بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
|
Ahlul Bait Berdasarkan Istilah Syari’
Istilah ahlul bait diambil bedasarkan ayat-ayat Al Quran dan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam.
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [Al Ahzab (33) : 33]Yang menjadi penekanan di ayat ini adalah “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Jadi benar bahwasanya jelas kata “ahlul bait” diambil dari Al Quran, di ayat ini dikatakan أهل ٱلبيت .
Syaikh Abdurrahman Asy Sya’li rahimahullah menafsirkan ayat ini bahwasanya Allah Subhanahu wata’ala ingin menghilangkan dosa dari ahlul bait artinya adalah Allah Subhanahu wata’ala ingin menghindarkan perbuatan-perbuatan keji agar tidak dilakukan oleh ahlul bait Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Kemudian di ayat setelahnya yaitu ayat ke-34,
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Al Ahzab (33) : 34]Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan ayat ini bahwasanya beliau berkata
“Artinya Allah memerintahkan untuk mengerjakan dengan apa yang diturunkan Allah kepada Rosulnya, yaitu berupa Al Quran dan As Sunnah, di rumah-rumah kalian. Ayat ini menjelaskan mengenai perintah kepada ahlul bait untuk mengamalkan segala sesuatu yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah di rumah-rumah mereka dan ayat ini atau perintah ini ditujukan bagi istri-istri Nabi. ”Lebih jelas lagi ahlul bait dijelaskan dalam sebuah hadits yang shahih dalam shahih muslim,
Dari Zaid bin Arqom Radliyallaahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam suatu hari pernah berkhutbah, “Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahlul baitku”, beliau mengucapkan ini sampai 3 kali. Maka Husain Bin Sibrah (perawi hadis ini) pun bertanya kepada Zaid, “Wahai Zaid siapakah ahlul bait Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam? Bukankah istri-istri beliau juga ahlil baitnya?” Maka Zaid pun menjawab, “Ya, para istri Nabi termasuk ahlul bait Nabi. Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah orang yang diharamkan menerima sedekah setelah wafatnya Rosulullah saw.” Lalu Husain pun bertanya, “Siapa mereka yang diharamkan sedekah itu?” Zaid pun menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Maka Husain pun kembali bertanya, “Apakah mereka semua diharamkan untuk menerima zakat?” Maka Zaid pun menjawab, “Ya”.Dari ayat-ayat Al Quran dan Hadits tersebut di atas, maka jelaslah bahwasanya istilah ahlul bait adalah istilah syari’ yang muncul dalam Al Qur’an. Istilah ahlul bait ini dimaknai sebagai keluarga dekat dan istri-istri beliau seperti dari keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas yang merupakan keluarga Bani Hasyim. Dan ini adalah menurut Ahlussunnah wal Jamaah, sedangkan menurut versi Syiah, mereka hanya menganggap bahwasanya ahlul bait itu hanyalah Ali, anaknya (Hasan dan Husain), dan Fatimah. Bahkan orang-orang Syiah secara terangan-terangan mengatakan bahwasanya seluruh pemimpin kaum muslimin selain Ali dan Hasan adalah toghut meskipun mereka menyeru kepada kebenaran. Inilah bahayanya Syiah. Mereka menganggap bahwa khulafaurasyidin adalah para perampas kekuasaan ahlul bait, maka Syiah pun mengkafirkan semua khalifah bahkan semua pemimpin kaum muslimin. Oleh karena itu, tidak perlu lagi bahwa Syiah telah menyimpang dari akidah yang lurus, yaitu akidah Ahlussunnah wal Jamaah. Oleh karena itu, kita tidak boleh membatasi ahlul bait hanya kepada Ali, Hasan bin Ali, Husain bin Ali dan Fatimah binti Rosulullah saja. Pembatasan seperti ini tidak pernah ada sandarannya dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Anggapan atau pembatasan ini muncul dan dibuat dari hawa nafsu orang-orang Syiah. Hal ini dikarenakan mereka punya dendam dan kedengkian terhadap islam dan kedengkian terhadap ahlul bait Rosulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam. Orang-orang Syiah sejak jaman para sahabat Radliyallaahu ‘anhuma ajmain tidak menginginkan adanya kejayaan islam dalam diri kaum muslimin. Jadi, walaupun mereka menggembor-gemborkan bahwa mereka mencintai ahlul bait, padalah sesungguhnya merekalah yang membenci ahlul bait.
Mari kita perhatikan syubhat dari Syiah berikut. Syiah Rafidhah menyatakan bahwasanya Ali dan keturunannya adalah orang-orang yang ma’shum dengan dalil sabda Rasulullah yang berbunyi,
“Wahai para manusia! Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian suatu hal, kalau kalian mengambilnya maka kalian tidak akan tersesat (yaitu) Kitabullah dan ‘itrahku, Ahli Baitku.”[1]Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggandengkan penyebutan kitabullah dan Ahlul Bait dengan wawu athof yang dalam kaidah usul fiqih dikatakan bahwa fungsi dari huruf wawu athof adalah berserikatnya dua hal yang digandengkan dalam satu hukum tidak dapat ditiadakan kecuali dengan dalil. Hal ini berarti Ahlul Bait sama dengan kitabullah dalam hal sebagai sumber hukum yang terpelihara dan itu menunjukan bahwa mereka adalah orang-orang yang ma’shum. Inilah kata-kata orang Syiah bahwa ahlul bait sama dengan kitabullah, dan kitabullah tidak pernah salah sehingga ahlul bait pun tidak pernah salah atau ma’shum.
Syubhat ini dijawab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah, beliau menjelaskan,
“Bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah para ulama, orang-orang shalih dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dari kalangan mereka (Ahlul Bait)”Begitu juga yang dikatakan oleh Imam Abu Ja’far At-Thahawi rahimahullah,
“Al-‘Itrah adalah Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yaitu orang yang paham beragama dan berkomitmen dalam berpegang teguh dengan perintah Nabi.”Juga dari Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah yang mengatakan hal yang senada dengan Imam Abu Ja’far, beliau mengatakan,
“Sesungguhnya Ahlul Bait itu pada umumnya adalah orang-orang yang paling mengerti tentang shahibul bait (yang dimaksud adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) dan paling tahu hal ihwalnya, maka yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah Ahlul Ilmi (ulama) di kalangan mereka yang mengerti seluk beluk perjalanan hidupnya dan orang-orang yang menempuh jalan hidupnya serta orang-orang yang mengetahui hukum-hukum dan hikmahnya. Dengan ini maka penyebutan Ahlul Bait dapat digandengkan dengan kitabullah sebagaimana firman-Nya:… dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah) [Al-Jumu'ah:2]
Syaikh Al-Albani mengatakan:
Dan yang semisalnya, firman Allah Ta’ala tentang istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
“Dan ingatlah apa yang dibacakan dirumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu)…”(Al-Ahzab: 34)Maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan Ahlul Bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari kalangan Ahlul Bait. Mereka itulah yang dimaksud dengan Ahlul Bait dalam hadits ini (hadits ‘itrah).
Jadi pemahaman orang-orang Syiah yang menganggap bahwa ahlul bait adalah orang yang ma’shum adalah pemahaman yang keliru.
Jadi kesimpulannyam menurut para ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang dimaksud ahlul bait adalah
- Keluarga Ali bin Abu Thalib (tentunya mencakup Ali itu sendiri)
- Fatimah (istri Ali)
- Hasan dan Husain berserta keturunannya
- Keluarga Aqil (tentunya mencakup Aqil itu sendiri dan anaknya Muslim bin Aqil beserta anak cucunya yang lain)
- Keluarga Ja’far bin Abu Thalib (tentunya mencakup Ja’far itu sendiri berikut anak-anaknya yang bernama Abdullah, Aus, dan Muhammad)
- Keluarga Abbas bin Abdul Muthalib (tentunya mencakup Abbas itu sendiri dan sepuluh putranya, yaitu Abdullah, Abdurrahman, Qutsam, Al Harits, Ma’bad, Katsir, Aus, Tamam, dan putra-putri beliau juga termasuk didalamnya)
- Keluarga Hamzah bin Abdul Muthalib (tentunya mencakup Hamzah itu sendiri dan tiga orang anaknya, yaitu Ya’la, Imaroh, dan umamah )
- Semua istri Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesungguhnya aku mengingatkan kalian dengan ahli baitku”.[2]
Sedang yang termasuk keluarga beliau adalah istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Shallallahu ‘alaihi wa sallam nna wa ardhaahunna. Dan sungguh Allah telah berfirman tentang mereka setelah menegur mereka.
“Artinya : Wahai wanita-wanita nabi ……..”. [Al-Ahzab : 32]
Kemudian mengarahkan nasehat-nasehat kepada mereka dan menjanjikan mereka dengan pahala yang besar, Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan mensucikan kamu sesuci-sucinya”. [Al-Ahzab : 33]
Pada pokoknya ahlul bait itu adalah saudara-saudara dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud disini khususnya adalah yang sholeh diantara mereka. Sedang sudara-saudara dekat yang tidak sholeh seperti pamannya, Abu Lahab maka tidak memiliki hak. Allah berfirman.
“Artinya : Celakalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya celaka dia”. [Al-Lahab : 1]
Maka sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasul tanpa keshalehan dalam ber-din (Islam), tidak ada manfaat dari Allah sedikitpun baginya, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya :Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kamu, sebab aku tidak dapat memberi kamu manfaat di hadapan Allah sedikitpun ; ya Abbas paman Rasulullah, aku tidak dapat memberikan manfa’at apapun di hadapan Allah. Ya Shofiyyah bibi Rasulullah, aku tidak dapat memberi manfaat apapun di hadapan Allah, ya Fatimah anak Muhammad, mintalah dari hartaku semaumu aku tidak dapat memberikan manfaat apapun di hadapan Allah”. [3]
Dan saudara-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka. Adapaun keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau madlarat selain dari Allah adalah bathil, sebab Allah telah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. [Al-Jin : 21].
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Aku tidak memiliki manfaat atau madlarat atas diriku kecuali apa-apa yang tidak dikehendaki oleh Allah , kalaulah aku mengetahui yang ghaib sunguh aku aka perbanyak berbuat baik dan aku tidak akan ditimpa kemadlaratan”. [Al-A'raf : 188]
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang lainnya. Jadi, apa yang diyakini sebagian manusia terhadap kerabat Rasul adalah suatu keyakinan yang bathil.
Semoga bermanfaat Wallahu A'lam
Tiada ulasan:
Catat Ulasan