AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Ahad, 7 September 2014

Pengertian Tahaluf Siyasiy (Koalis)

 

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI 

 Pengertian Tahaluf Siyasiy (Koalis)

Koalisi secara bahasa berasal dari serapan bahasa Inggris, coalition yang artinya penggabungan, penyatuan. Dalam KBBI Online pun disebutkan bahwa koalisi: kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara di parlemen.[1] 

Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121). Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).[2] 

Pengertian koalisi tersebut sepadan dengan istilah at-tahâluf as-siyâsiy yangsecara etimologi dari kata al-hilf:

الحِلْفُ العَهْد يكون بين القوم

Al-Hilf: perjanjian di antara kaum.” [3] 

Lebih rinci, Imam Ibn al-Atsir pun mendefinisikan al-hilf:

أصل الحِلْف: المُعاقَدةُ والمعاهدة على التَّعاضُد والتَّساعُد والاتّفاق

“Asal-usul kata al-hilf: saling mengikat dan mengadakan perjanjian dalam hal bekerja sama, tolong menolong dan kesepakatan.”[4] 

Adapun istilah at-tahâluf, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan:

التحالف : حلف كل واحد من الفريقين

At-Tahâluf: yakni kesepakatan satu sama lain di antara dua pihak (atau lebih).”[5] 

Realitas koalisi dalam politik praktis saat ini, dilakukan oleh sejumlah parpol yang bersepakat dan bekerja sama membangun suatu pemerintahan. Koalisi yang ada adalah koalisi memilih Capres dan Cawapres beserta perangkatnya yang faktanya bertugas menegakkan sistem Demokrasi dan sistem hukum positif.

Koalisi Pragmatis dalam Pandangan Islam

Islam adalah agama yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk hukum berkoalisi yang realitasnya adalah bekerja sama mengangkat penguasa beserta perangkatnya yang menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah, maka hukumnya haram secara syar’i.

Sebagian perinciannya sebagai berikut:

Pertama, Larangan berhukum dengan selain hukum Islam (hukum jahiliyah) (lihat: QS. Al-Ahzâb [33]: 36, QS. al-Mâ’idah [5]: 44; 45; 47, -) dan kewajiban berhukum dengan hukum Islam (lihat: QS. an-Nisâ’ [4]: 65, QS. al-Mâ’idah [5]: 48, QS. Al-Baqarah [2]: 208, QS. An-Nûr [24]: 51, -) dan nash-nash lainnya disertai banyak sekali penjelasan para ulama mengenai ini.

Kedua, Keharaman tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran, maka meskipun koalisi tersebut dibangun oleh partai-partai “berbasis massa islam”, jika berkoalisi (saling tolong menolong) mengangkat penguasa yang menegakkan Demokrasi, sistem hukum jahiliyah maka hukumnya tetap haram karena nyata bekerja sama dalam kemungkaran.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mâ’idah [5]: 2)

Ayat yang mulia ini jelas mengharamkan tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran. Tuntutan dalam ayat ini pun tegas berdasarkan indikasi “sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas: “Allah Swt. telah memerintahkan kepada para hamba-Nya yang beriman untuk tolong-menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (at-taqwa). Allah Swt. juga melarang mereka untuk tolong-menolong dalam kebatilan (al-bâthil), dalam dosa (al-ma’âtsim) dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-mahârim).”[6] 

Rasulullah –shallallaahu ’alayhi wa sallam- menegaskan:

لاَ حِلْفَ فِي الإِسْلام

Tidak boleh ada perjanjian (yang batil) dalam Islam.” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).[7] 

Al-Hafizh Nawawi memaknai hadis itu dengan menyatakan:

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan hilf[un] yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah -shallallaahu 'alayhi wa sallam-] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syariah.”[8] 

Imam Ibn al-Atsir ketika menjamak dua kelompok hadits mengenai hilf (yang seakan bertentangan) menuturkan:

يريد من المُعاقدة على الخير ونُصْرَة الحق، وبذلك يجتمع الحديثان، وهذا هو الحِلْف الذي يَقْتَضِيه الإسلام، والمَمْنُوع منه ما خالف حُكْم الإسلام

“(Islam) menghendaki (mewajibkan) akad saling mengikatkan diri adalah dalam kebaikan dan menolong kebenaran, dan itu (disimpulkan) dari dikumpulkannya dua kelompok hadits, dan inilah perjanjian (koalisi)yang dituntut oleh Islam, adapun perjanjian (koalisi) yang dilarang dalam Islam adalah yang menyelisihi hukum Islam.”[9] 

Ketiga, Setiap syarat dalam koalisi yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah adalah akad batil yang dibatalkan oleh Islam. Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ. وَإِنْ كَانَ مِائَة شَرْط كِتَاب [الله] أَحَق؛ وَشَرْط الله أَوْثَق

“Barangsiapa membuat persyaratan (perjanjian) yang tidak sesuai dengan kitab Allah, maka syarat tersebut batal walaupun mengajukan seratus persyaratan, karena syarat Allah lebih benar dan lebih kuat.” (HR. Bukhari & Muslim)

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.”(HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani menjelaskan:

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Keempat, Koalisi adalah sarana pemenuhan syarat bagi partai-partai untuk mengangkat Capres dan Cawapres dimana keduanya adalah hakim yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. Maka jelas sarana ini hukumnya haram, sesuai kaidah syar’iyyah:

الوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ مُحَرَّمَةٌ

“Sarana yang menyampaikan kepada perkara haram maka diharamkan.”

Imam al-Jurjani, dipertegas Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, mendefinisikan wasîlah yakni:

الوَسِيْلَةُ: هِيَ مَا يُتَقَرَّب بِهِ إِلى الغَيْرِ

Wasilah yakni dimana suatu hal dihantarkan olehnya kepada hal lainnya”.[10] 

Kaidah tersebut bisa diterapkan pada kasus ini karena: (1) Hukum yang menjadi tujuannya jelas haram dan keharamannya dinyatakan oleh nash; yakni keharaman menegakkan kemungkaran sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah. (2) Sarana (koalisi) tersebut berdasarkan ghalabatu azh-zhann mengantarkan kepada perbuatan mengangkat presiden dan wakilnya yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah.

Bantahan Argumentatif atas Berbagai Dalih

Di antara syubhat yang menjustifikasi koalisi pragmatis adalah untuk menolak madharat dan mewujudkan kemaslahatan atau maslahat mursalah. Benarkah klaim tersebut? Ada yang menjustifikasi koalisi pragmatis dengan menukil pernyataan asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa patokan boleh dan tidaknya tahâluf dengan non muslim adalah kemaslahatan umat [11]. Dan pernyataan Ibnu Taimiyah yang berkata bahwa pemberlakuan tahâluf tidak harus bertendensi kepada ideologi melainkan kepada maslahat umat agar tidak di luar koridor, maka ia memberikan batasan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi -shallallaahu ‘alayhi wa sallam-.[12] 

Padahal pernyataan Ibn Taimiyah di atas, jelas menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai patokan utama, sebagaimana dituturkan olehnya dalam kesempatan lain (24/280): “Bukan menjadi hak hamba untuk menepis setiap mudharat dengan apa saja yang disukai, dan tidak pula meraih setiap manfaat dengan apa saja yang disukai, melainkan ia tidak boleh meraih manfaat kecuali dengan apa yang mengandung taqwa pada Allâh, dan tidak pula menepis mudharat kecuali dengan sesuatu yang mengandung taqwa kepada Allâh.”[13] 

Begitu pula dengan Imam asy-Syafi’i yang mengkritik keras maslahat mursalah:  

مَنْ اِسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَنْ اِسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

“Siapa saja yang menggunakan maslahat (sebagai hujah) maka ia benar-benar telah membuat syari’ah, sama halnya dengan orang yang menggunakan istihsan maka ia benar-benar telah membuat syari’ah.”[14] 

Imam Al-Amidi pun menegaskan:

وهو ما ظن أنه دليل وليس بدليل فكشرع من قبلنا ومذهب الصحابي والاستحسان والمصلحة المرسلة

“(Poin kedua) yakni apa-apa yang diduga dalil padahal ia bukanlah dalil seperti syar’u man qablanâ, madzhab sahabat, istihsan dan maslahat mursalah.”[15] 

Para ahli fikih dari berbagai madzhab pun tidak menjadikannya sebagai dalil, meski bisa disebut syubhah ad-dalîl, tentu keliru jika sesuatu yang diduga dalil lebih diutamakan daripada nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Alasan mewujudkan kemaslahatan dengan batasan yang tidak jelas dan dugaan semata tentu tidak bisa dijadikan dalil untuk menggugurkan apa yang sudah jelas keharamannya berdasarkan nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Amidi menuturkan:

وقد اتفق الفقهاء من الشافعية والحنفية وغيرهم على امتناع التمسك به وهو الحق إلا ما نقل عن مالك أنه يقول به مع إنكار أصحابه لذلك عنه

“Para ahli fikih dari syafi’iyyah, hanafiyyah dan lainnya melarang berpegang padanya (maslahah mursalah) dan itu adalah benar kecuali apa yang dinukil dari Imam Malik bahwa beliau berpendapat dengannya namun para sahabatnya mengingkari hal itu dari beliau.”

Di sisi lain, koalisi pragmatis hanya membuahkan madharat yang nyata dibalik perbuatan bekerja sama mengangkat Capres dan Cawapres serta perangkatnya yang bertugas menegakkan sistem kufur Demokrasi dan sistem hukum jahiliyah, apakah ia diasumsikan sebagai madharat yang sepele? Banyak petunjuk al-Qur’an dengan penunjukkan yang pasti mengecam perbuatan berpaling dari syari’at Allah dan hal itu jelas merupakan bahaya yang nyata dunia dan akhirat. Prof. Dr. Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam ceramahnya [16] memperingatkan: “Pesanku ini ditujukan kepada seluruh dunia dan umat manusia seluruhnya. Kehidupan manusia saat ini, hidup dalam kehidupan yang benar-benar tiada kedamaian, tiada kelapangan, tiada kehormatan, tiada ketenangan dan tiada kejelasan, itu semua disebabkan berpalingnya manusia (menjauh) dari petunjuk Allah dan tidak adanya upaya berpegangteguh melaksanakan perintah-perintah-Nya. Padahal Allah telah memperingatkan kita dari hal itu dengan firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur’an) maka baginya penghidupan yang sempit dan akan Kami kumpulkan ia pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS. Thâhâ [20]: 124)

Prof. Dr. Muhammad Amahzun menuturkan:

ولا شك أن تنحية شرع الله وعدم التحاكم إليه في شؤون الحياة ، من أخطر وأبرز مظاهر الانحراف في مجتمعات المسلمين، وكانت عواقب الحكم بغير ما أنزل الله في بلادهم ما حل بهم من أنواع الفساد والشرور والبغي والظلم والذل ومحق البركة.

“Dan tidak ada keraguan bahwa berpaling dari syari’at Allah dan tidak berhukum dengannya dalam kehidupan, termasuk hal yang paling berbahaya dan paling jelas penyimpangannya bagi kaum muslimin, dan berhukum dengan selain hukum Allah di negeri-negeri kaum muslimin mengakibatkan berbagai kerusakan, keburukan, penindasan, kezhaliman, kehinaan dan menghilangkan keberkahan hidup.”[17] 

Kaidah ahwân asy-syarrayn, akhaffu al-mafsadatayn dan yang semisalnya pun tidak bisa digunakan dalam kasus koalisi pragmatis. Karena kita tidak dihadapkan pada kondisi darurat, apakah melakukan koalisi batil merupakan kondisi darurat yang mengancam nyawa dan tak bisa dihindari? Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji mendefinisikan dharurah:

الضرورة : الحاجة الشديدة والمشقة والشدة التي لا مدفع لها

“Darurat: kebutuhan yang teramat sangat, kesempitan dan kesulitan yang tidak bisa dihindari.”

Menurut Imam as-Suyuthi, Izzuddin bin Abdus Salam dan al-Qarafi, kaidah ini hanya diterapkan dalam kondisi darurat atau terpaksa. Sebab, kaidah ini merupakan cabang dari kaidah Adh-Dhararu Yuzâlu (Bahaya harus dihilangkan)”. Kita tidak bisa beralih ke hukum cabang (kaidah cabang) apabila hukum asal (kaidah asal) masih bisa diberlakukan. Hukum pokoknya adalah: segala kemadaratan, mafsadat dan keharaman harus dihilangkan; kecuali jika dua bahaya bertentangan dan tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan terpaksa menempuh bahaya yang lebih kecil atau lebih ringan.

Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan menyatakan bahwa para ulama yang mengadopsi kaidah tersebut telah merinci syarat-syarat dan konteks pengamalannya, dan tidak sah mengambil teks kaidah tersebut seakan-akan ia adalah syar’i secara mutlak atau mengadopsinya dengan menghilangkan syarat-syarat penerapannya kemudian mengeluarkan fatwa-fatwa berdasarkan kaidah tersebut menghalalkan perkara haram dan mengelabui manusia.

Intinya ia menjelaskan bahwa kaidah ini hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi sebagaimana yang dijelaskan para ulama yang mengadopsi kaidah-kaidah tersebut:

Pertama, jika seseorang sudah sampai pada batas darurat  yang menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya nyawa, dan pada saat itu ia hanya menemukan dua keharaman dan ia mesti memilih yang paling ringan keharamannya (tidak ada pilihan lain), namun jika ia menemukan perkara halal maka ia tidak berlaku.

Kedua, jika seseorang meninggalkan dua keharaman tersebut, namun jika begitu ia malah akan terjerumus pada keduanya atau pada keharaman lain yang lebih besar dari keduanya.[18] 

Dalam konteks ini Imam Izzuddin bin Abdis Salam berkata: “Ketika berkumpul beberapa bahaya, jika mungkin untuk meninggalkannya, maka kita harus meninggalkan semuanya. Jika tidak mungkin, kita harus meninggalkan yang paling besar bahayanya, kemudian yang di bawahnya dan seterusnya. Jika derajat bahayanya sama, harus ditangguhkan. Kadangkala di antara bahaya-bahaya itu ada yang bisa dipilih, ada yang diperselisihkan dalam kesamaan dan perbedaannya. Dalam bahaya ini tidak ada perbedaan antara yang diharamkan dengan yang dimakruhkan (artinya sama-sama harus ditinggalkan).”[19] 

Di sisi lain penentuan mana bahaya yang lebih besar dan yang lebih kecil tidak boleh diserahkan pada akal dan hawa nafsu, tetapi harus merujuk pada syari’ah. Karena syari’ah menjelaskan halal dan haram serta mana yang lebih ringan keharamannya, dan akal tak mampu menentukan mana yang terpuji dan tercela, mana yang diganjar pahala dan dibalas dengan siksa. Al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani berkata:

أن الخير في نظر المسلم ما أرضى الله والشر هو ما أسخطه

“Bahwa predikat baik (al-khayr) dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allâh, sedangkan buruk (al-syarr) adalah sesuatu yang dimurkai-Nya.”

Al-Qadhi al-Baqilani berkata:

اَلْحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ

“Yang terpuji adalah apa yang dipuji oleh syariah, sedangkan yang tercela adalah apa yang dicela oleh syariah.”[20] 

Kita tetap wajib terikat pada hukum syara’ meskipun di Dârul Kufur seperti saat ini. Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai kesanggupanmu..” (QS. At-Thaghâbûn [64]: 16)

Imam asy-Syawkani berkata:

فإن أحكام الشرع لازمة للمسلمين في أي مكان وُجِدوا، ودار الحرب ليست بناسخة للأحكام الشرعية أو لبعضها

“Sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat kaum muslimin di manapun mereka berada dan Dâr al-Harbi tidak bisa menghapuskan hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian.”[21]

Identitas Partai Politik Islam

Partai politik wajib berasaskan akidah Islam, dan dari akidah inilah terpancar berbagai peraturan yang diadopsi oleh partai, dan ia wajib terikat padanya dalam hal apapun mencakup metode, pemikiran dan uslub yang digunakan. Aktivitasnya adalah menyerukan al-khayr yakni al-Islam, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran.

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khayr (al-Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Âli Imrân [3]: 104)

Parpol Islam, sudah semestinya menyerukan perubahan sistem berdasarkan metode perubahan yang dicontohkan Rasulullah -shallallaahu ‘alayhi wa sallam- sebaik-baiknya teladan.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb [33]: 21)

Yakni dengan membina umat ini menjadi da’i yang menyeru kepada al-Islam, menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan, mengungkapkan keburukan sistem dan ideologi rusak produk hawa nafsu manusia (saat ini; demokrasi, sekularisme, kapitalisme, komunisme, -), mengadopsi permasalahan umat dan menjelaskan hukum syara’ atasnya, melakukan thalabun nushrah kepada para pemilik kekuatan riil agar berjuang bersama umat dan partai untuk menegakkan sistem Islam dan menjaganya, yakni al-Khilafah yang tegak di atas manhaj kenabian yang menjadi metode menerapkan dan mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru alam, tidak mudah memang namun diam bukanlah jawaban. Allâh al-Musta’ân.

وَمَنْ يَتَهَيَّبُ صُعُوْدَ الجِبَالِ # يَعِشْ أَبَدَ الدَّهْرِ بَيْنَ الحُفَرِ

“Siapa yang takut naik gunung # Akan hidup di antara lubang selamanya.”[22] 

[]

 

Rabu, 3 September 2014

Sejarah Sholat Fardhu

Sejarah Sholat Fardhu

 بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

     
 OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

A. Sejarah Sholat
Allah telah berfirman : “Dirikanlah shalat, sungguh ini merupakan kewajiban yang ditentukan waktunya bagi orang-orang yang beriman” Qs. An-Nisaa’: 103-104
“ Hai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu;Berbuatlah kebaikan supaya kamu mendapatkan kemenangan” Qs. Al-Hajj: 77. Istilah sholat berasal dari kata kerja “Shalaah” yang menyatakan suatu perbuatan dan orang yang melakukan  disebut Mushallin, sementara pusat tempat melakukannya disebut Mushola.
Shalat merupakan suatu perbuatan memuliakan Allah yang menjadi suatu tanda syukur kaum muslimin sebagai seorang hamba dengan gerakan dan bacaan yang telah diatur khusus oleh Nabi Muhammad SAW yang tidak boleh diubah kecuali ada ketentuan-ketentuan yang memperbolehkannya.
Dalam kitab suci Al-Qur’an tidak menjelaskan secara detail sejak kapan dan bagaimanateknis pelaksanaan sholat
yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meski demikian Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa shalat sudah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya, seperti perintah sholat kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya, kepada Nabi Syu’aib, kepada Nabi Musa dan kepada Nabi Isa al-Masih. Pernyataan Al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh cerita-cerita yang ada dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang mengisahkan tata cara beribadah para nabi sebelum Nabi Muhammad  yaitu ada berdiri, ruku’ dan sujud, yang jika dirangkai maka menjadi sholat seperti sholatnya umat Islam.
    “Segeralah Musa berlutut ke tanah, lalu sujud menyembah “. Perjanjian Lama-Kitab Keluaran 34:8
    “Masuklah, marilah kita sujud menyembah, berlutut di hadapan TUHAN yang menjadikan kita”. Perjanjian Lama-Kitab Mazmur 95:6
    “Lalu sujudlah Yosua dengan mukanya ke tanah, menyembah”. Perjanjian Lama-Kitab Yosua 5:14
    “Kemudian ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu ia berlutut dan berdoa”. Perjanjian Baru-Injil Lukas 22:41
    “Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa”. Perjanjian Baru-Injil Markus 14:35
Dari pernyataan ini, maka jelas bagi umat Islam bahwa shalat sudah menjadi suatu tradisi  dan ajaran yang baku bagi semua Nabi dan Rasul Allah sepanjang zaman, sebagaimana firman-Nya: “Demikianlah hukum Allah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu”. Qs. Al-Fath 23
Kisah perjalanan Nabi Muhammad mengarungi angkasa raya yang disebut dengan istilah Isra’ dan Mi’raj, yang  menceritakan awal diperintahnya sholat kepada Nabi Muhammad. Dan juga terdapat dalam beberapa hadist yang dianggap shahih atau falid oleh sejumlah para ulama secara logika .
Menurut hadist, Isra’ dan Mi’raj terjadi sewaktu Khadijah, istri pertama Rasulullah wafat. Peristiwa ini justru menjadi salah satu hiburan bagi Nabi yang baru ditinggalkan oleh sang istri tercinta dan juga paman beliau Abu Thalib, dan tahun ini disebut
dengan tahun duka cita atau aamul ilzam.
Sementara itu ada yang mengatakan bahwa jauh sebelim terjadinya Isra’ dan mi’raj, Nabi Muhammad dipercaya telah melakukan shalat berjamaah dengan Khodijah sebagaimana yang pernah dilihat dan ditanyakan oleh ali bin abu Tholib yang waktu itu masih remaja.
 Logikanya perintah shalat telah diterima oleh Nabi Muhammad bukan saat beliau Isra’ Mi’raj, namun jauh sebelum itu. Secara objektif  ayat Al-Qur’an yang menceritakan mengenai peristiwa Isra’ Mi’raj sama sekali tidak menyinggung tentang adanya perintah sholat kepada Nabi Muhammad.Allah telah berfirman : “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat”. Qs. Al-Isra’: 1. Dan juga dalam firman-Nya : “Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada wakyu yang lain, yaitu Sidratulmuntaha, di dekatnya ada surga tempat tinggal,(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratulmuntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatan (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya . Sungguh , dia telah melihat sebagian tanda-tanda kebesaran Tuhannya yang paling besar”. Qs. An-Najm: 13-18. Pada kedua surat tersebut hanya menekankan cerita perjalanan Nabi tersebut dalam rangka menunjukkan sebagian dari kebesaran Allah di alam semesta sekaligus merupakan kedua kalinya bagi Nabi melihat wujud asli dari malaikat Jibril setelah sebelumnya , beliau pernah melihat wujud asli malaikat Jibril saat mendapatkan wahyu pertama kali di gua Hiro.
Selain itu diluar hadist Isra’ dan Mi’raj yang menggambarkan Nabi memperoleh perintah sholat pada peristiwa tersebut.Imam Muslim dalam musnadnya meriwayatkan sebuah hadist lain yang sama sekali tidak berhubungan dangan cerita Mi’raj, namun disana menjelaskan bagaimana Nabi mempelajari Shalat dari malaikat Jibril.
Dari Ibnu Mas’ud r. a . Rasulullah bersabda:” Turun jibril, lalu dia menjadi imam bagiku dan aku shoalt bersamanya, kemudian aku sholat bersamanya, lalu aku sholat bersamanya dan aku sholat bersamanya, Nabi menghitung dengan lima anak jarinya”. Hadist Riwayat Muslim.
Jika demikian , bagaimana dengan kebenaran hadist yang dipercaya oleh banyak orang bahwa perintah shalat baru diperoleh Nabi sewaktu Isra’ Mi’raj?. Mungkin kedengaran ekstrim, tetapi meragukan atau malah menolak keabsahan validitas hadist-hadist tersebut . Itu semua bukanlah perbuatan yang tercela apalagi berdosa, dalam hal ini kita tidak menolak dengan tanpa dasar yang jelas. Para perawi tetaplah manusia seperti kita adanya. Mereka juga bisa salah, baik disengaja maupun tanpa mereka sengaja atau sadari. Itu semua adalah kewajiban kita untuk melakukan koreksi jika mendapatkan kesalahan para riwayat hadist yang mereka lakukan. Dengan tetap menjaga kehormatannya dan berharap semoga Allah mengampuni kesalahannya.
Beberapa kejanggalan variasi cerita Isra’ Mi’raj diantaranya adalah kisah Nabi Muhammad dan Buraq ketika berhenti di Baitul  Maqdis dan melakukan sholat berjama’ah di Masjidil aqsa bersama arwah para Nabi sebelumnya Padahal sejarah mencatat bahwa masjid Al-Aqsa baru dibangun pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab tahun 637 Masehi saat penyerbuannya ke Palestina yang mana notebene saat itu Nabi Muhammad sendiri sudah lama meninggal. Beliau meninggal tahun 632 M.
Cerita shalatnya para arwah Nabi, rasanya tidak bisa kita terima dengan akal yang logis. Masa kehidupan mereka telah berakhir sebelum kelahiran Nabi Muhammad dan mereka sendiri sudan melaksanakan kewajiban masing-masing selaku Rasul Allah kepada umatnya. Perlu apa lagi mereka yang jasadnya sudah terkubur didalam tanah melaksanakan shalat bersama Rasulullah?. “Setelah selesai sholat berjamaah, lalu satu persatu para arwah Nabi dan Rasul memberikan sambutan ..”. Sungguh suatu hal yang terlalu mengada-ada. Jika dalam hal ini dimaksudkan agar semua Nabi dan Rasul itu bertemu dan bersaksi mengenai kebenaran Muhammad, ini dibantah oleh Al-Qur’an sendiri yang menyatakan bahwa pada masa kehidupannya mereka dan pengangkatan mereka yang selaku Nabi dan Rasul.
Allah telah mengadakan perjanjian dari meraka mengenai akan datangnya seorang Rasul yang membenarkan ajaran mereka sebelumnya, lalu terdapat perintah tersirat agar mereka menyampaikan kepada umatnya masing-masing: “Jika dating kepadamu Kitab dan Hikmah, lalu datang kepada kamu seorang Rasul yang membenarkan apa-apa yang ada tentang diri kamu, hendaklah kamu imani ia secara sebenarnya. Dia bertanya: ‘Sudahkah kalian menyanggupi dan menerima perjanjiaan-Ku tersebut?’. Mereka menjawab : ‘Kami menyanggupinya!’. Dia berkata : ‘Saksikanlah! Dan aku bersama kamu adlah dari golongan mereka yang menyaksiakan!’. Qs. Ali Imron: 81
Puncak kemustahilan  cerita dari hadist-hadiast Mi’raj adalah saat Nabi Muhammad diberitakan telah bolak balik dari Allah ke arwah Nabi Musa untuk menawarkan jumlah sholat yang semula 50 kali menjadi 5 kali dalam sehari semalam. Apakah sedemikian bodohnya Nabi Muhammad, sehingga dia harus diberi saran berkali-kali oleh arwah Nabi Musa agar mau meminta keringanan kepada Allah sampai 9 kali pulang pergi?
Tidakkah kurang ajaran Nabi Musa dalam cerita tersebut, dengan menganggap Allah juga tidak mengerti akan kelemahan dan keterbatasan umat Nabi Muhammad. Sebab tanpa dipikir terlebih dahulu telah memberi beban kewajiban yang mana tidak mampu dikerjakan oleh mereka, sehingga arwah Nabi Musa itu harus turut campur memberi peringgatan kepada Allah dan Nabi Muhammad lebih dari sekali saja sebagai suatu indikasi israiliyat (hadist buatan orang-orang israil atau Yahudi yang sengaja dibuat untuk tetap memuliakan Nabi Musa di atas yang lain)?.
Tidak diragukan bahwa Nabi Muhammad pernah melakukan Isra’ Mi’raj, karena hal ini ada di dalam Al-Qur’an dan bisa dianalisa secara ilmiah. Tidak perlu diragukan pula bahwa sholat merupakan salah satu kewajiban utama seorang muslim, sebab ini semua ada di Al-Qur’an dan hadist-hadist lain. Bahkan sholat merupakan tradisi yang diwariskan oleh semua Nabi dan Rasul dalam semua zamannya. Hanya saja itu tidak berarti kaum muslimin bisa menerima semua riwayat hadist yang isinya secara jelas memiliki pertentangan dengan Al-Qur’an dan logika, sehingga akhirnay hanya akan menyerahkan akal akan kebodohan berfikir. Padahal Allah sendiri mewajibkan manusia untuk berfikir dan berdzikir di sat membaca ayat-ayatNya.
B. Sejarah Shalat 5 Waktu
Nabi Muhammad Saw merupakan nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing manusia kea rah jalan kebenaran. Tidak seperti umat nabi-nabi lain, umat nabi Muhammad terlah diperintahkan untuk mengerjakan shalat 5 waktu setiap hari. Ini merupakan kelebihan dan anugerah Allah SWT terhadap umat Nabi Muhammad dimana shalat tersebut akan memberikan perlindungan ketika di hari pembalasan kelak. Berikut diterangkan asl-usul shalat 5 waktu:
•    Subuh
Manusi pertama yang mengerjakan shalt subuah ialan Nabi adam As. Yaitu ketika beliau keluar dari surga lalu diturunkan ke bumi. Perkara pertama yang di lihatnya ialah kegelapan dan beliau merasa takut yang amat sangat. Apabial fajar subuh telah keluar , Nabi Adam sembahyang dua rakaat.
Rakaat pertama : Tanda bersyukur karena beliau terlepas dari kegelapan malam.
Rakaat kedua : Tanda bersyukur karena siang telah menjelma
•    Dhuhur
Manusia pertama yang mengerjakan shalt dhuhur ialah Nabi Ibrahim As. Yaitu takkala Allah SWT telah memerintahkan padanay agar menyembelih anaknya Nabi Ismail As. Seruan itu datang pada waktu tergelincirnya matahari, lalu sujudlah Nabi Ibrahim sebanyak empak kali
Rakaat pertama : Tanda bersyukur bagi penebusan
Rakaat  kedua : Tanda bersyukur karena dibukakan duka citanya dan juga anaknya
Rakaat ketiga : Tanda bersyukur dan memohin akan merendahan Allah SWT
Rakaat keempat : Tanda bersyukur karena korbannya digantikan dengan tebusan kibas
•    Asar
Manusia pertama yang mengerjakan shalt asar ialah Nabi YunusAs. Takkala beliau dikeluarkan Allah SWT dari perut ikan Nun. Ikan Nun telah memuntahkan Nabi Yunus di tepi pantai, ketika telah masuk watu asar. Maka Nabi Yunus bersyukur kepada Allah lalu bersembahyamg empat rakaat karena beliau telah diselamatakn oleh Allah dari 4 kegelapan yaitu:
Rakaat pertama : Kelam denga kesalahan
Rakaat kedua : Kelam dengan air laut
Rakaat ketiga : Kelam denagn malam
Rakaat keempat : Kelam dengan perut ikan Nun
•    Maghrib
Manusi pertama yang mengerjakan shalat maghrib ialah Nabi Isa  As. Yaitu ketika beliau dikeluarkan oleh Allah SWT dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, waktu itu telah terbenamnya matahari. Bersyukurlah Nabi Isa As, lalu bersembahyang tiga rakaat karena diselamatkan dari kejahilan tersebut yaitu :
Rakaat Pertama : Untuk menafikan ketuhanan selain daripada Allah yang Maha Esa
Rakaat kedua : Untuk menafikan tuduhan dan juga cacian kepada ibunya Siti Maryam yang telah dituduh melakukan perbuatan sumbang.
Rakaat ketiga : Untuk meyakinkan kaumnya bahwa Tuhan itu hanya satu yaitu Allah SWT semata-mata, tiada dua atau tiganya.
•    Isya’
Manusia pertama kali mengerjakan shalat isya’ ialah Nabi Musa As. Pada saat itu, Nabi Musa tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madya, sedang dalam dadanya penuh perasaan dukacita. Allah SWT menghilangkan semua perasaan dukacitanay itu pada waktu isya’ yang akhir. Lalu sembahyanglah Nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur.
Rakaat pertama : Tanda dukacita terhadap istrinya.
Rakaat kedua : Tanda dukacita terhadap saudaranya Nabi Harun
Rakaat ketiga : Tanda dukacita terhadap Firaun
Rakaat keempat : Tanda dukacita terhadap anak Firaun
C. Sejarah Cara Melaksanakan Shalat
Sebagai kaummuslim, kita wajib melaksanakan shalat lima waktu dengan memahami kaifiyat (tata cara) baik yang berhubungan dengan gerakan, bacaan dan jumlah rakaatnya. Kita selalu berpedoman pada hadist Rasulullah SAW “Laksanakanlah shalat sebagaimana engkau melihat aku melaksanakannya”. Dalam menguraikan tentang sejarah shalat, Imam Bukhari ra. dalam shahihnya menyebutkan sebuah hadist dari Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Aisyah berkata, “Shalat diwajibkan pertama kali sebanyak dua rakaat. Demikian yang dilakukan pada shalat dalam perjalanan, dan lebih dan itu jika tidak bepergian”.
Hal ini berbeda dengan hadist yang berhubungan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj yang menyebutkan bahwa, shalat yang diwajibkan sehari semalam adalah lima waktu-sebagaimana diriwayatkan , “Setelah Rasulullah SAW bertemu dangan Nabi Musa yang mengatakan bahwa umatmu tidak akan snggup melaksanakan shalat 50 waktu sehari semalam sehingga akhirnya menjadi lima waktu setelah beberapa kali Rasulullah meminta keringanan dari Allah SWT”, Ibnu Katsir dalam bukunya.
Al Bidayah berusaha menjembatani perbedaan pandangan antara ucapan Aisyah dengan hadist tentang Isra’ Mi’raj. Ibnu Katsir mengatakan ,”barabg kali yang disampaikan oleh Aisyah ra adalah rakaat shalat Rasulullah sebelum terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Shalat yang diwajibkan kepada umat Islam berbeda dengan shalat yang diwajibkan pada kaum Ahlulkitab, Yahudu dan Nasrani.
Kaum Yahudi juga melakukan sujud kepada Allah SWT dalam shalatnya. Tetapi , sujudnya berbeda dengan sujud umat Islam. Sujud dalam shalat yang diajarkan Rasulullah adalah dengan menempelkan kening di tempat sujud. Sedangkan sujudnya kaum Yahudi dengan menempelkan pipi kirinya ke tanah, sehingga pipi kanannya menghadap ke langit dan matanya juga melirik ke langit.
Tentang hal tersebut terkait dengan peristiwa yang terjadi ketika kaum Yahudi dipaksa untuk bersujud kepada Allah dengan diangkatnya Gunung Sinai di atas kepala mereka. Hal ini untuk memaksa Bani Israil agar percaya kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diserukan oleh Nabi Musa as. Namun, takkala menyaksikan gunung terangkat dan berada tepat di atas mereka, orang-orang Bani Israil gemetar ketakutan. Akibatnya mereka bersujud sambil melihat gunung Sinai yang terangkat di atas kepala mereka. Mereka bersujud sambil melirik ke arh Gunung Sinai yang terangkat. Mereka khawatir tertimpa gunung.
Semua peristiwa di atas disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqorah : 63. Yang artinya, “Dan ingatlah Kami memanggil janji dari kalian dan Kami angkatkan Gunung Sinai di atas kalian seraya Kami berfirman, ‘Berpegang teguhlah pada apa yang Kami berikan kepada kalian dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kalian bertaqwa.”(Q. S. al-Baqarah 63).
Dalam satu hadist Rasulullah SAW bersabda, “Dua kali Jibril mengimami aku di Al Bait.”. Dari hadist tersebut dapat diambil pengertian, bahwa kata “mengimamai” dalam hadist tersebut dapat dipahami bahwa Jibril mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW tentang bagaimana mendirikan shalat dalam Islam dan Al Bait adalah Baitullah.
Baihaqi dan Hasan al-Bashri berkata bahwa pada hari itu di Baitulharam, malaikat Jibril mengajarkan Rasulullah SAW jumlah dan tata cara shalat. Bahwa shalat dhuhur empat rakaat, shalat asyar empat rakaat, shalat magrib tiga rakaat dengan membaca surat Al Fatihah dan ayat Al-Qur’an lainnyan dengan nyaring pada rakaat pertama dan kedua, shalat iaya’ empat rakaat dengan mengeraskan suara pada dua rakaat pertama. Setelah menguasai masalah itu, Rasulullah SAW memanggil para sahabat dan mengajarkan cara berwudlu dan shalat. Kemudian melaksanakan shalat berjamaah, Rasulullah SAW menjadi imam shalat dengan dibimbing Malaikat Jibril, sedangkan para sahabat mengikuti (ma’mum) beliau.
Pelaksanaan shalat yang terdiri dari takbir, rukuk, sujud dan tasahud, sebenarnya adalah perbuatan yang tidak dikehal bangsa Arab dan bangsa lainnya. Hal ini membuat Yahya bin Afif, sahabat Abbas bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah SAW, merasa kagum dan menceritakan : “Pada masa jahiliyah, aku pergi ke Ka’bah dan singgah di kediaman Abbas bin Abdul Mutholib. Ketika matahari terbit aku memandangi Ka’bah. Saat itulah seorang lelaki muda (Rasulullah SAW) datang. Ia juga menatap langit lalu menghadap Ka’bah. Tak lama kemudian datanglah seorang anak kecil (Ali bin Abi Thalib) yang langsung berdiri disebelah kanan yang pertama tadi. Kemudian menyusul seorang perempuan (Khadijah bin Khuwailid) datang dan berdiri di belakang keduanya. Ketika lelaki pertama itu rukuk, anak kecil dan perempuan itu pun mengikitinya. Kemudian, lelaki muda itu berdiri lagi, kedua oarng yang di belakangnay juga berdiri. Lelaki muda itu merendahkan badannya dan bersujud yang segera diikuti keduanya”.
Menyaksikan itu Yahya bin Afif heran, ia pun bertanay kepada Abbas bin Abdul Muthalib yang saat itu berdiri disampingnya, “Wahai Abbas, apaitu? Apa yang dilakuakn orang-orang itu? Apakan engkau merasa bahwa itu merupakan sesuatu yang agung?”. Abbas bin Abdul Muthalib yang pada saat itu belum memeluk Islam menjawab, “Benar itu pasti sesuatu yang agung”. Wallahu a’lam.
PENUTUP
Sejarah shalat itu sudah ada sebelum Nabi Muhammad. Dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengisahkan tata cara para Nabi sebelum Nabi Muhammad yaitu ada yang berdiri, ruku’ dan sujud yang jika dirangkai maka seperti shalatnya umat Islam.
Nabi Muhammad SAW merupakan nabi terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk membimbing manusia ke jalan kebenaran. Sejarah shalat lima waktu adalah
    Subuh: manusia yang pertama kali mengerjakan shalat subuh        adalah Nabi Adam As.
    Dhuhur: manusia yang pertama kali mengerjakan shalat dhuhur adalah Nabi Ibrahim As.
    Asyar: manusia pertama kali yang mengerjakan shalat asyar adalah Nabi Yunus As.
    Magrib: manusia pertama kali yang mengerjakan shalat magrib adalah Nabi Isa As.
    Isya’: manusia pertama kali yang mengerjakan shalat Isya’ adalah Nabi Musa As.
Sebagai seorang muslim kita wajib melaksanakan shalat lima waktu dangan memahami tata cara baik yang berhubungan gerakan maupun bacaan dan jumlah rakaatnya. Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi diperintah Allah untuk melaksanakan shalat lima waktu yaitu subuh, dhuhur,asyar.magrib dan isya’.

Selasa, 2 September 2014

Sholatnya Para Nabi Dan Nabi Muhammad sebelum turun kewajiban sholat yang lima waktu



 بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

     
 OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Sholatnya Para Nabi Dan Nabi Muhammad sebelum turun kewajiban sholat yang lima waktu

Diriwayatkan dari Aisyah, Ummul mukminin ra. dia berkata; Awal mula wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw. berupa mimpi yang benar. Ketika itu Rasulullah saw. mendapatkan mimpi yang benar seterang cahaya pagi, kemudian beliau senang berkhalwat (menyepi). Beliau berkhalwat di gua Hira untuk beribadah selama beberapa malam sebelum beliau kembali kepada keluarganya. Rasulullah saw. membawa perbekalan makanan untuk berkhalwat, lalu beliau pulang menemui Khadijah untuk mengambil perbekalan lagi, sehingga ketika berada di dalam gua Hira beliau tiba-tiba mendapat wahyu. Beliau didatangi malaikat yang mengakatan “Bacalah!” Rasulullah saw menjawab, “Aku tidak bisa membaca”. Kata Rasulullah saw: “Lalu malaikat itu memelukku keras-keras sehingga nafasku terasa sesak, kemudian dia melepaskanku, lalu dia katakan lagi, “Bacalah!” Aku menjawab “Aku tidak bisa membaca”. Dia memelukku lagi lagi (kedua kalinya) dengan keras sehingga nafasku terasa sesak, lalu dia melepaskanku, kemudian dia membacakan, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmulah yang maha pemurah”, (QS.Al-laq: 1-3)Kemudian Rasulullah saw. pulang membawa wahyu dengan hati yang penuh ketakutan. Beliau menemui Khadijah binti Khuwaylid ra. Kata beliau, “Selimutilah aku! Selimutilah aku” Maka keluarga Nabi saw. menyelimutibeliau sehingga rasa takut beliau hilang. Beliau ceritakan kepada Khadijah peristiwa yang telah beliau alami. Kata beliau, “Aku takut akan terjadi sesuatu pada diriku”. Khadijah menjawab. “Demi Allah, tidak akan terjadi apa-apa. Allah tidak akan membuatmu hina, karena engkau selalu menyambung sanak kerabat, menolong fakir miskin, menghormati tamu dan membantu orang-orang yang tertimpa musibah”.Khadijah mengajak Nabi saw. pergi untuk menemui Waraqaoh bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘Uzza, sepupu Khadijah. Waraqoh adalah orang yang beragama Nasrani pada masa Jahiliyah dan pernah menulis kitab Injil dalam bahasa Ibrani sebanyak yang dikehendaki oleh Allah. Ketika itu Warakahsudah tua dan buta. Kata Khajdijah, “Hai sepupuku! dengarlah kata sepupumu ini (Muhammad) ini!” Waraqah bertanya kepada Nabi asw., “Hai sepupuku! Apa yang kau alamai, lalu Waraqah mengatakan apa yang telah kau alamai, Rasulullah menuturkan kepada Waraqah apa yang telah beliau alamai, lalu Waraqah mengatakan kepada beliau, “Dia itu An-Namus (Jibril) yang juga telah diutus oleh Allah kepada Nabi Musa. Betapa seandainya aku masih muda dan masih hidup ketika nanti kaummu mengusirmu!” Rasulullah saw, bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya. Tidak ada laki-laki yang menyampaikan wahyu seperti yang kau bawa ini melainkan akan dimusuhi. Seandainya aku masih hidup ketika nanti kau diusir niscaya aku akan membelamu dengan segenap kemampuanku”.Tidak lama kemudian Waraqah wafat dan wahyu pun tidak turun dalam beberapa waktu.
(HR. Bukhari, hadits no.3)
Keterangan HADITS :
قوله: “فيتحنث” هي بمعنى يتحنف، أي يتبع الحنفية وهي دين إبراهيم(Keterangan “فيتحنث” dengan menggunakan makna يتحنف artinya pengikut agama Hanafiyah yakni agama nabi Ibrahim As.Fath al-Baari I/23
وما الحنيف قال دين إبراهيم لم يكن يهوديا ولا نصرانيا وكان لا يعبد إلا الله
Apakah yang dimaksud Haniif ?Ialah agama nabi Ibrahim As. Yang bukan agama Yahudi ataupun Nashrani, pengikut haniif tidak menyembah kecuali hanya pada Allah.
Dalaail an-Nubuwwah Li Ismaa’iil I/81
الحنيف المستقيم على الحق ، والأحنف هو المستقيم في حلقة الرِّجْل ، ويسمى مائل القَدَم بذلك على التفاؤل وإبراهيم عليه السلام كان حنيفاً لا مائلاً عن الحق ، ولا زائغاً عن الشرع ، ولا مُعَرِّجاً على شيء وفيه نصيب للنفس ، فقد سَلَّم مَالَه ونَفْسَه ووَلدَه ، وما كان له به جملةً – إلى حكم الله وانتظار أمره .
Haniif adalah orang yang konsekuen dengan agamanya.. Dan Ibrahim As. Adalah orang yang haniif tidak melenceng dari kebenaran , tidak melenceng dari syariat dan memenuhi keinginan-keinginan nafsunya, ia rela berkorban menyerahkan hartanya, nyawanya dan anaknya demi menetapi hukum Allah.
Tafsiir alQusyairy I/330
{ بَلْ مِلَّةَ إبراهيم حَنِيفًا } أي مخالفاً لليهود والنصارى منحرفاً عنهما ، وأما المفسرون فذكروا عبارات ، أحدها : قول ابن عباس والحسن ومجاهد : أن الحنيفية حج البيت . وثانيها : أنها اتباع الحق ، عن مجاهد . وثالثها : اتباع إبراهيم في شرائعه التي هي شرائع الإسلام . ورابعها : إخلاص العمل وتقديره : بل نتبع ملة إبراهيم التي هي التوحيد عن الأصم قال القفال : وبالجملة فالحنيف لقب لمن دان بالإسلام كسائر ألقاب الديانات ، وأصله من إبراهيم عليه السلام .
“Bahkan agama Ibrahim adalah Haniif” yang berbeda dengan orang yahudi ataupun Nashrani, menyalahi keduanya.Menurut beberapa pendapat Ulama tafsiir tentang HANIIF1. Pendapat Ibn Abbas, al-Hasan al-Basyri dan Mujahid, haniif menjalani ibadah haji di Baitullah2. Mengikuti kebenaran3.Mengikuti syariat-syariat Ibrahim As. Yang berarti syariat-syariat Islam4. Mengikhlaskan amal perbuatan dan takdirnya yang inti amal perbuatannya mengikuti syariat Nabi Ibrahim yakni Tauhid
Menurut al-Qaffal “Haniif adalah julukan bagi mereka yang mengikuti ajaran Islam yang asal ajarannya dari Nabi Ibrahim As.
Tafsiir ar-Rooziy II/370
أن الحنيف اسم لمن دان بدين إبراهيم عليه السلام ومعلوم أنه عليه السلام أتى بشرائع مخصوصة ، من حج البيت والختان وغيرهما ، فمن دان بذلك فهو حنيف ، وكان العرب تدين بهذه الأشياء . ثم كانت تشرك ، فقيل من أجل هذا : { حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ المشركين
Haniif adalah nama julukan bagi orang yang mengikuti agama Ibrahim As. Yang seperti telah maklum bhwa beliau datang dengan membawa syariat dari Allah SWT, seperti Haji, Khitan dsb,Orang yang beragama demikian disebut HANIIF, adalah orang-orang arab beragama semacam ini namun kemudian mereka syirik karena Allah berfirmn “Ibrahim adalah haniif dan tidak tergolong orang-orang yang musyrik”.
Tafsiir ar-Rooziy II/371
قال أبو العالية : الحنيف الذي يستقبل البيت في صلاته
Abu ‘Aaliyah berkata “Haniif adalah orang yang saat shalatnya menghadap kiblat”Tafsiir ar-Rooziy VI/354
و « الحنيف » : المستقيم في الدِّين ، أو المائل إلى الحق بالكلية .
Haniif adalah orang yang lurus dalam agamanya atau condong pada kebenaran secara keseluruhan.
Tafsiir alQusyairy IV/220
الحنيف المائلُ إلى الحق عن الباطل في القلبِ والنَّفْسِ ، في الجهر وفي السِّرِّ ، في الأفعال وفي الأحوال وفي الأقوال { غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ } : الشِّركُ جَلِيٌّ وخَفِيٌ .
Haniif adalah orang yang condong pada kebenaran jauh dari kebatilan dalam hati dan nafsunya baik saat dalam kondisi terang-terangan atau menyendiri, dalam perbuatan, haliyah dan ucapan serta tidak musyrik baik syirk yang jelas atau samar.
Tafsiir alQusyairy V/195
Shalatnya Rasul  Sebelum Isro` Mi`roj
فائدة ذهب جماعة إلى أنه لم يكن قبل الإسراء صلاة مفروضة الا ما كان وقع الأمر به من صلاة الليل من غير تحديد وذهب الحربي إلى أن الصلاة كانت مفروضة ركعتين بالغداة وركعتين بالعشي وذكر الشافعي عن بعض أهل العلم إن صلاة الليل كانت مفروضة ثم نسخت بقوله تعالى فاقرءوا ما تيسر منه فصار الفرض قيام بعض الليل ثم نسخ ذلك بالصلوات الخمس
Al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asyqalaany berkata :”Segolongan Ulama memilih tidak terdapatnya shalat fardhu sebelum Isro’ kecuali sebatas shalat-shalat yang terdapat perintah menjalankannya seperti shalat malam yang dikerjakan tanpa dibatasi,
al-Harby shalat sebelum Isro’ diwajibkan dikerjakan dengan dua rakaat dipagi hari dan dua rakaat di sore hari,
Imam Syafi’i menuturkan dari sebagian Ahli Ilmu bahwa shalat malam awal mulanya shalat malam diwajibkan kemudian dinaskh (dihapus hukumnya) dengan firman Allah “maka bacalah yang gampang darinya” maka jadilah shalat wajib adalah menjalani shalat disebagian malam yang kemudian kewajibannya pun dinaskh dengan shalat lima waktu”.

Sholat nabi Isa, Musa dan nabi lainnya hampir sama dengan Nabi Muhammad saw.



Sebelum Rasulullah menerima perintah sholat (ibadah orang muslim) Para nabi dan kaum terdahulu (termasuk Yahudi) sudah melakukan sholat sesuai syariatnya

Allah memerintahkan Maryam (Ibunda Isa as.) untuk melakukan sujud dan ruku bersama-sama orang yg ruku (sholat berjamaah)
"Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orangyang ruku." (QS. Ali 'Imran: 43)

Maryam adalah berkebangsaan Israil yang juga melakukan "sholat"
apakah sholat Maryam atau nabi Isa sama seperti sholatnya muslim?
Wallaahu a'lam

Tapi mungkin ayat Injil perjanjian baru dibawah ini bisa sebagai acuan

(Matthew/Matius 26:39) "And he (Jesus) went a little further, and fell on his face, and prayed, saying, O my Father, if it be possible, let this cup pass from me: nevertheless not as I will, but as thou wilt." - New Testament
Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu  dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki

(Matius 17:6) 
Versi bhs Indonesia: Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan.
Versi bhs Inggris:  "And when the disciples heard it, they fell on their face (menyungkur diatas wajah), and were sore afraid.

Sholatnya nabi Musa & harun
"And Moses made haste, and bowed his head toward the earth, and worshipped." - Old Testament (Tanakh) (Exodus 34:8)
“And Moses and Aaron went from the presence of the assembly unto the door of the tabernacle of the congregation, and they fell upon their faces (SUJUD): and the glory of the LORD appeared unto them.” - Old Testament (Tanakh) (Numbers 20:6)

dan nabi-nabi lainnya
And Ezra blessed the LORD, the great God. And all the people answered, Amen, Amen, with lifting up their hands: and they bowed their heads, and worshipped the LORD with [their] faces to the ground. - Old Testament (Tanakh) (Nehemiah 8:6)
(Arti: mengangkat tangan dan merunduk (ruku) dan wajah mereka diatas tanah (sujud))


SHOLAT SEBELUM ZAMAN NABI MUHAMMAD

Sebagaimana sholat 5 waktu diwajibkan atas ummat Muhammad -sholallahu 'alaihi wasallam-, maka para nabi sebelum beliau juga diwajibkan atas mereka sholat. mereka dan ummat yang mengikuti mereka juga mengerjakan sholat. adapun dasar bahwa mereka juga mengerjakan sholat yaitu sholat yang memang disyariatkan atas mereka dengan syariah
yang berbeda-beda adalah sebagai berikut :
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ
Artinya : "Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat." (QS Ibrahim : 37)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
Artinya : "Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat." (QS Ibrahim : 40)
Firman Allah tentang Musa dan Harun -'alaihima as-salam- :
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : "Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: "Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat shalat dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman." (QS Yunus : 87)
Dan tentang Isa -'alaihi as-salam- :
وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
Artinya : "Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup." (QS Maryam : 31)
Dan tentang Zakaria :
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ
Artinya : "Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab." (QS Ali Imran : 39)
Dan tentang semua nabi -'alaihim as-salam- :
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا # فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا # إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
Artinya : "Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (58) Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (59) kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun. (60)" (QS Maryam : 58-60)
Adapun sholat mereka juga ada sujud dan rukuknya. Allah berfirman :
a
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Artinya : "Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud"." (QS Al-Baqoroh : 125)
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya : "Wahai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk." (QS Ali Imran : 43)
Rosulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- bersabda :
إنا معاشر الأنبياء أُمرنا بتعجيل فطرنا وتأخير سحورنا ووضع أيماننا على شمائلنا في الصلاة
Artinya : "Kami para nabi diperintahkan akan 3 hal : mendahulukan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan kami diatas tangan kiri kami dalam sholat." (HR At-Thabrani)
Akan tetapi bagaimana sholatnya para nabi sebelum kita? Allah lebih tahu bagaimana sholat mereka secara lebih mendetail. yang pasti, kita sebagai ummat Muhammad -sholallahu 'alaihi wasallam- diperintahkan untuk melaksanakan sholat sebagaimana yang Nabi -sholallahu 'alaihi wasallam- contohkan. beliau bersabda :
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : "Sholatlah sebagaimana kalian melihatku sholat." (HR Bukhori)

SISTEM KEUWANGAN ZAMAN RASULULLAH






 بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

     

 OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


SISTEM KEUWANGAN ZAMAN RASULULLAH

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah ekonomi Islam berawal dari di angkatnya Muhammad sebagai utusan Allah pada usia ke 40. Rasulullah mengeluarkan berbagai kebijakan yang selanjutnya diikuti dan diteruskan oleh pengganti-penggantinya yaitu khulafaurrasyidin. Pemikiran ekonomi Islam didasarkan atas Al-Qur’an dan al-hadits.
Kehidupan Rasulullah Saw dan masyarakat muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian Muhammad Saw adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan perekononmian di Rasulullah di sini adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy.
Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi sejahatera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliaua telah menunjukkan prisip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada waktu itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Perekonomian Pada Masa Rasulullah ?
2. Bagaimana Keadaan Sistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah ?
3. Bagaimana Sistem Keuangan dan Pajak Pada Masa Rasulullah ?
4. Apa Sumber-Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara ?
5. Apa yang dimaksud dengan Baitul Mal ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1) Bagaimana Perekonomian Pada Masa Rasulullah ?
2) Bagaimana Keadaan Sistem Ekonomi Pada Masa Rasulullah ?
3) Bagaimana Sistem Keuangan dan Pajak Pada Masa Rasulullah ?
4) Apa Sumber-Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara ?
5) Apa yang dimaksud dengan Baitul Mal ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perekonomian di Masa Rasulullah (571-632 M)
Sejarah ekonomi Islam berawal dari di angkatnya Muhammad sebagai utusan Allah pada usia ke 40. Rasulullah mengeluarkan berbagai kebijakan yang selanjutnya diikuti dan diteruskan oleh pengganti-penggantinya yaitu khulafaurrasyidin. Pemikiran ekonomi Islam didasarkan atas Al-Qur’an dan al-hadits.
Kehidupan Rasulullah Saw dan masyarakat muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian Muhammad Saw adalah seorang pebisnis, tetapi yang dimaksudkan perekononmian di Rasulullah di sini adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy.
Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi sejahatera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliaua telah menunjukkan prisip-prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada waktu itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan.
Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah Islam, sementara sumber daya ekonomi tidak boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan.
Sebelum Islam datang situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam ketidak pastiaan. Oleh karena itu, beberapa kelompok penduduk kota Yatsrib berinisiatif menemui Nabi Muhamad Saw. Yang terkenal dengan sifat al-amin (terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pemimpin mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam
Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib sesuai dengan perjanjian,di kota yang bertanah subur ini, Rasulallah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib.
Sejak saat itu kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah. Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun. Oleh karena itu Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tergantung pada faktor keuangan.
Dalam hal ini strategi yang di lakukan oleh Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Membangun Masjid
Setibanya di kota Madinah, tugas pertama yang di lakukan oleh Rasulullah Saw.adalah mendirikan masjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap system, akidah dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas masjid. Kaum muslim akan sering bertemu dan berkomunikasi sehingga tali ukhuwwah dan mahabah semakin terjalin kuat dan kokoh.
2) Merehabilitas Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan masjid tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang berhijrah ke Madinah). Kaum muslimin yang melakukun hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga baik yang sudah tiba di Madinah maupun yang masih dalam perjalanan dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan di kota Madinah. Sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka.
3) Membangun Konstitusi Negara
Setelah mendirikan masjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar tugas berikutnya yang di lakukan Rasulullah Saw adalah menyusun konstitusi negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga Negara baik Muslim maupun non-Muslim, serta pertahanan dan keamanan negara.
Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam setiap orang di larang melakukan sebagai aktivitas ysng dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
4) Meletakan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan berbagai upaya stabilitas di bidang sosial, politik serta pertahanaan dan keamanan negara, Rasulallah meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Al Qur’an, seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di hapus dan di gantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qurani, yakni persaudaran, persamaan, kebebasan dan keadilan.
B. Sistem Ekonomi
Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi. Oleh karena itu,peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah Saw merupakan langkah yang sangat signifikan,sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai ssebuah agama dan negara dapat brkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah Saw berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.
Alqur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi.
Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan menjdai kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah, melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan, bahkan setelah kehidupan dunia ini. Dengan kata lain, Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
C. Sistem Keuangan dan Pajak
Sebelum Nabi Muhamad s.a.w diangkat sebagai rasul dalam masyarakat jahilyah sudah terdapat lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu yang disebut Darun Nadriah. Di dalamnya para tokoh Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan etika dilantik sebagai rasul mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu yaitu darul arqam. Perkembangan lembaga ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan sampai akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Ketika beliau hijrah ke Madinah maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah Masjid (Masjid Quba). Yang bukan saja merupakan tempat beribadah tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan membentuk “lembaga” persatuan di antara para sahabatnya yaitu persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini di ikuti dengan pembangunan mesjid lain yang lebih besar (Mesjid nabawi) yang kemudian yang menjadi sentral pemerintah. Untuk selanjutnya pendirian (lembaga) dilanjutkan dengan penertiban pasar. Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar yang baru yang khusus untuk kaum muslimin. Karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus berjalan dengan sunatullah. Demikian halnya dalam penentuan harga dan mata uang tidak ada satupun bukti sejarah yang menunjukan bahwa nabi Muhamad membuat mata uang sendiri.
Pada tahun-tahun awal sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara. Seluruh tugas negara dilaksanakan kaum musimin secara bergotong royong dan sukarela.
Mereka memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sendiri. Mereka memperoleh pendapatan dari bebagai sumber yang tidak terikat. Tidak hanya masa sekarang saja adanya sumber anggaran negara semisal pajak, zakat, kharaj dan sebagainya tetapi di Madinah juga pada masa rasulullah sudah ada yang namanya sumber anggaran pendapatan negara semisal pajak, zakat, kharaj dan sebagainya.
Pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang di fardhukan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Allah telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi mereka yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-obyek tertentu. Dalam mewajibkan pajak tidak mengenal bertambahnya kekayaan dan larangan tidak boleh kaya dan untuk mengumpulkan pajak tidak akan memperhatikan ekonomi apapun. Namun pajak tersebut dipungut semata berdasarkan standar cukup. Tidak hanya harta yang ada di baitul mal, untuk memenuhi seluruh keperluan yang dibutuhkan sehingga pajak tersebut di pungut berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara. Karakteristik pekerjaan masih sangat sederhana dan tidak memerlukan perhatian penuh. Rasulullah sendiri adalah seorang kepala negara yang merangkap sebagai ketua mahkamah agung, mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggungjawab seluruh administrasi negara. Ia tidak memperoleh gaji dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil yang pada umumnya berupa bahan makanan. Majelis syura terdiri dari para sahabat terkemuka yang sebagian dari mereka bertanggung jawab mencatat wahyu. Pada tahun keenam hijriah, sebuah sekretariat sederhana telah dibangun dan ditindak lanjuti dengan pengiriman duta-duta negara ke berbagai pemerintahan dan kerajaan.
Demikianlah adanya sumber pendapatan negara semisal sistem keuangan dan pajak yang ada pada masa rasulullah yang dapat menjadikan kaum muslimin bisa hidup sejahtera. Tanpa adanya permsuhan dan kesenjangan sosial subhanalloh begitu menakjubkan sekali ditengah kesederhanaannya tetapi bisa menjadikan seluruh kaum muslimin bisa menjalankan aktivitas perekonomian dengan tidak mengesampingkan rasa ukhuwah mereka.
D. Sumber-Sumber Pendapatan dan Sumber-Sumber Pengeluaran Negara
1. Sumber-Sumber Pendapatan Negara
Sumber-sumber pendapatan negara terbagi atas 2 bagian yaitu:
a) Sumber Pendapatan Primer
Pendapatan utama bagi negara dimasa Rasulullah saw adalah zakat dan ushr. Keduanya berbeda dengan pajak dan tidak diperlakukan seperti pajak. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam.
Pada masa Rasulullah, zakat dikenakan pada hal-hal berikut:
1. Benda logam yang terbuat dari emas seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
2. Benda logam yang terbuat dari perak seperti koin, perkakas, perhiasan, atau dalam bentuk lainnya.
3. Binatang ternak unta, sapi, domba, kambing.
4. Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5. Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6. Luqta, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7. Barang temuan.
Zakat emas dan perak ditentukan berdasarkan beratnya. Binatang ternak yang digenbalakan bebas ditentukan berdasarkan jumlahnya. Barang dagangan bahan tambang dan luqta ditentukan berdasarkan nilai jualnya dan hasil pertanian dan buah-buahan ditentukan berdasarkan kuantitasnya. Zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan inilah yang dinamakan ushr.
b) Sumber Pendapatan Skunder
Diantara sumber-sumber pendapatan skunder yang memberikan hasil adalah:
1. Uang tebusan untuk para tawanan perang ( hanya khusus pada perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang ).
2. Pinjaman-pinjaman ( setelah penaklukan kota Mekkah ) untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000 dirham ( 20.000 dirham menurut Bukhari ) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah.
3. Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4. Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya.
5. Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal.
6. Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaaraan negera selama masa darurat.
7. Zakat fitrah, zakat yang ditarik di masa bulan Ramadhan dan dibagi sebelum sholat Idul Fitri.
8. Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada acara keagamaan, seperti berburu pada musim haji.
2. Sumber-sumber Pengeluaran Negara
Primer Skunder
Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.
Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Alqur’an, termasuk para pemungut zakat.
Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin dan pejabat negara lainnya.
Pembayaran upah para sukarelawan.
Pembayaran utang negara.
Bantuan untuk musafir (dari daerah fadak). Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
Hiburan para delegasi keagamaan.
Hiburan untuk para utusan suku dan negara serta biaya perjalanan mereka.
Hadiah untuk pemerintah negara lain.
Pembayaran untuk pembebasan kaum Muslim yang menjadi budak.
Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum muslimin.
Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
Tunjangan untuk sanad saudara Rasulullah.
Pengeluaran rumah tangga Rasulullah saw. (hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya).
Persediaan darurat (sebagian dari pendapatan Khaibar).
E. Baitul Mal
Baitul mal adalah lembaga ekonomi atau keuangan Syariah non perbankan yang sifatnya informal. Disebu informal karena lembaga ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. Rasulullah mulai melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional di madinah pada masa awal hijriah.
Pertamakalinya berdirinyya baitul mal sebagai sebuah lembaga adalah setelah turunnya firman Allah SWT di Badar seusai perang dan saat itu sahabat berselisih tentang ghonimah: ”Mereka ( para sahabat) akan bertaanya kepadamu (Muhammad) tentang anfal, katakanlah bahwa anfal itu milik Allah dan Rasul, maka bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kalian benar-benar beriman”. (QS. AL-ANFAL : 1).
Pada masa Rasulullah Saw Baitul mal terletak di masjid Nabawi yang ketika itu digunakakan sebagai kantor pusat negara serta tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul mal akan tetapi binatang- binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.
Pada zaman Nabi baitul mal belum merupakan suatu tempat yang khusus, hal ini disebabkan harta yang masuk pada saat itu belum begitu banyak dan selalu habis dibagikan kepada kaum muslim, serta dibelanjankan untuk pemeliharaan urusan negara. Baitul mal belum memiliki bagian- bagian tertentu dan ruang untuk penyimpanan arsip serta ruang bagi penulis.
Adapun penulis yang telah diangkat nabi untuk mencatat harta antara lain:
1. Maiqip Bin Abi Fatimah Ad-Duasyi sebagai penulis harta ghonimah.
2. Az-Zubair Bin Al- Awwam sebagai penulis harta zakat.
3. Hudzaifah Bin Al- Yaman sebagai penulis harga pertanian di daerah Hijas.
4. Abdullah Bin Rowwahah sebagai penulis harga hasil pertanian daerah khaibar.
5. Al-Mughoirah su’bah sebagai penulis hutang- piutang dan iktivitaas muamalah yang dilakukan oleh negara.
6. Abdullah Bin Arqom sebagai penulis urusan masyarakat kabila- kabilah termasuk kondisi pengairannya.
Namun semua pendapatan dan pengeluaran negara pada masa Rosulullah tersebut belum ada pencatatan yang maksimal. Keaadaan ini karena berbagai alasan:
1. Jumlah orang Islam yang bisa membaca dan menulis sedikit.
2. Sebagian besarr bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana.
3. Sebagian besar zakat hanya didistribusikan secara lokal.
4. Bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
5. Pada banyak kasus, ghonimah digunakan dan didistribusikan setelah peperangan tertentu.