AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Jumaat, 21 Februari 2014

Cara mengqodho' sholat dan ketentuan-ketentuan hukumnya

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

Foto Saya
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Diantara amalan yang tingkat kewajibannya sangat kuat adalah shalat. Karena itu, shalat hukumnya wajib dikerjakan oleh semua orang yang telah baligh, selagi dia masih berakal. Namun sayang, perhatian kaum muslimin terhadap shalatnya, tidak sekuat tingkat kewajibannya. Ada diantara mereka yang meninggalkan sama sekali, ada yang bolong-bolong, ada yang suka telat, hingga ada yang sengaja telat. Jika sudah telat, dia mulai resah, bagaimana cara mengqadha’nya.
Ada beberapa catatan penting terkait dengan qadha shalat:
Pertama, shalat adalah kewajiban yang dibatasi waktunya
Allah berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat merupakan kewajiban bagi orang beriman yang telah ditetapkan waktunya.” (QS. An-Nisa: 103).
Ada batas awal dan ada batas akhir untuk shalat wajib. Orang yang mengerjakan shalat setelah batas akhir statusnya batal, sebagaimana orang yang mengerjakan shalat sebelum masuk waktu, juga batal. Dengan demikian, hukum asal shalat, harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Dan tidak boleh keluar dari hukum asal ini, kecuali karena ada sebab yang diizinkan oleh syariat, seperti alasan bolehnya menjamak shalat.
Kedua, pelaksanaan shalat wajib ada 4 bentuk: ada’, qadha, I’adah, dan dijamak.
1.      Ada’ [arab: أداء] : melaksanakan shalat pada waktu yang telah ditentukan. Inilah cara mengerjakan shalat dalam kondisi normal, sebagaimana jadwal shalat yang telah dimaklumi bersama.
2.      Qadha [arab: قضاء] : melaksanakan shalat setelah batas waktu yang ditetapkan. Ini hanya boleh dikerjakan dalam kondisi tertentu, yang nanti akan dibahas.
3.      I’adah [arab: إعادةُ] : Mengulangi shalat wajib, karena shalat sebelumnya dinilai batal dengan sebab tertentu, namun masih dalam rentang waktu shalat. Misal, orang shalat dzuhur tanpa bersuci karena lupa, kemudian dia mengulangi shalat tersebut sebelum waktu dzuhur selesai.
4.      Jamak : melaksanakan shalat yang digabungkan dengan shalat sebelumnya atau sesudahnya. Jamak hanya boleh dilakukan dengan syarat dan ketentuan tertentu, sebagaimana yang pernah dibahas

Ketiga, orang yang telat dalam mengerjakan shalat ada 2:
a. Telat mengerjakan shalat di luar kesengajaan.
Seperti ketiduran, atau kelupaan, kemudian baru sadar setelah waktu shalat selesai. Dalam kondisi ini, dia diwajibkan untuk segera melaksanakan shalat setelah sadar. Dalil ketentuan ini adalah hadis dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barang siapa yang kelupaan shalat atau tertidur sehingga terlewat waktu shalat maka penebusnya adalah dia segera shalat ketika ia ingat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disebutkan dalam hadis yang lain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan suatu perjalanan bersama para shahabat. Di malam harinya, mereka singgah di sebuah tempat untuk beristirahat. Namun mereka kesiangan dan yang pertama bangun adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sinar matahari.
Kemudian, beliau berwudhu dan beliau memerintahkan agar azan dikumandangkan. Lalu, beliau melaksanakan shalat qabliyah subuh, kemudian beliau perintahkan agar seseorang beriqamah, dan beliau melaksanakan shalat subuh berjemaah. Para sahabatpun saling berbisik, ‘Apa penebus untuk kesalahan yang kita lakukan karena telat shalat?’ Mendengar komentar mereka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَا إِنَّهُ لَيْسَ فِيَّ النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةَ الْأُخْرَى، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَلْيُصَلِّهَا حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا
“Sesungguhnya ketiduran bukan termasuk menyia-nyiakan shalat. Yang disebut menyia-nyiakan shalat adalah mereka yang menunda shalat, hingga masuk waktu shalat berikutnya. Siapa yang ketiduran hingg telat shalat maka hendaknya dia laksanakan ketika bangun…” (HR. Muslim)
Namun perlu diingat, makna hadis ini tidak berlaku untuk orang yang sengaja tidur ketika datang waktu shalat, dan tidak bangun sampai waktu shalat selesai. Kemudian dia beralasan ketiduran, padahal tidak ada usaha darinya untuk bangun ketika waktu shalat.
b. Telat mengerjakan shalat dengan kesengajaan
Orang yang sengaja menunda shalat, hingga keluar waktu shalat, telah melanggar dosa yang sangat besar. Sampai sebagian ulama memvonis perbuatan semacam ini sebagai tindakan kekafiran. Ini menunjukkan bahwa sengaja menunda waktu shalat sampai keluar waktu, statusnya dosa yang sangat besar. Dan dia wajib untuk sungguh-sungguh bertaubat.
Apakah orang ini wajib qadha?
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Mayoritas ulama berpendapat, dia tetap wajib mengqadha shalatnya dan dia berdosa karena perbuatannya, selama belum sungguh-sungguh bertaubat. Sementara pendapat yang dikuatkan syaikhul islam, qadha shalat yang dia kerjakan tidak sah, karena berarti dia melaksanakan shalat di luar waktu tanpa udzur (alasan) yang dibolehkan. Syaikhul Islam mengatakan,
وتارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ، ولا تصح منه ، بل يكثر من التطوع ، وهو قول طائفة من السلف
“Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak disyariatkan meng-qadhanya. Dan jika dilakukan, shalat qadhanya tidak sah. Namun yang dia lakukan adalah memperbanyak shalat sunah. Ini meruapakan pendapat sebagian ulama masa silam.” (Al-ikhtiyarot, hlm. 34).

Keempat, bolehkah melakukan qadha shalat di waktu terlarang
Ada beberapa waktu yang terlarang untuk shalat, diantaranya: ketika matahari terbit, atau matahari tenggelam. Ketika ada orang yang ketiduran shalat subuh dan baru bangun ketika matahari terbit, atau ketiduran shalat asar, dan baru bangun ketika matahari terbenam, bolehkah dia mengqadha?
Dalam fatwa islam dinyatakan,
فإن حصل للمسلم عذر كالنوم والنسيان ولم يتمكن من فعل الصلاة في وقتها ، فإنه يجب عليه إذا زال العذر أن يقضي الصلاة ، ولو كان ذلك في وقت من أوقات النهي . وهو قول جمهور العلماء . انظر : المغني (2/515)
Jika seorang muslim memiliki udzur, seperti ketiduran atau kelupaan, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan shalat pada waktunya, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat ketika sudah sadar, meskipun di waktu yang terlarang. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Simak Al-Mughni (2/515). (Fatawa Islam, no. 20013)

Kelima, baru teringat setelah melewati beberapa shalat
Orang yang lupa shalat, dan baru teringat setelah melewati beberapa shalat maka dia wajib mengqadha shalat tersebut dan beberapa shalat yang dilewati. Misalnya, orang lupa shalat dzuhur dan baru ingat setelah maghrib. Dia wajib mengqadha shalat dzuhur, asar, kemudian maghrib.
Demikian yang difatwakan oleh Imam Malik. Keterangan selengkapnya tentang ini, telah dibahas di:

Keenam, Shalat tanpa bersuci karena lupa
Shalat tanpa bersuci, baik dengan wudhu maupun tayammum, hukumnya batal. Kecuali jika dia tidak mampu melakukan keduanya. Namun jika ada orang yang shalat tanpa berwudhu karena lupa, padahal normalnya dia mampu berwudhu, maka status shalatnya batal dan wajib diulangi, ketika ingat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا يقبَلُ اللهُ صلاةَ أحدِكم إذا أَحْدثَ حتى يتوضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat kalian ketika dalam kondisi hadats, sampai dia berwudhu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena statusnya batal, shalat yang dikerjakan tanpa berwudhu, tidak dinilai sebagai shalat. Dan jika dia baru ingat setelah keluar waktu shalat maka wajib diqadha.
Dalam Fatwa Sayabakah Islamiyah dinyatakan,
فمن صلى بغير وضوء ناسياً، ثم تذكر ذلك ولو بعد خروج وقت الصلاة، توضأ وأعاد صلاته ولا إثم عليه ما دام فعل ذلك نسياناً، لقوله صلى الله عليه وسلم ” إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه ” رواه ابن ماجه والبيهقي وغيرهما
“Orang yang shalat tanpa wudhu karena lupa, kemudian dia baru teringat, meskipun sudah keluar waktu shalat, dia harus berwudhu dan mengulangi shalatnya. Dia tidak berdosa, selama itu dilakukan karena lupa. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah meangampuni kesalahan umatku karena keliru, lupa, atau dipaksa.” HR. Ibnu Majah, Baihaqi dan yang lainnya. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 27116)

 Dibawah ini kami uraikan ketentuan-ketentuan hukum dan cara mengqodho' sholat :

1. Kewajiban mengqodho' sholat yang ditinggalkan

Orang yang wajib mengerjakan sholat, kemudian ia tidak mengerjakannya sampai waktunya habis, maka ia diwajibkan mengqodho' sholat yang ia tinggalkan, berdasarkan sabda Nabi ;


مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ

"Barang siapa yang lupa mengerjakan sholat, maka hendaklah ia melaksanakannya jika telah mengingatnya, tidak ada tebusan baginya kecuali itu." (Shohih Bukhori, no.597 dan Shohih Muslim, no.684)

Dalam riwayat lain dijelaskan ;

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ، أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan sholat tersebut ketika ia ingat."
(Shohih Muslim, no.684)

2. Bergegas mengqodho' sholat

Dan diperbolehkan mengakhirkan qodho' sholat yang ditinggalkan, apabila sholat tersebut ditinggalakan karena ada udzur, seperti ketiduran. Ketentuan ini didasarkan pada hadits nabi ;

عَنْ عِمْرَانَ، قَالَ: كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ، وَقَعْنَا وَقْعَةً، وَلاَ وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ المُسَافِرِ مِنْهَا، فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ، وَكَانَ أَوَّلَ مَنِ اسْتَيْقَظَ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ، ثُمَّ فُلاَنٌ - يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ الرَّابِعُ - وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ، لِأَنَّا لاَ نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا، فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ، فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ، قَالَ: «لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا»، فَارْتَحَلَ، فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ، ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالوَضُوءِ، فَتَوَضَّأَ، وَنُودِيَ بِالصَّلاَةِ، فَصَلَّى بِالنَّاسِ
 
"Dari 'Imron, ia berkata, Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu seseorang yang Abu 'Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan 'Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika 'Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan 'Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir 'Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan. Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang banyak." (Shohih Bukhori, no.344)

Namun disunatkan untuk bergegas mengqodho' sholat yang ditinggalkan karena adanya udzur. Sedangkan apabila sholat tersebut ditinggalkan tanpa adanya udzur maka diwajibkan untuk segera mengqodho' sholat yang ditinggalkan menurut pendapat yang shohih.

3. Urutan qodho' sholat

Apabila sholat yang ditinggalkan lebih dari satu, disunatkan untuk mengqodho' sholat-sholat tersebut berurutan, sesuai dengan waktunya. Kesunatan ini didasarkan pada hadits ;

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ

“Dari Jabir bin Abdillah rodhiyallohu’anhuma, bahwasannya Umar bin Khottob rodhiyallohu’anhu datang pada hari peperangan Khondaq setelah matahari akan tenggelam, lalu beliau mulai mencerca orang-orang kafir Quraisy (karena menyebabkan para sahabat terlambat sholat ashar), beliau berkata: “Wahai Rosulullah, aku belum melakukan sholat ashar padahal matahari hampir tenggelam.” Nabi shollallohu’alaihi wa sallam bersabda: “Aku pun belum sholat ashar.” Maka kami bangkit menuju lembah buthhan, lalu Nabi shollallohu’alaihi wa sallam berwudhu untuk sholat, kami pun ikut berwudhu, lalu Rosulullah shollallohu’alaihi wa sallam melakukan sholat ashar setelah matahari terbenam (di waktu maghrib), kemudian setelah itu beliau sholat maghrib.” (Shohih Bukhori, no.596)

4. Tata cara sholat qodho'

Cara mengerjakan sholat qodho' itu sama saja dengan sholat ada' )sholat yang dikerjakan pada waktunya) dalam semua hal, mulai dari syarat sah sampai  rukun-rukunnya. Sedikit perbedaannya terletak pada niatnya, dalam sholat qodho' disunatkan untuk mengganti kata "ada'an" dengan kata "qodho'an". Namun, hal ini tidak wajib, sebab dalam madzhab syafi'i tidak diwajibkan untuk menyinggung ada' atau qodho' ketika niat, hanya saja penambahan kata "qodho'an" dianjurkan untuk menghindari perselisihan seputar diwajibkannya penambahan tersebut.


Referensi :
1. Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Juz : 3  Hal : 68-69
2. At Taqrirot Asy Syadidah, Hal : 210
3. Al Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 134-135


Ibarot :
Al Majmu' Syarah Al Muhadzdzab, Juz : 3  Hal : 68-69


قال المصنف رحمه الله : ومن وجب عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها لقوله صلى الله عليه وسلم (من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها) والمستحب أن يقضيها على الفور للحديث الذي ذكرناه فإن أخرها جاز لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم فاتته صلاة الصبح فلم يصلها حتى خرج من الوادي ولو كانت على الفور لما أخرها وقال أبو إسحاق إن تركها بغير عذر لزمه قضاؤها على الفور لأنه مفرط في التأخير والمستحب أن يقضيها على الترتيب لأن النبي صلى الله عليه وسلم فاتته أربع صلوات يوم الخندق فقضاها على الترتيب فإن قضاها من غير ترتيب جاز لأنه ترتيب استحق للوقت فسقط بفوات الوقت كقضاء الصوم وإن ذكر الفائتة وقد ضاق وقت الحاضرة لزمه أن يبدأ بالحاضرة لأن الوقت تعين لها فوجبت البداءة بها كما لو حضره رمضان وعليه صوم رمضان قبله ولأنه إذا أخر الحاضرة فاتت فوجبت البداءة بها
................................
الشرح :  أما الحديث الأول فصحيح ففي صحيح البخاري عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (من نسي صلاة فليصل إذا ذكر) وفي صحيح مسلم عن النبي صلى الله عليه وسلم قال (إذا رقد أحدكم عن الصلاة أو غفل عنها فليصلها إذا ذكرها) وأما الحديث الثاني ففي الصحيحين عن عمران بن حصين رضي الله عنهما قال (كنا في سفر مع النبي صلى الله عليه وسلم وإنا أسرينا حتى كنا في آخر الليل وقعنا وقعة ولا وقعة أحلا عند المسافر منها فما أيقظنا إلا حر الشمس فلما استيقظ النبي صلى الله عليه وسلم شكوا إليه الذي أصابهم فقال لا ضير ولا ضرر ارتحلوا فارتحلوا فسار غير بعيد ثم نزل فدعا بالوضوء فتوضأ ونودي بالصلاة فصلى بالناس) وأما حديث فوات أربع صلوات يوم الخندق فرواه الترمذي والنسائي من رواية أبي عبيدة بن عبد الله بن مسعود عن أبيه وأبو عبيدة لم يسمع أباه فهو حديث منقطع لا يحتج به ويغني عنه حديث جابر رضي الله عنه أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه جاء يوم الخندق بعدما غربت الشمس فجعل يسب كفار قريش وقال يا رسول الله ما كدت أصلي العصر حتى كادت الشمس تغرب فقال النبي صلى الله عليه وسلم (والله ما صليتها فقمنا إلى بطحان فتوضأ للصلاة وتوضأنا لها فصلى العصر بعدما غربت الشمس ثم صلى بعدها المغرب) رواه البخاري ومسلم قوله البداية لحن عند أهل العربية والصواب البداءة بضمن الباء والمد والبدأة بفتحها وإسكان الدال بعدها همزة والبدوءة ممدودة ثلاث لغات حكاهن الجوهري وغيره
أما حكم الفصل ففيه مسألتان إحداهما من لزمه صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور قال صاحب التهذيب وقيل يجب قضاؤها حين ذكر للحديث والذي قطع به الأصحاب أنه يجوز تأخيرها لحديث عمران ابن حصين وهذا هو المذهب وإن فوتها بلا عذر فوجهان كما ذكر المصنف أصحهما عند العراقيين أنه يستحب القضاء على الفور ويجوز التأخير كما لو فاتت بعذر وأصحهما عند الخراسانيين أنه يجب القضاء على الفور وبه قطع جماعات منهم أو أكثرهم ونقل إمام الحرمين اتفاق الأصحاب عليه وهذا هو الصحيح لأنه مفرط بتركها ولأنه يقتل بترك الصلاة التي فاتت ولو كان القضاء على التراخي لم يقتل

At Taqrirot Asy Syadidah, Hal : 210

لا تجب نية إضافة الصلاة لله سبحانه وتعالى, ولا نية تعيين عدد الركعات, ولا نية استقبال القبلة, ولا نية الأداء أوالقضاءو بل كل ذلك سنة

Al Muhadzdzab, Juz : 1  Hal : 134-135

ولا يلزمه أن ينوي الأداء والقضاء ومن أصحابنا من قال يلزمه نية القضاء والأول هو المنصوص فإنه قال فمن صلى في يوم غيم بالاجتهاد فوافق ما بعد الوقت أنه يجزيه وإن كان عنده أنه يصليها في الوقت
Allahu a’lam

Tiada ulasan:

Catat Ulasan