بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Adab Berkasihan
(Yaitu Kitab Kelima
dan rubu' kedua dari Adat Kebiasaan).
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang menganugerahkan dengan berlimpah-ruah kepada
hamba-Nya yang pilihan, kerahmatan dan kenikmatan dengan segala kehalusan
penentuan. Yang menjinakkan dengan berkasih-kasihan diantara hati mereka,
lalu jadilah mereka itu bersaudara dengan kenikmatan-Nya. Yang mencabut
kedengkian daripada mereka, lalu senantiasalah mereka itu di dunia berteman dan
bershahabat dan diakhirat berkawan dan bertaulan.
Selawat kepada
Muhammad yang pilihan dan kepada keluarganya serta para shahabatnya yang
mengikuti dan menuruti jejaknya, dengan perkataan dan perbuatan, dengan keadilan
dan keikhsanan. Kemudian, sesungguhnya berkasih-kasihan pada jalan Allah Ta'ala
dan persaudaraan pada jalan agama-Nya, adalah pendekatan diri yang paling utama
kepada-Nya. Dan faedah yang paling halus,yang diperoleh dari segala ketha'atan
pada segala adat kebiasaan yang berlaku.
Dan semuanya
itu mempunyai syarat-syarat, di mana dengan syarat- syarat itu, berhubunganlah
segala yang bershahabat dengan orang- orang yang dikasihinya pada jalan Allah
Ta'ala. Dan pada syarat- syarat itu, terdapat hak-hak, di mana dengan
menjagakannya, bersihlah persaudaraan itu dari campuran segala kekotoran dan
gangguan sethan.
Maka dengan
menegakkan hak-haknya itu, mendekatlah ia kepada Allah dalam tingkatannya. Dan
dengan menjaga hak-hak itu, terca- pailah derajat yang tinggi.
Kami akan
menerangkan segala maksud dari Kitab ini dalam tiga bab :
Bab Pertama :
tentang kelebihan berkasih-kasihan dan persaudaraan pada jalan Allah Ta'ala,
syarat-syarat, derajat-derajat dan faedah- faedahnya.
Bab Kedua :
tentang hak-hak pershahabatan, adabnya, hakikat dan segala keharusannya.
Bab Ketiga :
tentang hak orang Muslim, keluarga, tetangga dan hamba sahaya yang dimiliki dan
cara bergaul dengan orang-orang yang memperoleh pereobaan dengan sebab-sebab
tersebut.
Bab pertama.- Tentang keiebihan berkasih sayang (ulfah) dan persaudaraan, mengenai syarat-syarat, derajat dan faedah- faedahnya.
Kelebihan :
berkasih-sayang dan persaudaraan :
Ketahuilah,
bahwa berkasih-sayang, adalah buah kebaikan budi. Dan bercerai-berai, adalah
buah keburukan budi. Maka kebaikan budi itu mengharuskan berkasih-kasihan,
berjinak-jinakan hati dan penyesuaian paham. Dan keburukan budi itu, membuahkan
bermarah-marahan, berdengki-dengkian dan belakang-membelakangi. Manakala yang
mendatangkan buah itu terpuji, niscaya buahnya adalah terpuji. Dan kebaikan
budi itu, tidaklah tersembunyi pada agama akan keiebihan dan keutamaannya. Dan
kebaikan budi itulah yang dipujikan Allah swt. akan Nabi-Nya, di mana Ia
berfirman :
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
(Wa innaka la-'alaa khuluqin'adhiim). *
Artinya:
"Dan sesungguhnya engkau mempunyui budi pekerti yang tinggi S. Al-Qalam,
ayat 4.
Dan Nabi saw. bersabda :
Dan Nabi saw. bersabda :
أكثر ما يدخل الناس الجنة تقوى الله
وحسن الخلق
(Aktsaru maa
yudkhilunnasal-jannata taqwallaahi wa husnul-khuluq).
Artinya :Yang
membanyakkan manusia masuk sorga, ialah taqwa kepada Allah, dan kebaikan budi
(1)
Usamah bin
Syuraik berkata : "Kami bertanya : 'Wahai Rasulullah! Apakah yang terbaik
diberikan kepada manusia?'. "Nabi saw. menjawab : 'Budi yang baik' (2)
Nabi saw. bersabda
:
بعثت لأتمم محاسن الأخلاق
(Bu'itstu
li-utammima mahaasi-nal akhlaaq).
Artinya:
"Diutuskan aku untuk menyempurnahan kebaikan budi”
(1)Dirawikan
Ai-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah. Kalanya : shahih isiiad.
|
(2)Dirawikan
Ibnu Majah dengan isnad shahih.
|
(3) Dirawikan
Ahmad, Al-Baihaqi dan AMIakim dari Abu Hurairah. Dan dipandang- nya shahih.
|
247
|
Nabi saw.
bersabda: "Yang terberat dari apa yang diletakkan dalam al-mizan
(timbangan amal), ialah budi yang baik maka Nabi saw. bersabda : "Tiada
dibaguskan oleh Allah akan kejadian dan budinya seseorang manusia, lalu dia itu
dijadikan menjadi makanan neraka(2)
Nabi saw.
bersabda : "Hai Abu Hurairah Haruslah engkau berbaik budi".
Lalu Abu
Hurairah ra. bertanya : "Bagaimanakah budi yang baik itu , wahai Rasulullah?".
Nabi saw. menjawab :
تصل من قطعك وتعفو عمن ظلمك وتعطي من
حرمك رواه البيهقي في الشعب من رواية الحسن
(Tashilu man
qatha-'aka wa ta'fuu 'amman dhalamaka wa tu'thii man haramaka).
Artinya :
"Engkau menyambung silaturrahmi dengan orang yang memutuskannya dengan
engkau, engkau ma'afkan orang yang berbuat dzalim kepada engkau dan engkau
memberikan kepada orang yang tidak mau memberikan kepada engkau (3) Dan tidak
tersembunyi lagi, bahwa buah kebaikan budi itu, ialah berkasih-sayang (ulfah)
dan habisnya keliaran hati. Dan manakala baguslah yang mendatangkan buah,
niscaya baguslah buahnya. Bagaimana tidak? Dan telah datang pujian kepada jiwa
berkasih - sayang itu, lebih-lebih apabila ikatannya itu adalah : taqwa, agama,
dan mencintai Allah, dari ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar, di mana padanya
cukup dan memuaskan penjelasannya.
Allah Ta'ala
berfirman, untuk menjelaskan keagungan nikmat-Nya kepada manusia dengan
kenikmatan berjinak-jinakan hati: "Kalau kiranya engkau belanjakan seluruh
apa yang ada di bumi, niscaya engkau tidak juga dapat menyatukan (menjinakkan)
hati mereka, tetapi Allah menyatukan hati mereka S. Al-Anfal, ayat 63. Dan
Allah berfirman : ‘’Maka dengan nikmat Allah, kamu menjadi bersaudara’’. S. Ali
Imran, ayat 103.
Artinya :
dengan ulfah (berjinak-jinakan hati, berkasih sayang). Kemudian Allah Ta'ala
mencela perpecahan dan memperingatkan supaya perpecahan itu ditinggalkan. Maka
Maha Agunglah Ia yang berfirman :
1 ) Dirawikan
Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abid Darda'.Katanya : hadits baik (hasan) dan
shahih. 2) Dirawikan Ath-Thabtani dari Abu Hurairah.
|
3) Dirawikan
Al-Baihaqi dari Al-Hasan dari Abu Hurairah.
|
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ
أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ
يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
(WaMashimuu
bihablillaahi jamii-'an wa laa tafarraquu……sampai akhir
ayat 103 S. Ali Imran).Artinya : "Dan berpegang eratlah kamu sekalian
dengan tali Allah (Agama Allah) dan janganlah berpecah belah! Ingatilah kumia
Allah kepada kamu, ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, lalu diper satukannya
hati kamu (dalam agama Allah), sehingga dengan kurnia Allah itu, kamu menjadi
bersaudara. Dan kamu dahulu berada di tepi lobang neraka, maka dilepaskan-Nya
kamu daripadanya. Begitulah Allah menjelaskan keterangan-keterangan-Nya kepada
kamu, supaya kamu mendapat petunjuk S. Ali Imran, ayat 103.
Nabi saw.
bersabda :
إن أقربكم مني مجلسا أحاسنكم أخلاقا
الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون حديث إن أقربكم مني مجلسا أحاسنكم أخلاقا
الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون رواه الطبراني في مكارم الأخلاق من حديث
جابر بسند ضعيف(Inna aqrabakum minnii majlisan ahaasinukum akhlaaqan, al-mu-
wath-thauuna aknaafan, alladziina ya'lafuuna wayu'lafuun)- Artinya :
uSesungguhnya yang terlebih dekat kedudukanmu kepa- dakuy ialah yang terbaik
akhlaq (budi pekerti) daripada kamu yang berkelakuan lemah lembut dari mereka,
di mana mereka itu menji- nakkan hati orang dan orang menjinakkan hati
mereka(1)
Nabi saw.
bersabda : "Orang mu'min itu, ialah yang menjinakkan hati orang dan
dijinakkan hatinya. Dan tiadalah kebajikan, pada orang yang tidak menjinakkan
dan tidak dijinakkan hatinya,Lalu Nabi saw,
bersabda tentang pujian kepada persaudaraan dalam agama : "Barangsiapa dikehendaki
oleh Allah kepadanya kebajikan, niscaya dianugerahi-Nya kepadanya teman yang
baik. Kalau ia lupa maka teman itu yang memperingatinya. Dan jikalau ia
teringat maka teman itu yang menolongnya". (2)
Nabi saw.
bersabda ; "Dua orang yang bersaudara itu, apabila ber jumpa, adalah
seumpama dua tangan, yang satu membasuh yang lain. Dan tidaklah sekali-kali dua
orang mu'min itu bertemu melainkan
1. Dirawikan
AthThabrani dari Jabir dengan sanad dia'if,
|
2.Dirawikan
Ahmad dan AthThabrani dari Sahl bin Sa'ad dan AlHakim dari Abu Hurairah dan
dipandangnya shahih.
|
3.Hadits ini
tidak terkenal dengan susunan demikian kata Al-lraqi.
|
yang terkenal
bunyinva yang dirawikan Abu Dawud dari 'A-isyah, ialah "Apabila Allah
menghendaki kebajikan pada seseorang amir (kepala pemerintahan), niscaya
dijadikan (dianugerahkan) kepadanya seorang wazir (menteri) yang benar, Kalau
ia lupa, maka wazir itu memperingatinya. Dan kalau ia teringat, maka ditolongnya".
Diberi faedah
oleh Allah dengan kebajikan akan salah seorang dari keduanya dari temannya'
Nabi saw,
bersabda tentang mengajak kepada persaudaraan pada jalan Allah :
"Barangsiapa mempersaudarakan seseorang saudara pada jalan Allah niscaya
ia ditinggikan oleh Allah suatu tingkat dalam sorga, yang tiada akan
dicapainya dengan sesuatu dariamal per buatannya".
وقال أبو إدريس الخولاني لمعاذ إني
أحبك في الله فقال له أبشر ثم أبشر فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول
ينصب لطائفة من الناس كراسي حول العرش يوم القيامة وجوههم كالقمر ليلة البدر يفزع
الناس وهم لا يفزعون ويخاف الناس وهم لا يخافون وهم أولياء الله الذين لا خوف
عليهم ولاهم يحزنون فقيل من هؤلاء يا رسول الله فقال هم المتحابون في الله تعالى
حديث قال أبو إدريس الخولاني لمعاذ أني احبك في الله فقال أبشر ثم أبشر فإني سمعت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول تنصب لطائفة من الناس كراسي حول العرش يوم
القيامة الحديث أخرجه أحمد و الحاكم في حديث طويل أن أبا إدريس قال قلت و الله إني
لأحبك في الله قال فأني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول أن المتحابين
بجلال الله في ظل عرشه يوم لا ظل إلا ظله قال الحاكم صحيح على شرط الشيخين وهو عند
الترمذي من رواية أبي مسلم الخولاني عن معاذ بلفظ المتحابون في جلالى لهم منابر من
نور يغبطهم النبيون و الشهداء قال حديث حسن صحيح ولأحمد من حديث أبي مالك ألاشعري
أن لله عبادا ليسوا بأنبياء ولا شهداء يغبطهم الأنبياء و الشهداء على منازلهم
وقربهم من الله الحديث وفيه تحابوا في الله وتصافوا به يضع الله لهم يوم القيامة
منابر من نور فتجعل وجوههم نورا وثيابهم نورا يفزع الناس يوم القيامة ولا يفزعون
وهم أولياء الله الذين لا خوف عليهم ولا هم يحزنون وفيه شهر بن حوشب مختلف فيه
ورواه أبو هريرة رضي الله عنه و قال فيه أن حول العرش منابر من نور عليها قوم لباسهم
نور ووجوههم نورا ليسوا بأنبياء ولا شهداء يغبطهم النبيون و الشهداء فقالوا يا
رسول الله صفهم لنا فقال هم المتحابون في الله و المتجالسون في الله و المتزاورون
في الله حديث أبي هريرة إن حول العرش منابر من نور عليها قوم لباسهم نور ووجوههم
نورا ليسوا بأنبياء ولا شهداء الحديث أخرجه النسائي في سننه الكبرى و رجاله ثقات
وقال صلى الله عليه وسلم ما تحاب اثنان في الله إلا كان أحبهما إلى الله أشدهما
حبا لصاحبه حديث ما تحاب اثنان في الله إلا كان أحبهم إلى الله أشدهما حبا لصاحبه
أخرجه ابن حبان و الحاكم من حديث أنس و قال صحيح الإسناد ويقال أن الأخوين في الله
إذا كان أحدهما أعلى مقاما من الآخر رفع الآخر معه إلى مقامه وانه يلتحق به كما
تلتحق الذرية بالأبوين و الأهل بعضهم ببعض لان الأخوة إذا اكتسبت في الله لم تكن
دون أخوة الولادة قال عز وجل ألحقنا بهم ذرياتهم وما ألتناهم من عملهم من شيء
Abu ldris Al-Khaulani berkata kepada
Mu'az :
"Sesungguhnya aku mencintai engkau pada jalan Allah. Maka menjawab Mu'az :
"Gembiralah kamu kiranya! Gembiralah kamu kiranya! Maka sesungguhnya aku
mendengar Rasulullah saw. bersabda : "Akan diletakkan untuk segolongan
manusia, beberapa kursi dikeliling 'Arasy pada hari qiamat, di mana wajah
mereka itu seperti bulan pada malam purnama raya, dimana manusia lain gentar
dan mereka tidak gentar dan manusia lain takut dan mereka tidak takut. Mereka
itu ialah wali-wali Allah, yang tak ada pada mereka ketakutan dan kegundahan
".
Lalu orang
menanyakan : "Siapakah mereka itu wahai Rasulullah!'
Nabi saw. menjawab : "Mereka
itu ialah orang-orang yang berkasih- kasihan pada jalan Allah Ta'ala".
Hadits ini diriwayatkan Abu Hurairah ra.
Dan Abu
Hurairah ra. menerangkan, bahwa pada hadits itu tersebut: "Sesungguhnya
dikeliling 'Arasy itu beberapa mimbar dari nur, di mana di atas mimbar itu
suatu kaum, pakaiannya nur dan wajahnya nur. Mereka itu bukanlah nabi-nabi dan
orang-orang syahid. Mereka itu disenangi oleh nabi-nabi dan orang-orang
syahid".
Lalu para shahabat bertanya : "Wahai
Rasulullah! Terangkanlah kepada kami siapa mereka itu!".
Maka Nabi saw. menjawab : "Mereka
itu adalah orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, sama-sama duduk
pada jalan Allah dan kunjung-mengunjungi pada jalan Allah". (1)
Nabi saw. bersabda :
"Tiadalah berkasih-kasihan dua orang pada jalan Allah, melainkan yang
lebih mencintai Allah dari keduanya. Itulah yang paling mencintai temannya,
dari keduanya itu". (Dirawikan Ibnu Hibban dan AlHakim dari Anas dan
katanya shahih isnad)
Dan dikatakan,
bahwa dua orang bersaudara pada jalan Allah itu, apabila seorang dari keduanya
lebih tinggi kedudukannya dari yang lain, niscaya ditinggikan oleh Allah yang
lain itu bersamanya kepa da kedudukannya. Dan yang lain itu akan menghubungi
dengan dia, sebagaimana keturunan menghubungi dengan dua ibu bapa dan keluarga,
sebagiannya dengan sebagian yang lain. Karena persaudaraan itu apabila diusahakan
pada jalan Allah, niscaya tidaklah berkurang dari persaudaraan dengan
kelahiran. Allah Azza wa Jalla ber firman :
ألحقنا بهم ذرياتهم وما ألتناهم من
عملهم من شيء
(Alhaqnaa bihim
dzurriyyatahum wamaa alatnaahum min 'amali- him min syai-in).
Artinya :
"Nanti mereka akan kami pertemukan dengan turunannya itu dan tiada Kami
kurangi amal mereka barang sedikitpun( S. Ath-Thur, ayat 21.)
(1)Dirawikan
AnNasa-i perawi-perawinya orang-orang kepercayaan.
|
(2)Dirawikan
Ibnu Hibban dan AlHakim dari Anas dan katanya shahih isnad
|
250
|
Nabi saw.
bersabda : أن الله تعالى يقول
حقت محبتي للذين يتزاورون من أجلى وحقت محبتي للذين يتحابون من أجلي وحقت محبتي
للذين يتباذلون من أجلي وحقت محبتي للذين يتناصرون من أجلي "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman :
'Benarlah kesayangan-Ku kepada mereka yang kunjung-mengunjungi dari karena-Ku.
Dan benarlah kesayangan-Ku kepada mereka, yang berkasih-kasihan dari karena-Ku.
Dan benarlah kesayangan-Ku kepada mereka, yang beri-memberi, dari karena-Ku.
Dan benarlah kesayangan-Ku kepada mereka yang tolong-menolong dari karena-
Ku'" (1),
Nabi saw
bersabda : إن الله تعالى يقول
يوم القيامة أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي ''Sesungguhnya
Allah Ta'ala berfirman pada hari qiamat : Di manakah sekarang mereka, yang
berkasih-kasihan dengan sebab kebesaran-Ku? Pada hari ini, Aku naungi mereka
pada naungan-Ku, pada hari yang tidak ada naungan, selain naungan-Ku' (Dirawikan
Muslim)
Nabi saw.
bersabda : "Tujuh orang yang dinaungi oleh Allah pada naungan-Nya, pada hari
yang tak ada naungan, selain dari naunganNya : imam yang adil, pemuda yang
berkembang dalam ibadah kepada Allah, laki-laki yang hatinya tersangkut di
Masjid, apabila ia keluar dari Masjid, sehingga kembalilah ia ke Masjid, dua
orang laki-laki yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, keduanya berkumpul dan
berpisah di atas yang demikian, laki-laki yang mengingati Allah (berdzikir) pada
tempat yang sunyi sepi lalu bergenanglah kedua matanya dengan air mata,
laki-laki yang dipanggil oleh wanita bangsawan dan cantik, lalu menjawab : Aku takut kepada Allah Ta'ala dan laki-laki
yang bersedekah suatu sedekah, lalu menyembunyikannya, sehingga tiada diketahui
oleh tangan kirinya apa yang diberikan oleh tangan kanannya". (3)
1.Dirawikan
Ahmad dan 'Amr bin 'Absah dan Iain-Iain.
|
2.Dirawikan
Muslim.
|
3.Dirawikan
AlBukhari dari Muslim dari Abu Hurairah.
|
251
|
Nabi saw.
bersabda : "Tiadalah seorang laki-laki yang berkunjung kepada seorang
laki-laki pada jalan Allah, karena rindu kepadanya dan ingin menjumpainya,
melainkan ia dipanggil oleh Malaikat dari belakangnya dengan kata-kata :
'Baiklah engkau kiranya, baiklah tempat jalannya engkau dan baiklah sorga bagi
engkau' (1)
Nabi saw.
bersabda : "Bahwa seorang laki-laki berkunjung (berzia rah) kepada
saudaranya pada jalan Allah. Maka Allah mengirimkan kepadanya Malaikat, untuk
menanyakan :'Kamu hendak kemana ?".
Laki-laki itu
menjawab : "Mau mengunjungi saudaraku si Anu".
Lalu Malaikat
itu bertanya lagi: "Adakah keperluanmu padanya?"
Laki-laki itu
menjawab : "Tidak ada!".
Malaikat itu
menyambung : "Karena kefamiliankah diantara kamu dan dia?"
Laki-laki itu
menyahut: "Tidak!".
Malaikat itu
bertanya lagi: "Apakah disebabkan nikmat pemberiannya kepadamu?".
Laki-laki itu
menjawab : "Tidak!".
Malaikat itu
bertanya pula : "Kalau begitu, apakah sebabnya?". Laki-laki itu
menjawab : "Aku mencintainya pada jalan Allah".
Lalu Malaikat
itu menyambung : "Sesungguhnya Allah Ta'ala telah mengutus aku kepadamu
untuk menerangkan, bahwa Dia mencintai mu, karena cintamu kepada-Nya. Dan telah
diharuskan-Nya sorga untukmu". (2)
Nabi saw.
bersabda :
أوثق عرى الإيمان الحب في الله و البغض
في الله .
(Autsaqu 'ural
iimaanil hubbu fillaahi wal bughdlu fillaahi).
Artinya :
"Yang terlebih kokoh perpegangan tali iman, ialah kasih- sayang pada jalan
Allah dan marah pada jalan Allah". (3)
Maka karena
inilah, harus bagi seseorang mempunyai musuh yang dimarahinya pada jalan Allah,
sebagaimana ia mempunyai teman dan saudara yang dicintainya pada jalan Allah.
ويروي أن الله تعالى أوحى إلى نبي من
الأنبياء أما زهدك في الدنيا فقد تعجلت الراحة وأما انقطاعك إلى فقد تعززت بي ولكن
هل عاديت في عدوا أو هل و اليت في ولياDiriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala
menurunkan wahyu kepada seorang dari nabi-nabi, dengan firman-Nya :"Adapun zuhudmu di dunia
(bencimu kepada dunia), maka telah menyegerakan kamu beristirahat. Adapun
putusmu dari dunia, karena beribadah kepadaKu, maka sesungguhnya kamu telah
memperoleh kemuliaan dengan Aku. Tetapi adakah kamu bermusuh pada jalan-Ku akan
seseorang musuh?Atau adakah kamu berkasih-sayang pada jalan-Ku dengan seseorang
kekasih-Ku
(1)Dirawikan
Ibnu 'Uda dari Anas.
|
(2)Dirawikan
Muslim dan Abu Hurairah.
|
(3)Diriwayatkan
Ahmad dari Al-Barra' bin 'Azib dan Al-Kharaithi dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad
dla’if.
|
252
|
Nabi saw.
bersabda :
اللهم لا تجعل لفاجر علي منة فترزقه
مني محبة
(Allaahumma laa
taj-'al lifaajirin 'alayya minnatan fa tarzuquhu minnii mahabbah).
Artinya :
"Wahai Allah Tuhanku, Janganlah kiranya Engkau men-jadikan nikmat
kepunyaan orang dzalim kepadaku, lalu Engkau anugerahkan kecintaanku
kepadanya". (1)
Diriwayatkan, bahwa Allah Ta'ala
menurunkan wahyu kepada Isa as. dengan firman-Nya : "Jikalau engkau
mengerjakan ibadah kepa da-Ku, dengan ibadah penduduk langit dan bumi dan tidak
ada ke cintaan pada jalan Allah dan tidak ada kemarahan pada jalan Allah,
niscaya tidaklah yang demikian itu mencukupkan akan sesuatu pada engkau
Isa as. bersabda :
"Berkasih-sayanglah kamu pada jalan Allah, dengan kemarahan orang-orang
yang berbuat ma'siat! Mendekat diri- lah kamu kepada Allah, dengan menjauhkan
diri dari mereka! Dan carilah kerelaan Allah dengan kemarahan mereka".
Para shahabat
Isa as. bertanya: "Wahai kekasih Allah! Maka dengan siapakah kami
duduk-duduk?".
Isa as.
menjawab : "Duduklah kamu dengan orang, yang dengan melihatnya,
mengingatkan kamu kepada Allah, dengan orang, yang dengan perkataannya
menambahkan amalanmu dan dengan orang, yang dengan amalannya menggemarkan kamu
kepada akhirat".
Diriwayatkan
dalam berita-berita zaman dahulu, bahwa Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu
kepada Musa as. dengan firman-Nya :
Wahai Ibnu Imran! Hendaklah kamu waspada dan tariklah sauda-ra-saudara
itu untuk dirimu Tiap-tiap teman dan shahabat yang tidak dan menolong engkau
kepada kesukaan-Ku, maka itu adalah musuh- mu"
Allah Ta'ala
menurunkan wahyu kepada Dawud as. dengan firman Nya : "Wahai Dawud!
Mengapakah Aku melihat engkau tercampak sendirian Dawud as. menjawab :
"Wahai Tuhanku! Aku benci kepada makhluk dari karena Engkau".
(1) Hadits
ini telah diterangkan dahulu.
|
253
|
Maka Allah
berfirman : "Wahai Dawud! Hendaklah engkau waspada dan tariklah
teman-teman itu untuk dirimu! Dan tiap-tiap teman yang tiada sesuai dengan
engkau kepada kesukaan-Ku, maka janganlah engkau berteman dengan dia! Karena
dia musuhmu yang mengesatkan hatimu dan menjauhkan kamu daripada-Ku".
Tersebut pada
akhbar (berita-berita) Dawud as. bahwa Dawud as. bertanya kepada Allah :
"Wahai Tuhanku! Bagaimanakah supaya aku disukai oleh semua manusia dan aku
selamat mengenai sesuatu antaraku dan Engkau?".
Allah Ta'ala
menjawab : "Bergaullah dengan manusia menurut akhlaq mereka! Dan berbuat
baiklah mengenai sesuatu antara Aku dan engkau ‘
Dan pada
setengah akhbar tersebut : "Ber-akhlaqlah dengan penduduk dunia dengan
akhlaq dunia dan berakhlaqlah dengan penduduk akhirat dengan akhlaq
akhirat!".
Nabi saw.
bersabda :
إن أحبكم إلى الله الذين يألفون
ويؤلفون وإن أبغضكم إلى الله المشاءون بالنميمة المفرقون بين الإخوان
(Inna ahabbakum
ilallaahil ladziina ya'-lafuuna wa yu'-lafuuna, wa inna
abghadlakumul-masysyaa-uuna binnamiimatil mufarriquuna bainal ikhwaan).Artinya
: "Yang amat dikasihi diantara kamu oleh Allah, ialah mereka yang
menjinakkan hati orang lain dan yang dijinakkan hatinya oleh orang lain. Dan
yang amat dimarahi diantara kamu oleh Allah, ialah orang-orang yang menyiarkan
khabar fitnah, yang mencerai- beraikan diantara sesama saudara" (1)
Nabi saw.
bersabda : "Sesungguhnya Allah mempunyai Malaikat, setengahnya dari api
dan setengahnya dari salju, di mana Malaikat itu berdo'a :'Wahai Allah Tuhanku!
Sebagaimana Engkau jinakkan antara salju dan api, maka demikian pula,
jinakkanlah antara hati segala hamba-Mu yang shalih " (2)
Dan Nabi saw.
bersabda pula : ‘’Tiada diadakan oleh seorang hamba, akan persaudaraan pada
jalan Allah, melainkan diadakan oleh Allah untuknya, suatu tingkat dalam
sorga". (3)
(1)Dirawikan
Ath-Thabrani dari Abu Hurairah dingan sanad dia'if.
|
(2)Dirawikan
Abusy-Syaikh Ibnu hibban dari Mu*adz bin Jabal dengan sanad dia'if.
|
(3)Dirawikan
Ibnu Abid-Dun-ya dari Anas.
|
254
|
Nabi saw.
bersabda : "Mereka yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, adalah di atas
suatu tiang dari mutiara yaqut yang merah. Pada puncak tiang itu tujuh puluh
ribu kamar. Mereka itu menoleh kepada penduduk sorga, yang kebagusan mereka,
memberi cahaya kepada penduduk sorga itu, sebagaimana matahari memberi cahaya
kepada penduduk dunia, Maka berkatalah penduduk sorga : ‘’Pergilah kepada kami,
supaya kami melihat kepada orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah!
Lalu kebagusan mereka menyi- narkan penduduk sorga, sebagaimana matahari
menyinarkan. Pada mereka, kain sutera hijau, yang tertulis pada dahi mereka :
'Orang- orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah' ". (1)
Menurut atsar,
diantara lain, 'Ali ra. berkata : "Haruslah kamu bersaudara (berteman)!
Karena teman-teman itu adalah alat (media) di dunia dan di akhirat. Apakah kamu
tidak mendengar ucapan penduduk neraka :
وَلا صَدِيقٍ حَمِيمٍ, فَمَا لَنَا مِنْ شَافِعِينَ
(Famaa lanaa
min syaa-fi-'iina, walaa shadiiqin hamiim).Artinya : "Bahwa kami tiada
mempunyai orang-orang yang akan menolong. Dan tiada mempunyai teman yang
setia!". S. Asy-Syu'ara', ayat 100 -101.
'Abdullah bin
'Umar ra. berkata : "Demi Allah! Jikalau aku ber puasa siang, di mana aku
tiada berbuka padanya dan aku bershalat malam, di mana aku tiada tidur padanya
dan aku belanjakan harta- ku yang baik-baik pada jalan Allah, maka aku mati
pada hari aku mati dan tidak ada dalam hatiku kecintaan kepada orang-orang yang
mentha'ati Allah dan kemarahan kepada orang-orang yang mendur- hakai Allah,
niscaya tiadalah bermanfa'at kepadaku sedikitpun dari yang demikian itu".
Ibnus Sammak
mendo'a ketika akan meninggal : "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya Engkau
mengetahui, bahwa aku, apabila mendurhakai Engkau, maka aku adalah mencintai
orang yang mentha'ati Engkau. Maka jadikanlah yang demikian itu, mendekatkan
aku kepada Engkau!".
Al-Hasan
berkata sebaliknya : "Wahai anak Adam! Janganlah kamu terperdaya dengan
perkataan orang yang mengatakan : 'Manusia itu bersama orang yang dikasihinya'.
Karena engkau tiada akan memperoleh derajat orang baik-baik, kecuali dengan
beramal segala amal-
(1) Dirawikan
Al-Tirmidzi dari Ibnu Ma stud dengan sanad dia'if.
|
255
|
amal mereka.
Sesungguhnya orang Yahudi dan orang Nasrani, adalah mencintai nabi-nabinya dan
tidaklah mereka itu bersama nabi-nabi- nya
Dan ini
menunjukkan, bahwa semata-mata demikian, tanpa berse- suaian pada sebahagian
perbuatan atau seluruhnya, niscaya tidaklah bermanfaat.
Al-Fudlail
berkata pada sebahagian perkataannya : "Wah, kamu ingin menempati sorga
Firdaus dan mendekati Tuhan Yang Maha Pengasih pada rumah-Nya, bersama
nabi-nabi, orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih.
Dengan amal apakah yang engkau kerjakan?
Dengan syahwat
apakah yang engkau ting galkan?
Dengan
kemarahan apakah yang engkau tahan kemarahan itu?
Dengan
silaturrahmi manakah yang telah putus, engkau sambungkan?
Dengan kesalahan
manakah bagi saudaramu, yang telah engkau ampunkan?
Dengan yang
dekat manakah, yang telah engkau jauhkan pada jalan Allah?
Dan dengan yang
jauh manakah, yang telah engkau dekatkan pada jalan Allah?".
Diriwayatkan
bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Musa as. dengan firman-Nya :
"Adakah engkau berbuat amal semata- mata bagi-Ku”
Musa as.
menjawab : "Wahai Tuhanku! Sesungguhnya aku mengerjakan shalat bagi-Mu,
berpuasa, bersedekah dan berzakat".
Maka Allah
Ta'ala berfirman : "Sesungguhnya shalat bagimu itu suatu dalil. Puasa itu
suatu benteng. Sedekah itu suatu naungan. Dan zakat itu suatu nur. Maka amal
manakah yang engkau perbuat untuk-Ku”
Musa mendo'a :
"Wahai Tuhanku! Tunjukilah aku akan amal yang untuk-Mu?".
Tuhan berfirman
: "Wahai Musa, Adakah engkau berteman untuk- Kusaja teman itu? Dan adakah
engkau bermusuh pada jalan-Ku saja musuh itu”
Maka tahulah
Musa, bahwa amal yang paling utama, ialah mencintai pada jalan Allah dan
memarahi pada jalan Allah.
Ibnu Mas'ud ra.
berkata : "Jikalau adalah seorang laki-laki berdiri mengerjakan shalat
antara ar-rukn (sudut Ka'bah) dan Al-Maqam (Maqam Ibrahim dekat Ka'bah). Ia
beribadah kepada Allah selama tujuh puluh tahun. Niscaya ia dibangkitkan oleh
Allah pada hari qiamat, bersama orang yang dikasihinya".
Al-Hasan ra.
berkata : "Memutuskan silaturrahmi dengan orang fasiq, adalah pendekatan
diri kepada Allah".
Seorang
laki-laki* berkata kepada Muhammad bin Wasi' : "Sesungguhnya aku
mencintai engkau pada jalan Allah".
Maka menjawab
Muhammad bin Wasi': "Engkau dicintai Allah, di mana engkau mencintai aku
karena-Nya". Kemudian Muhammad bin Wasi' memalingkan wajahnya dan mendo'a
: "Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau, bahwa
aku mencintai pada jalan Engkau, sedang Engkau memarahi aku".
Seorang
laki-laki masuk ke tempat Dawud Ath-Tha-i. Lalu Dawud bertanya kepadanya :
"Apakah hajatmu?".
Laki-laki itu
menjawab : "Mengunjungi engkau".
Maka Dawud
menyambung : "Adapun engkau sesungguhnya, telah berbuat kebajikan, ketika
berkunjung kemari. Tetapi perhatikanlah, apa yang menimpa kepada diriku,
apabila orang menanyakan kepadaku : "Siapakah engkau, maka dikunjungi?
Adakah termasuk orang zahid engkau ini? "Tidak demi Allah!". Adakah
termasuk orang 'abid engkau ini? "Tidak, demi Allah!". Adakah
termasuk orang shalih engkau ini? "Tidak, demi Allah!". Kemudian,
beliau tujukan untuk menjelekkan dirinya sendiri, dengan mengatakan :
"Adalah aku pada waktu muda dahulu, seorang yang fasiq. Maka tatkala aku
telah tua, lalu aku menjadi seorang yang ria. Demi Allah, orang yang ria itu
adalah lebih jahat daripada orang yang fasiq".
'Umar ra.
berkata : "Apabila seorang kamu memperoleh kesayangan dari sudaranya,
maka hendaklah ia berpegang teguh dengan kesayangan itu. Amat sedikitlah orang
yang memperoleh demikian".
Mujahid berkata
: "Orang-orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, apabila beijumpa,
lalu mengerutkan muka satu sama lain. Berguguranlah segala kesalahan dari
mereka, sebagaimana bergu- guran daun kayu pada musim dingin, apabila daun kayu
itu telah kering".
Al-Fudlail
berkata : "Pandangan seseorang kepada wajah saudara- nya (temannya) dengan
kecintaan dan kesayangan, adalah ibadah".
Penjelasan : Arti persaudaraan pada
jalan Allah dan perbedaannya dari
persaudaraan pada jalan dunia.
Ketahuilah,
bahwa kecintaan pada jalan Allah dan kemarahan pada jalan Allah, adalah soal
yang kabur. Dan akan terbuka tutupnya dengan apa yang akan kami sebutkan.
Yaitu: bahwa pershahabatan itu terbagi kepada : yang terjadi dengan kebetulan,
seperti pershahabatan disebabkan bertetangga. Atau disebabkan pergaulan di
surau atau di sekolah atau di pasar atau pada pintu sultan atau dalam
perjalanan. Dan kepada : yang terjadi dengan pilihan sendiri dan dengan maksud.
Yaitu : yang kami maksudkan menerangkannya. Karena persaudaraan dalam agama itu
terjadi sudah pasti, dalam bahagian ini. Karena tiada pahala, selain pada
perbuatan yang pilihan sendiri (al-'af-'aal - al-ikhtiyariyyah). Dan tak ada
penggemaran, kecuali pada perbuatan yang pilihan itu.
Pershahabatan
adalah : ibarat dari duduk bersama, bercampur dan bergaul. Dan segala hal ini,
tiada dimaksudkanoleh seorang manusia dengan manusia lain, kecuali apabila
dikasihinya. Maka yang tidak dikasihi itu, dijauhkan dan disingkirkan. Dan
tidak bermaksud ber- campur-baur dengan dia.
Dan yang
dikasihi itu, adakalanya dikasihi, karena diri benda itu sendiri. Bukan untuk
menyampaikan kepada yang dikasihi dan yang dimaksudkan di belakangnya. Dan
adakalanya dikasihi untuk menyampaikan kepada sesuatu maksud. Dan maksud itu,
adakalanya terbatas pada dunia dan bahagian-bahagiannya. Adakalanya berhubungan
dengan akhirat. Dan adakalanya berhubungan dengan Allah Ta'ala.
Bahagian
Pertama : yaitu, engkau mencintai seorang manusia, karena diri orang itu. Dan
yang demikian itu mungkin. Yaitu : ada pada dirinya yang tercinta bagimu.
Dengan pengertian, bahwa engkau merasa senang melihatnya, mengenalinya dan
menyaksikan segala tingkah-lakunya. Karena engkau memandang baik kepadanya.
Maka sesungguhnya tiap-tiap yang cantik itu, adalah enak pada pihak orang yang
mengetahui kecantikannya. Dan tiap-tiap yang enak itu, disukai.
Ke-enakan itu
mengikuti akan istihsan (memandang baik). Dan istihsan itu mengikuti akan
penyesuaian, berpatutan dan kesepa- katan antara krakter-krakter
(tabiat-tabiat). Kemudian yang dipan- dang baik itu, adakalanya bentuk dhahir,
yakni : kecantikan kejadi- an (bagus bentuknya). Dan adakalanya bentuk bathin.
Yakni : kesempumaan akal pikiran dan kebagusan budi-pekerti. Dan keba- gusan
budi-pekerti itu tidak mustahil akan diikuti oleh kebagusan perbuatan. Dan
kesempumaan akal pikiran, akan diikuti oleh ba- nyaknya ilmu pengetahuan.
Dan semua itu,
dipandang baik pada krakter yang sejahtera dan akal yang lurus (betul). Dan
tiap-tiap yang dipandang baik itu, maka dirasa enak dan disayangi. Bahkan pada
penjinakan hati itu, ada suatu hal yang lebih kabur dari ini. Karena
kadang-kadang, kekasih- sayangan itu kokoh kuat diantara dua orang, tanpa manis
rupa, bu- di-pekerti dan bagus bentuk. Tetapi karena persesuaian bathin,
mengharuskan kejinakkan hati dan kesepakatan jiwa. Karena keserupaan sesuatu
itu, tertarik kepadanya dengan tabi'at. Dan keseru- paan-keserupaan bathin itif
tersembunyi. Dan mempunyai sebab- sebab yang halus, yang tidak sanggup kekuatan
manusia menye laminya.-
Rasulullah saw.
mengibaratkan dari yang demikian, di mana beliau bersabda :
الأرواح جنود مجندة فما تعارف منها
ائتلف وما تناكر منها اختلف
(Al-arwaahu
junuudun mujannadatun famaa ta-'aarafa minhaa'- talafa wamaa tanaakara
minhakhtalaf).Artinya : "Jiwa itu adalah laksana tentara yang berkumpul
Maka yang kenal mengenal daripadanya, niscaya jinak-menjinakkan. Dan yang
bertentangan daripadanya niscaya berselisihlah" (1)Pertentangan, adalah
hasil (natijah) dari perbedaan. Dan kejinakan hati adalah hasil dari
kesesuaian, yang diibaratkan dengan : ta'aruf (berkenalan satu sama lain).
Pada sebahagian
kata-kata hadits tadi, terdapat yang maksudnya : "Jiwa itu adalah laksana
tentara yang berkumpul dan berjumpa. Lalu berciuman di udara".
Setengah"Ulama
menyebutkan ini dengkn cara kinayah (sindiran), dengan mengatakan, bahwa Allah
Ta'ala menjadikan segala nyawa. Maka dipecahkan-Nya setengahnya berpecahan dan
dithawafkan- Nya (dikelilingkan-Nya) dikeliling 'Arasy. Maka mana diantara dua
nyawa dari dua pecahan yang berkenalan itu, lalu keduanya berte mu, sebagai
sambungan di dunia-
Dan Nabi saw.
bersabda : "Bahwa nyawa dua orang mu*min, bertemu dalam perjalanan sehari.
Dan tiada sekali-kali salah seorang dari keduanya melihat temannya(2)
1 ) Dirawikan
Muslim dari Abu Hurairah.
|
2) Dirawikan
Ahmad dari 'Abdullah bin Amr.
|
259
|
Diriwayatkan:
"Bahwa di Makkah ada seorang wanita, suka menertawakan wanita lain. Dan di
Madinah ada lagi seorang. Lalu wanita Makkah tadi tinggal di Madinah. Maka
datanglah ia ke tempat
A-isyah ra.
Lalu menertawakannya. Maka 'A-isyqh ra. bertanya : "Di manakah engkau
tinggal?".
Wanita tadi,
lalu menyebutkan kepada 'A-isyah ra. temannya. Maka 'A-isyah ra. berkata :
"Benarlah kiranya Allah dan Rasul-Nya. Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda : Jiwa itu adalah laksana
tentara yang
berkumpul sampai akhir hadits diatas
tadi'".
Yang sebenarnya
mengenai ini, ialah : bahwa pandang memandang dan percobaan, menjadi saksi
kejinakan hati, ketika terdapat kesesuaian. Dan kesesuaian tentang tab 1'at
dan akhlaq pada bathin dan pada dhahir, adalah hal yang dapat difahami. Adapun
sebab-sebab yang mengharuskan persesuaian itu, tidaklah sanggup kemampuan
manusia mendalaminya. Dan sejauh kelucuan ahli nujum, bahwa ia mengatakan:
apabila bintangnya berada enam kali dari bin tang orang Iain atau tiga kali,
maka ini memperlihatkan persesuaian dan kesayangan. Lalu yang demikian itu
menghendaki kepada kesesuaian dan berkasih-kasihan. Dan apabila sebaliknya atau
berada empat kali, niscaya membawa kepada bermarah-marah- an dan permusuhan.
Maka ini kalau
benar adanya seperti demikian, dalam berlakunya sunnah Allah (yang ditetapkan
oleh Allah) pada kejadian langit dan bumi, niscaya persoalan padanya, adalah
lebih banyak dari persoal- an tentang pokok kesesuaian.
Maka tak ada
artinya, memasuki hal yang tidak terbuka rahasianya (sirr) bagi ummat manusia.
Maka tidaklah dianugerahkan kepada kita, dari ilmu pengetahuan, kecuali sedikit
saja. Dan mencukupilah bagi kita, untuk membenarkan yang demikian itu,
percobaan dan penyaksian. Dan telah datang hadits tentang yang demikian, di mana
Nabi saw. bersabda : "Jikalau seorang mu*min masuk ke suatu majelis, di
mana pada majelis itu seratus orang munafiq dan seorang orang mu'min,
sesungguhnya orang mu'min itu datang, sehingga duduk pada seorang mu'min tadi.
Dan jikalau seorang munafiq masuk ke suatu majelis, dimana pada majelis itu
seratus orang mu'min dan seorang orang munafiq, sesungguhnya orang munafiq itu
datang, sehingga ia duduk pada seorang munafiq itu". (1) Ini menunjukkan,
bahwa keserupaan sesuatu adalah tertarik kepada nya dengan tabi'at, walaupun ia
tiada terasa yang demikian itu. Malik bin Dinar berkata: "Tidak akan
sesuai dua orang dalam sepuluh orang, selain pada salah seorang dari keduanya,
terdapat sifat dari yang seorang lagi.
(1) Dirawikan
Al-Baihaqi, sebagai hadits mauquf (terhenti) pada Ibnu Mas'ud.
|
260
|
Sesungguhnya
jenis-jenis manusia, adalah seperti jenis-jenis burung. Tidak akan sepakat dua
macam burung terbang bersama, kecuali di antara keduanya ada kesesuaian".
Lalu Malik bin Dinar meneruskan dengan mengatakan bahwa pada suatu hari, beliau
melihat seekor burung gagak, bersama seekor burung merpati. Maka heranlah
beliau melihat demikian, lalu berkata: "Keduanya itu telah sepakat dan
tidaklah keduanya itu dari satu bentuk". Kemudian, kedua ekor burung itu
terbang. Rupanya, keduanya pincang. Lalu Malik bin Dinar berkata : "Dari
segi inilah keduanya sepakat". Karena itulah, setengah ahli hikmat
(hukama') berkata : "Tiap-tiap manusia, jinak hatinya kepada yang sebentuk
dengan dia sebagaimana masing-masing burung itu terbang bersama jenisnya. Dan
apabila dua orang bershahabat pada suatu waktu dan keadaan keduanya tidak
serupa, maka tidak dapat tidak, keduanya akan berpisah".
Dan inilah
suatu pengertian yang tersembunyi, yang telah difahami dengan kecerdikan oleh
penya'ir-penya'ir. Sehingga berkatalah seorang dari mereka :
Seorang
bertanya,"Bagaimana, engkau berdua jadi berpisah?".
Maka aku
menjawab, dengan jawaban keinsyafan : ‘Dia tidak sebentuk dengan aku,maka aku
berpisah dengan dia "
Manusia itu
berbagai bentuk dan beribu macam keadaan "
Maka jelaslah
dari yang tersebut ini, bahwa manusia kadang-kadang mencintai karena zat barang
itu sendiri. Bukan karena sesuatu faedah, yang akan dicapai, pada masa yang
sekarang atau pada masa yang akan datang. Tetapi, karena semata-mata
kesejenisan dan kesesuaian pada sifat-sifat bathin dan budi-pekerti yang
tersembunyi. Dan termasuk dalam bahagian ini, cinta karena cantik, apabila,
tidak ada maksudnya untuk melepaskan nafsu-syahwat. Sesungguhnya, rupa yang
cantik adalah enak dipandang mata, walaupun diumpamakan tidak ada nafsu-syahwat
sama sekali. Sehingga enaklah memandang kepada buah-buahan, sinar, bunga-
bungaan, buah tufah yang warnanya bercampur dengan kemerah- merahan, memandang
kepada air yang mengalir dan kepada benda yang kehijau-hijauan, tanpa suatu
maksud, selain daripada benda itu sendiri.
Kecintaan tadi
tidaklah termasuk kecintaan kepada Allah. Tetapi itu, adalah kecintaan dengan
tabi'at (sifat masing-masing) dan hawa nafsu. Dan yang demikian itu, tergambar
dari orang yang tidak ber- iman kepada Allah. Kecuali, sesungguhnya, kalau hal
yang tersebut tadi, mempunyai hubungan dengan suatu maksud yang tercela, niscaya
jadilah ia tercela. Seperti kecintaan kepada rupa yang cantik untuk melepaskan
hawa nafsu, di mana tidak halal melepaskannya. Dan jikalau tidak berhubungan
dengan suatu maksud yang tercela, maka itu diperbolehkan (mubah), yang tidak
disifatkan dengan pujian dan celaan. Karena kecintaan itu, adakalanya terpuji,
adakalanya tercela dan adakalanya mubah, tidak terpuji dan tidak tercela.
Bagian kedua : bahwa
mencintai sesuatu, untuk memperoleh dari benda itu, selain dari bendanya. Maka
jadilah benda itu, wasilah (jalan) untuk sampai kepada yang dicintai, yang lain
dari benda itu. Dan wasilah kepada yang dicintai, adalah dicintai. Dan apa yang
dicintai untuk kecintaan yang lain daripadanya, adalah yang lain itu pada
hakekatnya yang dicintai. Tetapi jalan kepada yang dicintai, adalah dicintai
juga.
Karena itulah,
manusia mencintai emas dan perak. Dan tak ada maksud pada keduanya. Karena ia
tidak diambil untuk menjadi makanan dan pakaian. Tetapi keduanya, adalah
wasilah kepada segala yang dicintai.
Sebahagian
manusia, ada orang yang dicintai, sebagaimana dicintai emas dan perak, dari
segi dia itu wasilah kepada sesuatu maksud. Karena dengan dia, dapat mencintai
kemegahan atau harta atau il - rau pengetahuan. Sebagaimana orang mencintai
seorang sultan (penguasa), karena dapat mempergunakan hartanya atau kemegah-
annya. Dan mencintai orang-orang tertentu dari orang-orang sultan, karena
mereka akan menerangkan yang baik-baik tentang dirinya kepada sultan. Dan
menyediakan persoalannya untuk masuk ke dalam hati sultan.
Maka jalan yang
dicari untuk sampai kepadanya, kalau faedahnya terbataspada dunia saja, niscaya
tidaklah kecintaannya itu dari jumlah kecintaan pada jalan Allah. Dan kalau
tidak terbatas faedahnya pada dunia, tetapi tiada dimaksudkan kecuali untuk
dunia, seperti kecintaan murid kepada gurunya, maka itu juga di luar dari
kecintaan kepada Allah. Karena sesungguhnya, mencintai guru, adalah supaya
memperoleh ilmu pengetahuan untuk dirinya sendiri. Maka yang dicintainya adalah
ilmu pengetahuan. Apabila tidak dimaksudkan dengan ilmu pengetahuan itu, untuk mendekatkan
diri kepada Allah Ta'ala, tetapi untuk memperoleh kemegahan, harta dan
penerimaan dari orang banyak, maka yang dicintainya, adalah kemegahan dan
penerimaan orang banyak. Dan ilmu pengetahuan itu adalah wasilah (jalan)
kepadanya. Dan guru itu adalah wasilah kepada ilmu pengetahuan. Maka tiada
sedikitpun dari yang demikian itu, kecintaan kepada Allah. Karena tergambar-
lah semuanya itu, dari orang yang tiada beriman sekali-kali kepada Allah
Ta'ala.
Kemudiah, ini
terbagi pula kepada : yang tercela dan yang mubah. Kalau dimaksudkan dengan
kecintaan itu, supaya tercapai maksud- maksud yang tercela : dari pemaksaan
teman-teman, pengambilan harta anak-anak yatim, kezalim an pemimpin-pemimpin
dengan urusan kehakiman atau lainnya, niscaya adalah kecintaan itu tercela.
Dan kalau dimaksudkan dengan kecintaan itu, untuk mencapai yang mubah (yang
diperbolehkan), maka itu adalah mubah.
Sesungguhnya
wasilah itu, mengusahakan hukum dan sifat dari tujuan yang dimaksudkan mencapainya.
Maka wasilah itu mengikuti tujuan. Ia tidak berdiri sendiri.
Bahagian Ketiga
: Bahwa mencintai sesuatu, tidak karena dzat sesuatu itu. Tetapi untuk yang
lain. Dan yang lain itu, tidak kembali kepada segala bahagiannya dalam dunia.
Tetapi kembali kepada segala bahagiannya di akhirat.
Maka inipun
jelas, tak ada kekaburan padanya. Dan yang demikian itu, seperti orang yang
mencintai gurunya dan syaikhnya. Karena dengan guru dan syaikhnya itu, ia
berhasil untuk memperoleh ilmu dan kepandaian beramal. Dan maksudtiya dari ilmu
dan amal itu, ialah kemenangan di akhirat.
Maka ini,
termasuk dalam jumlah orang-orang yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitu
pula orang yang mencintai muridnya. Karena murid itu memperoleh ilmu
daripadanya. Dan ia mencapai dengan perantaraan muridnya itu : pangkat
pengajar. Dan ia meningkat dengan itu, ke derajat: pengagungan di alam tinggi
(alam mala kut). Karena Isa as. bersabda : "Barangsiapa belajar, berbuat
dan mengajar, maka orang yang demikian itu dinamakan : 'Orang besar, di alam
tinggi'
Mengajar itu
tidak akan sempurna, kecuali ada yang belajar (murid). Jadi murid itu adalah
alat (media) untuk memperoleh kesempurnaan tersebut. Maka kalau ia mencintai
murid, karena menjadi alatnya, sebab murid itu menjadikan dadanya kebun untuk
tanaman dari guru, yang menjadi sebab meningkatnya guru itu ke tingkat
:pengagungan dialam malakut, maka adalah ia mencintai pada jalan Allah.
Bahkan orang
yang bersedekah dengan hartanya karena Allah, dikumpulkannya tamu-tamu dan
disediakannya bagi mereka makanan yang enak-enak, yang jarang terdapat, karena
mendekatkan diri kepada Allah, lalu disayanginya tukang masak, karena bagus
peker- jaannya dalam memasak, maka dia itu termasuk dalam jumlah orang-orang
yang mencintai pada jalan Allah. Dan begitu pula, kalau ia mencintai orang yang
diserahkannya untuk menyampaikan sedekah (zakat) kepada orang yang berhak
menerimanya, maka sesungguhnya ia mencintai orang itu pada jalan Allah. Bahkan
kami tambahkan di atas ini lagi dan kami mengatakan : "Apabila ia
mencintai orang yang menjadi pelayannya pada mencuci pakaiannya, menyapu
rumahnya dan memasak makanan- nya dan dengan itu ia dapat menyerahkan seluruh
waktunya bagi ilmu pengetahuan atau amal perbuatan dan maksudnya dari mema- kai
pelayan pada segala perbuatan yang tersebut itu, adalah untuk dapat menyerahkan
seluruh waktunya bagi ibadah, maka ia adalah mencintai pada jalan Allah".
Bahkan kami
tambahkan lagi dan kami mengatakan : "Apabila ia mencintai orang yang
membelanjainya dengan harta, yang menolonginya dengan pakaian, makanan, tempat
tinggal dan semua maksud yang dimaksudkannya di dunia, dan maksudnya dari
jumlah yang demikian itu, adalah untuk dapat menyerahkan segala waktunya bagi
ilmu dan amal yang mendekatkan kepada Allah, maka dia itu adalah mencintai pada
jalan Allah".
Sesungguhnya,
adalah suatu kumpulan dari orang-orang dahulu (salaf), yang keperluannya
ditanggung oleh serombongan orang- orang kaya. Dan adalah yang menolong dan
yang ditolong itu semua termasuk sebagian dari orang-orang yang cinta-mencintai
pada jalan Allah.
Bahkan kami
tambahkan lagi dan kami mengatakan: "Bahwa orang yang mengawini seorang
wanita yang shalih, supaya ia terpelihara dengan wanita itu dari gangguan
sethan dan dapat ia menjaga dengan wanita itu akan agamanya atau supaya ia
memperoleh dari wanita itu anak yang shalih, yang akan berdo'a kepadanya dan ia
mencintai isterinya itu, karena menjadi alat untuk mencapai mak- sud-maksud
keagamaan tersebut, maka ia adalah mencintai pada jalan Allah".
Dan karena
itulah, datang banyak hadits yang menerangkan dengan kesempumaan pahala dan
balasan pada mengeluarkan perbelanjaan kepada keluarga, sehingga sesuap makanan
yang dimasukkan oleh seorang laki-laki ke dalam mulut isterinya. Bahkan kami
mengatakan : bahwa tiap-tiap orang yang terkenal mencintai Allah, mencintai
kerelaan-Nya dan mencintai menemui-Nya di negeri akhirat, maka apabila ia
mencintai orang lain, niscaya adalah ia mencintai pada jalan Allah. Karena
tiada tergambaria mencintai sesuatu, kecuali ada kesesuaian untuk yang menjadi
kecintaannya.
Yaitu: kerelaan
Allah Azza wa Jalla. Bahkan aku tambahkan di atas ini lagi dan aku mengatakan :
apabila berkumpul di dalam hatinya dua kecintaan : kecintaan kepada Allah dan
kecintaan kepada dunia dan berkumpul pada orang seorang dua maksud
bersama-sama, sehingga patut untuk ia memperoleh wasilah (jalan) kepada Allah
dan kepada dunia. Maka apabila dicintainya itu untuk kebaikan kedua hal tersebut,
niscaya adalah ia termasuk orang-orang yang mencintai pada jalan Allah.
Seperti: orang mencintai gurunya yang mengajarinya agama dan mencukupkan
kepadanya segala keperluan duniawi, dengan memberikan harta. Maka dicintainya
gurunya itu, di mana menurut sifatnya, ialah mencari kesenangan di dunia dan
kebaha- gian di akhirat. Lalu gurunya itu, adalah wasilah kepada keduanya. Maka
adalah ia mencintai pada jalan Allah.
Dan tidaklah
termasuk syarat mencintai Allah, bahwa ia tidak mencintai sedikitpun
kebahagiaan di dunia. Karena do'a yang disuruh nabi-nabi, dimana pada do'a itu,
berhimpun antara dunia dan akhirat. Dan sebahagian dari do'a yang semacam itu,
ialah do'a :
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة
حسنة
(Rabbanaa
aatinaa fiddun-ya hasanah, wa fil-aakhirati hasanah). Artinya : "Wahai
Tuhan kami! Datangkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat!".
Isa as.
membacakan dalam do'anya : اللهم
لا تشمت بي عدوي ولا تسؤ بي صديقي ولا تجعل مصيبتي لديني ولا تجعل الدنيا أكبر همى
فدفع شماتة الأعداء من حظوظ الدنيا ولم يقل ولا تجعل الدنيا أصلا من همى بل قال لا
تجعلها أكبر همى "Wahai Allah Tuhanku! Janganlah Engkau kecewakan musuhku,
disebabkan aku! Janganlah Engkau burukkan temanku, disebabkan aku! Janganlah
Engkau jadikan bahaya yang menimpa diriku, atas agamaku! Dan janganlah Engkau
jadikan dunia, yang terbesar dari cita-citaku!". Maka menolak kekecewaan
musuh, adalah termasuk bahagian duniawi. Dan 'Isa as. tidak mengucapkan :
"Janganlah Engkau jadikan dunia pokok dari cita-citaku!". Tetapi ia
mengucapkan : "Jangan lah Engkau jadikan dunia itu, yang terbesar dari
cita-citaku!".
Nabi kita Muhammad saw. membacakan pada do'anya :
Nabi kita Muhammad saw. membacakan pada do'anya :
اللهم إني أسألك رحمة أنال بها شرف
كرامتك في الدنيا و الآخرة
(Allaahumma
innii as-aluka rahmatan anaalu bihaa syarafa karaama- tika fiddun-ya
wal-aakhirah).Artinya :
"Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku memohonkan rahmat pada-Mu yang aku
capai dengan rahmat itu akan kemuliaan kelimpahan kurnia-Mu, di dunia dan di
akhirat!".
Dan Nabi saw. membacakan :
Dan Nabi saw. membacakan :
اللهم عافني من بلاء الدنيا وعذاب
الآخرة
(Allaahumma
'aafinii min balaa-id-dun-ya wa balaa-il-aakhirah). Artinya : "Wahai Allah
Tuhanku! Datangkanlah kepadaku ke'afiatan dari bencana dunia dan bencana
akhirat(2)
Kesimpulannya,
maka apabila tidaklah kecintaan kepada kebahagiaan di akhirat berlawanan
dengan kecintaan kepada Allah Ta'ala, maka kecintaan kepada keselamatan,
kesehatan, kecukupan dan kemuliaan di dunia, lalu bagaimanakah ia berlawanan
dengan kecintaan kepada Allah?".
Dunia dan
akhirat, adalah ibarat dua hal, yangsatu lebih dekat dari yang lain. Maka
bagaimanakah dapat digambarkan bahwa manusia itu mencintai bahagian-bahagian
untuk dirinya esok dan tidak men- cintai bahagian-bahagiannya yang hari ini?
Sesungguhnya ia mencintai yang esok, karena yang esok itu akan menjadi
persediaan yang disediakan.
Maka yang
disediakan itu, tak boleh tidak adalah dituntut juga. Kecuali bahagian-bahagian
yang sekarang ini (di dunia), adalah ter- bagi kepada : yang berlawanan dengan
bahagian-bahagian yang di akhirat dan yang mencegah daripadanya. Dan itu, yang
dijaga benar daripadanya, oleh nabi-nabi dan wali-wali. Dan mereka menyuruh
menjaga daripadanya. Dan kepada : yang tidak berlawanan. Yaitu : yang mereka,
tidak mencegah diri daripadanya, seperti: nikah yang shih, memakan yang halal
dan lain-lain.
Apa yang
berlawanan dengan bahagian-bahagian yang akan diperoleh di akhirat, maka hak
dari orang yang berakal pikiran, memben- cikannya dan tidak mencintainya.
Yakni: membencikanya dengan akal pikirannya, tidak dengan nalurinya.
Sebagaimana ia membenci mengambil makanan yang enak untuk seorang raja, di mana
ia mengetahui, kalau ia mengambil makanan tersebut, niscaya tangannya dipotong
atau lehernya dipancung
(1) Dirawikan AthThirmidzi dari Ibnu Abbas
dalam suatu hadits yang panjang, mengenai do'anya Nabi saw. sesudah shalat
malam (shalat tahajjud).
|
(2) Dirawikan Ahmad dari B&syar bin Abi
Arthah, dengan sanad baik.
|
266
|
Bukan dengan
pengertian, bahwa makanan yang lazat rasanya itu, ia tidak merindukannya dengan
nalurinya dan tidak merasa kelezatannya, jikalau dimakannya. Karena yang
demikian itu, adalah mustahil. Tetapi, dengan pengertian, bahwa ia digertak
dengan siksaan oleh akal pikirannya, untuk datang mengambil makanan tersebut.
Dan terjadilah padanya ke- bencian oleh kemelaratan yang berhubungan dengan
makanan itu. Dan yang dimaksudkan dari ini, ialah jikalau ia mencintai gurunya,
karena menolongnya dan mengajarinya. Atau ia mencintai muridnya, karena murid
itu belajar padanya dan berkhidmat padanya. Dan salah satu dari yang dua itu,
adalah bahagian yang diperoleh- nya dengan segera (di dunia) dan yang lain pada
masa yang lambat (di akhirat), niscaya adalah ia dalam rombongan orang-orang
yang cinta-mencintai pada jalan Allah. Tetapi dengan satu syarat, yaitu :
jikalau gurunya itu tidak mau memberikan kepadanya suatu ilmu -umpamanya- atau
sukar ia memperoleh ilmu itu dari gurunya yang tersebut, niscaya berkuranglah
kecintaannya disebabkan yang demikian. Maka kadar yang berkurang disebabkan
tidak adanya yang tersebut tadi, itu adalah bagi Allah Ta'ala. Dan baginya atas
kadar yang berkurang itu, mempunyai pahala kecintaan pada jalan Allah.
Dan tidaklah
dapat dibantah, bahwa kecintaanmu bertambah keras kepada seseorang manusia,
karena sejumlah maksud-maksud yang terikat satu sama lain bagimu dengan orang
itu. Maka jikalau terhambat sebahagian dari maksud-maksud itu, niscaya
berkuranglah kecintaanmu kepadanya. Dan jika bertambah bahagian dari maksud-
maksud itu, niscaya kecintaanmu menjadi bertambah. Maka tidaklah kecintaanmu
kepada emas, seperti kecintaanmu kepada perak, apabila jumlahnya bersamaan.
Karena emas itu menyampaikan kepada maksud-maksud yang lebih banyak, dari apa
yang dapat disampaikan oleh perak.
Jadi, kecintaan
itu bertambah dengan bertambahnya maksud. Dan tidaklah mustahil berkumpul
maksud-maksud duniawi dan ukhrawi (maksud-maksud dunia dan akhirat). Maka itu
adalah termasuk dalam jumlah kecintaan kepada Allah. Dan batasnya, ialah :
bahwa tiap-tiap kecintaan, jikalau tidak ada iman kepada Allah dan hari
akhirat, lalu tidak tergambar adanya kecintaan itu, maka itu adalah kecintaan
pada jalan Allah. Dan begitu pula, tiap-tiap tambahan pada kecintaan, jikalau
tidak ada iman kepada Allah, niscaya tambahan itu tidak ada. Maka tambahan
tersebut adalah dari kecintaan pada jalan Allah.
Yang demikian
itu, walaupun halus, adalah ia mulia. Al-Jurairi berkata : "Manusia bergaul
pada kurun pertama dengan agama, sehingga tipislah agama itu. Mereka bergaul
pada kurun kedua dengan kesetiaan, sehingga hilanglah kesetiaan itu. Dan pada
kurun ketiga, dengan kehormatan diri (muru-ah), sehingga hilanglah kehormatan
diri itu. Dan tidak ada tinggal, selain dari ketakutan dan keinginan".
Bahagian Keempat: bahwa
ia mencintai karena Allah dan pada jalan Allah. Tidak untuk memperoleh
daripadanya ilmu atau pekerjaan. Atau untuk dipergunakan menjadi wasilah
kepada sesuatu hal, diba Iik diri orang itu sendiri. Dan inilah derajat
yang tertinggi! Dan itu lah yang paling halus dan yang paling kabur.
Bahagian ini juga mungkin. Karena setengah dari bekas kerasnya
kecintaan, ialah bahwa melampaui dari yang dicintai, kepada tiap- tiap
orang yang bersangkutan dengan yang dicintai dan yang bersesuaian dengan
yang dicintai, walaupun dari jauh. Maka orang yang mencintai seorang
manusia dengan kecintaan yang keras, niscaya ia mencintai orang yang
mencintai manusia itu. Ia mencintai orang yang dicintai oleh manusia
itu. Ia mencintai orang yang melayani manusia itu. Ia mencintai orang
yang dipuji oleh kecintaannya itu.
Dan ia
mencintai orang yang bekerja cepat untuk kesenangan kecintaannya itu.
Sehingga berkata Baqiyah bin al-Walid : "Bahwa orang mu'min apabila
mencintai orang mu'min, niscaya ia mencintai akan anjingnya". Dan
benarlah apa yang dikatakan oleh Baqiyah itu. Dibuktikan oleh percobaan
dalam keadaan orang-orang yangsedang asyik dan maksyuk. Dan ditunjukkan
kepada yang demikian, oleh syair-syair para penyair. Dan karena itulah,
orang menyimpan kain dari kecintaannya dan menyembunyikannya untuk
kenang-kenangan dari pihak kecintaannya itu. Dan mencintai rumah, tempat
tinggal dan tetangga dari kecintaan. Sehingga ber- madahlah seorang
yang mabuk cinta (majnun) dari kabilah (suku) Bani 'Amir:
"Aku lalu
dihadapan rumah, rumah kecintaanku Laila. Aku menghadap ke dinding ini
dan ke dinding itu Tidaklah kecintaan kepada rumah, yang melekat pada
jantung hatiku. Tetapi kecintaan kepada orang, yang mendiami rumah itu .
. . .
Jadi,
penyaksian dan percobaan menunjukkan, bahwa kecintaan itu melampaui dari
diri yang dicintai, kepada yang mengelilinginya, yang berhubungan
dengan sebab-sebabnya dan yang bersesuaian dengan dia, walaupun dari
jauh. Tetapi yang demikian itu, adalah dari salah satu kekhususan
bersangatannya kecintaan. Maka pokok kecintaan, tidaklah mencukupi pada
orang yang dicintai saja. Dan adalah meluasnya kecintaan itu pada
melampauinya dari yang dicintai, kepada yang meliputi, yang mengelilingi
dan yang ber- sangkutan dengan sebab-sebabnya, menurut berlebih-lebihan
dan kuatnya kecintaan itu.
Dan seperti itu
pulalah kecintaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, apabila kuat dan
mengeras pada hati dan menguasai padanya. Sehingga sampai kepada batas
membuta tuli. Maka melampauilah kecintaan itu, kepada segala yang ada
(maujud), selain Dia. Karena segala yang maujud, selain Dia, adalah
bekas dari bekas qudrah-Nya. Dan barangsiapa mencintai seorang manusia,
niscaya dicintainya akan perbuatan, tulisan dan segala pekerjaan dari
manusia itu.
Dan karena
itulah, Nabi saw. apabila dibawa kepadanya buah- buahan yang menjadi
petikan pertama dari pohonnya, lalu beliau menyapu kedua matanya dengan
buah-buahan itu dan memulia- kannya. Dan bersabda :انه قريب العهد بربنا (Innahu
qariibul-'ahdi birabbinaa). Artinya : "Dia baru saja dengan Rabb kita".
(1.Hasan dan shahih) Mencintai Allah Ta'ala, sekali adalah benarnya
harapan pada janji- janji-Nya dan apa yang akan teijadi di akhirat dari
nikmat-Nya. Sekali, karena apa yang telah terdahulu, dari
rahmat-rahmat-Nya dan bermacam-macam nikmat-Nya. Sekali, karena
Dzat-Nya, tidak karena sesuatu hal yang lain. Dan inilah yang terhalus
dan yang tertinggi, dari segala macam kecintaan. Dan akan datang
pentahkikan (pembuktian)nya, pada "Kitab Kecintaan" dari
Rubu’Al-Mun jiyat (Rubu' yang melepaskan) Insya Allahu Ta'ala. Betapapun
kesepakatan kecintaan kepada Allah, maka apabila telah kuat, niscaya
melampauilah kepada semua yang bersangkutan
(1) Dirawikan
Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, Abi Dawud dan Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah. Kata At-Tirmidzi, hadits ini baik (Hasan) dan shahih .
|
269
|
dengan Dia,
dalam macam manapun sangkutan itu. Sehingga melampaui kepada apa, yang
padanya menyakitkan.dan tidak menyukakan pada dirinya. Tetapi berlebihan
cinta itu, melemahkan perasaan sakit. Dan kegembiraan dengan perbuatan
orang yang dicintai dan perbuatan itu maksudnya menyakitkan, dapat
menghilangkan perasaan kesakitan itu. Dan yang demikian, seperti
kegembiraan dengan pukulan yang datang dari yang dicintai atau perkataan
yang menyakitkan, di mana padanya semacam perkataan yang tidak
menyenangkan.
Sesungguhnya
kuatnya kecintaan yang membekas kesenangan itu, menghilangkan perasaan
kesakitan. Dan telah sampailah kecintaan kepada Allah bagi suatu kaum,
sehinga sampailah mereka itu mengatakan : "Kami tidak membedakan antara
bencana dan nikmat. Karena semuanya itu dari Allah. Dan tidak kami
bergembira, kecuali dengan yang ada padanya kerelaan Allah". Sehingga
setengah mereka mengatakan : "Aku tidak bermaksud memperoleh peng
ampunan Allah pada kemaksiyatan kepada Allah".Samnun bermadah :
Tidaklah bagiku,
bahagian pada selain Engkau.
Maka bagaimanapun kehendak-Mu,
cobakanlah kepadaku ".
Dan akan datang
pentahkikan yang demikian, pada Kitab Kecintaan. Dan yang dimaksud,
ialah : bahwa kecintaan kepada Allah apabila telah kuat, niscaya
membuahkan kecintaan kepada tiap- tiap orang yang berdiri dengan hak
peribadatan kepada Allah, mengenai pengetahuan atau amalan. Dan
membuahkan kecintaan kepada tiap-tiap orang yang ada padanya, sifat yang
direlai Allah, dari kelakuan yang baik atau beradab dengan adab-adab
agama. Dan tidaklah dari seorang mu'min yang mencintai akhirat dan
mencintai Allah, melainkan apabila diterangkan kepadanya, tentang hal
dua orang. Yang seorang alim abid, dan yang seorang lagi jahil fasiq.
Maka ia memperoleh pada dirinya, kecondongan kepada orang alim yang
abid. Kemudian kecondongan itu lemah dan kuat, menurut kelemahan dah
kekuatan imannya. Dan menurut kelemah- an dan kekuatan cintanya kepada
Allah. Dan kecondongan itu di- peroleh, walaupun kedua orang itu jauh
daripadanya, dimanaia mengetahui, bahwa dia tidak akan memperoleh dari
kedua orang tersebut, kebajikan atau kejahatan, baik di dunia atau
diakhirat.
Maka
kecondongan itu, ialah kecintaan kepada Allah dan karena Allah, tanpa
memperoleh bahagian apa-apa. Sesungguhnya ia mencintai orang itu,
karena Allah mencintainya. Dan karena orang itu memperoleh kerelaan pada
sisi Allah Ta'ala. Dan karena ia mencintai Allah Ta'ala. Dan ia selalu
beribadah kepada Allah Ta'ala. Kecuali, apabila kecintaan itu lemah,
niscaya bekasnya tidak me- nampak dan tidak lahir padanya pembalasan dan
pahala.
Apabila
jtecintaan itu kuat, niscaya membawa kepada berkawan, tolong-menolong,
memelihaia jiwa, harta dan lidah. Dan manusia berlebih-kurang padanya,
menurut berlebih-kurangnya mereka mencintai Allah Azza wa Jalla. Dan
adalah kalau kecintaan itu terbatas, kepada memperoleh bahagian yang
akan diperoleh dari yang dicintai, baik sekarang atau pada masa yang
akan datang, niscaya tidaklah tergambar mencintai orang-orang yang telah
me- ninggal, dari alim 'Ulama, abid-abid, para shahabat dan tabi'in.
Bahkan juga nabi-nabi yang telah silam, kiranya rahmat dan sejah- tera
daripada Allah berkekalan kepada mereka sekalian. Dan kecintaan kepada
semua mereka itu, adalah tersembunyi dalam hati tiap-tiap muslim yang
beragama.
Yang demikian
itu, jelas dengan marahnya, ketika musuh-musuh mencaci salah seorang
dari mereka yang tersebut tadi dan dengan senangnya ketika mereka
mendapat pujian dan disebutkan kebaikan- kebaikan mereka. Semuanya itu
adalah kecintaan karena Allah. Karena mereka, adalah hamba-hamba Allah
yang tertentu. Barangsiapa mencintai seorang raja atau seorang yang
baik, niscaya ia mencintai pembantu-pembantu dan pelayan-pelayannya. Dan
mencintai orang-orang yang dicintai oleh raja atau orang yang baik
tadi. Kecuali dia itu menguji akan kecintaannya dengan timbal-balik
dengan segala bahagian untuk dirinya. Kadang-kadang mengeras, di mana
tidak tinggal bagi dirinya bahagian, selain pada yang menjadi bahagian
bagi yang dicintai.
Dan tentang itu, bersajaklah orang yang bersajak :
Aku mau bersilaturrahmiy,
ia mau meninggalkan aku.
Lalu aku tinggalkan apa yang aku kehendaki,
untuk apa yang ia mau ".
Dan berkatalah orang yang mengatakan :
"Apalah luka itu
apabila telah menyenangkan bagimu kesakitan "
Kadang-kadang
kecintaan itu, ditinggalkan sebahagian dan tinggal lagi sebahagian.
Seumpama : orang yang diperbolehkan oleh jiwa- nya untuk menyerahkan
kepada kekasihnya, setengah hartanya atau sepertiganya atau
sepersepuluhnya. Maka menurut jumlah harta yang diserahkan itu, adalah
menjadi timbangan kecintaannya. Karena tidak diketahui .tingkat
kecintaan itu, melainkan dengan kecintaan yang ditinggalkan sebagai
timbal-baliknya. Maka orang yang tenggelam dalam kecintaan dengan
seluruh jiwanya, niscaya tidaklah tinggal baginya lagi, kecintaan yang
lain. Maka tidaklah ditahan untuk dirinya sesuatu, seperti Abu Bakar
Ash-Shiddiq ra. Beliau tidak meninggalkan lagi untuk dirinya sendiri,
baik keluarga atau harta. Maka diserahkannya puterinya yang menjadi
jantung hatinya dan diberikannya semua hartanya.
Ibnu 'Umar ra. berkata :
"Sewaktu
Rasulullah saw. sedang duduk dan di sisinya Abu Bakar dengan memakai
baju kemeja panjang, yang telah koyak pada dadanya beberapa lobang,
tiba-tiba turun Jibril as. Maka Jibril as. menyampaikan salam sejahtera
daripada Allah kepada Nabi dan mengatakan :
"Wahai
Rasulullah! Mengapakah saya melihat Abu Bakar dengan memakai baju kemeja
panjang, yang telah koyak pada dadanya beberapa lobang?".
Nabi saw. menjawab : "Beliau telah membelanjakan hartanya kepadaku sebelum penaklukan Makkah".
Jibril
menyambung: "Sampaikanlah salam sejahtera daripada Allah kepadanya dan
katakanlah kepadanya : 'Tuhanmu bertanya kepadamu : 'Adakah engkau rela
dari-Ku tentang kemiskinanmu ini atau engkau marah?'".
Ibnu 'Umar ra. menerangkan seterusnya :
Lalu Nabi saw. berpaling kepada Abu Bakar dan bersabda :
Wahai Abu
Bakar! Inilah Jibril yang membacakan kepadamu salam sejahtera daripada
Allah dan berfirman : 'Adakah engkau rela dari-Ku tentang kemiskinanmu
ini atau engkau marah?'".
Ibnu 'Umar meneruskan ceriteranya :
Maka
menangislah Abu Bakar ra. seraya berkata : "Adakah aku marah kepada
Tuhanku? Aku rela kepada Tuhanku, aku rela kepada Tuhanku!". (1) Maka
dapatlah diambil kesimpulan dari ini, bahwa tiap-tiap orang yang
mencintai orang alim atau orang abid atau mencintai orang yang
menggemari ilmu atau ibadah atau kebajikan, maka sesung guhnya ia
mencintai orang yang tersebut tadi, pada jalan Allah dan karena Allah.
Dan ia memperoleh pahala dan pembalasan, menurut kekuatan kecintaannya.
(1) Dirawikan
Ibnu Hibban dan Al-'Uqaili, dalam golongan orang-orang yang dia'if
haditsnya. Dan Adz-Dzahabi berkata dalam "Al-Mizan", bahwa hadits ini
dusta. (Al-Iraqi dalam catatannya dihalaman bawah "Ihya"). - Peny
|
272
|
Maka inilah uraian kecintaan pada jalan Allah dan tingkat-tingkatnya. Dan dengan ini, menjadi jelaslah pula tentang kemarahan pada jalan Allah. Tetapi akan kami tambahkan lagi penjelasan:
Penjelasan Kemarahan pada jalan Allah.
Ketahuilah
kiranya, bahwa tiap-tiap orang yang mencintai pada jalan Allah, niscaya
tak boleh tidak, ia memarahi pada jalan Allah. Karena jikalaulah engkau
mencintai seseorang manusia, karena ia mentha'ati Allah dan ia tercinta
pada sisi Allah, maka kalau ia mendurhakai Allah, niscaya tak boleh
tidak, engkau akan memarahinya. Karena ia berbuat maksiyat kepada Allah
dan ia tercela pada sisi Allah.
Dan barangsiapa
mencintai disebabkan sesuatu sebab, maka dengan sendirinya ia memarahi
bagi la wan sebab itu. Dan hal yang dua ini, adalah perlu-memerlukan.
Tidak berpisah yang satu dari lainnya. Dan itu menurut kebiasaan, banyak
terjadi pada kecintaan dan kemarahan; Tetapi masing-masing dari
kecintaan dan kemarahan itu, penyakit yang tertanam dalam hati. Dan
sesungguhnya ia tiris ketika mengeras. Ia tiris dengan lahirnya
perbuatan orang-orang yang mencintai dan yang memarahi, pada
dekat-mendekati dan jauh-menjauhi, pada perselisihan dan persesuaian.
Maka apabila telah lahir pada perbuatan, niscaya dinamakan yang demikian
: berteman dan bermusuh. Dan karena itulah, Allah Ta'ala berfirman :
"Adakah engkau mengambil seorang teman pada jalan agama-Ku ?. Adakah
engkau bermusuh dengan seorang musuh pada jalan agama-Ku?", sebagaimana
telah kami nukilkan dahulu.
Dan ini adalah
jelas terhadap prang yang tiada terang bagimu, selain dari ketha'atannya
yang menentukan bagimu untuk mencintainya. Atau tiada jelas bagimu,
selain dari kefasiqan dan kedzalimannya dan budi-pekertinya yang jahat.
Lalu engkau menentukan untuk memarahinya.
Sesungguhnya
yang sulit, ialah apabila bercampur ketha'atan dengan kema'shiatan.
Maka engkau akan bertanya : "Bagaimanakah aku kumpulkan antara marah dan
cinta, sedang keduanya itu berlawanan?".
Dan begitu pula berlawanan buahnya, dari persesuaian dan perseli- sihan, pershahabatan dan permusuhan.
Maka aku
menjawab, bahwa yang demikian itu tidaklah berlawanan terhadap Allah
Ta'ala, sebagaimana tidak berlawanan pada bahagian- bahagian
kemanusiaan. Karena manakala berkumpul pada diri sese- orang, beberapa
perkara yang disenangi sebahagiannya dan tidak disukai sebahagiannya,
maka engkau mencintainya dari suatu segi dan memarahinya dari segi yang
lain,
Orang yang
mempunyai seorang isteri yang cantik yang durhaka atau seorang anak yang
cerdik dan patuh, tetapi fasiq, maka ia akan mencintainya dari suatu
segi dan memarahinya dari suatu segi. Dan adalah bersama orang itu, atas
suatu keadaan diantara dua keadaan. Karena kalau diumpamakan, ia
mempunyai tiga orang anak : seorang cerdik yang selalu berbuat kebaikan,
seorang bodoh yang durhaka dan seorang lagi bodoh yang selalu berbuat
kebaikan atau cerdik yang mendurhakai orang tuanya, maka orang tersebut,
akan menjumpai pada dirinya, bersama anak-anaknya itu, dalam tiga hai
yang berlebih-kurang, menurut berlebih-kurangnya hal-hal yang menyangkut
dengan anak-anaknya.
Maka begitu
pula, seyogialah keadaanmu terhadap orang yang banyak berbuat
kedzaliman dan orang yang banyak berbuat ketha'- atan. Dan orang yang
berkumpul padanya kedua-duanya, berlebih- kurang di atas tiga tingkat.
Yaitu : engkau berikan kepada masing- masing sifat tadi, bahagiannya,
dari kemarahan dan kesayangan, berpaling daripadanya dan menoleh
kepadanya, berteman dan memutuskan perhubungan dan tindakan-tindakan
lain yang timbul daripadanya.
Kalau engkau
bertanya : "Tiap-tiap muslim itu, adalah keislamannya merupakan
ketha'atan daripadanya. Maka bagaimanakah aku memarahinya serta
keislamannya itu?".
Aku menjawab,
bahwa engkau menyayanginya adalah karena keislamannya. Dan engkau
memarahinya adalah karena kema'shiatannya. Dan adalah engkau terhadap
orang itu dalam suatu keadaan, jikalau engkau bandingkan keadaan
tersebut dengan keadaan orang kafir atau orang dzalim, niscaya engkau
memperoleh perbedaan diantara keduanya. Dan perbedaan itu adalah
kecintaan bagi Islam dan menunaikan hak Islam. Dan kadar pelanggaran
terhadap hak Allah dan ketha'atan kepadamu, adalah seperti pelanggaran
terhadap hakmu dan ketha'atan kepadamu. Orang yang bersesuaian dengan
kamu pada suatu maksud dan berlainan dengan kamu pada maksud yang lain,
maka adalah kamu bersama orang itu, dalam keadaan di tengah.
Diantara
tergenggam dan terlepas. Diantara menghadap dan berpaling. Diantara
berkasih-kasihan kepadanya dan berjauhan hati daripadanya. Dan tidaklah
kamu berlebih-lebihan memuliakannya, sebagaimana kamu berlebih-lebihan
pada memuliakan orang yang bersesuaian dengan kamu, dalam semua
maksudmu. Dan tidaklah kamu berlebih-lebihan menghinakannya, sebagaimana
kamu berlebih-lebihan menghinakan orang yang berselisih dengan kamu
dalam segala maksudmu. Kemudian keadaan di tengah itu (ta-tawash-shuth),
sekali adalah kecondongannya ke pinggir penghinaan, ketika mengerasnya
pelanggaran. Pan sekali ke pinggir berbaik-baikan dan pemliliaan, ketika
mengerasnya persesuaian. Maka begitulah seyogianya terhadap orang yang
mentha'ati Allah Ta'ala dan mendurhakai-Nya, yang berbuat sekali bagi
kerelaan-Nya dan pada kali yang lain bagi kemarahan-Nya.
Kalau engkau bertanya : "Dengan apakah kemarahan itu mungkin dilahirkan?".
Aku menjawab :
adapuh mengenai perkataan, maka sekali dengan mencegah lisan daripada
berkata-kata dan bercakap-cakap dengan dia. Dan pada kali yang
lain,dengan meringankan dan memberatkan perkataan itu. Mengenai
perbuatan, maka sekali dengan memutuskan usaha memberi pertolongan
kepadanya. Dan pada kali yang lain, dengan usaha yang memburukkan dan
merusakkan segala maksudnya.
Dan sebahagian
ini, lebih keras dari sebahagian yang lain. Yaitu menurut tingkat
kefasiqan dan kema'shiatan yang timbul daripadanya. Adapun hal yang
terjadi karena kesilapan, yang diketahui bahwa orang itu menyesal atas
perbuatan tersebut dan ia tidak meneruskannya lagi, maka yang lebih
utama ialah menutup dan me- micingkan mata daripadanya.
Adapun yang
dikerjakannya terus-terusan, baik kecil atau besar, maka jikalau orang
itu termasuk orang yang kuat berkasih-kasihan, pershahabatan dan
persaudaraan antara engkau dan dia, maka untuk itu mempunyai hukum
lain. Dan akan datang penjelasannya. Dan pada persoalan ini terdapat
perbedaan antara para 'ulama. Adapun apabila tiada teguh persaudaraan
dan pershahabatan, maka tak boleh tidak daripada menampakkan bekas
kemarahan. Adakalanya berpaling muka dan menjauhkan diri daripadanya,
serta sedikit sekali menoleh kepadanya. Dan adakalanya meringankan dan
memberatkan perkataan kepadanya. Dan ini adalah lebih berat daripada
berpaling muka daripadanya. Yaitu menurut berat dan ringannya
kema'shiatan.
Begitu pula
tentang perbuatan, terdapat dua tingkat. Salah satu daripadanya,
memutuskan pertolongan, kekasih-sayangan dan perbantuan. Dan itu adalah
tingkat yang paling rendah. Dan tingkat yang lain (tingkat yang Satu
lagi), ialah berusaha merusakkan segala maksudnya, seperti perbuatan
musuh yang sangat marah. Dan ini tak dapat tiada daripadanya. Tetapi,
adalah pada sesuatu yang dapat merusakkan padanya jalan kema'shiatan.
Adapun hal- hal yang tak membekas padanya, maka janganlah diperbuat.
Umpamanya : orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah dengan jneminum
khamar dan ia telah meminang seorang wanita. Jikalau mudah ia
mengawininya, niscaya ia amat gembira dengan wanita tersebut, disebabkan
harta, kecantikan dan kemegahannya. Hanya, yang demikian itu, tidak
membekas untuk mencegahnya dari meminum khamar dan tidak untuk
membangkit dan menggerakkannya- kepada meminum khamar.
Maka apabila
engkau sanggup menolongnya, supaya sempuma maksudnya dan hajatnya itu
dan engkau sanggup pula untuk mengacaukan maksudnya itu, supaya
maksudnya tadi tidak tercapai, maka janganlah engkau berusaha
mengacaukannya. Adapun menolong, kalau engkau tinggalkan memberi
pertolongan itu, untuk melahirkan kemarahan kepadanya karena
kefasiqannya, maka tiada mengapa. Dan tidaklah wajib meninggalkan
pertolongan itu. Karena kadang-kadang engkau mempunyai niatan untuk
melahirkan kasih-sayang dengan memberi pertolongan dan menampakkan
belas- kasihan kepadanya. Supaya ia percaya akan kasih-sayangmu dan
menerima akan nasehatmu.
Ini adalah
baik. Dan kalau tidak jelas yang demikian bagimu, tetapi engkau
berpendapat untuk menolongnya, buat mencapai maksudnya, sebagai
pelaksanaan terhadap keislamannya, maka yang demikian itu, tidaklah
dilarang. Bahkan adalah yang terbaik, jikalau kema'shiatannya itu,
adalah pelanggaran terhadap hakmu atau hak orang yang ada sangkutannya
dengan kamu. Dan mengenai ini, tersebut dalam firman Allah Ta'ala :
وَلا
يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي
الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
(Wa laa ya'tali
ulul fadl-li minkum wassa'ati an-yu'tuu ulil qurbaa wal-masaakiina
wal-muhaajiriina fii sabiilillaahi wal-ya'fuu wal-yash- fahuu alaa
tuhibbuuna an-yaghfirallaahu lakum).Artinya: "Dan janganlah orang-orang
yang mampu dan berkela pangan dari antara kamu (bersumpah) tidak mau
membantu akan keluarga yang dekat dan orang-orang miskin dan orang-orang
yang berhijrah di jalan Allah, tetapi hendaklah mereka ma'afkan dan ber
lapang dada. Bukankah engkau suka kiranya Allah mengampun- kan kamu".
S. An-Nur, ayat 22.
Karena
Musaththah bin Atsatsah yang membicarakan ke sana-sini tentang peristiwa
berita bohong itu (berita fitnah tentang perbuatan seorang laki-laki
terhadap 'A-isyah ra.). Lalu Abu Bakar ra. bersumpah untuk memutuskan
bantuannya kepada Musaththah tersebut, di mana beliau memberi
pertolongan harta kepadanya. Maka turunlah ayat tadi, serta betapa
besarnya kema'shiatan yang dilakukan Musaththah. Dan manakah ma'shiat
yang melebihi dari tuduh an yang amat keji itu terhadap isteri
Rasulullah saw. dan meman jangkan lidahnya kepada seumpama 'A-isyah ra.?
Kecuali Abu
Bakar Shiddiq ra. (ayahanda 'A-isyah ra.) adalah orang yang terani aya
dirinya dengan peristiwa itu dan memberi ma'af kepada orang yang berbuat
aniaya dan berbuat baik (ihsan) kepada orang yang berbuat jahat, adalah
termasuk akhlaq orang-orang shiddiq. Dan sesungguhnya amatlah baiknya
berbuat ihsan kepada orang yang berbuat aniaya kepada kamu. Adapun orang
yang berbuat dzalim kepada orang lain dan melakukan perbuatan ma'shiat
kepada Allah dengan dia, maka tidaklah baik' berbuat ihsan kepadanya.
Karena pada berbuat ihsan kepada orang dzalim, adalah berbuat kejahatan
kepada orang yang teraniaya. Dan hak orang yang teraniaya adalah lebih
utama dipelihara. Dan menguatkan hatinya dengan memalingkan muka dari
orang dzalim, adalah lebih disukai oleh Allah, daripada menguatkan hati
orang dzalim.
Adapun apabila
engkau menjadi Orang yang teraniaya, maka yang lebih baik, pada hak
dirimu itu, mema'afkan dan berlapang dada. Cara orang-orang terdahulu
(salaf), adalah berlain-lainan tentang menyatakan kemarahan terhadap
orang-orang yang berbuat ma'shiat. Dan mereka itu semua, sepakat
melahirkan kemarahan terhadap orang-orang dzalim, orang-orang bid'ah
dan tiap-tiap orang yang berbuat ma'shiat kepada Allah, dengan
kema'shiatan yang menjalar kepada orang lain.
Adapun orang
yang berbuat ma'shiat kepada Allah pada dirinyasendiri, maka sebahagian
salaf ada yang memandang, dengan mata kasih-sayang kepada semua
orang-orang ma'shiat itu. Dan sebahagian dari mereka, ada yang sangat
menantang dan memilih jalan berhijrah.
Adalah Ahmad
bin Hanbal berhijrah (meninggalkan) orang-orang besar, dengan perkataan
yang sedikit saja. Sehingga beliau meninggalkan Yahya bin Mu'in karena
katanya : "Sesungguhnya aku tiada akan meminta pada seseorang akan
sesuatu. Dan kalau sultan membawa kepadaku sesuatu, niscaya aku ambil".
Dan Ahmad bin Hanbal meninggalkan Al-Harts Al-Muhasibi, tentang
setengah-setengah ia menolak kaum mu'tazilah. Dan mengatakan :
"Sesungguhnya haruslah pertama-tama engkau menyebutkan syubhat
(keragu-raguan yang didatangkan oleh orang mu'tazilah itu). Dan engkau
ajak manusia berpikir padanya. Kemudian engkau tolak dalil-dalil orang
mu'tazilah itu".
Dan Ahmad bin Hanbal berhijrah dari Abu Tsaur, mengenai penta' wilannya akan sabda Nabi saw.:
أن الله خلق آدم على صورته
(Innallaaha khalaqa Aadama 'alaa shuuratih). Artinya : "Sesungguhnya Allah menjadikan Adam di atas bentuk Nya". (1)
Dan ini adalah
keadaan yang berlainan dengan berlainannya niat. Dan niat itu
berlain-lain an dengan berlainannya keadaan. Maka jikalau yang mengeras
pada hati, adalah memandang kepada terpaksa dan lemahnya manusia dan
bahwa manusia itu terperintah kepada apa yang ditaqdirkan baginya,
niscaya ini membawa kepada tasaahul (memandang enteng) pada permusuhan
dan kemarahan. Dan ia mempunyai segi tersendiri. Tetapi kadang-kadang
berminyak- minyak air (al-mudahanah), menyerupai dengan yang demikian .
Maka yang terbanyak membangkitkan kepada menutup mata dari
perbuatan-perbuatan ma'shiat, ialah sifat berminyak-minyak air, menjaga
hati, takut dari keliaran dan kejauhan hati. Kadang-kadang setan itu
memakaikan yang demikian, kepada orang bodoh yang du- ngu, dengan orang
itu memandang dengan mata kasih-sayang. Dan menghapuskan yang demikian,
ialah : ia memandang kepadanya dengan mata kasih-sayang, jika orang itu
berbuat aniaya kepada khusus haknya sendiri. Dan mengatakan, bahwa
orang itu terperin
1.Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
|
278
|
tah bagi
perbuatan tersebut. Dan taqdir tidaklah bermanfa'at daripadanya
kehati-hatian. Dan bagaimanakah tidak diperbuatnya yang demikian dan
sesungguhnya telah dituliskan yang demikian itu kepadanya?
Maka hal yang
seperti ini, kadang-kadang shah niat baginya pada memincingkan mata dari
pelanggaran terhadap hak Allah. Dan kalau ia berkesal hati ketika
pelanggaran terhadap haknya dan mena- ruh bel^ kasihan ketika
pelanggaran terhadap hak Allah, maka ini adalah orang yang
berminyak-minyak air, yang tertipu dengan salah satu dari tipuan-tipuan
setan. Maka hendaklah waspada untuk yang demikian itu!.
Kalau anda
mengatakan, bahwa derajat yang paling kurang pada melahirkan kemarahan,
ialah meninggalkan, memalingkan muka , memutuskan kasih-sayang dan
pertolongan, maka adakah yang demikian itu wajib, sehingga ma'shiatlah
seorang hamba dengan meninggalkan kemarahan yang demikian?
Maka aku
menjawab, bahwa tidaklah masuk yang demikian dalam ilmu dhahir dibawah
taklif (pembebanan tugas agama) dan peng- wajiban. Sesungguhnya kita
tahu, bahwa mereka yang meminum khamar dan mengerjakan perbuatan keji
pada zaman Rasulullah saw. dan para shahabat, tidaklah para shahabat itu
meninggalkan mereka secara keseluruhan. Tetapi cara shahabat itu,
terbagi pada mengha- dapi orang-orang yang berbuat keji tadi, kepada:
yang mengeraskan perkataan dan melahirkan kemarahan kepadanya, kepada
yang berpaling muka dan tidak mendatangi kepadanya dan kepada yang
memandang kepada orang yang berbuat kekejian itu dengan mata
kasih-sayang dan tidak memilih berputus silatur-rahim dan menjauhkan
diri.
Maka inilah
titik-titik halus keagamaan, yang berlainan padanya jalan orang-orang
yang menjalani ke jalan akhirat. Dan adalah amal- an masing-masing,
menurut yang dikehendaki oleh keadaan dan waktu. Dan yang dikehendaki
oleh keadaan pada segala hal ini, adakalanya yang dimakruhkan atau yang
disunatkan. Maka adalah pada tingkat hal-hal yang utama dan tidaklah
berkesudahan kepada peng- haraman dan pengwajiban. Karena yang masuk di
bawah taklif, ialah pokok pengenalan (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan
pokok kecintaan. Dan yang demikian, kadang-kadang tidak melewati dari
yang dicintai kepada lainnya. Dan yang melewati, ialah berlebih-lebihan
dan kerasnya kecintaan itu. Dan yang demikian, tidaklah sekali-kali
masuk dalam fatwa dan dibawah taklif yang jelas pada pihak orang awam.
Kalau anda
mengatakan, bahwa melahirkan kemarahan dan permusuhan dengan perbuatan,
jikalau tidak wajib, maka tidak ragu lagi, bahwa itu sunat. Dan
orang-orang ma'shiat dan fasiq itu, adalah pada tingkat-tingkat yang
berlain-lainan. Maka bagaimanakah memperoleh keutamaan bergaul dengan
mereka? Adakah ditempuh suatu jalan, dengan semua mereka atau tidak?
Maka ketahuilah, bahwa orang yang menyalahi perintah Allah siyt. selalu
ada. Adakalanya menyalahi pada i'tiqad atau pada amalannya. Dan yang
menyalahi pada i'tiqad, adakalanya orang bid'ah atau orang kafir. Dan
orang bid'ah itu, adakalanya melakukan da'wah kepada kebid'ahannya atau
berdiam diri saja. Dan yang berdiam diri itu, adakalanya disebabkan
kelemahan atau pilihannya yang demikian.
Maka pembahagian kerusakan pada i'tiqad itu, adalah tiga :
Pertama :
kekafiran (kufur). Dan orang kafir itu, kalau ia kafir harbi (kafir yang
dalam keadaan perang dengan orang muslimin), maka ia berhak dibunuh dan
diambil menjadi budak. Dan tak ada lagi penghinaan, sesudah yang dua
ini.
Adapun kafir
zimmi (kafir yang keamanannya dalam jaminan pemerintah Islam), maka
tidak boleh menyakitinya. Kecuali dengan memalingkan muka daripadanya
dan menghinakannya dengan pak- saan kepada jalan yang sempit dan
meninggalkan memulai salam. Apabila ia mengucapkan: "Assalamu'alaika" السلام عليك (Salam sejahtera kepadamu), maka engkau menjawab : وعليك "Wa'alaika" (Dan kepadamu). Dan yang lebih utama, ialah mencegah daripada bercampur, bergaul dan wakil-mewakilkan dengan dia.
Adapun
berlapang dada dan berjinakkan hati kepadanya, sebagaimana berjinakkan
hati kepada teman-teman, adalah sangat makruh, yang hampir berkesudahan
yang kuat dari kemakruhan itu, kepada batas pengharaman. Allah Ta'ala
berfirman :
لا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي
قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ
جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ
حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Laa tajidu
qauman yu'-minuuna billaahi wa) y aumil-aakhiri yu waad duuna man
haaddallaaha wa rasuulahu walau kaanu aabaa-ahum au-abnaa-ahum
au-ikhwaanahum au-'asyiiratahum, ulaa-ika kataba fii
quluubihimul-iimaana wa ayyadahum biruuhin minhu wayud- khiluhum
jannaatin tajrii min tahtihal stnhaaru khaaiidiina fiiha, radliallaahu
'anhum waradluu 'anhu, ulaaika hizbullaahi alaa inna hizbailaahi
humul-muflihuun).Artinya : "Engkau tidak akan mendekati kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat, menunjukkan kecintaan mereka
kepada orang-orang yang menantang Allah dan Rasul-Nya, walaupun adalah
mereka (yang menantang) itu, bapa-bapa mereka atau anak-anak mereka atau
saudara-saudara mereka atau keluarga mereka. Mereka itu telah
dituliskan oleh Allah dalam hatinya keimanan dan telah dikuatkan-Nya
mereka dengan pertolongan daripada-Nya dan la akan memasukkan mereka ke
dalam sorga, yang mengalir padanya sungai-sungai, di mana mereka itu
kekal di dalamnya, Allah telah merelai mereka dan merekapun rela
kepada-Nya. Mereka itu tentara Allah. Ketahuilah, bahwa tentara Allah
itulah yang memperoleh kemenangan". S. Al-Mujadalah, ayat 22.
Nabi saw. bersabda : المسلم والمشرك لا تتراءى ناراهما "Orang muslim dan orang musyrik tidaklah akan lihat-melihat neraka keduanya (1)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
(Yaa-ayyuhalladziina
aamanuu laa tattakhidzuu 'aduwwii wa-'aduw- wakum auliyaa-a tulquuna
ilaihim bil-mawaddah).Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, Janganlah
kamu jadikan musuh-Ku dan musuhmu itu menjadi pemimpin, yang kamu
tunjukkan kepada mereka kasih-sayang. Al-Mumtahanah, ayat 1.
Kedua: Orang
yang berbuat bid'ah, yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya. Jikalau
bid'ah itu, di mana dapat mengkufurkan , maka keadaannya adalah lebih
berat daripada orang dzimmi. Karena orang bid'ah itu, tidak diakui
dengan pembayaran pajak (jizyah)* Dan tidak diperbolehkan mengadakan
ikatan menjadi tanggung jawab pemerintah Islam ('aqdi dzimmah). Dan
kalau orang bid'ah itu, termasuk orang yang tidak dihukum kafir, maka
persoalannya dian-
(1) Dirawikan AnNasai dan kata AlBukhari bahwa hadits ini mursal.
|
281
|
tara dia..dan Allah, sudah pasti lebih ringan daripada persoalan orang kafir. Tetapi persoalan menantangnya, adalah lebih berat daripada orang kafir. Karena kejahatan kafir itu, tidaklah menjalar. Karena orang-orang Islam itu yakin atas kekafirannya. Maka mereka tidak menoleh kepada kata-katanya, disebabkan ia tidak mendak- wakan dirinya Islam dan ber'itiqad benar.
Adapun orang
bid'ah yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya dan mendakwakan bahwa
apa yang diajaknya itu adalah benar, maka itu adalah sebab tertipunya
orang banyak. Kejahatannya menjalar kepada orang lain. Maka sunnah
melahirkan kemarahan, permusuhan, memutuskan hubungan, menghinakan,
memburuk- annya dengan kebid'ahannya dan mengajak manusia untuk
menjauhkan diri daripadanya. Dan kalau ia memberi salam pada tempat yang
tak ada orang, maka tiada mengapa menjawab salamnya.
Dan kalau anda
ketahui, bahwa berpaling muka daripadanya dan berdiam diri daripada
menjawab salamnya, adalah memburukkan kebid'ahan orang itu,pada dirinya
dan mengesankan pada menjauh- kannya, maka meninggalkan jawab salamnya,
adalah lebih utama. Karena menjawab salam, walaupun wajib, menjadi gugur
dengan maksud yang kecil saja, di mana padanya ada kemuslihatan.
Sehingga gugurlah wajib menjawab salam, dengan adanya orang yang
menerima salam itu di kamar mandi atau sedang membuang air. Dan maksud
pencegahan itu, adalah lebih penting dari maksud-maksud tadi.
Dan kalau salam
dari orang bid'ah itu di muka orang banyak, maka meninggalkan jawabnya
adalah lebih utama, untuk menjauhkan manusia daripadanya dan memburukkan
kebid'ahannya dihadapan mereka.
Dan begitu juga
lebih utama mencegah berbuat lisan dan memberi pertolongan kepada orang
bid'ah itu. Lebih-lebih mengenai sesuatu yang tampak kepada orang
banyak.
Nabi saw.
bersabda: "Barangsiapa menggertak orang bid"ah, niscaya ia diamankan
oleh Allah pada hari kegundahan besar (hari qiamat). Dan barangsiapa
melunakkan dan memuliakan orang bid'ah atau bertemu dengan dia dengan
kegembiraan, maka sesungguhnya ia telah memandang ringan apa yang
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw.(1)
Ketiga : Orang
bid'ah yang awam, yang tidak mampu mengajak orang dan tidak dikuatiri,
orang akan mengikutinya. Maka perso alannya lebih mudah.
(1) Dirawikan Abu N’im dan Al-Harawi dari Ibnu 'Umar, dengan sanad dla'if.
|
282
|
Yang lebih
utama, ialah tidak memburuk- burukkannya dengan kata-kata kasar dan
penghinaan. Tetapi dengan kata-kata yang lemah-lembut, menasehatinya.
Karena hati orang awam itu, lekas bertukar. Kalau nasehat itu tidak
berman fa'at dan dengan memalingkan muka daripadanya adalah memburukkan
kebid'ahannya pada diri orang itu, niscaya amatlah sunnah berpaling muka
dari orang bid'ah itu.
Dan kalau
diketahuinya bahwa yang demikian tidak membekas pada orang bid'ah
tersebut, disebabkan keras tabi'atnya dan men dalam kepercayaan itu pada
hatinya, maka memalingkan muka adalah lebih utama.
Karena bid'ah
itu, apabila tidak secara berlebih-lebihan memburuk- kannya, niscaya
menjadi terkenal diantara orang banyak dan meratalah kerusakannya.
Adapun orang
yang berbuat ma'shiat dengan perbuatan dan amalan, bukan dengan i'tiqad,
maka tidaklah terlepas, adakalanya dia itu, di mana orang lain mendapat
kesakitan dengan sebab dia, seperti kedzaliman, perampokan, kesaksian
palsu, cacian, pemukulan diantara orang banyak, berjalan kesana-kemari
dengan lalat merah (berita fitnah) dan hal-hal yang seumpama dengan yang
demikian. Atau ma'shiatnya itu tidak terbatas padanya saja, tetapi
menyakit- kan orang lain juga. Dan yang demikian itu, terbagi kepada :
apa yang membawa orang lain kepada kerusakan, seumpama orang yang
memiliki tempat kejahatan, di mana ia mengumpulkan lelaki dan wanita dan
menyediakan sebab-sebab minuman dan kerusakan, untuk orang-orang yang
berbuat kerusakan. Atau ia tiada mengajak orang lain kepada
perbuatannya, seumpama orang yang meminum khamar dan meiakukan
penzinaan.
Dan ini, yang
tidak mengajak orang lain kepada perbuatannya, adakalanya ma'shiatnya
itu dosa besar atau dosa kecil. Dan masing- masing daripadanya,
adakalanya terus-menerus mengerjakan ma'shiat atau tidak terus-menerus.
Maka dari
pembahagian-pembahagian ini, berhasillah tiga bahagian. Dan tiap-tiap
bahagian daripadanya mempunyai tingkatan. Dan setengahnya lebih keras
dari yang lain. Dan tidaklah kami tempuh semuanya itu dengan satu jalan.
Bahagian
Pertama : Yaitu yang lebih keras mendatangkan melarat kepada orang
banyak, seperti : berbuat dzalim, merampok, naik saksi palsu, mengupat
dan mem fitnah. Maka terhadap mereka itu, yang lebih utama, ialah
berpaling muka dari mereka, meninggalkan bercampur-baur dan menghentikan
bergaul. Karena kema'shiatan berat sekali, tentang apa yang
mendatangkan kepada menyakitkan orang banyak.
Kemudian,
mereka itu terbagi kepada : orang yang berbuat dzalim pada darah
(pembunuhan) dan kepada orang yang berbuat dzalim pada memalukan orang
lain. Dan sebahagiannya, adalah lebih keras dari sebahagian yang lain.
Maka disunatkan benar menghina dan berpaling muka dari orang-orang
dzalim tersebut. Dan manakala diharapkan dari penghinaan, itu dapat
mengejutkan mereka atau orang lain, maka hal yang demikian itu, lebih
dikuatkan dan dike- raskan lagi.
Bahagian Kedua :
Orang yang mempunyai tempat kejahatan, yang menyediakan segala sebab
kerusakan dan memudahkan jalan keru- sakan itu kepada orang banyak. Maka
orang tersebut, tidak menyakitkan orang banyak pada dunia mereka.
Tetapi dengan perbuatan itu, merusakkan keagamaan mereka. Dan kalau
perbuatan itu, sesuai dengan kesukaan mereka, maka bahagian yang kedua
ini, mendekati dengan bahagian yang pertama itu. Tetapi lebih ringan
daripadanya. Karena kema'shiatan diantara hamba dan Allah Ta'ala, adalah
lebih mendekati kepada kema'afan. Tetapi dari segi, bahwa perbuatan itu
umumnya menjalar kepada orang lain, maka adalah lebih berat. Dan juga
ini menghendaki penghinaan, memalingkan muka, memu- tuskan silaturrahim
dan meninggalkan menjawab salamnya, apabila diduga bahwa pada tindakan
yang demikian, adalah semacam ger- tak kepada orang itu dan kepada orang
lain.
Bahagian Ketiga
: Orang yang berbuat fasiq pada dirinya sendiri, dengan meminum khamar
atau meninggalkan yang wajib atau me- ngerjakan yang terlarang yang
tertentu baginya. Maka mengenai ini, persoalannya adalah lebih ringan.
Tetapi jikalau dijumpai ia pada waktu sedang mengerjakan yang terlarang
tadi, niscaya wajiblah dicegah dengan cara, di mana ia mencegah dirinya
dari perbuatan itu. Meskipun dengan pukulan dan penghinaan. Karena
mencegah dari yang munkar, adalah wajib.
Dan apabila
orang itu telah selesai mengerjakan ma'shiat tersebut dan diketahui
bahwa yang demikian itu adalah termasuk kebiasaan- nya dan ia selalu
mengerjakan kejahatan itu, maka dalam hal ini, jikalau ia yakin bahwa
nasehatnya mencegah orang itu dari kembali kepada kejahatan tadi,
niscaya wajiblah dinasehati. Dan jikalau ia tidak yakin yang demikian,
tetapi ia mengharap yang demikian, maka yang lebih utama, ialah
menasehati dan menakutkannya de ngan kasar, jikalau yang demikian itu
lebih bermanfa'at.
Adapun
berpaling muka daripada menjawab salamnya dan mencegah daripada
bercampur-baur dengan dia, di mana dia itu diketah&i terus-menerus
berbuat kejahatan dan nasehat tidak bermanfa'at kepadanya, maka dalam
hal ini ada pandangan. Dan pendapat 'u- lama mengenainya, berbeda-beda.
Dan yang shahih (yang benar), bahwa yang demikian itu, berbeda-beda
dengan berbedanya niat orang.
Maka ketika
ini, dikatakan : bahwa segala perbuatan itu dengan niat. Karena tentang
kasih-sayang dan memandang dengan kaca- mata kesayangan kepada orang
banyak, adalah semac^m merendahkan diri (tawadlu'). Dan pada sikap
kasar dan memalingkan muka, adalah semacam gertak. Dan yang diminta
fatwa kepadanya, adalah hati. Maka apa yang dilihatnya, lebih condong
kepada hawa nafsu- nya dan kehendak tabi'atnya, maka yang lebih utama,
ialah lawan dari yang demikian.
Karena
kadang-kadang adalah memandang enteng dan menggertak orang yang berbuat
kejahatan itu, timbul dari kesombongan dan kebanggaan, merasa senang
dengan melahirkan ketinggian dan pe- nunjukan kepada perbaikan.
Kadang-kadang kasih-sayangnya itu, timbul dari berminyak-minyak air dan
kecondongan hati untuk mencapai sesuatu maksud atau karena takut dari
membekas keliaran dan keliaran hati pada kemegahan atau harta dengan
dugaan yang dekat atau yang jauh. Dan semuanya itu kembali kepada
penunjuk- an sethan dan jauh dari amal perbuatan orang-orang akhirat.
Maka tiap-tiap
orang yang gemar pada 'amalan agama itu, bersung guh-sungguh dirinya
memeriksa yang halus-halus ini dan mengintip (muraqabah) segala keadaan
yang tersebut. Dan hati adalah yang mengeluarkan fatwa padanya.
Kadang-kadang ia memperoleh kebe- naran padaijtihadnya dan kadang-kadang
iatersalah. Kadang- kadang ia tampil mengikuti hawa nafsunya dan ia
mengetahui yang demikian. Kadang-kadang ia tampil dan karena tertipu,
lalu menyangka bahwa ia berbuat karena Allah dan berjalan pada jalan
akhirat. Dan akan datang penjelasan yang halus-halus ini pada "Kitab Tertipu" dari "Rubu' Yang Membinasakan" (Rubu' Al- Muhlikat).
Dan ditunjukkan
kepada peringanan persoalan, mengenai kefasiqan yang teledor, diantara
hamba dan Allah, oleh riwayat: bahwa seorang peminum khamar dipukul
dihadapan Rasulullah saw. ber- kali-kali. Dan orang itu kembali berbuat
yang demikian. Lalu seorang shaKabat berkata: "Dikutuki Allah kiranya
orang, yang alangkah banyaknya meminum khamar".
Maka Nabi saw. menjawab :
لا تكن عونا للشيطان على أخيك
(Laa takun 'aunan lisy-syaithaani 'alaa akhiika).
Artinya : "Janganlah engkau menolong sethan terhadap sudara-mu"min
Atau kata-kata
lain yang diucapkan Nabi saw. yang searti dengan yang tadi. Dan ini
menunjukkan bahwa berkasih-sayang adalah lebih utama daripada bersikap
kasar dan keras.
Penjelasan : Sifat-sifat yang disyaratkan, mengenai orang yang dipilih menjadi teman.
Ketahuilah kiranya, bahwa tidak patut menjadi teman semua manusia.
Nabi saw. bersabda :
المرء على دين خليله (Al-mar-u
'alaa diini khaliilihi, fal-yandhur ahadukum man yu- khaalil).Artinya :
"Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh
seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman ". (2)
Dan tak boleh
tidak, diperbedakan hal-hal dan sifat-sifat, di mana iaingin dengan
sebab yang demikian, untuk bershahabat dengan orang itu. Disyaratkan
hal-hal itu, menurut faedah yang dicari dari pershahabatan. Karena arti
syarat ialah : yang tak boleh tidak daripadanya, untuk sampai kepada
maksud. Maka dengan tambahan kepada maksud tersebut, lahirlah
syarat-syarat itu. Dari pershahabatan itu dicari faedah-faedah keagamaan
dan keduniaan. Adapun faedah keduniaan, maka seperti memperoleh
manfa'at dengan harta atau kemegahan atau semata-mata berjinakkan hati
dengan pandang-memandang dan bergaul. Dan tidaklah yang demikian itu,
termasuk maksud kita di sini. Adapun faedah keagamaan, maka berkumpul
padanya maksud yang bermacam-macam. Karena setengah daripadanya,
memperoleh faedah dari pengetahuan dan amal perbuatan. Setengah
daripadanya, memperoleh faedah dari kemegahan, di mana dengan kemegahan
itu, kita dapat menjaga
(1) Dirawikan Al-Bukhari dari Abu Hurairah.
|
(2) Dirawikan Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Abu Hurairah. Katanya : shahih. -Insya Allah.
|
286
|
daripada disakiti oleh orang yang mengganggu ketentraman hati. Dan yang menghambat dari beribadah. Setengah daripadanya, memperoleh faedah harta, untuk mencukupkan dengan harta itu, daripada menyia-nyiakan waktu pada mencari makanan. Setengah daripadanya, memperoleh pertolongan pada segala hal yang penting. Maka adalah yang demikian itu, senjata untuk meng- hadapi segala bahaya dan kekuatan dalam segala hal. Setengah daripadanya, memperoleh barakah dengan semata-mata mendo'a. 'Dan setengah daripadanya, menunggu syafa'at pada hari akhirat.
Berkata setengah salaf
: "Carilah banyak teman! Karena sesungguhnya tiap-tiap mu'min itu,
mempunyai syafa'at. Maka semoga engkau dapat masuk ke dalam syafa'at
temanmul". Diriwayatkan pada tafsir yang agak ganjil (tafsir gharib),
tentang firman Allah Ta'ala :
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُمْ مِنْ فَضْلِهِ
(Wa
yastajiibul-ladziina aamanuu wa 'amilush-shaalihaati wa yazii- duhum
minfadl-Iih).Artinya: "Dan la memperkenankan (permintaan) orang-orang
yang beriman dan beramal shalih dan Ia menambahkan kepada mereka dari
kurnia-Nya". S. Asy-Syura, ayat 26.
Berkata
setengah salaf, menurut tafsir yang gharib itu, bahwa orang yang beriman
dan yang beramal shalih, dapat memberi syafa'at kepada teman-temannya.
Lalu ia memasukkan mereka ke dalam sorga bersama mereka. Dan dikatakan,
bahwa apabila Allah meng ampunkan dosa seorang hamba, niscaya hamba itu
dapat memberi syafa'at kepada teman-temannya. Karena itulah, dianjurkan
oleh segolongan salaf supaya berteman, berjinak-jinakkan hati dan
bercampur-baur. Mereka itu tiada menyukai pengasingan diri dan
sendirian.
Inilah
faedah-faedah itu, di mana tiap-tiap faedah meminta beberapa syarat. Dan
faedah itu tidak akan berhasil, selain dengan syarat- syarat tersebut.
Dan akan kami uraikan semuanya. Adapun secara keseluruhan, maka
seyogialah hendaknya ada lima perkara pada orang yang akan dipilih
menjadi teman. Yaitu : ber akal, baik budi-pekerti, tidak fasiq, tidak
berbuat bid'ah dan tidak loba kepada dunia.
Adapun akal, adalah pokok dan itulah asalnya.
Tak ada kebajikan berteman dengan orang bengal. Kesudahannya, akan
kembali kepada keliaran hati dan putus silaturrahim, walaupun
pershahabatan itu telah beijalan lama.
Sayidina 'Ali ra. bermadah :
Janganlah engkau berteman dengan orang bodoh,
awasilah dirimu dan dirinya………………………………………………..
Berapa banyak orang yang bodoh,
memburukkan orang penyabar ketika ia mengambil menjadi temannya.
Dibandingkan yang seorang dengan yang seorang, apabila orang itu sama-sama berjalan.
Sesuatu mempunyai dari sesuatu,perbandingan dan keserupaan.
Qalbu terhadap qalbu, mempunyai petunjuk ketika perjumpaan
Betapa tidak?
Orang bengal itu kadang-kadang mendatangkan kemelaratan kepadamu, sedang
maksudnya mendatangkan keman- fa'atan kepadamu dan menolong kamu, di
mana sebenarnya, ia tidak tahu.
Dan karena itulah, berkata penya'ir :
"Sesungguhnya aku merasa aman dari musuh yang berakal.
Dan aku takut kepada teman yang ditelanjangi oleh gila.
Akal itu suatu macam dan jalannya aku ketahui, lalu aku perhatikan.
Dan gila itu bermacam-macam…………………….. . "
Dan karena
itulah, dikatakan, bahwa memutuskan perhubungan dengan orang bengal,
adalah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Ats-Tsuri berkata :
"Memandang kepada muka orang yang bengal itu, adalah kesalahan yang
dituliskan".
Kami maksudkan
dengan "orang berakal", ialah orang yang mema- h&mi segala
persoalan, menurut yang sebenarnya, Adakalanya oleh dirinya sendiri dan
adakalanya apabila diberi peringatan oleh orang lain.
Adapun baik
budi-pekerti, maka tak boleh tidak daripadanya. Karena banyaklah orang
berakal, mengetahui segala sesuatu menurut yang sebenarnya. Tetapi
apabila sangatlah marahnya atau nafsu syahwat atau kekikiran atau
ketidak beranian, niscaya ia mengikuti hawa-nafsunya.
Dan ia
menyalahi dengan apa yang diketahuinya. Karena lemahnya daripada paksaan
sifat-sifatnya dan pembetulan budi-pekertinya. Maka tak ada kebajikan
pada pershahabatan dengan dia. Adapun orang fasiq yang berkekalan pada
kefasiqannya, maka tak ada faedah berteman dengan dia. Karena orang yang
takut kepada Allah, tidak akan terus-menerus di atas dosa besar. Dan
orang yang tidak takut kepada Allah, maka orang tidak akan merasa aman
daripada tipuannya. Dan tidak dipercayai dengan kebenarannya. Tetapi ia
selalu berobah dengan perobahan maksuk-maksudnya. Dan Allah Ta'ala
berfirman :
وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
(Walaa tuthi' man aghfalnaa qalbahu 'an dzikrinaa wattaba-'a hawaah).
Artinya : "Dan
janganlah engkau turut orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari
mengingati Kami dan ia menurutkan hawa nafsunya S. Al-Kahf., ayat 28.
Dan Allah Ta'ala berfirman :
فَلا يَصُدَّنَّكَ عَنْهَا مَنْ لا يُؤْمِنُ بِهَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
(Falaa yashuddannaka 'anha man laa yu'-minu bihaa wattaba-'a hawaah).
Artinya : "Oleh
yang demikian, janganlah engkau dipalingkan daripada (mempercayai)nya,
oleh orang yang tidak percaya kepadanya serta menurut hawa nafsunya".
S. Thoha, ayat 16.
Dan Allah Ta'ala berfirman :
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
(Fa a'-ridl 'amman tawallaa 'an dzikrinaa walam yurid-illal-hayaa- taddun-ya).
Artinya : "Oleh
karena itu, maka tinggalkanlah orang yang berpaling dari mengingati
Kami dan ia tidak ingin, selain dari penghidupan yang rendah ini". S.
An-Najm, ayat 29. Dan Allah Ta'ala berfirman :
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
(Wattabi' sabiila man anaaba ilayya).
Artinya : "Dan turutlah jalan orang yang kembali kepada-Ku!' S. Luqman, ayat 15.
Dan dalam pengertian yang tersebut itu, ialah menghardik daripada berteman dengan orang fasiq.
Adapun orang
yang berbuat bid'ah maka berteman dengan dia, terdapat bahaya
menjalarnya bid'ah itu dan berkembang kutukan bid'ah kepadanya. Dari
itu, orang bid'ah berhaklah disingkir dan diputuskan hubungan
silaturrahim.
Bagaimanakah ia
dipilih menjadi shahabat? 'Umar ra. telah berkata, menghasung untuk
mencari unsur keagamaan pada teman itu, menurut yang diriwayatkan Sa'id
bin Al-Musayyab, di mana 'Umar ra. berkata : "Haruslah kamu berteman
dengan orang-orang benar! Kamu akan hidup dalam lindungan mereka.
Sesungguhnya mereka itu, adalah hiasan pada waktu senang dan perisai
pada waktu susah. Letakkanlah persoalan saudaramu (temanmu) dalam
keadaan yang sebaik-baiknya! Sehingga ia membawa kepada kamu, apa yang
memenangkan kamu. Dan asingkanlah dirimu dari musuhmu dan
berhati-hatilah dari temanmu, kecuali yang kepercayaan dari kamu itu!
Dan tidak ada yang kepercayaan, selain orang yang takut kepada Allah.
Maka janganlah engkau berteman dengan orang dzalim, nanti kamu akan
memperoleh pengetahuan dari kedzalimaimya! Dan janganlah engkau
perlihatkan kepadanya rahasia engkau! Dan bermusyawarahlah tentang
urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Allah!".
Adapun budi
yang baik, maka telah dikumpulkan oleh 'Alqamah Al-'Atharidi di dalam
wasiatnya kepada anaknya, ketika ia hampir meninggal dunia. Ia berkata :
"Hai anakku! Apabila datang keper- luan bagimu untuk berteman dengan
orang, maka bertemanlah dengan orang, di mana apabila engkau
melayaninya, niscaya ia menjaga engkau! Dan jikalau engkau menemaninya,
niscaya ia menimbang dengan penghargaan akan engkau. Dan jikalau engkau
memerlukan perbelanjaan, niscaya ia membelanjai engkau. Bertemanlah
dengan orang, apabila engkau mengulurkan tanganmu kepadanya dengan
kebajikan, niscaya iapun mengulurkannya. Jikalau ia melihat daripadamu
kebajikan, niscaya diperkirakannya. Dan jikalau ia melihat kejahatan,
niscaya ditutupkannya. Bertemanlah dengan orang, apabila engkau meminta
padanya, niscaya diberikannya kepadamu! Dan kalau engkau berdiam diri,
niscaya dimulainya memberikan kepadamu! Dan jikalau datang bencana
kepadamu, niscaya ditolongnya kamu. Bertemanlah dengan orang, apabila
engkau berkata, niscaya dibenarkannya perkataanmu! Dan kalau kamu berdua
berusaha tentang sesuatu, niscaya dipentingkannya urusanmu. Dan kalau
kamu berdua berselisih, niscaya diutamakannya kamu".
Seakan-akan
'Alqamah telah mengumpulkan dengan perkataannya itu, segala hak
pershahabatan. Dan disyaratkannya supaya anaknya itu, menjalankan
semuanya.
Berkata Ibnu
Aktsam: "Al-Ma'mun berkata: 'Dari manakah ini?'". Lalu orang mengatakan
kepadanya : "Adakah engkau ketahui, mengapakah 'Alqamah mewasiatkan
anaknya demikian?". Al-Ma'mun menjawab : "Tidak tahu".
Lalu orang itu
menerangkan : "Karena Alqamah bermaksud supaya anaknya tidak akan
berkawan dengan seseorang". Berkata setengah pujangga : "Janganlah kamu
berteman, kecuali dengan orang yang menyembunyikan rahasiamu dan yang
menutupkan kekuranganmu! Lalu dia berada bersama kamu pada segala
duka-cita. Dia mendahulukan kamu pada segala duka-cita. Dia menyiarkan
kebajikanmu dan menyembunyikan keburukanmu. Jikalau engkau tiada
memperoleh orang yang seperti itu, maka janganlah berteman, selain
dengan dirimu sendiri!".'
Ali ra. bermadah :
Temanmu yang sebenarnya, ialah orang yang ada bersamamu.
Dan orang yang menyusahkan dirinya, supaya ia bermanfa at kepadamu.
Pada waktu membimbangkan, ia berkata terus-terang kepadamu.
Dia sendiri pecah berantakan, supaya kamu terkumpulkan selalu,
Berkata
setengah 'Ulama : "Janganlah kamu berteman, selain dengan salah seorang
dari dua : orang yang engkau pelajari daripadanya, sesuatu tentang
urusan agamamu. Maka ia memanfa'atkan kepadamu. Atau orang yang engkau
ajarkan sesuatu tentang urusan agamanya, lalu diterimanya daripadamu.
Dan orang yang ketiga (orang yang tidak engkau pelajari agama padanya
dan tidak engkau ajari agama kepadanya), maka larilah daripadanya!".
Berkata
setengah mereka : "Manusia itu empat macam : yang seorang manis
seluruhnya. Maka orang tidak akan kenyang-kenyang daripadanya. Yang
seorang pahit seluruhnya. Maka tidak termakan apa-apa daripadanya. Yang
seorang terdapat masam padanya. Maka ambillah dari orang itu, sebelum ia
mengambil daripadamu! Dan yang seorang lagi, terdapat asin padanya.
Maka ambillah daripadanya, pada waktu diperlukan saja!".
Berkata Ja'far Ash-Shadiq ra. : "Janganlah engkau berteman dengan lima orang :
Pertama :
pendusta. Maka engkau berada dalam penipuannya. Dia adalah seumpama
cahaya panas (fatamorgana), dekat kepadamu yang jauh dan jauh kepadamu
yang dekat.
Kedua :
orang dungu. Maka tidaklah engkau memperoleh daripadanya sesuatu. Ia
mau mendatangkan manfa'at kepadamu, lalu ia memelaratkan akan kamu.
Ketiga : orang kikir. Makaia putuskan daripada kamu, sesuatu yang kamu amat memerlukan kepadanya.
Ke-empat : orang pengecut. Maka ia akan menyerahkan kamu dan ia akan lari ketika menghadapi kesulitan.
Dan Kelima : orang fasiq. Maka ia akan menjual kamu dengan sesuap makanan atau kurang dari itu!".
Lalu orang bertanya kepada Ja'far Ash-Shadiq tadi: "Apakah yang kurang lagi dari sesuap makanan itu?".
Ja'far Ash-Shadiq ra. menjawab : "Loba pada makanan yang sesuap itu, kemudian ia tidak memperolehnya".
Berkata
Al-Junaid : "Aku lebih suka ditemani oleh seorang fasiq, yang berbudi
baik, daripada seorang qari' (ahli qira-ah Al-Qur-an), yang berbudi
buruk".
Berkata Ibnu
Abil Hawari : "Berkata kepadaku guruku Abu Sulaiman : 'Hai Ahmad (nama
dari Ibnu Abi Hawari)! Janganlah engkau berteman, selain dari salah
seorang dari dua: orang yang dapat engkau memperoleh manfa'at padanya
mengenai urusan duniamu. Atau orang yang dapat engkau menambahkan
bersama dia dan memperoleh kemanfa'atan dengan dia, mengenai urusan
akhiratmu! Dan berurusan dengan orang yang lain daripada yang dua ini,
adalah dungu sekali' ".
Berkata Sahl
bin 'Abdullah : "Jauhilah berteman dengan tiga macam manusia :
orang-orang yang gagah perkasa yang lalai, orang- orang qari' yang
berminyak-minyak air dan orang-orang shufi yang bodoh!".
Dan ketahuilah
kiranya, bahwa segala kata-kata ini, kebanyakannya tiada meliputi semua
maksud pershahabatan. Dan yang meliputinya, ialah apa yang telah kami
sebutkan, tentang memperhatikan maksud-maksudnya dan menjaga
syarat-syaratnya, sebagai tambahan kepadanya. Maka tidaklah apa yang
disyaratkan bagi pershahabatan pada maksud-maksud keduniaan, menjadi
disyaratkan bagi pershahabatan pada keakhiratan dan persaudaraan.
Sebagaimana yang di katakan Bisyr ; "Saudara itu tiga : saudara untuk
akhiratmu, sauda- ra untuk duniamu dan saudara untuk kamu
berjinak-jinakan hati dengan dia".
Dan amat
sedikitlah terkumpul maksud-maksud ini pada orang seorang. Tetapi
berpisah-pisah pada sekumpulan orang. Maka sudah pastilah,
berpisah-pisah syarat-syarat itu pada mereka. Dan sesungguhnya Al-Ma'mun
berkata : "Saudara itu tiga : yang seorang, adalah seumpama makanan,
yang tidak boleh tidak daripadanya.- Yang seorang, adalah seumpama obat
yang diperlukan kepadanya, pada suatu waktu dan tidak diperlukan pada
waktu yang lain. Dan yang ketiga, adalah seumpama penyakit, yang tidak
diperlukan sekali-kali padanya. Bahkan hamba itu, kadang-kadang
memperoleh bencana dengan orang ini. Yaitu orang yang tak ada kejinakan
hati padanya dan tak ada kemanfa'atan".
Dan ada yang
mengatakan : "Kumpulan manusia itu adalah seumpama kayu-kayuan dan
tumbuh-tumbuhan. Sebahagian daripadanya, mempunyai naungan dan tidak
berbuah. Dan itu adalah seumpama, yang dapat dimanfa'atkan di dunia dan
tidak di akhirat. Karena kemanfa'atan dunia itu, adalah seumpama
naungan (bayang- bayang) yang cepat hilang. Dan sebahagian daripadanya,
ada yang berbuah dan tidak mempunyai naungan. Dan itu adalah seumpama
yang patut bagi akhirat dan tidak bagi dunia. Dan sebahagian
daripadanya sama-sama, berbuah dan bernaungan. Dan sebahagian
daripadanya, tiada satupun daripada keduanya (buah dan bayang- ba-
yang), seperti Ummi Ghailan yang merobek-robekkan kain dan tak ada
padanya makanan dan minuman. Dan contohnya dari binatang, ialah tikus
dan kalajengking, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
يَدْعُو لَمَنْ ضَرُّهُ أَقْرَبُ مِنْ نَفْعِهِ لَبِئْسَ الْمَوْلَى وَلَبِئْسَ الْعَشِيرُ
(Yad-'uu laman dlarruhuu aqrabu min naf-'ihi, labi'-sal-maulaa wa labi'-sal-'asyiir).
Artinya : "Dia
mendo 'akan kepada sesuatu yang bahayanya lebih dekat dari manfa'atnya;
sesungguhnya itulah penolong dan te man yang paling buruk ". S. Al-Hajj,
ayat 13.
Dan seorang penya'ir bermadah :
Manusia itu berbagai ragam,
apabila engkau merasakan mereka.
Mereka tiada bersamaan,
Seperti kayu-kayuan tiada sama.
Yang ini berbuah,
Manis rasanya
Yang itu tidaklah mempunyai rasa dan buahnya".
Maka apabila
tiada memperoleh teman, yang dapat diambil menjadi saudara dan mendapat
faedah daripadanya, salah satu dau maksud- maksud yang tersebut tadi,
maka sendirian adalah lebih utama. Abu Dzar ra. berkata : "Sendirian itu
adalah lebih baik daripada mengambil teman duduk orang jahat. Dan teman
duduk orang baik, adalah lebih bagus daripada sendirian". Dan perkataan
Abu Dzar ini, diriwayatkan sebagai hadits marfu
Adapun keagamaan dan tak ada kefasiqan, maka berfirman Allah Ta'ala :
وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ
(Wattabf sabiila man anaaba ilayya).
Artinya : "Dan turutlah jalan orang yang kembali kepadaku". Surat Luqman, ayat 15.
Dan karena
menyaksikan kefasiqan dan orang-orang fasiq itu, me mudahkan anggapan
ringan kepada perbuatan ma'shiat dalam hati. Dan menghilangkari larinya
hati daripada kema'shiatan itu.
Berkata Sa'id
bin Al-Musayyab : "Janganlah kamu memandang kepada orang-orang dzalim!
Maka batallah amal perbuatanmu yang baik-baik. Bahkan tak adalah
keselamatan dalam bercampur-baur dengan orang-orang dzalim itu.
Sesungguhnya keselamatan, adalah pada memutuskan perhubungan dengan
mereka". Allah Ta'ala berfirman :
وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا '
(Wa idzaa
khaathabahuiriul-jaahiluuna qaaluu salaamaa). Artinya: "Dan apabila
orang-orang yang bodoh menghadapkan perkataan kepada mereka, lalu mereka
menjawab : "Selamat". S. Al-Furqan, ayat 63.Pada ayat tadi, disebutkan سَلامًا salaamaa, artinya : selamat. Alif pada : سَلامًا salaamaa (pada tulisan Arabnya), adalah ganti daripada : ه ha.
Dan artinya: "Sesungguhnya kami selamat daripada. kedosaan kamu. Dan
kamu selamat daripada kejahatan kami". Inilah apa yang kami maksudkan
dahulu menyebutkannya dari segala pengertian persaudaraan,
syarat-syarat dan faedah-faedahnya.
Maka hendaklah
kita mengulangi menyebutkan hak-hak, keharusan keharusan dan jalan-jalan
menegakkan haknya. Adapun orang yang loba kepada dunia, maka berteman
dengan dia, adalah racun pembunuh. Karena tabi'at (karakter) manusia
itu, tertarik untuk menyerupai dan mengikuti. Bahkan karakter itu
mencuri dari karakter orang lain, dimanatanpa diketahui oleh orang yang
mempunyai karakter itu sendiri. Maka duduk-duduk bersama orang yang
loba kepada dunia itu, dapat menggerakkan kelobaan. Dan duduk bersama
orang zahid, dapat mendatangkan kezuhudan di dunia. Karena itulah, tiada
disukai berteman dengan orang- orang yang mencari dunia. Dan
disunnahkan berteman, dengan orang-orang yang gemar pada akhirat.
Berkata'Ali ra. : "Hidupkanlah ketha'atan dengan duduk-duduk bersama orang yang disegani!".
Berkata Ahmad
bin Hanbal ra. : "Tiada yang menjatuhkan aku ke dalam bencana, selain
karena' berteman dengan orang yang aku tidak malu kepadanya".
Tiada ulasan:
Catat Ulasan