AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Khamis, 2 Oktober 2014

Kapitalisme dalam Etika Ekonomi Islam

بسم الله الرحمن الر حيم
إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران – الآية:
102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
 
 Kapitalisme dalam Etika Ekonomi Islam

Dawam menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai etika ekonomi Islam sesungguhnya berjalan sejajar dengan norma ekonomi kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan pelbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam.
Krisis ekonomi global saat ini seolah menjadi siklus yang terjadi di setiap awal abad. Dampak destruktif dari krisis ini mengingatkan banyak kalangan kepada krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1930-an yang disebut sebagai depresi besar (great depression). Sebagaimana depresi besar, krisis kali inii juga menempatkan kapitalisme sebagai pusat perdebatan. Tidak sedikit kalangan yang menganggap krisis ekonomi global saat ini adalah akhir sejarah kapitalisme. Dengan demikian, bagi mereka, sudah saatnya mencari dan memformulasikan tata ekonomi dunia baru.

Diskusi “Islam dan Kapitalisme” yang diselenggarakan dalam rangka Hari Lahir Jaringan Islam Liberal ke-8, 23 dan 25 Maret 2009, mencoba mengurai perdebatan seputar hubungan antara Islam dan kapitalisme. Diskusi hari pertama membahas tema “Respon Islam terhadap Kapitalisme.” M. Dawam Rahardjo dan Luthfi Assyaukanie hadir sebagai pembicara pada diskusi pertama.

Luthfi Assyaukanie berupaya memberi bingkai kontekstual terhadap isu Islam dan kapitalisme. Menurut Luthfi, tema Islam dan kapitalisme sesungguhnya adalah rangkaian dari tema-tema umum yang mencoba mencari kompatibilitas antara Islam dan ideologi-ideologi lain seperti sosialisme, demokrasi, dan hak asasi manusia. Tentu saja ada banyak tantangan dari dunia Islam untuk menerima konsep-konsep yang lahir di Barat tersebut. Itulah sebabnya, tidak sedikit orang, baik Islam maupun pengamat luar, yang menganggap bahwa Islam adalah sebuah masyarakat yang unik yang susah menerima konsep-konsep modern yang lahir dari Barat. Namun begitu,masih lebih banyak yang menganggap bahwa konsep-konsep yang sekarang berkembang di dunia modern adalah universal dan bukan merupakan produk unik dari budaya tertentu. Islam juga memiliki kompatibilitas dengan segala konsep yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia, darimanapun asalnya.

Persoalannya adalah bahwa jika masyarakat Muslim sudah mulai bisa menerima konsep demokrasi dan hak asasi manusia, dengan mulai munculnya rezim-rezim demokratis di pelbagai negara Muslim saat ini, tetapi tidak demikian halnya dengan kapitalisme. Masyarakat Muslim dengan mudah menerima konsep kebebasan dalam politik, tapi selalu curiga terhadap konsep kebebasan ekonomi.

Menurut Luthfi, sikap antagonistik masyarakat Muslim terhadap kapitalisme disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pengalaman pahit masyarakat Muslim berhadapan dengan kolonialisme selama beberapa abad menjadikan masyarakat Muslim menolak apa saja yang datang dari negara-negara kolonial, terutama kapitalisme. Kolonialisme dianggap sebagai bentuk implementasi sistem ekonomi kapitalistik. Kedua, sikap materialistik yang ada dalam sistem kapitalisme dinilai berbahaya bagi iman Islam yang menekankan kehidupan setelah mati. Ketiga, kapitalisme dianggap melegalkan dan mendorong budaya hedonistik, sesuatu yang tidak patut dan tercela dalam kehidupan masyarakat Islam. Keempat, kapitalisme dianggap sebagai biang keladi kesenjangan dan kemunduran ekonomi masyarakat Muslim saat ini. Lebih dari itu, kapitalisme dianggap tidak memiliki kepekaan sosial. Luthfi menilai kesimpulan-kesimpulan ini terlalu sederhana dan cenderung menyesatkan.

Pengalaman kolonialisme tampaknya menjadi faktor utama sikap antagonistik ini. Luthfi mencontohkan bagaimana Tjokroaminoto menyebut ada dua macam kapitalisme: “kapitalisme baik” dan “kapitalisme buruk” (sinful capitalism). Kapitalisme yang baik adalah kapitalisme yang dijalankan oleh para pedagang dan pengusaha pribumi, terutama kaum Muslim. Sementara kapitalisme buruk adalah kapitalisme yang dijalankan oleh pengusaha-pengusaha Belanda dan antek-anteknya (terutama keturunan Cina). Sikap-sikap semacam ini tampak dominan di kalangan aktivis dan pemimpin bangsa Indonesia di awal-awal kebangkitan nasional dan kemerdekaan. Tidak heran kemudian jika yang muncul saat itu adalah sikap pro-sosialisme dan anti-kapitalisme.

Sikap anti-kapitalisme dan menempatkan Islam di seberang kapitalisme, menurut Luthfi, sungguh berbahaya jika tidak disertai penjelasan yang memadai. Luthfi mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi di mana seseorang bebas memiliki dan mengontrol harta dan kekayaan miliknya. Property right menjadi kata kunci dalam hal ini. Secara lebih luas kemudian kapitalisme didefinisikan sebuah sistem ekonomi yang menyerahkan mekanisme penanaman modal, disribusi, produksi, penentuan harga, komoditas, barang, dan jasa kepada keputusan pribadi secara sukarela. Ekonomi pasar kemudian menjadi kemestian dalam sistm ini.

Sementara Islam, bagi Luthfi, adalah seperangkat nilai yang dijadikan jalan hidup yang digali dari kitab suci dan turunan penafsirannya. Al-Quran secara spesifik tidak bicara tentang sistem ekonomi tertentu. Tetapi ada banyak ayat yang mengindikasikan pembicaraan mengenai ekonomi: transaksi jual beli (QS. 2:282), kontrak hutang (QS. 2:282), bunga (QS. 2:275), pinjaman (QS. 2:282), dan pajak (QS. 9:103). Prinsip property right yang menjadi dasar kapitalisme tampak nyata dalam fakta bahwa al-Quran tidak pernah melarang kaum Muslim untuk memiliki harta. Kaum Muslim justru dianjurkan untuk giat berusaha mengumpulkan harta (QS. 62:10 dan 73:20). Orang yang mati membela harta milik atau sedang dalam usaha mengumpulkan harta untuk keluarga bahkan disebut sebagai martir (syahid).

Secara umum, Nabi Muhammad tidak pernah mengecam praktik pengumpulan kekayaan. Yang dikecam adalah praktik kecurangan dalam kegiatan ekonomi tersebut. Beberapa literatur bahkan menempatkan Nabi sebagai pembela mekanisme pasar. Dia, misalnya, menolak permintaan para sahabat untuk mengendalikan gejolak ekonomi dengan mematok harga. Mematok harga adalah perbuatan yang melawan sunnatullah. “Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan harga, dan menurunkannya, melapangkan dan meluaskan rezki. Janganlah seseorang di antara kalian menuntut saya untuk berlaku zalim dalam soal harta maupun nyawa” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban).

Senada dengan Luthfi, M. Dawam Rahardjo menilai bahwa memang ada kecenderungan masyarakat Muslim menolak sistem kapitalisme. Hampir semua wacana yang berkembang di dunia Islam awal abad ke-20 menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tidak kompatibel bahkan anti-tesa terhadap kapitalisme. Islam didefinisikan justru dekat dengan sosialisme. Muhammad Iqbal, filsuf Islam asal Pakistan, bahkan menyebut Islam adalah varian dari Sosialisme itu sendiri: “Islam is Bolshevism Plus God.” HOS Tjokroaminoto menulis buku yang diberi judul “Sosialisme Islam.” Mohammad Hatta dan M Rasyidi menulis artikel di majalah Panji Masyarakat dengan judul “Islam dan Sosialisme.” Tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara, mengeluarkan istilah “sosialisme religius.”

Kedekatan Islam dan sosialisme yang dianut oleh banyak pengemat dibantah secara serius oleh Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, yang menyatakan bahwa sesungguhnya dunia Islam justru sangat dekat dengan kapitalisme. Rodinson meminjam kerangka teori sosiologi Max Weber yang menemukan bahwa sangat mungkin aspek-aspek kesadaran religius Protestantisme berpengaruh terhadap perkembangan dan kemunculan kapitalisme. Kendati pada tahap selanjutnya kapitalisme menjadi sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama itu sendiri.

Menurut Rodinson, kapitalisme harus dibedakan dalam dua kategori: kapitalisme sebagai institusi dan kapitalisme sebagai mentalitas. Dari kedua kategori ini, kapitalisme muncul dalam tiga bentuk: kapitalisme komersial, kapitalisme finansial, dan kapitalisme industrial. Masyarakat Muslim, menurut Rodinson, datang pada konteks masyarakat Arab yang mempraktikkan kapitalisme komersial. Tidak heran kemudian jika bahasa perdagangan akan sangat mudah ditemui dalam al-Quran, misalnya “Hal adullukum ala Tijarah” (Maukah engkau kuberi tahu tentang perdagangan?).

Dawam menilai bahwa meski Islam lahir dalam konteks kapitalisme, tetapi hubungannya bukan hubungan statis. Di samping menerima konsep kapitalisme, Islam juga memberi kritik dan masukan. Islam memperkenalkan dua modal ekonomi, yaitu finasial dan manusia: “Wajahidu fi sabili bi amwalikum wa anfusikum” (Berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu). Menurut Dawam, hal ini sejalan dengan kapitalisme, sebagaimana yang diterangkan dalam teori pertumbuhan Harold-Domar, bahwa ada dua modal dalam ekonomi: modal finansial atau fisik dan modal tenaga kerja manusia. Tetapi sosialisme juga menekankan pada moda produksi yang tidak hanya bertumpu pada kekuatan produksi (production force), melainkan juga hubungan sosial (social relation of production).

Islam, dalam kacamata Rodinson, berkembang dari masyarakat kapitalisme tradisional. Sejarah kemudian mencatat bahwa Islam tersebar ke pelbagai pelosok dunia juga dengan menggunakan kendaraan kapitalisme dan perdagangan. Itulah sebabnya penyebaran Islam lebih lambat 300 tahun dari perluasan kekuasaan politik raja-raja Islam. Ini pula yang dijadikan sebagai argumen untuk membantah tesis yang menyatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan darah.

Sejak awal, kapitalisme dan Islam sudah berada pada jalur yang sama. Dawam menegaskan bahwa apa yang disebut sebagai etika ekonomi Islam sesungguhnya berjalan sejajar dengan norma ekonomi kapitalisme. Fakta bahwa etika mengenai kerja, kekayaan dan kepemilikan, perdagangan, keuangan, industri, dan pelbagai inovasi tehnologi yang berkembang pesat pada masa-masa kejayaan Islam membuktikan bahwa norma kapitalisme tumbuh subur dalam budaya ekonomi Islam. Rodinson bahkan menyebut kota-kota semacam Granada, Cordoba, Baghdad, Damaskus dan kota-kota besar Islam lainnya adalah sama dengan Paris, London, atau Washington pada masanya. Mereka adalah kota-kota metropolitan dan pusat-pusat kapitalisme dunia.

Namun begitu, Dawam membatasi kompatibilitas Islam dan kapitalisme hanya pada kapitalisme tradisional atau kapitalisme komersial. Sementara kapitalisme dalam bentuk yang lebih mutakhir seperti kapitalisme negara (state capitalism), kapitalisme finansial, maupun kapitalisme monopoli memerlukan penjelasan yang lebih hati-hati. Bicara mengenai kompatibilitas Islam dan kapitalisme sesungguhnya memiliki persoalan serius, sebab keduanya memiliki varian yang sangat kaya. Islam dan kapitalisme mana yang kita maksud?

Bagi Dawam, kapitalisme dalam beragam bentuk adalah sebuah kemestian. Tidak ada negara dan masyarakat yang benar-benar bisa lepas dari sistem ini, mulai dari tahap tradisional (komersial), politik, maupun rasional (meminjam kategori Max Weber). Apa yang runtuh di Uni Soviet dan Cina sekarang ini bukanlah sistem ekonomi sosialisme, melainkan kapitalisme negara (state capitalism). Sosialisme sesungguhnya tidak pernah runtuh, karena munculpun belum. Pada akhirnya, kapitalisme menjadi semacam sunnatullah dengan berbagai varian dan perkembangannya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan