بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Praktik Perbankan di Zaman Nabi dan Sahabat
Aspek Hukum Perbankan
Secara umum, bank adalah lembaga keuangan yang melaksanakan tiga fungsi,
yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman
uang. Di dalam sejarah perekonomian umat islam, pembiayaan yang dilakukan
dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat islam
sejak zaman rasulullah. Praktik-pratik seperti menitipkan harta, meminjamkan
harta untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan
pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman rasulullah saw. Dengan
demikian. Fungsi-fungsi utama perbankan modern, yaitu menerima deposit,
menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan umat islam, bahkan sejak zaman Rasulullah.
Rasulullah yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat
makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke
Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan
itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat
memanfaatkan harta titipan.
Seorang sahabat Rasulullah saw, Zubair bin Awwam r.a., memilih tidak
menerima harta titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman.
Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan
mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkan,
kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikan nya
secara utuh. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ibnu Abbas r.a. juga pernah
melakukan pengiriman uang ke Kuffah dan Abdullah bin Zubair melakukan
pengiriman uang dari makkah ke adiknya Mis'ab bin Zubair r.a. yang tinggal di
Irak.
Pengunnan cek juga di kenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan
antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali dalam
setahun. Bahkan pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar bin al- Khatab r.a.
menggunakan cek untuk membayar kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan
cek ini,, mereka mengambil gandum di baitul mal yang ketika itu diimpor dari
Mesir. Disamping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil,
seperti mudharabah, muzara'ah, musaqoh, telah dikenal sejak awal di antara kaum
muhajirin dan kaum anshor.
Dan Rasulullah saw pun mejalankan praktisi itu sebelumnya, yaitu ketika ia
bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi) untuk Khadijah. Dan Khalifah
Umar bin Khatab menginvestasikan uang anak yatim kepada para saudagar yang
berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak. Kemitraan bisnis berdasarkan
system bagi hasil sederhana semacam ini terus dipraktekan selam berabad-abad
tanpa perlu perubahan bentuk sama sekali.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah
melaksakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun individu tersebut
tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan
fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam
meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam, ada yang
melaksankan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
SEJARAH
PERKEMBANGAN BANK SYARIAH DI DUNIA[1]
Sejak
awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan
renaissance Islam modern : neorevivalisme dan modernis. Tujuan utama dari
pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai
upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
berlandaskan Al-qur'an dan As-Sunnah.
Upaya awal penerapan sistem profit dan loss sharing tercatat di
Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana
jama'ah haji secara nonkonvesional. Rintisan Institusional lainnya adalah
Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.
Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, bank Islam tumbuh dengan
sangat pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahamad dan laporan
Internasional Association of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih
dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di
negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, mauoun Amerika.
Suaru hal yang patut juga di catat adalah saat ini banyak nama besar dalam
dunia keuangan internasional seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chase
Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang dan subsidiories
yang berdasarkan syariah.
- Mit Ghamr Bank
Rintisan perbankan
syariah muali mewujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social
bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang sungai
Nil lembaga ini mendapatkan bantuan dari Raja Faisal Arab Saudi. Lembaga dengan
nama Mit Ghamr Bank binaan Prof.Dr. Ahmad Najjar tersebut hanya beroperasi di
pedaesaan Mesir dan berskala kecil, namun institusi tersebut mampu menjadi
pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem finansial dan ekonomi
Islam.
- Islamic Development Bank
Pada sidang menteri
luar negeri negara-negara Organisasi Konfrensi Islam di Karachi, Pakistan,
Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan Bank syariah.
Proposal yang disebut Studi Pendirian Bank Islam Internasional untuk
perdagangan dan pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and
Development) dan proposal pendirian federasi Bank Islam (Federation of Islamic
Bank), dikaji oleh para ahli dari 18 negara Islam.
Proposal tersebut
pada Intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus diganti
dengan suatu sistem kerja sama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun
kerugian. Proposal tersebut
diterima. Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam Internasional dan
Federasi Bank Islam.
Perkembangan Bank
Syariah Dibeberapa Negara
- Pakistan
Pakistan merupakan
pelopor di bidang perbankan syariah. Pada awal Juli 1979,
sistem bunga di hapuskan dari opersonal tiga institusi : National Investment
(Unit Trust), House Building Finance Corporation (pembiayaan sektor perumahan),
dan Mutual Funds of the Investment Corporation of Pakistan (kerja sama
investasi). Pada tahun
1979-80, pemerintah mensosialisasikan skema pinjaman tanpa bunga kepada petani
dan nelayan.
Pada tahun 1981,
seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang perusahaan Mudharabah dan Murabahah,
mulailah beroperasi tujuh ribu cabang bank komersial nasional di seluruh
Pakistan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Pada awal tahun 1985, seluruh sistem perbankan Pakistan
dikonversi dengan sistem yang baru, yaitu perbankan syariah.
- Mesir
Bank syariah
pertama yang didirikan di Mesir adalah Faisal Islamic Bank. Bank ini mulai
beroperasi pada bulan maret 1978 dan berhasil membukukan hasil yang mengesankan
dengan total aset sekitar 2 miliar dolar AS. Selain Islamic Bank,
terdapat bank lain, yaitu Islamic International Bank of Investment and
Development yang beroperasi dengan menggunakan instrumen keuangan Islam dan
menyediakan jaringan yang luas. Bank ini beroperasi, baik sebagai bank
investasi (investment bank), bank perdagangan (merchant bank),
maupun bank komersial (commercial bank).
- Siprus
Faisal Islamic
Bank of Kirbis (Siprus) mulai beroperasi pada Maret 1983 dan mendirikan Faisal
Islamic Investment Corporation yang memiliki cabang di Siprus dan 1 cabang di
Istambul. Dalam sepuluh bulan awal operasinya, bank tersebut telah melakukan
pembiayaan dengan skema murabahah senilai sekitar sekitar TL 450 juta
(TL atau Turkey Lira, mata uang Turki).
Bank ini juga melaksanakan pembiayaan dengan skema musyarakah dan mudharabah,
dengan tingkat keuntungan yang bersaing dengan bank non syariah. Kehadiran
bank Islam di Siprus telah menggerakan masyarakat untuk menabung. Benk ini
beroperasi dengan mendatangi desa-desa, pabrik dan sekolah dengan menggunkan
kantor kas (mobil) keliling untuk mengumpulkan tabungan masyarakat. Selain
kegiatan-kegiatan di atas, mereka juga mengelolah dana-dana lain seperti al-qardhul
hasan dan zakat.
- Kuwait
Kuwait Finance
House didirikan pada tahun 1977 dan sejak awal beroperasi dengan sistem tanpa
bunga. Institusi ini memiliki puluhan cabang di Kuwait dan telah menunjukan
perkembangan yang cepat. Selama dua tahun saja, yaitu 1980 hingga 1982, dana
masyarakat yang terkumpul meningkat dari sekitar KD149 juta menjadi KD474 juta.
Pada akhir tahun 1985, total aset mencapai KD803 juta dan tingkat keuntungan
bersih mencapai KD17 juta (satu Dinar Kuwait ekuivalen dengan 4 hingga 5 dólar
US).
- Bahrain
Bahrain merupakan off-shore banking
heaven terbesar di Timur Tengah. Di negeri yang hanya berpenduduk tidak
lebih dari 660.000 jiwa (perDesember 1999) tumbuh sekitar 220 local dan off-shore
banks. Tidak kurang dari 22 di antaranya beroperasi berdasarkan syariah. Di
antara bank-bank yang beroperasi secara syariah tersebut adalah Citi Islamic
Bank of Bahrain (anak perusahaan Citi Corp.N.A), Faysal Islamic Bank
of Bahrain, dan al-Barakah Bank.
- Uni Emirat Arab
Dubai Islamic Bank merupakan salah satu
pelopor perkembangan bank syariah. Didirikan pada tahun 1975. investasinya
meliputi bidang perumahan, proyek-proyek industri, dan aktivitas komersial.
Selama beberapa tahun, para nasabahnya telah menerima keuntungan yang lebih
besar dibandingkan dengan bank konvensional.
- Malaysia
Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB)
merupakan bank syariah pertama di Asia Tenggara. Bank ini didirikan pada tahun
1983, dengan 30 persen modal merupakan milik pemerintah federal. Hingga akhir
1999, BIMB telah memiliki lebih dari tujuh puluh cabang yang tersebar hampir di
setiap negara bagian dan kota-kota Malaysia.
Sejak beberapa tahun yang lalu, BIMB
telah tercatat sebagai listen-public company dan masoritas sahamnya
dikuasai oleh Lembaga Urusan dan Tabungan Haji.
Pada tahun 1999, di samping BIMB telah
hadir satu bank syariah baru dengan nama Bank Bumi Putra Muamalah. Bank ini
merupakan anak perusahaan dari Bank Bumi Putera yang baru saja melakukan merger
dengan Bank of Commerce.
Di negeri jiran ini, di samping full
pledge islamic banking, pemerintah Malaysia memperkenankan juga sistem Islamic
Window yang memberikan layanan syariah pada bank konvensional.
- Iran
- Ide pengembangan perbankan syariah di Iran sesungguhnya bermula sesaat sejak Revolusi Islam Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada tahun 1979, sedangkan perkembangan dalam arti rill baru dimulai sejak Januari tahun 1984.
- Berdasarkan ketentuan/undang-undang yang disetujui pemerintah pada bulan Agustus 1983. Sebelum undang-undang tersebut dikeluarkan sebenarnya telah terjadi transaksi sebesar lebih dari 100 miliar rial yang diadministrasikan sesuai dengan sistem syariah.
- Islamisasi sitem perbankan di Iran di tandai dengan nasionalisasi seluruh industri perbankan yang dikelompokan menjadi dua kelompok besar. (1) perbankan komersial, (2) lembaga pembiayaan khusus. Dengan demikian, sejak dikeluarnya undang-undang perbankan Islam (1983), seluruh sistem perbankan di Iran otomatis beerjalan sesuai syariah di bawah kontrol penuh pemerintah.
- Turki
Sebagai negara
yang berideoligi sekuler, Turki termasuk negeri yang cukup awal memiliki
perbankan syariah. Pada tahun 1984, pemerintah Turki memberi izin kepada Daar
al-Maal al-Islam (DMI) untuk mendirikan bank yang beroperasi berdasarkan
perinsip bagi hasil. Menurut ketentuan Bank Sentral Turki, bank syariah diatur
dalam satu yurisdiksi khusus. Setelah DMI berdiri, pada bulan Desember 1984
didirikan pula Faisal Finance Institutiondan mulai beroperasi pada bulan April
1985. disamping dua lembaga tersebut, turki memiliki ratusan-jika tidak
ribuan-lembaga waqaf (vaqfi organiyasyonu) yang memberikan fasilitas
pinjaman dan bantuan kepada masyarakat.
PERKEMBANGAN BANK
SYARIAH DI INDONESIA[2]
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank
Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila
dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan syariah di
Indonesia akan terus berkembang. Bila pada priode tahun 1992-1998 hanya ada
satu unit bank syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia
telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha
syariah. Sementara itu, jumlah bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) hingga
akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.
Berdasarkan data bank Indonesia, prospek perbankan syariah pada tahun 2005
diperkirakan cukup baik. Indusri perbankan syariah diprediksi masih akan
berkembang dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada posisi
November 2004, volume usaha perbankan syariah telah mencapai 14,0 triliun
rupiah, dengan tingkat pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004 sebesar 88,6%,
volume usaha perbankan syariah di akhur tahun 2005 diperkirakan akan mencapai
sekitar 24 triliun rupiah. Dengan volume tersebut, diperkirakan industri
perbankan syariah akan mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industri perbankan
nasional dibandingkan sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan volume
usaha perbankan syariah tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit usaha
syariah yang baru dan pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dana pihak
ketiga (DPK) diperkirakan akan mencapai jumlah sekirat 20 triliun rupiah dengan
jumlah pembiayaan sekitar 21 triliun rupiah di akhir tahun 2005.
Sementara itu, riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada
tahun 2005 menunjukan bahwa total aset bank syariah di Indonesia diperkirakan
akan lebih besar dari pada apa yang diproyeksikan oleh Bank Indonesia. Dengan
menggunakan KARIM Growth Model, total aset bank syariah di Indonesia
diproyeksiakan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari industri perbankan
nasional. Model ini dikembangkan dengan pendekatan rational expectation atau
dengan memanfaatkan all relevan information available dan mensimulasikan
proyeksi pertumbuhan aset masing-masing BUS/UUS (organik) dan proyeksi BUS/UUS
baru (non-organik) yang kemudian dilahirkan agregasi pertumbuhan.
Tabel perbandingan
proyeksi aset bank syariah di Indonesia
Tahun
|
Proyeksi
aset
versi
KBC
(Rp
T)
Low
|
Proyeksi
aset
versi KBC
(Rp T)
High
|
Proyeksi
total
aset
bank
(Rp T)
|
Proyeksi
Porsi
aset
terhadap
aset
total
bank
versi
KBC
(Low)
|
Proyeksi
Porsi aset
terhadap
aset total
bank
versi
KBC
(Low)
|
Proyeksi
Porsi aset
terhadap
aset total
bank
versi
KBC
(Low)
|
2005
|
25
|
30
|
1300
|
1.92%
|
2.31%
|
1.85%
|
2006
|
40
|
50
|
1350
|
2.96%
|
3.70%
|
2.79%
|
2007
|
75
|
80
|
1400
|
5.36%
|
5.71%
|
3.94%
|
2008
|
100
|
120
|
1500
|
6.67%
|
8%
|
5.18%
|
2009
|
150
|
180
|
1600
|
9.38%
|
11.25%
|
6.45%
|
2010
|
200
|
220
|
1700
|
11.77%
|
12.94%
|
7.67%
|
2011
|
300
|
360
|
1800
|
16.67%
|
20%
|
9.10%
|
Setelah berdirinya 2
jenis bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah yaitu Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) dan Bank Muamalat Indonesia BMI sebagai bank umum. Lalu
disusulnya dengan disahkannya undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan
yang merupakan dari undang-undang yang berlaku sebelumnya yakni UU No.14 1967
tentang pokok-pokok perbankan.
Lahirnya undang-undang
No.7 Tahun 1992 tersebut, yang didalamnya telah memuat landasan hukum
beroperasinya bank syariah, dan menandai dimulainya babak baru bagi
perkembangan bank syariah di Indonesia. Khusus bagi umat Islam lahirnya
undang-undang perbankan tersebut jelas mempunyai makna tersendiri, karena
disamping lahirnya undang-undang tersebut tidak terlepas dari perjuangan umat
Islam yang sudah lama menginginkan adanya bank yang beroperasi.
Dalam undang-undang
tersebut pengaturan mengenai bank syariah baru dinyatakan secara implisit
dengan menggunakan istilah "bank berdasarkan prinsip bagi hasil ".
Namun terlepas dari berbagi kekurangan dan kelemahan pengaturan mengenai bank
syariah dalam undang-undang tersebut, secara yuridis ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut sudah dapat dijadikan landasan
hukum untuk mendirikan suatu bank yang beroperasi sesuai hukum Islam di
Indonesia.
Selanjutnya, pada
tahun 1998 disahkan undang-undang No. 10 1998 tentang perubahan atas
undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. undang-undang perbankan
tersebut merupakan amandemen dari undang-undang No. 7 1992.
Dalam undang-undang
tersebut terdapat beberapa perubahan yang tidak saja semakin mempertegas
eksistensi dan legitimasi bank syariah sekaligus juga memberikan peluang yang
lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah itu sendiri di Indonesia.
Perubahan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut dipertegas dalam pasal 1 ayat 3 dan 4
undang-undang tersebut yang menyebutkan dengan tegas istilah "bank berdasarkan
prinsip syariah". Pasal tersebut juga telah merinci dengan jelas landasan
hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan
oleh bank syariah sebagaimana diuraikan dalam pasal 1 ayat 13 dan pasal 6 serta
pasal 7, sekaligus juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk
membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank
syariah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 6 huruf M dan pasal 13 huruf C
undang-undang tersebut
BANK ISLAM DALAM TATA HUKUM PERBANKAN
INDONESIA
1.
Sistem Perbankan di Indonesia[4]
Menurut Emirzon
sistem perbankan itu adalah "suatu tatanan yang didalamnya terdapat
berbagai jenis bank yang terkait satu sama lain dan merupakan suatu kesatuan
dengan mengikuti suatu aturan tertentu". Sedangkan menurut Hermansyah
sistem perbankan itu adalah "suatu sistem yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses melaksanakan
keggiatan usahanya secara keseluruhan".
Berbicara mengenai
sistem perbankan di Indonesia tidak lain harus mengacu pada undang-undang No.
10 Tahun 1998. Mengacu pada undang-undang perbankan tersebut, salah satu
aspek yang perlu dipahami dalam sistem perbankan di Indonesia diakui adanya
bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah disamping perbankan
konvensional yang dikenal dengan istilah dual banking system.
2.Bank Syariah
Sebagai Bagian Yang Integral dari Perbankan Nasional
Dalam pasal 1 ayat
(3) dan (4) UU No.10 tahun 1998 yang menyatakan bahwa:
"Bank umum
adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkanprinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran"
Dalam pasal 1 ayat
(7) UU No.21 Tahun 2008 :
"Unit Usaha
Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank
Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja
di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah."
Dari ketentuan UU No.10 tahun 1998 pasal tersebut dapat dipahami bahwa suatu
bank, yakni bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dalam melaksanakan
kegiatan usahanya dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan
berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut,
suatu bank baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat, dalam hal
menjalankan fungsinya atau melaksanakan kegiatan usahanya ada dua pilihan,
yakni dapat dilakukan secara konvensional (sistem bunga) dan/atau berdasarkan
prinsip syariah. Hanya saja perbedaanya, bagi bank umum dalam melaksanakan
kegiatan usahanya diperkenankan memilih, yakni bisa melakukan kegiatan usaha
secara konvensional saja, atau dengan prinsip syariah saja, atau boleh juga
dengan menerapkan kedua-duanya secara berbarengan. Sedangkan bank perkreditan
rakyat hanya diperkenankan memilih salah satu dari kedua jenis kegiatan usaha
perbankan tersebut, yakni kegiatan usaha perbankan konvensional saja, atau yang
berdasarkan prinsip syariah saja. Namun dalam UU No.21 Tahun 2008 di pertegas
dengan dibuatnya UUS bagi Bank konvensional yang iingin melakukan kegiatan
usahanya dengan prinsip-prinsip syariah sebagi induk dari kantor atau unit yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Dengan diakuinya eksistensi bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah,
di samping yang beroperasi secara konvensional dalam UU perbankan tersebut,
maka dengan sendirinya dalam sistem perbankan nasional terdapat dua sistem bank
(dual banking system), yakni bank yang beroperasi secara prinsip syariah
dan bank yang beropersi secara konvensional. Dengan demikian kedudukan bank syariah tersebut tidak
lain merupakan bagian integral dari sistem perbankan nasional yang berlaku saat
ini.
Adapun konsekuensi dari kedudukan bank syariah tersebut yang merupakan bagian
dari sistem perbankan nasional, dalam operationalnya bank harus tunduk pada
ketentuan peraturan perundangan di bidang perbankan syariah itu sendiri, ia
juga harus tunduk pada segala aturan umum yang menjadi landasan hukum perbankan
nasional, kecuali hal-hal yang secara khusus ditentukan lain oleh UU Perbankan
tersebut.
- Pengaturan Bank Syariah dalam Undang-Undang Perbankan
Pada tanggal 16 Juli, disahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94. Inilah undang-undang yang yang spesifik mengatur tentang
perbankan syariah. Ini merupakan kebijakan publik yang menjadi payung hukum
yang kuat dalam operasional pebankan syariah di Indonesia.
UU Perbankan Syariah memberikan peluang aktivitas usaha bank syariah yang
lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan bank konvensional. Terdapat
usaha-usaha yang bisa dilakukan BUS dan tidak dapat dilakukan bank
konvensional. Perbankan syariah dapat menawarkan jasa-jasa lebih dari yang
ditawarkan oleh investment banking karena jasa-jasa bank syariah merupakan
suatu kombinasi yang dapat diberikan oleh commercial bank, finance company, dan
merchant bank.
Selain usaha komersial, bank syariah dapat pula menjalankan fungsi sosial
dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat,
infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
organisasi pengelola zakat, dan menghimpun dana sosial dari wakaf uang dan menyalurkannya
keada lembaga pengelola wakaf (nazhir) sesuai kehendak pemberi wakaf (wakif).
Dalam pasal 4 UU No.21 Tahun 2008 disebutkan :
(1) Bank Syariah
dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah
dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu
menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah
dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan
menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi
wakaf (wakif).
Hal ini yang membuat bank syariah menjadi bank yang unik jika dibandingkan
dengan bank konvensional karena selain mencari keuntungan dunia (profit) bank
juga sebagai fasilitator bagi nasabah untuk melaksanakan ibadah untuk
mendapatkan keuntungan akhirat.
- Sikap Undang-Undang perbankan mengenai Perbankan Islam[5]
Sekalipun Indonesia bukan negara Islam, yaitu negara yang berdasarkan hukum
Syariah, tetapi Indonesia adalah negara muslim, yaitu negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Sebagai negara muslim, kebutuhan bagi para
pendudukIndonesia yang muslim atau yang beragama Islam akan adanya suatu bank
yang berusaha dengan berlandaskan Prinsip syariah, suatu barang tentu sangat
diperlukan. Berkenaan dengan itu, Undang-undang No 7 Tahun 1992 jo
Undang-undang No 10 tahun 1998 menampung kebutuhan tersebut. Sekalipun bank
Islam di dalam Undang-undang tersebut tidak disebutkan sebagai suatu jenis bank
tersendiri di samping bank umum dan bank perkreditan rakyat, tetapi suatu bank
umum atau bank perkreditan rakyat boleh melakukan usahanya tiak berdasarkan
bunga, tetapi berdasarkan prinsip Syariah.
Dalam Undang-undang perbankan No 7 tahun 1992 belum disebutkan secara tegas
tentang keberadaan bank yang emlakukan kegiatannya berdasarkan prinsi Syariah.
Undang-undang tersebut hanya secara samar-samar memberikan indikasi mengenai
kemungkinan suatu bank memberikan fasilitas kredit dengan imbalan atau
pembagian hasil keuntungan ketika pasal 1 ayat (12) yang dimaksud dengan kedit
ialah :
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara pihak bank dan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam umtuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan.
Berbeda dengan sikap Undang-undang No 7 tahun 1992 yang diubahnya,
Undang-undang No 10 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1992
tentang perbankan mengakui secara tegas tentang pembiayaan berdasarkan prinsip
Syariah yang dapat dilakukan oleh suatu bank, baik bank umum maupun bank
perkreditan rakyat. Hal itu dapat diketahui dari bunyi pasal 1 ayat (12), pasal
6 huruf n, paal 7 huruf c, pasal 29 ayat (3), dan pasal (37) ayat 1 huruf c,
dan dipertegas dalam UU No.21 Tahun 2008 Pasal 19 dan 20
Pada saat ini bank Indonesia telah mengeluarkan surat keputusan Direksi
Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang bank umum
Berdasarkan Syariah dan No.32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah. Kedua surat keputusan direksi
Bank Indonesia tersebut, pedoman yang dpakai oleh BUS atau Bank Perkredian
rakat Syariah adalah peraturan pemerintah No.72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil
(PP No.72/1992). Peraturan pemerintah tersebut merupakan peraturan pelaksanaan
dari Undang-undang No7 tahun 1992 tentang perbankan. Marilah sejenak kita melihat bagaimana
PP No72 tahun 1992 tersebut mengatur bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Dalam pasal 1 ayat (1) PP No.72 tahun 1992 disebutkan
bahwa :
Bank berdasarkan
prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan
kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi
hasil.
Mengenai tentang prinsip bagi hasil itu disebutkan dalam pasal 3 PP No.72 tahun 1992 itu sebagai berikut :
(1) prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud daam pasal 1 ayat (1)
adalah prinsip bagi hasil berdasarkan Syariah yang digunakan yang digunakan
oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam :
a. menetapkan
imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya,
b. menetapkan imbalan
yang akan diterima sehubung dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam
bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja,
c. menetapkan
imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan olah bank
dengan prinsip bagi hasil.
(2) pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat
dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk
pula kegiatan usaha jual beli.
Pertanyaan yang timbul ialah, apakah suatu bank umum atau suatu bank
perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan bank yang berdasarkan bunga
sekaligus juga boleh melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip
Syariah? Sebaliknya pula, apakah suatu bank umum atau suatu bank
perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan bank berdasarkan prinsip Syariah
boleh pula melakukan kegiatan perbankan konvensional berdasarkan bunga?
Menurut pasal 6 PP No.72 tahun 1992, hal yang dipertanyakan itu tidak
mungkin dilakukan. pasal 6 PP No.72 tahun 1992 itu menentukan sebagai berikut:
1. bank umum atau bank perkreditan rakyat
yang kegiatan usahnya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak
diperkenanakan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil.
2. bank umum atau bank perkreditan rakyat
yang kegiatan usahnya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenanakan
melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Namun dengan berlakunya undang-undang No.10 tahun 1998, sebagaimana hal itu
ternyata dari penjelasan pasal 6 huruf (m), bank umum yamg melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dapat juga melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip Syariah, namun dilakukan oleh kantor cabang khusus
semata-mata melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah saja.dengan
kata lain, suatu cabang bank konvensional tidak boleh melaksanakan secara
berbarengan kegiatan usahaperbankan konvensional dan kegiatan usaha perbankan
berdasarkan Prinsip Syariah.
Sedangkan bank Umum yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah
(bank umum syariah) tidak di benarkan sama sekali untuk melakukan kegiatan
usaha secara konvensional, sekalipun kegiatannya itu dilakukan dengan cara
membuka suatu kantor cabang yang khusus hanya melakukan kegiatan usaha secara
konvensional. Dengan demikian, UU No.10 Tahun 1998 memberikan perlakuan yang
berbeda antara bank umum yang melakukan kegiatan usaha secar konvensional dan
benk umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 6 huruf
(m) tersebut.
Penertian bank umum dan bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 UU No. 10 Tahun 1998 mendukung pula penjelasan tersebut di atas.
Menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Perbankan, bank umum didefinisikan sebagai
berikut :
Bank umum adalah
bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan
Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Dari pengertian mengenai bank umum sebagaimana dikemukakan di atas dapat diketahui
bahwa bank umum boleh memilih untuk melakukan jenis kegiatannya, yaitu hanya
melakukan kegiatan usaha perbankan konvensional saja, atau berdasarkan Prinsip
Syariah saja atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Namun sebagaimana telah
diterangkan dari penjelasan pasal 6 huruf (m) diatas, apabila bank umum yang
melakukan kegiatan usaha perbankan konvensional juga ingin melakukan kegiatan
usaha perbankan berdasarkan Prinsip Syariah, bank umum tersebut harus
melakukannya dengan membuka cabang khusus untuk melakukan kegiatan tersebut.
Dengan kata lain, bank umum konvensional boleh membuka double window,
yaitu conventional window dan Islamic window, namun tidak boleh
mencampuradukan keduia window itu dalam suatu kantor cabang bank yang
bersangkutan.
KESIMPULAN
Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah
Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila
dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, perbankan syariah di
Indonesia akan terus berkembang. Bila pada priode tahun 1992-1998 hanya ada
satu unit bank syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia
telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha
syariah. Sementara itu, jumlah bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) hingga
akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.
Berdasarkan data bank
Indonesia, prospek perbankan syariah pada tahun 2005 diperkirakan cukup baik.
Indusri perbankan syariah diprediksi masih akan berkembang dengan tingkat
pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada posisi November 2004, volume usaha
perbankan syariah telah mencapai 14,0 triliun rupiah, dengan tingkat
pertumbuhan yang terjadi pada tahun 2004 sebesar 88,6%, volume usaha perbankan
syariah di akhur tahun 2005 diperkirakan akan mencapai sekitar 24 triliun
rupiah. Dengan volume tersebut, diperkirakan industri perbankan syariah akan
mencapai pangsa sebesar 1,8% dari industri perbankan nasional dibandingkan
sebesar 1,1% pada akhir tahun 2004. Pertumbuhan volume usaha perbankan syariah
tersebut ditopang oleh rencana pembukaan unit usaha syariah yang baru dan
pembukaan jaringan kantor yang lebih luas. Dana pihak ketiga (DPK) diperkirakan
akan mencapai jumlah sekirat 20 triliun rupiah dengan jumlah pembiayaan sekitar
21 triliun rupiah di akhir tahun 2005.
Wallahu Al'lam bissowaf semoga bermanfaat Amin .
Tiada ulasan:
Catat Ulasan