AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Rabu, 13 Februari 2013

WAKAF MENURUT AL-SARAKHSI

 

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI


WAKAF MENURUT AL-SARAKHSI 

DALAM KITAB AL-MABSÛTH

A. Pendahuluan
Tujuan ajaran syariat Islam adalah demi tercapainya kemaslahatan manusia. Pada prinsipnya hukum Islam berpegang pada prinsip “jalb al-mashâlih wa dar’u al-mafâsid” (menjaga kemaslahatan dan menolak kerusakan) (Izz bin Abdussalâm, 1985/II: 9). Sedangkan tujuan hukum Islam tidak terlepas dari tiga pokok, yaitu menjaga mashlahat dlaruriyât, mashlahat hajîyât, dan mashlahat tahsinîyât. Agama Islam menjaga kemaslahatan dlarûriyat dengan memberikan kebebasan untuk melaksanakan praktek-praktek ibadah dan ketentuan hukum (al-Syâthibi, 1985/II: 4-6). Dalam hal ini, wakaf menempati urutan ketiga dari maslahat yang ditawarkan Islam, yaitu mashlahat tahsinîyât.
Menurut al-Dahlawi (1986/II: 116), wakaf mengandung kemaslahatan yang tidak dijumpai dalam sedekah yang lain, sebab kadangkala ada orang menggunakan hartanya di jalan Allah tetapi pada akhirnya habis bendanya. Padahal masih banyak orang lain yang membutuhkannya. Oleh karena itu, tidak ada sedekah yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang-orang miskin dan ibnu sabil kecuali harta wakaf yang manfaatnya terus berkembang dan bendanya tetap permanen.
Islam memberikan keleluasaan manusia untuk mengelola hartanya dan mengeluarkannya sebagai infak sesuai yang digariskan agama. Dalam al-Qur’an, tujuan distribusi ekonomi antara lain terlihat dalam Qs. al-Dzariyât (51: 19) dalam kekayaan mereka terdapat hak bagi para peminta-minta dan yang terhalang. Tujuannya adalah agar harta kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya (Qs. Al-Hasyr [59]: 7), ayat tersebut diperkuat oleh Qs. Al-Taubah (9): 60 bahwa sedekah baik yang wajib maupun yang sunnah seperti wakaf ditujukan untuk pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan karena prioritas distribusinya terhadap kelompok yang lemah (fakir miskin). Oleh karena itu, wakaf sebagai bentuk pembelanjaan harta di jalan kebaikan dan sebagai alternatif yang ditawarkan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Menurut Mundzer Qahaf (1995: 80), orang yang tidak memanfaatkan hartanya dalam produksi dan menyimpannya tanpa investasi akan kehilangan seperempatnya dalam waktu kurang dari 12 tahun. Oleh karena itu, Nabi bersabda: “perdagangkanlah harta anak yatim itu sehingga tidak habis termakan oleh zakat” (al-Turmuzi, t. th./III: 32).
Wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah, nilainya lebih dominan pada ibadah sosial. Ini berarti juga merupakan salah satu jenis dari beberapa jenis ibadah serupa, seperti amal shalih, shadaqah, infaq dan lainnya: yang kesemuanya itu merupakan bentuk charity (charity table endowment). Dalam fikih klasik , wakaf biasanya diharuskan mengandung tiga syarat: (a) barang yang diwakafkan itu berupa barang tetap yang dapat diambil manfaatnya, sehingga tidak seperti mewakafkan makanan yang akan habis setelah dimakan; (b) yang diberi wakaf sudah jelas, bukan yang akan ada, sehingga tidak mungkin menyerahkan harta wakaf kepada orang yang belum lahir, sudah meniggal dunia, mesjid yang belum ada dan semacamnya; dan (c) barang yang diwakafkan bukan barang haram: tidak dibenarkan mewakafkan tempat perjudian atau tempat lokalisasi pelacuran atau semacamnya (meskipun contoh ini memenuhi syarat pertama dan kedua di atas) (Azizy, 2004: 122).
Dalam makalah ini, penulis akan mendeskripsikan tentang wakaf menurut al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsûth dan bagaimana korelasinya dengan konteks Indonesia yang telah memberlakukan undang-undang dan peraturan pemerintah. Wakaf adalah salah satu lembaga Islam yang mendapat pengaturan secara khusus dalam perangkat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan perangkat peraturan pemerintah.

B. Riwayat Hidup al-Sarakhsi
Nama lengkap al-Sarakhsi adalah Abû Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abî Sahl al-Sarakhsi. Ia adalah ahli fikih, ushul fikih, teologi, dan hadis. Ia salah seorang ulama tersebut Mazhab Hanafi dan berada pada peringkat ketiga dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi peringkat pertama: Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibâni: peringkat kedua: Imam Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi). Bahkan menurut Abdul Hayy al-Laknawi, pengarang kitâb al-Fawâid al-Bahiyah fî al-Tarâjum al-Hanafîyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), al-Sarakhsi berada di peringkat kedua.
Walaupun al-Sarakhsi termasuk kategori ulama besar, riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran Timur laut), tetapi tanggal dan tahun kelahirannya tidak tercatat di dalam buku-buku biografi ulama fikih dan ushul fikih. Sedangkan mengenai tahun wafatnya ada beberapa versi. Menurut al-Wafâ al-Afghâni, pentahkik buku Ushûl al-Sarakhsi bahwa ia wafat pada tahun 483 H/1090 M. Menurut Muhyiddin Abi Muhammad Abdul Qâdir pengarang al-Jawâhir al-Mudî’ah fî Thabaqât al-Hanafîyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), al-Sarakhsi wafat pada akhir tahun 490H/1097 M. Sedangkan tempat wafatnya tidak tercatat dengan jelas dan gamblang.
Pada masa remaja al-Sarakhsi belajar ilmu fikih pada Abdul Azîz bin Ahmad al- Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafî yang bergelar Syams al-Aimmah (matahari para imam). Setelah belajar pada al-Hulawnî, al-Sarakhsi mengalami perkembangan pesat dalam berbagai bidang ilmu, terutama ilmu fikih dan menjadi populer. Karena penguasaannya yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya Syams al-Aimmah pun kemudaian dijadikan sebagai gelar al-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut Syams al-Aimmah tanpa penjelasan apa-apa dibelakangnya, maka yang dimaksud adalah al-Sarakhsi. Sebagai bukti ketokohannya dalam Mazhab Hanafi, pendapatnya banyak dikutip dalam buku al-Hidâyah, sebagai buku standar fikih Hanafi yang banyak menjadi referensi dalam mazhab yang bersangkutan.
Pada abad ke- 5 al-Sarakhsi mensyarahi al-Kâfi dan diberi judul al-Mabsûth. Kitab inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi. Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh muridnya Imam Abu Hanifah lainnya Imam Abû Yusuf yang dikenal dengan peletak dasar ushul fiqh Madzhab Hanafi (al-Syak’ah, 1994: 324). Dalam pembahasannya di setiap bab dikemukakan juga pendapat mazhab lain dengan argumentasinya, kemudian dikemukakan keunggulan pendapat mazhab Hanafi. Manuskrip buku tersebut ada di Dâr al-Kutub al-Misriyah (Cairo) dan telah dicetak berulang kali. Buku ini merupakan salah satu rujukan fikih di Perguruan Tinggi di Indonesia (Azumardi Azra, 2002: 110).
Al-Sarakhsi terkenal dengan kepandaiannya. Daya ingatannya yang luar biasa terlihat ketika ia mendektikan isi bukunya, al-Mabsûth, sebuah buku fikih yang besar 15 jilid dan standar dalam Madhab Hanafi. Ketika buku tersebut diterbitkan pada tahun 1409 H/1989 M oleh penerbit Dâr al-Ma’rifah Beirut, Syekh Kholil al-Mais, seorang ulama Libanon menyusun satu jilid indeks untuk kelengkapan buku tesebut.
Di samping terkenal sebagai intelektual al-Sarakhsi juga terkenal juga sebagai orang yang tangguh dalam pendirian, berani mengatakan yang dinilai benar sekalipun hal itu berakibat buruk bagi diri sendiri. Sebagai salah satu bukti keberanian dan ketegarannya, ia pernah dimasukkan ke penjara dalam waktu yang sangat lama akibat dari suatu pendapatnya yang kontra pada pada pnguasa pada waktu itu (Dahlan dkk., 2001: 1608). Tanpa ada kekhawatiran sama sekali pada penguasa, padahal ia dalam posisi lemah yang sangat mudah dipermainkan oleh penguasa.

C. Karya al-Sarakhsi
Al-Sarakhsi mewariskan beberapa karya ilmiah berupa buku-buku yang tergolong besar dan standar. Karya-karya tersebut mencakup bidang fiqh dan ushûl fiqh. Karya dalam ilmu fikih di antaranya al-Mabsûth. Buku ini merupakan buku fikih yang sangat lengkap dalam madhab Hanafi. Buku yang tediri dari 16 jilid 30 juz (15 jilid materi dan 1 jilid indeks) ini didektikan oleh al-Sarakhsi kepada muridnya ketika ia berada di dalam penjara. Pendektian tersebut tidak merujuk pada literatur apapun, dan dalam bukunya tidak dicantumkan catatan kepustakaan. Namun, dapat dimaklumi karena hal itu seperti tesrsebut masih belum menjasi tradisi pada waktu itu. Artinya adanya catatan refernsi belum menjadi tradisi keilmuan pada waktu itu.
Dari aspek sistematika, al-Mabsûth tidak sama dengan buku-buku fikih lainnya pada ummnya. Buku ini dimulai dengan pembicaraan mengenai kebersihan (thahârah) seperti umumnya sistematika kitab-kitab fikih laninya. Pembicaraan pertamanya adalah berkaitan dengan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa shalat sebagai sendi yang paling utama bagi keislaman seorang setelah beriman kepada Allah Swt. Pendapat ini berdasarkan pada sebuah hadis Nabi: “Shalat adalah tiang agama dan jihad sebagai tanda amal perbuatan” (H.R. Dailami) (al-Sayûthi, 1986/XIV: 69).
Karya yang kedua adalah syarh Kitâb al-Siyar al-Kabîr, sebuah buku fikih yang berisi penjelasan atau komentar terhadap kitab al-Siyar al-Kabîr karya Muhammad ibn Hasan al-Syaibâni, salah seoarang mujtahid besar dari kalangan Mazhab Hanafi. Buku tersebut memuat penjelasan mengenai masalah-masalah berkaitan hukum sekitar perang dan akibat-akibatnya, seperti persoalan harta rampasan perang (ghanîmah). Karya yang lain adalah syarh Mukhtashar al-Thahâwi berisi penjelasan tehadap buku ringkasan yang dikarang oleh Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad al-Thahâwi (w. 321 H/933 M; seorang tokoh ulama fikih Mazhab Hanafi). Di samping buku tersebut bersisi tentang penjelasan dan komentar, juga memuat penjelasan pandangan al-Sarakhsi dalam bidang ilmu fikih.
Termasuk karya al-Sarakhsi dalam bidang ilmu ushul fikih adalah Ushûl al- Sarakhsi. Buku ini telah ditahkik oleh Abû̂ al-Wafâ al-Afghâni, ketua sebuah lembaga ilmiah yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan diterbitkan oleh penerbit Dâr al-Ma’rifah Beirut, Libanon dalam dua jilid. Dalam buku ini al-Sarakhsi mengawali pembahasan dengan membicarakan masalah perintah dan larangan (al- amar wa al-nahy), karena menurut al-Sarakhsi bahwa persoalan perintah dan larangan merupakan dua hal yang utama dalam kajian ushul fikih. Pemahaman perintah dan larangan akan menyempurnakan pengetahuan tentang hukum dan dapat membedakan antara yang halal dan yang haram. Hal itu senada dengan pendapat al-Syâthibi (t. th./II: 2), tujuan syariah adalah untuk kemaslahatan manusia. Apa yang diperintahkan, apa yang dilarang, dan apa yang ditunjukkan agama, seluruhnya adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia. Tidak satupun ajaran Islam dimaksudkan untuk memberatkan, apalagi menyiksa manusia. Manusia di dalam mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan kemungkinan besar merasakan berat. Namun, di balik rasa berat itu terkandung manfaat dan maslahat bagi manusia di kemudian hari. Penulisan buku tersebut berasal dari keinginan untuk membantu para pembaca buku al-Mabsûth agar lebih mudah dan gamblang mengetahui prinsip-prinsip pokok dalam buku tersebut (Dahlan dkk., 2001: 1608-1609).

D. Pembahasan
1. Pengertian dan Sifat Hukum Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab yang bermakna menahan (al-habs) dan mencegah (al-man’u) (al-Sarakhsi, 1993/XII: 27; Ibnu Mandzûr, t. th/IX: 359). Maka wakaf tidak boleh diwariskan, dihibahkan, dan dijual, karena al-habs (menahan) menunjukkan makna permanen. Pendapat tersebut sama subtansinya dengan pendapat Louis Makhluf (t. th: 914) yang berarti kekal (dâma qâim wa sakana), karena benda wakaf bersifat kekal agar dapat dimanfaatkan barangnya selama-lamanya. Kata ini sering disamakan dengan al-tahbîs atau al-tasbîl yang bermakna al-habs ‘an tasharruf, yakni mencegah dari mengelola (al-Zuhaili, 1985: 7599).
Secara gramatikal kata wakaf terdiri dari dua kata waqafa-yaqif-waqfan dan awqafa-yûqif-iqâfan ( al-Sarakhsi, 1993/XII: 27). Hal itu berasal dari al-Qur’an (37: 24) “waqifûhum fa innahum masûlûn” (dan tahanlah mereka karena sesungguhnya mereka akan ditanya). Sebagai kata benda, kata wakaf semakna dengan kata al-habs. Kalimat: habistu-ahbisu-habsan dan kalimat: ahbistu-uhbisu -ahbasan maksudnya adalah waqaftu (saya telah menahan). Kalimat hubisa al-faras fi sabilillah (kuda ditahan di jalan Allah) berarti kuda itu menjadi muhbas (tertahan) dan kata muannatsnya adalah habisah (kuda betina yang tertahan) (al-Kabisi, 2004: 37).
Sedangkan wakaf menurut istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya pada orang lain. Dalam suatu pendapat Abû Hanîfah bahwa ia tidak dibolehkan wakaf, akan tetapi menurut al-Sarakhsî (1993: XII, 27) bahwa yang dimaksud oleh Abu Hanifah adalah wakaf itu ghair lâzim (tidak tetap). Dasar bolehnya wakaf menurut Abû Hanîfah adalah wakaf yang menimbulkan si wakif menahan hartanya agar manfaatnya dapat dipergunakan terhadap obyek tertentu, maka kedudukannya sama dengan ‘âriyah (akad pinjaman). Sedangkan akad pinjaman pada biasanya tidak tetap. Oleh karena itu, jika ada orang yang berwasiat tentang wakaf setelah meninggal dunia, maka wakaf itu menjadi lazim dan status hukumnya sama dengan wasiat (al-Sarakhsi, 1993: XII, 27). Dengan demikian, barang yang telah diwakafkan sebagai barang pinjaman (‘ariyah) atau wakaf ‘ariyah. Menurut Abu Hanifah, wakif tidak terlepas kepemilikannya kecuali dalam tiga hal: (1) wakaf telah ditetapkan oleh oleh hakim, sehingga dengan ketetapan hakim bahwa tanah telah diwakafkan, wakif tidak lagi memiliki dan tidak boleh memindahtangankan kepada orang lain atau pihak lain, (2) mewakafkan berbentuk wasiyat, dengan mengatakan seperti, “jika aku meninggal dunia, maka akan aku wakafkan rumahku ini”, dan (3) wakaf tanah berbentuk masjid atau mengizinkan untuk salat di dalamnya (al-Zuhaili, 1986: 7599-7600). Argumentasi Abu Hanifah mengenai bolehnya menjual benda wakaf, yaitu: pertama, Abu Hanîfah melakukan qiyas terhadap wakaf dengan pinjaman (‘ariyah). Akad pinjaman termasuk kategori ghair lazim, sehingga bendanya masih tetap milik pihak yang meminjamkam (al-Sarakhsi , 1993/ XII: 27). Kedua, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi, bahwa Nabi saw. pernah menjual benda wakaf (al-Baihaqi, 1352 H/VI: 163).
Perbedaan ulama tentang status wakaf apakah tetap kepemilikan wakif atau kepemilikan orang yang menerima wakaf (mauquf ‘alaih). Jika dikatakan kepimilikan sendiri, ternyata tidak boleh digunakan sama sekali, sepert dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Padahal kepemilikan itu adalah bebas digunakan (tasharruf). Namun, jika dikatakan milik Allah tidak mungkin karena Allah sudah menyerahkan seluruh alam untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, ada tiga kemungkinan, pertama, yang dimaksud milik Allah itu adalah kemaslahatan umum. Hal itu dianalogikan dengan harta pembagian harta ghanîmah, sebagaimana dalam al-Qur’an, (8: 41), ”Katakanlah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagian harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil”. Ayat ini menjelaskan bahwa ghanîmah (harta rampasan perang) dibagikan seperlima untuk Allah. Artinya untuk kegiatan keagamaan dan sosial seperti penyantunan anak-anak yatim, fakir miskin, dan sebagainya, maka sisanya yang empat perlima dibagikan kepada mereka yang ikut berperang. Kedua, untuk mensakralkan harta wakaf agar tidak sewenang-wenang menggunakannya, dalam ushul fiqh disebut dengan, “sadd al-zari’ah”. Ketiga, milik Allah sama dengan sabilillah. Dan Sabilillah berarti kemaslahatan umum, seperti penafsiran sabilillah dalam distribusi zakat dengan wujûh al-khair (jalan kebaikan).
Dalam Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan Tanah milik dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa tanah milik dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam. Menurut (Jaih Mubarok, 2008: 12) dari definisi tersebut memperlihatkan tiga hal (1) wakif atau pihak yang mewakafkan secara perorangan atau badan hukum seperti perusahaan atau organisasi kemasyarakatan; (2) pemisahan tanah milik belum menunjukkan pemindahan kepemilikian tanah milik yang diwakafkan; dan (3) tanah wakaf digunakan untuk kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran Islam.
Menurut Azhar Basyir (1977: 55), wakaf adalah penahanan harta yang dapat diambil mamfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah serta dimaksudkan untuk mendapatkan keridlaan Allah swt. Pendapat ini tidak menyebutkan apakah lâzim (tetap) atau ghair lâzim (tidak tetap). Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’î bahwa wakaf telah keluar dari kepemilikian wakif dan tidak dimiliki oleh orang-orang yang berhak mendapatkan manfaat wakaf tersebut, tetapi mereka hanya memiliki manfaatnya. Karena wakaf menyerupai pembebasan budak. Demikian juga senada dengan pendapat Imam Ahamad bin Hambal dan dua sahabat Abû Hanîfah. Sedangkan menurut Imâm Mâlik, wakaf tetap menjadi milik wakaf, sehingga wakaf pun dikenakan kewajiban zakat harta yang dikeluarkan oleh wakif. Adapun wakaf keluarga, menurut Imam Ahmad bin Hambal bahwa kepemilikan harta wakaf akan berpindah menjadi milik keturunannya, sedangkan wakaf khairi tidak demikian (Mundzir Qahf, 2005: 82).
Abû Yûsuf sependapat dengan pendapat Abû Hanifah, akan tetapi ketika ia berangkat haji bersama al-Rasyîd (w. 194 H/809M), ketika melihat hasil peninggalan wakaf para sahabat Nabi di Madînah, ia menarik kembali pendapatnya dan kemudian berfatwa bahwa wakaf termasuk akad lâzim. Di antara pendapat yang ia dirubah, yaitu: (1) wakaf termasuk akad lâzim, (2) ukuran kadar satu shâ’ delapan takaran, dan (3) waktu azan fajar adalah sebelum terbit fajar (al-Sarakhsi, 1993: XII, 28). Oleh karena itu, Abû Yûsuf berkata “kalau seandainya hadis ini (hadis Umar) sampai pada Abu Hanifah, niscaya ia mencabut pendapatnya”(Jaih Mubarak, 2008: 42). Sementara Muhammad beranggapan bahwa terlalu jauh pendapat Abu Hanifah tersebut membuat kesimpulan suatu hukum tanpa dasar yang kuat. Oleh karena itu, menurut Muhammad apabila para mujtahid membuat kesimpulan suatu hukum tanpa melalui dasar yang legal baik berupa hadis maupun qiyâs, maka tidak boleh dijadikan pegangan sama sekali (al-Sarakhsi, 1993: XII, 28).
Legalitas wakaf dalam pandangan ulama berdasarkan hadis Nabi yang sangat populer, prilaku Umar bin Khatthâb, Usman bin Affan, Alî bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Aisyah, Hafshah yang melakukan wakaf sampai hari sekarang ini. Demikian pula wakaf yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As. tetap berlaku sampai sekarang ini (al-Sarakhsi, 1993: XII, 28). Hal itu berdasarkan al-Qur’an (3: 95), “maka hendaklah kamu mengikuti agama ibrâhim yang lurus”. Pada umumnya manusia tetap melakukan wakaf mulai dari Nabi saw. sampai sekarang ini dengan membuat pemondokan. Maka apabila perbuatan manusia tanpa ada yang menentangnya adalah termasuk argumentasi (hujjah) yang kuat sebagai dasar legalits dalam Islam (al-Sarakhsi, 1993: XII, 28). Al-Qur’an menyebutkan Ka’bah sebagai tempat ibadah yang pertama bagi manusia. Allah swt. berfirman dalam surah Ali ‘Imran (3:96), “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”. Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahîm dan Nabi Ismail lalu dilestarikan oleh Nabi saw. Dengan demikian, Ka’bah merupakan wakaf pertama kali yang dikenal oleh manusia dan dimanfaatkan untuk kepentingan agama dan menegakkan tauhid (Mundzir Qahaf, 2005: 5-6). Dalam istilah ushul fiqh dinamakan dengan syar’u man qablanâ dan apabila tidak ada dalil yang menghapusnya, maka dapat dijadikan hujjah syar’iyah (dasar hukum Islam).
Perbedaan ulama tentang wakaf termasuk akad lâzim (tetap) atau ghair lâzim (tidak tetap), maka perlu dianalisa apakah wakaf termasuk bidang ibadah atau muamalah. Dari segi akad pemindahan barangnya adalah wakaf termasuk bidang muamalah. Muamalah adalah bersifat ta’aqquli (rasional), seperti sosial, ekonomi, negara, hukum perdata dan hukum pidana. Allah tidak menjelaskan sedetil mungkin dalam bidang muamalah, tetapi hanya berupa kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum. Hal tersebut memberi kesempatan pada mujtahid untuk berijtihad sesuai dengan konteks zamannya agar hukum Islam tidak sempit selamanya (Zaidân, 1976: 158; al-Khallâf, 1978: 33-34).

2. Wakaf Para Sahabat Nabi
Menurut al-Sya’bi bahwa Nabi pernah menjual barang wakaf, tetapi wakaf semacam ini termasuk syariat sebelum kita (syar’u man qablanâ) yang sudah dihapus oleh syariat kita (Nabi Saw). Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbâs bahwa tidak ada penahanan berkaitan dengan kewajiban yang datang dari Allah swt. Hadis ini oleh ulama berkaitan dengan orang-orang Jahiliyah yang dilakukan oleh Bahirah, Saibah, wasilah, dan Hamm dan syariat Islam sudah menghapusnya. Menurut keduanya, jika isim nakiroh terdapat dalam kalimat negatif (nafi), maka menunjukkan lafal ’amm yang mencakup secara umum termasuk di dalamnya warisan, kecuali ada dalil yang men-tahshîsh-nya(al-Sarakhsi,1993:XII,29). Dalam hadis Nabi saw;
رَوَاهُ عَنْ صَخْرِ بْنِ جُوَيْرِيَةَ عَنْ نَافِعٍ { أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ تُدْعَى ثَمْغًا وَكَانَ نَخْلًا نَفِيسًا فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنِّي اسْتَفَدْت مَالًا وَهُوَ عِنْدِي نَفِيسٌ أَفَأَتَصَدَّقُ بِهِ فَقَالَ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ ، وَلَا يُوهَبُ ، وَلَا يُورَثُ ، وَلَكِنْ لِيُنْفَقَ مِنْ ثَمَرِهِ ا لَهُ }، فَتَصَدَّقَ بِهِ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى ، وَفِي الرِّقَابِ وَالضَّيْفِ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَلِذِي الْقُرْبَى مِنْهُ ، وَلَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهُ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ ، أَوْ يُؤَكِّلَ صَدِيقً غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مِنْهُ

Diriwayatkan dari Shahr Ibn Juwairiayah dari Nafi’, “sesunguhnya Umar Ibn al Khatthab memilki tanah yang dinamakan dengan Tsamagh yang ada kurma yang indah sekali. Umar berkata, “ya Rasulallah saya ingin memanfaatkan hartaku ayng sangat baik, apakah saya mau mesadahkannya?. Nabi menjawab, “hendaklah sadakahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan akan tetapi hendaklah nafakahkan buahnya”.Lalu Umar mensadakahkan di jalan Allah, perbdakan, tamu, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan sanak karabat. Maka tidak berdosa bagi orang yang mengurusnya makan sekedarnya dengan jalan yang baik atau memberi makan kepada temannya sekedarnya” (al-Bukhâri, 1981/III: 196).

Tanah tersebut merupakan bagian Umar di Khaibar ketika Nabi saw. Khabair di antara sahabat Nabi yang beri nama dengan Tsamagh. Para sahabat mendapat bagian semuanya tanpa kecuali dan diberi nama tersendiri. Di antara bagian Nabi adalah Naqah yang bisa juga disebut dengan ‘Adlba’, Baghlah yang dinamakan dengan Duldul, Faras yang dinamakan dengan Sakab, Himar yang disebut dengan Ya’fûr, dan ‘Imâmah yang dinamakan dengan Sahâbah. Berangkat dari hal tersebut bahwa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, maka sepantasnya harus memilh hartanya yang paling baik untuk diwakafkan, sebagaimana firman Allah (Ali Imran (3): 92), “kamu tidak akan memperoleh kebaikan kecuali kamu menafkahkan sesuatu yang kamu cintai”. Oleh karena itu Umar bin Khatthâb ketika melakukan wakaf selalu memilih hartanya yang paling baik (al-Sarakhsi, 1993: XII, 31).
Umat Islam berbeda pendapat tentang awal diberlakukannya sedekah dalam Islam. Menurut kaum Muhâjirin bahwa sedekah pertama kali diberlakukan pada zaman Umar ibn Khatthâ̂b dan dimulai Nabi sendiri. Sementara menurut kaum Anshar, sedekah pertama kali dilakukan oleh Nabi, sebagaimana dalam kitab Maghâ̂zi al-Wâqidi dikatakan bahwa sedekah yang berupa wakaf dalam Islam yang pertama kali dilakukan oleh Nabi sendiri adalah sebidang tanah (al-Kabisi, 2004: 23). Dengan demikian, dasar wakaf bukan hanya berupa ucapan Nabi (qaul al-nabi), tetapi juga praktek Nabi sendiri (fi’il al-nabi).
Ali ra. pernah melakukam wakaf sebagaimana dipraktekkan oleh Umar. Perbedaan keduanya, Ali tidak memberi persyaratan sama sekali terhadap nazhir dan keduanya sama-sama dibenarkan secara syar’i. Hal ini sebagai dalil yang sangat luas dan fleksibel. Nazhir boleh mengambil sekedar kebutuhannya sama halnya dengan imam boleh mengambil dari Baitul mâl dan wali boleh mengambil sekedearnya dari harta anak yatim. Namun nazhir tidak boleh mengambil harta wakaf untuk orang lain yang bukan termasuk keluarganya kecuali sesuai dengan syarat si wakif sebagaimana dilakukan oleh Umar (al-Sarakhsi, 1993: XII, 31). Hal itu sama dengan pernyataan ulama bahwa syarat si wakif sama dengan ketentuan syariat (syarth al-wâqif ka al-nashsh a-syâri’).
Menurut al-Qurthubi (1993/VI: 339), seluruh sahabat Nabi pernah mempraktekkan wakaf di Mekkah dan Madînah, seperti Abû Bakar, Umar bin al- Khatthâ̂b, Utsmân bin Affân, Alî bin Abî Thâlib, Âisyah, Fathimah, Zubair, Amr bin Ash, dan Jabir. Menurut Imam Syâfi’i dalam qaul qadîm-nya bahwa sekitar delapan puluh sahabat Nabi dari kaum Anshar mempraktekkan sedekah muharramât, yang disebut wakaf (al-Ramli, 1986/II: 276) dan seluruh sahabat Nabi melakukan wakaf serta tidak seorang pun yang tidak mengetahuinya (Ibnu Hazm, 1992/II: 180; al-Syarbîni, t, th./II: 376). Dengan demikian, wakaf memiliki dasar yang kuat mulai dari al-Qur’an yang bersifat global (mujmal), perkataan dan perbuatan Nabi saw., dan prilaku sahabat Nabi.Tugas menjelaskan ke-mujmal-an al-Qur’an adalah hadis Nabi bukan mujtahid.Dalam hal ini, hadis Nabi menjelaskan sedetil mungkin tentang hukum wakaf.

3. Perwakilan dan Penyerahan dalam Wakaf
Harta wakaf tidak boleh dijual dan dihutangkan, oleh karena itu menurut Muhammad hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak sempurna kecuali ada penyerahan kepada mauqûf alaih. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar pernah menyerahkan wakaf pada anaknya sendiri, yaitu Hafshah. Menurut Muhammad apabila si wakif mensedakahkan seluruh hartanya pada waktu hidupnya berarti seluruhnya sah menjadi wakaf. Namun, jika mewakafkan pada waktu sakit berarti hanya sepertiga menjadi wakaf dari hartanya, kerena wakaf dapat menghilangkan kepemilikan secara akad tabarru’ (al-Sarakhsi, 1993: XII, 31-32).
Dengan menempatkan wakaf sebagian dari sedekah, berarti akadnya dapat dilakukan secara sepihak (tabarru’ karena tujuannya untuk kebaikan semata-mata), dan apabila dilakukan secara tersembunyi dianggap baik. Akan tetapi penempatan wakaf dalam konteks muamalah menuntut adanya pernyataan lisan atau tertulis yang disaksikan oleh pejabat yang berwenang serta dihadiri oleh saksi. Oleh karena itu, prinsip kepastian hukum dan tranparansi merupakan tuntutan modernitas tertib administratif. Apalagi wakaf berkaitan dengan kegiatan ekonomi, maka pencatatan wakaf yang dilakukan oleh pihak yang berwenang secara hukum adalah suatu keniscayaan dan keharusan (Jaih Mubarok, 2008: 45; Ahmad Rofiq, 1997: 494). Dalam teks al-Qur’an dan hadis Nabi tidak menjelaskan keharusan pencatatan wakaf, tetapi dapat dianalogikan dengan keharusan pencatatan hutang piutang (Qs, 2: 282), karena ada persamaan ‘illat hukum, yaitu bukti otentik.

4. Shîghat Wakaf
Shîghat adalah ungkapan yang berasala dari orang yang mewakafkan.dalam pelaksanaan wakkaf di Indonesia dikenak dengan “ikrar”. dalamKHI pasal 215 (3) jo. Pasal 1 (3) PP 28 Tahun 1977, dijelaskan , “ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya”.
Dalam kalangan ulama tidak ada perbedaan pendapat tentang orang yang berkata, “saya mensedakahkan tanah ini pada orang -orang fakir dan orang-orang miskin”, perkataan tersebut bukan termasuk wakaf tetapi masuk nazar, apabila bermaksud mewajibkan. Maka jika mensedakahkan pada obyek tertentu, seperti orang lain, maka dinamakan sedekah dan sekaligus sebagai kepemilikan. Dengan demikian, akad tersebut tidak akan sempurna kecuali diserahkan langsung pada si penerima, karena termasuk akad kepemilikan (al-Sarakhsi, 1993: XII, 32).
Jika ada orang mengatakan, “ saya mewakafkan tanah ini, saya menahan tanah ini, saya mengharamkan tanah ini, tanah ini diwakafkan, tanah ini ditahan, tanah ini diharamkan”, maka perkataan tersebut adalah batal sesuai kesepakatan ulama. Karena perkataan tersebut tidak jelas, ada kemungkinan tujuannya mewakafkan tanah tersebut atas milik sendiri untuk dipergunakan dalam kebutuhannya atau untuk membayar hutang (al-Sarakhsi, 1993: XII, 32). Menurut al-Ghazâli (1994: 200), wakaf tanpa menyebutkan oyeknya adalah tidak sah, akan tetapi jika hasil dan manfaat wakaf digunkan untuk kebaikan yang lebih penting, maka wakaf itu sah.
Jika ada orang yang mengatakan pada orang lain, “saya wakafkan barang ini atau saya menahan barang ini untukmu”, maka perkataan tersebut batal, kecuali menurut Abî Yûsuf yang mengatakan bahwa hal itu sebagai kepemilikan yang harus diserahkan sepenuhnya (al-Sarakhsi, 1993: XII, 32). Sementara tujuan si wakif agar barang wakaf berjalan manfaatnya sampai kelak , sebagaimana hadis Nabi:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang bemanfaat, atau anak salih yang mendoakan untuknya (al-Shan’ani, 1960/III: 87).

Menurut Abû Yusuf bahwa wakaf menjadi lâzim apabila diumumkan sekalipun tidak diserahkan langsung ke tangan nazhir berbeda dengan Muhammad tidak menjadi lâzim kecuali apabila diserahkan langsung kepada nazhir. Menurut Muhammad adalah jika diserahkan secara langsung akan menimbulkan hilangnya pemilikan dari akad tabarru’.
Seandainya ada seseorang mewakafkan separuh tanahnya atau rumahnya kepada fakir miskin, maka menurut Abû Yusuf adalah boleh, karena pembagian itu termasuk penyerahan yang sempurna, sementara penyerahan itu sebagai penguasaan. Menurut Abû Yusuf pada prinsipnya penyerahaan itu bukan syarat dalam wakaf. Namun, menurut Muhammad bahwa praktek wakaf tersebut tidak sah, karena penyerahan merupakan syarat sahnya wakaf (al-Sarakhsi, 1993: XII, 33).
Jika dua orang mewakafkan hartanya pada seseorang kemudian si penerima mewakilkan pada dua orang untuk menerima, maka hukumnya boleh keduanya menerima sekalipun secara bersamaan karena kedua memiliki tugas sebagai wakil. Sementara menerima seorang wakil sama dengan menerima orang yang diwakili.
Jika barang wakaf dijual, sedangkan barangnya masih ada di tangan seorang wakil adalah boleh, karena wakaf yang ada di tangan wakil masih belum menerima dan masih menunggu wakil yang lain menerimanya. Sedangkan penerimaan yang belum dari wakil tersebut dianggap masih belum menerima. Jika si wakif meninggal dunia sebelum diterima oleh wakil, maka menjadi harta warisan pada ahli warisnya (al-Sarakhsi, 1993/XII: 39). Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Imam Mâlik, jika wakif meninggal dunia sebelum wakafnya keluar dari tangannya, maka menjadi wasiat sepertiga dari seluruh hartanya. Sedangkan selebihnya menjadi warisan (Mundzir Qahaf, 2005: 82).

5. Wakaf Khairi
Wakaf memiliki dua tujuan, yaitu hubungan horizontal (mengentas kemiskinan dan hubungan vertikal (pendekatan pada Allah swt.), dalam hal ini al-Saraksi berkomentar:
“Apabila si wakif mengatakan bahwa ia mewakafkan hartanya pada orang yang berperang di jalan Allah, maka ucapannya berarti tertuju pada pendekatan kepada Allah. Oleh karena itu harta tersebut diberikan pada orang yang berperang yang butuh di antara mereka bukan yang kaya, sebagaimana firman Allah “wa fî sabilillah” dalam distribusi zakat. Maka apabila si wakif menyebutkan untuk orang fakir dan yang sangat butuh, maka harus dilakukan baik mereka itu banyak maupun sedikit” (al-Sarakhsi, 1993: XII, 34).
Dari komentar tersebut dapat disimpulkan bahwa orang miskin menjadi priorits utama dan jika ditujukan padaorang yang berperang di jalan Allah harus mengarah pada pendekatan pada Allah swt. Jika ditujukan pada orang yang berjuang di jalan Allah disebut dengan wakaf khairi, karena wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas obyek penggunaannya untuk kepentingan agama dan kepentingan umum (Sayyid Sâbiq, 1971: 378), tidak dikhususkan apa orang tertentu. Namun, jika ditujukan pada kerabat atau keluarganya disebut dengan wakaf ahli. Oleh karena itu, jika mauquf ‘alaih orang tertentu, maka syaratnya adalah memilkikepantasan untuk menerima pemberian dan wasiat. Sementara, jika mauquf’’alaih bersifat umum, maka syaratnya adalah pendekatan pada Allah, seperti digunakan untuk sarana ibadah, sarana pendidikan dan sarana-sarana sosial lainnya.
Hal tersebut berdasarkan hadis Umar yang berkaitan dengan wakaf yang diberikan hasil kebunnya pada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya. Hadis tersebut membicarakan tentang wakaf untuk kepentingan umum (al-mashlahah al-‘âmmah) walaupun juga ditujukan pada anak kerabatnya. Dengan demikian, titik sentral dari hadis tersebut bagaimana wakaf ditujukan untuk kepentingan umum dan anak kerabatnya. Karena, kemaslahatan umum sangat luas cakupannya siapapun golongan fakir miskin apakah keluarga Umar sendiri maupun bukan sanak kerabatnya, apakah mereka muslim ataukah kafir dzimmi. Hal tersebut sudah dicakup pengertiannya dalam hadis tersebut. Kepentinga umum bisa untuk jaminan sosial, pertahanan, pendidkan, keamanan, jalan raya, bea siswa, kesehatan, kesejahteraan umat secara umum, dan peribadatan.
Apabila masjid sudah roboh dan tidak mungkin ditempati untuk salat di dalamnya, maka menurut Abû Yusuf statusnya tetap sebagai mesjid tidak bisa pindah kepada tangan yang kedua. Sementara menurut Muhammad menjadi pindah miliknya pada ahli warisnya walaupun meninggal dunia, sebab si wakif mendayagunakan bagian hak miliknya untuk pendekatan pada Allah. Maka jika sudah habis, maka kembali hak miliknya sekaligus boleh menjualnya (al-Sarakhsi, 1993: XII, 34). Dalam kasus masjid yang sudah roboh boleh dijual, menurut Ahmad ibn Hanbal jika tidak sesuai lagi dengan tujuan pokok perwakafan. Namum, hasil penjualannya harus dipergunakan untuk menbangun masjid lain yang lebih dimanfaatkan secara maksimal (Abu Zahrah, 1971: 115). Sementara dalam pandangan mayoritas Syafi’iyah tidak boleh menjual barang-barang wakaf di masjid, sekalipun mau roboh. Namun, al-Subki dari kalangan Syâfi’iyah membolehkan, selama bendanya akan tetap bertahan, ditukar dengan benda yang sama, dan digunakan untuk kemaslahatan (al-Dimyâthi, 1986/III: 179; al-Malaibâri, t. th: 90). Pendapat al-Subki dan Ahmad ibn Hanbal dalam azas manfaat (utility atau maslahat) sangat relevan dengan konteks sekarang ini, karena pada prinsip manfaat wakaf itu adalah harus teraplisikan secara kongrit dan jika dibiarkan akan terjebak pada perbuatan mubaddir (membuang-buang harta ) yang dilarang oleh al-Qur’an.
Obyek manfaat wakaf harus bersifat permanen dan jelas. Karena, jika obyeknya tidak jelas, akan menimbulkan kekaburan tujuan wakaf itu sendiri, oleh karena itu al-Sarakhsi berkomentar:
“Mewakafkan berupa masjid dan kuburan tidak boleh secara umum manfaatnya karena tidak bisa dibagi dan tempat yang ditujukan pada Allah tidak boleh dijadikan syirkah. Seandainya hal tersebut boleh, niscaya apabila dibutuhkan persediaan kuburan dapat satu tahun digali lagi untuk untuk menguburkan mayit baru. Begitu juga bagi masjid satu tahun ditanami tanaman untuk menjaga hak milik pemiliknya, kemudian ditempati salat berjamaah” (al-Sarakhsi, 1993/XII: 34).
Jika ada seseorang menjadikan tanahnya untuk tempat kuburan orang-orang Islam dan memberi izin agar jadi tempat kuburan, maka tidak boleh ditarik kembali, karena sudah ada penyerahan. Begitu juga jika memiliki rumah di Mekkah dan dijadikan tempat penampungan jamaah haji dan umrah dengan diserahkan pada nazhir lalu ditempati oleh orang yang pergi ke tanah suci, maka tidak boleh ditarik kembali. Jika ia meninggal dunia bukanlah termasuk harta warisan, karena ketika ia telah meyerahkan barangnya berarti telah mengeluarkan hak miliknya. Apabila ada orang menjadikan tanahnya sebagai mesjid lalu dibangun dan ditempat untuk salat di dalam secara berjamaah, maka tidak boleh ditarik kembali, karena ia sudah mengeluarkan hak milkinya semata-mata karena Allah swt, sebagaimana firman Allah: “sesungguhnya masjid bagi Allah”(Qs, 72; 18) dan hadis Nabi saw. yang menyatakan; “barang siapa yang membangun mesjid, maka Allah akan membangun rumah baginya di surga” (Muslim, 1980/III: 454). Menurut al-Hasan akad tabarru’ harus ada maksud tujuan yang tercapai, seperti masjid sudah ada yang melakukan salat berjamaah di dalamnya karena seluruh muka bumi ini untuk tempat salat. Oleh karena itu, dinamakan masjid apabila sudah ada yang melakukan salat berjamaah di dalamnya(al-Sarakhsi, 1993/XII: 34).

6. Syarat dalam Wakaf
Menurut Abû Yûsuf bahwa wakaf disyaratkan harus permanen sehingga apabila ada seseorang mewakafkan barang yang mungkin akan terputus adalah boleh sekalipun pada akhirnya tidak diperuntukkan untuk orang-orang miskin, tetapi menurut Muhammad wakaf harus bersifat permanen. Jika ada seseorang yang mewakafkan barang tertentu, maka tidak sah apabila pada akhirnya tidak diperuntukkan pada orang miskin, karena wakaf menyebabkan hilangnya pemilikan bukan memilikkan. Oleh karena itu, hal itu bersifat permanen sama dengan memerdekakan budak (al-Sarakhsi, 1993/XII: 41). Dengan demikian, benda wakaf sebagai sarana menbantu orang yang sangat membutuhkan, terutama orang fakir miskin, maka sangat logis bersifat permanen sehingga selalu mengalir manfaatnya secara terus-menerus. Corak pemilikan semacam ini, menurut Abû A’la al-Maudûdi sebagai gambaran fitrah yang benar dalam pandangan Islam (Abdul Jawad, t. th/II: 262). Dengan demikian, kalaupun manusia memiliki harta, sebenarnya hanyalah kepemilikan nisbi atau titipan belaka. Karena kata Hassan Hanafi (1989/I: 425), manusia disediakan harta oleh Allah swt. untuk dimiliki bukan untuk disalahgunakan, dibelanjakan bukan dihamburkan, dikembangkan, dan disimpan. Harta untuk manusia bukan manusia untuk harta. Dalam hal ini, harta sebagai bekal kebaikan dan beramal saleh, di antaranya mewakafkan harta.
Dalam kitab al-Mabsûth al-Sarakhsi (1993/XII: 41) menguraikan antara pandangan Abu Yusuf dan Muhammad tentang syarat wakaf:
“Apabila dalam wakaf disyaratkan diganti dengan tanah yang lain, menurut Abû Yusuf adalah boleh. Namun, dalam pandangan Muhammad bahwa akad wakafnya sah dan syaratnya tidak sah, karena syarat itu tidak mempengaruhi terhalangnya hilang kepemilikan dan kekalan wakaf tetap ada. Sementara syarat tersebut dengan sendirinya tidak sah dan akad wakafnya adalah sah”.
Dalam hal ini, menurut Ibnu Abidin, memberi ikatan terhadap pembatalan syarat wakif dari pada yang lain. Di antaranya adalah dibolehkan menyimpang dari syarat yang ditentukan wakif, jika ia mengeluarkan syarat tidak boleh mengeluarkan dana pembangunan untuk melestarikan wakafnya, atau memberi syarat kepada imam masjid berupa sesuatu yang tidak dapat dikerjakan (Mundzir Qahaf, 2005: 91). Oleh karena itu, Al-Jauzîyah (1997/I: 315) berpendapat bahwa ungkapan syarth al-wâ̂qif ka nashsh al- syâri’ (secara harfiyah teks ini berbeda dengan teks yang disampaikan oleh Ibn Taimîyah, tetapi keduanya mengandung makna dan maksud yang sama) adalah salah dan harus ditolak. Karena, kalau ungkapan itu diterima berarti boleh digunakan men-tahshîsh atau men-taqyîd al-Qur’an. Menurutnya keputusan hakim bisa ditolak jika menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya, menolak syarat wakif lebih utama dari pada menolak keputusan hakim. Maksud utama wakaf adalah pendekatan kepada Allah, yaitu beribadah. Wakif boleh menetapakan syarat dengan syarat harus sesuai dengan kitab Allah. Dengan demikian, syarat wakif tidak boleh disejajarkan dengan syariat Allah.

7. Khiyar dalam Wakaf
Al-Sarakhsi (1993/XII: 42) menguraikan tentang khiyar dalam wakaf:
“Apabila si wakif mensyaratkan adanya khiyâr selama tiga hari dalam wakaf, menurut Abû Yûsuf akad dan syaratnya sah. Namun, menurut Hilal bin Yahya yang tidak sah adalah akad wakafnya saja. Sementara menurut Yûsuf bin Khalid al-Samti, akad wakafnya sah tetapi syaratnya tidak sah. Karena wakaf itu menghilangkan hak kepemilikan bukan pada si pemilik, sehingga kedudukannya sama dengan memerdekakan budak. Syarat khiyâr dalam memerdekakan budak itu tidak sah dan akad memerdekakan adalah sah. Khiyar dalam akad mewakafkan masjid tidak sah tetapi perwakafannya sah. Menurut Muhmmad bahwa kesempurnaan wakaf berdasarkan pada kerelaan si wakif dan syarat khiyâr dalam wakaf tidak berdasarkan pada kerelaan. Dengan demikian syarat tersebut dapat membatalkan wakaf yang kedudukannya sama dengan pemaksaan”.
Pemaksaan dalam kaidah ushul fiqh adalah termasuk ‘awâridh al-ahlîyah (penghalang cakap hukum). ‘Awâridh al-ahlîyah adalah tidak dianggap sebagai tindakan hukum dan konsekwensinya tidak sah secara syar’i. Oleh karena itu, nazhir harus meniliti secara cermat syarat yang diucapkan oleh wakif, karena nazhir memiliki tanggung jawab untuk mengelola benda wakaf sesuai tujuan wakif.

8. Nazhir Wakaf
Kedudukan Nazhir adalah sangat strtegis dalam mengembangkan harta wakaf dan harus sesuai dengan tujuan wakif, dalam hal ini al-Sarakhsi menguraikan:
“Kedudukan nazhir sebagai wakil wakif yang dapat mengelola harta wakaf sehingga manfaatnya dapat dinikmati oleh mauqûf ‘alaih (objek wakaf), maka apabila ia meniggal dunia lalu diganti dengan orang lain, maka tetap harus melakukan apa yang menjadi persyaratan nazhir yang pertama sesuai tujuan wakaf dan tidak boleh merubahnya” (al-Sarakhsi, 1993/XII: 44).
Bahkan ketika Umar mewakafkan tanahnya, ia sebagai nazhir dan mengelolanya sendiri. Dan setelah meninggal dunia, pengelolaannya diserahkan pada putrinya Hafshah, dan setelah itu ditanganai Abdullah ibn Umar, kemudian keluarganya yang lain (Rawas Qal’ah Jy, 1989: 878). Dalam hal ini, Umar sebagai wakif sekaligus nazhir dan keluarganya tidak pernah melakukan perubahan pada benda wakafnya.
Dalam hal ini, al-Sarakhsi tidak menjelaskan kriteria nazhir, padahal tugas tersebut sangat berat sekali. Berdasarkan UU Wakaf No. 41/2004, tugas nazhir adalah: (1) melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, (2) mengelola dan mengembangkan harta benada wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, dan (3) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia (BWI). Agar dapat mengaplikasikan sebagai tugas manajer wakaf, maka nazhir harus memiliki keahlian dan persyartan yang memadai. Oleh karena itu, nazhir diharuskan harus dewasa, berakal, dan amânah. Maka berangkat dari beratnya tugas nazhir, maka diganti nazhir lain oleh wakif sendiri atau pemerintah yang berwenang dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Di antara alasannya adalah gila, sakit yang tidak mungkin dapat melakukan dengan baik, berkhianat, pengajuan pemberhentian, melakukan tindakan kriminal, melakukan pelanggaran agama yang menimbulkan diberhentikan (Amin, 1979: 209-215; Depag, 2004: 31, 43-44). Alasan penggantian tersebut dalam ushul fiqh disebut dengan al-‘awaridh al-ahlîyah (penghalang cakap hukum). Dengan demikian, persyaratan pemimpin, termasuk juga nazhir ada dua kriteria: al-qawi dan al-amîn (QS. 28: 26). Al-qawi adalah memiliki kekuatan dalam intelektual, ketrampilan dan emosional. Sedangkan al-amîn adalah dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara etis moral dan agamis. Banyak sekali terjadi kasus raibnya tanah wakaf dalam realiatas masyarakat, menurut KH. Sahal Mahfudh hal itu terletak pada nazhir yang menjadi penyebabnya. Dengan demikian, ia mengusulkan agar ada dua nazhir, yaitu nazhir syar’i dan nazhir wadl’î. Nazhir sayr’î bersifat perorangan yang ditunjuk oleh wakif. Sedangkan nazhir wadl’î adalah perorangan, badan hukum atau lembaga yang secara sah ditunjuk dalam aturan formal yang ada (Ahmad Rofiq, 2004: 336). Oleh karena itu, baik nazhir syar’i maupun nazhir wadh’i harus mengaplikasikan al-qawi dan al-amîn, sehingga wakaf menjadi optimal sesuai tujuan pokok wakif.

9. Wakaf Barang yang Bisa Dipindahkan
Barang yang bisa dipindahkan yang menjadi tradisi di kalangan masyarakat hukumnya boleh diwakafkan, karena berdasarkan ‘urf, seperti pakaian jenazah, wadah untuk tempat memandikan mayat, mushaf, pedang untuk perang karena hal itu sudah menjaga kesepakatan pada masa khalifah Umat mewakafkan tiga ratus ekor kuda yang dicatat di pantatnya untuk wakaf di jalan Allah. Ini merupakan dalil yang sudah menjadi tradisi manusia yang tidak satu dalilpun yang membatalkannya ( al-Sarakhsi, 1993/XII: 45). Sesuai dengan sabda Nabi, “apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu adalah baik bagi Allah” (al-Syaibâni, t. th./I: 379). Hal ini senada dengan pendapat al-Sarakhsi dalam keterangan lain, “al-tsâbit bi al-‘urf ka al-tsâbit bi al-nashsh” (ketetapan dengan urf sama hukumnya dengan ketetapan sayriah). Namun, ‘urf tersebut jika tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karena itu, jika ‘urf bertentangan dengan nash, maka disebut dengan ‘urf fâsid (batil) yang tidak dapat legalitas dari syariah (ghair al-hujjah al-syar’îyah). Bahkan dalam kalangan Syafi’iyah dibenarkan seseorang melakukan wakaf kuda untuk kepada orang yang berperang untuk jihad, wakaf sapi kepada pelajar untuk diminum susunya atau dijual anaknya untuk keperluan asrama, wakaf domba untuk diambil woll (bulu)nya, wakaf ayam atau bebek, burung, dan sebagainya untuk diambil telurnya, wakaf hewan jantan untuk pengembangbiakan melalui perkawianan dengan hewan-hewan betina (al-Bakri, t. th:161; al-Nawawi, t. th/IV: 380). Dengan demikian, pada esensinya pendapat Syafi’iyah sama dengan Hanafiyah membolehkan wakaf bergerak termasuk di dalamnya wakaf uang (cash waqf).
Pendapat di atas senada dengan pendirian Abû Hanifah yang memperhatiakn muamalah yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Jika tidak ada dalil, Abû Hanifah melakukan teori qiyâs. Namun, jika tidak bisa dengan qiyas, maka menggunakan istihsan selama dapat dilakukakan. Jika tidak bisa dengan istihsân, maka kembali pada urf manusia (Al-Na’im, 1994: 53). Oleh karena itu, wakaf berupa barang yang dapat dipindahkan (al-manqûlât) jika tidak ada dasar yang jelas dan qath’î dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah, maka wakaf tersebut sah secara syar’i dengan teori urf.

E. Korelasi Kitab al-Mabsûth dengan Perwakafan di Indonesia
Wakaf menurut istilah syar’i adalah suatu ungkapan yang mengandung penahanan harta miliknya pada orang lain. Dalam suatu pendapat Abu Hanifah tidak membolehkan wakaf, akan tetapi menurut al-Sarakhsi bahwa yang dimaksud pendapat Abû Hanîfah tersebut adalah wakaf itu ghair lâzim (tidak tetap). Artinya, status wakaf sama dengan ‘âriyah (akad pinjaman). Hal ini hampir senada dengan UU No. 41 Tahun 2004 pasal (1), wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Berbeda dengan KHI Pasal 215 ayat (1) wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Jaih Mubarok (2008: 43), pendapat Abû Hanifah tersebut diakomodasi oleh UU No. 41 Tahun 2004 yang mengakui adanya akad wakaf yang bersifat ghair lâzim yang dipandang sama dengan al-‘âriyah. Pendapat tersebut memberi angin segar terjadinya wakaf temporal dengan subur terutama di kota-kota, seperti bangunan, gedung, dan tanah yang disewakan. Oleh karena itu, pendapat Abu Hanifah ini adalah sangat fleksibel untuk konteks kekinian, karena menurutnya hukum Islam adalah berdasarkan ‘illat, “al-ashl fî al-ahkâm al-syar’iyah al-ta’lîl” (pada prinsipnya hukum syariat adalah ‘illat) (Shihabuddin, 1979: 41). Sedangkan ‘illat selalu berubah sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi.
Jika wakif tidak menetapkan peruntukan objek wakaf, maka wakif boleh melakukan peruntukan wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena wakaf di dalam al-Qur’an identik kebaikan (khair) yang lawan katanya kejelekan (syarr). Dalam pasal 23 ayat (2) dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Al-Sarakhsi menyebutkan wakaf harus hak milik sendiri, hak milik adalah mencakup pada barang, manfaat, dan hak yang bernilai materi yang bukan barang haram. Hal ini sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2004 pasal (15) wakaf benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah dan KHI pasal 217 ayat (3) benda milik yang bebas dengan segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.
Harta wakaf tidak boleh dijual dan dihutangkan, oleh karena itu menurut Muhammad hal ini menunjukkan bahwa wakaf tidak sempurna kecuali ada penyerahan kepada mauqûf alaih. Menurut Abu Yusuf, wakaf menjadi lâzim apabila diumumkan sekalipun tidak diserahkan langsung ke tangan nazhir. Berbeda dengan pendapat Muhammad, tidak menjadi lâzim kecuali apabila diserahkan lansung kepada nazhir. Alasan Muhammad karena hilangnya pemilikan dari akad tabarru’ jika diserahkan langsung. Oleh karena itu, Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan keputusan politik (hukum) yang menjadikan wakaf bersifat lâzim dan ghair lâzim, dan dapat dilakukan secara permanen atau temporal. Ikrar suatu perbuatan apakah dinyatakan oleh lisan atau dengan tulisan, maka dalam perkembangan administratif menuntut agar digabungkan keduanya dituangkan dalam akta yang disengaja dibuat sebagai alat bukti. Kaidah inilah yang diakui dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (Jaih Mubarok, 2008: 45-46). Berkaitan dengan harta wakaf yang tidak boleh dijual, dihutangkan, tukar guling, dan sebagainya merupakan ketentuan umum (kaidah umum), akan tetapi jika menjualnya dan sebagainya itu lebih maslahat atau jika tidak dijual akan menimbulkan kerugiaan, maka hukumnya boleh dengan berdasarkan istihsân bi al-mashlahah atau dalam kaidah fiqh, “dar’u al-mafâsid muqaddam ‘ala jalb al-mashâlih” (menolak kerusakan didahulukan dari menarik kemaslahatan).
Jika dua orang mewakafkan hartanya pada seseorang kemudian si penerima mewakilkan pada dua orang untuk menerima, maka hukumnya boleh keduanya menerima sekalipun secara bersamaan karena kedua memiliki tugas sebagai wakil. Sementara, menerima seorang wakil sama dengan menerima orang yang diwakili. Pendapat ini sama dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 17 ayat (2), yaitu apabila wakif tidak dapat menyatakan ikrar secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan suarat kuasa yang diperkuat dengan dua saksi.
Menurut Abû Yusuf, wakaf disyaratkan harus permanen sehingga apabila ada seseorang mewakafkan barang yang mungkin akan terputus adalah boleh sekalipun pada akhirnya tidak diperuntukkan untuk orang-orang miskin. Pendapat ini senada dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyatakan bersifat langgeng, PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik ditetapkan bahwa wakaf bersifat mu’abbad (selamanya), dan Kompilasi Hukum Islam pasal 215 ayat (1).
Kedudukan nazhir sebagai wakil dari wakif yang dapat mengelola harta wakaf sehingga manfaatnya dapat dinikmati oleh mauqûf ‘alaih (objek wakaf). Nazhir boleh mengambil sekedar kebutuhannya sama halnya dengan imam boleh mengambil dari baitul mâl dan begitu juga wali boleh mengambil sekedarnya dari harta anak yatim. Hal tersebut sama dengan UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 12 bahwa nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%, walaupun al-Sarakhsi tidak menentukan 10%, karena kata sekedarnya sebagai representatif yang bersifat fleksibel. Menurut Syafi’i Antonio bahwa pemberdayaan wakaf ditandai dengan tiga ciri utama: (1) pola manajemen wakaf terintegrasi, dan wakaf dapat dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang tercakup di dalamnya, (2) asas kesejahteraan nazhir, ia tidak lagi diposisikan sebagai pekerja sosial, tetapi profesional yang layak, dan (3) asas tranparansi dan tanggung jawab (Djunaidi, 2007: viii).
Menurut al-Sarakhsi , barang yang bisa dipindahkan dan telah menjadi tradisi di kalangan masyarakat, boleh diwakafkan berdasarkan ‘urf. Oleh karena itu, ulama mutaqaddimin mazhab Hanafiyah membolehkan wakaf uang dinar dan dirham berdasarkan istihsân dan ‘urf (al-Zuhaili, 1985/VIII: 162). Hal ini sesuai dengan kaidah, “al-‘âdah muhakkamah” (adat sebagai dasar hukum). Kalangan mazhab Syafi’i memandang wakaf uang tidak boleh, karena dirham dan dinar akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya (al-Bakri, t. th: 157), tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkan wakaf dinar dan dirham (al-Mawardi, 1994/IX: 379). Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 16 ayat (1) bahwa harta benda wakaf terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Dan pasal 16 ayat (3) harta bergerak adalah harta yang tidak habis karena dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan. Cakupan benda wakaf banyak dikenal masyarakat hanya terbatas pada benda tidak bergerak saja, bahkan PP Nomor 28 Tahun 1977 seperti itu juga, tetapi telah diperbaharui oleh UU Nomor 41 Tahun 2004. Padahal jika menengok sejarah bahwa Nabi sejak awal menganjurkan wakaf bergerak, yaitu: “orang-orang yang menahan (mewakafkan) kuda di jalan Allah, karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka makananya, kotorannya, dan kencingnya merupakan kebaikan dalam pandangan Allah” (al-Bukhâri, 1981/VI: 67). Namun, bagi mereka yang menganggap wakaf hanya terfokus pada benda bergerak bukanlah berarti salah, barangkali karena berdasarkan hadis Umar yang berupa tanah (benda tidak bergerak) di Khaibar. Oleh karena itu, pada prinsipnya segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan benda pokoknya tetap dan tidak habis sekali pakai adalah boleh diwakafkan, sesuai hadis Umar, “tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah buahnya”.

F. Kesimpulan
Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa wakaf menurut Abû Hanifah yang diwakili oleh al-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsûth bersifat ghair lâzim (tidak tetap) yang sama kedudukannya dengan hukum akad pinjaman (‘âriyah). Hal ini akomodatif dengan konteks Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, khususnya berkaitan dengan wakaf sementara (muaqqat). Al-Sarakhsi membolehkan benda wakaf bergerak berdasarkan ‘urf (hukum adat) sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menjelaskan bahwa adat bisa dijadikan sumber hukum Islam. Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 16 ayat (3) menyatakan bahwa harta bergerak adalah harta yang tidak habis karena dikonsumsi, meliputi: uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya, segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dan benda pokoknya tetap dan tidak habis sekali pakai atau dikonsumsi adalah boleh diwakafkan.

والله اعلم

Tiada ulasan:

Catat Ulasan