بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
WAKAF MENURUT AL-SARAKHSI
DALAM KITAB AL-MABSÛTH
A. Pendahuluan
Tujuan ajaran syariat Islam adalah demi tercapainya
kemaslahatan manusia. Pada prinsipnya hukum Islam berpegang pada prinsip
“jalb al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” (menjaga kemaslahatan dan
menolak kerusakan) (Izz bin Abdussalâm, 1985/II: 9). Sedangkan tujuan
hukum Islam tidak terlepas dari tiga pokok, yaitu menjaga mashlahat
dlaruriyât, mashlahat hajîyât, dan mashlahat tahsinîyât. Agama
Islam menjaga kemaslahatan dlarûriyat dengan memberikan kebebasan untuk
melaksanakan praktek-praktek ibadah dan ketentuan hukum (al-Syâthibi,
1985/II: 4-6). Dalam hal ini, wakaf menempati urutan ketiga dari
maslahat yang ditawarkan Islam, yaitu mashlahat tahsinîyât.
Menurut
al-Dahlawi (1986/II: 116), wakaf mengandung kemaslahatan yang tidak
dijumpai dalam sedekah yang lain, sebab kadangkala ada orang
menggunakan hartanya di jalan Allah tetapi pada akhirnya habis bendanya.
Padahal masih banyak orang lain yang membutuhkannya. Oleh karena
itu, tidak ada sedekah yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang-orang
miskin dan ibnu sabil kecuali harta wakaf yang manfaatnya terus
berkembang dan bendanya tetap permanen.
Islam memberikan keleluasaan
manusia untuk mengelola hartanya dan mengeluarkannya sebagai infak
sesuai yang digariskan agama. Dalam al-Qur’an, tujuan distribusi
ekonomi antara lain terlihat dalam Qs. al-Dzariyât (51: 19) dalam
kekayaan mereka terdapat hak bagi para peminta-minta dan yang terhalang.
Tujuannya adalah agar harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan
orang kaya (Qs. Al-Hasyr [59]: 7), ayat tersebut diperkuat oleh Qs.
Al-Taubah (9): 60 bahwa sedekah baik yang wajib maupun yang sunnah
seperti wakaf ditujukan untuk pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan
karena prioritas distribusinya terhadap kelompok yang lemah (fakir
miskin). Oleh karena itu, wakaf sebagai bentuk pembelanjaan harta di
jalan kebaikan dan sebagai alternatif yang ditawarkan sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut Mundzer Qahaf (1995: 80),
orang yang tidak memanfaatkan hartanya dalam produksi dan menyimpannya
tanpa investasi akan kehilangan seperempatnya dalam waktu kurang dari 12
tahun. Oleh karena itu, Nabi bersabda: “perdagangkanlah harta anak
yatim itu sehingga tidak habis termakan oleh zakat” (al-Turmuzi, t.
th./III: 32).
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah, nilainya
lebih dominan pada ibadah sosial. Ini berarti juga merupakan salah satu
jenis dari beberapa jenis ibadah serupa, seperti amal shalih, shadaqah,
infaq dan lainnya: yang kesemuanya itu merupakan bentuk charity (charity
table endowment). Dalam fikih klasik , wakaf biasanya diharuskan
mengandung tiga syarat: (a) barang yang diwakafkan itu berupa barang
tetap yang dapat diambil manfaatnya, sehingga tidak seperti mewakafkan
makanan yang akan habis setelah dimakan; (b) yang diberi wakaf sudah
jelas, bukan yang akan ada, sehingga tidak mungkin menyerahkan harta
wakaf kepada orang yang belum lahir, sudah meniggal dunia, mesjid yang
belum ada dan semacamnya; dan (c) barang yang diwakafkan bukan barang
haram: tidak dibenarkan mewakafkan tempat perjudian atau tempat
lokalisasi pelacuran atau semacamnya (meskipun contoh ini memenuhi
syarat pertama dan kedua di atas) (Azizy, 2004: 122).
Dalam makalah
ini, penulis akan mendeskripsikan tentang wakaf menurut al-Sarakhsi
dalam kitab al-Mabsûth dan bagaimana korelasinya dengan konteks
Indonesia yang telah memberlakukan undang-undang dan peraturan
pemerintah. Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang mendapat
pengaturan secara khusus dalam perangkat perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia dan perangkat peraturan pemerintah.
B. Riwayat Hidup al-Sarakhsi
Nama
lengkap al-Sarakhsi adalah Abû Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abî Sahl
al-Sarakhsi. Ia adalah ahli fikih, ushul fikih, teologi, dan hadis. Ia
salah seorang ulama tersebut Mazhab Hanafi dan berada pada peringkat
ketiga dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi peringkat pertama:
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibâni: peringkat
kedua: Imam Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi). Bahkan menurut
Abdul Hayy al-Laknawi, pengarang kitâb al-Fawâid al-Bahiyah fî
al-Tarâjum al-Hanafîyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi),
al-Sarakhsi berada di peringkat kedua.
Walaupun al-Sarakhsi termasuk
kategori ulama besar, riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap.
Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran Timur
laut), tetapi tanggal dan tahun kelahirannya tidak tercatat di dalam
buku-buku biografi ulama fikih dan ushul fikih. Sedangkan mengenai tahun
wafatnya ada beberapa versi. Menurut al-Wafâ al-Afghâni, pentahkik
buku Ushûl al-Sarakhsi bahwa ia wafat pada tahun 483 H/1090 M. Menurut
Muhyiddin Abi Muhammad Abdul Qâdir pengarang al-Jawâhir al-Mudî’ah
fî Thabaqât al-Hanafîyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi),
al-Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490H/1097 M. Sedangkan tempat
wafatnya tidak tercatat dengan jelas dan gamblang.
Pada masa remaja
al-Sarakhsi belajar ilmu fikih pada Abdul Azîz bin Ahmad al- Hulwani
(w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafî yang bergelar Syams
al-Aimmah (matahari para imam). Setelah belajar pada al-Hulawnî,
al-Sarakhsi mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang ilmu,
terutama ilmu fikih dan menjadi populer. Karena penguasaannya yang
sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya Syams
al-Aimmah pun kemudaian dijadikan sebagai gelar al-Sarakhsi sendiri.
Bahkan jika disebut Syams al-Aimmah tanpa penjelasan apa-apa
dibelakangnya, maka yang dimaksud adalah al-Sarakhsi. Sebagai bukti
ketokohannya dalam Mazhab Hanafi, pendapatnya banyak dikutip dalam buku
al-Hidâyah, sebagai buku standar fikih Hanafi yang banyak menjadi
referensi dalam mazhab yang bersangkutan.
Pada abad ke- 5 al-Sarakhsi
mensyarahi al-Kâfi dan diberi judul al-Mabsûth. Kitab inilah yang
dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi. Disamping itu, Mazhab
Hanafi juga dilestarikan oleh muridnya Imam Abu Hanifah lainnya Imam
Abû Yusuf yang dikenal dengan peletak dasar ushul fiqh Madzhab Hanafi
(al-Syak’ah, 1994: 324). Dalam pembahasannya di setiap bab dikemukakan
juga pendapat mazhab lain dengan argumentasinya, kemudian dikemukakan
keunggulan pendapat mazhab Hanafi. Manuskrip buku tersebut ada di Dâr
al-Kutub al-Misriyah (Cairo) dan telah dicetak berulang kali. Buku ini
merupakan salah satu rujukan fikih di Perguruan Tinggi di Indonesia
(Azumardi Azra, 2002: 110).
Al-Sarakhsi terkenal dengan
kepandaiannya. Daya ingatannya yang luar biasa terlihat ketika ia
mendektikan isi bukunya, al-Mabsûth, sebuah buku fikih yang besar 15
jilid dan standar dalam Madhab Hanafi. Ketika buku tersebut
diterbitkan pada tahun 1409 H/1989 M oleh penerbit Dâr al-Ma’rifah
Beirut, Syekh Kholil al-Mais, seorang ulama Libanon menyusun satu jilid
indeks untuk kelengkapan buku tesebut.
Di samping terkenal sebagai
intelektual al-Sarakhsi juga terkenal juga sebagai orang yang tangguh
dalam pendirian, berani mengatakan yang dinilai benar sekalipun hal itu
berakibat buruk bagi diri sendiri. Sebagai salah satu bukti keberanian
dan ketegarannya, ia pernah dimasukkan ke penjara dalam waktu yang
sangat lama akibat dari suatu pendapatnya yang kontra pada pada pnguasa
pada waktu itu (Dahlan dkk., 2001: 1608). Tanpa ada kekhawatiran sama
sekali pada penguasa, padahal ia dalam posisi lemah yang sangat mudah
dipermainkan oleh penguasa.
C. Karya al-Sarakhsi
Al-Sarakhsi
mewariskan beberapa karya ilmiah berupa buku-buku yang tergolong besar
dan standar. Karya-karya tersebut mencakup bidang fiqh dan ushûl fiqh.
Karya dalam ilmu fikih di antaranya al-Mabsûth. Buku ini merupakan
buku fikih yang sangat lengkap dalam madhab Hanafi. Buku yang tediri
dari 16 jilid 30 juz (15 jilid materi dan 1 jilid indeks) ini
didektikan oleh al-Sarakhsi kepada muridnya ketika ia berada di dalam
penjara. Pendektian tersebut tidak merujuk pada literatur apapun, dan
dalam bukunya tidak dicantumkan catatan kepustakaan. Namun, dapat
dimaklumi karena hal itu seperti tesrsebut masih belum menjasi tradisi
pada waktu itu. Artinya adanya catatan refernsi belum menjadi tradisi
keilmuan pada waktu itu.
Dari aspek sistematika, al-Mabsûth tidak
sama dengan buku-buku fikih lainnya pada ummnya. Buku ini dimulai dengan
pembicaraan mengenai kebersihan (thahârah) seperti umumnya sistematika
kitab-kitab fikih laninya. Pembicaraan pertamanya adalah berkaitan
dengan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat sebagai sendi yang
paling utama bagi keislaman seorang setelah beriman kepada Allah Swt.
Pendapat ini berdasarkan pada sebuah hadis Nabi: “Shalat adalah tiang
agama dan jihad sebagai tanda amal perbuatan” (H.R. Dailami)
(al-Sayûthi, 1986/XIV: 69).
Karya yang kedua adalah syarh Kitâb
al-Siyar al-Kabîr, sebuah buku fikih yang berisi penjelasan atau
komentar terhadap kitab al-Siyar al-Kabîr karya Muhammad ibn Hasan
al-Syaibâni, salah seoarang mujtahid besar dari kalangan Mazhab Hanafi.
Buku tersebut memuat penjelasan mengenai masalah-masalah berkaitan
hukum sekitar perang dan akibat-akibatnya, seperti persoalan harta
rampasan perang (ghanîmah). Karya yang lain adalah syarh Mukhtashar
al-Thahâwi berisi penjelasan tehadap buku ringkasan yang dikarang oleh
Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad al-Thahâwi (w. 321 H/933 M; seorang
tokoh ulama fikih Mazhab Hanafi). Di samping buku tersebut bersisi
tentang penjelasan dan komentar, juga memuat penjelasan pandangan
al-Sarakhsi dalam bidang ilmu fikih.
Termasuk karya al-Sarakhsi dalam
bidang ilmu ushul fikih adalah Ushûl al- Sarakhsi. Buku ini telah
ditahkik oleh Abû̂ al-Wafâ al-Afghâni, ketua sebuah lembaga ilmiah
yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan diterbitkan oleh
penerbit Dâr al-Ma’rifah Beirut, Libanon dalam dua jilid. Dalam buku
ini al-Sarakhsi mengawali pembahasan dengan membicarakan masalah
perintah dan larangan (al- amar wa al-nahy), karena menurut al-Sarakhsi
bahwa persoalan perintah dan larangan merupakan dua hal yang utama
dalam kajian ushul fikih. Pemahaman perintah dan larangan akan
menyempurnakan pengetahuan tentang hukum dan dapat membedakan antara
yang halal dan yang haram. Hal itu senada dengan pendapat al-Syâthibi
(t. th./II: 2), tujuan syariah adalah untuk kemaslahatan manusia. Apa
yang diperintahkan, apa yang dilarang, dan apa yang ditunjukkan agama,
seluruhnya adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Tidak
satupun ajaran Islam dimaksudkan untuk memberatkan, apalagi menyiksa
manusia. Manusia di dalam mengerjakan perintah atau meninggalkan
larangan kemungkinan besar merasakan berat. Namun, di balik rasa berat
itu terkandung manfaat dan maslahat bagi manusia di kemudian hari.
Penulisan buku tersebut berasal dari keinginan untuk membantu para
pembaca buku al-Mabsûth agar lebih mudah dan gamblang mengetahui
prinsip-prinsip pokok dalam buku tersebut (Dahlan dkk., 2001:
1608-1609).
D. Pembahasan
1. Pengertian dan Sifat Hukum Wakaf
Wakaf
berasal dari bahasa Arab yang bermakna menahan (al-habs) dan mencegah
(al-man’u) (al-Sarakhsi, 1993/XII: 27; Ibnu Mandzûr, t. th/IX: 359).
Maka wakaf tidak boleh diwariskan, dihibahkan, dan dijual, karena
al-habs (menahan) menunjukkan makna permanen. Pendapat tersebut sama
subtansinya dengan pendapat Louis Makhluf (t. th: 914) yang berarti
kekal (dâma qâim wa sakana), karena benda wakaf bersifat kekal agar
dapat dimanfaatkan barangnya selama-lamanya. Kata ini sering disamakan
dengan al-tahbîs atau al-tasbîl yang bermakna al-habs ‘an tasharruf,
yakni mencegah dari mengelola (al-Zuhaili, 1985: 7599).
Secara
gramatikal kata wakaf terdiri dari dua kata waqafa-yaqif-waqfan dan
awqafa-yûqif-iqâfan ( al-Sarakhsi, 1993/XII: 27). Hal itu berasal dari
al-Qur’an (37: 24) “waqifûhum fa innahum masûlûn” (dan tahanlah
mereka karena sesungguhnya mereka akan ditanya). Sebagai kata benda,
kata wakaf semakna dengan kata al-habs. Kalimat: habistu-ahbisu-habsan
dan kalimat: ahbistu-uhbisu -ahbasan maksudnya adalah waqaftu (saya
telah menahan). Kalimat hubisa al-faras fi sabilillah (kuda ditahan di
jalan Allah) berarti kuda itu menjadi muhbas (tertahan) dan kata
muannatsnya adalah habisah (kuda betina yang tertahan) (al-Kabisi, 2004:
37).
Sedangkan wakaf menurut istilah syar’i adalah suatu ungkapan
yang mengandung penahanan harta miliknya pada orang lain. Dalam suatu
pendapat Abû Hanîfah bahwa ia tidak dibolehkan wakaf, akan tetapi
menurut al-Sarakhsî (1993: XII, 27) bahwa yang dimaksud oleh Abu
Hanifah adalah wakaf itu ghair lâzim (tidak tetap). Dasar bolehnya
wakaf menurut Abû Hanîfah adalah wakaf yang menimbulkan si wakif
menahan hartanya agar manfaatnya dapat dipergunakan terhadap obyek
tertentu, maka kedudukannya sama dengan ‘âriyah (akad pinjaman).
Sedangkan akad pinjaman pada biasanya tidak tetap. Oleh karena itu, jika
ada orang yang berwasiat tentang wakaf setelah meninggal dunia, maka
wakaf itu menjadi lazim dan status hukumnya sama dengan wasiat
(al-Sarakhsi, 1993: XII, 27). Dengan demikian, barang yang telah
diwakafkan sebagai barang pinjaman (‘ariyah) atau wakaf ‘ariyah.
Menurut Abu Hanifah, wakif tidak terlepas kepemilikannya kecuali dalam
tiga hal: (1) wakaf telah ditetapkan oleh oleh hakim, sehingga dengan
ketetapan hakim bahwa tanah telah diwakafkan, wakif tidak lagi memiliki
dan tidak boleh memindahtangankan kepada orang lain atau pihak lain,
(2) mewakafkan berbentuk wasiyat, dengan mengatakan seperti, “jika aku
meninggal dunia, maka akan aku wakafkan rumahku ini”, dan (3) wakaf
tanah berbentuk masjid atau mengizinkan untuk salat di dalamnya
(al-Zuhaili, 1986: 7599-7600). Argumentasi Abu Hanifah mengenai bolehnya
menjual benda wakaf, yaitu: pertama, Abu Hanîfah melakukan qiyas
terhadap wakaf dengan pinjaman (‘ariyah). Akad pinjaman termasuk
kategori ghair lazim, sehingga bendanya masih tetap milik pihak yang
meminjamkam (al-Sarakhsi , 1993/ XII: 27). Kedua, berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, bahwa Nabi saw. pernah menjual benda
wakaf (al-Baihaqi, 1352 H/VI: 163).
Perbedaan ulama tentang status
wakaf apakah tetap kepemilikan wakif atau kepemilikan orang yang
menerima wakaf (mauquf ‘alaih). Jika dikatakan kepimilikan sendiri,
ternyata tidak boleh digunakan sama sekali, sepert dijual, dihibahkan,
dan diwariskan. Padahal kepemilikan itu adalah bebas digunakan
(tasharruf). Namun, jika dikatakan milik Allah tidak mungkin karena
Allah sudah menyerahkan seluruh alam untuk kepentingan manusia. Oleh
karena itu, ada tiga kemungkinan, pertama, yang dimaksud milik Allah
itu adalah kemaslahatan umum. Hal itu dianalogikan dengan harta
pembagian harta ghanîmah, sebagaimana dalam al-Qur’an, (8: 41),
”Katakanlah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagian harta
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil”. Ayat ini
menjelaskan bahwa ghanîmah (harta rampasan perang) dibagikan seperlima
untuk Allah. Artinya untuk kegiatan keagamaan dan sosial seperti
penyantunan anak-anak yatim, fakir miskin, dan sebagainya, maka sisanya
yang empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang. Kedua,
untuk mensakralkan harta wakaf agar tidak sewenang-wenang
menggunakannya, dalam ushul fiqh disebut dengan, “sadd al-zari’ah”.
Ketiga, milik Allah sama dengan sabilillah. Dan Sabilillah berarti
kemaslahatan umum, seperti penafsiran sabilillah dalam distribusi zakat
dengan wujûh al-khair (jalan kebaikan).
Dalam Peraturan
Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah milik
dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa tanah milik dan
melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan
umum lainnya sesuai ajaran Islam. Menurut (Jaih Mubarok, 2008: 12)
dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal (1) wakif atau pihak yang
mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti perusahaan atau
organisasi kemasyarakatan; (2) pemisahan tanah milik belum menunjukkan
pemindahan kepemilikian tanah milik yang diwakafkan; dan (3) tanah wakaf
digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai
ajaran Islam.
Menurut Azhar Basyir (1977: 55), wakaf adalah
penahanan harta yang dapat diambil mamfaatnya tanpa musnah seketika dan
untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan
keridlaan Allah swt. Pendapat ini tidak menyebutkan apakah lâzim
(tetap) atau ghair lâzim (tidak tetap). Berbeda dengan pendapat Imam
Syafi’î bahwa wakaf telah keluar dari kepemilikian wakif dan tidak
dimiliki oleh orang-orang yang berhak mendapatkan manfaat wakaf
tersebut, tetapi mereka hanya memiliki manfaatnya. Karena wakaf
menyerupai pembebasan budak. Demikian juga senada dengan pendapat Imam
Ahamad bin Hambal dan dua sahabat Abû Hanîfah. Sedangkan menurut Imâm
Mâlik, wakaf tetap menjadi milik wakaf, sehingga wakaf pun dikenakan
kewajiban zakat harta yang dikeluarkan oleh wakif. Adapun wakaf
keluarga, menurut Imam Ahmad bin Hambal bahwa kepemilikan harta wakaf
akan berpindah menjadi milik keturunannya, sedangkan wakaf khairi tidak
demikian (Mundzir Qahf, 2005: 82).
Abû Yûsuf sependapat dengan
pendapat Abû Hanifah, akan tetapi ketika ia berangkat haji bersama
al-Rasyîd (w. 194 H/809M), ketika melihat hasil peninggalan wakaf para
sahabat Nabi di Madînah, ia menarik kembali pendapatnya dan kemudian
berfatwa bahwa wakaf termasuk akad lâzim. Di antara pendapat yang ia
dirubah, yaitu: (1) wakaf termasuk akad lâzim, (2) ukuran kadar satu
shâ’ delapan takaran, dan (3) waktu azan fajar adalah sebelum terbit
fajar (al-Sarakhsi, 1993: XII, 28). Oleh karena itu, Abû Yûsuf berkata
“kalau seandainya hadis ini (hadis Umar) sampai pada Abu Hanifah,
niscaya ia mencabut pendapatnya”(Jaih Mubarak, 2008: 42). Sementara
Muhammad beranggapan bahwa terlalu jauh pendapat Abu Hanifah tersebut
membuat kesimpulan suatu hukum tanpa dasar yang kuat. Oleh karena itu,
menurut Muhammad apabila para mujtahid membuat kesimpulan suatu hukum
tanpa melalui dasar yang legal baik berupa hadis maupun qiyâs, maka
tidak boleh dijadikan pegangan sama sekali (al-Sarakhsi, 1993: XII,
28).
Legalitas wakaf dalam pandangan ulama berdasarkan hadis Nabi
yang sangat populer, prilaku Umar bin Khatthâb, Usman bin Affan, Alî
bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Aisyah, Hafshah yang melakukan wakaf
sampai hari sekarang ini. Demikian pula wakaf yang dilakukan oleh Nabi
Ibrahim As. tetap berlaku sampai sekarang ini (al-Sarakhsi, 1993: XII,
28). Hal itu berdasarkan al-Qur’an (3: 95), “maka hendaklah kamu
mengikuti agama ibrâhim yang lurus”. Pada umumnya manusia tetap
melakukan wakaf mulai dari Nabi saw. sampai sekarang ini dengan membuat
pemondokan. Maka apabila perbuatan manusia tanpa ada yang menentangnya
adalah termasuk argumentasi (hujjah) yang kuat sebagai dasar legalits
dalam Islam (al-Sarakhsi, 1993: XII, 28). Al-Qur’an menyebutkan Ka’bah
sebagai tempat ibadah yang pertama bagi manusia. Allah swt. berfirman
dalam surah Ali ‘Imran (3:96), “Sesungguhnya rumah yang mula-mula
dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”.
Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahîm dan Nabi Ismail lalu dilestarikan
oleh Nabi saw. Dengan demikian, Ka’bah merupakan wakaf pertama kali
yang dikenal oleh manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan
menegakkan tauhid (Mundzir Qahaf, 2005: 5-6). Dalam istilah ushul fiqh
dinamakan dengan syar’u man qablanâ dan apabila tidak ada dalil yang
menghapusnya, maka dapat dijadikan hujjah syar’iyah (dasar hukum Islam).
Perbedaan ulama tentang wakaf termasuk akad lâzim (tetap) atau ghair
lâzim (tidak tetap), maka perlu dianalisa apakah wakaf termasuk bidang
ibadah atau muamalah. Dari segi akad pemindahan barangnya adalah wakaf
termasuk bidang muamalah. Muamalah adalah bersifat ta’aqquli
(rasional), seperti sosial, ekonomi, negara, hukum perdata dan hukum
pidana. Allah tidak menjelaskan sedetil mungkin dalam bidang muamalah,
tetapi hanya berupa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum. Hal
tersebut memberi kesempatan pada mujtahid untuk berijtihad sesuai
dengan konteks zamannya agar hukum Islam tidak sempit selamanya
(Zaidân, 1976: 158; al-Khallâf, 1978: 33-34).
2. Wakaf Para Sahabat Nabi
Menurut
al-Sya’bi bahwa Nabi pernah menjual barang wakaf, tetapi wakaf semacam
ini termasuk syariat sebelum kita (syar’u man qablanâ) yang sudah
dihapus oleh syariat kita (Nabi Saw). Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu
Abbâs bahwa tidak ada penahanan berkaitan dengan kewajiban yang datang
dari Allah swt. Hadis ini oleh ulama berkaitan dengan orang-orang
Jahiliyah yang dilakukan oleh Bahirah, Saibah, wasilah, dan Hamm dan
syariat Islam sudah menghapusnya. Menurut keduanya, jika isim nakiroh
terdapat dalam kalimat negatif (nafi), maka menunjukkan lafal ’amm
yang mencakup secara umum termasuk di dalamnya warisan, kecuali ada
dalil yang men-tahshîsh-nya(al-Sarakhsi,1993:XII,29). Dalam hadis Nabi
saw;
رَوَاهُ عَنْ صَخْرِ بْنِ جُوَيْرِيَةَ عَنْ نَافِعٍ { أَنَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ
تُدْعَى ثَمْغًا وَكَانَ نَخْلًا نَفِيسًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ
تَعَالَى عَنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنِّي اسْتَفَدْت مَالًا وَهُوَ
عِنْدِي نَفِيسٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِهِ فَقَالَ صَلَوَاتُ اللَّهِ
وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ ، وَلَا يُوهَبُ ،
وَلَا يُورَثُ ، وَلَكِنْ لِيُنْفَقَ مِنْ ثَمَرِهِ ا لَهُ }، فَتَصَدَّقَ
بِهِ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى ، وَفِي
الرِّقَابِ وَالضَّيْفِ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَلِذِي
الْقُرْبَى مِنْهُ ، وَلَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهُ أَنْ يَأْكُلَ
مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُؤَكِّلَ صَدِيقً غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مِنْهُ
Diriwayatkan
dari Shahr Ibn Juwairiayah dari Nafi’, “sesunguhnya Umar Ibn al
Khatthab memilki tanah yang dinamakan dengan Tsamagh yang ada kurma yang
indah sekali. Umar berkata, “ya Rasulallah saya ingin memanfaatkan
hartaku ayng sangat baik, apakah saya mau mesadahkannya?. Nabi menjawab,
“hendaklah sadakahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan diwariskan akan tetapi hendaklah nafakahkan buahnya”.Lalu Umar
mensadakahkan di jalan Allah, perbdakan, tamu, orang-orang miskin, ibnu
sabil, dan sanak karabat. Maka tidak berdosa bagi orang yang
mengurusnya makan sekedarnya dengan jalan yang baik atau memberi makan
kepada temannya sekedarnya” (al-Bukhâri, 1981/III: 196).
Tanah
tersebut merupakan bagian Umar di Khaibar ketika Nabi saw. Khabair di
antara sahabat Nabi yang beri nama dengan Tsamagh. Para sahabat mendapat
bagian semuanya tanpa kecuali dan diberi nama tersendiri. Di antara
bagian Nabi adalah Naqah yang bisa juga disebut dengan ‘Adlba’,
Baghlah yang dinamakan dengan Duldul, Faras yang dinamakan dengan Sakab,
Himar yang disebut dengan Ya’fûr, dan ‘Imâmah yang dinamakan dengan
Sahâbah. Berangkat dari hal tersebut bahwa orang yang ingin mendekatkan
diri kepada Allah, maka sepantasnya harus memilh hartanya yang paling
baik untuk diwakafkan, sebagaimana firman Allah (Ali Imran (3): 92),
“kamu tidak akan memperoleh kebaikan kecuali kamu menafkahkan sesuatu
yang kamu cintai”. Oleh karena itu Umar bin Khatthâb ketika melakukan
wakaf selalu memilih hartanya yang paling baik (al-Sarakhsi, 1993: XII,
31).
Umat Islam berbeda pendapat tentang awal diberlakukannya sedekah
dalam Islam. Menurut kaum Muhâjirin bahwa sedekah pertama kali
diberlakukan pada zaman Umar ibn Khatthâ̂b dan dimulai Nabi sendiri.
Sementara menurut kaum Anshar, sedekah pertama kali dilakukan oleh Nabi,
sebagaimana dalam kitab Maghâ̂zi al-Wâqidi dikatakan bahwa sedekah
yang berupa wakaf dalam Islam yang pertama kali dilakukan oleh Nabi
sendiri adalah sebidang tanah (al-Kabisi, 2004: 23). Dengan demikian,
dasar wakaf bukan hanya berupa ucapan Nabi (qaul al-nabi), tetapi juga
praktek Nabi sendiri (fi’il al-nabi).
Ali ra. pernah melakukam wakaf
sebagaimana dipraktekkan oleh Umar. Perbedaan keduanya, Ali tidak
memberi persyaratan sama sekali terhadap nazhir dan keduanya sama-sama
dibenarkan secara syar’i. Hal ini sebagai dalil yang sangat luas dan
fleksibel. Nazhir boleh mengambil sekedar kebutuhannya sama halnya
dengan imam boleh mengambil dari Baitul mâl dan wali boleh mengambil
sekedearnya dari harta anak yatim. Namun nazhir tidak boleh mengambil
harta wakaf untuk orang lain yang bukan termasuk keluarganya kecuali
sesuai dengan syarat si wakif sebagaimana dilakukan oleh Umar
(al-Sarakhsi, 1993: XII, 31). Hal itu sama dengan pernyataan ulama bahwa
syarat si wakif sama dengan ketentuan syariat (syarth al-wâqif ka
al-nashsh a-syâri’).
Menurut al-Qurthubi (1993/VI: 339), seluruh
sahabat Nabi pernah mempraktekkan wakaf di Mekkah dan Madînah, seperti
Abû Bakar, Umar bin al- Khatthâ̂b, Utsmân bin Affân, Alî bin Abî
Thâlib, Âisyah, Fathimah, Zubair, Amr bin Ash, dan Jabir. Menurut Imam
Syâfi’i dalam qaul qadîm-nya bahwa sekitar delapan puluh sahabat Nabi
dari kaum Anshar mempraktekkan sedekah muharramât, yang disebut wakaf
(al-Ramli, 1986/II: 276) dan seluruh sahabat Nabi melakukan wakaf
serta tidak seorang pun yang tidak mengetahuinya (Ibnu Hazm, 1992/II:
180; al-Syarbîni, t, th./II: 376). Dengan demikian, wakaf memiliki
dasar yang kuat mulai dari al-Qur’an yang bersifat global (mujmal),
perkataan dan perbuatan Nabi saw., dan prilaku sahabat Nabi.Tugas
menjelaskan ke-mujmal-an al-Qur’an adalah hadis Nabi bukan
mujtahid.Dalam hal ini, hadis Nabi menjelaskan sedetil mungkin tentang
hukum wakaf.
3. Perwakilan dan Penyerahan dalam Wakaf
Harta
wakaf tidak boleh dijual dan dihutangkan, oleh karena itu menurut
Muhammad hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak sempurna kecuali ada
penyerahan kepada mauqûf alaih. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah
menyerahkan wakaf pada anaknya sendiri, yaitu Hafshah. Menurut Muhammad
apabila si wakif mensedakahkan seluruh hartanya pada waktu hidupnya
berarti seluruhnya sah menjadi wakaf. Namun, jika mewakafkan pada waktu
sakit berarti hanya sepertiga menjadi wakaf dari hartanya, kerena wakaf
dapat menghilangkan kepemilikan secara akad tabarru’ (al-Sarakhsi, 1993:
XII, 31-32).
Dengan menempatkan wakaf sebagian dari sedekah,
berarti akadnya dapat dilakukan secara sepihak (tabarru’ karena
tujuannya untuk kebaikan semata-mata), dan apabila dilakukan secara
tersembunyi dianggap baik. Akan tetapi penempatan wakaf dalam konteks
muamalah menuntut adanya pernyataan lisan atau tertulis yang disaksikan
oleh pejabat yang berwenang serta dihadiri oleh saksi. Oleh karena itu,
prinsip kepastian hukum dan tranparansi merupakan tuntutan modernitas
tertib administratif. Apalagi wakaf berkaitan dengan kegiatan ekonomi,
maka pencatatan wakaf yang dilakukan oleh pihak yang berwenang secara
hukum adalah suatu keniscayaan dan keharusan (Jaih Mubarok, 2008: 45;
Ahmad Rofiq, 1997: 494). Dalam teks al-Qur’an dan hadis Nabi tidak
menjelaskan keharusan pencatatan wakaf, tetapi dapat dianalogikan dengan
keharusan pencatatan hutang piutang (Qs, 2: 282), karena ada persamaan
‘illat hukum, yaitu bukti otentik.
4. Shîghat Wakaf
Shîghat
adalah ungkapan yang berasala dari orang yang mewakafkan.dalam
pelaksanaan wakkaf di Indonesia dikenak dengan “ikrar”. dalamKHI pasal
215 (3) jo. Pasal 1 (3) PP 28 Tahun 1977, dijelaskan , “ikrar adalah
pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya”.
Dalam
kalangan ulama tidak ada perbedaan pendapat tentang orang yang
berkata, “saya mensedakahkan tanah ini pada orang -orang fakir dan
orang-orang miskin”, perkataan tersebut bukan termasuk wakaf tetapi
masuk nazar, apabila bermaksud mewajibkan. Maka jika mensedakahkan pada
obyek tertentu, seperti orang lain, maka dinamakan sedekah dan sekaligus
sebagai kepemilikan. Dengan demikian, akad tersebut tidak akan sempurna
kecuali diserahkan langsung pada si penerima, karena termasuk akad
kepemilikan (al-Sarakhsi, 1993: XII, 32).
Jika ada orang mengatakan,
“ saya mewakafkan tanah ini, saya menahan tanah ini, saya mengharamkan
tanah ini, tanah ini diwakafkan, tanah ini ditahan, tanah ini
diharamkan”, maka perkataan tersebut adalah batal sesuai kesepakatan
ulama. Karena perkataan tersebut tidak jelas, ada kemungkinan tujuannya
mewakafkan tanah tersebut atas milik sendiri untuk dipergunakan
dalam kebutuhannya atau untuk membayar hutang (al-Sarakhsi, 1993: XII,
32). Menurut al-Ghazâli (1994: 200), wakaf tanpa menyebutkan oyeknya
adalah tidak sah, akan tetapi jika hasil dan manfaat wakaf digunkan
untuk kebaikan yang lebih penting, maka wakaf itu sah.
Jika ada
orang yang mengatakan pada orang lain, “saya wakafkan barang ini atau
saya menahan barang ini untukmu”, maka perkataan tersebut batal,
kecuali menurut Abî Yûsuf yang mengatakan bahwa hal itu sebagai
kepemilikan yang harus diserahkan sepenuhnya (al-Sarakhsi, 1993: XII,
32). Sementara tujuan si wakif agar barang wakaf berjalan manfaatnya
sampai kelak , sebagaimana hadis Nabi:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ
إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ،
أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Apabila
manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal perbuatannya
kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang bemanfaat,
atau anak salih yang mendoakan untuknya (al-Shan’ani, 1960/III: 87).
Menurut
Abû Yusuf bahwa wakaf menjadi lâzim apabila diumumkan sekalipun tidak
diserahkan langsung ke tangan nazhir berbeda dengan Muhammad tidak
menjadi lâzim kecuali apabila diserahkan langsung kepada nazhir.
Menurut Muhammad adalah jika diserahkan secara langsung akan
menimbulkan hilangnya pemilikan dari akad tabarru’.
Seandainya ada
seseorang mewakafkan separuh tanahnya atau rumahnya kepada fakir miskin,
maka menurut Abû Yusuf adalah boleh, karena pembagian itu termasuk
penyerahan yang sempurna, sementara penyerahan itu sebagai penguasaan.
Menurut Abû Yusuf pada prinsipnya penyerahaan itu bukan syarat dalam
wakaf. Namun, menurut Muhammad bahwa praktek wakaf tersebut tidak sah,
karena penyerahan merupakan syarat sahnya wakaf (al-Sarakhsi, 1993: XII,
33).
Jika dua orang mewakafkan hartanya pada seseorang kemudian si
penerima mewakilkan pada dua orang untuk menerima, maka hukumnya boleh
keduanya menerima sekalipun secara bersamaan karena kedua memiliki tugas
sebagai wakil. Sementara menerima seorang wakil sama dengan menerima
orang yang diwakili.
Jika barang wakaf dijual, sedangkan barangnya
masih ada di tangan seorang wakil adalah boleh, karena wakaf yang ada
di tangan wakil masih belum menerima dan masih menunggu wakil yang lain
menerimanya. Sedangkan penerimaan yang belum dari wakil tersebut
dianggap masih belum menerima. Jika si wakif meninggal dunia sebelum
diterima oleh wakil, maka menjadi harta warisan pada ahli warisnya
(al-Sarakhsi, 1993/XII: 39). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat
Imam Mâlik, jika wakif meninggal dunia sebelum wakafnya keluar dari
tangannya, maka menjadi wasiat sepertiga dari seluruh hartanya.
Sedangkan selebihnya menjadi warisan (Mundzir Qahaf, 2005: 82).
5. Wakaf Khairi
Wakaf
memiliki dua tujuan, yaitu hubungan horizontal (mengentas kemiskinan
dan hubungan vertikal (pendekatan pada Allah swt.), dalam hal ini
al-Saraksi berkomentar:
“Apabila si wakif mengatakan bahwa ia
mewakafkan hartanya pada orang yang berperang di jalan Allah, maka
ucapannya berarti tertuju pada pendekatan kepada Allah. Oleh karena itu
harta tersebut diberikan pada orang yang berperang yang butuh di
antara mereka bukan yang kaya, sebagaimana firman Allah “wa fî
sabilillah” dalam distribusi zakat. Maka apabila si wakif menyebutkan
untuk orang fakir dan yang sangat butuh, maka harus dilakukan baik
mereka itu banyak maupun sedikit” (al-Sarakhsi, 1993: XII, 34).
Dari
komentar tersebut dapat disimpulkan bahwa orang miskin menjadi priorits
utama dan jika ditujukan padaorang yang berperang di jalan Allah harus
mengarah pada pendekatan pada Allah swt. Jika ditujukan pada orang yang
berjuang di jalan Allah disebut dengan wakaf khairi, karena wakaf
khairi adalah wakaf yang secara tegas obyek penggunaannya untuk
kepentingan agama dan kepentingan umum (Sayyid Sâbiq, 1971: 378), tidak
dikhususkan apa orang tertentu. Namun, jika ditujukan pada kerabat
atau keluarganya disebut dengan wakaf ahli. Oleh karena itu, jika mauquf
‘alaih orang tertentu, maka syaratnya adalah memilkikepantasan untuk
menerima pemberian dan wasiat. Sementara, jika mauquf’’alaih bersifat
umum, maka syaratnya adalah pendekatan pada Allah, seperti digunakan
untuk sarana ibadah, sarana pendidikan dan sarana-sarana sosial lainnya.
Hal
tersebut berdasarkan hadis Umar yang berkaitan dengan wakaf yang
diberikan hasil kebunnya pada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para
tamu, dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya. Hadis tersebut
membicarakan tentang wakaf untuk kepentingan umum (al-mashlahah
al-‘âmmah) walaupun juga ditujukan pada anak kerabatnya. Dengan
demikian, titik sentral dari hadis tersebut bagaimana wakaf ditujukan
untuk kepentingan umum dan anak kerabatnya. Karena, kemaslahatan umum
sangat luas cakupannya siapapun golongan fakir miskin apakah keluarga
Umar sendiri maupun bukan sanak kerabatnya, apakah mereka muslim ataukah
kafir dzimmi. Hal tersebut sudah dicakup pengertiannya dalam hadis
tersebut. Kepentinga umum bisa untuk jaminan sosial, pertahanan,
pendidkan, keamanan, jalan raya, bea siswa, kesehatan, kesejahteraan
umat secara umum, dan peribadatan.
Apabila masjid sudah roboh dan
tidak mungkin ditempati untuk salat di dalamnya, maka menurut Abû Yusuf
statusnya tetap sebagai mesjid tidak bisa pindah kepada tangan yang
kedua. Sementara menurut Muhammad menjadi pindah miliknya pada ahli
warisnya walaupun meninggal dunia, sebab si wakif mendayagunakan bagian
hak miliknya untuk pendekatan pada Allah. Maka jika sudah habis, maka
kembali hak miliknya sekaligus boleh menjualnya (al-Sarakhsi, 1993: XII,
34). Dalam kasus masjid yang sudah roboh boleh dijual, menurut Ahmad
ibn Hanbal jika tidak sesuai lagi dengan tujuan pokok perwakafan. Namum,
hasil penjualannya harus dipergunakan untuk menbangun masjid lain yang
lebih dimanfaatkan secara maksimal (Abu Zahrah, 1971: 115). Sementara
dalam pandangan mayoritas Syafi’iyah tidak boleh menjual barang-barang
wakaf di masjid, sekalipun mau roboh. Namun, al-Subki dari kalangan
Syâfi’iyah membolehkan, selama bendanya akan tetap bertahan, ditukar
dengan benda yang sama, dan digunakan untuk kemaslahatan (al-Dimyâthi,
1986/III: 179; al-Malaibâri, t. th: 90). Pendapat al-Subki dan Ahmad
ibn Hanbal dalam azas manfaat (utility atau maslahat) sangat relevan
dengan konteks sekarang ini, karena pada prinsip manfaat wakaf itu
adalah harus teraplisikan secara kongrit dan jika dibiarkan akan
terjebak pada perbuatan mubaddir (membuang-buang harta ) yang dilarang
oleh al-Qur’an.
Obyek manfaat wakaf harus bersifat permanen dan
jelas. Karena, jika obyeknya tidak jelas, akan menimbulkan kekaburan
tujuan wakaf itu sendiri, oleh karena itu al-Sarakhsi berkomentar:
“Mewakafkan
berupa masjid dan kuburan tidak boleh secara umum manfaatnya karena
tidak bisa dibagi dan tempat yang ditujukan pada Allah tidak boleh
dijadikan syirkah. Seandainya hal tersebut boleh, niscaya apabila
dibutuhkan persediaan kuburan dapat satu tahun digali lagi untuk untuk
menguburkan mayit baru. Begitu juga bagi masjid satu tahun ditanami
tanaman untuk menjaga hak milik pemiliknya, kemudian ditempati salat
berjamaah” (al-Sarakhsi, 1993/XII: 34).
Jika ada seseorang menjadikan
tanahnya untuk tempat kuburan orang-orang Islam dan memberi izin agar
jadi tempat kuburan, maka tidak boleh ditarik kembali, karena sudah ada
penyerahan. Begitu juga jika memiliki rumah di Mekkah dan dijadikan
tempat penampungan jamaah haji dan umrah dengan diserahkan pada nazhir
lalu ditempati oleh orang yang pergi ke tanah suci, maka tidak boleh
ditarik kembali. Jika ia meninggal dunia bukanlah termasuk harta
warisan, karena ketika ia telah meyerahkan barangnya berarti telah
mengeluarkan hak miliknya. Apabila ada orang menjadikan tanahnya sebagai
mesjid lalu dibangun dan ditempat untuk salat di dalam secara
berjamaah, maka tidak boleh ditarik kembali, karena ia sudah
mengeluarkan hak milkinya semata-mata karena Allah swt,
sebagaimana firman Allah: “sesungguhnya masjid bagi Allah”(Qs, 72; 18)
dan hadis Nabi saw. yang menyatakan; “barang siapa yang membangun
mesjid, maka Allah akan membangun rumah baginya di surga” (Muslim,
1980/III: 454). Menurut al-Hasan akad tabarru’ harus ada maksud tujuan
yang tercapai, seperti masjid sudah ada yang melakukan salat berjamaah
di dalamnya karena seluruh muka bumi ini untuk tempat salat. Oleh karena
itu, dinamakan masjid apabila sudah ada yang melakukan salat berjamaah
di dalamnya(al-Sarakhsi, 1993/XII: 34).
6. Syarat dalam Wakaf
Menurut
Abû Yûsuf bahwa wakaf disyaratkan harus permanen sehingga apabila ada
seseorang mewakafkan barang yang mungkin akan terputus adalah boleh
sekalipun pada akhirnya tidak diperuntukkan untuk orang-orang miskin,
tetapi menurut Muhammad wakaf harus bersifat permanen. Jika ada
seseorang yang mewakafkan barang tertentu, maka tidak sah apabila pada
akhirnya tidak diperuntukkan pada orang miskin, karena wakaf menyebabkan
hilangnya pemilikan bukan memilikkan. Oleh karena itu, hal itu bersifat
permanen sama dengan memerdekakan budak (al-Sarakhsi, 1993/XII: 41).
Dengan demikian, benda wakaf sebagai sarana menbantu orang yang sangat
membutuhkan, terutama orang fakir miskin, maka sangat logis bersifat
permanen sehingga selalu mengalir manfaatnya secara terus-menerus. Corak
pemilikan semacam ini, menurut Abû A’la al-Maudûdi sebagai gambaran
fitrah yang benar dalam pandangan Islam (Abdul Jawad, t. th/II: 262).
Dengan demikian, kalaupun manusia memiliki harta, sebenarnya hanyalah
kepemilikan nisbi atau titipan belaka. Karena kata Hassan Hanafi
(1989/I: 425), manusia disediakan harta oleh Allah swt. untuk dimiliki
bukan untuk disalahgunakan, dibelanjakan bukan dihamburkan,
dikembangkan, dan disimpan. Harta untuk manusia bukan manusia untuk
harta. Dalam hal ini, harta sebagai bekal kebaikan dan beramal saleh, di
antaranya mewakafkan harta.
Dalam kitab al-Mabsûth al-Sarakhsi (1993/XII: 41) menguraikan antara pandangan Abu Yusuf dan Muhammad tentang syarat wakaf:
“Apabila
dalam wakaf disyaratkan diganti dengan tanah yang lain, menurut Abû
Yusuf adalah boleh. Namun, dalam pandangan Muhammad bahwa akad
wakafnya sah dan syaratnya tidak sah, karena syarat itu tidak
mempengaruhi terhalangnya hilang kepemilikan dan kekalan wakaf tetap
ada. Sementara syarat tersebut dengan sendirinya tidak sah dan akad
wakafnya adalah sah”.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Abidin, memberi
ikatan terhadap pembatalan syarat wakif dari pada yang lain. Di
antaranya adalah dibolehkan menyimpang dari syarat yang ditentukan
wakif, jika ia mengeluarkan syarat tidak boleh mengeluarkan dana
pembangunan untuk melestarikan wakafnya, atau memberi syarat kepada
imam masjid berupa sesuatu yang tidak dapat dikerjakan (Mundzir Qahaf,
2005: 91). Oleh karena itu, Al-Jauzîyah (1997/I: 315) berpendapat
bahwa ungkapan syarth al-wâ̂qif ka nashsh al- syâri’ (secara harfiyah
teks ini berbeda dengan teks yang disampaikan oleh Ibn Taimîyah, tetapi
keduanya mengandung makna dan maksud yang sama) adalah salah dan harus
ditolak. Karena, kalau ungkapan itu diterima berarti boleh digunakan
men-tahshîsh atau men-taqyîd al-Qur’an. Menurutnya keputusan hakim
bisa ditolak jika menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya, menolak syarat
wakif lebih utama dari pada menolak keputusan hakim. Maksud utama wakaf
adalah pendekatan kepada Allah, yaitu beribadah. Wakif boleh menetapakan
syarat dengan syarat harus sesuai dengan kitab Allah. Dengan demikian,
syarat wakif tidak boleh disejajarkan dengan syariat Allah.
7. Khiyar dalam Wakaf
Al-Sarakhsi (1993/XII: 42) menguraikan tentang khiyar dalam wakaf:
“Apabila
si wakif mensyaratkan adanya khiyâr selama tiga hari dalam wakaf,
menurut Abû Yûsuf akad dan syaratnya sah. Namun, menurut Hilal bin
Yahya yang tidak sah adalah akad wakafnya saja. Sementara menurut Yûsuf
bin Khalid al-Samti, akad wakafnya sah tetapi syaratnya tidak sah.
Karena wakaf itu menghilangkan hak kepemilikan bukan pada si pemilik,
sehingga kedudukannya sama dengan memerdekakan budak. Syarat khiyâr
dalam memerdekakan budak itu tidak sah dan akad memerdekakan adalah
sah. Khiyar dalam akad mewakafkan masjid tidak sah tetapi perwakafannya
sah. Menurut Muhmmad bahwa kesempurnaan wakaf berdasarkan pada kerelaan
si wakif dan syarat khiyâr dalam wakaf tidak berdasarkan pada
kerelaan. Dengan demikian syarat tersebut dapat membatalkan wakaf yang
kedudukannya sama dengan pemaksaan”.
Pemaksaan dalam kaidah ushul
fiqh adalah termasuk ‘awâridh al-ahlîyah (penghalang cakap hukum).
‘Awâridh al-ahlîyah adalah tidak dianggap sebagai tindakan hukum dan
konsekwensinya tidak sah secara syar’i. Oleh karena itu, nazhir harus
meniliti secara cermat syarat yang diucapkan oleh wakif, karena nazhir
memiliki tanggung jawab untuk mengelola benda wakaf sesuai tujuan wakif.
8. Nazhir Wakaf
Kedudukan
Nazhir adalah sangat strtegis dalam mengembangkan harta wakaf dan harus
sesuai dengan tujuan wakif, dalam hal ini al-Sarakhsi menguraikan:
“Kedudukan
nazhir sebagai wakil wakif yang dapat mengelola harta wakaf sehingga
manfaatnya dapat dinikmati oleh mauqûf ‘alaih (objek wakaf), maka
apabila ia meniggal dunia lalu diganti dengan orang lain, maka tetap
harus melakukan apa yang menjadi persyaratan nazhir yang pertama sesuai
tujuan wakaf dan tidak boleh merubahnya” (al-Sarakhsi, 1993/XII: 44).
Bahkan
ketika Umar mewakafkan tanahnya, ia sebagai nazhir dan mengelolanya
sendiri. Dan setelah meninggal dunia, pengelolaannya diserahkan pada
putrinya Hafshah, dan setelah itu ditanganai Abdullah ibn Umar, kemudian
keluarganya yang lain (Rawas Qal’ah Jy, 1989: 878). Dalam hal ini,
Umar sebagai wakif sekaligus nazhir dan keluarganya tidak pernah
melakukan perubahan pada benda wakafnya.
Dalam hal ini, al-Sarakhsi
tidak menjelaskan kriteria nazhir, padahal tugas tersebut sangat berat
sekali. Berdasarkan UU Wakaf No. 41/2004, tugas nazhir adalah: (1)
melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, (2) mengelola dan
mengembangkan harta benada wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya, dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Agar dapat mengaplikasikan sebagai tugas manajer wakaf,
maka nazhir harus memiliki keahlian dan persyartan yang memadai. Oleh
karena itu, nazhir diharuskan harus dewasa, berakal, dan amânah. Maka
berangkat dari beratnya tugas nazhir, maka diganti nazhir lain oleh
wakif sendiri atau pemerintah yang berwenang dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Di antara alasannya adalah gila, sakit yang
tidak mungkin dapat melakukan dengan baik, berkhianat, pengajuan
pemberhentian, melakukan tindakan kriminal, melakukan pelanggaran agama
yang menimbulkan diberhentikan (Amin, 1979: 209-215; Depag, 2004: 31,
43-44). Alasan penggantian tersebut dalam ushul fiqh disebut dengan
al-‘awaridh al-ahlîyah (penghalang cakap hukum). Dengan demikian,
persyaratan pemimpin, termasuk juga nazhir ada dua kriteria: al-qawi
dan al-amîn (QS. 28: 26). Al-qawi adalah memiliki kekuatan dalam
intelektual, ketrampilan dan emosional. Sedangkan al-amîn adalah dapat
dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis moral dan agamis.
Banyak sekali terjadi kasus raibnya tanah wakaf dalam realiatas
masyarakat, menurut KH. Sahal Mahfudh hal itu terletak pada nazhir yang
menjadi penyebabnya. Dengan demikian, ia mengusulkan agar ada dua
nazhir, yaitu nazhir syar’i dan nazhir wadl’î. Nazhir sayr’î
bersifat perorangan yang ditunjuk oleh wakif. Sedangkan nazhir wadl’î
adalah perorangan, badan hukum atau lembaga yang secara sah ditunjuk
dalam aturan formal yang ada (Ahmad Rofiq, 2004: 336). Oleh karena itu,
baik nazhir syar’i maupun nazhir wadh’i harus mengaplikasikan al-qawi
dan al-amîn, sehingga wakaf menjadi optimal sesuai tujuan pokok wakif.
9. Wakaf Barang yang Bisa Dipindahkan
Barang
yang bisa dipindahkan yang menjadi tradisi di kalangan masyarakat
hukumnya boleh diwakafkan, karena berdasarkan ‘urf, seperti pakaian
jenazah, wadah untuk tempat memandikan mayat, mushaf, pedang untuk
perang karena hal itu sudah menjaga kesepakatan pada masa khalifah Umat
mewakafkan tiga ratus ekor kuda yang dicatat di pantatnya untuk wakaf di
jalan Allah. Ini merupakan dalil yang sudah menjadi tradisi manusia
yang tidak satu dalilpun yang membatalkannya ( al-Sarakhsi, 1993/XII:
45). Sesuai dengan sabda Nabi, “apa yang dipandang baik oleh orang-orang
Islam, maka hal itu adalah baik bagi Allah” (al-Syaibâni, t. th./I:
379). Hal ini senada dengan pendapat al-Sarakhsi dalam keterangan lain,
“al-tsâbit bi al-‘urf ka al-tsâbit bi al-nashsh” (ketetapan dengan
urf sama hukumnya dengan ketetapan sayriah). Namun, ‘urf tersebut jika
tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu,
jika ‘urf bertentangan dengan nash, maka disebut dengan ‘urf fâsid
(batil) yang tidak dapat legalitas dari syariah (ghair al-hujjah
al-syar’îyah). Bahkan dalam kalangan Syafi’iyah dibenarkan seseorang
melakukan wakaf kuda untuk kepada orang yang berperang untuk jihad,
wakaf sapi kepada pelajar untuk diminum susunya atau dijual anaknya
untuk keperluan asrama, wakaf domba untuk diambil woll (bulu)nya, wakaf
ayam atau bebek, burung, dan sebagainya untuk diambil telurnya, wakaf
hewan jantan untuk pengembangbiakan melalui perkawianan dengan
hewan-hewan betina (al-Bakri, t. th:161; al-Nawawi, t. th/IV: 380).
Dengan demikian, pada esensinya pendapat Syafi’iyah sama dengan
Hanafiyah membolehkan wakaf bergerak termasuk di dalamnya wakaf uang
(cash waqf).
Pendapat di atas senada dengan pendirian Abû Hanifah
yang memperhatiakn muamalah yang mendatangkan maslahat bagi manusia.
Jika tidak ada dalil, Abû Hanifah melakukan teori qiyâs. Namun, jika
tidak bisa dengan qiyas, maka menggunakan istihsan selama dapat
dilakukakan. Jika tidak bisa dengan istihsân, maka kembali pada urf
manusia (Al-Na’im, 1994: 53). Oleh karena itu, wakaf berupa barang yang
dapat dipindahkan (al-manqûlât) jika tidak ada dasar yang jelas dan
qath’î dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah, maka wakaf tersebut sah
secara syar’i dengan teori urf.
E. Korelasi Kitab al-Mabsûth dengan Perwakafan di Indonesia
Wakaf
menurut istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan
harta miliknya pada orang lain. Dalam suatu pendapat Abu Hanifah tidak
membolehkan wakaf, akan tetapi menurut al-Sarakhsi bahwa yang dimaksud
pendapat Abû Hanîfah tersebut adalah wakaf itu ghair lâzim (tidak
tetap). Artinya, status wakaf sama dengan ‘âriyah (akad pinjaman). Hal
ini hampir senada dengan UU No. 41 Tahun 2004 pasal (1), wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Berbeda dengan KHI Pasal
215 ayat (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Jaih
Mubarok (2008: 43), pendapat Abû Hanifah tersebut diakomodasi oleh UU
No. 41 Tahun 2004 yang mengakui adanya akad wakaf yang bersifat ghair
lâzim yang dipandang sama dengan al-‘âriyah. Pendapat tersebut memberi
angin segar terjadinya wakaf temporal dengan subur terutama di
kota-kota, seperti bangunan, gedung, dan tanah yang disewakan. Oleh
karena itu, pendapat Abu Hanifah ini adalah sangat fleksibel untuk
konteks kekinian, karena menurutnya hukum Islam adalah berdasarkan
‘illat, “al-ashl fî al-ahkâm al-syar’iyah al-ta’lîl” (pada prinsipnya
hukum syariat adalah ‘illat) (Shihabuddin, 1979: 41). Sedangkan ‘illat
selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi.
Jika
wakif tidak menetapkan peruntukan objek wakaf, maka wakif boleh
melakukan peruntukan wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf yang
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena wakaf di dalam
al-Qur’an identik kebaikan (khair) yang lawan katanya kejelekan (syarr).
Dalam pasal 23 ayat (2) dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan
harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf
yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Al-Sarakhsi
menyebutkan wakaf harus hak milik sendiri, hak milik adalah mencakup
pada barang, manfaat, dan hak yang bernilai materi yang bukan barang
haram. Hal ini sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 pasal (15) wakaf
benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh
wakif secara sah dan KHI pasal 217 ayat (3) benda milik yang bebas
dengan segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.
Harta wakaf
tidak boleh dijual dan dihutangkan, oleh karena itu menurut Muhammad hal
ini menunjukkan bahwa wakaf tidak sempurna kecuali ada penyerahan
kepada mauqûf alaih. Menurut Abu Yusuf, wakaf menjadi lâzim apabila
diumumkan sekalipun tidak diserahkan langsung ke tangan nazhir. Berbeda
dengan pendapat Muhammad, tidak menjadi lâzim kecuali apabila
diserahkan lansung kepada nazhir. Alasan Muhammad karena hilangnya
pemilikan dari akad tabarru’ jika diserahkan langsung. Oleh karena itu,
Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf merupakan keputusan politik (hukum) yang menjadikan
wakaf bersifat lâzim dan ghair lâzim, dan dapat dilakukan secara
permanen atau temporal. Ikrar suatu perbuatan apakah dinyatakan oleh
lisan atau dengan tulisan, maka dalam perkembangan administratif
menuntut agar digabungkan keduanya dituangkan dalam akta yang
disengaja dibuat sebagai alat bukti. Kaidah inilah yang diakui dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jaih Mubarok, 2008:
45-46). Berkaitan dengan harta wakaf yang tidak boleh dijual,
dihutangkan, tukar guling, dan sebagainya merupakan ketentuan umum
(kaidah umum), akan tetapi jika menjualnya dan sebagainya itu lebih
maslahat atau jika tidak dijual akan menimbulkan kerugiaan, maka
hukumnya boleh dengan berdasarkan istihsân bi al-mashlahah atau dalam
kaidah fiqh, “dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalb al-mashâlih”
(menolak kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan).
Jika dua
orang mewakafkan hartanya pada seseorang kemudian si penerima mewakilkan
pada dua orang untuk menerima, maka hukumnya boleh keduanya menerima
sekalipun secara bersamaan karena kedua memiliki tugas sebagai wakil.
Sementara, menerima seorang wakil sama dengan menerima orang yang
diwakili. Pendapat ini sama dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 17 ayat
(2), yaitu apabila wakif tidak dapat menyatakan ikrar secara lisan atau
tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang
dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan suarat kuasa
yang diperkuat dengan dua saksi.
Menurut Abû Yusuf, wakaf
disyaratkan harus permanen sehingga apabila ada seseorang mewakafkan
barang yang mungkin akan terputus adalah boleh sekalipun pada akhirnya
tidak diperuntukkan untuk orang-orang miskin. Pendapat ini senada dengan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyatakan
bersifat langgeng, PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik ditetapkan bahwa wakaf bersifat mu’abbad (selamanya), dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1).
Kedudukan nazhir sebagai
wakil dari wakif yang dapat mengelola harta wakaf sehingga manfaatnya
dapat dinikmati oleh mauqûf ‘alaih (objek wakaf). Nazhir boleh
mengambil sekedar kebutuhannya sama halnya dengan imam boleh mengambil
dari baitul mâl dan begitu juga wali boleh mengambil sekedarnya dari
harta anak yatim. Hal tersebut sama dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal
12 bahwa nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak
melebihi 10%, walaupun al-Sarakhsi tidak menentukan 10%, karena kata
sekedarnya sebagai representatif yang bersifat fleksibel. Menurut
Syafi’i Antonio bahwa pemberdayaan wakaf ditandai dengan tiga ciri
utama: (1) pola manajemen wakaf terintegrasi, dan wakaf dapat
dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam
biaya yang tercakup di dalamnya, (2) asas kesejahteraan nazhir, ia tidak
lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi profesional yang layak,
dan (3) asas tranparansi dan tanggung jawab (Djunaidi, 2007: viii).
Menurut
al-Sarakhsi , barang yang bisa dipindahkan dan telah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat, boleh diwakafkan berdasarkan ‘urf. Oleh karena
itu, ulama mutaqaddimin mazhab Hanafiyah membolehkan wakaf uang dinar
dan dirham berdasarkan istihsân dan ‘urf (al-Zuhaili, 1985/VIII: 162).
Hal ini sesuai dengan kaidah, “al-‘âdah muhakkamah” (adat sebagai dasar
hukum). Kalangan mazhab Syafi’i memandang wakaf uang tidak boleh,
karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada
lagi wujudnya (al-Bakri, t. th: 157), tetapi sebagian ulama Syafi’iyah
membolehkan wakaf dinar dan dirham (al-Mawardi, 1994/IX: 379). Dalam UU
Nomor 41 Tahun 2004 pasal 16 ayat (1) bahwa harta benda wakaf terdiri
dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Dan pasal 16 ayat (3)
harta bergerak adalah harta yang tidak habis karena dikonsumsi,
meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas
kekayaan intelektual, hak sewa, dan lainnya sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan perundang-undangan. Cakupan benda wakaf banyak
dikenal masyarakat hanya terbatas pada benda tidak bergerak saja, bahkan
PP Nomor 28 Tahun 1977 seperti itu juga, tetapi telah diperbaharui
oleh UU Nomor 41 Tahun 2004. Padahal jika menengok sejarah bahwa Nabi
sejak awal menganjurkan wakaf bergerak, yaitu: “orang-orang yang menahan
(mewakafkan) kuda di jalan Allah, karena iman dan mengharap pahala dari
Allah, maka makananya, kotorannya, dan kencingnya merupakan kebaikan
dalam pandangan Allah” (al-Bukhâri, 1981/VI: 67). Namun, bagi mereka
yang menganggap wakaf hanya terfokus pada benda bergerak bukanlah
berarti salah, barangkali karena berdasarkan hadis Umar yang berupa
tanah (benda tidak bergerak) di Khaibar. Oleh karena itu, pada
prinsipnya segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan benda
pokoknya tetap dan tidak habis sekali pakai adalah boleh diwakafkan,
sesuai hadis Umar, “tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah buahnya”.
F. Kesimpulan
Dari
deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf menurut Abû Hanifah
yang diwakili oleh al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsûth bersifat ghair
lâzim (tidak tetap) yang sama kedudukannya dengan hukum akad pinjaman
(‘âriyah). Hal ini akomodatif dengan konteks Indonesia yang terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, khususnya
berkaitan dengan wakaf sementara (muaqqat). Al-Sarakhsi membolehkan
benda wakaf bergerak berdasarkan ‘urf (hukum adat) sesuai dengan kaidah
ushul fiqh yang menjelaskan bahwa adat bisa dijadikan sumber hukum
Islam. Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 16 ayat (3)
menyatakan bahwa harta bergerak adalah harta yang tidak habis karena
dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak
atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lainnya sesuai dengan ketentuan
syariah dan peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya, segala
sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan benda pokoknya tetap dan
tidak habis sekali pakai atau dikonsumsi adalah boleh diwakafkan.
والله اعلم
Tiada ulasan:
Catat Ulasan