بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران – الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Hukum Bunuh Diri dan Menyembahyangkan Jenazahnya
Kesalahan membunuh diri merupakah satu
kesalahan yang terlalu besar. Orang yang membunuh dirinya akan diazab di
akhirat kelak sebagaimana dia membunuh dirinya di dunia sepertimana
dijelaskan oleh Nabi S.A.W.
Abu Hurairah R.A. meriwayakan dari Nabi S.A.W.
مَنْ
تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
يَتَرَدَّى فِيهِ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ تَحَسَّى
سُمًّا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَسُمُّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ
بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ
جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Maksudnya: “Sesiapa
yang terjun dari bukit membunuh dirinya, dia akan terjun ke dalam
neraka jahannam kakal di dalamnya selama-lamanya. Sesiapa yang meminum
racun membunuh diiri, racun itu akan berada di dalam gengamannya, dia
akan menghirup racun itu di dalam neraka jahannam kekal di dalamnya
selama-lamanya. Siapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu
akan berada dalam gengamannya, dia akan menikamkannya di perutnya di
dalam neraka jahannam, kekal di dalamnya selama-lamanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Daripada Thabit bin Dhohak R.A. (ثابت بن الضحاك), sabda Nabi S.A.W.:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ فِيْ الدُّنْيَا عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Maksudnya: “Sesiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu benda di dunia, dia akan diazabkan dengan benda tersebut di hari kiamat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Daripada Jundub bin Abdillah R.A. (جندب بن عبد الله), katanya Nabi S.A.W. bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ
بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ فَأَخَذَ سِكِّينًا فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ فَمَا
رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى مَاتَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى بَادَرَنِي
عَبْدِي بِنَفْسِهِ حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Maksudnya: “Dahulu
dikalangan umat sebelum kamu ada seorang lelaki yang ada kecederaan
(kemudian menjadi ulser), lalu dia tidak bersabar menanggung
kesakitannya, lalu dia mengambil pisau dan memotong tangannya sehingga
darah tidak berhenti sehinggalah dia mati. Firman Allah S.W.T.:
“Tergesa-gesa hambaku kepadaKu (dengan membunuh diri), aku haramkan
untuknya syurga.” (al-Bukhari dan Muslim)
Hukum Orang Bunuh Diri
Perbuatan membunuh diri adalah termasuk
di dalam kesalahan dosa-dosa besar, perbuatan membunuh diri ini TIDAK
termasuk di dalam perkara yang menyebabkan seseorang terkeluar daripada
Islam (Murtad) sebagaimana yang difahami oleh sebagai daripada kita,
melainkan bagi orang yang menghalalkan perbuatan tersebut, jika dia
menghalalkannya maka ketika itu dia dihukumkan sebagai kafir/murtad.
Kita tidak menghukumkan orang yang
bunuh diri sebagai murtad, kerana Nabi S.A.W. tidak melarang para
sahabat dari menyembahyangkan jenazah orang yang membunuh diri. Namun
baginda sendiri tidak menyembahyangkan jenazah orang tersebut sebagai
pengajaran bagi orang lain. Maka menjadi sunnah kepada para ulama dan
orang yang dipandang mulia, tidak menyembahyangkan jenazah orang yang
mati membunuh diri sebagai mengikut perbuatan Nabi S.A.W. dan sebagai
pengajaran kepada orang lain.
Daripada Jabir bin Samurah (جابر بن سمرة) R.A. katanya:
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Maksudnya: “Didatangkan
kepada Nabi S.A.W. jenazah seorang lelaki yang membunuh diri dengan
anak panah, lalu baginda tidak menyembahyangkan untuknya.” (Muslim)
Al-Imam al-Nawawi di dalam Syarah Sahih Muslim ketika mensyarahkan hadith ini menyebut:
“Hadith
ini menjadi dalil bagi ulama yang berpendapat tidak disembahyangkan
jenazah orang yang membunuh diri disebabkan maksiat yang dia lakukan,
inilah mazhab ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz dan al-Auza’ie. Manakal al-Hasan,
al-Nakha’ie, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’ie dan kebanyakan
ulama berpendapat: Disembahyangkan ke atas jenazah orang yang membunuh
diri. (Jumhur) kebanyakan ulama ini menjawab tentang hadith ini yang
baginda tidak menyembahyangkannya sebagai melarang manusia dari
melakukan perbuatan yang sama (membunuh diri), namun jenazah itu
disembahyangkan oleh para sahabat…”
Adapun mengenai teks hadith yang
menyatakan orang yang membunuh diri itu kekal selama-lamanya di dalam
neraka, para ulama menyatakan, ia ditujukan kepada orang yang
menghalalkan perbuatan membunuh diri tersebut, atau maksudnya boleh
difahami dengan memanjangkan tempoh azab ke atasnya di dalam neraka.
PERTANYAAN: Apa wajib mensolatkan orang yang matinya bunuh diri? Atau orang meninggal dalam keadaan maksiat (pelaku dosa besar).Jemaah (Ahad, 24-03-2013). JAWAB: Hukum solat jenazah yang bukan karena mati syahid adalah “Fardhu Kifayah ; فرضٌ كِفاية ; Collective Duty” bagi orang yang masih hidup, menurut Ijma’ seperti mengurus mayit, memandikannya, mengkafaninya, dan menguburkannya.
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
PERTANYAAN:
Apa wajib mensolatkan orang yang matinya bunuh diri? Atau orang
meninggal dalam keadaan maksiat (pelaku dosa besar).Jemaah (Ahad,
24-03-2013). JAWAB: Hukum solat jenazah yang bukan karena mati syahid
adalah “Fardhu Kifayah ; فرضٌ كِفاية ; Collective Duty” bagi orang yang
masih hidup, menurut Ijma’ seperti mengurus mayit, memandikannya,
mengkafaninya, dan menguburkannya.
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/24/hukum-solat-jenazah-yang-mati-bunuh-diri/#sthash.HwAbTadM.dpuf
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/24/hukum-solat-jenazah-yang-mati-bunuh-diri/#sthash.HwAbTadM.dpuf
PERTANYAAN:
Apa wajib mensolatkan orang yang matinya bunuh diri? Atau orang
meninggal dalam keadaan maksiat (pelaku dosa besar).Jemaah (Ahad,
24-03-2013). JAWAB: Hukum solat jenazah yang bukan karena mati syahid
adalah “Fardhu Kifayah ; فرضٌ كِفاية ; Collective Duty” bagi orang yang
masih hidup, menurut Ijma’ seperti mengurus mayit, memandikannya,
mengkafaninya, dan menguburkannya.
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/24/hukum-solat-jenazah-yang-mati-bunuh-diri/#sthash.HwAbTadM.dpuf
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/24/hukum-solat-jenazah-yang-mati-bunuh-diri/#sthash.HwAbTadM.dpuf
PERTANYAAN:
Apa wajib mensolatkan orang yang matinya bunuh diri? Atau orang
meninggal dalam keadaan maksiat (pelaku dosa besar).Jemaah (Ahad,
24-03-2013). JAWAB: Hukum solat jenazah yang bukan karena mati syahid
adalah “Fardhu Kifayah ; فرضٌ كِفاية ; Collective Duty” bagi orang yang
masih hidup, menurut Ijma’ seperti mengurus mayit, memandikannya,
mengkafaninya, dan menguburkannya.
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/24/hukum-solat-jenazah-yang-mati-bunuh-diri/#sthash.HwAbTadM.dpuf
Jika solat jenazah dilakukang sebagian orang walau hanya satu orang maka terlepaslah dosa bagi yang tidak mensolatkanya atau mengurusnya. Solat jenazah ini merupakan diantara ritual khusus dalam Islam yang tidak dimiliki oleh ajaran umat-umat lain, termasuk juga masalah bagian sepertiga hak waris yang harus diwasiatkan oleh si mayit dari harta yang dimilikinya kepada ahli warisnya.
Tentang solat jenazah para sahabat mensolati Nabi SAW ketika beliau wafat, begitu juga Nabi Muhammad Saw memerintahkan para sahabat melakukan solat jenazah atau solat ghaib (ketika raja Annajasyi wafat) meskipun mayit tersebut anak-anak. Tentang anjuran solat jenazah ini dapat dilihat Hadis-hadis yang diriwayatkan dan bersumber dari: Ibnu Abbas, Imam Ahmad, Abu Dawud, Imam Annasa’I, At-Turmudzi, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Para ulama berbeda pendapat, apakah boleh mensolatkan orang yang matinya dalam keadaan dosa besar? Seperti mati bunuh diri, pembunuh, penzina muhsan (laki-laki atau wanita yang sudah menikah melakukan zina), teroris, perampok yang membunuh, dll. Perbedaan pendapat para ulama tersebut diantara sebagai berikut:
1.Menurut Madzhab Hanafi (Imam Hanafi : Bagdad, 80-150 H) wajib bagi orang Islam mensolati orang muslim yang meningggal terkecuali orang yang mati dalam keadaan:
a.Bughat atau makar seperti teroris yaitu mereka adalah orang Islam yang keluar dari ketaatan terhadap Imam atau pemimpin (Islam) yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Jika mereka mati jenazahnya tidak wajib dimandikan dan disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
b.Qithaa’ At-Thuruq yaitu orang perampok, pemalak yang menggunakan senjata atau dengan cara-cara pemerasan, bertindak kriminal yang dapat mematikan atau meresahkan masyarakat. Jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati. Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
c.Mati Syahid (Syahid dunia) yaitu orang yang mati ketika berperang di jalan Allah (Jihad fi Sabilillah), maka jenazahnya tidak disolati.
d.Ahlu Al’ashabiyah yaitu orang yang fanatik terhadap kelompok, suku, ras, golongannya, dll. Jika mereka mati karena mempertahankan kefanatikannya maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disolati, karena mereka ini digolongkan kepada Allu Al’ashabiyah sama hukumnya dengan Bughat (makar). Namun jika mereka wafat dalam tawanan atau menyerah maka boleh dimandikan dan disolati.
e.Orang yang mati bunuh diri begitu juga orang-orang yang mati dalam kondosi melakukan dosa-dosa besar. Begitu juga tidak disolatkan mayit orang yang membunuh orang tuanya, namun jika ia mati dalam kondisi terhukum (mati dalam Qishah) maka mayitnya boleh dimandikan.
Namun sebahagian mufti yang bermadzhab Hanafi memfatwakan bagi orang yang matinya karena bunuh diri dengan sengaja (atau pelaku dosa besar) boleh dimandikan dan disolati, begitu juga menurut madzhab Syafi’i (Imam Syafi’I : 150-204 H). Karena mereka para pelaku dosa-dosa besar masih dianggap orang Islam sebagaimana orang Muslim lainnya, namun perbuatan mereka adalah tergolong orang yang fasik.
2.Menurut pengikut Abu Yusuf dan Ibnu Al Hammam bagi pelaku dosa besar tidak disolatkan jenazahnya sebagaimana Rasulullah Saw pun tidak melakukan hal tersebut. Sebagaimana Hadis Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim : ( أنه عليه السلام أتى برجل قتل نفسه , فلم يصلي عليه ; Nabi Muhammad Saw ketika mendatangi orang yang mati karena bunuh diri, beliau tidak mensolatkannya).
3.Menurut Madzhab Malik (Imam Malik : 93H-179 H) orang yang mati karena dosa-dosa besar atau mereka mati karena di Qishah (hukum mati karena dosa besar) boleh disolatkan jenazahnya, namun bagi Imam (para ulama atau orang –orang yang shalih) sebaiknya tidak mensolatkannya. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mensolati pelaku dosa besar seperti mati bunuh diri, namun beliau tidak melarang bagi orang lain yang ingin menshalatkannya. Pendapat ini juga disepakati oleh Madzhab Hanabilah (Imam Ahmad : 164-241 H).
Pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Syafi’i dan jumhur ulama bahwa orang yang pelaku dosa besar menjadi Fardu Kifayah mengurus jenazah dan mensolatinya. Sebaiknya bagi seluruh para ulama atau masyarakat untuk melakukan mensolatinya, ini merupakan syi’ar agar bagi pelaku dosa-dosa besar yang belum sadar (yang masih dalam kubangan lembah nista) dapat melakukan tobat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Wallahua’lam.
- See more at: http://kabarwashliyah.com/2013/03/24/hukum-solat-jenazah-yang-mati-bunuh-diri/#sthash.HwAbTadM.dpuf
Tiada ulasan:
Catat Ulasan