OLEH AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الشاملة رأفته العامة رحمته الذي جازى عباده عن ذكرهم بذكرهم فقال تعالى
فاذكروني أذكركمورغبهم في السؤال والدعاء بأمره فقال ادعوني أستجب لكم فأطمع
المطيع والعاصي والداني والقاصي في الانبساط إلى حضرة جلاله برفع الحاجات والأماني
بقوله فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان والصلاة على محمد سيد أنبيائه وعلى آله
وأصحابه خيرة أصفيائه وسلم تسليما كثيرا
Kita Beribadah Bersama Pemerintah “
Mazhab yang
dianut oleh pemerintah masa itu didasarkan pada pemikiran yang buruk,
bahkan kekafiran. Mereka, para penguasa masa itu menganut mazhab yang menyimpang , memaksakan pemahaman
bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Untuk menyebarkan
pemahaman ini, pihak penguasa tak segan menggunakan kekuatan fisik dan
senjata. Tak heran pada saat itu banyak darah kaum muslimin mengalir,
membasahi bumi yang dibakar fitnah. Tidak sedikit pula darah para ulama
yang tertumpah.
Penangkapan dan pemaksaan terus
dilakukan. Propaganda untuk menanamkan keyakinan batil bahwa al-Qur’an
adalah makhluk senantiasa berlangsung. Penguasa mewajibkan rakyatnya
untuk menganut keyakinan sesat tersebut. Padahal para ulama menegaskan
bahwa al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Fitnah ini mulai bergulir pada masa
kekhalifahan al-Makmun (198-218 H), kemudian berlanjut hingga
kekhalifahan dijabat oleh al-Mu’tashim (218-227H). Keadaan fitnah mulai
mereda saat kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq bin Mu’tashim (227-232
H). Fitnah itu padam ketika kekhalifahan dipegang oleh al-Mutawakkil ‘alallah, Ja’far bin al-Mu’tashim. Rakyat menyambut gembira atas pengangkatan al-Mutawakkil ‘alallah,
karena ia termasuk orang yang mencintai as-Sunnah dan Ahlus Sunnah.
Fitnah pada masa kekhalifahannya diredam. Khalifah menyebarkan seruan
dalam bentuk tulisan ke seluruh pelosok negeri. Isinya, tidak boleh
seorang pun mengatakan (berpendapat) bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Tidak hanya itu, Khalifah al-Mutawakkil ‘alallah menulis instruksi agar Gubernur Baghdad, Ishaq bin Ibrahim, membawa al-Imam Ahmad rahimahullah menghadap kepadanya. Kedatangan al-Imam Ahmad rahimahullah dimuliakan oleh Ishaq bin Ibrahim. Sebab, dia mengetahui bahwa khalifah al-Mutawakkil‘alallah memuliakan al-Imam Ahmad rahimahullah.
Pada kesempatan itu, Ishaq bin Ibrahim bertanya kepada al-Imam Ahmad seputar al-Qur’an. Al-Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Pertanyaan dalam rangka interogasi atau meminta bimbingan?”
Ishaq menjawab, “Pertanyaan dalam rangka meminta bimbingan.”
Al-Imam Ahmad pun memberi jawaban, “Al-Qur’an adalah kalamullah, diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala, bukan makhluk.” Ishaq bin Ibrahim merasa tenang dengan jawaban al-Imam Ahmad rahimahullah tersebut. (al-Bidayahwaan-Nihayah, Ibnu Katsir, 14/412)
Masih terkait dengan fitnah yang
berkecamuk semasa al-Imam Ahmad, dikisahkan para fuqaha (ulama) Baghdad
berkumpul bersama al-Imam Ahmad rahimahullah. Saat itu kekhalifahan dipegang oleh al-Watsiq. Para fuqaha itu menyampaikan pernyataan di hadapan al-Imam Ahmad rahimahullah,
“Sungguh urusan ini telah berkembang pesat (yakni pemahaman al-Qur’an
adalah makhluk). Kami tidak menyukai kepemimpinannya, kepemimpinan pun
tidak pantas baginya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah
memandang mereka dan berkata, “Hendaklah kalian mengingkari dengan hati
kalian. Janganlah kalian melepaskan ketaatan kepadanya. Jangan kalian
hancurkan persatuan kaum muslimin. Jangan kalian tumpahkan darah kaum
muslimin dengan sebab kalian. Perhatikan benar akibat tindakan kalian.
Bersabarlah kalian hingga Allah Subhanahu wata’ala mengistirahatkan orang baik dan diistirahatkan dia dari perbuatan dosa.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak benar (mencabut ketaatan dari penguasa). Perbuatan seperti itu menyelisihi hadits.” (Mu’amalatul Hukkam fi Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah, asy-Syaikh Dr. Abdussalam bin Barjas Abdilkarim, hlm. 8-9)
Begitulah gambaran sikap salaf terhadap
penguasa. Gambaran nan mengagumkan yang menjelaskan bagaimana Ahlus
Sunnah wal Jamaah mempraktikkan cara menjalin hubungan dengan penguasa.
Sekalipun penguasa yang ada melakukan tindakan yang zalim kepada
rakyatnya, tetapi apa yang tergambar dari perbuatan al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah, imam Ahlus Sunnah cukup menjadi penerang dan
petunjuk bagaimana seorang Ahlus Sunnah menyikapi penguasanya. Karena
itu, pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah memperingatkan kepada segenap
penganutnya agar tidak melakukan tindakan yang keluar dari ketaatan
terhadap penguasa. Taatilah penguasa dalam hal yang ma’ruf.
Bukti lain bahwa Ahlus Sunnah sangat
mementingkan penguasa adalah penekanan untuk selalu mendoakan penguasa.
Dalam kitab as-Sunnah karya al-Imam al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah
disebutkan, “Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada
penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut hawa nafsu. Jika engkau
mendengar seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa
dia pengikut as-Sunnah, insya Allah.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Seandainya aku memiliki doa (yang dikabulkan oleh Allah), tidaklah aku tujukan doa itu kecuali untuk penguasa.”
Jika doa kebaikan bagi penguasa itu
dikabulkan, kebaikan seorang penguasa tentu akan dirasakan oleh
masyarakatnya. Namun, jika doa kejelekan itu dikabulkan, kejelekan itu
akan berimbas pada rakyatnya. Karena itu, Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu
membimbing pengikutnya untuk senantiasa mendoakan kebaikan bagi
penguasanya.
Bukti lain bahwa Ahlus Sunnah memiliki
perhatian terhadap penguasa adalah senantiasa mencari uzur bagi
penguasa. Dengan senantiasa memberi uzur pada penguasa, diharapkan
tumbuh sikap yang positif terhadap penguasa itu sendiri. Tidak lantas
melakukan tindakan menentang dan mencela penguasa. Ulama berkata, “Jika
urusan penguasa telah lurus, perbanyaklah memuji Allah Subhanahu wata’ala dan bersyukur kepada-Nya.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 9-10)
Sikap ini tidak berarti kita ridha terhadap kesalahan dan kezaliman penguasa. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
سَتَكُونُ
أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ
أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوا: أَفَ
نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada nanti para penguasa yang
kalian mengetahui kebaikan dan kemungkaran mereka. Barang siapa
mengetahui kebaikan mereka, dia telah menunaikan tanggung jawabnya.
Barang siapa mengingkari kemungkaran mereka, dia selamat. Akan tetapi,
(yang berdosa) adalah yang ridha dan mengikuti.” Para sahabat bertanya,
“Tidakkah kami perangi saja mereka itu?” Beliau menjawab, “Jangan,
selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim)
Pencela Penguasa Pertama Kali
Para ulama memaparkan bahwa yang pertama
kali melakukan pencelaan terhadap penguasa adalah Abdullah bin Saba’.
Melalui kemasan amar ma’ruf nahi munkar, Abdullah bin Saba’ memprovokasi
massa untuk melawan penguasa. Melalui bid’ah Saba’iyah, umat menjadi
berpecah belah dan sibuk dengan fitnah. Hasil puncak fitnah Saba’iyah
ini adalah terbunuhnya sahabat mulia, Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Disebutkan oleh Ibnu Asakir t dalam
TarikhDimasyqi (3/29), Abdullah bin Saba’ (Saba’iyah dinisbatkan
kepadanya) adalah kelompok ekstrem Syiah Rafidhah. Asalnya, dia Yahudi
penduduk Yaman yang menampakkan keislaman. Dia berkeliling ke
wilayah-wilayah kaum muslimin demi memalingkan kaum muslimin dari
ketaatan terhadap penguasanya. Dia menyusupkan berbagai kejelekan di
tengah kaum muslimin.
Abdullah bin Saba’ berhasil masuk ke Damaskus saat kekhalifahan dijabat sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Menurut asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah,
Abdullah bin Saba’ berkeliling mulai dari Hijaz, Bashrah, Kuffah, dan
Syam untuk mengeluarkan penduduknya dari sana (dalam rangka menentang
penguasa). Selanjutnya, Ibnu Saba’ datang ke Mesir dengan tujuan yang
sama.
Salah satu isu yang diusung untuk membakar massa adalah melakukan celaan kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu dituduh
melakukan tindakan korupsi dan mengumpulkan harta kekayaan tanpa hak.
Lantas, massa bangkit dan bergerak. Mereka mulai mencela para pemimpin
mereka seakan-akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah tindakan
mencela penguasa untuk pertama kalinya. (Mu’amalatul Hukkam, hlm.
163-164)
Beribadah Bersama Pemerintah
Di Indonesia beda hari menyelenggarakan
Idul Fitri seakan sudah tradisi. Masyarakat dipaksa untuk menerima
perbedaan tersebut seakan-akan sebagai sebuah hal yang wajar. Bahkan,
apabila masyarakat dianggap bisa menerima perbedaan tersebut, kebanggaan
pun menyeruak. Bangga jika masyarakat telah semakin dewasa menerima
perbedaan. Sementara itu, tidak terbetik untuk mendidik masyarakat
berpedoman pada tuntunan as-Sunnah, terkhusus dalam menentukan hari raya
dan shalat Id.
Syariat Islam membimbing umatnya untuk berubah sesuai dengan tuntunan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kaum muslimin agar berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Yang dimaksud dengan “tali (agama)
Allah” adalah kitab-Nya (al-Qur’an). Hal ini sebagaimana dituliskan
dalam Shahih Muslim dari hadits Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
>أَلَا
وَإِنِّي تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ، أَحَدُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ هُوَ حَبْلُ اللهِ مَنِ اتَّبَعَهُ كَانَ عَلَى الْهُدَى وَمَنْ
تَرَكَهُ كَانَ عَلَى ضَلَالَةٍ.
“Ingatlah, sungguh telah aku tinggalkan
bagi kalian dua hal. Salah satunya kitabullah, yaitu tali Allah. Barang
siapa mengikutinya, ia berada di atas petunjuk. Barangsiapa
meninggalkannya, dia berada di atas kesesatan.” (HR. Muslim)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُو
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyebutkan bahwa ada kaidah yang bermanfaat dalam hal kewajiban
berpegang teguh pada ar-Risalah. Jelas, bahwa kebahagiaan dan petunjuk
adalah dalam hal mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sungguh, kesesatan dan malapetaka disebabkan menyelisihinya. Setiap
keburukan di alam khususnya pada seorang hamba, disebabkan menyelisihi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan jahil (tidak paham) dengan apa yang telah dibawanya.
Sungguh, kebahagiaan para hamba dalam
kehidupan dunia dan tempat kembalinya (akhirat) harus dengan mengikuti
ar-Risalah. Karena itu, ar- Risalah adalah sebuah keharusan bagi mereka.
Kebutuhan para hamba terhadap ar-Risalah melebihi kebutuhan mereka
terhadap segala sesuatu. Ar-Risalah adalah ruh bagi segenap alam,
cahaya, dan denyut kehidupan. Akankah alam
menjadi lebih baik kala tidak ada ruh,
kehidupan, dan cahaya? Dunia adalah sebuah kegelapan dan terlaknat
kecuali sesudah munculnya “cahaya” ar-Risalah.
Begitu pula dengan seorang hamba. Dia dalam kegelapan dan kematian. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
أَوَمَن
كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي
النَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ
“Dan apakah orang yang sudah mati
kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang
yang dengan cahaya tersebut dia dapat berjalandi tengah umat manusia,
serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang
sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (al- An’am: 122)
Inilah sifat seorang mukmin. Dahulu dia mati dalam kegelapan dan kejahilan. Lantas Allah Subhanahu wata’ala
menghidupkannya dengan ruh ar-Risalah dan cahaya keimanan. Dia
menjadikan baginya cahaya yang digunakan untuk berjalan di tengah umat
manusia. (Majmu’ Fatawa, 19/93-97. Lihat al-Hujajual-Qawiyah‘ala ‘ana
Wasail ad-Da’wahTaufiqiyyah, asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas, hlm.
27-28)
Di antara tuntunan risalah Islam adalah
menentukan beberapa jenis ibadah yang pelaksanaannya bersama pemerintah.
Di antara jenis ibadah tersebut adalah shalat, zakat, haji, dan umrah.
Asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah menukilkan bahwa Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan riwayat dalam al-Mushannaf, dari al-A’masy, dari Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah, dia berkata,
“Mereka tunaikan shalat dibelakang para penguasa, siapapun mereka.”
Ini adalah kabar perihal perbuatan para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Sungguh, mereka shalat di belakang para penguasa walau penguasa itu
bermaksiat dan fasik. Bahkan para sahabat mengingkari orang yang shalat
tetapi tidak di belakang penguasa.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah telah mengingkari perbuatan al-Hasan bin Shalih bin Hay yang tidak mau shalat Jum’at di belakang para imam. (Siyar A’lami an-Nubala’, 4/193)
Disebutkan pula dalam ath-Thabaqat
(4/193) dengan sanad yang bagus, dari Zaid bin Aslam, pada masa fitnah
al-Hajjaj bin Yusuf, tidaklah Abdullah bin Umar c mendatangi amir
(penguasa) selain saat shalat di belakangnya. Demikian pula dalam hal
menunaikan zakat, beliau sampaikan kepada penguasa.
Begitu pula Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang
shalat di belakang al-Hajjaj bin Yusuf. Diungkapkan oleh para ulama,
al-Hajjaj bin Yusuf adalah seorang penguasa yang sering menumpahkan
darah kaum muslimin. Bahkan, para ulama tak segan dibunuhnya. Namun, apa
yang telah diperbuat oleh al-Hajjaj bin Yusuf tidak menjadi alasan
untuk tidak shalat bersama penguasa. (Lihat Mu’amalatul Hukkam,
asy-Syaikh Abdussalam bin Barjas rahimahullah)
Mazhab al-Imam Ahmad, Ishaq bin Ibrahim,
Abdullah bin Makhlad, Abdullah bin Zubair al-Humaidi, Sa’id bin Mansur,
dan selain mereka, “…. (Ibadah) Jum’at, dua hari raya, dan haji harus
bersama penguasa, meski penguasa itu tidak baik, tidak adil, dan tidak
bertakwa. Adapun membayar sedekah, upeti, zakat, fai’, dan harta
rampasan perang, diserahkan kepada penguasa, baik penguasa itu bersikap
adil dalam urusan tersebut maupun berbuat tidak adil dan zalim.” (Hadi
al-Arwah, Ibnu Qayyim rahimahullah, hlm. 399)
Dahulu, zakat dahulu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kepada orang (sahabat) yang diperintah atau ditunjuk oleh beliau
untuk mengurusinya, kemudian kepada Abu Bakr, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum. Saat Utsman radhiyallahu ‘anhu
telah terbunuh, terjadi perselisihan, siapa yang berhak mengelola
zakat. Sebagian orang menentukan pilihan pada orang yang membagikan.
Sebagian lagi memilih bahwa pembayaran zakat kepada penguasa. Apabila
penguasa menuntut zakat, wajib membayarkan zakat tersebut kepada
penguasa.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menyebutkan,
“Bayarkanlah zakat kepada penguasa kalian. Jika baik penguasa tersebut,
kebaikan itu bagi dirinya. Jika ia pendosa, dosanya akan kembali
kepadanya.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 182)1
Dalam masalah haji dan jihad bersama
pemerintah, telah menjadi kesepakatan salaf bahwa jihad ditegakkan harus
bersama penguasa, yang baik ataupun yang buruk. Kekuasaannya tidaklah
gugur hanya lantaran sering bermaksiat atau tidak bersikap adil.
Demikian pula ibadah Jum’at, haji, dan dua hari raya hendaknya dilakukan
bersama pemerintah, meski pemerintah tidak memiliki sikap baik, adil,
dan bertakwa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 183)
Sungguh, sangat memprihatinkan ketika kaum
muslimin tidak memahami ketentuan syariat tentang jenis ibadah yang
ditunaikan bersama pemerintah. Andai mereka mengerti dan mau menunaikan
ketentuan syariat, tidak ada lagi hari raya yang berlainan hari,
biidznillah (dengan izin Allah Subhanahu wata’ala). Tak ada lagi
silang sengketa karena semuanya satu kalimat, berhari raya bersama
pemerintah. Begitu pula jihad, zakat, dan haji. Apa jadinya jika
pemerintah tidak turut mengatur?!
Marilah kembali kepada tuntunan Islam.
Jangan mengedepankan kepentingan kelompok. Sungguh, tidak akan beruntung
hamba yang terbius hawa nafsu dan enggan merujuk pada nilai-nilai Islam
yang telah dicontohkan salaf ash-shalih. Wallahu a’lam.
———————————————————————————–
[1] Dalam hal penyerahan zakat kepada
pemerintah ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Mazhab Ahmad dan
Syafi’i membedakan antara zakat harta yang tampak (seperti zakat ternak)
dan yang tidak tampak (seperti: emas, perak, dan barang dagangan).
Mereka berpendapat, zakat harta yang tampak diserahkan kepada penguasa,
sedangkan zakat harta yang tidak tampak boleh ditunaikan sendiri secara
langsung kepada penerimanya. Bahkan, sebagian mereka menganggap lebih
utama langsung ditunaikan sendiri agar lebih tenang/tenteram bahwa zakat
itu benar-benar sampai kepada penerimanya.
Pendapat yang lain menganggap
disunnahkan seseorang untuk menyalurkan sendiri zakatnya agar yakin
zakat itu sampai kepada orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini
tidak membedakan antara harta yang tampak dan tidak tampak. Ini adalah
salah satu pendapat Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan ulama masa kini. Lihat Dhawabith Mu’amalatil Hukkam
(2/585) karya asy-Syaikh Khalid azh-Zhafiri. Asy-Syaikh Rabi’
mengatakan,”Jika penguasa meminta zakat diserahkan kepada mereka, wajib
bagi manusia untuk menyerahkannya kepada penguasa. Jika mereka tidak mau
menyerahkannya, penguasa memerangi mereka sampai mereka mau
menyerahkannya. (Syarh Ushul as-Sunnah hlm. 82)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan