بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Sejarah Syeh Jangkung Saridin
MENGUNGKAP SOSOK SARIDIN
Syeh Jangkung ketika Kecil Sangat Nakal SIAPA sebenarnya Saridin itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, warga Pati dan sekitarnya mungkin
bisa membaca buku Babad Tanah Jawa yang hidup sekitar awal abad ke-16.
Sebab, menurut cerita tutur tinular yang hingga sekarang masih diyakini
kebenarannya oleh masyarakat setempat, dia disebut-sebut putra salah
seorang Wali Sanga, yaitu Sunan Muria dari istri bernama Dewi Samaran.
Siapa wanita itu dan mengapa seorang bayi laki-laki bernama Saridin
harus dihanyutkan ke sungai / kali? Konon cerita tutur tinular itulah yang akhirnya
menjadi pakem dan diangkat dalam cerita terpopuler grup drama di
Pati, Sri Kencono. Cerita babad itu menyebutkan, bayi tersebut memang
bukan darah daging Sang Sunan dengan istrinya, Dewi Samaran.
Terlepas sejauh mana kebenaran cerita itu, dalam waktu perjalanan
cukup panjang muncul tokoh Branjung di Desa Miyono yang menyelamatkan
dan merawat bayi Saridin hingga beranjak dewasa dan mengakuinya sebagai
saudaranya. Cerita pun merebak. Ketika masa mudanya, Saridin memang suka
hidup mblayang mengembara (berpetualang) sampai bertemu dengan Syeh Malaya yang
dia akui sebagai guru sejati.
Syeh Malaya itu tak lain adalah Sunan Kalijaga. Kembali ke Miyono,
Saridin disebutkan telah menikah dengan seorang wanita yang hingga
sekarang masyarakat lebih mengenal sebutan ”Mbokne (ibunya) Momok” dan
dari hasil perkawinan tersebut lahir seorang anak laki- laki yang diberi
nama Momok.
Sampai pada suatu ketika antara Saridin dan Branjung harus bagi waris
atas satu-satunya pohon durian yang tumbuh dan sedang berbuah lebat.
Bagi waris tersebut menghasilkan kesepakatan, Saridin berhak mendapatkan
buah durian yang jatuh pada malam hari, dan Branjung dapat buah durian
yang jatuh pada siang hari.
Kiasan
Semua itu jika dicermati hanyalah sebuah kiasan karena cerita tutur
tinular itu pun melebar pada satu muara tentang ketidak jujuran Branjung
terhadap ibunya Momok. Sebab, pada suatu malam Saridin memergoki sosok
bayangan seekor harimau /macan sedang makan durian yang jatuh.
Dengan sigap, sosok bayangan itu berhasil dilumpuhkan menggunakan
tombak. Akan tetapi, setelah tubuh binatang buas itu tergolek dalam
keadaan tak bernyawa, berubah wujud menjadi sosok tubuh seseorang yang
tak lain adalah Branjung.
Untuk menghindari cerita tutur tinular agar tidak vulgar, yang
disebut pohon durian satu batang atau duren sauwit yang menjadi nama
salah satu desa di Kecamatan Kayen, Durensawit, sebenarnya adalah ibunya
Momok, tetapi oleh Branjung justru dijahili.
Terbunuhnya Branjung membuat Saridin berurusan dengan penguasa
Kadipaten Pati. Adipati Pati waktu itu adalah Wasis Joyo Kusumo yang
harus memberlakukan penegakan hukum dengan keputusan menghukum Saridin
karena dinyatakan terbukti bersalah telah membunuh Branjung.
Meskipun dalam pembelaan Saridin berulang kali menegaskan, yang
dibunuh bukan seorang manusia tetapi seekor macan, fakta yang terungkap
membuktikan bahwa yang meninggal adalah Branjung akibat ditombak
Saridin.
Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, dia harus menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh penguasa Pati.
Pulang
Sebagai murid Sunan Kalijaga yang tentu mempunyai kelebihan dan
didorong rasa tak bersalah, kepada penguasa Pati dia menyatakan telah
punya istri dan anak. Karena itu, dia ingin pulang untuk menengok
mereka.
Ulahnya Menjengkelkan Sunan Kalijaga ONTRAN - ontran Saridin di
perguruan Kudus tidak hanya menjengkelkan para santri yang merasa diri
senior, tetapi juga merepotkan Sunan Kudus. Sebagai murid baru dalam
bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia
harus menghadapi persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah
dia tunjukkan ketika beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan
ikan.
Untuk menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah
setiap air pasti ada ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada,
Kanjeng Sunan.”
Mendengar jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik
buah kelapa dari pohon di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata
kebenaran jawaban Saridin terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada
sejumlah ikan. Karena itulah Sunan Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru
tersenyum simpul.
Akan tetapi murid lain menganggap Saridin lancang dan pamer
kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak mandi dan
tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan semua
ember untuk mengambil air.
Saridin tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat
giliran mengisi bak air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur
karena tak kebagian ember. Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada
keranjang.” Dasar Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air.
Dalam waktu sekejap bak mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri
lain pun hanya bengong.
Dalam tandas
Cerita soal kejadian itu dalam sekejap sudah diterima Sunan Kudus.
Demi menjaga kewibawaan dan keberlangsungan belajar para santri, sang
guru menganggap dia salah. Dia pun sepantasnya dihukum.
Sunan Kudus pun meminta Saridin meninggalkan perguruan Kudus dan tak
boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Kudus. Vonis itu membuat Saridin
kembali berulah. Dia unjuk kebolehan.
Tak tanggung-tanggung, dia masuk ke lubang tandas dan berdiam diri di
atas tumpukan ninja. Pagi-pagi ketika ada seorang wanita di lingkungan
perguruan buang hajat, Saridin berulah. Dia memainkan bunga kantil, yang
dia bawa masuk ke lubang tandas, ke bagian paling pribadi wanita itu.
Karena terkejut, perempuan itu menjerit. Jeritan itu hingga
menggegerkan perguruan. Setelah sumber permasalahan dicari, ternyata itu
ulah Saridin. Begitu keluar dari lubang tandas, dia dikeroyok para santri
yang tak menyukainya. Dia berupaya menyelamatkan diri. Namun para santri
menguber ke mana pun dia bersembunyi.
Lagi-lagi dia menjadi buronan. Selagi berkeluh kesah, menyesali diri, dia bertemu kembali dengan sang guru sejati, Syekh Malaya.
Sang guru menyatakan Saridin terlalu jumawa dan pamer kelebihan.
Untuk menebus kesalahan dan membersihkan diri dari sifat itu, dia harus
bertapa mengambang atau mengapung) di Laut Jawa.
Padahal, dia tak bisa berenang. Syekh Malaya pun berlaku bijak. Dua
buah kelapa dia ikat sebagai alat bantu untuk menopang tubuh Saridin
agar tak tenggelam.
Dalam cerita tutur-tinular disebutkan, setelah berhari-hari bertapa
di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di Palembang.
Cerita tidak berhenti di situ. Karena, dalam petualangan berikutnya,
Saridin disebut-sebut sampai ke Timur Tengah.
Lulang Kebo Landoh Tak Tembus Senjata ATAS jasanya menumpas agul-agul
siluman Alas Roban, Saridin mendapat hadiah dari penguasa Mataram,
Sultan Agung, untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli.
Akan tetapi, wanita itu menyandang derita sebagai bahu lawean.
Maksudnya, lelaki yang menjadikannya sebagai istri setelah berhubungan
badan pasti meninggal.
Dia harus berhadapan dengan siluman ular Alas Roban yang merasuk ke
dalam diri Retno Jinoli. Wanita trah Keraton Mataram itu resmi menjadi
istri sah Saridin dan diboyong ke Miyono berkumpul dengan ibunya, Momok.
Saridin membuka perguruan di Miyono yang dalam waktu relatif singkat
tersebar luas sampai di Kudus dan sekitarnya. Kendati demikian, Saridin
bersama anak lelakinya, Momok, beserta murid-muridnya, tetap bercocok
tanam.
Sebagai tenaga bantu untuk membajak sawah, Momok minta dibelikan
seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu boleh
dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga
hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu
jatuh tersungkur dan orang-orang yang melihatnya menganggap hewan
piaraan itu sudah mati. Namun saat dirawat Saridin, kerbau itu bugar
kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau
Landoh yang sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan
sebagian umurnya kepada binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu
saat Saridin yang bergelar Syeh Jangkung meninggal, kerbau itu juga
mati.
Hingga usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak
di sawah. Ketika Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa, kerbau
tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan dan
pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan.
Bahkan, kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat
Momok memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher
kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para
pelayat.
Kebiasan membagi-bagi daging kerbau kepada para pelayat untuk daerah
Pati selatan, termasuk Kayen, dan sekitarnya hingga 1970 memang masih
terjadi. Lama-kelamaan kebiasaan keluarga orang yang meninggal dengan
menyembelih kerbau hilang.
Kembali ke kerbau Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung
meninggal. Lulang (kulit) binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga.
Entah siapa yang mulai meyakini, kulit kerbau itu tidak dimasak tapi
disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak
mempan dibacok senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap
dengan bulunya. Keyakinan itu barangkali timbul bermula ketika kerbau
Landoh disembelih, ternyata tidak bisa putus lehernya
Semoga postingan ini bisa di ambil hikmah dan sejarah tempo dulu buat
di kenang sepanjang mas oleh semua pembaca pengunjung blog kesayangn
kita ini.
Akhir kata saya ucapkan
Wassalamu alaikum..
Tiada ulasan:
Catat Ulasan