Bahaya Berbicara Agama Tanpa Dasar Ilmu
Sering kita lihat di pinggir jalan, di perkantoran dan di tempat-tempat umum lainnya sebagian orang gemar membicarakan masalah agama tanpa di dasari ilmu. Tak sedikit dari orang semisal ini yang mengatakan, ‘kayaknya’, ‘menurut saya’, dan lain sebagainya yang menunjukkan sebenarnya yang berbicara sedang berbicara tanpa ilmu. Yang pernah penulis saksikan ada seorang sopir angkutan pun berani berbicara tentang agama di hadapan kami tanpa ilmu sama sekali. Wal’iyadzubillah.
Berfatwa dalam masalah agama adalah kedudukan agung dalam agama ini, hal itu dikarenakan pelakunya mencurahkan fikiran dan tenaganya untuk menjelaskan al-haq kepada manusia. Oleh karena itu, kedudukan ini tidak bisa disandang kecuali oleh ahlinya. Bila tidak demikian tentu akan sesat dan menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ
بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ
النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ،
فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Dalam riwayat lain dinyatakan,
فَيُفْتُونَ بِرَأْيِهِمْ، فَيُضِلُّونَ وَيَضِلُّونَ
Para shahabat, mereka sering ditanya tentang masalah-masalah agama, namun mereka tidak segan-segan untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’ dalam masalah yang mereka tidak mengetahuinya.
Berkata Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan membawaku, apabila aku berbicara tentang kitabullah tanpa ilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih: 2/833-834, no. 1561)
Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu,
أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ سُئِلَ
مِنْكُمْ عَنْ عِلْمٍ يَعْلَمُهُ فَلْيَقُلْ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ
عِنْدَهُ فَلْيَقُلِ: اللَّهُ أَعْلَمُ، فَإِنَّ مِنَ الْعِلْمِ أَنْ
يَقُولَ لِمَا لَا يَعْلَمُهُ: اللَّهُ أَعْلَمُ، إِنَّ اللَّهَ قَالَ
لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ
عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ}
“Wahai manusia! Barang siapa yang ditanya tentang ilmu yang diketahuinya maka terangkanlah tentang ilmu itu dan barang siapa tidak memiliki ilmu tentang hal itu maka katakanlah, ‘Allahu a’lam (Allah yang lebih tahu)’ tentang apa yang tidak engkau ketahui, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” (Shad: 86). (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: no. 257 dan Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih: 2/831-832, no. 1557 1556)
Dampak Berbicara Agama Tanpa Ilmu
1. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.
Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan berkaitan dengan ayat ini,
ويدخل في هذا كل من ابتدع بدعة ليس له فيها مستند شرعي، أو حلل شيئا مما حرم الله، أو حرم شيئا مما أباح الله، بمجرد رأيه وتشهِّيه
2. Hal Itu Merupakan Perkara Tertinggi Yang Diharamkan Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ
بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ
سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ibnul Qayyim -rahimahullah- ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Allah mengurutkan keharaman menjadi empat tingkatan. Allah memulai dengan menyebutkan tingkatan dosa yang lebih ringan yaitu al fawaahisy (perbuatan keji). Kemudian Allah menyebutkan keharaman yang lebih dari itu, yaitu melanggar hak manusia tanpa jalan yang benar. Kemudian Allah beralih lagi menyebutkan dosa yang lebih besar lagi yaitu berbuat syirik kepada Allah. Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” (I’lamul Muwaqqi’in: 1/39. Cet, Darul Hadits)
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah berkata, “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]
3. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.
Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ
4. Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.
Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ
مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ
اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ
آثَامِهِمْ شَيْئًا
Dalam riwayat yang lain, beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
ditambahkan oleh sulayman al mahriy:
مَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيهِ بِأَمْرٍ يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِي غَيْرِهِ فَقَدْ خَانَهُ
Allah mengisahkan dalam al Qur-aan bagaimana di hari kiamat kelak terjadi bantah-membantah antara pemimpin yang menyesatkan yang diikuti oleh pengikut-pengikutnya yang bodoh (lihat ibrahim: 21, al a’raaf: 37-38, saba: 31-33, ghafir: 47-48, ash-shaaffat: 28-32, shaad; 59-64)
Bahkan para pengikut mereka mendoakan kejelekan bagi mereka, sebagaimana dalam firmanNya:
رَبَّنَا مَن قَدَّمَ لَنَا هَٰذَا فَزِدْهُ عَذَابًا ضِعْفًا فِي النَّارِ
Dalam firmanNya yang lain, Dia mengisahkan perkataan pengikut tersebut:
رَبَّنَا هَٰؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِّنَ النَّارِ
Allah berfirman:
لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَٰكِن لَّا تَعْلَمُونَ
Maka alangkah celakanya mereka!
5. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab
Alloh Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
6. Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Perkataan Allahu A’lam (Allah Yang lebih Tahu) adalah setengah ilmu
Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤادَ كُلُّ أُولئِكَ كانَ عَنْهُ مَسْؤُلاً
Ayat diatas sangatlah tegas melarang kita untuk berbicara tetang apa-apa yang kita tidak memiliki ilmu atasnya.
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Barang siapa berfatwa kepada manusia pada setiap pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, maka ia adalah orang gila.” (Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih: 2/1123. No, 2208)
Berkata Ibnu Abi Laila, “Aku pernah bertemu dengan 120 orang dari kalangan shabat Nabi –radhiyallahu’anhum- aku melihatnya berbicara di masjid ini- tidaklah seorang dari mereka diminta untuk berbicara, melainkan ia berharap agar temannyalah yang berbicara. Dan tidaklah salah seorang dari mereka diminta untuk berfatwa, melainkan ia berharap agar temannyalah yang berfatwa.” (Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih: 2/1120. No, 2199)
Berkata imam Asy-Sya’bi rahimahullah, “(Perkataan seseorang) ‘aku tidak tahu’ adalah setengah ilmu.” (Atsar shahih diriwayatkan oleh Ad-Darimi: 1/63 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih Wal Mutafaqqih: 2/368, no. 1119)
Abdurrahman Al-Mahdi pernah berkata, “Ada seorang dari Maghrib bertanya kepada imam Malik bin Anas tentang suatu masalah, lantas imam Malik pun berkata ‘La adri (aku tidak tahu).’ Orang itu pun berkata, ‘Wahai Abu Abdillah (imam Malik), engkau berkata tidak tahu??’ imam Malik pun berkata, “Iya, sampaikan kepada orang-orang di negerimu bahwa aku tidak tahu.’” (Al-Faqih Wal-Mutafaqqih: 2/371, no. 1126)
Inilah sebuah adab yang agung, bahwa hendaknya seorang ketika ditanya tentang permasalahan agama, kemudian ia tidak mengetahuinya untuk mengucapkan ‘aku tidak tahu’. Dan perkataan ini bukanlah sama sekali kebodohan atau perendahan terhadap harga diri, justeru inilah cerminan dari ketakwaan, kebeningan hati, kekuatan agama, dan kesempurnaan pengetahuan.
Para Malaikat saja tidak malu untuk mengucapkan saya ‘tidak tahu’ atau wallahu a’lam (Allah Yang Lebih Tahu),
...سُبْحانَكَ لا عِلْمَ لَنا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
Demikian juga Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ditanya oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam, beliau menjawab,
مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
Seorang murid pun tidak boleh memaksa gurunya untuk menjawab pertanyaannya, yang tidak diketahui jawabannya, dikarenakan hal tersebut akan menyebabkan ia masuk neraka dengan sebab fatwa itu.
Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma pernah ditanya tentang sesuatu, kemudian beliau menjawab, “Aku tidak tahu.” Lalu beliau terus ditanya sehingga beliau berkata, “Apakah kalian hendak menjadikan punggung-punggung kami sebagai jembatan di neraka Jahannam? Karena kalian mengatakan, ‘Ibnu Umarlah yang telah berfatwa kepada kami tentang hal ini.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlih: 2/841, no. 1585)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan