بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
Mereka bertanya “mana dalil yang menunujukkan perintah Allah ta’ala dan RasulNya untuk memperingati Maulid Nabi ?”
Pertanyaan tersebut menunjukkan suatu kebingungan mereka karena jika Maulid Nabi ada dalilnya atau ada perintahNya dan contoh dari RasulNya maka tidak dikatakan Maulid Nabi sebagai perkara baru (bid’ah) yang baik.
Perkara kebiasaan seperti Maulid Nabi berlaku kaidah ushul fiqih
“wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah”
yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Contoh lainnya,
1. Membiasakan bersededekah untuk anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat jum’at adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.
2. Membiasakan puasa sunah melebihi tiga hari dalam sebulan sebagaimana jumlah hari yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mencontohkan tidak membuat sesuatu larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dengan tidak melarang para Sahabat berpuasa sunnah setiap bulan hijriah melebihi apa yang telah beliau contohkan hanya 3 hari karena Allah Azza wa Jalla memang tidak melarangnya
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).
3. Membiasakan membaca surah Yasin setiap malam Jum’at adalah kebiasaan yang baik karena memang tidak ada dalil yang melarangnya
Walaupun sebenarnya kebiasaan membaca surah Yasin setiap malam Jum’at atau kebiasaan membaca surah Ar Rahmaan, Al Mulk , Waqiaah setiap malam Senin dan malam Kamis adalah kebiasaan yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam namun mereka hanya mempercayai hadits-hadits yang sudah terbukukan saja. Padahal jumlah hadits yang telah terbukukan hanya sebagian kecil saja dari jumlah hadits yang telah dihafal oleh para penghafal hadits dan disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh.
Begitupula mereka mengingkari atau membuang sama sekali hadits-hadits dhoif dalam perkara kebiasaan atau bahkan mendhoifkan hadits-hadits yang sebenarnya tidak dhoif. Para ulama yang sholeh meninggalkan hadits-hadits dhoif hanya untuk perkara syariat.
Mereka lebih percaya ketika sebuah hadits telah dicap “dishahihkan oleh Al Albani“, padahal ulama Al Albani tidak termasuk ulama yang meriwayatkan hadits atau membawa hadits dari lisan ke lisan para ulama yang sholeh yang tersambung kepada lisannya para perawi hadits. Ulama Al Albani termasuk ulama yang membaca hadits dibalik perpustakaan berdasarkan pemahamannya atau ijtihadnya sendiri. Siapa yang dapat menjamin upaya pemahamannya (ijtihad) tidak keliru ? Terlebih lagi beliau tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak.
Pada hakikatnya kita dapat bertanya tentang kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Rasululullah shallallahu alaihi wasallam kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka melakukan kebiasan-kebiasan yang baik berdasarkan pengajaran dalam bentuk praktek yang mereka terima dari orang tua dan dari orang tua dari orang tua mereka sehingga tersambung dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Hal yang perlu kita ingat adalah segala kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah termasuk bid’ah hasanah atau bid’ah yang terpuji dan bernilai pahala.
Berikut pendapat Imam Syafi’i ra
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) : Merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai hari besar”.
Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok. Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18
Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri.
Sedangkan contoh bid’ah dholalah adalah berdasarkan pengkajian yang dalam ternyata pembagian tauhid jadi tiga termasuk bid’ah yang sesat karena menyebabkan sikap radikalisme
Pembagian tauhid menjadi tiga (tauhid Rububiyyah, tauhid Uluhiyyah, tauhid Asma’ was Shifaat) tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa Sahabat, Tabi’in maupun Tabi’it Taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.
Bahkan Imam Mazhab yang empat, para ulama yang telah diakui berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak tidak pernah menyampaikan adanya pembagian tauhid menjadi tiga
Ulama yang sholeh keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abuya Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari Assyadzili dalam makalahnya pada pertemuan nasional dan dialog pemikiran yang kedua, 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H di Makkah al Mukarromah mengatakan bahwa “Tiga Pembagian Tauhid sebagai faktor dominan di antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme atau radikalisme. Pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam (as-sawad al a’zham) telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid”
***** awal kutipan *****
Para pengikut ajaran wahhabi adalah kelompok yang sangat membencikan orang-orang sufi dan mengkafirkan mereka, mereka menganggap bahwa orang -orang sufi menyembah kuburan-kuburan wali sehingga halal darahnya di bunuh, pemahaman ini bersumber dari aqidah mereka yang menyatakan bahwa tauhd itu terbagi kepada tiga bahagian, tauhid Rububiyah, tauhid Uluhiyah, tauhid asma` dan sifat, orang-orang sufi hanya percaya dengan tauhid rububiyyah dan tidak menyakini tauhid uluhiyyah, sebab itulah mereka kafir dan boleh di bunuh, bahkan mereka mengatakan bahwa orang-orang kafir quraish lebih bagus tauhidnya daripada orang-orang sufi
*****akhir kutipan *****
Mereka dengan pembagian tauhid menjadi tiga (tauhid Rububiyyah, tauhid Uluhiyyah, tauhid Asma’ was Shifaat) mengatakan orang-orang kafir Quraish bertauhid
Pada hakikatnya tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyah tidak dapat dipisahkan karena ada keterkaitan (talazum) yang sangat erat. Salah satunya tidak terpenuhi maka tidak dikatakan bertauhid atau beriman. Tidak dikatakan kaum non muslim itu bertauhid atau beriman dan tidak ada pula istilah mukmin musyrik.
Istilah mukmin (beriman) dan muysrik (menyekutukan Tuhan) dua term yang berbeda, sehinga tidak bisa disandingkan.
Tujuannya sebenarnya pembagian tauhid jadi tiga adalah untuk membenarkan pendapat mereka bahwa orang-orang yang melakukan istighatsah, tawassul dan tabarruk dengan para Wali Allah dan para Nabi itu telah beribadah kepada selain Allah dan melanggar Tauhid Uluhiyyah sehingga timbullah sikap ekstrimisme atau radikalisme dalam bentuk vonis syirik.
Salah satu gurunya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yakni Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
Kesalahpahaman yang fatal bagi mereka adalah dalam hal tauhid asma’ was shifaat yakni mereka terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi sehingga mereka memahami ayat-ayat mutasyabihat terkait dengan apa yang Allah ta’ala sifatkan dengan makna dzahir/harfiah/tertulis/tersurat
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Akibatnya mereka terindoktrinisasi bahwa Tuhan bertempat di suatu tempat yang jauh mengikuti aqidah Fir’aun .
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana lirik lagu berjudul Tuhan dari group musik Bimbo berbunyi
Aku jauh, Engkau jauh
Aku dekat, Engkau dekat
Hati adalah cermin
Tempat pahala dosa bertaruh
Jadi bagi yang berkeyakinan atau beri’tiqod bahwa Allah ta’ala jauh maka mereka secara psikologis atau alam bawah sadar akan membuat mereka menjauh dari Allah ta’ala atau berpaling dari Allah sehingga terbentuklah akhlak yang buruk
Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah atau menjauhkan diri dari Allah karena mereka memperturutkan hawa nafsu.
Firman Allah ta’ala yang artinya
“…Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah..” (QS Shaad [38]:26)
“Katakanlah: “Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An’Aam [6]:56 )
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda , “Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan hawa nafsunya.”
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu“
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk mentaati Allah”
Habluminannas, berhubungan dengan manusia ingatlah selalu Allah ta’ala
Habluminallah, berhubungan dengan Allah ta’ala, ingatlah selalu bahwa kita hanya ciptaanNya.
Sedangkan kaidah ushul fiqih “al-ashlu fil ‘ibaadati at-tahrim” yang artinya “hukum asal ibadah adalah haram (terlarang)” adalah kaidah untuk perkara terkait dengan dosa
Perkara yang terkait dengan dosa adalah
1. Perkara kewajiban yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa
2. Perlkara larangan dan pengharaman yakni perkara yang jika dikerjakan (dilanggar) berdosa
Jadi kita tidak boleh membuat perkara baru (bid’ah) seperti mewajibkan yang tidak diwajibkanNya, melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya
Segala perkara yang terkait dengan dosa wajib berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah atau wajib berdasarkan keterangan yang telah diturunkanNya karena yang mengetahui dan menetapkan dosa bagi manusia hanya Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Apakah agama ?
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban , maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi dan tercantum dalam hadits Arba’in yang ketiga puluh)
Jadi bid’ah dalam “urusan agama” (urusan kami) atau bid’ah dalam perlara syariat adalah bid’ah dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya yakni mengada-ada larangan yang tidak dilarangNya atau mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mencontohkan tidak membuat sesuatu larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dengan tidak melarang para Sahabat berpuasa sunnah setiap bulan hijriah melebihi apa yang telah beliau contohkan hanya 3 hari karena Allah Azza wa Jalla memang tidak melarangnya
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui ‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan: Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari 1844).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan menghindari mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah Azza wa Jalla dengan mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih berjama’ah sepanjang bulan Ramadhan adalah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa.
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim 1270 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan tidak mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla seperti daging biawak
Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif Al Anshari bahwa Abdullah bin Abbas pernah mengabarkan kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang di juluki dengan pedang Allah telah mengabarkan kepadanya; bahwa dia bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menemui Maimunah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -dia adalah bibinya Khalid dan juga bibinya Ibnu Abbas- lantas dia mendapati daging biawak yang telah di bakar, kiriman dari saudara perempuanya yaitu Hufaidah binti Al Harits dari Najd, lantas daging Biawak tersebut disuguhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sangat jarang beliau disuguhi makanan hingga beliau diberitahu nama makanan yang disuguhkan, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hendak mengambil daging biawak tersebut, seorang wanita dari beberapa wanita yang ikut hadir berkata, Beritahukanlah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai daging yang kalian suguhkan! Kami lalu mengatakan, Itu adalah daging biawak, wahai Rasulullah! Seketika itu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangannya, Khalid bin Walid pun berkata, Wahai Rasulullah, apakah daging biawak itu haram? Beliau menjawab: Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak melarangnya. (HR Muslim 3603)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam itu Jadi agama bagimu.” (QS. al-Maidah [5]:3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ فِي الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
“Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Jadi mereka yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya, telah bertasyabuh dengan kaum kafir yakni menjadikan ulama-ulama mereka “sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Wassalam
Tiada ulasan:
Catat Ulasan