بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURIMereka menanyakan mengapa dikatakan Rasulullah bertasawuf bukan Rasulullah menyampaikan tentang akhlak, karena bagi pemahaman mereka berdasarkan pemahaman syaikh/ulama/ustadz mereka, tasawuf mempunyai makna yang lain yang berkonotasi negatif dan sekaligus menanyakan mengapa kami menyiarkan tentang tasawuf.
Kami sengaja memilih judul “Rasulullah bertasawuf” agar semakin jelas bahwa jika tasawuf dimaknakan bukan sebagai akhlak atau tentang Ihsan maka mustahil Rasulullah bertasawuf.
Upaya ini kami lakukan karena pada zaman modern ini semakin banyak muslim yang tidak tahu tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Banyak yang tidak paham apa arti dan maksud sebenarnya dari akhlak.
Jika tidak mengerti atau mengetahui tentang Akhlak / tentang Ihsan maka secara tidak disadari akan menganggap bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat segala perbuatan kita. Seperti contoh mereka yang korupsi, mafia hukum, bugil depan kamera dan perbuatan-perbuatan yang dilarang lainnya, pada hakikatnya adalah mereka yang tidak yakin bahwa Allah ta’ala melihat segala perbuatan mereka.
Apakah boleh kami membiarkan perihal seperti itu berlarut-larut ?
Adakah tarekat Rasulullah
Kemudian, saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh menanyakan apakah ada tarekat Rasulullah ?
Pada hakikatnya tarekat yang muktabar, sanad/silsilah atau sanad ilmu/ijazah terhubung kepada Rasulullah.
Sedangkan contoh murid yang mursyidnya langsung baginda Rasulullah adalah Sayyidina Ali ra.
Sayyidina Ali ra lah yang secara intensif dibimbing oleh Rasulullah untuk bertasawuf sehingga mencapai muslim yang Ihsan (muhsin) yang keadaannya “seolah-olah” melihat Allah.
Sebagaimana yang diriwayatkan berikut
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”
Jadi bagi kaum muslim yang “paham” dan mengakui Rasulullah sebagai Wali Allah maka mereka “paham” dan mengakui Sayyidina Ali ra sebagai wali Allah pula.
Inilah makna sebenarnya dari perkataan Rasulullah , “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali” dalam riwayat berikut yang dimaknai lain oleh kaum Syiah.
Riwayat dari Sa’ad bin Abi Waqash, Aku mendengar khutbah Rasulullah saw pada hari Jumat. Ia memegang lengan Ali dan berkhutbah dengan didahului lafaz pujian kepada Allah Swt, dan memuji-Nya. Kemudin beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku adalah wali bagi kalian semua“. Mereka menjawab, “Benar apa yang engkau katakan wahai Rasulullah saw“. Kemudian beliau mengangkat lengan Ali dan bersabda. “Orang ini adalah waliku, dan dialah yang akan meneruskan perjuangan agamaku. “Aku adalah wali bagi orang-orang yang mengakui/meyakini Ali sebagai wali, dan aku juga merupakan orang yang akan memerangi orang yang memeranginya“
Yang “paham” atau mengenal wali Allah hanyalah mereka yang dikaruniakan Taufiq dan hidayahNya”
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Kemudian, saudara-saudara kita yang mengaku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh menyatakan berdasarkan pendapat syaikh/ulama/ustaadz mereka bahwa kaum sufi adalah mereka yang gemar tahayul dan khurafat.
Khurafat adalah salah satu kata yang termasuk dalam “slogan” dari saudara-saudara kita yang mengaku berpemahaman Salafasuh Sholeh dan mengaku seolah-olah hanya mereka saja yang “khawatir” tentang “Tahayul, Bid’ah dan Khurafat”.
Untuk masalah bid’ah kita sudah sepakat bahwa pemahaman mereka tentang bid’ah berbeda dengan pemahaman kaum muslim pada umumnya.
Sehingga jumhur ulama sepakat juga menggunakan kata Wahhabi untuk “mengidentifikasi” suatu kaum dengan pemahaman berlainan yakni pemahaman tentang bid’ah sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang menurut pengakuan beliau mengikuti pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah yang mengaku sesuai dengan pemahaman Salafush Sholeh.
Seharusnya nama kaum bukan Wahhabi tetapi Muhammadi berdasarkan nama pendirinya. Namun untuk menghindari kesalahpahaman dengan penamaan kaum maka disepakati menggunakan nama Wahhabi.
Sedangkan kesalahpahaman tentang Kurafat, Tahayul adalah kesalahpahaman mereka terhadap kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpaman yang disampaikan oleh para ulama Tasawuf (ulama yang mendalami tentang Ihsan / akhlak).
Kekurangan dari bahasa lisan maupun tulisan adalah ketika ulama-ulama tasawuf berupaya mengungkapkan suasana atau bahasa hati atau keimanan. Untuk itulah diperlukan kisah-kisah, syair-syair, syarah atau perumpamaan-perumpamaan.
Perihal ini sesuai dengan firman Allah yang artinya,
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Mursyid adalah pembimbing secara dzahir (tampak mata) namun pada hakikatnya Allah Azza wa Jalla yang membimbing hambaNya untuk sampai kepadaNya dan khusus hanya kepada siapa yang dihendakiNya.
Oleh karenanya muslim yang mencapai muslim yang ihsan atau muhsin atau juga disebut sufi disebut juga sebagai orang khusus untuk membedakan dengan muslim pada umumnya.
Mereka disebut juga orang dalam perjalan untuk sampai kepadaNya . Mereka menjadi khusus karena mereka dikehendaki oleh Allah Azza wa Jalla
Allah Azza wa Jalla yang menghendaki mereka untuk dapat mencapai tingkatan muslim yang ihsan (muhsin) atau muslim yang seolah-olah melihatNya atau muslim yang dapat melihat Allah dengan hati/keimanan dengan mensucikan mereka.
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Oleh karenanya makna sebenarnya dari sufi sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Abu al-Abbas r.a, “Kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal“.
Oleh karenanya kami sampaikan atau peringatkan berulang-ulang kali, janganlah mengambil pemahaman tentang tasawuf atau tentang sufi dari dukhala ilmi atau ahli ilmu (ulama) yang tidak mendalami tasawuf, karena ulama-ulama Tasawuf lah yang berkompeten / yang ahli untuk menjelaskannya.
Kalau kita belum dapat memahami apa yang disampaikan oleh ulama-ulama Tasawuf , haruslah kita intropeksi diri terlebih dahulu karena mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang dikehendaki oleh Allah ta’ala.
Namun pada prinsipnya, tidak mengapa kita belum dapat mendalami atau memahami atau menjalankan tasawuf karena tidak membatalkan keislaman kita. Perihal ini sama dengan hukum bagi mereka yang belum meyakini hadits qudsi ataupun belum mengenal Wali Allah, tidaklah membatalkan keislaman. Akan tetapi jika kita mengolok-olok, menghujat, mefitnah terhadap Tasawuf, Hadits Qudsi, Wali Allah, inilah yang terlarang dan akan diperangi oleh Allah ta’ala.
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman, “Barangsiapa memusuhi wali-Ku (kekasih-Ku), sungguh Aku telah menyatakan perang terhadapnya…
Kesalahpahaman bahwa tasawuf bukan termasuk syariat/tasyri
Sebagian besar kesalahpahaman menganggap / memperlakukan tasawuf sebagai tasyri atau syariat atau ajaran tambahan dan syariat sudah sempurna sampai dengan Rasulullah wafat.
Inilah yang harus diluruskan , bagaimana kedudukan sebenarnya antara tasawuf dengan tasyri / syariat.
Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau dikenal dengan suluk dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat / syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat / syarat maka “perjalanan” akan tersesat.
Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta’ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid (pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian / cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
“Perjalanan” yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan / pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui / melewati “jalan yang lurus”.
Sekali lagi kami sampaikan sebagaimana firman Allah dalam (QS An Nisaa’ [4]:175 ) bahwa tujuan hidup kita adalah (untuk sampai) kepadaNya. Berkumpul dengan para Nabi, para Shidiqqin, Syuhada dan Sholihin. Berkumpul dengan mereka yang selalu mengingat Allah (dzikrullah).
Maka berupayalah menjadi muslim yang Ihsan (muhsin/muhsinin), muslim yang baik , muslim yang sholeh (sholihin). Muslim yang dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hati/keimanan sebagai perwujudan sebenar-benarnya “bersaksi” / syahadah.
Oleh karenanya marilah kita bertasawuf atau memperdalam/menjalankan tentang ihsan sebagaimana yang telah dicontohkan baginda Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wasallam.
Orang-orang kafir atau orang-orang Yahudi, mereka tahu bahwa jalan menuju kesempurnaan (ihsan) seorang muslim adalah mendalami tentang ihsan(tasawuf), sehingga mereka berupaya mencitrakan buruk kepada tasawuf dalam Islam dan sebagian ulama termakan propaganda tersebut.
Perhatikanlah bagaimana Orang-orang kafir atau orang-orang yahudi berupaya meruntuhkan akhlak kaum muslim dengan budaya mereka, pornografi, seks bebas, homoseksual, miras, narkoba dll.
Hal inilah yang terjadi di zaman yang dikatakan modernisasi agama dimana ulama-ulama melupakan tentang tasawuf dalam islam, sehingga dari ulama-ulama seperti itu lahirlah kaum muslim yang taat beribadah namun tidak berakhlakul karimah.
Untuk itulah kami menganjurkan kepada mereka yang berwenang dan sedang memasukkan aspek “etika” kedalam kurikulum pendikan memperhatikan tentang Ihsan atau Tasawuf dalam Islam.
Jadi kemerosotan akhlak yang kita temui di negeri kita, bisa jadi karena para ulama telah melupakan tentang tasawuf dalam Islam atau melupakan tentang ihsan, melupakan tentang akhlakul karimah
Akhlakul karimah adalah kesadaran atau perbuatan/perilaku secara sadar dan mengingat Allah.
Perhatikanlah mereka yang korupsi, mafia peradilan/hukum atau yudikatif yang tidak menegakkan keadilan, para penguasa (eksekutif) yang masih kurang peduli dengan nasib rakyatnya, para legislatif yang sebagian mereka masih belajar tentang etika dan belajar membedakan antara uang rakyat dengan uang pribadi, belajar bagaimana mereka mewakili rakyat dengan keadaan rakyat sesungguhnya dan lain lain, tentu sebagian mereka taat menjalankan ibadah sholat, puasa, zakat bahkan ibadah haji namun pada hakikatnya mereka tidak berakhlakul karimah. Mereka tidak mengingat Allah ta’ala ketika mereka hendak melakukan perbuatannya atau mereka tidak mengingat Allah ta’ala ketika mereka hendak bersikap.
Sekarang kita dapat pahami bahwa tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan. Sejak dahulu kala, dalam perguruan tinggi Islam, mata kuliah Tasawuf adalah mata kuliah akhlak. Coba periksa silabus tentang akhlak di berbagai perguruan tinggi Islam misalkan
Jadi intinya bahwa Rasulullah itu bertasawuf karena memang tujuan Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak
Rasulullah mengatakan “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri tauladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S Al-Ahzab : 21).
Urutannya adalah Ilmu –> Amal –> Akhlak
Dengan ilmu kita melakukan amal/perbuatan/ibadah, dengan amal/perbuatan/ibadah yang kita lakukan terbentuk akhlak.
Inilah yang diibaratkan sebagai ilmu padi, “merunduk ketika semakin berisi“
Sebagaimana yang diketahui, bahwa ajaran ahwal (suatu perolehan dengan karunia dari Allah) dan maqamat (suatu perolehan dengan usaha manusia) yang semuanya itu ditujukan untuk memperbaiki akhlak.
Sedang tujuan perbaiki akhlak adalah untuk membersihkan qalbu yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) yang selanjutnya akan memperoleh kenyataan Tuhan (TAJALLI). Allah ta’ala bertajalli maka kita akan mencapai muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau muslim yang dapat seolah-olah melihatNya atau melihat Allah ta’ala dengan hati / akhlak yang suci / keimanan.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Dengan demikian maka kita dapat paham bahwa jalan untuk mengenal Allah , tidak dapat ditempuh dengan sekaligus, tetapi adalah sesuai dengan peribadi masing masing yaitu harus ditempuh secara bertingkat tingkat.
Pada tingkat untuk memasuki Ilmu Hakekat dan Ilmu Ma’rifat, berarti memasuki suatu jalan pengetahuan yang bertujuan untuk mengenal sesuatu itu dengan cara bersungguh sungguh, bahwa siapakah manusia itu, siapakah yang menjadikannya dan siapakah yang menciptakan sekalian itu.
Tasawwuf meringkaskan jalan pengetahuan ini dengan berdasarkan sabda Rasulullah SAW
MAN ‘ARAFA NAFSAHU FAQAD ‘ARAFA RABBAHU
(Siapa yang kenal kenal dirinya akan Mengenal Allah)
Firman Allah Taala :
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?“ (QS. Fush Shilat [41]:53 )
Dengan tulisan ini, kita dapat memahami adalah sebuah keliruan besar telah terjadi pada ulama-ulama Wahhabi dan penguasa kerajaan dinasti Saudi yang berpemahaman bahwa muslim yang menjalankan tasawuf / tentang ihsan / berakhlak adalah telah keluar dari Islam atau telah sesat. Bahkan sebagaimana yang disampaikan oleh alm Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani bahwa Wahhabi telah memasukkan kedalam kurikulum pendidikan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.
Kekeliruan besar yang terjadi di sana adalah karena mereka secara tidak disadari telah berteman dengan orang-orang yang memang telah dicptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempunyai rasa permusuhan kepada kaum muslim
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 ).
Mereka menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik sebagai teman kepercayaan atau penasehat segala bidang seperti penasehat keamanan, penasehat ekonomi, penasehat pembangunan, penasehat pengelolaan sumber daya alam bahkan penasehat kurikulum pengajaran/pendidikan
Terbuktilah mereka secara tidak sadar telah bersekutu dengan orang-orang yang memang telah dicptakan oleh Allah Azza wa Jalla untuk mempunyai rasa permusuhan kepada kaum muslim.
Pada akhirnya yang harus kita ingat selalu bahwa apapun yang telah terjadi pada para umara/penguasa dan para ulama di wilayah kerajaan dinasti Saudi adalah kehendak Allah ta’ala. Bagi kita umat muslim pada umumnya adalah sebagai cobaan. Kita harus menghadapi cobaan ini dengan perbuatan/sikap yang dicintai oleh Allah Ar Rahmaan dan Ar Rahiim dalam semangat Ukhuwah Islamiyah.
Perlunya kita memahami ilmu Tasawuf (sarana kembali kepada Allah)
Sesungguhnya, kita sejak bayi dalam kandungan Ibu, dalam keadaan bersih dan suci, telah bersaksi “sebenar-benarnya” bersaksi bahwa La ilaha illallah , tiada tuhan selain Allah. Kesaksian ketika kita dalam kandunagn Ibu, sebagaimana firman Allah yang artinya
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Setelah anak manusia terlahir ke dunia, keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.
Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama. Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.
Untuk itu bagi kita yang telah menjadi orang tua, dalam mendidik anak, sebaiknya selalu berharap atau memohon pertolonganNya karena segala sesuatu atas kehendakNya. Kita hanya menjalankan keinginanNya. Janganlah dengan hawa nafsu kita, memberikan “coretan” pada “kertas putih” anak kita. Kesadaran dan selalu mengingat Allah setiap saat dalam kehidupan kita dunia mutlak kita hadirkan agar segala perbuatan kita sesuai dengan kehendakNya.
Setelah kita mencapai akil balik dengan segenap ilmu yang telah kita pelajari dan pahami, baik dari pengajaran orang tua, guru dan lingkungan beserta karunia Allah akan pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, kita “memulai” mengarungi kehidupan dunia. Kemanakah tujuan arungan kehidupan kita ?
Sebagaimana keinginan Allah yang disampaikan dalam firmanNya yang artinya,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)
“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)
Arungan kehidupan kita di dunia sesungguhnya adalah menuju kepada Allah, selalu sadar dan yakin akan keberadaan Allah, selalu mengingat Allah, sepanjang kehidupan kita di dunia sampai kematian menjemput kita.
Sehingga kita bisa bersaksi kepada Allah yang Maha Esa dalam sebenar-benarnya “bersaksi” sebagaimana kita dalam kandungan Ibu dahulu. Sayangnya setelah bayi dan kita tumbuh dewasa, kita tidak dapat mengingat perjalanan ketika berada dalam kandungan rahim ibu. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada aat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Dengan segenap ilmu dan pemahaman yang kita peroleh, kembalilah kepada Allah. Kembali pada sisi Allah yang sebaik-baiknya.
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Sekali-lagi saya mengingatkan saya pribadi dan pembaca sekalian. sebaiknya kita tidak bergantung pada ilmu dan pemahaman, semua itu hanyalah sarana, bergantunglah hanya pada Allah. Semakin dalam ilmu dan pemahaman yang kita peroleh maka semakin tertunduk kita kepada Allah dan pada satu titik nanti, InsyaAllah kita akan “lebur” karena kita akan syahid yakni sebenar-benar bersaksi kepada Allah yang Maha Esa.
Sesungguhnya karunia Allah akan pemahaman tentang ma’rifatullah bisa kita lalui jika mendalami ilmu Tasawuf.
Merugilah mereka yang menolak memahami ilmu Tasawuf.
Untuk itulah, Insyaallah, saya hadirkan blog ini untuk mengingatkan diri saya pribadi dan saudara-saudaraku Salafy (pengikut pemahaman Ibnu Taimiyah dan yang sepemahaman), teruntuk saudara-saudara muslimku yang anti tasawuf, teruntuk para pembaca pada umumnya serta juga teruntuk saudara-saudaraku yang terbiasa mengikuti “motivator-motivator” kehidupan yang cenderung mengikuti atau menginginkan materi semata atau memperturutkan hawa nafsu dan menjurus mencintai dunia. Semoga Allah melindungi kita semua.
Wassalammualaikum Wr. Wb
Tiada ulasan:
Catat Ulasan