Seni Bacaan Al-Quran
Al Qur’an tidak lepas dari lagu. Di dalam melagukan Al Qur’an atau taghonni dalam membaca Al Qur’an akan lebih indah bila diwarnai dengan macam-macam lagu. Untuk melagukan Al Qur’an , para ahli qurro di Indonesia membagi lagu atas 7 ( tujuh ) macam bagian. Antara lain sebagai berikut :
1. Bayati
2. Shoba
3. Hijaz
4. Nahawand
5. Rost
6. Jiharkah
7. Sikah
Dari 7 ( tujuh ) macam lagu di atas masih dibagi dalam beberapa cabang. Macam – macam lagu dan cabangnya antara lain :
1.
Bayati
a. Qoror
b. Nawa
c. Jawab
d. Jawabul jawab
e. Nuzul ( turun )
f. Shu’ud ( naik )
2. Shoba
a. Dasar
b. Ajami/Ala Ajam
Quflah Bustanjar/Qofiyah
3. Hijaz
a. Dasar
b. Kard
c. Kurd
d. Kard-Kurd
e. Variasi
4. Nahawand
a. Dasar
b. Jawab
c. Nakriz
d. Usysyaq
5. Rost
a. Dasar
b. Nawa/Rost ala Nawa
6. Jiharkah
a. Nawa
b. Jawab
7. Sikah
a. Dasar
b. Iraqi
c. Turki
d. Ramal (fales)
Dalam MTQ ( Musabaqoh Tilawatil Qur’an ) ada beberapa materi penilaian. Antara lain :
1. Materi penilaian bidang tajwid, terdiri dari :
a. Makharijul huruf
b. Shifatul huruf
c. Ahkamul huruf
d. Ahkamul mad wal qoshr
2. Materi penilaian bidang fashohah dan adab, terdiri dari :
a. Al Waqf wal – ibtida
b. Muroatul kalimat wal kharokat
c. Muroatul kalimat wal ayat
d. Adabut tilawah
3. Materi penilaian bidang irama dan suara, terdiri dari :
a. Suara
b. Irama dan variasi
c. Keutuhan dan tempo lagu
d. Pengaturan nafas
Kesalahan dalam bidang suara dan irama
1. Kesalahan dalam suara terdiri dari :
a. Suara kasar
b. Suara pecah
c. Suara parau
d. Suara lemah
2. Kesalahan dalam irama terdiri dari :
a. lagu yang tidak utuh
b. tempo lagu yang terlalu cepat atau terlalu lambat
c. irama dan variasi yang tidak indah
d. pengaturan nafas yang tidak terkendali
a. Qoror
b. Nawa
c. Jawab
d. Jawabul jawab
e. Nuzul ( turun )
f. Shu’ud ( naik )
2. Shoba
a. Dasar
b. Ajami/Ala Ajam
Quflah Bustanjar/Qofiyah
3. Hijaz
a. Dasar
b. Kard
c. Kurd
d. Kard-Kurd
e. Variasi
4. Nahawand
a. Dasar
b. Jawab
c. Nakriz
d. Usysyaq
5. Rost
a. Dasar
b. Nawa/Rost ala Nawa
6. Jiharkah
a. Nawa
b. Jawab
7. Sikah
a. Dasar
b. Iraqi
c. Turki
d. Ramal (fales)
Dalam MTQ ( Musabaqoh Tilawatil Qur’an ) ada beberapa materi penilaian. Antara lain :
1. Materi penilaian bidang tajwid, terdiri dari :
a. Makharijul huruf
b. Shifatul huruf
c. Ahkamul huruf
d. Ahkamul mad wal qoshr
2. Materi penilaian bidang fashohah dan adab, terdiri dari :
a. Al Waqf wal – ibtida
b. Muroatul kalimat wal kharokat
c. Muroatul kalimat wal ayat
d. Adabut tilawah
3. Materi penilaian bidang irama dan suara, terdiri dari :
a. Suara
b. Irama dan variasi
c. Keutuhan dan tempo lagu
d. Pengaturan nafas
Kesalahan dalam bidang suara dan irama
1. Kesalahan dalam suara terdiri dari :
a. Suara kasar
b. Suara pecah
c. Suara parau
d. Suara lemah
2. Kesalahan dalam irama terdiri dari :
a. lagu yang tidak utuh
b. tempo lagu yang terlalu cepat atau terlalu lambat
c. irama dan variasi yang tidak indah
d. pengaturan nafas yang tidak terkendali
Taushih
Bayati:
نُوْرٌ النَّبِيِّ عَلَى الْعَوَالِمِ أَسْفَارًا
فَأَبَانَ أَسْبَابًا رَّشَادِ وَأَظْهاَرَ
وَشَرِيْعَةُ الْإِسْلَامِ
وَشَرِيْعَةُ الْإِسْلَامِ
وَشَرِيْعَةُ الْإِسْلَامِ رَاقَ رُوَاعُهَا
رَاقَ رُوَاعُهَا وَالْكُفْرُ أَصْبَحَ جَيْشُهُ مُتَقَهْقِرًا
لَمَّا أَتَى لَمَّا أَتَى خَيْرُ الْأَنَامِ بِدِيْنِهِ وَانْحَلَّ مَا عَقَدَ الْغُوَاةَ مِنَ الْعُرَى
هاَمُوْا جَمِيْعًا بِّالنَّبِيِّ وَدِيْنِهِ وَالْكُفْرُ بَعْدَ الْعُرْفِ صَارَ مُنَكَّرَ
وَاسْتَبْشَرُوا وَاسَتَبْشَرُوا بِالْمُصْطَفَى وَبِنُوْرِهِ
وَالْكُلُّ صَاحَ مُهَلِّلًا وَّمُكَبِّرًا
وَالْكُلُّ صَاحَ مُهَلِّلًا وَّمُكَبِّرًا
وَالْكُلُّ صَاحَ مُهَلِّلًا وَّمُكَبِّرًا
Taushih Shaba:
أَرَى طَيْرًا عَلَى غُصْنٍ يُنَادِ
أَتَتْ بُشْرَى لِمَجْرُوْحِ الْفُئَادِ
بَدَتْ لَيْلاً فَأَضْحَى شِقُهَا
رُكُوْعًا سُجُوْدًا فِي كُلِّ وَادٍ
Taushih Hijaz:
يَا وَرْدَةً وَاسْطَ الرِّيَاضِ مُطِلَّةً
تُجْرِى بِوَجْهِ ذَاتِ خُضْرٍ عَاطِرًا
اَللهُ زَادَ مُحَمَّدًا تَعْظِيْمًا وَهَبَهُ
فَضْلاً مِنْ لَدُنْهُ عَمِيْمًا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا
يَا مَنْ سَمَا السَّبْعَ الطِّبَاقَ مِنَ الْأُولَى
وَدَنَا وَكَلَّمَ رَبَّهُ وَتَشَرَّفَ
أَنْتَ الَّذِى وَطِئَ الْبِشَاطَ بِنَعْلِهِ
وَبِخَلْعِهِ
فِى الطُّوْرِ مُوْسَى كُلِّفَ
Taushih Ras’t:
يَا
سَيِّدًا, يَا
سَيِّدَ الْكَوْنَيْنِ
يَا عَلَّمَ
الْهُدَى
يَا بَدْرَتَيْمٍ
فِى الْوُجُوْدِ
عَلَى الْمَدَى
يَا كَوْكَبًا,
يَا كَوْكَبًا
فَوْقَ الْبُدُوْرِ
بِحُسْنِهِ
يَا مُرْسَلًا,
يَا مُرْسَلًا
بِالْحَقِّ دَوْمًا
سَرْمَدًى
Mengenal Nagham (Irama) Al Quran dan
Kilasan Sejarahnya
Kognisi dan
psikomotorik umat Islam terhadap nagham tidak selazim ilmu tajwid. Kata nagham
secara etimologi paralel dengan kata ghina yang bermakna lagu atau irama.
Secara terminologi nagham dimaknai sebagai membaca Al Quran dengan irama (seni)
atau suara yang indah dan merdu atau melagukan Al Quran secara baik dan benar
tanpa melanggar aturan-aturan bacaan.
Keberadaan ilmu
nagham, tidak sekedar realisasi dari firman Allah dalam suroh Al Muzzammil ayat
4,”Bacalah Al Quran itu secara tartil”, akan tetapi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang
memiliki cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk nagham)
merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh adanya daya
kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul karena didorong oleh
karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Nagham merupakan
salah satu dari sekian ekspresi seni yang menjadi bagian integral hidup
manusia. Bahkan nagham ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan
bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nagham Al Quran. Pertama,
nagham Al Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham
terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua
teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran berasal dari khazanah
tradisional Arab (tentu saja berbau padang pasir). Dengan teori ini pula
ditegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran idealnya bernuansa irama Arab. Sehingga apa
yang pernah ditawarkan Mukti Ali dalam sebuah kesempatan pertemuan ilmiah
tentang pribumisasi lagu-lagu Al Quran (misalnya menggunakan langgam es lilin
dan dandang gulo) tidak dapat diterima. Pada Masa akhir ini sesuai dengan
perkembangan maka melalui teori konvergensi asal bersesuaian dengan nahga arab
klasik.
Meski kedua teori
tersebut hampir benar adanya tapi tetap saja muncul permasalahan. Jika memang
benar nagham Al Quran berasal dari seni Arab lalu siapakah yang pertama kali
mengkonversikannya untuk lagu Al Quran ? Sampai di sini ketidakjelasan. Dan
lagi, jika memang benar nagham Al Quran berasal dari nyanyian tentu dapat
direpresentasikan dalam not balok atau oktaf tangga nada. Tapi kenyataannya
tidaklah demikian, nagham Al Quran sangat sulit ditransfer ke dalam notasi
angka atau nada. Dan karena sifat eksklusifisme inilah kemudian yang “memaksa”
bahwa metode sima’i, talaqqi, dan musyahafah merupakan satu-satunya cara dalam
mentransmisikan lagu-lagu Al Quran
Pada zamannya,
Rasulullah SAW adalah seorang qari’ yang membaca Al Quran dengan suara indah
dan merdu. Abdullah bin Mughaffal pernah mengilustrsikan suara Rasulullah
dengan terperanjatnya unta yang ditunggangi Nabi ketika Nabi melantunkan suroh
Al Fath. Para sahabat juga memiliki minta yang besar terhadap ilmu nagham ini.
Sejarah mencatat sejumlah sahabat yang berpredikat sebagai qari’, diantaranya
adalah : Abdullah Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al Asy’ari. Pada periode tabi’in,
tercatat Umar bin Abdul Aziz dan Safir Al Lusi sebagai qari’ kenamaan.
Sedangkan periode tabi’ tabi’in dikenal nama Abdullah bin Ali bin Abdillah Al
Baghdadi dan Khalid bin Usman bin Abdurrahman.
Kendati di masa
awal Islam sudah tumbuh lagu-lagu Al Quran, namun perkembangannya tak bisa
dilacak karena tak ada bukti yang dapat dikaji. Hal ini dimungkinkan karena
pada saat itu belum ada alat perekam suara. Transformasi seni baca Al Quran
berlangsung secara sederhana dan turun temurun dari generasi ke generasi.
Sejarah juga tak mencatat perkembangan pasca tabi’in. Apresiasi terhadap seni
Al Quran semakin tenggelam seiring dengan semakin maraknya umat Islam melakukan
olah akal (berfilsafat), olah batin (tasawwuf), dan olah laku ibadah (berfiqh).
Selain itu, barangkali ini yang paling mendasar bahwa dibutuhkan kemampuan
khusus untuk masuk dalam kualifikasi qari’, terumata menyangkut modal suara.
Modal ini lebih merupakan hak perogratif Allah untuk diberikan kepada yang
dikehendaki-Nya.
Pada abad ke-20,
kedua model lagu tersebut masuk ke Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut
dilakukan oleh ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang pulang ke
tanah air untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca Al Quran. Lagu
Makkawi sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia karena liriknya
yang sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi mewujud dalam barzanji. Beberapa
qari’ yang menjadi eksponen aliran ini adalah : KH Arwani, KH Sya’roni, KH
Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma’mun, KH Muntaha, dan KH
Azra’i Abdurrauf.
Memasuki paruh abad
20, seiring dengan eksebisi qari’ Mesir ke Indonesia, mulai marak berkembangan
lagu model Mishri. Pada tahun 60-an pemerintah Mesir mensuplai sejumlah maestro
qari’ seperti Syeikh Abdul Basith Abdus Somad, Syeikh Musthofa Ismail, Syeikh
Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syeikh Abdul Qadir Abdul Azim. Animo dan atensi umat
Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Mishri demikian tinggi. Hal ini disebabkan
karakter lagu Mishri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini cocok dengan
kondisi alam Indonesia. Sejumlah qari’ yang menjadi elaboran lagu Mishri adalah
: KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur Ma’mun, KH
Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
Seni baca Al Quran
baru menampakkan geliatnya pada awal abad 20 M yang berpusat di Makkah dan
Madinah serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang
sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nagham) sejak awal 19 M.
Hingga hari ini Makkah dan Mesir merupakan kiblat nagham dunia. Masing-masing
kiblat memiliki karakteristik tersendiri. Dalam makkawi dikenal lagu Banjakah,
Hijaz, Mayya, rakby, Jiharkah, Sikah, dan Dukkah. Sementara pada Misri terdapat
Bayyati, Hijaz, Shoba, Rashd, Jiharkah, Sikah, dan Nahawand.
Nagham Yang sangat
sering ditampilkan Qari /Qari’ah dimasa kini:
1. Nagham bayati
yang terdiri dari bayati qoror, bayati nawa, bayati jawab, bayati
jawabul jawab
2. Nagham shaba
yang terdiri dari shoba Asli, shoba jawab, shoba ajami salalim su’ud, shoba
ajami salalim nuzul. Shoba bastanjar
3. nagham Hijaz
yang terdiri dari hijaz asli, hijas kard, hijaz kard-kurd, hijaz kurd
4.Nagham nahawand
yang terdiri nahawand asli , nahawand usysyaq
5. Naghan sikka
yang terdiri diri sikka asli,sikka ramal, sikka misri, sikka turki
6. nagham ras yang
terdiri dari ras asli, ras alan nawa, ras syabir
Nagham ini bisa
dikembangkan dengan bermacam variasi, yang dikembangkan dengan banyak
mendengarkan bacaan syeh Mustopha Ismail,syeh mustopa Ghalwas dan lainnya
dan juga dengan banyak mendengarkan lagu-lagu padang pasir dari sumber aslinya,
seperti lagu-lagu ummi kulsum, Muhammad Abdul Wahhad dan lannya. Kita dapat
mengembangkan sendiri dan bisa juga dengan memasukkan irama lainya yang
munasabah(sesuai).
Qiraat
Sab'ah
dan Seni Baca Alquran
Sedikitnya,
ada tujuh macam bacaan yang berkembang di dunia Islam dalam membacakan
ayat-ayat Alquran sesuai dengan dialek umat di suatu daerah.
Istilah qiraat yang
biasa digunakan adalah cara pengucapan tiap kata dari ayat-ayat Alquran melalui
jalur penuturan tertentu. Jalur penuturan itu meskipun berbeda-beda karena
mengikuti aliran (mazhab) para imam qiraat, tetapi semuanya mengacu kepada
bacaan yang disandarkan oleh Rasulullah SAW.
Perbedaan qiraat
ini berkisar pada lajnah (dialek), tafkhim (penyahduan bacaan), tarqiq
(pelembutan), imla (pengejaan), madd (panjang nada), qasr (pendek nada),
tasydid (penebalan nada), dan takhfif (penipisan nada). Contoh perbedaan qiraat
yang paling sering kita jumpai adalah imaalah. Pada beberapa lafal Alquran,
sebagian orang Arab mengucapkan vocal 'e' sebagai ganti dari 'a'. Misalnya,
ucapan 'wadl-dluhee wallaili idza sajee. Maa wadda'aka rabuka wa maa qolee'.
Kendati
masing-masing imam punya beberapa lafal bacaan yang berbeda, dalam mushaf yang
kita pakai sehari-hari tidak terdapat tanda perbedaan bacaan itu. Perbedaan
lafal bacaan ini hanya bisa kita temui dalam kitab-kitab tafsir yang klasik.
Biasanya, dalam kitab-kitab klasik tersebut, akan ditemukan penjelasan tentang
perbedaan para imam dalam membaca masing-masing lafal itu.
Menurut berbagai
literatur sejarah, perbedaan dalam melafalkan ayat-ayat Alquran ini mulai
terjadi pada masa Khalifah Usman bin Affan. Ketika itu, Usman mengirimkan
mushaf ke pelosok negeri yang dikuasai Islam dengan menyertakan orang yang
sesuai qiraatnya dengan mushaf-mushaf tersebut. Qiraat ini berbeda satu dengan
lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan
ini berlanjut pada tingkat tabiin di setiap daerah penyebaran. Demikian
seterusnya sampai munculnya imam qurra'.
Begitu banyaknya
jenis qiraat sehingga seorang imam, Abu Ubaid al-Qasim ibn Salam, tergerak
untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai qiraat dan menyusunnya
dalam satu kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai kitab
qiraat dengan masing-masing metode penulisan dan kategorisasinya.
Demi kemudahan
mengenali qiraat yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian jenisnya adalah
cara yang sering digunakan. Dari segi jumlah, ada tiga macam qiraat yang
terkenal, yaitu qiraat sab'ah, 'asyrah, dan syadzah. Sedangkan, Ibn al-Jazari
membaginya dari segi kaidah hadis dan kekuatan sanadnya. Namun demikian, kedua
pembagian ini saling terkait satu dengan lainnya.
Jenis qiraat yang
muncul pertama kali adalah qiraat sab'ah. Qiraat ini telah akrab di dunia
akademis sejak abad ke-2 H. Namun, pada masa itu, qiraat sab'ah ini belum
dikenal secara luas di kalangan umat Islam. Yang membuat tidak atau belum
memasyarakatnya qiraat tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat
itu hanya memasyarakatkan satu jenis qiraat dengan mengabaikan qiraat yang
lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Abu Bakar Ahmad
atau yang dikenal dengan Ibnu Mujahid menyusun sebuah kitab yang diberi nama
Kitab Sab'ah. Oleh banyak pihak, kitab ini menuai kecaman sebab dianggap
mengakibatkan kerancuan pemahaman orang banyak terhadap pengertian 'tujuh kata'
yang dengannya Alquran diturunkan.
Kitab Sab'ah
disusun Ibnu Mujahid dengan dengan cara mengumpulkan tujuh jenis qiraat yang
mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah SAW terkemuka. Mereka
adalah Abdullah bin Katsir al-Dariy dari Makkah, Nafi' bin Abd al-Rahman ibn
Abu Nu'aim dari Madinah, Abdullah al-Yashibiyn atau Abu Amir al-Dimasyqi dari
Syam, Zabban ibn al-Ala bin Ammar atau Abu Amr dari Bashrah, Ibnu Ishaq
al-Hadrami atau Ya'qub dari Bashrah, Ibnu Habib al-Zayyat atau Hamzah dari
Kufah, dan Ibnu Abi al-Najud al-Asadly atau Ashim dari Kufah.
Ketika itu, Ibnu
Mujahid menghimpun qiraat-qiraat mereka. Ia menandakan nama Ya'qub untuk
digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah. Pergantian ini memberi kesan
bahwa ia menganggap cukup Abu Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga, untuk Kufah,
ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, Ashim, dan al-Kisai. Meskipun di luar
tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, kemasyhuran tujuh imam tersebut
semakin luas setelah Ibnu Mujahid secara khusus membukukan qiraat-qiraat
mereka.
Nazam
Kendati ilmu qiraat berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Alquran, ia tidak memiliki kaitan dengan melagukan bacaan Alquran. Khusus untuk masalah melagukan Alquran, biasanya dijelaskan dalam nazam, yaitu seni membaca Alquran. Keberadaan ilmu nazam diterangkan secara jelas dalam firman Allah dalam surat Almuzzammil ayat 4, ''Bacalah Alquran itu secara tartil.''
Kendati ilmu qiraat berhubungan dengan pelafalan ayat-ayat Alquran, ia tidak memiliki kaitan dengan melagukan bacaan Alquran. Khusus untuk masalah melagukan Alquran, biasanya dijelaskan dalam nazam, yaitu seni membaca Alquran. Keberadaan ilmu nazam diterangkan secara jelas dalam firman Allah dalam surat Almuzzammil ayat 4, ''Bacalah Alquran itu secara tartil.''
Di berbagai wilayah
negeri Islam, berkembang aneka ragam seni membaca Alquran. Dalam pelajaran
nazam, dikenal berbagai jenis seni membaca Alquran, seperti Nahawan, Bayati,
Hijaz, Shaba, Ras, Jiharkah, Syika, dan lainnya. Semua jenis lagu atau irama
itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat sab'ah. Semata-mata hanya seni
membaca secara tartil (indah) dan tak ada kaitannya dengan bagaimana melafalkan
ayat Alquran.
Umumnya, para
pembaca Alquran dari Mesir yang membawa seni baca Alquran ke Indonesia. Mereka
mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya serta membuat
harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang sering kali diperlombakan dalam
acara musabaqah tilawatil quran (MTQ). Meski bukan satu-satunya jenis
perlombaan, biasanya yang paling mencuat memang masalah seni membaca.
Sedangkan, bacaan
qiraat sab'ah justru merupakan cabang ilmu Alquran yang bersifat syar'i.
Bahkan, dalam banyak hal, perbedaan qiraat ini pun berpengaruh kepada perbedaan
makna dan kesimpulan hukum. Sedangkan, seni baca Alquran sama sekali di luar
hal ini. Sebab, tujuannya adalah menyuguhkan bacaan Alquran seindah mungkin.
Nazam merupakan
salah satu bentuk ekspresi seni dalam Islam. Nazam ini telah tumbuh sejak lama.
Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nazam
Alquran. Pertama, nazam Alquran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab.
Kedua, nazam terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan
perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Alquran berasal dari
khazanah tradisional Arab. Dengan teori ini pula, ditegaskan bahwa lagu-lagu
Alquran idealnya bernuansa irama Arab.
Seni baca Alquran
baru menampakkan geliatnya pada awal abad ke-20 M yang berpusat di Makkah dan
Madinah serta di Indonesia sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim yang
sangat aktif mentransfer ilmu-ilmu agama (termasuk nazam) sejak awal abad ke-19
M. Hingga hari ini, Makkah dan Mesir merupakan kiblat nazam dunia.
Masing-masing kiblat nazam memiliki karakteristik tersendiri. Dalam Makkawi,
dikenal lagu Banjakah, Hijaz, Mayya, Rakby, Jaharkah, Syikah, dan Dukkah.
Sementara itu, pada Misri terdapat Bayyati, Hijaz, Shoba, Ras, Jiharkah, Sikah,
dan Nahawan.
Pada abad ke-20,
kedua model lagu tersebut masuk ke Indonesia. Transmisi lagu-lagu tersebut
dilakukan oleh ulama-ulama yang mengkaji ilmu-ilmu agama di sana yang pulang ke
tanah air untuk mengembangkan ilmunya, termasuk seni baca Alquran. Lagu Makkawi
sangat digandrungi di awal perkembangannya di Indonesia karena liriknya yang
sangat sederhana dan relatif datar. Lagu Makkawi mewujud dalam Barzanji.
Beberapa qari yang menjadi eksponen aliran ini adalah KH Arwani, KH Sya'roni,
KH Munawwir, KH Abdul Qadir, KH Damanhuri, KH Saleh Ma'mun, KH Muntaha, dan KH
Azra'i Abdurrauf.
Memasuki paruh abad
ke-20, seiring dengan eksebisi qari Mesir ke Indonesia, mulai marak berkembang
lagu model Misri. Pada tahun 60-an, Pemerintah Mesir menyuplai sejumlah maestro
qari, seperti Syekh Abdul Basith Abdus Somad, Syekh Musthofa Ismail, Syekh
Mahmud Kholil Al Hushori, dan Syekh Abdul Qadir Abdul Azim.
Animo dan atensi
umat Islam Indonesia terhadap lagu-lagu Misri demikian tinggi. Hal ini
disebabkan oleh karakter lagu Misri yang lebih dinamis dan merdu. Keadaan ini
cocok dengan kondisi alam Indonesia. Sejumlah qari yang menjadi elaboran lagu
Misri adalah KH Bashori Alwi, KH Mukhtar Lutfi, KH Aziz Muslim, KH Mansur
Ma'mun, KH Muhammad Assiry, dan KH Ahmad Syahid.
Baca dan Pahami Kandungan Alquran
Haji Muammar ZA tentu dikenal banyak orang. Dia adalah qari internasional asal Indonesia yang menjadi juara MTQ tingkat internasional. Selain H Muammar ZA, masih terdapat beberapa nama lain yang juga indah dan merdu dalam membaca Alquran, di antaranya H Nanang Qosim, Maria Ulfa, dan H Khumaedi.
Sebagai seorang
qari yang sangat fasih daam membaca Alquran, H Muammar berusaha menularkan ilmu
membaca Alquran kepada generasi muda Muslim masa kini. Bahkan, di beberapa
pesantren, sering diadakan pelatihan membaca Alquran secara tartil (indah)
dengan menggunakan seni baca Alquran. Mereka ini umumnya bergabung dalam
organisasi yang bernama Jam'iyyatul Qurra wa al-Huffazh, organisasi yang
membina pelajaran membaca indah dan menghafal Alquran.
Banyak orang yang
ingin membaca Alquran dengan baik dan benar serta mampu melafalkannya dengan
seni yang indah. Menurut H Muammar ZA, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
bagi seorang qari dalam melafalkan ayat-ayat Alquran.
Pertama, hendaknya
Alquran dibaca secara fasih dan dengan memerhatikan tajwid. Menurut Muammar,
kedua hal ini merupakan syarat utama dalam seni baca Alquran. Sehingga,
kedua-duanya harus berjalan secara harmonis. ''Kalau kita hanya mengejar lagu
tanpa memerhatikan tajwid, ini merupakan satu kesalahan yang sangat besar.
Membaca dengan bertajwid, membaca dengan fasih, kemudian dilagukan secara harmonis,''
sebagaimana diungkapkannya dalam kaset bimbingan membaca Alquran dengan tartil.
Kedua, seorang qari
harus mempunyai bakat dan juga hobi. Menurutnya, kalau membaca Alquran sudah
menjadi sebuah hobi, itu dapat memberikan satu jaminan bahwa seseorang dapat
berlatih secara kontinu (istikamah). Sedangkan, dengan bakat yang dimiliki,
berarti yang bersangkutan memiliki suara yang khas dan dibutuhkan dalam membaca
Alquran dengan baik, benar, dan indah. Begitu juga dengan pernafasan, hendaknya
sering dilatih agar panjang.
Ketiga, yang tidak
kurang pentingnya, menurut Muammar, seorang qari harus memiliki sifat sabar dan
ikhlas. Pelajaran seni baca Alquran dinilainya betul-betul memerlukan
kesabaran. Dalam mempelajari seni baca Alquran ini, seseorang akan banyak
menghadapi kesulitan-kesulitan. Sebab, pada seni baca Alquran, banyak hal yang
terkait di dalamnya, baik dari segi tajwidnya maupun qiraatnya. Kita perlu
mempelajari bagaimana pernafasan yang baik, bagaimana seluk-beluk lagu, dari
lagu A, B, C, dan sebagainya. Semua itu betul-betul memerlukan kesabaran.
Kemudian, kita juga harus ikhlas. Ikhlas dalam arti betul-betul mempelajari
seni baca Alquran ini karena Allah SWT semata.
Lebih jauh Muammar
menuturkan bahwa lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu pokok dalam seni baca
Alquran ini ada tujuh jenis. Yaitu, Bayyati, Shaba, Hijaz, Nahawan, Ros,
Jiharkah, dan Syika. Di luar ketujuh jenis lagu ini, dianggap sebagai lagu
cabang yang nantinya akan dipergunakan sebagai variasi dalam membentuk susunan
atau komposisi lagu. Di antara lagu-lagu yang dianggap sebagai lagu cabang,
misalnya lagu Nakriz, Awsaq, Zinjiran, Raml, Karqouk, dan sebagainya.
Ketujuh jenis lagu
pokok dalam seni baca Alquran ini biasanya dibawakan dalam beberapa tahap
tingkatan nada, dari mulai nada yang paling rendah sampai nada yang paling
tinggi. Dalam tatanan seni baca Alquran, tingkatan nada dikenal ada empat
tahap, yakni qarar (rendah), nawa (sedang), jawab (tinggi), dan jawabul jawab
(sangat tinggi). Jenis lagu inilah yang 'wajib' dipergunakan pada saat
diselenggarakan musabaqah Alquran.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan