku muslim, mereka sulap menjadi ulama gadungan untuk merusak agama umat Islam. “Robot-robot” mereka inilah  yang kemudian mengelabuhi umat Islam dengan menyebarkan aqidah yang sesat dan menyimpang bersembunyi dibalik nama ilmu dan ulama.

Metode inilah intisari pembahasan kita, kami sertakan juga pembahasan tentang sebagian oknum dan jama’ah yang menjadi “boneka” Yahudi dan musuh Islam lainnya untuk menebarkan racun-racun mereka di tengah-tengah masyarakat muslim. Kita bisa melihat jelas kesamaan gerakan ekstrim ini dengan Yahudi dalam keyakinan dan strategi pengkafiran kelompok yang menentang  aqidah mereka, padahal mereka mengklaim bahwa mereka adalah “al Firqah an-Najiyah” (golongan yang selamat) dan hanya merekalah umat Islam pada masa sekarang. Pada pembahasan berikut akan kita jelaskan ekstrimisme gerakan ini  dan perkembangannya dalam masyarakat Islam sebagai bentuk permusuhan dengan Islam.

~~~~

Al Qur’an Membuka “Borok” Yahudi
Dan Menjelaskan Kesesatan Mereka

Al Qur’an al karim yang diturunkan kepada Rasul terakhir Muhammad r menyebutkan tentang Yahudi dan menjelaskan “borok” serta kesesatan mereka dalam beberapa surat maupun ayat, terutama ayat-ayat yang memuat tentang pendustaan mereka terhadap ayat–ayat al Qur’an, pembunuhan  terhadap para Nabi dan orang-orang mukmin. Dengan demikian mereka adalah musuh-musuh Allah, para nabi-Nya dan musuh-musuh orang-orang mukmin. Kekufuran mereka tidak perlu diperdebatkan lagi terutama bagi orang-orang yang memiliki pemahaman dan keimanan sebagaimana hal tersebut diterangkan dalam banyak ayat-ayat al Qur’an dan akan kita sebutkan sebagiannya saja.

Dalam surat al Baqarah Allah ta’ala berfirman tentang Yahudi:

ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْاوَكَانُوا يَعْتَدُونَ (البقرة: 61)

Maknanya: “Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan, demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas”

Dalam surat Ali ‘Imran Allah Azza wajalla berfirman tentang mereka:

إِنَّ الَّ‍ذِينَ يَكْفُرُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (ءال عمران: 21)

Maknanya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka berilah mereka kabar gembira bahwa mereka akan menerima siksa yg pedih”.

Allah juga berfirman:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ (المائدة: 78)

Maknanya: “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam, yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas”.

Allah juga berfirman:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا (المائدة: 82) 

Maknanya: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”.

Setelah penjelasan tentang status Yahudi di dalam al Qur’an, berikut ini perbandingan antara aqidah Yahudi dan aqidah Neo-khawarij (Wahabiyah) dan yang seaqidah dengan mereka. Semuanya akan dibahas beserta referensi dari kitab-kitab, media cetak dan buletin-buletin mereka dilengkapi dengan nama kitab, pengarang, penerbit dan nomor hal. serta tanggal penerbitannya. Sehingga kita obyektif dalam menilai mereka berdasarkan apa yang terlontar dari mulut mereka, hasil karya pena-pena mereka dan didanai oleh harta mereka serta dikampanyekan oleh para pengikut mereka.

Sebelum kita memulai menjelaskan Aqidah Yahudi musuh Allah, dan aqidah Wahabiyah, kita mulai dengan pasal pertama yang memaparkan tentang aqidah para nabi, para malaikat, para wali dan mayoritas umat Islam, sebagai peringatan sekaligus perisai bagi para pembaca dari aqidah-aqidah yang menyimpang. Semoga kita senantiasa mendapatkan petunjukNya hingga meninggal dunia.

~~~~

Aqidah Munjiyah
(Aqidah Penyelamat)

Ketahuilah bahwa aqidah umat Islam baik yang salaf maupun khalaf meyakini bahwa Allah subhanahu wata’ala pencipta alam semesta ini. Allah tidak membutuhkan selainNya maha kaya dari segala sesuatu. Setiap kita membutuhkan kepada Allah, dalam sekecil apapun pasti kita membutuhkan pertolonganNya. Allah ta’ala tidak membutuhkan seorangpun dari makhlukNya. Allah tidak mengambil manfaat dari ketaatan hambaNya dan juga tidak takut bahaya atas kemaksiatan mereka. Tuhan kita tidak membutuhkan tempat untuk ditempati, Dia bukan jisim dan bukan jauhar (benda). Setiap gerakan, diam, pergi, datang, berada pada tempat, berkumpul dan berpisah, dekat dan jauh dari segi jarak, melekat dan berpisah, berbentuk, jasad, gambar, bertempat, ukuran, sisi-sisi, batas akhir dan arah seluruhnya tidak boleh disifatkan pada Allah ta’ala, karena keseluruhannya mengharuskan ukuran, batas akhir dan bentuk sedangkan sesuatu yang memiliki ukuran atau bentuk pasti makhluk. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّا كُلَّ شَىْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ (القمر: 49)

Maknanya: “Dan segala sesuatu diciptakan Allah dengan ada ukurannya”.

Setiap sesuatu yang terbersit dalam benak berupa panjang, lebar, kedalaman, warna, dan bentuk maka niscaya pencipta alam semesta berbeda dengan itu semua. Allah ta’ala mustahil mempunyai sifat yang sama dengan sifat benda, ukuran, dan tempat karena Dzat yang tidak ada serupaannya tidak boleh dikatakan bagaimana Dia, Dzat yang tidak memiliki bilangan tidak dikatakan berapa Dia, Dzat yang tidak ada permulaan baginya tidak dikatakan tentangnya dari apa Dia,  dan Dzat yang ada tanpa tempat tidak dikatakan di mana Dia. Sesungguhnya Dzat yang menciptakan tempat tidak dikatakan di mana, dan Dzat yang menciptakan sifat makhluk tidak dikatakan bagaimana.

Allah ta’ala maha suci dari sifat membutuhkan, lemah, dan sifat yang menunjukkan ketidak sempurnaan. Maha suci dari anggota badan dan alat, anggota badan yang kecil (lisan, mata, telinga dll), diam, bergerak, tidak layak bagi Allah ukuran dan batasan, Allah tidak diliputi oleh bumi-bumi ataupun langit-langit, tidak boleh baginya warna dan persentuhan dan tidak berlaku baginya zaman dan waktu. Allah tidak berlaku bagiNya  berkurang dan bertambah, tidak diliputi oleh arah yang enam sebagaimana yang dimiliki keseluruhan makhluk. Allah ada tanpa batasan, disifati tanpa sifat makhluk, tidak tergambarkan oleh benak, Dzat yang tidak dapat dipikirkan oleh akal, dan tidak menyerupai manusia. Dia ada tanpa ada yang menyerupaiNya satupun dari makhlukNya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala pencipta alam semesta seluruhnya, alam atas dan bawah, bumi dan langit, maha kuasa  terhadap sesuatu yang dikehendaki Nya, melakukan sesuatu berdasarkan apa yang Ia kehendaki, ada sebelum adanya makhluk tidak ada bagiNya sebelum dan tidak setelah, tidak berada di atas juga tidak di bawah, tidak di kanan juga tidak di kiri, tidak di depan dan tidak di belakang, bukan keseluruhan juga bukan sebagian, tidak berukuran panjang dan tidak lebar. Allah ada tanpa tempat, Dialah yang menciptakan alam dan mengatur zaman, tidak berada pada satu tempat dan tidak terikat oleh zaman Allah tidak mempunyai batasan sehingga dapat dibatasi, bukan sesuatu yang bisa diraba sehingga bisa disentuh, Dia tidak bisa dipegang, disentuh dan diraba.
 Setiap sifat pada jisim dan benda mustahil bagi Allah ta’ala. Dan setiap sifat yang termaktub dalam al Qur’an atau sunnah sebagai sifat Allah ta’ala maka kita meyakininya sebagaimana adanya dengan makna yang layak bagi Allah ta’ala tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa serupaan.
Tidak diperbolehkan memahami ayat dan hadits mutasyabihat secara dhahirnya, barang siapa yang melakukan itu maka ia telah mendustakan al Qur’an dan keluar dari ijma’ umat Islam.

Syaikh al Islam al Hafidz al Baihaqi –semoga Allah merahmatinya- mengatakan tentang hal itu: “Secara umum wajib diketahui bahwa istiwa’ Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah istiwa’ lurus dari bengkok, tidak bersemayam pada suatu tempat, dan tidak menempel pada sesuatu dari makhlukNya akan tetapi Allah istawa ‘ala al Arsy sebagaimana Dia kabarkan tanpa disifati dengan sifat makhluk dan tanpa tempat. Maji’Nya bukan datang dari satu tempat ke tempat lain dan bukan bergerak. Nuzulnya bukan dengan berpindah, Dzatnya bukanlah jisim, wajhNya bukanlah bentuk/gambar, yadNya bukanlah anggota badan dan bahwa ‘ain Nya bukanlah kelopak mata. Sifat-sifat ini tauqifi, maka kita mengimaninya dan menafikan penyerupaannya dengan sifat makhluk. Allah ta’ala telah berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌ (الشورى: 11)      

Maknanya: “Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dari satu segi maupun semua segi”.

Allah juga berfirman:

وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ (الإخلاص: 4)

Maknanya: “Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Allah juga berfirman:

هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا (مريم: 65)

Maknanya: Tidak ada serupa bagi-Nya (Allah).[1]

Qadhi ‘Iyadh al Maliki menyebutkan bahwasanya tidak ada perbedaan pendapat di antara umat Islam seluruhnya baik ahli fikihnya, ahli haditsnya, ahli kalamnya, yang berilmu dan atau yang hanya muqallid bahwa makna-makna dhahir ayat yang menyebut Allah di langit seperti firman Allah ta’ala:

ءَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ اْلأَرْضَ (الملك: 16)

dan semacamnya, bukan diartikan secara dhahirnya, akan tetapi harus ditakwil sebagaimana ijma’ para ulama.[2]
Ibn Al Jauzi al Hanbali:

وَإِنَّمَا تُضْرَبُ الأَمْثَالُ لِمَنْ لَهُ أَمْثَالٌ كَيْفَ يُقَالُ لَهُ كَيْفَ وَالْكَيْفُ فِي حَقِّهِ مُحَالٌ أَنَّى تَتَخَيَّلُهُ الأَوْهَامُ وَكَيْفَ تَحُدُّهُ العُقُولُ

“Yang diserupakan adalah sesuatu yang memiliki serupaan, ditanya bagaimana bagi yang mempunyai kaif (sifat makhluk) dan itu mustahil bagi Allah, bagaimana mungkin dapat  dibayangkan dan dipikirkan”.

Beliau juga mengatakan:

مَا عَرَفَهُ مَنْ كَيَّفَهُ وَلاَ وَحَّدَهُ مَنْ مَثَّلَهُ وَلاَ عَبَدَهُ مَنْ شَبَّهَهُ الْمُشَبِّهُ أَعْشَى وَالْمُعَطِّلُ أَعْمَى

“Tidaklah mengenal Allah orang yang mensifatiNya dengan sifat makhluk, tidaklah metauhidkanNya orang yang menyerupakan-Nya, tidaklah menyembahNya orang yang mensekutukanNya, orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya bagaikan orang yang tidak melihat di malam hari dan orang yang mengingkariNya bagaikan orang buta”.[3]

Dalam kitab al Fatawa al Hindiyah disebutkan:

يَكْفُرُ بِإِثْبَاتِ الْمَكَانِ للهِ تَعَالَى 

“Orang yang menetapkan tempat bagi Allah ta’ala maka ia telah kafir.”[4]

Dalam kitab al Minhaj al Qawim Syarh Syihab al Din Ahmad Ibn Hajar al Haitami ‘ala al Muqaddimah al Hadramiyah disebutkan:

وَاعْلَمْ أَنَّ الْقَرَافِيَّ وَغَيْرَهُ حَكَوْا عَنِ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ وَ أَحْمَدَ وَأَبِي حَنِيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمُ الْقَوْلَ بِكُفْرِ الْقَائِلِيْنَ بِالْجِهَةِ وَالتَّجْسِيْمِ وَهُمْ حَقِيْقُوْنَ بِذلِكَ

“Dan ketahuilah bahwa al Qarafi[5] dan lainnya meriwayatkan dari as Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -semoga Allah meridhai mereka- pendapat atas kekufuran orang-orang yang mengatakan Allah berarah dan berjisim dan mereka benar dalam hal itu”.”[6]

Senada dengan pernyataan di atas, perkataan imam Ja’far as Shadiq –semoga Allah meridhainya-:

مَنْ زَعَمَ أَنَّ اللهَ فِي شَىْءٍ أَوْ عَلَى شَىْءٍ أَوْ مِنْ شَىءٍ فَقَدْ أَشْرَكَ إِذْ لَوْكَانَ فِي شَىْءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْكَانَ عَلَى شَىْءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا

“Barang siapa yang menyangka bahwa Allah dalam sesuatu atau di atas sesuatu atau dari sesuatu maka dia telah syirik karena apabila berada di dalam sesuatu maka Ia terbatas dan apabila di atas sesuatu berarti Ia terangkat dan apabila dari sesuatu maka Ia makhluk”.[7]

Inilah aqidah yang benar, ijma’ ulama dalam hal ini juga dikutip oleh imam al Haramain Abul Ma’ali Abdul Malik[8] dalam kitabnya al Irsyad, dia mengatakan:

مَذْهَبُ أَهْلِ الْحَقِّ قَاطِبَةً أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى يَتَعَالَى عَنِ التَّحَيُّزِ وَالتَّخَصُّصِ بِالْجِهَاتِ

“Madzhab Ahlussunnah seluruhnya bahwa Allah subahanahu wa ta’ala maha suci dari tempat dan dari berada pada arah”.[9]

Al Imam al Kabir Abdul Qahir ibn Thahir at Tamimi al Baghdadi mengatakan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ

“Dan mereka (Ahlussunnah) telah berijma’ bahwasanya Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku bagiNya zaman”.[10]

Al Hafidz Abul Hasan al Asy’ari, imam Ahlussunnah Wal Jama’ah - semoga Allah meridhainya- mengatakan dalam kitabnya an Nawadir:

مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ اللهَ جِسْمٌ فَهُوَ غَيْرُ عَارِفٍ بِرَبِّهِ وَإِنَّهُ كَافِرٌ بِهِ

“Barang siapa yang meyakini bahwa Allah itu jisim maka dia tidak mengenal Tuhannya dan dia kafir kepadaNya”.[11]

Al Imam al Mutawalli as Syafi’i dalam kitabnya al Ghunyah mengatakan:

أََوْ أَثْبَتَ مَا هُوَ مَنْفِيٌّ عَنْهُ بِالإِجْمَاعِ كَالأَلْوَانِ أَوْ أَثْبَتَ لَهُ الاِتِّصَالَ وَالاِنْفِصَالَ كَانَ كَافِرًا

“Atau menetapkan sifat yang dinafikan dari Allah secara ijma’ seperti warna atau menetapkan ittishal (menempel) dan infishal (berpisah) pada Allah maka dia kafir”.[12]

Gurunya para guru sufi dan ulamanya ahli hakikat dan tarekat Sayyid Ahmad ar Rifa’i al Kabir –semoga Allah merahmatinya- mengatakan:

غَايَةُ الْمَعْرِفَةِ بِاللهِ الإِيْقَانُ بِوُجُوْدِهِ تَعَالَى بِلاَ كَيْفٍ وَلاَ مَكَانٍ

“Batas akhir ma’rifat kepada Allah adalah meyakini tanpa ragu akan adanya Allah ta’ala tanpa disifati dengan sifat makhluk dan ada tanpa tempat”.[13]

Syekh Abdul Ghaniy an Nabulsiy[14] mengatakan:

مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ اللهَ مَلأَ السَّمٰوَاتِ وَالأَرْضَ أَوْ أَنَّهُ جِسْمٌ قَاعِدٌ فَوْقَ الْعَرْشِ فَهُوَ كَافِرٌ وَإِنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ

“Barang siapa yang meyakini bahwa Allah memenuhi langit dan bumi atau bahwa Dia adalah jisim yang duduk di atas Arsy maka dia kafir meskipun ia menganggap dirinya muslim”.[15] 

Para ulama Salaf dan khalaf telah bersepakat bahwa barang siapa yang meyakini bahwa Allah berada pada arah maka dia kafir sebagaimana dijelaskan oleh al Iraqi. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Abul Hasan al Asy’ari dan al Baqillani sebagaimana disebutkan oleh Mulla Ali al Qari.[16] Inilah aqidah ulama Islam baik salaf maupun khalaf dan ini adalah aqidah seluruh umat Islam di negara Hijaz, Indonesia, Malaysia, India, Banglades, Pakistan, Turki, Maroko, negara-negara Syam, Mesir, Yaman, Irak, Sudan, Afrika, Daghistan, Cechya, Bukhara, Jurjan, Samarqand dan lainnya. Umat Islam berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat, tanpa arah dan tanpa disifati dengan sifat makhluk. Sedangkan Wahabiyah, mereka meyakini tasybih, tajsim pada Allah ta’ala seperti yang akan pembaca lihat sendiri kata-kata keji yang mereka gunakan atau yang akan pembaca ketahui setelah membaca keseluruhan pembahasan ini persamaan aqidah dan pemikiran antara Yahudi dan Wahabiyah. Bahkan dengan kata-kata yang sama ketika menisbatkan duduk, suara dan mulut kepada Allah, semoga Allah melindungi kita.

Salah seorang pengikut mereka yang bernama Abdurrahman ibn Said Dimasyqiyah berkebangsaan Lebanon dalam sebagian kitabnya yang dicetak dengan dana dari pemuka Wahabiyah terang-terangan mengatakan bahwasanya tidak boleh dikatakan bahwa Allah tidak berubah dan menuduh orang yang mengatakan itu sebagai ahli bid’ah. Semoga Alah melindungi kita dari pemahaman picik mereka. Setiap orang yang berakal mengetahui bahwa berubah adalah bukti baharu. Bahkan para ulama mengatakan bahwa berubah adalah tanda paling nyata bahwa sesuatu itu makhluk. Karenanya umat Islam mengatakan: “Maha suci Allah yang merubah dan Dia tidak berubah”.

Setelah penjelasan aqidah munjiah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah tentang Allah, tiba gilirannya untuk mulai menyebutkan dan menuturkan aqidah Wahabiyah dan aqidah Yahudi disertai perbandingan di antara keduanya berdasarkan literatur mereka, agar pembaca mengetahui persamaan aqidah Wahabiyah dengan aqidah Yahudi.

Catatan Kaki:

[1] Al Baihaqi, al Iqtiqad wa al Hidayah, hal. 72

[2] Disebutkan oleh al Nawawi dalam Syarh  Muslim, (Beirut: Dar al Fikr), juz.5, hal.24

[3] Ibn al Jawzi al Hanbali, al Mudhisy, (Dar al Jil), hal.131

[4] Al Fatawa al Hindiyah, (Dar ihya’ al Turats al Arabi), juz.2, hal 259

[5] Al Qarafi, nama lengkapnya adalah Syihabuddin Ahmad ibn Idris ibn Abdirrahman Abul Abbas Syihabuddin as Shanhaji al Qarafi. Dilahirkan di Mesir tahun 684 H, meskipun aslinya beliau berasal dari Shanhajah Maroko. Beliau adalah seorang ahli fikih bermadzhab Maliki dan salah satu imam dalam bidang tafsir, hadits, ilmu logika, ilmu kalam, nahwu dan ushul. Di antara para gurunya adalah al ‘Iz Ibn Abdisssalam, Jamaluddin Ibn al Hajib, Syamsuddin al Idrisiy, dan lainnya. Beliau adalah pemimpin para ulama Malikiyah pada masanya dan termasuk ulama yang paling mulia pada abad ke tujuh di Mesir. Di antara karya tulisnya adalah Tanqiihul Fushul fi ikhtishari al Mahshul (ushul fiqh), Nafaisul Ushul, Anwaru al Buruq fi Anwai al Furuq, al Qawa’id as Sunniyah fi al Asrar al Fiqhiyah, Syarh at Tahdzib, al Ajwibah al Fakhirah ‘ala al As-ilah al Fajirah dan lainnya.

[6] Lihat kitabnya hal. 224

[7] Disebutkan oleh al Qusyairi dalam Risalahnya.

[8] Imam al Haramain, nama lengkapnya adalah Abdul Malik ibn Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad al Juwaini an Naisaburi as Syafi’i al Asy’ari. Terkenal dengan nama Abu al Ma’ali dan gelarnya Dhiyau ad-Din. Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bergelar Imam al Haramain karena beliau pernah tinggal di Makkah selama 4 tahun dan di Madinah untuk mengajar dan berfatwa sebelum kemudian pulang ke Naisabur untuk mengajar di Madrasah Nidzamiyah selama 30 tahun. Di antara karya tulisnya adalah al Irsyad fi al Kalam, al Irsyad fi al Ushul, al Asalib fi al Khilafat, Madarik al ‘Uqul, Nihayat al Mathlab fi Dirayati al Madzhab, al Waraqat fi al Ushul, Mughits al Khalqi fikhtiyari al Ahaq dan lainnya.  Wafat pada usia 59 tahun  tanggal 25 H Rabi’ul Akhir tahun 478 H dan dimakamkan di Naisabur.

[9] Imam al Haramain, al Irsyad, hal. 58

[10] Abd al Qadir al Baghdadi, al Farq bain al Firaq, hal.333

[11] Al Asy’ari, al Nawadir

[12] Disebutkan oleh al Nawawi dalam al Raudhah, (Beirut: tt), Juz. 10, hal. 64

[13] Al Rifa’i, al Burhan al Muayyad

[14] Abdul Ghani an Nabulsi, nama lengkapnya adalah Abdul Ghani ibn Ismail ibn Abdul Ghani ad Dimasyqi al Hanafi. Lahir di Damskus pada 1050 H /1641 M, sempat berpindah-pindah tempat seperti Hijaz, Mesir, Palestina sebelum kemudian menetap di Damaskus. Selain seorang ulama, beliau juga seorang sufi dan penyair yang memiliki banyak karya tulis, di antaranya Idhah al Maqshud min Wahdat al Wujud, Ta’thir al Anam fi Ta’bir al Manam, Mandzumah Asma al Husna, al Fath ar-Rabbani wa al Faidh al Rahmani, Asrar as Syari’ah dan lainnya. Wafat pada tahun 1143 H/ 1730 M di Damaskus.

[15] Al Nabulsi, al Fath al Rabbani, hal.124

[16] Lihat Mulla Ali al Qari, Syarh al Misykat, (Beirut: Dar al Fikr), Juz. 3, hal. 300


 Apakah pandangan Majlis Fatwa Kebangsaan berkenaan golongan Wahabi? Adakah golongan yang berzikir dan berdoa secara sendiri-sendiri selepas solat itu Wahabi?
 
PENJELASAN:

Aliran Wahabi bukanlah satu mazhab akan tetapi satu bentuk gerakan pemikiran agama yang banyak dipegang oleh ulama-ulama Haramayn (Mekah dan Madinah) kontemporari mengikuti pendekatan yang diambil oleh Muhammad bin Abd Wahhab (m.1792). Dari segi mazhab , mereka lebih hampir dengan mazhab Hanbali walaupun dari beberapa segi mereka lebih ketat dan keras.
 
Dalam sejarah tradisi ilmu Islam, aliran Wahhabi bukanlah mewakili arus perdana mazhab Ahl Sunnah wa al-Jamaah kerana sejak seribu tahun lebih, aliran yang menjadi peneraju kepada pentafsiran Ahl Sunnah wa al-Jamaah dalam bidang akidah ialah Asha’irah dan Maturidiyah, manakala dalam bidang fiqh ialah empat mazhab utama iaitu Shafi’i, Hanafi, Maliki dan Hanbali.
 
Dari segi pendekatan ilmiah, aliran Wahabi membawa pendekatan yang agak sempit dengan metodologi harfiah (literal) yang mereka ambil dalam memahami sumber agama khususnya al-Qur’an. Justeru itu, sebahagian dari pandangan mereka dalam agama bersifat agak keras terutama terhadap orang yang tidak mengambil pendekatan mereka. Pendekatan sebegini akhirnya telah membawa kepada kecenderungan untuk mudah mengeluarkan orang Islam dari lingkungan agama yang tidak sealiran dengan aliran Wahabi.
 
Contoh perbezaan pandangan golongan Wahabi yang agak jelas ialah pandangan mengenai sunnah dan bid’ah. Berdasarkan makna literal beberapa hadis Nabi, mereka menganggap bahawa setiap amalan ibadat yang tidak mengikuti secara langsung cara yang dibawa oleh Nabi saw, dianggap bid’ah dan terkeluar dari Islam.
 
Justeru itu banyak amalan dan pegangan yang telah diamalkan oleh masyarakat Islam telah dianggap terkeluar dari agama Islam oleh golongan Wahabi. Pendekatan ini telah menyebabkan perpecahan di kalangan sebahagian masyarakat yang telah lama mempunyai kesatuan dalam ibadat menurut pentafsiran imam-imam muktabar dalam mazhab Shafi’i dan dalam akidah menuruti aliran al-Ash’ari dan al-Maturidi.
 
Banyak persoalan yang bersifat khilafiah telah diangkat dan dianggap sebagai perkara usul sehingga menjadi permasalahan dalam masyarakat, seperti larangan doa qunut, wirid dan berdoa secara berjamaah selepas solat, tahlil, berzanji, qasidah, burdah, membaca yasin pada malam jumaat, perayaan maulid, kesemuanya ditolak atas nama bid’ah yang sesat. Ini sama sekali tidak selari dengan pemahaman sunnah dan bid’ah yang sebenar dalam Islam dan juga tidak bertepatan dengan semangat ilmiah dalam tradisi Islam yang membenarkan perbezaan pandangan dalam persoalan khilafiah.
 
Dalam konteks tasawuf, mereka amat keras membid’ah amalan-amalan tariqat, amalan wirid dan selawat yang dilakukan oleh golongan sufi. Dalam akidah, mereka membid’ahkan ajaran tauhid berdasarkan sifat yang kesemuanya dipelopori oleh ulama-ulama berwibawa dalam aliran Ahl Sunnah wa al-Jama’ah.
 
Contoh lain perbezaan pemahaman aliran Wahabi ialah pendekatan mereka dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an seperti ayat berkaitan ‘tangan dan wajah Allah’, istiwa’ dan lain-lain. Dengan mengisbatkan secara literal ayat-ayat ini dan menolak sama sekali pendekatan ta’wil yang juga salah satu pendekatan yang diambil oleh ulama salaf dan khalaf, ia membawa kepada kecenderungan tajsim (kefahaman Allah berjism) dan tashbih (kefahaman Allah menyamai makhluk) terutama kepada mereka yang berfahaman simplistik berkaitan isu tersebut.
 
Ramai ulama-ulama yang telah mengkritik dan menghujah aliran Wahabi termasuk saudara kandung Sheikh Muhammad Abdul Wahhab sendiri iaitu Sheikh Sulayman Abd Wahhab dalam kitabnya bertajuk al-Sawa’iq al-Ilahiyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah. Antara ulama-ulama lain ialah Sayyid Ahmad Ibn Zaini Dahlan (m.1886) Mufti Mekkah dan Shaykh al-Islam dalam kitabnya al-Durar al-Saniyyah fi al-Radd ‘ala al-Wahhabiyyah dan Dr. Sa’id Ramadhan al-Buti dalam karyanya al-Salafiyyatun Marhalatun Zamaniyyatun Mubarakatun la Mazhabun Islamiyyun.
 
Memandangkan Malaysia jelas mengambil pendirian sejak beratus tahun lalu bahawa aliran yang harus diikuti ialah mazhab Shafi’i dan dalam akidah aliran Ash’ari dan Maturidi dan ianya telah menghasilkan perpaduan yang utuh di kalangan umat Islam, baik dalam ibadah, muamalah dan lain-lain sehingga memberi ketenangan dan keharmonian dalam masyarakat dan negara, maka aliran Wahabi adalah tidak sesuai dalam konteks kefahaman dan amalan agama di Malaysia.
 
Manakala mereka yang berzikir secara sendiri-sendiri selepas solat tidak semestinya dari aliran Wahabi. Namun sekiranya mereka membid’ahkan orang yang berzikir secara berjamaah selepas solat berkemungkinan besar ia dari golongan tersebut.

 Wallahu A’lam.



1 ulasan:

  1. SAYA SEKELUARGA INGIN MENGUCAPKAN BANYAK TERIMAH KASIH KEPADA AKI NAWE BERKAT BANTUANNNYA SEMUA HUTANG HUTANG SAYA SUDAH PADA LUNAS SEMUA BAHKAN SEKARAN SAYA SUDAH BISA BUKA TOKO SENDIRI,ITU SEMUA ATAS BANTUAN AKI YG TELAH MEMBERIKAN ANKA JITUNYA KEPADA SAYA DAN ALHAMDULILLAH ITU BENER2 TERBUKTI TEMBUS..BAGI ANDA YG INGIN SEPERTI SAYA DAN YANG SANGAT MEMERLUKAN ANGKA RITUAL 2D 3D 4D YANG DIJAMIN 100% TEMBUS SILAHKAN HUBUNGI AKI NAWE DI 085-218-379-259

    BalasPadam