AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Isnin, 26 Ogos 2013

Hukum Ziarah Kubur, Adab-adab, dan Larangannya

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102

Foto Saya
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Hukum Ziarah Kubur, Adab-adab, dan Larangannya

Beberapa hari belakangan ini banyak pemberitaan mengenai kubur salah seorang da’i nasional yang diziarahi oleh masyarakat banyak. Namun, ziarah yang dilakukan oleh sebagian masyarakat tersebut menuai kontroversi dan kritik dikarenakan sudah melanggar batasan-batasan Islam mengenai ziarah.
Berikut ini kami ringkaskan pembahasan mengenai hukum ziarah kubur dan adab-adabnya dari kitab Fiqih Islami wa Adilatuhu karangan Syaikh Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, seorang ulama fiqih dari Suriah yang sangat masyhur. Kami lengkapi juga dari sumber-sumber lain.

Tentang Ruh si Mayit

Pendapat Ahlu Sunnah wal Jamaah, bahwa ruh yaitu jiwa yang dapat berbicara, yang mampu untuk menjelaskan, memahami objek pembicaraan, tidak musnah karena musnahnya jasad. Ia adalah unsur inti, bukan esensi. Ruh-ruh orang yang sudah meninggal itu berkumpul, lalu yang berada di tingkatan atas bisa turun ke bawah, tapi tidak sebaliknya.
Menurut Salafush Shahih dan para pemukanya, bahwa siksa dan kenikmatan dirasakan oleh ruh dan badan mayat. Ruh tetap kekal setelah terpisah dari badan yang merasakan kenikmatan atau siksaan, kadang juga bersatu dengan badan sehingga merasakan juga kenikmatan dan siksaan. Ada pendapat lain dari Ahlus Sunnah bahwa kenikmatan dan siksa untuk badan saja, bukan ruh.

Hukum Ziarah Kubur

Untuk kaum laki-laki, ulama fiqih tidak ada pertentangan mengenai hukumnya, yakni sunnah. Bahkan Ibnu Hazm mengatakan, ‘”Sesungguhnya ziarah kubur itu wajib, meski sekali seumur hidup, karena ada perintahnya.”
Namun, untuk perempuan, ulama fiqih berselisih pendapat.
1. Sunnah Bagi Perempuan, Seperti Halnya Laki-laki
Ini adalah pendapat paling shahih dalam madzhab Hanafi. Dalilnya adalah keumuman nash tentang ziarah. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)! Karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR Muslim dari Abu Buraidah)
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi makam syuhada Uhud setiap awal tahun, seraya bersabda, ‘Keselamatan bagi kalian atas kesabaran kalian, sungguh sebaik-baik tepat tinggal terakhir.’”
Namun mereka juga mengatakan bahwa tidak diperbolehkan kaum perempuan berziarah jika untuk mengingat kesedihan, menangis, atau melakukan apa yang biasa dilakukan oleh mereka, dan akan terkena hadits, “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur.” Namun, jika tujuannya mengambil pelajaran, memohon rahmat Allah tanpa harus menangis, maka diperbolehkan.
2. Makruh Bagi Perempuan
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sebab asal hukum ziarah mereka itu dilarang, lalu dihapus. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)!”
Sebab dimakruhkannya perempuan untuk ziarah kubur karena mereka sering menangi, berteriak, disebabkan perasaannya lembut, banyak meronta, dan sulit menghadapi musibah. Namun, hal itu tidak sampi diharamkan.
Dalam riwayat Muslim, Ummu Athiyah berkata, “Kami dilarang untuk berziarah kubur, tetapi beliau tidak melarang kami  dengan keras.”
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Allah melaknat wanita yang sering berziarah kubur.” (shahih)
Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, hal ini berlaku untuk gadis, sedangkan untuk wanita tua yang tidak tertarik lagi dengan laki-laki, maka dihukumi seperti laki-laki.

Tatacara dan Adab Ziarah Kubur

Tujuan utama ziarah kubur adalah mengingat mati dan mengingat akhirat sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Aku pernah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka ziarahilah (sekarang)! Karena sesungguhnya ziarah kubur dapat mengingatkan kalian akan kematian.” (HR Muslim dari Abu Buraidah)
Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” (HR Al Hakim)
Oleh karena itu, tujuan itu harus senantiasa dipancangkan di dalam hati orang yang berziarah.
Selain itu, ada beberapa adab dalam berziarah kubur:
1. Dianjurkan Melepas Alas Kaki
Dianjurkan menurut madzhab Hanbali, melepas sandal ketika masuk ke areal pemakaman karena ini sesuai dengan perintah dalam hadits Busyair bin Al Khashahshah:
Ketika aku berjalan mengiringi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata ada seseorang berjalan di kuburan dengan mengenakan kedua sandalnya. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan “Hai pemakai dua sandal, tanggalkan kedua sandal kamu!” Orang itu pun menoleh. Ketika dia tahu bahwa itu ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia melepaskannya serta melemparkan keduanya. (HR. Abu Dawud, hasan)
Diperbolehkan tetap memakai sandal jika ada penghalang semacam duri, kerikil yang panas, atau semacam keduanya. Ketika itu, tidak mengapa berjalan dengan kedua sandal di antara kuburan untuk menghindari gangguan itu.
2. Mengucapkan Salam
Disunnahkan bagi orang yang berziarah mengucapkan salam kepada penghuni kuburan Muslim. Adapan ucapan salam hendaklah menghadap wajah mayat, lalu mengucapkan salam sebagaimana telah diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para Shahabatnya ketika mereka berziarah kubur,
“Assalamu ‘alaikum dara qaumin Mu’minin, wa insya Allah bikum laa hiqun.”
Artinya, “Keselamatan atas kalian di tempat orang Mukmin, dan kami insya Allah akan menyusul kalian juga.”
Atau bisa juga dengan lafal lain, “Assalamu ‘ala ahlid diyari minal Mu’minina wal Muslimin, wa inna insya Allah ta’ala bikum laa hiqun. As-alullahu lana wa lakumul afiyah.”
Artinya, “Keselamatan kepada penghuni kubur dari kaum Mukminin dan Muslimin, kami insya Allah akan menyusul kalian. Aku memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan kalian semua.”
Kedua lafazh salam tersebut diriwayatkan Imam Muslim.
3. Membaca Surat Pendek
Dianjurkan membacakan Al Quran atau surat pendek.  Ini adalah sunnah yang dilakukan di kuburan. Pahalanya untuk orang yang hadir, sedang mayat seperti halnya orang yang hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat.
Disunnahkan membaca surat Yasin seperti yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban, dan Al Hakim dari Ma’qal bin Yassar, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Bacakanlah surah Yasin pada orang yang meninggal di antara kalian.”
Sebagian ulama menyatakan hadits ini dha’if. Imam Asy Syaukani dan Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa hadits ini berstatus hasan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa membacakan Al Quran ini dilakukan saat sakaratul maut, bukan setelah meninggal.
4. Mendoakan si Mayat
Selanjutnya mendoakan untuk mayat usai membaca Al Quran dengan harapan dapat dikabulkan. Sebab doa sangat bermanfaat untuk mayat. Ketika berdoa, hendaknya menghadap kiblat.
Saat berziarah kubur di Baqi’, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa dengan lafazh, “Allahummaghfir li Ahli Baqi’il gharqad.”
5. Berziarah dalam Posisi Berdiri
Disunnahkan ketika berziarah dalam keadaan berdiri dan berdoa dengan berdiri, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika keluar menuju Baqi’.
Selain itu, jangan duduk dan berjalan di atas pusara kuburan. Dalam riwayat Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur.” Sedangkan jika berjalan di samping atau di antara pusara-pusara kubur, maka itu tidak mengapa.
6. Menyiramkan Air di Atas Pusara
Diperbolehkan menyiramkan air biasa di atas pusara si mayat berdasarkan hadits berikut, “Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyiram (air) di atas kubur Ibrahim, anaknya, dan meletakkan kerikil di atasnya.”  Hadits diatas oleh Abu Dawud dalam Al Marasil, Imam Baihaqi dalam Sunan, Thabarani dalam Mu’jam Al Ausath. Syaikh Al Albani menyatakan sanadnya kuat di dalam Silsilah Ahadits Shahihah.
Sedangkan menyiram dengan air kembang tujuh rupa atau menabur bunga, maka itu tidak dituntunkan oleh syari’at.

Hal-hal yang Makruh dan Munkar Saat Berziarah

  • Madzhab Maliki menyatakan makruh hukumnya makan, minum, tertawa, dan banyak bicara, termasuk juga membaca Al Quran dengan suara keras. Tidaklah pantas bagi seseorang yang berada di pekuburan, baik dia bermaksud berziarah atau hanya secara kebetulan untuk berada dalam keadaan bergembira dan senang seakan-akan dia berada pada suatu pesta, seharusnya dia ikut hanyut atau memperlihatkan perasaan ikut hanyut di hadapan keluarga mayat.
  • Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan, “Makruh hukumnya mencium peti yang dibuat di atas makam, atau mencium makam, serta menyalaminya, atau mencium pintunya ketika masuk berziarah makam aulia.”
  • Mengkhususkan hari-hari tertentu dalam melakukan ziarah kubur, seperti harus pada hari Jum’at, tujuh atau empat puluh hari setelah kematian, pada hari raya dan sebagainya, maka itu tak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan beliau pun tidak pernah mengkhususkan hari-hari tertentu untuk berziarah kubur. Sedangkan hadits-hadits tentang keutamaan ziarah pada hari Jum’at adalah dha’if sebagaimana dinyatakan para Imam Muhaditsin. Oleh karena itu, ziarah kubur dapat dilakukan kapan saja.
  • Sedangkan shalat persis di atas kuburan seseorang dan menghadap kuburan tanpa tembok penghalang, maka ulama sepakat tentang ketidakbolehannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula kalian duduk di atasnya.”  (HR Muslim) Sedangkan jika di samping kubur, maka terjadi sejumlah perselisihan ulama, ada yang memakruhkannya, dan ada yang mengharamkannya. Demi kehati-hatian, kami berpendapat untuk tidak melaksanakan shalat di kompleks pekuburan. Selain itu, Ibnu Hibban meriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dari shalat di antara kuburan.” Dikecualikan dari hal ini adalah bagi seseorang yang ingin melaksanakan shalat jenazah, tetapi tidak berkesempatan menshalati mayit saat belum dikuburkan.
  • Dilarang juga mengencingi dan berak di atas kuburan. Diriwayatkan Abu Hurairah, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Barang siapa yg duduk di atas kuburan, yang berak dan kencing di atasnya, maka seakan dia telah menduduki bara api.”
  • Tidak diperbolehkan melakukan thawaf (ibadah dengan cara mengelilingi) kuburan. Hal ini sering dijumpai dilakukan oleh orang-orang awam di kuburan orang-orang shalih. Dan ini termasuk dalam kesyirikan. Thawaf hanya boleh dilakukan pada Baitullah Ka’bah. Allah berfirman, “Dan hendaklah mereka melakukan Thawaf disekeliling rumah yang tua (Baitul ‘Atiq atau Baitullah) itu.” (QS Al Hajj : 29)
  • Berdoa, meminta perlindungan, meminta tolong,  pada penghuni kubur juga tidak diperbolehkan, hukumnya haram dan merupakan kesyirikan. Berdoa hanya boleh ditujukan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan berdoa dengan perantaraan si mayit (tawasul), maka hal itu diperselisihkan. Pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkan.
  • Tidak diperbolehkan memasang lilin atau lampu di atas pusara kuburan. Selain hal itu merupakan tatacara ziarah orang Ahli Kitab dan Majusi, dalam riwayat Imam Al Hakim disebutkan, “Rasulullah melaknat….dan (orang-orang yang) memberi penerangan (lampu pada kubur).”
  • Tidak boleh memberikan sesajen berbentuk apapun, baik berupa bunga, uang, masakan, beras, kemenyan, dan sebagainya. Juga dilarang menyembelih hewan atau kurban di kubur. Selain itu, tidak boleh mengambil benda-benda dari kubur seperti kerikil, batu, tanah, bunga, papan, pelepah, tulang, tali dan kain kafan, serta yang lainnya untuk dijadikan tangkal.

Fadhilah ziarah kubur orangtua tiap hari Jumat ?

Ziarah kubur hukumnya sunnah. Tetapi ada juga yang bilang wajib, seperti Ibnu Hazm yang mengatakan,
"Sesungguhnya ziarah kubur itu wajib, meski sekali seumur hidup, karena ada perintahnya.” [Dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar. Dalam Al-Muhalla, redaksinya sedikit berbeda namun intinya sama]
Ziarah kubur pada hari Jumat: tidak ada satu pun hadits shahih dalam hal ini. Ziarah bisa dilakukan kapan saja, pada hari apa saja, boleh siang, boleh malam. Tidak ada ketentuan khusus.
Khalil Al-Maliki berkata dalam Manhul Jalil, “Ziarah kubur tidak ada ketentuan pada satu hari tertentu dalam seminggu atau waktu tertentu dalam sehari.”
Meski ada juga yang mengatakan afdhalnya adalah hari Jumat, tetapi dari sisi dalil, tidak ada hadits shahih dalam hal ini.
Tentang ziarah ke kuburan orangtua pada hari Jumat; ada sejumlah hadits dalam hal ini. Tetapi semuanya tidak ada yang shahih. Dalam Hasyiyah Al-Bujairami disebutkan beberapa hadits tentang hal ini, tetapi tidak ada yang dijelaskan kedudukan sanadnya. Di antara haditsnya, misalnya:
"Barangsiapa yang ziarah ke kubur kedua orangtuanya atau salah satunya pada hari Jumat, dia diampuni dan dicatat sebagai anak berbakti.”
[HR. Ath-Thabarani, Al-Baihaqi, Ibnu Abid Dunia, dan Al-Hakim At-Tirmidzi dari Abu Hurairah]
Selain dalam Hasyiyah Al-Bujairami, hadits ini juga disebutkan oleh As-Suyuthi dalam Al-Lum’ah fi Khasha`ishi Yaumil Jumu’ah, dan Al-Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin.
Tentang hadits ini, Al-Haitsami berkata, "Diriwayatkan Ath-Thabarani dalam Al-Awsath dan Ash-Shaghir, namun di dalamnya ada Abdul Karim Abu Umayyah, dan dia itu dha’if.” [Majma’ Az-Zawa`id/4312]
Al-Iraqi berkata, "Dikeluarkan Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghir dan Al-Awsath dari hadits Abu Hurairah. Juga Ibnu Abid Dunia dalam Al-Qubur dari riwayat Muhammad bin An-Nu’man secara marfu’. Tetapi ia adalah hadits mu’dhal; Muhammad bin An-Nu’man majhul dan syaikhnya yang terdapat pada riwayat Ath-Thabarani, yakni Yahya bin Al-Ala` Al-Bajali adalah matruk." [Takhrij Ahadits Al-Ihya`/4402]
Dalam Subulus Salam, Ash-Shan’ani mengomentari hadits ini yang diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman: hadits mursal.
Al-Munawi juga mendha’ifkan hadits ini dalam Faidhul Qadir [8718].
Dan secara umum, hadits ini dimaudhu’kan oleh: Ibnul Jauzi (Al-Maudhu’at III/239), Al-Fatani (Tadzkiratul Maudhu’at I/219), As-Suyuthi (Al-La`ali Al-Mashnu’ah II/366), dan Al-Albani (Dha’iful Jami’ 12380 & As-Silsilah Adh-Dha’ifah 49).
========
Adapun hadits tentang keutamaan ziarah kubur orangtua pada hari Jumat pahalanya sama seperti haji, juga bukan hadits yang shahih. hadits tersebut berbunyi:
"Barangsiapa yang ziarah ke kuburan kedua orangtuanya atau satunya pada hari Jumat, pahalanya seperti haji." [HR. Abu Nuaim dari Ibnu Umar]
Hadits ini disebutkan Abu Nuaim dalam kitabnya "Akhbar Ashbahan" hadits nomor 918.
Hadits ini disebutkan tanpa keterangan derajatnya dalam kitab; Hasyiyah Al-Bujairami 'Alal Manhaj, Hasyiyah Al-Bujairami 'Alal Khathib, Hasyiyatul Jamal, Tuhfatul Muhtaj, Hawasyi Asy-Syarwani, I'anatuth Thalibin, Faidhul Qadir, dan lain-lain.
Hadits ini lemah sekali (dha'if jiddan) karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Abu Muqatil As-Samarqandi.
Ibnu Adi berkata, "Abu Muqatil ini mempunyai banyak hadits di mana hadits-haditsnya seperti yang saya sebutkan (mungkar) atau bahkan lebih parah dari itu. Dia bukanlah orang yang bisa dipegang riwayat-riwayatnya." [Al-Kamil fit Tarikh]
Adz-Dzahabi berkata tentang Abu Muqatil As-Samarqandi, "Kacau sekali dan tidak bisa dipegang. Dia didustakan oleh Ibnu Mahdi." [Mizanul I'tidal]
Ibnu Hibban berkata, "Abu Muqatil As-Samarqandi, namanya Hafsh bin Salm… Dia seorang yang sangat sederhana dan ahli ibadah. Tetapi dia sering meriwayatkan hadits-hadits mungkar, di mana diketahui dari kitab-kitab hadits bahwa haditsnya itu tidak ada dasar yang bisa dirujuk." [Al-Majruhin]
Dalam Al-Majruhin, Ibnu Hibban juga menyebutkan sikap/perkataan Ibnul Mubarak, Qutaibah bin Sa'ad, dan Ibnu Mahdi; yang menjarh (mencacat/mencela) Abu Muqatil.
Ibnu Hajar berkata, "Waki' mendustakannya. Dan menurut As-Sulaimani, Abu Muqatil termasuk orang-orang yang membuat hadits palsu… Sedangkan Ad-Daraquthni, dia menganggapnya sangat lemah… Adapun Al-Mizzi, dia memandang Abu Muqatil sebagai orang yang lalai." [Tahdzib At-Tahdzib]

Tiada ulasan:

Catat Ulasan