بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
KISAH ULAMA' KONTRAVERSI SYEKH SITI JENAR
Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah
benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu
kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat susah untuk
dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran
tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali
menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya
berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada
menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan
ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang
Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di
dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai
kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan,
sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus
yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan
pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali.
Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan
kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan
huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh
karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali
ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa
Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal
kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada
yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur,
bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai
ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana
kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada
menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala
sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah,
maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah
kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab
Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan
kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai
yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah
kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari
belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan
ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa
dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti
perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan
kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa
hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi
juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di
tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik
sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan
beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta
ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin
secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik
sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya
suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau
tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau
tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama
merenungkan kalimat berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela
keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau
keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar sendiri”.*
Sidang para Wali
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad.
Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar.
Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya.
Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar, tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir. Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah bukanlah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi cara penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri, paham/pandangan Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaikan di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M.
Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung, (Untuk apa membuat bingung)
Ngangelaken ulah ngelmi, (Mempersulit ilmu)
Njeng Sunan Giri ngandika, (Kanjeng Sunan Giri berkata)
Bener kang kaya sireki, (Benar apa yang Syekh Siti Jenar Katakan)
Nanging luwih kaluputan, (Tetapi lebih keliru -kurang tepat-)
Wong wadheh ambuka wadi. (Orang berani membuka rahasia)
Telenge bae pinulung, (Kelihatannya saja menolong)
Pulunge tanpa ling aling, (Pertolongannya tanpa penghalang -tahapan-)
Kurang waskitha ing cipta, (Kurang waspada dalam cipta)
Lunturing ngelmu sajati, (-akan berakibat- Lunturnya ilmu sejati)
Sayekti kanthi nugraha, (Yang seharusnya diberikan sebagai anugerah -kepada yang mereka yang benar-benar telah matang-)
Tan saben wong anampani. (Yang diberikan kepada siapa saja)
Artinya :
Syeh Siti Jenar berkata,
Untuk apa kita membuat bingung, untuk apa pula mempersulit ilmu?,
Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah
besar, karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah
bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang
benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap
orang.
Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.
Kinanti
Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa
sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad,
santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga,
salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang,
êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira,
ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
penuhkan syariat yang kukuh supaya kita tetap mantab dan kuat iman
kita,dan artikel ini hanya sekedar untuk kita agar tidak mudah di
pesongkan dan di alihkan aqidah kita.maka teranglah bagi kita
bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan
Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat,
tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian
yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman
dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan
pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu
bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara
beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk
Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.”
(HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia
pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah
yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan
syari’at.
Kesimpulan
Dari penjelasan 140 AJARAN DAN PEMIKIRAN SYEIKH SITI JENAR di
atas maka teranglah bagi kita
bahwasanya ia lari dan menyimpang jauh dari Al quran dan Sunnah
Rasulullah SAW.Ianya hanya merupakan angan -angan dan umpama falsafah
yang langsung tidak bersandarkan Al-Quran dan hadisTingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam
itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh
dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat,
tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau
mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin
menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah
bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
di kalangan pengamal tarekat sufi sangat terkenal adanya
pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan
Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak
lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk
sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah
sebagian keanehan yang ada di sekitar pembagian ini.
Apakah pembagian
semacam ini dikenal di dalam Islam?
Untuk lebih jelas lagi sebagai muslim kita harus cukup syariat yang kuat supaya tidak terpengaruh oleh falsafah -falsafah atau pendapat pendapat yang membahayakan iman kita,oleh yang demikian mari kita berbanyakkan menuntut ilmu supaya kita di dalam landasan yang benar,atau untuk menambah sedikit ilmu mari baca blok ana bertajuk:iman-islam-ihsan.di
http://al-fadhilustazmuhamadnajib.blogspot.com/2014/02/iman-islam-ihsan.html
semoga bermanfaat amin.....
Slm..maaf jika ustadz mengatakan tarekat sufiyyah meninggalkan syariat. Itu terang2 fitnah. Jika betul ada yg meninggalkan syariat, itu bukan tarekat...tetapi terikat. Yg betul itu thoriqoh.
BalasPadam