Pengertian Tahaluf Siyasiy (Koalis)
بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Pengertian Tahaluf Siyasiy (Koalis)
Koalisi secara bahasa berasal dari serapan bahasa Inggris, coalition yang artinya penggabungan, penyatuan. Dalam KBBI Online pun disebutkan bahwa koalisi: kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen.[1]
Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition
diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party
artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121). Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare,
artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan
sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan
beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang
dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).[2]
Pengertian koalisi tersebut sepadan dengan istilah at-tahâluf as-siyâsiy yangsecara etimologi dari kata al-hilf:
الحِلْفُ العَهْد يكون بين القوم
“Al-Hilf: perjanjian di antara kaum.” [3]
Lebih rinci, Imam Ibn al-Atsir pun mendefinisikan al-hilf:
أصل الحِلْف: المُعاقَدةُ والمعاهدة على التَّعاضُد والتَّساعُد والاتّفاق
“Asal-usul kata al-hilf: saling mengikat dan mengadakan perjanjian dalam hal bekerja sama, tolong menolong dan kesepakatan.”[4]
Adapun istilah at-tahâluf, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan:
التحالف : حلف كل واحد من الفريقين
“At-Tahâluf: yakni kesepakatan satu sama lain di antara dua pihak (atau lebih).”[5]
Realitas
koalisi dalam politik praktis saat ini, dilakukan oleh sejumlah parpol
yang bersepakat dan bekerja sama membangun suatu pemerintahan. Koalisi
yang ada adalah koalisi memilih Capres dan Cawapres beserta perangkatnya
yang faktanya bertugas menegakkan sistem Demokrasi dan sistem hukum
positif.
Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam
Islam
adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk hukum
berkoalisi yang realitasnya adalah bekerja sama mengangkat penguasa
beserta perangkatnya yang menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem
hukum jahiliyah, maka hukumnya haram secara syar’i.
Sebagian perinciannya sebagai berikut:
Pertama, Larangan
berhukum dengan selain hukum Islam (hukum jahiliyah) (lihat: QS.
Al-Ahzâb [33]: 36, QS. al-Mâ’idah [5]: 44; 45; 47, -) dan kewajiban
berhukum dengan hukum Islam (lihat: QS. an-Nisâ’ [4]: 65, QS. al-Mâ’idah
[5]: 48, QS. Al-Baqarah [2]: 208, QS. An-Nûr [24]: 51, -) dan nash-nash
lainnya disertai banyak sekali penjelasan para ulama mengenai ini.
Kedua, Keharaman
tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka meskipun koalisi
tersebut dibangun oleh partai-partai “berbasis massa islam”, jika
berkoalisi (saling tolong menolong) mengangkat penguasa yang menegakkan
Demokrasi, sistem hukum jahiliyah maka hukumnya tetap haram karena nyata
bekerja sama dalam kemungkaran.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)
Ayat yang
mulia ini jelas mengharamkan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.
Tuntutan dalam ayat ini pun tegas berdasarkan indikasi “sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
Imam Ibnu
Katsir menjelaskan ayat di atas: “Allah Swt. telah memerintahkan kepada
para hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong dalam mengerjakan
perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (at-taqwa). Allah Swt. juga melarang mereka untuk tolong-menolong dalam kebatilan (al-bâthil), dalam dosa (al-ma’âtsim) dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-mahârim).”[6]
Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam- menegaskan:
لاَ حِلْفَ فِي الإِسْلام
“Tidak boleh ada perjanjian (yang batil) dalam Islam.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).[7]
Al-Hafizh Nawawi memaknai hadis itu dengan menyatakan:
فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ
“Yang dimaksud dengan hilf[un]
yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling
mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling
dipersaudarakan oleh Rasulullah -shallallaahu 'alayhi wa sallam-] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syariah.”[8]
Imam Ibn al-Atsir ketika menjamak dua kelompok hadits mengenai hilf (yang seakan bertentangan) menuturkan:
يريد من
المُعاقدة على الخير ونُصْرَة الحق، وبذلك يجتمع الحديثان، وهذا هو الحِلْف
الذي يَقْتَضِيه الإسلام، والمَمْنُوع منه ما خالف حُكْم الإسلام
“(Islam)
menghendaki (mewajibkan) akad saling mengikatkan diri adalah dalam
kebaikan dan menolong kebenaran, dan itu (disimpulkan) dari
dikumpulkannya dua kelompok hadits, dan inilah perjanjian (koalisi)yang
dituntut oleh Islam, adapun perjanjian (koalisi) yang dilarang dalam
Islam adalah yang menyelisihi hukum Islam.”[9]
Ketiga, Setiap
syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah
adalah akad batil yang dibatalkan oleh Islam. Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bersabda:
مَنْ
اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ
مِائَة شَرْط كِتَاب [الله] أَحَق؛ وَشَرْط الله أَوْثَق
“Barangsiapa
membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah,
maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.” (HR. Bukhari & Muslim)
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.”(HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani menjelaskan:
أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ
“Sesungguhnya
syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak
jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).
Keempat, Koalisi
adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai-partai untuk mengangkat
Capres dan Cawapres dimana keduanya adalah hakim yang bertugas
menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. Maka jelas
sarana ini hukumnya haram, sesuai kaidah syar’iyyah:
الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ
“Sarana yang menyampaikan kepada perkara haram maka diharamkan.”
Imam al-Jurjani, dipertegas Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, mendefinisikan wasîlah yakni:
الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ
“Wasilah yakni dimana suatu hal dihantarkan olehnya kepada hal lainnya”.[10]
Kaidah
tersebut bisa diterapkan pada kasus ini karena: (1) Hukum yang menjadi
tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh nash; yakni
keharaman menegakkan kemungkaran sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum
jahiliyah. (2) Sarana (koalisi) tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann
mengantarkan kepada perbuatan mengangkat presiden dan wakilnya yang
bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah.
Bantahan Argumentatif atas Berbagai Dalih
Di antara syubhat yang menjustifikasi koalisi pragmatis adalah untuk menolak madharat dan mewujudkan kemaslahatan atau maslahat mursalah.
Benarkah klaim tersebut? Ada yang menjustifikasi koalisi pragmatis
dengan menukil pernyataan asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa patokan
boleh dan tidaknya tahâluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat [11]. Dan pernyataan Ibnu Taimiyah yang berkata bahwa pemberlakuan tahâluf tidak
harus bertendensi kepada ideologi melainkan kepada maslahat umat agar
tidak di luar koridor, maka ia memberikan batasan sepanjang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-.[12]
Padahal
pernyataan Ibn Taimiyah di atas, jelas menjadikan al-Qur’an dan
as-Sunnah sebagai patokan utama, sebagaimana dituturkan olehnya dalam
kesempatan lain (24/280): “Bukan menjadi hak hamba untuk menepis setiap mudharat
dengan apa saja yang disukai, dan tidak pula meraih setiap manfaat
dengan apa saja yang disukai, melainkan ia tidak boleh meraih manfaat
kecuali dengan apa yang mengandung taqwa pada Allâh, dan tidak pula menepis mudharat kecuali dengan sesuatu yang mengandung taqwa kepada Allâh.”[13]
Begitu pula dengan Imam asy-Syafi’i yang mengkritik keras maslahat mursalah:
مَنْ اِسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
“Siapa saja
yang menggunakan maslahat (sebagai hujah) maka ia benar-benar telah
membuat syari’ah, sama halnya dengan orang yang menggunakan istihsan
maka ia benar-benar telah membuat syari’ah.”[14]
Imam Al-Amidi pun menegaskan:
وهو ما ظن أنه دليل وليس بدليل فكشرع من قبلنا ومذهب الصحابي والاستحسان والمصلحة المرسلة
“(Poin kedua) yakni apa-apa yang diduga dalil padahal ia bukanlah dalil seperti syar’u man qablanâ, madzhab sahabat, istihsan dan maslahat mursalah.”[15]
Para ahli fikih dari berbagai madzhab pun tidak menjadikannya sebagai dalil, meski bisa disebut syubhah ad-dalîl,
tentu keliru jika sesuatu yang diduga dalil lebih diutamakan daripada
nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Alasan mewujudkan kemaslahatan dengan
batasan yang tidak jelas dan dugaan semata tentu tidak bisa dijadikan
dalil untuk menggugurkan apa yang sudah jelas keharamannya berdasarkan
nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Amidi menuturkan:
وقد اتفق
الفقهاء من الشافعية والحنفية وغيرهم على امتناع التمسك به وهو الحق إلا ما
نقل عن مالك أنه يقول به مع إنكار أصحابه لذلك عنه
“Para ahli fikih dari syafi’iyyah, hanafiyyah
dan lainnya melarang berpegang padanya (maslahah mursalah) dan itu
adalah benar kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau
berpendapat dengannya namun para sahabatnya mengingkari hal itu dari
beliau.”
Di sisi
lain, koalisi pragmatis hanya membuahkan madharat yang nyata dibalik
perbuatan bekerja sama mengangkat Capres dan Cawapres serta perangkatnya
yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum
jahiliyah, apakah ia diasumsikan sebagai madharat yang sepele? Banyak
petunjuk al-Qur’an dengan penunjukkan yang pasti mengecam perbuatan
berpaling dari syari’at Allah dan hal itu jelas merupakan bahaya yang
nyata dunia dan akhirat. Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam
ceramahnya [16] memperingatkan:
“Pesanku ini ditujukan kepada seluruh dunia dan umat manusia
seluruhnya. Kehidupan manusia saat ini, hidup dalam kehidupan yang
benar-benar tiada kedamaian, tiada kelapangan, tiada kehormatan, tiada
ketenangan dan tiada kejelasan, itu semua disebabkan berpalingnya
manusia (menjauh) dari petunjuk Allah dan tidak adanya upaya
berpegangteguh melaksanakan perintah-perintah-Nya. Padahal Allah telah
memperingatkan kita dari hal itu dengan firman-Nya:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan
barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an) maka baginya
penghidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan ia pada hari kiamat
dalam keadaan buta” (QS. Thâhâ [20]: 124)
Prof. Dr. Muhammad Amahzun menuturkan:
ولا شك أن
تنحية شرع الله وعدم التحاكم إليه في شؤون الحياة ، من أخطر وأبرز مظاهر
الانحراف في مجتمعات المسلمين، وكانت عواقب الحكم بغير ما أنزل الله في
بلادهم ما حل بهم من أنواع الفساد والشرور والبغي والظلم والذل ومحق
البركة.
“Dan tidak
ada keraguan bahwa berpaling dari syari’at Allah dan tidak berhukum
dengannya dalam kehidupan, termasuk hal yang paling berbahaya dan paling
jelas penyimpangannya bagi kaum muslimin, dan berhukum dengan selain
hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin mengakibatkan berbagai
kerusakan, keburukan, penindasan, kezhaliman, kehinaan dan menghilangkan
keberkahan hidup.”[17]
Kaidah ahwân asy-syarrayn, akhaffu al-mafsadatayn
dan yang semisalnya pun tidak bisa digunakan dalam kasus koalisi
pragmatis. Karena kita tidak dihadapkan pada kondisi darurat, apakah
melakukan koalisi batil merupakan kondisi darurat yang mengancam nyawa
dan tak bisa dihindari? Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji
mendefinisikan dharurah:
الضرورة : الحاجة الشديدة والمشقة والشدة التي لا مدفع لها
“Darurat: kebutuhan yang teramat sangat, kesempitan dan kesulitan yang tidak bisa dihindari.”
Menurut
Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini
hanya diterapkan dalam kondisi darurat atau terpaksa. Sebab, kaidah ini
merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus
dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang)
apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya
adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan;
kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya
dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan
terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.
Dr. Mahmud
Abdul Karim Hasan menyatakan bahwa para ulama yang mengadopsi kaidah
tersebut telah merinci syarat-syarat dan konteks pengamalannya, dan
tidak sah mengambil teks kaidah tersebut seakan-akan ia adalah syar’i
secara mutlak atau mengadopsinya dengan menghilangkan syarat-syarat
penerapannya kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan kaidah
tersebut menghalalkan perkara haram dan mengelabui manusia.
Intinya ia
menjelaskan bahwa kaidah ini hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi
sebagaimana yang dijelaskan para ulama yang mengadopsi kaidah-kaidah
tersebut:
Pertama, jika
seseorang sudah sampai pada batas darurat yang menimbulkan
kekhawatiran akan hilangnya nyawa, dan pada saat itu ia hanya menemukan
dua keharaman dan ia mesti memilih yang paling ringan keharamannya
(tidak ada pilihan lain), namun jika ia menemukan perkara halal maka ia
tidak berlaku.
Kedua, jika
seseorang meninggalkan dua keharaman tersebut, namun jika begitu ia
malah akan terjerumus pada keduanya atau pada keharaman lain yang lebih
besar dari keduanya.[18]
Dalam
konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata: “Ketika berkumpul
beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus
meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang
paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika
derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara
bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam
kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara
yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus
ditinggalkan).”[19]
Di sisi
lain penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak
boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada
syari’ah. Karena syari’ah menjelaskan halal dan haram serta mana yang
lebih ringan keharamannya, dan akal tak mampu menentukan mana yang
terpuji dan tercela, mana yang diganjar pahala dan dibalas dengan siksa.
Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani berkata:
أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه
“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”
Al-Qadhi al-Baqilani berkata:
اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ
“Yang terpuji adalah apa yang dipuji oleh syariah, sedangkan yang tercela adalah apa yang dicela oleh syariah.”[20]
Kita tetap wajib terikat pada hukum syara’ meskipun di Dârul Kufur seperti saat ini. Allah SWT berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai kesanggupanmu..” (QS. At-Thaghâbûn [64]: 16)
Imam asy-Syawkani berkata:
فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وُجِدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها
“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat kaum muslimin di manapun mereka berada dan Dâr al-Harbi tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[21]
Identitas Partai Politik Islam
Partai
politik wajib berasaskan akidah Islam, dan dari akidah inilah terpancar
berbagai peraturan yang diadopsi oleh partai, dan ia wajib terikat
padanya dalam hal apapun mencakup metode, pemikiran dan uslub yang
digunakan. Aktivitasnya adalah menyerukan al-khayr yakni al-Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)
Parpol Islam, sudah semestinya menyerukan perubahan sistem berdasarkan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- sebaik-baiknya teladan.
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو
اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)
Yakni
dengan membina umat ini menjadi da’i yang menyeru kepada al-Islam,
menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan, mengungkapkan keburukan
sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (saat ini;
demokrasi, sekularisme, kapitalisme, komunisme, -), mengadopsi
permasalahan umat dan menjelaskan hukum syara’ atasnya, melakukan
thalabun nushrah kepada para pemilik kekuatan riil agar berjuang bersama
umat dan partai untuk menegakkan sistem Islam dan menjaganya, yakni
al-Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian yang menjadi metode
menerapkan dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru alam, tidak mudah
memang namun diam bukanlah jawaban. Allâh al-Musta’ân.
وَمَنْ يَتَهَيَّبُ صُعُوْدَ الجِبَالِ # يَعِشْ أَبَدَ الدَّهْرِ بَيْنَ الحُفَرِ
“Siapa yang takut naik gunung # Akan hidup di antara lubang selamanya.”[22]
[]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan