AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Jumaat, 4 Januari 2013

Adab Berkasihan

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Adab Berkasihan


KITAB "ADAB BERKASIH-KASIHAN, PERSAUDARAAN, PERSHAHABATAN DAN PERGAULAN DENGAN SEGALA JENIS MANUSIA".
(Yaitu Kitab Kelima dan rubu' kedua dari Adat Kebiasaan).
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menganugerahkan dengan berlimpah-ruah kepada hamba-Nya yang pilihan, kerahmatan dan kenikmatan dengan segala kehalusan penentuan. Yang menjinakkan dengan berkasih-kasihan diantara hati mereka, lalu jadilah mereka itu bersaudara dengan kenikmatan-Nya. Yang mencabut kedengkian daripada mereka, lalu senantiasalah mereka itu di dunia berteman dan bershahabat dan diakhirat berkawan dan bertaulan.
Selawat kepada Muhammad yang pilihan dan kepada keluarganya serta para shahabatnya yang mengikuti dan menuruti jejaknya, dengan perkataan dan perbuatan, dengan keadilan dan keikhsanan. Kemudian, sesungguhnya berkasih-kasihan pada jalan Allah Ta'ala dan persaudaraan pada jalan agama-Nya, adalah pendekatan diri yang paling utama kepada-Nya. Dan faedah yang paling halus,yang diperoleh dari segala ketha'atan pada segala adat kebiasaan yang berlaku.
Dan semuanya itu mempunyai syarat-syarat, di mana dengan syarat- syarat itu, berhubunganlah segala yang bershahabat dengan orang- orang yang dikasihinya pada jalan Allah Ta'ala. Dan pada syarat- syarat itu, terdapat hak-hak, di mana dengan menjagakannya, bersihlah persaudaraan itu dari campuran segala kekotoran dan gangguan sethan.
Maka dengan menegakkan hak-haknya itu, mendekatlah ia kepada Allah dalam tingkatannya. Dan dengan menjaga hak-hak itu, terca- pailah derajat yang tinggi.
Kami akan menerangkan segala maksud dari Kitab ini dalam tiga bab :

Bab Pertama : tentang kelebihan berkasih-kasihan dan persaudaraan pada jalan Allah Ta'ala, syarat-syarat, derajat-derajat dan faedah- faedahnya.
Bab Kedua : tentang hak-hak pershahabatan, adabnya, hakikat dan segala keharusannya.
Bab Ketiga : tentang hak orang Muslim, keluarga, tetangga dan hamba sahaya yang dimiliki dan cara bergaul dengan orang-orang yang memperoleh pereobaan dengan sebab-sebab tersebut.

Bab pertama.- Tentang keiebihan berkasih sayang (ulfah) dan persaudaraan, mengenai syarat-syarat, derajat dan faedah- faedahnya.


Kelebihan : berkasih-sayang dan persaudaraan :

Ketahuilah, bahwa berkasih-sayang, adalah buah kebaikan budi. Dan bercerai-berai, adalah buah keburukan budi. Maka kebaikan budi itu mengharuskan berkasih-kasihan, berjinak-jinakan hati dan penyesuaian paham. Dan keburukan budi itu, membuahkan bermarah-marahan, berdengki-dengkian dan belakang-membelakangi. Manakala yang mendatangkan buah itu terpuji, niscaya buahnya adalah terpuji. Dan kebaikan budi itu, tidaklah tersembunyi pada agama akan keiebihan dan keutamaannya. Dan kebaikan budi itulah yang dipujikan Allah swt. akan Nabi-Nya, di mana Ia berfirman :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
 (Wa innaka la-'alaa khuluqin'adhiim).    *
Artinya: "Dan sesungguhnya engkau mempunyui budi pekerti yang tinggi S. Al-Qalam, ayat 4. 

Dan Nabi saw. bersabda :
أكثر ما يدخل الناس الجنة تقوى الله وحسن الخلق
(Aktsaru maa yudkhilunnasal-jannata taqwallaahi wa husnul-khuluq).
Artinya :Yang membanyakkan manusia masuk sorga, ialah taqwa kepada Allah, dan kebaikan budi (1)
Usamah bin Syuraik berkata : "Kami bertanya : 'Wahai Rasulullah! Apakah yang terbaik diberikan kepada manusia?'. "Nabi saw. men­jawab : 'Budi yang baik' (2)
Nabi saw. bersabda :
بعثت لأتمم محاسن الأخلاق        
(Bu'itstu li-utammima mahaasi-nal akhlaaq).
Artinya: "Diutuskan aku untuk menyempurnahan kebaikan budi”

(1)Dirawikan Ai-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah. Kalanya : shahih isiiad.
(2)Dirawikan Ibnu Majah dengan isnad shahih.
(3) Dirawikan Ahmad, Al-Baihaqi dan AMIakim dari Abu Hurairah. Dan dipandang- nya shahih.
247
Nabi saw. bersabda: "Yang terberat dari apa yang diletakkan dalam al-mizan (timbangan amal), ialah budi yang baik maka Nabi saw. bersabda : "Tiada dibaguskan oleh Allah akan kejadian dan budinya seseorang manusia, lalu dia itu dijadikan menjadi ma­kanan neraka(2)
Nabi saw. bersabda : "Hai Abu Hurairah Haruslah engkau berbaik budi".
Lalu Abu Hurairah ra. bertanya : "Bagaimanakah budi yang baik itu , wahai Rasulullah?".

Nabi saw. menjawab :
تصل من قطعك وتعفو عمن ظلمك وتعطي من حرمك رواه البيهقي في الشعب من رواية الحسن
(Tashilu man qatha-'aka wa ta'fuu 'amman dhalamaka wa tu'thii man haramaka).
Artinya : "Engkau menyambung silaturrahmi dengan orang yang memutuskannya dengan engkau, engkau ma'afkan orang yang ber­buat dzalim kepada engkau dan engkau memberikan kepada orang yang tidak mau memberikan kepada engkau (3) Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa buah kebaikan budi itu, ialah berkasih-sayang (ulfah) dan habisnya keliaran hati. Dan manakala baguslah yang mendatangkan buah, niscaya baguslah buahnya. Bagaimana tidak? Dan telah datang pujian kepada jiwa berkasih - sayang itu, lebih-lebih apabila ikatannya itu adalah : taqwa, agama, dan mencintai Allah, dari ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar, di mana padanya cukup dan memuaskan penjelasannya.
Allah Ta'ala berfirman, untuk menjelaskan keagungan nikmat-Nya kepada manusia dengan kenikmatan berjinak-jinakan hati: "Kalau kiranya engkau belanjakan seluruh apa yang ada di bumi, niscaya engkau tidak juga dapat menyatukan (menjinakkan) hati mereka, tetapi Allah menyatukan hati mereka S. Al-Anfal, ayat 63. Dan Allah berfirman : ‘’Maka dengan nikmat Allah, kamu menjadi bersaudara’’. S. Ali Imran, ayat 103.
Artinya : dengan ulfah (berjinak-jinakan hati, berkasih sayang). Kemudian Allah Ta'ala mencela perpecahan dan memperingatkan supaya perpecahan itu ditinggalkan. Maka Maha Agunglah Ia yang berfirman :

1 ) Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abid Darda'.Katanya : hadits baik (hasan) dan shahih. 2) Dirawikan Ath-Thabtani dari Abu Hurairah.
3) Dirawikan Al-Baihaqi dari Al-Hasan dari Abu Hurairah.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
(WaMashimuu bihablillaahi jamii-'an wa laa tafarraquu……sampai akhir ayat 103 S. Ali Imran).Artinya : "Dan berpegang eratlah kamu sekalian dengan tali Allah (Agama Allah) dan janganlah berpecah belah! Ingatilah kumia Allah kepada kamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu diper satukannya hati kamu (dalam agama Allah), sehingga dengan kurnia Allah itu, kamu menjadi bersaudara. Dan kamu dahulu berada di tepi lobang neraka, maka dilepaskan-Nya kamu daripadanya. Begitulah Allah menjelaskan keterangan-keterangan-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk S. Ali Imran, ayat 103.
Nabi saw. bersabda :
إن أقربكم مني مجلسا أحاسنكم أخلاقا الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون حديث إن أقربكم مني مجلسا أحاسنكم أخلاقا الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون رواه الطبراني في مكارم الأخلاق من حديث جابر بسند ضعيف(Inna aqrabakum minnii majlisan ahaasinukum akhlaaqan, al-mu- wath-thauuna aknaafan, alladziina ya'lafuuna wayu'lafuun)- Artinya : uSesungguhnya yang terlebih dekat kedudukanmu kepa- dakuy ialah yang terbaik akhlaq (budi pekerti) daripada kamu yang berkelakuan lemah lembut dari mereka, di mana mereka itu menji- nakkan hati orang dan orang menjinakkan hati mereka(1)
Nabi saw. bersabda : "Orang mu'min itu, ialah yang menjinakkan hati orang dan dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan, pada orang yang tidak menjinakkan dan tidak dijinakkan hatinya,Lalu  Nabi saw, bersabda tentang pujian kepada persaudaraan dalam aga­ma : "Barangsiapa dikehendaki oleh Allah kepadanya kebajikan, niscaya dianugerahi-Nya kepadanya teman yang baik. Kalau ia lupa maka teman itu yang memperingatinya. Dan jikalau ia teringat maka teman itu yang menolongnya". (2)
Nabi saw. bersabda ; "Dua orang yang bersaudara itu, apabila ber jumpa, adalah seumpama dua tangan, yang satu membasuh yang lain. Dan tidaklah sekali-kali dua orang mu'min itu bertemu melainkan

1. Dirawikan AthThabrani dari Jabir dengan sanad dia'if,
2.Dirawikan Ahmad dan AthThabrani dari Sahl bin Sa'ad dan AlHakim dari Abu Hurairah dan dipandangnya shahih.
3.Hadits ini tidak terkenal dengan susunan demikian kata Al-lraqi.
yang terkenal bunyinva yang dirawikan Abu Dawud dari 'A-isyah, ialah "Apabila Allah menghendaki kebajikan pada seseorang amir (kepala pemerintahan), niscaya dijadikan (dianugerahkan) kepadanya seorang wazir (menteri) yang benar, Kalau ia lupa, maka wazir itu memperingatinya. Dan kalau ia teringat, maka ditolongnya".
Diberi faedah oleh Allah dengan kebajikan akan salah seorang dari keduanya dari temannya'
Nabi saw, bersabda tentang mengajak kepada persaudaraan pada jalan Allah : "Barangsiapa mempersaudarakan seseorang saudara pada jalan Allah niscaya ia ditinggikan oleh Allah suatu tingkat da­lam sorga, yang tiada akan dicapainya dengan sesuatu dariamal per buatannya".
وقال أبو إدريس الخولاني لمعاذ إني أحبك في الله فقال له أبشر ثم أبشر فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ينصب لطائفة من الناس كراسي حول العرش يوم القيامة وجوههم كالقمر ليلة البدر يفزع الناس وهم لا يفزعون ويخاف الناس وهم لا يخافون وهم أولياء الله الذين لا خوف عليهم ولاهم يحزنون فقيل من هؤلاء يا رسول الله فقال هم المتحابون في الله تعالى حديث قال أبو إدريس الخولاني لمعاذ أني احبك في الله فقال أبشر ثم أبشر فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول تنصب لطائفة من الناس كراسي حول العرش يوم القيامة الحديث أخرجه أحمد و الحاكم في حديث طويل أن أبا إدريس قال قلت و الله إني لأحبك في الله قال فأني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول أن المتحابين بجلال الله في ظل عرشه يوم لا ظل إلا ظله قال الحاكم صحيح على شرط الشيخين وهو عند الترمذي من رواية أبي مسلم الخولاني عن معاذ بلفظ المتحابون في جلالى لهم منابر من نور يغبطهم النبيون و الشهداء قال حديث حسن صحيح ولأحمد من حديث أبي مالك ألاشعري أن لله عبادا ليسوا بأنبياء ولا شهداء يغبطهم الأنبياء و الشهداء على منازلهم وقربهم من الله الحديث وفيه تحابوا في الله وتصافوا به يضع الله لهم يوم القيامة منابر من نور فتجعل وجوههم نورا وثيابهم نورا يفزع الناس يوم القيامة ولا يفزعون وهم أولياء الله الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون وفيه شهر بن حوشب مختلف فيه ورواه أبو هريرة رضي الله عنه و قال فيه أن حول العرش منابر من نور عليها قوم لباسهم نور ووجوههم نورا ليسوا بأنبياء ولا شهداء يغبطهم النبيون و الشهداء فقالوا يا رسول الله صفهم لنا فقال هم المتحابون في الله و المتجالسون في الله و المتزاورون في الله حديث أبي هريرة إن حول العرش منابر من نور عليها قوم لباسهم نور ووجوههم نورا ليسوا بأنبياء ولا شهداء الحديث أخرجه النسائي في سننه الكبرى و رجاله ثقات وقال صلى الله عليه وسلم ما تحاب اثنان في الله إلا كان أحبهما إلى الله أشدهما حبا لصاحبه حديث ما تحاب اثنان في الله إلا كان أحبهم إلى الله أشدهما حبا لصاحبه أخرجه ابن حبان و الحاكم من حديث أنس و قال صحيح الإسناد ويقال أن الأخوين في الله إذا كان أحدهما أعلى مقاما من الآخر رفع الآخر معه إلى مقامه وانه يلتحق به كما تلتحق الذرية بالأبوين و الأهل بعضهم ببعض لان الأخوة إذا اكتسبت في الله لم تكن دون أخوة الولادة قال عز وجل ألحقنا بهم ذرياتهم وما ألتناهم من عملهم من شيء
Abu ldris Al-Khaulani berkata kepada Mu'az : "Sesungguhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah. Maka menjawab Mu'az : "Gembiralah kamu kiranya! Gembiralah kamu kiranya! Maka sesungguh­nya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : "Akan diletakkan untuk segolongan manusia, beberapa kursi dikeliling 'Arasy pada hari qiamat, di mana wajah mereka itu seperti bulan pada malam purnama raya, dimana manusia lain gentar dan mereka tidak gentar dan manusia lain takut dan mereka tidak takut. Mereka itu ialah wali-wali Allah, yang tak ada pada mereka ketakutan dan kegundahan ".
Lalu orang menanyakan : "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah!'
Nabi saw. menjawab : "Mereka itu ialah orang-orang yang berkasih- kasihan pada jalan Allah Ta'ala". Hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah ra.
Dan Abu Hurairah ra. menerangkan, bahwa pada hadits itu tersebut: "Sesungguhnya dikeliling 'Arasy itu beberapa mimbar dari nur, di mana di atas mimbar itu suatu kaum, pakaiannya nur dan wajahnya nur. Mereka itu bukanlah nabi-nabi dan orang-orang syahid. Mereka itu disenangi oleh nabi-nabi dan orang-orang syahid".
Lalu para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah! Terangkanlah kepada kami siapa mereka itu!".
Maka Nabi saw. menjawab : "Mereka itu adalah orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, sama-sama duduk pada jalan Allah dan kunjung-mengunjungi pada jalan Allah". (1)
Nabi saw. bersabda : "Tiadalah berkasih-kasihan dua orang pada ja­lan Allah, melainkan yang lebih mencintai Allah dari keduanya. Itulah yang paling mencintai temannya, dari keduanya itu". (Dirawikan Ibnu Hibban dan AlHakim dari Anas dan katanya shahih isnad)
Dan dikatakan, bahwa dua orang bersaudara pada jalan Allah itu, apabila seorang dari keduanya lebih tinggi kedudukannya dari yang lain, niscaya ditinggikan oleh Allah yang lain itu bersamanya kepa da kedudukannya. Dan yang lain itu akan menghubungi dengan dia, sebagaimana keturunan menghubungi dengan dua ibu bapa dan keluarga, sebagiannya dengan sebagian yang lain. Karena persauda­raan itu apabila diusahakan pada jalan Allah, niscaya tidaklah berkurang dari persaudaraan dengan kelahiran. Allah Azza wa Jalla ber firman :
ألحقنا بهم ذرياتهم وما ألتناهم من عملهم من شيء
(Alhaqnaa bihim dzurriyyatahum wamaa alatnaahum min 'amali- him min syai-in).
Artinya : "Nanti mereka akan kami pertemukan dengan turunannya itu dan tiada Kami kurangi amal mereka barang sedikitpun( S. Ath-Thur, ayat 21.)

(1)Dirawikan AnNasa-i perawi-perawinya orang-orang kepercayaan.
(2)Dirawikan Ibnu Hibban dan AlHakim dari Anas dan katanya shahih isnad
250
Nabi saw. bersabda : أن الله تعالى يقول حقت محبتي للذين يتزاورون من أجلى وحقت محبتي للذين يتحابون من أجلي وحقت محبتي للذين يتباذلون من أجلي وحقت محبتي للذين يتناصرون من أجلي "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman : 'Benarlah kesayangan-Ku kepada mereka yang kunjung-mengunjungi dari karena-Ku. Dan benarlah kesayangan-Ku kepada mereka, yang berkasih-kasihan dari karena-Ku. Dan benarlah kesayangan-Ku kepada mereka, yang beri-memberi, dari karena-Ku. Dan benarlah kesayangan-Ku kepada mereka yang tolong-menolong dari karena- Ku'" (1),
Nabi saw bersabda : إن الله تعالى يقول يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي ''Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman pada hari qiamat : Di manakah sekarang mereka, yang berkasih-kasihan dengan sebab kebesaran-Ku? Pada hari ini, Aku naungi mereka pada naungan-Ku, pada hari yang tidak ada naungan, selain naungan-Ku' (Dirawikan Muslim)
Nabi saw. bersabda : "Tujuh orang yang dinaungi oleh Allah pada naungan-Nya, pada hari yang tak ada naungan, selain dari naunganNya : imam yang adil, pemuda yang berkembang dalam ibadah kepada Allah, laki-laki yang hatinya tersangkut di Masjid, apabila ia keluar dari Masjid, sehingga kembalilah ia ke Masjid, dua orang laki-laki yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, keduanya berkumpul dan berpisah di atas yang demikian, laki-laki yang mengingati Allah (berdzikir) pada tempat yang sunyi sepi lalu bergenanglah kedua matanya dengan air mata, laki-laki yang dipanggil oleh wanita bangsawan dan cantik, lalu menjawab :  Aku takut kepada Allah Ta'ala dan laki-laki yang bersedekah suatu sedekah, lalu menyembunyikannya, sehingga tiada diketahui oleh tangan kirinya apa yang diberikan oleh tangan kanannya". (3)

1.Dirawikan Ahmad dan 'Amr bin 'Absah dan Iain-Iain.
2.Dirawikan Muslim.
3.Dirawikan AlBukhari dari Muslim dari Abu Hurairah.
251
Nabi saw. bersabda : "Tiadalah seorang laki-laki yang berkunjung kepada seorang laki-laki pada jalan Allah, karena rindu kepadanya dan ingin menjumpainya, melainkan ia dipanggil oleh Malaikat dari belakangnya dengan kata-kata : 'Baiklah engkau kiranya, baiklah tempat jalannya engkau dan baiklah sorga bagi engkau' (1)
Nabi saw. bersabda : "Bahwa seorang laki-laki berkunjung (berzia rah) kepada saudaranya pada jalan Allah. Maka Allah mengirimkan kepadanya Malaikat, untuk menanyakan :'Kamu hendak kemana ?".
Laki-laki itu menjawab : "Mau mengunjungi saudaraku si Anu".
Lalu Malaikat itu bertanya lagi: "Adakah keperluanmu padanya?"
Laki-laki itu menjawab : "Tidak ada!".
Malaikat itu menyambung : "Karena kefamiliankah diantara kamu dan dia?"
Laki-laki itu menyahut: "Tidak!".
Malaikat itu bertanya lagi: "Apakah disebabkan nikmat pemberiannya kepadamu?".
Laki-laki itu menjawab : "Tidak!".
Malaikat itu bertanya pula : "Kalau begitu, apakah sebabnya?". Laki-laki itu menjawab : "Aku mencintainya pada jalan Allah".
Lalu Malaikat itu menyambung : "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus aku kepadamu untuk menerangkan, bahwa Dia mencintai mu, karena cintamu kepada-Nya. Dan telah diharuskan-Nya sorga untukmu". (2)
Nabi saw. bersabda :
أوثق عرى الإيمان الحب في الله و البغض في الله   .
(Autsaqu 'ural iimaanil hubbu fillaahi wal bughdlu fillaahi).
Artinya : "Yang terlebih kokoh perpegangan tali iman, ialah kasih- sayang pada jalan Allah dan marah pada jalan Allah". (3)
Maka karena inilah, harus bagi seseorang mempunyai musuh yang dimarahinya pada jalan Allah, sebagaimana ia mempunyai teman dan saudara yang dicintainya pada jalan Allah.
ويروي أن الله تعالى أوحى إلى نبي من الأنبياء أما زهدك في الدنيا فقد تعجلت الراحة وأما انقطاعك إلى فقد تعززت بي ولكن هل عاديت في عدوا أو هل و اليت في ولياDiriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada seo­rang dari nabi-nabi, dengan firman-Nya :"Adapun zuhudmu di dunia (bencimu kepada dunia), maka telah menyegerakan kamu beristirahat. Adapun putusmu dari dunia, karena beribadah kepadaKu, maka sesungguhnya kamu telah memperoleh kemuliaan dengan Aku. Tetapi adakah kamu bermusuh pada jalan-Ku akan seseorang musuh?Atau adakah kamu berkasih-sayang pada jalan-Ku dengan seseorang kekasih-Ku

(1)Dirawikan Ibnu 'Uda dari Anas.
(2)Dirawikan Muslim dan Abu Hurairah.
(3)Diriwayatkan Ahmad dari Al-Barra' bin 'Azib dan Al-Kharaithi dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad dla’if.
252
Nabi saw. bersabda :
اللهم لا تجعل لفاجر علي منة فترزقه مني محبة
(Allaahumma laa taj-'al lifaajirin 'alayya minnatan fa tarzuquhu minnii mahabbah).
Artinya : "Wahai Allah Tuhanku, Janganlah kiranya Engkau men-jadikan nikmat kepunyaan orang dzalim kepadaku, lalu Engkau anugerahkan kecintaanku kepadanya". (1)
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Isa as. dengan firman-Nya : "Jikalau engkau mengerjakan ibadah kepa da-Ku, dengan ibadah penduduk langit dan bumi dan tidak ada ke cintaan pada jalan Allah dan tidak ada kemarahan pada jalan Allah, niscaya tidaklah yang demikian itu mencukupkan akan sesuatu pada engkau
Isa as. bersabda : "Berkasih-sayanglah kamu pada jalan Allah, de­ngan kemarahan orang-orang yang berbuat ma'siat! Mendekat diri- lah kamu kepada Allah, dengan menjauhkan diri dari mereka! Dan carilah kerelaan Allah dengan kemarahan mereka".
Para shahabat Isa as. bertanya: "Wahai kekasih Allah! Maka dengan siapakah kami duduk-duduk?".
Isa as. menjawab : "Duduklah kamu dengan orang, yang dengan melihatnya, mengingatkan kamu kepada Allah, dengan orang, yang dengan perkataannya menambahkan amalanmu dan dengan orang, yang dengan amalannya menggemarkan kamu kepada akhirat".
Diriwayatkan dalam berita-berita zaman dahulu, bahwa Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Musa as. dengan firman-Nya :  Wahai Ibnu Imran! Hendaklah kamu waspada dan tariklah sauda-ra-saudara itu untuk dirimu Tiap-tiap teman dan shahabat yang tidak dan menolong engkau kepada kesukaan-Ku, maka itu adalah musuh- mu"
Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Dawud as. dengan firman Nya : "Wahai Dawud! Mengapakah Aku melihat engkau tercampak sendirian Dawud as. menjawab : "Wahai Tuhanku! Aku benci kepada makhluk dari karena Engkau".

(1) Hadits ini telah diterangkan dahulu.
253
Maka Allah berfirman : "Wahai Dawud! Hendaklah engkau waspada dan tariklah teman-teman itu untuk dirimu! Dan tiap-tiap teman yang tiada sesuai dengan engkau kepada kesukaan-Ku, maka jangan­lah engkau berteman dengan dia! Karena dia musuhmu yang mengesatkan hatimu dan menjauhkan kamu daripada-Ku".
Tersebut pada akhbar (berita-berita) Dawud as. bahwa Dawud as. bertanya kepada Allah : "Wahai Tuhanku! Bagaimanakah supaya aku disukai oleh semua manusia dan aku selamat mengenai sesuatu antaraku dan Engkau?".
Allah Ta'ala menjawab : "Bergaullah dengan manusia menurut akhlaq mereka! Dan berbuat baiklah mengenai sesuatu antara Aku dan engkau ‘
Dan pada setengah akhbar tersebut : "Ber-akhlaqlah dengan penduduk dunia dengan akhlaq dunia dan berakhlaqlah dengan penduduk akhirat dengan akhlaq akhirat!".
Nabi saw. bersabda :
إن أحبكم إلى الله الذين يألفون ويؤلفون وإن أبغضكم إلى الله المشاءون بالنميمة المفرقون بين الإخوان
(Inna ahabbakum ilallaahil ladziina ya'-lafuuna wa yu'-lafuuna, wa inna abghadlakumul-masysyaa-uuna binnamiimatil mufarriquuna bainal ikhwaan).Artinya : "Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah me­reka yang menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan yang amat dimarahi diantara kamu oleh Allah, ialah orang-orang yang menyiarkan khabar fitnah, yang mencerai- beraikan diantara sesama saudara" (1)
Nabi saw. bersabda : "Sesungguhnya Allah mempunyai Malaikat, setengahnya dari api dan setengahnya dari salju, di mana Malaikat itu berdo'a :'Wahai Allah Tuhanku! Sebagaimana Engkau jinakkan antara salju dan api, maka demikian pula, jinakkanlah antara hati segala hamba-Mu yang shalih " (2)
Dan Nabi saw. bersabda pula : ‘’Tiada diadakan oleh seorang hamba, akan persaudaraan pada jalan Allah, melainkan diadakan oleh Allah untuknya, suatu tingkat dalam sorga". (3)

(1)Dirawikan Ath-Thabrani dari Abu Hurairah dingan sanad dia'if.
(2)Dirawikan Abusy-Syaikh Ibnu hibban dari Mu*adz bin Jabal dengan sanad dia'if.
(3)Dirawikan Ibnu Abid-Dun-ya dari Anas.
254
Nabi saw. bersabda : "Mereka yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, adalah di atas suatu tiang dari mutiara yaqut yang merah. Pada puncak tiang itu tujuh puluh ribu kamar. Mereka itu menoleh kepada penduduk sorga, yang kebagusan mereka, memberi cahaya kepada penduduk sorga itu, sebagaimana matahari memberi cahaya kepada penduduk dunia, Maka berkatalah penduduk sorga : ‘’Pergilah kepada kami, supaya kami melihat kepada orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah! Lalu kebagusan mereka menyi- narkan penduduk sorga, sebagaimana matahari menyinarkan. Pada mereka, kain sutera hijau, yang tertulis pada dahi mereka : 'Orang- orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah' ". (1)
Menurut atsar, diantara lain, 'Ali ra. berkata : "Haruslah kamu ber­saudara (berteman)! Karena teman-teman itu adalah alat (media) di dunia dan di akhirat. Apakah kamu tidak mendengar ucapan penduduk neraka :
وَلا صَدِيقٍ حَمِيمٍ, فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ
(Famaa lanaa min syaa-fi-'iina, walaa shadiiqin hamiim).Artinya : "Bahwa kami tiada mempunyai orang-orang yang akan menolong. Dan tiada mempunyai teman yang setia!". S. Asy-Syu'ara', ayat 100 -101.
'Abdullah bin 'Umar ra. berkata : "Demi Allah! Jikalau aku ber puasa siang, di mana aku tiada berbuka padanya dan aku bershalat malam, di mana aku tiada tidur padanya dan aku belanjakan harta- ku yang baik-baik pada jalan Allah, maka aku mati pada hari aku mati dan tidak ada dalam hatiku kecintaan kepada orang-orang yang mentha'ati Allah dan kemarahan kepada orang-orang yang mendur- hakai Allah, niscaya tiadalah bermanfa'at kepadaku sedikitpun dari yang demikian itu".
Ibnus Sammak mendo'a ketika akan meninggal : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwa aku, apabila mendurhakai Engkau, maka aku adalah mencintai orang yang men­tha'ati Engkau. Maka jadikanlah yang demikian itu, mendekatkan aku kepada Engkau!".
Al-Hasan berkata sebaliknya : "Wahai anak Adam! Janganlah kamu terperdaya dengan perkataan orang yang mengatakan : 'Manusia itu bersama orang yang dikasihinya'. Karena engkau tiada akan memperoleh derajat orang baik-baik, kecuali dengan beramal segala amal-

(1) Dirawikan Al-Tirmidzi dari Ibnu Ma stud dengan sanad dia'if.
255
amal mereka. Sesungguhnya orang Yahudi dan orang Nasrani, adalah mencintai nabi-nabinya dan tidaklah mereka itu bersama nabi-nabi- nya
Dan ini menunjukkan, bahwa semata-mata demikian, tanpa berse- suaian pada sebahagian perbuatan atau seluruhnya, niscaya tidaklah bermanfaat.
Al-Fudlail berkata pada sebahagian perkataannya : "Wah, kamu ingin menempati sorga Firdaus dan mendekati Tuhan Yang Maha Pengasih pada rumah-Nya, bersama nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Dengan amal apakah yang engkau kerjakan?
Dengan syahwat apakah yang engkau ting galkan?
Dengan kemarahan apakah yang engkau tahan kemarahan itu?
Dengan silaturrahmi manakah yang telah putus, engkau sambungkan?
Dengan kesalahan manakah bagi saudaramu, yang telah engkau ampunkan?
Dengan yang dekat manakah, yang telah engkau jauhkan pada jalan Allah?
Dan dengan yang jauh manakah, yang telah engkau dekatkan pada jalan Allah?".
Diriwayatkan bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Musa as. dengan firman-Nya : "Adakah engkau berbuat amal semata- mata bagi-Ku”
Musa as. menjawab : "Wahai Tuhanku! Sesungguhnya aku menger­jakan shalat bagi-Mu, berpuasa, bersedekah dan berzakat".
Maka Allah Ta'ala berfirman : "Sesungguhnya shalat bagimu itu suatu dalil. Puasa itu suatu benteng. Sedekah itu suatu naungan. Dan zakat itu suatu nur. Maka amal manakah yang engkau perbuat untuk-Ku”
Musa mendo'a : "Wahai Tuhanku! Tunjukilah aku akan amal yang untuk-Mu?".
Tuhan berfirman : "Wahai Musa, Adakah engkau berteman untuk- Kusaja teman itu? Dan adakah engkau bermusuh pada jalan-Ku saja musuh itu”
Maka tahulah Musa, bahwa amal yang paling utama, ialah mencin­tai pada jalan Allah dan memarahi pada jalan Allah.
Ibnu Mas'ud ra. berkata : "Jikalau adalah seorang laki-laki berdiri mengerjakan shalat antara ar-rukn (sudut Ka'bah) dan Al-Maqam (Maqam Ibrahim dekat Ka'bah). Ia beribadah kepada Allah selama tujuh puluh tahun. Niscaya ia dibangkitkan oleh Allah pada hari qiamat, bersama orang yang dikasihinya".
Al-Hasan ra. berkata : "Memutuskan silaturrahmi dengan orang fasiq, adalah pendekatan diri kepada Allah".
Seorang laki-laki* berkata kepada Muhammad bin Wasi' : "Sesung­guhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah".
Maka menjawab Muhammad bin Wasi': "Engkau dicintai Allah, di mana engkau mencintai aku karena-Nya". Kemudian Muhammad bin Wasi' memalingkan wajahnya dan mendo'a : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku mencintai pada jalan Engkau, sedang Engkau memarahi aku".
Seorang laki-laki masuk ke tempat Dawud Ath-Tha-i. Lalu Dawud bertanya kepadanya : "Apakah hajatmu?".
Laki-laki itu menjawab : "Mengunjungi engkau".
Maka Dawud menyambung : "Adapun engkau sesungguhnya, telah berbuat kebajikan, ketika berkunjung kemari. Tetapi perhatikanlah, apa yang menimpa kepada diriku, apabila orang menanyakan kepa­daku : "Siapakah engkau, maka dikunjungi? Adakah termasuk orang zahid engkau ini? "Tidak demi Allah!". Adakah termasuk orang 'abid engkau ini? "Tidak, demi Allah!". Adakah termasuk orang shalih engkau ini? "Tidak, demi Allah!". Kemudian, beliau tujukan untuk menjelekkan dirinya sendiri, de­ngan mengatakan : "Adalah aku pada waktu muda dahulu, seorang yang fasiq. Maka tatkala aku telah tua, lalu aku menjadi seorang yang ria. Demi Allah, orang yang ria itu adalah lebih jahat daripada orang yang fasiq".
'Umar ra. berkata : "Apabila seorang kamu memperoleh kesayang­an dari sudaranya, maka hendaklah ia berpegang teguh dengan kesayangan itu. Amat sedikitlah orang yang memperoleh demikian".
Mujahid berkata : "Orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, apabila beijumpa, lalu mengerutkan muka satu sama lain. Berguguranlah segala kesalahan dari mereka, sebagaimana bergu- guran daun kayu pada musim dingin, apabila daun kayu itu telah kering".
Al-Fudlail berkata : "Pandangan seseorang kepada wajah saudara- nya (temannya) dengan kecintaan dan kesayangan, adalah ibadah".
Penjelasan : Arti persaudaraan pada jalan Allah dan perbedaannya dari persaudaraan pada jalan dunia.
Ketahuilah, bahwa kecintaan pada jalan Allah dan kemarahan pada jalan Allah, adalah soal yang kabur. Dan akan terbuka tutupnya de­ngan apa yang akan kami sebutkan. Yaitu: bahwa pershahabatan itu terbagi kepada : yang terjadi dengan kebetulan, seperti pershahabatan disebabkan bertetangga. Atau disebabkan pergaulan di surau atau di sekolah atau di pasar atau pada pintu sultan atau dalam perjalanan. Dan kepada : yang terjadi dengan pilihan sendiri dan dengan maksud. Yaitu : yang kami maksudkan menerangkannya. Karena persaudaraan dalam agama itu terjadi sudah pasti, dalam bahagian ini. Karena tiada pahala, selain pada perbuatan yang pilihan sendiri (al-'af-'aal - al-ikhtiyariyyah). Dan tak ada penggemaran, kecuali pa­da perbuatan yang pilihan itu.
Pershahabatan adalah : ibarat dari duduk bersama, bercampur dan bergaul. Dan segala hal ini, tiada dimaksudkanoleh seorang manusia dengan manusia lain, kecuali apabila dikasihinya. Maka yang tidak dikasihi itu, dijauhkan dan disingkirkan. Dan tidak bermaksud ber- campur-baur dengan dia.
Dan yang dikasihi itu, adakalanya dikasihi, karena diri benda itu sendiri. Bukan untuk menyampaikan kepada yang dikasihi dan yang dimaksudkan di belakangnya. Dan adakalanya dikasihi untuk me­nyampaikan kepada sesuatu maksud. Dan maksud itu, adakalanya terbatas pada dunia dan bahagian-bahagiannya. Adakalanya berhubungan dengan akhirat. Dan adakalanya berhubungan dengan Allah Ta'ala.
Bahagian Pertama : yaitu, engkau mencintai seorang manusia, kare­na diri orang itu. Dan yang demikian itu mungkin. Yaitu : ada pada dirinya yang tercinta bagimu. Dengan pengertian, bahwa engkau merasa senang melihatnya, mengenalinya dan menyaksikan segala tingkah-lakunya. Karena engkau memandang baik kepadanya. Maka sesungguhnya tiap-tiap yang cantik itu, adalah enak pada pihak orang yang mengetahui kecantikannya. Dan tiap-tiap yang enak itu, disukai.
Ke-enakan itu mengikuti akan istihsan (memandang baik). Dan istihsan itu mengikuti akan penyesuaian, berpatutan dan kesepa- katan antara krakter-krakter (tabiat-tabiat). Kemudian yang dipan- dang baik itu, adakalanya bentuk dhahir, yakni : kecantikan kejadi- an (bagus bentuknya). Dan adakalanya bentuk bathin. Yakni : kesempumaan akal pikiran dan kebagusan budi-pekerti. Dan keba- gusan budi-pekerti itu tidak mustahil akan diikuti oleh kebagusan perbuatan. Dan kesempumaan akal pikiran, akan diikuti oleh ba- nyaknya ilmu pengetahuan.
Dan semua itu, dipandang baik pada krakter yang sejahtera dan akal yang lurus (betul). Dan tiap-tiap yang dipandang baik itu, maka dirasa enak dan disayangi. Bahkan pada penjinakan hati itu, ada suatu hal yang lebih kabur dari ini. Karena kadang-kadang, kekasih- sayangan itu kokoh kuat diantara dua orang, tanpa manis rupa, bu- di-pekerti dan bagus bentuk. Tetapi karena persesuaian bathin, mengharuskan kejinakkan hati dan kesepakatan jiwa. Karena kese­rupaan sesuatu itu, tertarik kepadanya dengan tabi'at. Dan keseru- paan-keserupaan bathin itif tersembunyi. Dan mempunyai sebab- sebab yang halus, yang tidak sanggup kekuatan manusia menye laminya.-
Rasulullah saw. mengibaratkan dari yang demikian, di mana beliau bersabda :
الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف
(Al-arwaahu junuudun mujannadatun famaa ta-'aarafa minhaa'- talafa wamaa tanaakara minhakhtalaf).Artinya : "Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul Maka yang kenal mengenal daripadanya, niscaya jinak-menjinakkan. Dan yang bertentangan daripadanya niscaya berselisihlah" (1)Pertentangan, adalah hasil (natijah) dari perbedaan. Dan kejinakan hati adalah hasil dari kesesuaian, yang diibaratkan dengan : ta'aruf (berkenalan satu sama lain).
Pada sebahagian kata-kata hadits tadi, terdapat yang maksudnya : "Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul dan berjumpa. Lalu berciuman di udara".
Setengah"Ulama menyebutkan ini dengkn cara kinayah (sindiran), dengan mengatakan, bahwa Allah Ta'ala menjadikan segala nyawa. Maka dipecahkan-Nya setengahnya berpecahan dan dithawafkan- Nya (dikelilingkan-Nya) dikeliling 'Arasy. Maka mana diantara dua nyawa dari dua pecahan yang berkenalan itu, lalu keduanya berte mu, sebagai sambungan di dunia-
Dan Nabi saw. bersabda : "Bahwa nyawa dua orang mu*min, bertemu dalam perjalanan sehari. Dan tiada sekali-kali salah seorang dari keduanya melihat temannya(2)

1 ) Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
2) Dirawikan Ahmad dari 'Abdullah bin Amr.
259
Diriwayatkan: "Bahwa di Makkah ada seorang wanita, suka menertawakan wanita lain. Dan di Madinah ada lagi seorang. Lalu wanita Makkah tadi tinggal di Madinah. Maka datanglah ia ke tempat
A-isyah ra. Lalu menertawakannya. Maka 'A-isyqh ra. bertanya : "Di manakah engkau tinggal?".
Wanita tadi, lalu menyebutkan kepada 'A-isyah ra. temannya. Maka 'A-isyah ra. berkata : "Benarlah kiranya Allah dan Rasul-Nya. Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda : Jiwa itu adalah laksana
tentara yang berkumpul      sampai akhir hadits diatas tadi'".
Yang sebenarnya mengenai ini, ialah : bahwa pandang memandang dan percobaan, menjadi saksi kejinakan hati, ketika terdapat kese­suaian. Dan kesesuaian tentang tab 1'at dan akhlaq pada bathin dan pada dhahir, adalah hal yang dapat difahami. Adapun sebab-sebab yang mengharuskan persesuaian itu, tidaklah sanggup kemampuan manusia mendalaminya. Dan sejauh kelucuan ahli nujum, bahwa ia mengatakan: apabila bintangnya berada enam kali dari bin tang orang Iain atau tiga kali, maka ini memperlihatkan persesuaian dan kesayangan. Lalu yang demikian itu menghendaki kepada kesesuaian dan berkasih-kasihan. Dan apabila sebaliknya atau berada empat kali, niscaya membawa kepada bermarah-marah- an dan permusuhan.
Maka ini kalau benar adanya seperti demikian, dalam berlakunya sunnah Allah (yang ditetapkan oleh Allah) pada kejadian langit dan bumi, niscaya persoalan padanya, adalah lebih banyak dari persoal- an tentang pokok kesesuaian.
Maka tak ada artinya, memasuki hal yang tidak terbuka rahasianya (sirr) bagi ummat manusia. Maka tidaklah dianugerahkan kepada kita, dari ilmu pengetahuan, kecuali sedikit saja. Dan mencukupilah bagi kita, untuk membenarkan yang demikian itu, percobaan dan penyaksian. Dan telah datang hadits tentang yang demikian, di ma­na Nabi saw. bersabda : "Jikalau seorang mu*min masuk ke suatu majelis, di mana pada majelis itu seratus orang munafiq dan seorang orang mu'min, sesungguhnya orang mu'min itu datang, sehingga duduk pada seorang mu'min tadi. Dan jikalau seorang munafiq ma­suk ke suatu majelis, dimana pada majelis itu seratus orang mu'min dan seorang orang munafiq, sesungguhnya orang munafiq itu datang, sehingga ia duduk pada seorang munafiq itu". (1) Ini menunjukkan, bahwa keserupaan sesuatu adalah tertarik kepada nya dengan tabi'at, walaupun ia tiada terasa yang demikian itu. Malik bin Dinar berkata: "Tidak akan sesuai dua orang dalam sepuluh orang, selain pada salah seorang dari keduanya, terdapat sifat dari yang seorang lagi.

(1) Dirawikan Al-Baihaqi, sebagai hadits mauquf (terhenti) pada Ibnu Mas'ud.
260
Sesungguhnya jenis-jenis manusia, adalah seperti jenis-jenis burung. Tidak akan sepakat dua macam burung terbang bersama, kecuali di antara keduanya ada kesesuaian". Lalu Malik bin Dinar meneruskan dengan mengatakan bahwa pada suatu hari, beliau melihat seekor burung gagak, bersama seekor burung merpati. Maka heranlah beliau melihat demikian, lalu berkata: "Keduanya itu telah sepakat dan tidaklah keduanya itu dari satu bentuk". Kemudian, kedua ekor burung itu terbang. Rupanya, keduanya pincang. Lalu Malik bin Dinar berkata : "Dari segi inilah keduanya sepakat". Karena itulah, setengah ahli hikmat (hukama') berkata : "Tiap-tiap manusia, jinak hatinya kepada yang sebentuk dengan dia sebagaimana masing-masing burung itu terbang bersama jenisnya. Dan apabila dua orang bershahabat pada suatu waktu dan keadaan keduanya tidak serupa, maka tidak dapat tidak, keduanya akan berpisah".
Dan inilah suatu pengertian yang tersembunyi, yang telah difahami dengan kecerdikan oleh penya'ir-penya'ir. Sehingga berkatalah seorang dari mereka :
Seorang bertanya,"Bagaimana, engkau berdua jadi berpisah?".
Maka aku menjawab, dengan jawaban keinsyafan : ‘Dia tidak sebentuk dengan aku,maka aku berpisah dengan dia   "
Manusia itu berbagai bentuk dan beribu macam keadaan          "
Maka jelaslah dari yang tersebut ini, bahwa manusia kadang-kadang mencintai karena zat barang itu sendiri. Bukan karena sesuatu faedah, yang akan dicapai, pada masa yang sekarang atau pada masa yang akan datang. Tetapi, karena semata-mata kesejenisan dan ke­sesuaian pada sifat-sifat bathin dan budi-pekerti yang tersembunyi. Dan termasuk dalam bahagian ini, cinta karena cantik, apabila, tidak ada maksudnya untuk melepaskan nafsu-syahwat. Sesungguhnya, rupa yang cantik adalah enak dipandang mata, walaupun diumpamakan tidak ada nafsu-syahwat sama sekali. Se­hingga enaklah memandang kepada buah-buahan, sinar, bunga- bungaan, buah tufah yang warnanya bercampur dengan kemerah- merahan, memandang kepada air yang mengalir dan kepada benda yang kehijau-hijauan, tanpa suatu maksud, selain daripada benda itu sendiri.
Kecintaan tadi tidaklah termasuk kecintaan kepada Allah. Tetapi itu, adalah kecintaan dengan tabi'at (sifat masing-masing) dan hawa nafsu. Dan yang demikian itu, tergambar dari orang yang tidak ber- iman kepada Allah. Kecuali, sesungguhnya, kalau hal yang tersebut tadi, mempunyai hubungan dengan suatu maksud yang tercela, nis­caya jadilah ia tercela. Seperti kecintaan kepada rupa yang cantik untuk melepaskan hawa nafsu, di mana tidak halal melepaskannya. Dan jikalau tidak berhubungan dengan suatu maksud yang tercela, maka itu diperbolehkan (mubah), yang tidak disifatkan dengan pu­jian dan celaan. Karena kecintaan itu, adakalanya terpuji, adakala­nya tercela dan adakalanya mubah, tidak terpuji dan tidak tercela.
Bagian kedua : bahwa mencintai sesuatu, untuk memperoleh dari benda itu, selain dari bendanya. Maka jadilah benda itu, wasilah (jalan) untuk sampai kepada yang dicintai, yang lain dari benda itu. Dan wasilah kepada yang dicintai, adalah dicintai. Dan apa yang dicintai untuk kecintaan yang lain daripadanya, adalah yang lain itu pada hakekatnya yang dicintai. Tetapi jalan kepada yang dicintai, adalah dicintai juga.
Karena itulah, manusia mencintai emas dan perak. Dan tak ada maksud pada keduanya. Karena ia tidak diambil untuk menjadi makanan dan pakaian. Tetapi keduanya, adalah wasilah kepada segala yang dicintai.
Sebahagian manusia, ada orang yang dicintai, sebagaimana dicintai emas dan perak, dari segi dia itu wasilah kepada sesuatu maksud. Karena dengan dia, dapat mencintai kemegahan atau harta atau il - rau pengetahuan. Sebagaimana orang mencintai seorang sultan (penguasa), karena dapat mempergunakan hartanya atau kemegah- annya. Dan mencintai orang-orang tertentu dari orang-orang sultan, karena mereka akan menerangkan yang baik-baik tentang dirinya kepada sultan. Dan menyediakan persoalannya untuk masuk ke dalam hati sultan.
Maka jalan yang dicari untuk sampai kepadanya, kalau faedahnya terbataspada dunia saja, niscaya tidaklah kecintaannya itu dari jumlah kecintaan pada jalan Allah. Dan kalau tidak terbatas faedah­nya pada dunia, tetapi tiada dimaksudkan kecuali untuk dunia, se­perti kecintaan murid kepada gurunya, maka itu juga di luar dari kecintaan kepada Allah. Karena sesungguhnya, mencintai guru, adalah supaya memperoleh ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri. Maka yang dicintainya adalah ilmu pengetahuan. Apabila tidak dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan itu, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, tetapi untuk memperoleh kemegahan, harta dan penerimaan dari orang banyak, maka yang dicintainya, adalah kemegahan dan penerimaan orang banyak. Dan ilmu pengetahuan itu adalah wasilah (jalan) kepadanya. Dan guru itu adalah wasilah kepada ilmu pengetahuan. Maka tiada sedikitpun dari yang demikian itu, kecintaan kepada Allah. Karena tergambar- lah semuanya itu, dari orang yang tiada beriman sekali-kali kepada Allah Ta'ala.
Kemudiah, ini terbagi pula kepada : yang tercela dan yang mubah. Kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, supaya tercapai maksud- maksud yang tercela : dari pemaksaan teman-teman, pengambilan harta anak-anak yatim, kezalim an pemimpin-pemimpin dengan urusan kehakiman atau lainnya, niscaya adalah kecintaan itu terce­la. Dan kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, untuk mencapai yang mubah (yang diperbolehkan), maka itu adalah mubah.
Sesungguhnya wasilah itu, mengusahakan hukum dan sifat dari tujuan yang dimaksudkan mencapainya. Maka wasilah itu mengikuti tujuan. Ia tidak berdiri sendiri.
Bahagian Ketiga : Bahwa mencintai sesuatu, tidak karena dzat se­suatu itu. Tetapi untuk yang lain. Dan yang lain itu, tidak kembali kepada segala bahagiannya dalam dunia. Tetapi kembali kepada segala bahagiannya di akhirat.
Maka inipun jelas, tak ada kekaburan padanya. Dan yang demikian itu, seperti orang yang mencintai gurunya dan syaikhnya. Karena dengan guru dan syaikhnya itu, ia berhasil untuk memperoleh ilmu dan kepandaian beramal. Dan maksudtiya dari ilmu dan amal itu, ialah kemenangan di akhirat.
Maka ini, termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitu pula orang yang mencintai muridnya. Ka­rena murid itu memperoleh ilmu daripadanya. Dan ia mencapai de­ngan perantaraan muridnya itu : pangkat pengajar. Dan ia meningkat dengan itu, ke derajat: pengagungan di alam tinggi (alam mala kut). Karena Isa as. bersabda : "Barangsiapa belajar, berbuat dan mengajar, maka orang yang demikian itu dinamakan : 'Orang besar, di alam tinggi'
Mengajar itu tidak akan sempurna, kecuali ada yang belajar (murid). Jadi murid itu adalah alat (media) untuk memperoleh kesempurnaan tersebut. Maka kalau ia mencintai murid, karena menjadi alatnya, sebab murid itu menjadikan dadanya kebun untuk tanaman dari guru, yang menjadi sebab meningkatnya guru itu ke tingkat :pengagungan dialam malakut, maka adalah ia mencintai pada jalan Allah.
Bahkan orang yang bersedekah dengan hartanya karena Allah, dikumpulkannya tamu-tamu dan disediakannya bagi mereka makan­an yang enak-enak, yang jarang terdapat, karena mendekatkan diri kepada Allah, lalu disayanginya tukang masak, karena bagus peker- jaannya dalam memasak, maka dia itu termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitu pula, kalau ia mencintai orang yang diserahkannya un­tuk menyampaikan sedekah (zakat) kepada orang yang berhak menerimanya, maka sesungguhnya ia mencintai orang itu pada jalan Allah. Bahkan kami tambahkan di atas ini lagi dan kami mengata­kan : "Apabila ia mencintai orang yang menjadi pelayannya pada mencuci pakaiannya, menyapu rumahnya dan memasak makanan- nya dan dengan itu ia dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ilmu pengetahuan atau amal perbuatan dan maksudnya dari mema- kai pelayan pada segala perbuatan yang tersebut itu, adalah untuk dapat menyerahkan seluruh waktunya bagi ibadah, maka ia adalah mencintai pada jalan Allah".
Bahkan kami tambahkan lagi dan kami mengatakan : "Apabila ia mencintai orang yang membelanjainya dengan harta, yang menolonginya dengan pakaian, makanan, tempat tinggal dan semua mak­sud yang dimaksudkannya di dunia, dan maksudnya dari jumlah yang demikian itu, adalah untuk dapat menyerahkan segala waktu­nya bagi ilmu dan amal yang mendekatkan kepada Allah, maka dia itu adalah mencintai pada jalan Allah".
Sesungguhnya, adalah suatu kumpulan dari orang-orang dahulu (salaf), yang keperluannya ditanggung oleh serombongan orang- orang kaya. Dan adalah yang menolong dan yang ditolong itu semua termasuk sebagian dari orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah.
Bahkan kami tambahkan lagi dan kami mengatakan: "Bahwa orang yang mengawini seorang wanita yang shalih, supaya ia terpelihara dengan wanita itu dari gangguan sethan dan dapat ia menjaga de­ngan wanita itu akan agamanya atau supaya ia memperoleh dari wanita itu anak yang shalih, yang akan berdo'a kepadanya dan ia mencintai isterinya itu, karena menjadi alat untuk mencapai mak- sud-maksud keagamaan tersebut, maka ia adalah mencintai pada jalan Allah".
Dan karena itulah, datang banyak hadits yang menerangkan dengan kesempumaan pahala dan balasan pada mengeluarkan perbelanjaan kepada keluarga, sehingga sesuap makanan yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam mulut isterinya. Bahkan kami mengata­kan : bahwa tiap-tiap orang yang terkenal mencintai Allah, mencin­tai kerelaan-Nya dan mencintai menemui-Nya di negeri akhirat, maka apabila ia mencintai orang lain, niscaya adalah ia mencintai pada jalan Allah. Karena tiada tergambaria mencintai sesuatu, kecuali ada kesesuaian untuk yang menjadi kecintaannya.
Yaitu: kerelaan Allah Azza wa Jalla. Bahkan aku tambahkan di atas ini lagi dan aku mengatakan : apabila berkumpul di dalam hatinya dua kecintaan : kecintaan kepada Allah dan kecintaan kepada dunia dan berkumpul pada orang seorang dua maksud bersama-sama, sehingga patut untuk ia memperoleh wasilah (jalan) kepada Allah dan kepada dunia. Maka apabila dicintainya itu untuk kebaikan kedua hal ter­sebut, niscaya adalah ia termasuk orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Seperti: orang mencintai gurunya yang mengajarinya agama dan mencukupkan kepadanya segala keperluan duniawi, dengan memberikan harta. Maka dicintainya gurunya itu, di mana menurut sifatnya, ialah mencari kesenangan di dunia dan kebaha- gian di akhirat. Lalu gurunya itu, adalah wasilah kepada keduanya. Maka adalah ia mencintai pada jalan Allah.
Dan tidaklah termasuk syarat mencintai Allah, bahwa ia tidak men­cintai sedikitpun kebahagiaan di dunia. Karena do'a yang disuruh nabi-nabi, dimana pada do'a itu, berhimpun antara dunia dan akhirat. Dan sebahagian dari do'a yang semacam itu, ialah do'a :
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة
(Rabbanaa aatinaa fiddun-ya hasanah, wa fil-aakhirati hasanah). Artinya : "Wahai Tuhan kami! Datangkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat!".
Isa as. membacakan dalam do'anya : اللهم لا تشمت بي عدوي ولا تسؤ بي صديقي ولا تجعل مصيبتي لديني ولا تجعل الدنيا أكبر همى فدفع شماتة الأعداء من حظوظ الدنيا ولم يقل ولا تجعل الدنيا أصلا من همى بل قال لا تجعلها أكبر همى "Wahai Allah Tuhanku! Janganlah Engkau kecewakan musuhku, disebabkan aku! Janganlah Engkau burukkan temanku, disebabkan aku! Janganlah Engkau jadikan bahaya yang menimpa diriku, atas agamaku! Dan janganlah Engkau jadikan dunia, yang terbesar dari cita-citaku!". Maka menolak kekecewaan musuh, adalah termasuk bahagian duni­awi. Dan 'Isa as. tidak mengucapkan : "Janganlah Engkau jadikan dunia pokok dari cita-citaku!". Tetapi ia mengucapkan : "Jangan lah Engkau jadikan dunia itu, yang terbesar dari cita-citaku!".

Nabi kita Muhammad saw. membacakan pada do'anya :
اللهم إني أسألك رحمة أنال بها شرف كرامتك في الدنيا و الآخرة
(Allaahumma innii as-aluka rahmatan anaalu bihaa syarafa karaama- tika fiddun-ya wal-aakhirah).Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku memohonkan rahmat pada-Mu yang aku capai dengan rahmat itu akan kemuliaan kelimpahan kurnia-Mu, di dunia dan di akhirat!".  

Dan Nabi saw. membacakan :
اللهم عافني من بلاء الدنيا وعذاب الآخرة
(Allaahumma 'aafinii min balaa-id-dun-ya wa balaa-il-aakhirah). Artinya : "Wahai Allah Tuhanku! Datangkanlah kepadaku ke'afiatan dari bencana dunia dan bencana akhirat(2)
Kesimpulannya, maka apabila tidaklah kecintaan kepada kebahagiaan di akhirat berlawanan dengan kecintaan kepada Allah Ta'ala, maka kecintaan kepada keselamatan, kesehatan, kecukupan dan kemuliaan di dunia, lalu bagaimanakah ia berlawanan dengan kecin­taan kepada Allah?".
Dunia dan akhirat, adalah ibarat dua hal, yangsatu lebih dekat dari yang lain. Maka bagaimanakah dapat digambarkan bahwa manusia itu mencintai bahagian-bahagian untuk dirinya esok dan tidak men- cintai bahagian-bahagiannya yang hari ini? Sesungguhnya ia men­cintai yang esok, karena yang esok itu akan menjadi persediaan yang disediakan.
Maka yang disediakan itu, tak boleh tidak adalah dituntut juga. Kecuali bahagian-bahagian yang sekarang ini (di dunia), adalah ter- bagi kepada : yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang di akhirat dan yang mencegah daripadanya. Dan itu, yang dijaga benar daripadanya, oleh nabi-nabi dan wali-wali. Dan mereka menyuruh menjaga daripadanya. Dan kepada : yang tidak berlawanan. Yaitu : yang mereka, tidak mencegah diri daripadanya, seperti: nikah yang shih, memakan yang halal dan lain-lain.
Apa yang berlawanan dengan bahagian-bahagian yang akan dipero­leh di akhirat, maka hak dari orang yang berakal pikiran, memben- cikannya dan tidak mencintainya. Yakni: membencikanya dengan akal pikirannya, tidak dengan nalurinya. Sebagaimana ia membenci mengambil makanan yang enak untuk seorang raja, di mana ia mengetahui, kalau ia mengambil makanan tersebut, niscaya tangannya dipotong atau lehernya dipancung

(1)     Dirawikan AthThirmidzi dari Ibnu Abbas dalam suatu hadits yang panjang, me­ngenai do'anya Nabi saw. sesudah shalat malam (shalat tahajjud).
(2)     Dirawikan Ahmad dari B&syar bin Abi Arthah, dengan sanad baik.
266
Bukan dengan pengertian, bahwa makanan yang lazat rasanya itu, ia tidak merindukannya dengan nalurinya dan tidak merasa kelezatannya, jikalau dimakannya. Karena yang demikian itu, adalah mustahil. Tetapi, dengan penger­tian, bahwa ia digertak dengan siksaan oleh akal pikirannya, untuk datang mengambil makanan tersebut. Dan terjadilah padanya ke- bencian oleh kemelaratan yang berhubungan dengan makanan itu. Dan yang dimaksudkan dari ini, ialah jikalau ia mencintai gurunya, karena menolongnya dan mengajarinya. Atau ia mencintai murid­nya, karena murid itu belajar padanya dan berkhidmat padanya. Dan salah satu dari yang dua itu, adalah bahagian yang diperoleh- nya dengan segera (di dunia) dan yang lain pada masa yang lambat (di akhirat), niscaya adalah ia dalam rombongan orang-orang yang cinta-mencintai pada jalan Allah. Tetapi dengan satu syarat, yaitu : jikalau gurunya itu tidak mau memberikan kepadanya suatu ilmu -umpamanya- atau sukar ia memperoleh ilmu itu dari gurunya yang tersebut, niscaya berkuranglah kecintaannya disebabkan yang demi­kian. Maka kadar yang berkurang disebabkan tidak adanya yang tersebut tadi, itu adalah bagi Allah Ta'ala. Dan baginya atas kadar yang berkurang itu, mempunyai pahala kecintaan pada jalan Allah.
Dan tidaklah dapat dibantah, bahwa kecintaanmu bertambah keras kepada seseorang manusia, karena sejumlah maksud-maksud yang terikat satu sama lain bagimu dengan orang itu. Maka jikalau terhambat sebahagian dari maksud-maksud itu, niscaya berkuranglah kecintaanmu kepadanya. Dan jika bertambah bahagian dari maksud- maksud itu, niscaya kecintaanmu menjadi bertambah. Maka tidaklah kecintaanmu kepada emas, seperti kecintaanmu ke­pada perak, apabila jumlahnya bersamaan. Karena emas itu menyampaikan kepada maksud-maksud yang lebih banyak, dari apa yang dapat disampaikan oleh perak.
Jadi, kecintaan itu bertambah dengan bertambahnya maksud. Dan tidaklah mustahil berkumpul maksud-maksud duniawi dan ukhrawi (maksud-maksud dunia dan akhirat). Maka itu adalah termasuk da­lam jumlah kecintaan kepada Allah. Dan batasnya, ialah : bahwa tiap-tiap kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah dan hari akhirat, lalu tidak tergambar adanya kecintaan itu, maka itu adalah kecintaan pada jalan Allah. Dan begitu pula, tiap-tiap tambahan pada kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah, niscaya tam­bahan itu tidak ada. Maka tambahan tersebut adalah dari kecintaan pada jalan Allah.
Yang demikian itu, walaupun halus, adalah ia mulia. Al-Jurairi berkata : "Manusia bergaul pada kurun pertama dengan agama, sehingga tipislah agama itu. Mereka bergaul pada kurun ke­dua dengan kesetiaan, sehingga hilanglah kesetiaan itu. Dan pada kurun ketiga, dengan kehormatan diri (muru-ah), sehingga hilanglah kehormatan diri itu. Dan tidak ada tinggal, selain dari ketakutan dan keinginan".


Bahagian Keempat: bahwa ia mencintai karena Allah dan pada jalan Allah. Tidak untuk memperoleh daripadanya ilmu atau pekerjaan. Atau untuk dipergunakan menjadi wasilah kepada sesuatu hal, diba Iik diri orang itu sendiri. Dan inilah derajat yang tertinggi! Dan itu lah yang paling halus dan yang paling kabur. Bahagian ini juga mungkin. Karena setengah dari bekas kerasnya kecintaan, ialah bahwa melampaui dari yang dicintai, kepada tiap- tiap orang yang bersangkutan dengan yang dicintai dan yang bersesuaian dengan yang dicintai, walaupun dari jauh. Maka orang yang mencintai seorang manusia dengan kecintaan yang keras, niscaya ia mencintai orang yang mencintai manusia itu. Ia mencintai orang yang dicintai oleh manusia itu. Ia mencintai orang yang melayani manusia itu. Ia mencintai orang yang dipuji oleh kecintaannya itu.
Dan ia mencintai orang yang bekerja cepat untuk kesenangan ke­cintaannya itu. Sehingga berkata Baqiyah bin al-Walid : "Bahwa orang mu'min apabila mencintai orang mu'min, niscaya ia mencin­tai akan anjingnya". Dan benarlah apa yang dikatakan oleh Baqiyah itu. Dibuktikan oleh percobaan dalam keadaan orang-orang yangsedang asyik dan maksyuk. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh syair-syair para penyair. Dan karena itulah, orang menyimpan kain dari kecintaannya dan menyembunyikannya untuk kenang-kenangan dari pihak kecintaannya itu. Dan mencintai rumah, tempat tinggal dan tetangga dari kecintaan. Sehingga ber- madahlah seorang yang mabuk cinta (majnun) dari kabilah (suku) Bani 'Amir:
"Aku lalu dihadapan rumah, rumah kecintaanku Laila. Aku menghadap ke dinding ini dan ke dinding itu Tidaklah kecintaan kepada rumah, yang melekat pada jantung hatiku. Tetapi kecintaan kepada orang, yang mendiami rumah itu . . . .
Jadi, penyaksian dan percobaan menunjukkan, bahwa kecintaan itu melampaui dari diri yang dicintai, kepada yang mengelilinginya, yang berhubungan dengan sebab-sebabnya dan yang bersesuaian dengan dia, walaupun dari jauh. Tetapi yang demikian itu, adalah dari salah satu kekhususan bersangatannya kecintaan. Maka pokok kecintaan, tidaklah mencukupi pada orang yang dicintai saja. Dan adalah meluasnya kecintaan itu pada melampauinya dari yang dicintai, kepada yang meliputi, yang mengelilingi dan yang ber- sangkutan dengan sebab-sebabnya, menurut berlebih-lebihan dan kuatnya kecintaan itu.
Dan seperti itu pulalah kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, apabila kuat dan mengeras pada hati dan menguasai pada­nya. Sehingga sampai kepada batas membuta tuli. Maka melampauilah kecintaan itu, kepada segala yang ada (maujud), selain Dia. Karena segala yang maujud, selain Dia, adalah bekas dari bekas qudrah-Nya. Dan barangsiapa mencintai seorang manusia, niscaya dicintainya akan perbuatan, tulisan dan segala pekerjaan dari manusia itu.
Dan karena itulah, Nabi saw. apabila dibawa kepadanya buah- buahan yang menjadi petikan pertama dari pohonnya, lalu beliau menyapu kedua matanya dengan buah-buahan itu dan memulia- kannya. Dan bersabda :انه قريب العهد بربنا (Innahu qariibul-'ahdi birabbinaa). Artinya : "Dia baru saja dengan Rabb kita". (1.Hasan dan shahih) Mencintai Allah Ta'ala, sekali adalah benarnya harapan pada janji- janji-Nya dan apa yang akan teijadi di akhirat dari nikmat-Nya. Sekali, karena apa yang telah terdahulu, dari rahmat-rahmat-Nya dan bermacam-macam nikmat-Nya. Sekali, karena Dzat-Nya, tidak karena sesuatu hal yang lain. Dan inilah yang terhalus dan yang tertinggi, dari segala macam kecintaan. Dan akan datang pentahkikan (pembuktian)nya, pada "Kitab Kecintaan" dari Rubu’Al-Mun jiyat (Rubu' yang melepaskan) Insya Allahu Ta'ala. Betapapun kesepakatan kecintaan kepada Allah, maka apabila telah kuat, niscaya melampauilah kepada semua yang bersangkutan

(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, Abi Dawud dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah. Kata At-Tirmidzi, hadits ini baik (Hasan) dan shahih .
269
dengan Dia, dalam macam manapun sangkutan itu. Sehingga melampaui kepada apa, yang padanya menyakitkan.dan tidak menyukakan pada dirinya. Tetapi berlebihan cinta itu, melemahkan perasaan sakit. Dan kegembiraan dengan perbuatan orang yang dicintai dan perbuatan itu maksudnya menyakitkan, dapat menghilangkan perasaan kesakitan itu. Dan yang demikian, seperti kegembiraan dengan pukulan yang datang dari yang dicintai atau perkataan yang menyakitkan, di mana padanya semacam perkataan yang tidak menyenangkan.
Sesungguhnya kuatnya kecintaan yang membekas kesenangan itu, menghilangkan perasaan kesakitan. Dan telah sampailah kecintaan kepada Allah bagi suatu kaum, sehinga sampailah mereka itu me­ngatakan : "Kami tidak membedakan antara bencana dan nikmat. Karena semuanya itu dari Allah. Dan tidak kami bergembira, kecuali dengan yang ada padanya kerelaan Allah". Sehingga setengah mereka mengatakan : "Aku tidak bermaksud memperoleh peng ampunan Allah pada kemaksiyatan kepada Allah".Samnun bermadah :
Tidaklah bagiku,
bahagian pada selain Engkau.
Maka bagaimanapun kehendak-Mu,
cobakanlah kepadaku     ".
Dan akan datang pentahkikan yang demikian, pada Kitab Kecin­taan. Dan yang dimaksud, ialah : bahwa kecintaan kepada Allah apabila telah kuat, niscaya membuahkan kecintaan kepada tiap- tiap orang yang berdiri dengan hak peribadatan kepada Allah, mengenai pengetahuan atau amalan. Dan membuahkan kecintaan kepada tiap-tiap orang yang ada padanya, sifat yang direlai Allah, dari kelakuan yang baik atau beradab dengan adab-adab agama. Dan tidaklah dari seorang mu'min yang mencintai akhirat dan mencintai Allah, melainkan apabila diterangkan kepadanya, ten­tang hal dua orang. Yang seorang alim abid, dan yang seorang lagi jahil fasiq. Maka ia memperoleh pada dirinya, kecondongan kepada orang alim yang abid. Kemudian kecondongan itu lemah dan kuat, menurut kelemahan dah kekuatan imannya. Dan menurut kelemah- an dan kekuatan cintanya kepada Allah. Dan kecondongan itu di- peroleh, walaupun kedua orang itu jauh daripadanya, dimanaia mengetahui, bahwa dia tidak akan memperoleh dari kedua orang tersebut, kebajikan atau kejahatan, baik di dunia atau diakhirat.
Maka kecondongan itu, ialah kecintaan kepada Allah dan karena Allah, tanpa memperoleh bahagian apa-apa. Sesungguhnya ia men­cintai orang itu, karena Allah mencintainya. Dan karena orang itu memperoleh kerelaan pada sisi Allah Ta'ala. Dan karena ia mencin­tai Allah Ta'ala. Dan ia selalu beribadah kepada Allah Ta'ala. Kecuali, apabila kecintaan itu lemah, niscaya bekasnya tidak me- nampak dan tidak lahir padanya pembalasan dan pahala.
Apabila jtecintaan itu kuat, niscaya membawa kepada berkawan, tolong-menolong, memelihaia jiwa, harta dan lidah. Dan manusia berlebih-kurang padanya, menurut berlebih-kurangnya mereka mencintai Allah Azza wa Jalla. Dan adalah kalau kecintaan itu terbatas, kepada memperoleh bahagian yang akan diperoleh dari yang dicintai, baik sekarang atau pada masa yang akan datang, niscaya tidaklah tergambar mencintai orang-orang yang telah me- ninggal, dari alim 'Ulama, abid-abid, para shahabat dan tabi'in. Bahkan juga nabi-nabi yang telah silam, kiranya rahmat dan sejah- tera daripada Allah berkekalan kepada mereka sekalian. Dan kecin­taan kepada semua mereka itu, adalah tersembunyi dalam hati tiap-tiap muslim yang beragama.
Yang demikian itu, jelas dengan marahnya, ketika musuh-musuh mencaci salah seorang dari mereka yang tersebut tadi dan dengan senangnya ketika mereka mendapat pujian dan disebutkan kebaikan- kebaikan mereka. Semuanya itu adalah kecintaan karena Allah. Karena mereka, adalah hamba-hamba Allah yang tertentu. Barang­siapa mencintai seorang raja atau seorang yang baik, niscaya ia mencintai pembantu-pembantu dan pelayan-pelayannya. Dan men­cintai orang-orang yang dicintai oleh raja atau orang yang baik tadi. Kecuali dia itu menguji akan kecintaannya dengan timbal-balik de­ngan segala bahagian untuk dirinya. Kadang-kadang mengeras, di mana tidak tinggal bagi dirinya bahagian, selain pada yang menjadi bahagian bagi yang dicintai.
Dan tentang itu, bersajaklah orang yang bersajak :
Aku mau bersilaturrahmiy,
ia mau meninggalkan aku.
Lalu aku tinggalkan apa yang aku kehendaki,
untuk apa yang ia mau  ".
Dan berkatalah orang yang mengatakan :
"Apalah luka itu 
apabila telah menyenangkan bagimu kesakitan "
Kadang-kadang kecintaan itu, ditinggalkan sebahagian dan tinggal lagi sebahagian. Seumpama : orang yang diperbolehkan oleh jiwa- nya untuk menyerahkan kepada kekasihnya, setengah hartanya atau sepertiganya atau sepersepuluhnya. Maka menurut jumlah harta yang diserahkan itu, adalah menjadi timbangan kecintaannya. Karena tidak diketahui .tingkat kecintaan itu, melainkan dengan kecintaan yang ditinggalkan sebagai timbal-baliknya. Maka orang yang tenggelam dalam kecintaan dengan seluruh jiwanya, niscaya tidaklah tinggal baginya lagi, kecintaan yang lain. Maka tidaklah ditahan untuk dirinya sesuatu, seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Beliau tidak meninggalkan lagi untuk dirinya sendiri, baik keluarga atau harta. Maka diserahkannya puterinya yang menjadi jantung hatinya dan diberikannya semua hartanya.
Ibnu 'Umar ra. berkata :
"Sewaktu Rasulullah saw. sedang duduk dan di sisinya Abu Bakar dengan memakai baju kemeja panjang, yang telah koyak pada dadanya beberapa lobang, tiba-tiba turun Jibril as. Maka Jibril as. menyampaikan salam sejahtera daripada Allah kepada Nabi dan mengatakan :

"Wahai Rasulullah! Mengapakah saya melihat Abu Bakar dengan memakai baju kemeja pan­jang, yang telah koyak pada dadanya beberapa lobang?".
Nabi saw. menjawab : "Beliau telah membelanjakan hartanya kepadaku sebelum penaklukan Makkah".

Jibril menyambung: "Sampaikanlah salam sejahtera daripada Allah kepadanya dan katakanlah kepadanya : 'Tuhanmu bertanya kepa­damu : 'Adakah engkau rela dari-Ku tentang kemiskinanmu ini atau engkau marah?'".
Ibnu 'Umar ra. menerangkan seterusnya :

Lalu Nabi saw. berpaling kepada Abu Bakar dan bersabda :
Wahai Abu Bakar! Inilah Jibril yang membacakan kepadamu salam sejahtera daripada Allah dan berfirman : 'Adakah engkau rela dari-Ku tentang kemiskinan­mu ini atau engkau marah?'".

Ibnu 'Umar meneruskan ceriteranya :
Maka menangislah Abu Bakar ra. seraya berkata : "Adakah aku marah kepada Tuhanku? Aku rela kepada Tuhanku, aku rela kepada Tuhanku!". (1) Maka dapatlah diambil kesimpulan dari ini, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai orang alim atau orang abid atau mencintai orang yang menggemari ilmu atau ibadah atau kebajikan, maka sesung guhnya ia mencintai orang yang tersebut tadi, pada jalan Allah dan karena Allah. Dan ia memperoleh pahala dan pembalasan, menurut kekuatan kecintaannya.

(1) Dirawikan Ibnu Hibban dan Al-'Uqaili, dalam golongan orang-orang yang dia'if haditsnya. Dan Adz-Dzahabi berkata dalam "Al-Mizan", bahwa hadits ini dusta. (Al-Iraqi dalam catatannya dihalaman bawah "Ihya"). - Peny
272

Maka inilah uraian kecintaan pada jalan Allah dan tingkat-tingkatnya. Dan dengan ini, menjadi jelaslah pula tentang kemarahan pada jalan Allah. Tetapi akan kami tambahkan lagi penjelasan:
Penjelasan Kemarahan pada jalan Allah.
Ketahuilah kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai pada jalan Allah, niscaya tak boleh tidak, ia memarahi pada jalan Allah. Karena jikalaulah engkau mencintai seseorang manusia, karena ia mentha'ati Allah dan ia tercinta pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah, niscaya tak boleh tidak, engkau akan memarahinya. Karena ia berbuat maksiyat kepada Allah dan ia tercela pada sisi Allah.
Dan barangsiapa mencintai disebabkan sesuatu sebab, maka dengan sendirinya ia memarahi bagi la wan sebab itu. Dan hal yang dua ini, adalah perlu-memerlukan. Tidak berpisah yang satu dari lainnya. Dan itu menurut kebiasaan, banyak terjadi pada kecintaan dan kemarahan; Tetapi masing-masing dari kecintaan dan kemarahan itu, penyakit yang tertanam dalam hati. Dan sesungguhnya ia tiris ketika mengeras. Ia tiris dengan lahirnya perbuatan orang-orang yang mencintai dan yang memarahi, pada dekat-mendekati dan jauh-menjauhi, pada perselisihan dan persesuaian. Maka apabila telah lahir pada perbuatan, niscaya dinamakan yang demikian : berteman dan bermusuh. Dan karena itulah, Allah Ta'ala berfirman : "Adakah engkau mengambil seorang teman pada jalan agama-Ku ?. Adakah engkau bermusuh dengan seorang musuh pada jalan agama-Ku?", sebagaimana telah kami nukilkan dahulu.
Dan ini adalah jelas terhadap prang yang tiada terang bagimu, selain dari ketha'atannya yang menentukan bagimu untuk mencintainya. Atau tiada jelas bagimu, selain dari kefasiqan dan kedzalimannya dan budi-pekertinya yang jahat. Lalu engkau menentukan untuk memarahinya.
Sesungguhnya yang sulit, ialah apabila bercampur ketha'atan de­ngan kema'shiatan. Maka engkau akan bertanya : "Bagaimanakah aku kumpulkan antara marah dan cinta, sedang keduanya itu ber­lawanan?".
Dan begitu pula berlawanan buahnya, dari persesuaian dan perseli- sihan, pershahabatan dan permusuhan.
Maka aku menjawab, bahwa yang demikian itu tidaklah berlawanan terhadap Allah Ta'ala, sebagaimana tidak berlawanan pada bahagian- bahagian kemanusiaan. Karena manakala berkumpul pada diri sese- orang, beberapa perkara yang disenangi sebahagiannya dan tidak disukai sebahagiannya, maka engkau mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari segi yang lain,
Orang yang mempunyai seorang isteri yang cantik yang durhaka atau seorang anak yang cerdik dan patuh, tetapi fasiq, maka ia akan mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari suatu segi. Dan adalah bersama orang itu, atas suatu keadaan diantara dua keadaan. Karena kalau diumpamakan, ia mempunyai tiga orang anak : seorang cerdik yang selalu berbuat kebaikan, seorang bodoh yang durhaka dan seorang lagi bodoh yang selalu berbuat kebaikan atau cerdik yang mendurhakai orang tuanya, maka orang tersebut, akan menjumpai pada dirinya, bersama anak-anaknya itu, dalam tiga hai yang berlebih-kurang, menurut berlebih-kurangnya hal-hal yang menyangkut dengan anak-anaknya.
Maka begitu pula, seyogialah keadaanmu terhadap orang yang ba­nyak berbuat kedzaliman dan orang yang banyak berbuat ketha'- atan. Dan orang yang berkumpul padanya kedua-duanya, berlebih- kurang di atas tiga tingkat. Yaitu : engkau berikan kepada masing- masing sifat tadi, bahagiannya, dari kemarahan dan kesayangan, berpaling daripadanya dan menoleh kepadanya, berteman dan memutuskan perhubungan dan tindakan-tindakan lain yang timbul daripadanya.
Kalau engkau bertanya : "Tiap-tiap muslim itu, adalah keislamannya merupakan ketha'atan daripadanya. Maka bagaimanakah aku memarahinya serta keislamannya itu?".
Aku menjawab, bahwa engkau menyayanginya adalah karena keis­lamannya. Dan engkau memarahinya adalah karena kema'shiatannya. Dan adalah engkau terhadap orang itu dalam suatu keadaan, jikalau engkau bandingkan keadaan tersebut dengan keadaan orang kafir atau orang dzalim, niscaya engkau memperoleh perbedaan diantara keduanya. Dan perbedaan itu adalah kecintaan bagi Islam dan menunaikan hak Islam. Dan kadar pelanggaran terhadap hak Allah dan ketha'atan kepadamu, adalah seperti pelanggaran terha­dap hakmu dan ketha'atan kepadamu. Orang yang bersesuaian dengan kamu pada suatu maksud dan berlainan dengan kamu pada maksud yang lain, maka adalah kamu bersama orang itu, dalam keadaan di tengah.
Diantara tergenggam dan terlepas. Diantara menghadap dan berpaling. Diantara berkasih-kasihan kepadanya dan berjauhan hati daripadanya. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan memuliakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan pada memulia­kan orang yang bersesuaian dengan kamu, dalam semua maksudmu. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan menghinakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan menghinakan orang yang berselisih dengan kamu dalam segala maksudmu. Kemudian keadaan di tengah itu (ta-tawash-shuth), sekali adalah kecondongannya ke pinggir penghinaan, ketika mengerasnya pelanggaran. Pan sekali ke pinggir berbaik-baikan dan pemliliaan, ketika mengerasnya persesuaian. Maka begitulah seyogianya terhadap orang yang mentha'ati Allah Ta'ala dan mendurhakai-Nya, yang berbuat sekali bagi kerelaan-Nya dan pada kali yang lain bagi kemarahan-Nya.
Kalau engkau bertanya : "Dengan apakah kemarahan itu mungkin dilahirkan?".
Aku menjawab : adapuh mengenai perkataan, maka sekali dengan mencegah lisan daripada berkata-kata dan bercakap-cakap dengan dia. Dan pada kali yang lain,dengan meringankan dan memberatkan perkataan itu. Mengenai perbuatan, maka sekali dengan memutuskan usaha memberi pertolongan kepadanya. Dan pada kali yang lain, dengan usaha yang memburukkan dan merusakkan segala maksudnya.
Dan sebahagian ini, lebih keras dari sebahagian yang lain. Yaitu menurut tingkat kefasiqan dan kema'shiatan yang timbul dari­padanya. Adapun hal yang terjadi karena kesilapan, yang diketahui bahwa orang itu menyesal atas perbuatan tersebut dan ia tidak meneruskannya lagi, maka yang lebih utama ialah menutup dan me- micingkan mata daripadanya.
Adapun yang dikerjakannya terus-terusan, baik kecil atau besar, maka jikalau orang itu termasuk orang yang kuat berkasih-kasihan, pershahabatan dan persaudaraan antara engkau dan dia, maka un­tuk itu mempunyai hukum lain. Dan akan datang penjelasannya. Dan pada persoalan ini terdapat perbedaan antara para 'ulama. Adapun apabila tiada teguh persaudaraan dan pershahabatan, maka tak boleh tidak daripada menampakkan bekas kemarahan. Adakala­nya berpaling muka dan menjauhkan diri daripadanya, serta sedikit sekali menoleh kepadanya. Dan adakalanya meringankan dan mem­beratkan perkataan kepadanya. Dan ini adalah lebih berat daripada berpaling muka daripadanya. Yaitu menurut berat dan ringannya kema'shiatan.
Begitu pula tentang perbuatan, terdapat dua tingkat. Salah satu daripadanya, memutuskan pertolongan, kekasih-sayangan dan perbantuan. Dan itu adalah tingkat yang paling rendah. Dan tingkat yang lain (tingkat yang Satu lagi), ialah berusaha merusakkan segala maksudnya, seperti perbuatan musuh yang sangat marah. Dan ini tak dapat tiada daripadanya. Tetapi, adalah pada sesuatu yang dapat merusakkan padanya jalan kema'shiatan. Adapun hal- hal yang tak membekas padanya, maka janganlah diperbuat. Umpamanya : orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah dengan jneminum khamar dan ia telah meminang seorang wanita. Jikalau mudah ia mengawininya, niscaya ia amat gembira dengan wanita tersebut, disebabkan harta, kecantikan dan kemegahannya. Hanya, yang demikian itu, tidak membekas untuk mencegahnya dari meminum khamar dan tidak untuk membangkit dan menggerakkannya- kepada meminum khamar.
Maka apabila engkau sanggup menolongnya, supaya sempuma maksudnya dan hajatnya itu dan engkau sanggup pula untuk mengacaukan maksudnya itu, supaya maksudnya tadi tidak tercapai, maka janganlah engkau berusaha mengacaukannya. Adapun menolong, kalau engkau tinggalkan memberi pertolongan itu, un­tuk melahirkan kemarahan kepadanya karena kefasiqannya, maka tiada mengapa. Dan tidaklah wajib meninggalkan pertolongan itu. Karena kadang-kadang engkau mempunyai niatan untuk melahirkan kasih-sayang dengan memberi pertolongan dan menampakkan belas- kasihan kepadanya. Supaya ia percaya akan kasih-sayangmu dan menerima akan nasehatmu.
Ini adalah baik. Dan kalau tidak jelas yang demikian bagimu, tetapi engkau berpendapat untuk menolongnya, buat mencapai maksud­nya, sebagai pelaksanaan terhadap keislamannya, maka yang demi­kian itu, tidaklah dilarang. Bahkan adalah yang terbaik, jikalau kema'shiatannya itu, adalah pelanggaran terhadap hakmu atau hak orang yang ada sangkutannya dengan kamu. Dan mengenai ini, tersebut dalam firman Allah Ta'ala :
وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
(Wa laa ya'tali ulul fadl-li minkum wassa'ati an-yu'tuu ulil qurbaa wal-masaakiina wal-muhaajiriina fii sabiilillaahi wal-ya'fuu wal-yash- fahuu alaa tuhibbuuna an-yaghfirallaahu lakum).Artinya: "Dan janganlah orang-orang yang mampu dan berkela pangan dari antara kamu (bersumpah) tidak mau membantu akan keluarga yang dekat dan orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, tetapi hendaklah mereka ma'afkan dan ber lapang dada. Bukankah engkau suka kiranya Allah mengampun- kan kamu". S. An-Nur, ayat 22.
Karena Musaththah bin Atsatsah yang membicarakan ke sana-sini tentang peristiwa berita bohong itu (berita fitnah tentang perbuatan seorang laki-laki terhadap 'A-isyah ra.). Lalu Abu Bakar ra. bersum­pah untuk memutuskan bantuannya kepada Musaththah tersebut, di mana beliau memberi pertolongan harta kepadanya. Maka turunlah ayat tadi, serta betapa besarnya kema'shiatan yang dilakukan Musaththah. Dan manakah ma'shiat yang melebihi dari tuduh an yang amat keji itu terhadap isteri Rasulullah saw. dan meman jangkan lidahnya kepada seumpama 'A-isyah ra.?
Kecuali Abu Bakar Shiddiq ra. (ayahanda 'A-isyah ra.) adalah orang yang terani aya dirinya dengan peristiwa itu dan memberi ma'af kepada orang yang berbuat aniaya dan berbuat baik (ihsan) kepada orang yang berbuat jahat, adalah termasuk akhlaq orang-orang shiddiq. Dan sesungguhnya amatlah baiknya berbuat ihsan kepada orang yang berbuat aniaya kepada kamu. Adapun orang yang berbuat dza­lim kepada orang lain dan melakukan perbuatan ma'shiat kepada Allah dengan dia, maka tidaklah baik' berbuat ihsan kepadanya. Karena pada berbuat ihsan kepada orang dzalim, adalah berbuat kejahatan kepada orang yang teraniaya. Dan hak orang yang teraniaya adalah lebih utama dipelihara. Dan menguatkan hatinya dengan memalingkan muka dari orang dzalim, adalah lebih disukai oleh Allah, daripada menguatkan hati orang dzalim.
Adapun apabila engkau menjadi Orang yang teraniaya, maka yang lebih baik, pada hak dirimu itu, mema'afkan dan berlapang dada. Cara orang-orang terdahulu (salaf), adalah berlain-lainan tentang menyatakan kemarahan terhadap orang-orang yang berbuat ma'­shiat. Dan mereka itu semua, sepakat melahirkan kemarahan terha­dap orang-orang dzalim, orang-orang bid'ah dan tiap-tiap orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah, dengan kema'shiatan yang menjalar kepada orang lain.
Adapun orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah pada dirinyasendiri, maka sebahagian salaf ada yang memandang, dengan mata kasih-sayang kepada semua orang-orang ma'shiat itu. Dan sebahagi­an dari mereka, ada yang sangat menantang dan memilih jalan berhijrah.
Adalah Ahmad bin Hanbal berhijrah (meninggalkan) orang-orang besar, dengan perkataan yang sedikit saja. Sehingga beliau mening­galkan Yahya bin Mu'in karena katanya : "Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang akan sesuatu. Dan kalau sultan membawa kepadaku sesuatu, niscaya aku ambil". Dan Ahmad bin Hanbal meninggalkan Al-Harts Al-Muhasibi, ten­tang setengah-setengah ia menolak kaum mu'tazilah. Dan mengata­kan : "Sesungguhnya haruslah pertama-tama engkau menyebutkan syubhat (keragu-raguan yang didatangkan oleh orang mu'tazilah itu). Dan engkau ajak manusia berpikir padanya. Kemudian engkau tolak dalil-dalil orang mu'tazilah itu".
Dan Ahmad bin Hanbal berhijrah dari Abu Tsaur, mengenai penta' wilannya akan sabda Nabi saw.:
أن الله خلق آدم على صورته
(Innallaaha khalaqa Aadama 'alaa shuuratih). Artinya : "Sesungguhnya Allah menjadikan Adam di atas bentuk Nya". (1)
Dan ini adalah keadaan yang berlainan dengan berlainannya niat. Dan niat itu berlain-lain an dengan berlainannya keadaan. Maka jikalau yang mengeras pada hati, adalah memandang kepada terpaksa dan lemahnya manusia dan bahwa manusia itu terperintah kepa­da apa yang ditaqdirkan baginya, niscaya ini membawa kepada tasaahul (memandang enteng) pada permusuhan dan kemarahan. Dan ia mempunyai segi tersendiri. Tetapi kadang-kadang berminyak- minyak air (al-mudahanah), menyerupai dengan yang demikian . Maka yang terbanyak membangkitkan kepada menutup mata dari perbuatan-perbuatan ma'shiat, ialah sifat berminyak-minyak air, menjaga hati, takut dari keliaran dan kejauhan hati. Kadang-kadang setan itu memakaikan yang demikian, kepada orang bodoh yang du- ngu, dengan orang itu memandang dengan mata kasih-sayang. Dan menghapuskan yang demikian, ialah : ia memandang kepada­nya dengan mata kasih-sayang, jika orang itu berbuat aniaya kepada khusus haknya sendiri. Dan mengatakan, bahwa orang itu terperin

1.Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
278
tah bagi perbuatan tersebut. Dan taqdir tidaklah bermanfa'at dari­padanya kehati-hatian. Dan bagaimanakah tidak diperbuatnya yang demikian dan sesungguhnya telah dituliskan yang demikian itu ke­padanya?
Maka hal yang seperti ini, kadang-kadang shah niat baginya pada memincingkan mata dari pelanggaran terhadap hak Allah. Dan ka­lau ia berkesal hati ketika pelanggaran terhadap haknya dan mena- ruh bel^ kasihan ketika pelanggaran terhadap hak Allah, maka ini adalah orang yang berminyak-minyak air, yang tertipu dengan salah satu dari tipuan-tipuan setan. Maka hendaklah waspada untuk yang demikian itu!.
Kalau anda mengatakan, bahwa derajat yang paling kurang pada melahirkan kemarahan, ialah meninggalkan, memalingkan muka , memutuskan kasih-sayang dan pertolongan, maka adakah yang de­mikian itu wajib, sehingga ma'shiatlah seorang hamba dengan me­ninggalkan kemarahan yang demikian?
Maka aku menjawab, bahwa tidaklah masuk yang demikian dalam ilmu dhahir dibawah taklif (pembebanan tugas agama) dan peng- wajiban. Sesungguhnya kita tahu, bahwa mereka yang meminum khamar dan mengerjakan perbuatan keji pada zaman Rasulullah saw. dan para shahabat, tidaklah para shahabat itu meninggalkan mereka secara keseluruhan. Tetapi cara shahabat itu, terbagi pada mengha- dapi orang-orang yang berbuat keji tadi, kepada: yang mengeraskan perkataan dan melahirkan kemarahan kepadanya, kepada yang ber­paling muka dan tidak mendatangi kepadanya dan kepada yang memandang kepada orang yang berbuat kekejian itu dengan mata kasih-sayang dan tidak memilih berputus silatur-rahim dan menjauhkan diri.
Maka inilah titik-titik halus keagamaan, yang berlainan padanya jalan orang-orang yang menjalani ke jalan akhirat. Dan adalah amal- an masing-masing, menurut yang dikehendaki oleh keadaan dan waktu. Dan yang dikehendaki oleh keadaan pada segala hal ini, ada­kalanya yang dimakruhkan atau yang disunatkan. Maka adalah pada tingkat hal-hal yang utama dan tidaklah berkesudahan kepada peng- haraman dan pengwajiban. Karena yang masuk di bawah taklif, ialah pokok pengenalan (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan pokok kecintaan. Dan yang demikian, kadang-kadang tidak melewati dari yang dicintai kepada lainnya. Dan yang melewati, ialah berlebih-le­bihan dan kerasnya kecintaan itu. Dan yang demikian, tidaklah sekali-kali masuk dalam fatwa dan dibawah taklif yang jelas pada pihak orang awam.
Penjelasan tingkat-tingkat mereka yang dimarahi pada jalan Allah dan cara bergaul dengan mereka.
Kalau anda mengatakan, bahwa melahirkan kemarahan dan permusuhan dengan perbuatan, jikalau tidak wajib, maka tidak ragu lagi, bahwa itu sunat. Dan orang-orang ma'shiat dan fasiq itu, adalah pada tingkat-tingkat yang berlain-lainan. Maka bagaimanakah mem­peroleh keutamaan bergaul dengan mereka? Adakah ditempuh suatu jalan, dengan semua mereka atau tidak? Maka ketahuilah, bahwa orang yang menyalahi perintah Allah siyt. selalu ada. Adakalanya menyalahi pada i'tiqad atau pada amalannya. Dan yang menyalahi pada i'tiqad, adakalanya orang bid'ah atau orang kafir. Dan orang bid'ah itu, adakalanya melakukan da'wah kepada kebid'ahannya atau berdiam diri saja. Dan yang berdiam diri itu, adakalanya disebabkan kelemahan atau pilihannya yang demi­kian.
Maka pembahagian kerusakan pada i'tiqad itu, adalah tiga :
Pertama : kekafiran (kufur). Dan orang kafir itu, kalau ia kafir harbi (kafir yang dalam keadaan perang dengan orang muslimin), maka ia berhak dibunuh dan diambil menjadi budak. Dan tak ada lagi penghinaan, sesudah yang dua ini.
Adapun kafir zimmi (kafir yang keamanannya dalam jaminan pemerintah Islam), maka tidak boleh menyakitinya. Kecuali dengan memalingkan muka daripadanya dan menghinakannya dengan pak- saan kepada jalan yang sempit dan meninggalkan memulai salam. Apabila ia mengucapkan: "Assalamu'alaika" السلام عليك (Salam sejahtera kepa­damu), maka engkau menjawab : وعليك "Wa'alaika" (Dan kepadamu). Dan yang lebih utama, ialah mencegah daripada bercampur, bergaul dan wakil-mewakilkan dengan dia.
Adapun berlapang dada dan berjinakkan hati kepadanya, sebagai­mana berjinakkan hati kepada teman-teman, adalah sangat makruh, yang hampir berkesudahan yang kuat dari kemakruhan itu, kepada batas pengharaman. Allah Ta'ala berfirman :
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
 (Laa tajidu qauman yu'-minuuna billaahi wa) y aumil-aakhiri yu waad duuna man haaddallaaha wa rasuulahu walau kaanu aabaa-ahum au-abnaa-ahum au-ikhwaanahum au-'asyiiratahum, ulaa-ika kataba fii quluubihimul-iimaana wa ayyadahum biruuhin minhu wayud- khiluhum jannaatin tajrii min tahtihal stnhaaru khaaiidiina fiiha, radliallaahu 'anhum waradluu 'anhu, ulaaika hizbullaahi alaa inna hizbailaahi humul-muflihuun).Artinya : "Engkau tidak akan mendekati kaum yang beriman ke­pada Allah dan hari akhirat, menunjukkan kecintaan mereka kepada orang-orang yang menantang Allah dan Rasul-Nya, walaupun adalah mereka (yang menantang) itu, bapa-bapa mereka atau anak-anak mereka atau saudara-saudara mereka atau keluarga mereka. Mereka itu telah dituliskan oleh Allah dalam hatinya keimanan dan telah dikuatkan-Nya mereka dengan pertolongan daripada-Nya dan la akan memasukkan mereka ke dalam sorga, yang mengalir padanya sungai-sungai, di mana mereka itu kekal di dalamnya, Allah telah merelai mereka dan merekapun rela kepada-Nya. Mereka itu tentara Allah. Ketahuilah, bahwa tentara Allah itulah yang memperoleh kemenangan". S. Al-Mujadalah, ayat 22.
Nabi saw. bersabda : المسلم والمشرك لا تتراءى ناراهما "Orang muslim dan orang musyrik tidaklah akan lihat-melihat neraka keduanya (1)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
(Yaa-ayyuhalladziina aamanuu laa tattakhidzuu 'aduwwii wa-'aduw- wakum auliyaa-a tulquuna ilaihim bil-mawaddah).Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu jadikan musuh-Ku dan musuhmu itu menjadi pemimpin, yang kamu tunjukkan kepada mereka kasih-sayang. Al-Mumtahanah, ayat 1.
Kedua: Orang yang berbuat bid'ah, yang mengajak orang lain kepa­da bid'ahnya. Jikalau bid'ah itu, di mana dapat mengkufurkan , maka keadaannya adalah lebih berat daripada orang dzimmi. Kare­na orang bid'ah itu, tidak diakui dengan pembayaran pajak (jizyah)* Dan tidak diperbolehkan mengadakan ikatan menjadi tanggung ja­wab pemerintah Islam ('aqdi dzimmah). Dan kalau orang bid'ah itu, termasuk orang yang tidak dihukum kafir, maka persoalannya dian-

(1) Dirawikan AnNasai dan kata AlBukhari bahwa hadits ini mursal.
281

tara dia..dan Allah, sudah pasti lebih ringan daripada persoalan orang kafir. Tetapi persoalan menantangnya, adalah lebih berat daripada orang kafir. Karena kejahatan kafir itu, tidaklah menjalar. Karena orang-orang Islam itu yakin atas kekafirannya. Maka mereka tidak menoleh kepada kata-katanya, disebabkan ia tidak mendak- wakan dirinya Islam dan ber'itiqad benar.
Adapun orang bid'ah yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya dan mendakwakan bahwa apa yang diajaknya itu adalah benar, maka itu adalah sebab tertipunya orang banyak. Kejahatannya menjalar kepada orang lain. Maka sunnah melahirkan kemarahan, permusuhan, memutuskan hubungan, menghinakan, memburuk- annya dengan kebid'ahannya dan mengajak manusia untuk menjauhkan diri daripadanya. Dan kalau ia memberi salam pada tempat yang tak ada orang, maka tiada mengapa menjawab salamnya.
Dan kalau anda ketahui, bahwa berpaling muka daripadanya dan berdiam diri daripada menjawab salamnya, adalah memburukkan kebid'ahan orang itu,pada dirinya dan mengesankan pada menjauh- kannya, maka meninggalkan jawab salamnya, adalah lebih utama. Karena menjawab salam, walaupun wajib, menjadi gugur dengan maksud yang kecil saja, di mana padanya ada kemuslihatan. Sehing­ga gugurlah wajib menjawab salam, dengan adanya orang yang me­nerima salam itu di kamar mandi atau sedang membuang air. Dan maksud pencegahan itu, adalah lebih penting dari maksud-maksud tadi.
Dan kalau salam dari orang bid'ah itu di muka orang banyak, maka meninggalkan jawabnya adalah lebih utama, untuk menjauhkan manusia daripadanya dan memburukkan kebid'ahannya dihadapan mereka.
Dan begitu juga lebih utama mencegah berbuat lisan dan memberi pertolongan kepada orang bid'ah itu. Lebih-lebih mengenai sesuatu yang tampak kepada orang banyak.
Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa menggertak orang bid"ah, niscaya ia diamankan oleh Allah pada hari kegundahan besar (hari qiamat). Dan barangsiapa melunakkan dan memuliakan orang bid'ah atau bertemu dengan dia dengan kegembiraan, maka sesungguhnya ia telah memandang ringan apa yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw.(1)
Ketiga : Orang bid'ah yang awam, yang tidak mampu mengajak orang dan tidak dikuatiri, orang akan mengikutinya. Maka perso alannya lebih mudah.

(1) Dirawikan Abu N’im dan Al-Harawi dari Ibnu 'Umar, dengan sanad dla'if.
282
Yang lebih utama, ialah tidak memburuk- burukkannya dengan kata-kata kasar dan penghinaan. Tetapi de­ngan kata-kata yang lemah-lembut, menasehatinya. Karena hati orang awam itu, lekas bertukar. Kalau nasehat itu tidak berman fa'at dan dengan memalingkan muka daripadanya adalah memburukkan kebid'ahannya pada diri orang itu, niscaya amatlah sunnah berpaling muka dari orang bid'ah itu.
Dan kalau diketahuinya bahwa yang demikian tidak membekas pada orang bid'ah tersebut, disebabkan keras tabi'atnya dan men dalam kepercayaan itu pada hatinya, maka memalingkan muka ada­lah lebih utama.
Karena bid'ah itu, apabila tidak secara berlebih-lebihan memburuk- kannya, niscaya menjadi terkenal diantara orang banyak dan meratalah kerusakannya.
Adapun orang yang berbuat ma'shiat dengan perbuatan dan amalan, bukan dengan i'tiqad, maka tidaklah terlepas, adakalanya dia itu, di mana orang lain mendapat kesakitan dengan sebab dia, seperti kedzaliman, perampokan, kesaksian palsu, cacian, pemukulan dian­tara orang banyak, berjalan kesana-kemari dengan lalat merah (berita fitnah) dan hal-hal yang seumpama dengan yang demikian. Atau ma'shiatnya itu tidak terbatas padanya saja, tetapi menyakit- kan orang lain juga. Dan yang demikian itu, terbagi kepada : apa yang membawa orang lain kepada kerusakan, seumpama orang yang memiliki tempat kejahatan, di mana ia mengumpulkan lelaki dan wanita dan menyediakan sebab-sebab minuman dan kerusakan, untuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Atau ia tiada mengajak orang lain kepada perbuatannya, seumpama orang yang meminum khamar dan meiakukan penzinaan.
Dan ini, yang tidak mengajak orang lain kepada perbuatannya, ada­kalanya ma'shiatnya itu dosa besar atau dosa kecil. Dan masing- masing daripadanya, adakalanya terus-menerus mengerjakan ma'­shiat atau tidak terus-menerus.
Maka dari pembahagian-pembahagian ini, berhasillah tiga bahagian. Dan tiap-tiap bahagian daripadanya mempunyai tingkatan. Dan setengahnya lebih keras dari yang lain. Dan tidaklah kami tempuh semuanya itu dengan satu jalan.
Bahagian Pertama : Yaitu yang lebih keras mendatangkan melarat kepada orang banyak, seperti : berbuat dzalim, merampok, naik saksi palsu, mengupat dan mem fitnah. Maka terhadap mereka itu, yang lebih utama, ialah berpaling muka dari mereka, meninggalkan bercampur-baur dan menghentikan bergaul. Karena kema'shiatan berat sekali, tentang apa yang mendatangkan kepada menyakit­kan orang banyak.
Kemudian, mereka itu terbagi kepada : orang yang berbuat dzalim pada darah (pembunuhan) dan kepada orang yang berbuat dzalim pada memalukan orang lain. Dan sebahagiannya, adalah lebih keras dari sebahagian yang lain. Maka disunatkan benar menghina dan berpaling muka dari orang-orang dzalim tersebut. Dan manakala diharapkan dari penghinaan, itu dapat mengejutkan mereka atau orang lain, maka hal yang demikian itu, lebih dikuatkan dan dike- raskan lagi.
Bahagian Kedua : Orang yang mempunyai tempat kejahatan, yang menyediakan segala sebab kerusakan dan memudahkan jalan keru- sakan itu kepada orang banyak. Maka orang tersebut, tidak menya­kitkan orang banyak pada dunia mereka. Tetapi dengan perbuatan itu, merusakkan keagamaan mereka. Dan kalau perbuatan itu, sesuai dengan kesukaan mereka, maka bahagian yang kedua ini, mendekati dengan bahagian yang pertama itu. Tetapi lebih ringan daripadanya. Karena kema'shiatan diantara hamba dan Allah Ta'ala, adalah lebih mendekati kepada kema'afan. Tetapi dari segi, bahwa perbuatan itu umumnya menjalar kepada orang lain, maka adalah lebih berat. Dan juga ini menghendaki penghinaan, memalingkan muka, memu- tuskan silaturrahim dan meninggalkan menjawab salamnya, apabila diduga bahwa pada tindakan yang demikian, adalah semacam ger- tak kepada orang itu dan kepada orang lain.
Bahagian Ketiga : Orang yang berbuat fasiq pada dirinya sendiri, dengan meminum khamar atau meninggalkan yang wajib atau me- ngerjakan yang terlarang yang tertentu baginya. Maka mengenai ini, persoalannya adalah lebih ringan. Tetapi jikalau dijumpai ia pada waktu sedang mengerjakan yang terlarang tadi, niscaya wajiblah dicegah dengan cara, di mana ia mencegah dirinya dari perbuatan itu. Meskipun dengan pukulan dan penghinaan. Karena mencegah dari yang munkar, adalah wajib.
Dan apabila orang itu telah selesai mengerjakan ma'shiat tersebut dan diketahui bahwa yang demikian itu adalah termasuk kebiasaan- nya dan ia selalu mengerjakan kejahatan itu, maka dalam hal ini, jikalau ia yakin bahwa nasehatnya mencegah orang itu dari kembali kepada kejahatan tadi, niscaya wajiblah dinasehati. Dan jikalau ia tidak yakin yang demikian, tetapi ia mengharap yang demikian, maka yang lebih utama, ialah menasehati dan menakutkannya de ngan kasar, jikalau yang demikian itu lebih bermanfa'at.
Adapun berpaling muka daripada menjawab salamnya dan mence­gah daripada bercampur-baur dengan dia, di mana dia itu diketah&i terus-menerus berbuat kejahatan dan nasehat tidak bermanfa'at kepadanya, maka dalam hal ini ada pandangan. Dan pendapat 'u- lama mengenainya, berbeda-beda. Dan yang shahih (yang benar), bahwa yang demikian itu, berbeda-beda dengan berbedanya niat orang.
Maka ketika ini, dikatakan : bahwa segala perbuatan itu dengan niat. Karena tentang kasih-sayang dan memandang dengan kaca- mata kesayangan kepada orang banyak, adalah semac^m merendah­kan diri (tawadlu'). Dan pada sikap kasar dan memalingkan muka, adalah semacam gertak. Dan yang diminta fatwa kepadanya, adalah hati. Maka apa yang dilihatnya, lebih condong kepada hawa nafsu- nya dan kehendak tabi'atnya, maka yang lebih utama, ialah lawan dari yang demikian.
Karena kadang-kadang adalah memandang enteng dan menggertak orang yang berbuat kejahatan itu, timbul dari kesombongan dan kebanggaan, merasa senang dengan melahirkan ketinggian dan pe- nunjukan kepada perbaikan. Kadang-kadang kasih-sayangnya itu, timbul dari berminyak-minyak air dan kecondongan hati untuk mencapai sesuatu maksud atau karena takut dari membekas keliaran dan keliaran hati pada kemegahan atau harta dengan dugaan yang dekat atau yang jauh. Dan semuanya itu kembali kepada penunjuk- an sethan dan jauh dari amal perbuatan orang-orang akhirat.
Maka tiap-tiap orang yang gemar pada 'amalan agama itu, bersung guh-sungguh dirinya memeriksa yang halus-halus ini dan mengintip (muraqabah) segala keadaan yang tersebut. Dan hati adalah yang mengeluarkan fatwa padanya. Kadang-kadang ia memperoleh kebe- naran padaijtihadnya dan kadang-kadang iatersalah. Kadang- kadang ia tampil mengikuti hawa nafsunya dan ia mengetahui yang demikian. Kadang-kadang ia tampil dan karena tertipu, lalu menyangka bahwa ia berbuat karena Allah dan berjalan pada jalan akhirat. Dan akan datang penjelasan yang halus-halus ini pada "Kitab Tertipu" dari "Rubu' Yang Membinasakan" (Rubu' Al- Muhlikat).
Dan ditunjukkan kepada peringanan persoalan, mengenai kefasiqan yang teledor, diantara hamba dan Allah, oleh riwayat: bahwa seorang peminum khamar dipukul dihadapan Rasulullah saw. ber- kali-kali. Dan orang itu kembali berbuat yang demikian. Lalu seorang shaKabat berkata: "Dikutuki Allah kiranya orang, yang alang­kah banyaknya meminum khamar".
Maka Nabi saw. menjawab :         
لا تكن عونا للشيطان على أخيك
(Laa takun 'aunan lisy-syaithaani 'alaa akhiika).
Artinya : "Janganlah engkau menolong sethan terhadap sudara-mu"min
Atau kata-kata lain yang diucapkan Nabi saw. yang searti dengan yang tadi. Dan ini menunjukkan bahwa berkasih-sayang adalah lebih utama daripada bersikap kasar dan keras.
Penjelasan : Sifat-sifat yang disyaratkan, mengenai orang yang dipilih menjadi teman.
Ketahuilah kiranya, bahwa tidak patut menjadi teman semua ma­nusia.
Nabi saw. bersabda :
المرء على دين خليله (Al-mar-u 'alaa diini khaliilihi, fal-yandhur ahadukum man yu- khaalil).Artinya : "Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman ". (2)
Dan tak boleh tidak, diperbedakan hal-hal dan sifat-sifat, di mana iaingin dengan sebab yang demikian, untuk bershahabat dengan orang itu. Disyaratkan hal-hal itu, menurut faedah yang dicari dari pershahabatan. Karena arti syarat ialah : yang tak boleh tidak dari­padanya, untuk sampai kepada maksud. Maka dengan tambahan kepada maksud tersebut, lahirlah syarat-syarat itu. Dari pershahabatan itu dicari faedah-faedah keagamaan dan keduniaan. Adapun faedah keduniaan, maka seperti memperoleh man­fa'at dengan harta atau kemegahan atau semata-mata berjinakkan hati dengan pandang-memandang dan bergaul. Dan tidaklah yang demikian itu, termasuk maksud kita di sini. Adapun faedah keaga­maan, maka berkumpul padanya maksud yang bermacam-macam. Karena setengah daripadanya, memperoleh faedah dari pengetahu­an dan amal perbuatan. Setengah daripadanya, memperoleh faedah dari kemegahan, di mana dengan kemegahan itu, kita dapat menjaga

(1)     Dirawikan Al-Bukhari dari Abu Hurairah.
(2)     Dirawikan Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah. Katanya : shahih. -Insya Allah.
286

daripada disakiti oleh orang yang mengganggu ketentraman hati. Dan yang menghambat dari beribadah. Setengah daripadanya, memperoleh faedah harta, untuk mencukupkan dengan harta itu, daripada menyia-nyiakan waktu pada mencari makanan. Setengah daripadanya, memperoleh pertolongan pada segala hal yang penting. Maka adalah yang demikian itu, senjata untuk meng- hadapi segala bahaya dan kekuatan dalam segala hal. Setengah daripadanya, memperoleh barakah dengan semata-mata mendo'a. 'Dan setengah daripadanya, menunggu syafa'at pada hari akhirat.
Berkata setengah salaf : "Carilah banyak teman! Karena sesung­guhnya tiap-tiap mu'min itu, mempunyai syafa'at. Maka semoga engkau dapat masuk ke dalam syafa'at temanmul". Diriwayatkan pada tafsir yang agak ganjil (tafsir gharib), tentang firman Allah Ta'ala :
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
(Wa yastajiibul-ladziina aamanuu wa 'amilush-shaalihaati wa yazii- duhum minfadl-Iih).Artinya: "Dan la memperkenankan (permintaan) orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan Ia menambahkan kepada mereka dari kurnia-Nya". S. Asy-Syura, ayat 26.
Berkata setengah salaf, menurut tafsir yang gharib itu, bahwa orang yang beriman dan yang beramal shalih, dapat memberi syafa'at kepada teman-temannya. Lalu ia memasukkan mereka ke dalam sorga bersama mereka. Dan dikatakan, bahwa apabila Allah meng ampunkan dosa seorang hamba, niscaya hamba itu dapat memberi syafa'at kepada teman-temannya. Karena itulah, dianjurkan oleh segolongan salaf supaya berteman, berjinak-jinakkan hati dan bercampur-baur. Mereka itu tiada menyukai pengasingan diri dan sendirian.
Inilah faedah-faedah itu, di mana tiap-tiap faedah meminta beberapa syarat. Dan faedah itu tidak akan berhasil, selain dengan syarat- syarat tersebut. Dan akan kami uraikan semuanya. Adapun secara keseluruhan, maka seyogialah hendaknya ada lima perkara pada orang yang akan dipilih menjadi teman. Yaitu : ber akal, baik budi-pekerti, tidak fasiq, tidak berbuat bid'ah dan tidak loba kepada dunia.
Adapun akal, adalah pokok dan itulah asalnya. Tak ada kebajikan berteman dengan orang bengal. Kesudahannya, akan kembali kepada keliaran hati dan putus silaturrahim, walaupun pershahabatan itu telah beijalan lama.
Sayidina 'Ali ra. bermadah :
Janganlah engkau berteman dengan orang bodoh,
awasilah dirimu dan dirinya………………………………………………..
Berapa banyak orang yang bodoh,
memburukkan orang penyabar ketika ia mengambil menjadi temannya.
Dibandingkan yang seorang dengan yang seorang, apabila orang itu sama-sama berjalan.
Sesuatu mempunyai dari sesuatu,perbandingan dan keserupaan.
 Qalbu terhadap qalbu, mempunyai petunjuk ketika perjumpaan
Betapa tidak? Orang bengal itu kadang-kadang mendatangkan kemelaratan kepadamu, sedang maksudnya mendatangkan keman- fa'atan kepadamu dan menolong kamu, di mana sebenarnya, ia tidak tahu.
Dan karena itulah, berkata penya'ir :
"Sesungguhnya aku merasa aman dari musuh yang berakal.
 Dan aku takut kepada teman yang ditelanjangi oleh gila.
Akal itu suatu macam dan jalannya aku ketahui, lalu aku perhatikan.
Dan gila itu bermacam-macam…………………….. . "
Dan karena itulah, dikatakan, bahwa memutuskan perhubungan dengan orang bengal, adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Ats-Tsuri berkata : "Memandang kepada muka orang yang bengal itu, adalah kesalahan yang dituliskan".
Kami maksudkan dengan "orang berakal", ialah orang yang mema- h&mi segala persoalan, menurut yang sebenarnya, Adakalanya oleh dirinya sendiri dan adakalanya apabila diberi peringatan oleh orang lain.
Adapun baik budi-pekerti, maka tak boleh tidak daripadanya. Karena banyaklah orang berakal, mengetahui segala sesuatu menu­rut yang sebenarnya. Tetapi apabila sangatlah marahnya atau nafsu syahwat atau kekikiran atau ketidak beranian, niscaya ia mengikuti hawa-nafsunya.
Dan ia menyalahi dengan apa yang diketahuinya. Karena lemahnya daripada paksaan sifat-sifatnya dan pembetulan budi-pekertinya. Maka tak ada kebajikan pada pershahabatan dengan dia. Adapun orang fasiq yang berkekalan pada kefasiqannya, maka tak ada faedah berteman dengan dia. Karena orang yang takut kepada Allah, tidak akan terus-menerus di atas dosa besar. Dan orang yang tidak takut kepada Allah, maka orang tidak akan merasa aman daripada tipuannya. Dan tidak dipercayai dengan kebenarannya. Tetapi ia selalu berobah dengan perobahan maksuk-maksudnya. Dan Allah Ta'ala berfirman :
وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
(Walaa tuthi' man aghfalnaa qalbahu 'an dzikrinaa wattaba-'a hawaah).
Artinya : "Dan janganlah engkau turut orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami dan ia menurutkan hawa nafsunya S. Al-Kahf., ayat 28.
Dan Allah Ta'ala berfirman :
فَلا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
(Falaa yashuddannaka 'anha man laa yu'-minu bihaa wattaba-'a hawaah).
Artinya : "Oleh yang demikian, janganlah engkau dipalingkan dari­pada (mempercayai)nya, oleh orang yang tidak percaya kepadanya serta menurut hawa nafsunya". S. Thoha, ayat 16.
Dan Allah Ta'ala berfirman :
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا     
(Fa a'-ridl 'amman tawallaa 'an dzikrinaa walam yurid-illal-hayaa- taddun-ya).
Artinya : "Oleh karena itu, maka tinggalkanlah orang yang berpa­ling dari mengingati Kami dan ia tidak ingin, selain dari penghidupan yang rendah ini". S. An-Najm, ayat 29. Dan Allah Ta'ala berfirman :
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
(Wattabi' sabiila man anaaba ilayya).
Artinya : "Dan turutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku!' S. Luqman, ayat 15.
Dan dalam pengertian yang tersebut itu, ialah menghardik daripada berteman dengan orang fasiq.
Adapun orang yang berbuat bid'ah maka berteman dengan dia, terdapat bahaya menjalarnya bid'ah itu dan berkembang kutukan bid'ah kepadanya. Dari itu, orang bid'ah berhaklah disingkir dan diputuskan hubungan silaturrahim.
Bagaimanakah ia dipilih menjadi shahabat? 'Umar ra. telah berka­ta, menghasung untuk mencari unsur keagamaan pada teman itu, menurut yang diriwayatkan Sa'id bin Al-Musayyab, di mana 'Umar ra. berkata : "Haruslah kamu berteman dengan orang-orang benar! Kamu akan hidup dalam lindungan mereka. Sesungguhnya mereka itu, adalah hiasan pada waktu senang dan perisai pada waktu susah. Letakkanlah persoalan saudaramu (temanmu) dalam keadaan yang sebaik-baiknya! Sehingga ia membawa kepada kamu, apa yang memenangkan kamu. Dan asingkanlah dirimu dari musuhmu dan berhati-hatilah dari temanmu, kecuali yang kepercayaan dari kamu itu! Dan tidak ada yang kepercayaan, selain orang yang takut ke­pada Allah. Maka janganlah engkau berteman dengan orang dzalim, nanti kamu akan memperoleh pengetahuan dari kedzalimaimya! Dan janganlah engkau perlihatkan kepadanya rahasia engkau! Dan bermusyawarahlah tentang urusanmu dengan orang-orang yang ta­kut kepada Allah!".
Adapun budi yang baik, maka telah dikumpulkan oleh 'Alqamah Al-'Atharidi di dalam wasiatnya kepada anaknya, ketika ia hampir meninggal dunia. Ia berkata : "Hai anakku! Apabila datang keper- luan bagimu untuk berteman dengan orang, maka bertemanlah dengan orang, di mana apabila engkau melayaninya, niscaya ia menjaga engkau! Dan jikalau engkau menemaninya, niscaya ia menimbang dengan penghargaan akan engkau. Dan jikalau engkau memerlukan perbelanjaan, niscaya ia membelanjai engkau. Berte­manlah dengan orang, apabila engkau mengulurkan tanganmu kepa­danya dengan kebajikan, niscaya iapun mengulurkannya. Jikalau ia melihat daripadamu kebajikan, niscaya diperkirakannya. Dan jikalau ia melihat kejahatan, niscaya ditutupkannya. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau meminta padanya, niscaya diberikannya kepadamu! Dan kalau engkau berdiam diri, niscaya dimulainya memberikan kepadamu! Dan jikalau datang bencana kepadamu, niscaya ditolongnya kamu. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau berkata, niscaya dibenarkannya perkataanmu! Dan kalau kamu berdua berusaha tentang sesuatu, niscaya dipentingkannya urusanmu. Dan kalau kamu berdua berselisih, niscaya diutamakannya kamu".
Seakan-akan 'Alqamah telah mengumpulkan dengan perkataannya itu, segala hak pershahabatan. Dan disyaratkannya supaya anaknya itu, menjalankan semuanya.
Berkata Ibnu Aktsam: "Al-Ma'mun berkata: 'Dari manakah ini?'". Lalu orang mengatakan kepadanya : "Adakah engkau ketahui, mengapakah 'Alqamah mewasiatkan anaknya demikian?". Al-Ma'mun menjawab : "Tidak tahu".
Lalu orang itu menerangkan : "Karena Alqamah bermaksud supaya anaknya tidak akan berkawan dengan seseorang". Berkata setengah pujangga : "Janganlah kamu berteman, kecuali dengan orang yang menyembunyikan rahasiamu dan yang menutupkan kekuranganmu! Lalu dia berada bersama kamu pada segala duka-cita. Dia mendahulukan kamu pada segala duka-cita. Dia menyiarkan kebajikanmu dan menyembunyikan keburukanmu. Jika­lau engkau tiada memperoleh orang yang seperti itu, maka jangan­lah berteman, selain dengan dirimu sendiri!".'
Ali ra. bermadah :
Temanmu yang sebenarnya, ialah orang yang ada bersamamu.
Dan orang yang menyusahkan dirinya, supaya ia bermanfa at kepadamu.
Pada waktu membimbangkan, ia berkata terus-terang kepadamu.
Dia sendiri pecah berantakan, supaya kamu terkumpulkan selalu,
Berkata setengah 'Ulama : "Janganlah kamu berteman, selain de­ngan salah seorang dari dua : orang yang engkau pelajari daripada­nya, sesuatu tentang urusan agamamu. Maka ia memanfa'atkan kepadamu. Atau orang yang engkau ajarkan sesuatu tentang urusan agamanya, lalu diterimanya daripadamu. Dan orang yang ketiga (orang yang tidak engkau pelajari agama padanya dan tidak engkau ajari agama kepadanya), maka larilah daripadanya!".
Berkata setengah mereka : "Manusia itu empat macam : yang seo­rang manis seluruhnya. Maka orang tidak akan kenyang-kenyang daripadanya. Yang seorang pahit seluruhnya. Maka tidak termakan apa-apa daripadanya. Yang seorang terdapat masam padanya. Maka ambillah dari orang itu, sebelum ia mengambil daripadamu! Dan yang seorang lagi, terdapat asin padanya. Maka ambillah daripada­nya, pada waktu diperlukan saja!".
Berkata Ja'far Ash-Shadiq ra. : "Janganlah engkau berteman de­ngan lima orang :
Pertama : pendusta. Maka engkau berada dalam penipuannya. Dia adalah seumpama cahaya panas (fatamorgana), dekat kepada­mu yang jauh dan jauh kepadamu yang dekat.
Kedua : orang dungu. Maka tidaklah engkau memperoleh daripada­nya sesuatu. Ia mau mendatangkan manfa'at kepadamu, lalu ia memelaratkan akan kamu.
Ketiga : orang kikir. Makaia putuskan daripada kamu, sesuatu yang kamu amat memerlukan kepadanya.
Ke-empat : orang pengecut. Maka ia akan menyerahkan kamu dan ia akan lari ketika menghadapi kesulitan.
Dan Kelima : orang fasiq. Maka ia akan menjual kamu dengan sesuap makanan atau kurang dari itu!".
Lalu orang bertanya kepada Ja'far Ash-Shadiq tadi: "Apakah yang kurang lagi dari sesuap makanan itu?".
Ja'far Ash-Shadiq ra. menjawab : "Loba pada makanan yang sesuap itu, kemudian ia tidak memperolehnya".
Berkata Al-Junaid : "Aku lebih suka ditemani oleh seorang fasiq, yang berbudi baik, daripada seorang qari' (ahli qira-ah Al-Qur-an), yang berbudi buruk".
Berkata Ibnu Abil Hawari : "Berkata kepadaku guruku Abu Sulai­man : 'Hai Ahmad (nama dari Ibnu Abi Hawari)! Janganlah engkau berteman, selain dari salah seorang dari dua: orang yang dapat eng­kau memperoleh manfa'at padanya mengenai urusan duniamu. Atau orang yang dapat engkau menambahkan bersama dia dan memperoleh kemanfa'atan dengan dia, mengenai urusan akhiratmu! Dan berurusan dengan orang yang lain daripada yang dua ini, adalah dungu sekali' ".
Berkata Sahl bin 'Abdullah : "Jauhilah berteman dengan tiga ma­cam manusia : orang-orang yang gagah perkasa yang lalai, orang- orang qari' yang berminyak-minyak air dan orang-orang shufi yang bodoh!".
Dan ketahuilah kiranya, bahwa segala kata-kata ini, kebanyakannya tiada meliputi semua maksud pershahabatan. Dan yang meliputinya, ialah apa yang telah kami sebutkan, tentang memperhatikan maksud-maksudnya dan menjaga syarat-syaratnya, sebagai tambahan kepadanya. Maka tidaklah apa yang disyaratkan bagi pershahabatan pada maksud-maksud keduniaan, menjadi disyaratkan bagi persha­habatan pada keakhiratan dan persaudaraan. Sebagaimana yang di katakan Bisyr ; "Saudara itu tiga : saudara untuk akhiratmu, sauda- ra untuk duniamu dan saudara untuk kamu berjinak-jinakan hati dengan dia".
Dan amat sedikitlah terkumpul maksud-maksud ini pada orang se­orang. Tetapi berpisah-pisah pada sekumpulan orang. Maka sudah pastilah, berpisah-pisah syarat-syarat itu pada mereka. Dan sesungguhnya Al-Ma'mun berkata : "Saudara itu tiga : yang seorang, adalah seumpama makanan, yang tidak boleh tidak dari­padanya.- Yang seorang, adalah seumpama obat yang diperlukan kepadanya, pada suatu waktu dan tidak diperlukan pada waktu yang lain. Dan yang ketiga, adalah seumpama penyakit, yang tidak diperlukan sekali-kali padanya. Bahkan hamba itu, kadang-kadang memperoleh bencana dengan orang ini. Yaitu orang yang tak ada kejinakan hati padanya dan tak ada kemanfa'atan".
Dan ada yang mengatakan : "Kumpulan manusia itu adalah seum­pama kayu-kayuan dan tumbuh-tumbuhan. Sebahagian daripada­nya, mempunyai naungan dan tidak berbuah. Dan itu adalah seum­pama, yang dapat dimanfa'atkan di dunia dan tidak di akhirat. Karena kemanfa'atan dunia itu, adalah seumpama naungan (bayang- bayang) yang cepat hilang. Dan sebahagian daripadanya, ada yang berbuah dan tidak mempunyai naungan. Dan itu adalah seumpama yang patut bagi akhirat dan tidak bagi dunia. Dan sebahagian dari­padanya sama-sama, berbuah dan bernaungan. Dan sebahagian dari­padanya, tiada satupun daripada keduanya (buah dan bayang- ba- yang), seperti Ummi Ghailan yang merobek-robekkan kain dan tak ada padanya makanan dan minuman. Dan contohnya dari binatang, ialah tikus dan kalajengking, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
يَدْعُو لَمَنْ ضَرُّهُ أَقْرَبُ مِنْ نَفْعِهِ لَبِئْسَ الْمَوْلَى وَلَبِئْسَ الْعَشِيرُ
(Yad-'uu laman dlarruhuu aqrabu min naf-'ihi, labi'-sal-maulaa wa labi'-sal-'asyiir).
Artinya : "Dia mendo 'akan kepada sesuatu yang bahayanya lebih dekat dari manfa'atnya; sesungguhnya itulah penolong dan te man yang paling buruk ". S. Al-Hajj, ayat 13.
Dan seorang penya'ir bermadah :
Manusia itu berbagai ragam,
apabila engkau merasakan mereka.
Mereka tiada bersamaan,
Seperti kayu-kayuan tiada sama.
Yang ini berbuah,
Manis rasanya    
Yang itu tidaklah mempunyai rasa dan buahnya".
Maka apabila tiada memperoleh teman, yang dapat diambil menjadi saudara dan mendapat faedah daripadanya, salah satu dau maksud- maksud yang tersebut tadi, maka sendirian adalah lebih utama. Abu Dzar ra. berkata : "Sendirian itu adalah lebih baik daripada mengambil teman duduk orang jahat. Dan teman duduk orang baik, adalah lebih bagus daripada sendirian". Dan perkataan Abu Dzar ini, diriwayatkan sebagai hadits marfu
Adapun keagamaan dan tak ada kefasiqan, maka berfirman Allah Ta'ala :
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
(Wattabf sabiila man anaaba ilayya).
Artinya : "Dan turutlah jalan orang yang kembali kepadaku". Surat Luqman, ayat 15.
Dan karena menyaksikan kefasiqan dan orang-orang fasiq itu, me mudahkan anggapan ringan kepada perbuatan ma'shiat dalam hati. Dan menghilangkari larinya hati daripada kema'shiatan itu.
Berkata Sa'id bin Al-Musayyab : "Janganlah kamu memandang ke­pada orang-orang dzalim! Maka batallah amal perbuatanmu yang baik-baik. Bahkan tak adalah keselamatan dalam bercampur-baur dengan orang-orang dzalim itu. Sesungguhnya keselamatan, adalah pada memutuskan perhubungan dengan mereka". Allah Ta'ala berfirman :
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا            '
(Wa idzaa khaathabahuiriul-jaahiluuna qaaluu salaamaa). Artinya: "Dan apabila orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan kepada mereka, lalu mereka menjawab : "Selamat". S. Al-Furqan, ayat 63.Pada ayat tadi, disebutkan سَلامًا salaamaa, artinya : selamat. Alif pada : سَلامًا salaamaa (pada tulisan Arabnya), adalah ganti daripada : ه ha. Dan artinya: "Sesungguhnya kami selamat daripada. kedosaan kamu. Dan kamu selamat daripada kejahatan kami". Inilah apa yang kami maksudkan dahulu menyebutkannya dari se­gala pengertian persaudaraan, syarat-syarat dan faedah-faedahnya.
Maka hendaklah kita mengulangi menyebutkan hak-hak, keharusan keharusan dan jalan-jalan menegakkan haknya. Adapun orang yang loba kepada dunia, maka berteman dengan dia, adalah racun pembunuh. Karena tabi'at (karakter) manusia itu, tertarik untuk menyerupai dan mengikuti. Bahkan karakter itu men­curi dari karakter orang lain, dimanatanpa diketahui oleh orang yang mempunyai karakter itu sendiri. Maka duduk-duduk bersama orang yang loba kepada dunia itu, dapat menggerakkan kelobaan. Dan duduk bersama orang zahid, dapat mendatangkan kezuhudan di dunia. Karena itulah, tiada disukai berteman dengan orang- orang yang mencari dunia. Dan disunnahkan berteman, dengan orang-orang yang gemar pada akhirat.
Berkata'Ali ra. : "Hidupkanlah ketha'atan dengan duduk-duduk bersama orang yang disegani!".
Berkata Ahmad bin Hanbal ra. : "Tiada yang menjatuhkan aku ke dalam bencana, selain karena' berteman dengan orang yang aku tidak malu kepadanya".
Berkata Luqman : "Hai anakku! Duduk-duduklah dengan 'ulama dan berdesak-desaklah kepada mereka dengan kedua lututmu! Karena sesungguhnya hati itu hidup, dengan pengetahuan tinggi (ilmu hikmah), sebagaimana tanah mati hidup dengan banjir dari hujan".


Tiada ulasan:

Catat Ulasan