بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Masaallah Berpisah Pisah
( Bab Solat)
Bab keenam : Tentang
masalah-masalah yang berpisah-pisah, yang meratai bencananya dan memerlukan
murid mengenalinya.
Adapun
masalah-masalah yang jarang terjadi, maka dapatlah kita menyelidikinya dalam
kitab-kitab fiqih.
Masalah
:
Perbuatan
yang sedikit, meskipun tidak membatalkan shalat, maka adalah makruh, kecuali
diperlukan. Umpamanya : menolak orang lalu, membunuh kalajengking yang
ditakuti dan mungkin membu-nuhnya dengan sekali atau dua kali pukul.
Apabila
tiga kali, maka telah banyak dan batallah shalat. Begitu pula kutu dan kutu
anjing, apabila menyakitkan badan, maka bolehlah membuangnya. Dan demikian
juga, hajatnya kepada menggarut, yang mengganggu kekhusyu'annya.
Adalah
Mu'az mengambil kutu dan kutu anjing dalam shalatnya. Dan Ibnu Umar membunuh
kutu dalam shalat, sehingga kelihatan darah pada tangannya.
Berkata An-Nakha'i
: "Bahwa orang yang bershalat itu, mengambil kutu dan membuangnya
dan tiada mengapa kalau membunuhnya". Berkata Ibnul-Musayyab : "Bahwa
orang yang bershalat itu mengambil kutu dan menutupkannya, kemudian
membuangkannya". Dan berkata Mujahid : "Bahwa yang
lebih baik padaku ialah membiarkan kutu itu, kecuali menyakitinya, sehingga
mengganggunya dari shalat, maka disingkirkan sekedar yang menyakitinya.
Kemudian sesudah shalat baru dicampakkan".
Itu,
adalah suatu keringanan. Kalau tidak, maka yang sempurna, ialah menjaga dari
perbuatan, walaupun sedikit.
Dari
itu, adalah setengah mereka, tiada mengusir lalat dan berkata: "Tidak aku
biasakan diriku yang demikian, nanti merusakkan shalatku. Aku mendengar bahwa
orang-orang fasiq dihadapan raja-raja, sabar menahan kesakitan yang keras dan
tidak bergerak."
Kalau
menguap, maka tiada mengapa meletakkan tangan pada mulut. Yang begitu, adalah
lebih utama. Dan kalau bersin, maka memujikan Allah di dalam hati dan tidak
menggerakkan lidah. Dan kalau bersandawa, maka seyogialah tidak mengangkatkan
kepala arah ke langit. Dan kalau jatuh kain penutup badan, maka tidaklah wajar
memperbaiki pemakaian nya. Begitu pula tepi serban.
Semuanya
itu makruh, kecuali kalau diperlukan.
Masalah
:
Bershalat
dengan dua alas kaki, dibolehkan, walaupun membukanya itu mudah. Dan tidaklah
keringanan itu,pada muza (sepatu pansus), karena sukar membukanya. Bahkan najis
itu, dima'afkan daripadanya. Dan disamakan dengan najis yang ada pada sepatu
pansus itu, najis yang ada pada madas (semacam sandal).
Nabi صلى الله عليه وسلم .mengerjakan
shalat dengan dua alas kakinya, kemudian dibukanya. Lalu orang banyakpun
membuka alas kaki mereka. Maka bertanya Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Mengapakah kamu membuka alas kakimu?".Mereka menjawab : "Kami
lihat engkau membuka, maka kamipun membuka".
Maka
menyambung Nabi صلى الله عليه وسلم: "Bahwa
Jibril as. datang kepadaku, menerangkan bahwa pada kedua alas kakiku ada najis.
Apabila bermaksud seorang kamu ke masjid, maka hendaklah membalikkan kedua alas
kakinya dan memperhatikan pada keduanya. Kalau ia melihat najis, maka hendaklah
disapunya dengan tanah dan bershalatlah dengan keduanya".
Berkata
setengah mereka : "Shalat dengan dua alas kaki itu, adalah lebih utama
(afdhal), karena Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda
: "Mengapakah kamu membuka alas kakimu?".
Ini
adalah berlebih-lebihan, karena Nabi صلى الله عليه وسلمmenanyakan
mereka, untuk menerangkan kepada mereka sebabnya Nabi صلى الله عليه وسلمmembuka alas
kakinya. Sebab Nabi صلى الله عليه وسلمmengetahui,
bahwa mereka membuka alas kakinya adalah menyesuaikan perbuatannya dengan
perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم
Diriwayatkan
oleh Abdullah bin As-Saib, bahwa : "Nabi صلى الله عليه وسلمmembuka kedua
alas kakinya". Jadi, Nabi صلى الله عليه وسلمtelah berbuat
dengan membuka kedua alas kakinya itu. Siapa yang membuka, maka tidaklah
wajar meletakkan kedua alas kakinya itu, pada kanannya atau pada kirinya,
lalu menyempitkan tempat dan memutuskan shaf. Tetapi hendaklah diletakkan
dihadapannya dan tidak ditinggalkan di belakang, karena membawa hati menoleh
kepada alas kaki itu. Dan mungkin orang yang berpendapat bahwa bershalat dengan
keduanya lebih utama, adalah menjaga maksud itu, yaitu : berpalingnya
hati kepada kedua alas kakitersebut.
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah ra., bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda :
"Apabila mengerjakan shalat seorang kamu, maka hendaklah menjadikan kedua
alas kakinya diantara kedua kakinya".
Berkata
Abu Hurairah kepada orang yang lain : "Letakkanlah keduanya diantara kedua
kakimu! Janganlah engkau menyusahkan orang muslim dengan kedua alas kaki itu!
Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
meletakkan keduanya di sebelah kirinya dan beliau adalah imam shalat"
Jadi,
imam boleh berbuat demikian, karena tiada berdiri seorang pun pada kirinya.
Yang lebih utama, ialah kedua alas kaki itu, tidak diletakkan diantara kedua
tapak kaki, karena mengganggu kannya, tetapi diletakkan di muka kedua tapak
kaki, Kiranya, itulah yang dimaksud dengan hadits tadi.
Berkata
Jubair bin Muth-'im : "Meletakkan kedua alas kaki, diantara kedua tapak,
adalah bid'ah".
Masalah
:
Apabila
meludah dalam shalat, maka tidaklah batal shalat, karena itu adalah perbuatan
yang sedikit. Dan yang tidak mendatangkan suara, maka tidaklah dinamakan berkata-katadan
tidaklah merupakan bentuk hurufdari kata-kata. Hanya meludah itu,
adalah makruh. Dari itu, seyogialah dijaga daripadanya, kecuali seperti apa
yang diizinkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلمKarena
diriwayatkan setengah shahabat : "Bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلمmelihat dahak
pada qiblat, maka amat marahlah beliau. Lalu digosokkannya dengan gundar yang
ada pada tangannya dan bersabda : "Bawalah kepadaku sedikit bau-bauan! Lalu
beliau letakkan kumkuma pada bekas dahak itu. Kemudian berpaling kepada kami
dan bersabda : "Siapakah diantara kamu, yang suka meludah dimukanya?".
Maka
kami menjawab : "Tiada seorangpun!".
Menyambung
Nabi صلى الله عليه وسلم:
"Sesungguhnya seorang. kamu, apabila masuk dalam shalat, maka sesungguhnya
Allah Ta'ala adalah dian-taranya dan qiblat". Dan pada riwayat yang lain :
"Dia dihadapi oleh Allah Ta'ala. Maka janganlah meludah seorang kamu, di
depan mukanya dan di kanannya. Tetapi di kirinya atau di bawah tapak kirinya.
Kalau terburu-buru, maka hendaklah meludah dalam kainnya dan hendaklah
mengatakan : "Beginilah!" (1) Dan digosok kan sebahagian dengan
sebahagian yang lain".
1.Dirawikan
Muslim dari Jabir
|
Masalah
:
Berdiri
ma'mum itu, ada yang sunat dan ada yang fardlu, Yang
sunat, ialah : berdiri ma'mum yang seorang di kanan imam,terkebelakang
daripadanya sedikit. Dan ma'mum wanita yang seorang, berdiri di belakang imam.
Kalau ia berdiri di samping imam, maka tidaklah membawa melarat, tetapi
menyalahi sunnah.
Kalau
bersama ma'mum wanita, ada ma'mum laki-laki, maka ma'mum laki-laki berdiri di
kanan imam dan ma'mum wanita di belakang ma'mum laki-laki tadi.
Dan
janganlah berdiri seorang sendirian di belakang shaf, tetapi masuklah ke dalam
shaf atau menarikkan seorang dari shaf kepadanya. Kalau berdiri juga ia
sendirian, maka shalatnya shah tetapi makruh.
Adapun yang
fardlu, maka yaitu : menyambung shaf. Yakni diantara ma'mum dan imam,
ada ikatan yang menghimpunkan, karena keduanya, adalah dalam suatu
jama'ah.
Kalau
keduanya dalam masjid, maka mencukupilah yang demikian itu, menghimpunkan
keduanya. Karena masjid itu dibangun untuk yang demikian. Maka tidaklah
memerlukan kepada sambungan shaf, tetapi mencukupilah sampai ma'mum itu
mengetahui segala perbuatan imam. Abu Hurairah ra. mengerjakan shalat pada
bahagian atas masjid dengan mengikuti shalat imam.
Apabila
ma'mum berada di h alam an masjid pada jalan besar atau pada lapangan luas
milik perkongsian dan tak ada diantara imam dan ma'mum bermacam-macam rumah
yang memisahkan, maka memadailah kedekatan, sekedar tembakan anak busur. Dan
mencukupilah ikatan dengan yang demikian, karena sampai perbuatan salah seorang
daripada keduanya kepada yang lain.
Sesungguhnya,disyaratkan
apabila ma'mum itu berdiri pada beranda rumah di kanan masjid atau di kirinya
dan pintunya menempel pa-da masjid, maka yang disyaratkan.ialah : bahwa
memanjang shaf masjid yang dalam lorongnya, tanpa putus sampai kepada beranda
rumah.
Kemudian
shahlah shalat orang yang dalam shaf itu dan orang yang di belakangnya. Tidak
shah orang yang dihadapannya. Begitulah hukumnya, kalau dalam rumah yang
berlain-lanan. Adapun satu rumah dan satu lapangan, maka adalah seperti satu
tanah lapang.
Masalah
:
Masbuq (ma'mum
yang terkemudian masuk ke dalam shalat), apabila mendapati akhir shalat imam,
maka itulah awal shalatnya. Maka hendaklah ia menyesuaikan dengan shalat imam,
kemudian ia meneruskan shalatnya, ketika imam telah selesai dari shalat.
Dan
hendaklah ia ber qunut Shubuh pada akhir shalatnya sendiri,
meskipun ia telah berqunut bersama imam.
Kalau
masbuq itu mendapati bersama imam sebahagian berdiri, maka
janganlah membaca do'a iftitah. Dan hendaklah memulai dengan Al-Fatihah dan
hendaklah meringkaskannya. Kalau imam ruku' sebelum sempurna al-fatihah-ny a
dan sanggup ia menghubungi imam pada i'tidalnya dari ruku \ maka
hendaklah ia menyempurnakan Al-Fatihah.
Dan
kalau tidak sanggup, maka ia menyesuaikan dengan shalat imam dan terus
ia rukuDan Al-Fatihah yang dibacanya sebahagian itu, dihitung cukup dan
yang tidak sempat dibacanya menjadi gugur, disebabkan ia orang masbuq.
Kalau
imam ruku' dan ia sedang membaca surat, maka hendaklah
diputuskannya pembacaan itu.
Kalau
la mendapati imam dalam sujud atau tasyahhud, maka
ia bertakbiratul-ihram, kemudian terus duduk, tanpatakbir perpindahan (takbir
intiqalat). Lain halnya, kalau ia mendapati imam pada ruku; maka ia bertakbir
intiqalat, sebagai takbir keduasesudah takbiratul-ihram pada
turunnya kepada ruku'. Karena yang demikian itu, adalah kepindahan yang
dihitung bagi -nya.
Segala takbir
intiqalat yang asli adalah dalam shalat, tidaklah karena hal-hal yang
mendatang, disebabkan mengikut imam. Dan ma'mum masbuq itu, tiada memperoleh
raka'at, selama tidak bcrthu-ma'ninah dalam ruku' sebagai
orang yang ruku' dan imampun masih dalam keadaan orang yang ruku'. Kalau ia
belum menyempurnakan thuma'ninahnya, kecuali sesudah imam keluar dari batas
orang yang ruku', maka dalam keadaan demikian ma'mum masbuq tadi, tidak
mendapat raka'at itu.
Masalah
:
Siapa
yang luput shalat Dhuhur sampai kepada waktu 'Ashar, maka hendaklah ia
mengerjakan shalat Dhuhur dahulu. kemudian baru mengerjakan 'Ashar.
Kalau
ia memulai dengan Ashar, memadai juga, tetapi telah meninggalkan yang lebih
utama dan menjerumuskan diri ke dalam persoalan yang diperselisihkan.
Kalau
ia mendapati imam, maka hendaklah mengerjakan shalat 'Ashar, kemudian barulah
ia mengerjakan Dhuhur sesudahnya. Karena berjama'ah dengan shalat ada'(shalat
dalam waktunya), adalah lebih utama.
Kalau
ia bershalat sendirian pada awal waktu, kemudian ia mendapati shalat jama'ah,
maka bershalatlah lagi dalam jama'ah dan meniatkan shalat waktu itu. Allah
Ta'ala akan menghitung mana yang dikehendakiNya. Kalau ia meniatkan shalat
yang tertinggal (shalat qadla') atau meniatkan shalat sunat,
maka bolehlah yang demikian.
Kalau
ia telah bershalat jama'ah, kemudian memperoleh lagi jama'ah
lain, maka hendaklah ia meniatkan shalat yang tertinggal (shalat
qadla') atau shalat sunat. Karena mengulangi shalat yang sudah
dilaksanakan dengan jama'ah, sekali lagi, tak ada alasan baginya. Cara berbuat
demikian, adalah untuk memperoleh keutamaan berjama'ahsemata-mata.
Masalah
:
Siapa
yang telah shalat, kemudian melihat pada kainnya najis, maka
yang lebih disukai ialah mengerjakan shalat itu kembali dan tidak wajib.
Kalau
ia melihat najis itu sedang shalat, maka hendaklah dilempar-kannya kain itu dan
diteruskannya shalat. Dan yang lebih disukai, ialah mengulangi shalat itu
kembali.
Pokok
pemahaman ini, ialah ceritera penanggalan dua alas kaki Nabi صلى الله عليه وسلمketika
diterangkan oleh Jibril as. kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu ada
najis. Nabi صلى الله عليه وسلم .tidak
mengulangi shalatnya.
Masalah
:
Siapa
yang meninggalkan tasyahhud pertama atau qunut atau selawat
kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . pada
tasyahhud pertama atau berbuat
suatu perbuatan karena lupa dan kalau disengaja, shalat menjadi batal, atau ia
ragu, lalu tidak diketahuinya, apakah ia telah shalat tiga raka'at atau empat
raka'at, maka dfllam hal ini, diambil yang yakin dan sujud dua
sujud sahwi (sujud karena kelupaan), sebelum salam.
Kalau
lupa, lalu sesudah salam, manakala ia teringat dalam waktu
berdekatan. Maka jikalau ia sujud sahwi sesudah salam dan sesudah
berhadats, maka batallah shalatnya. Karena tatkala ia masuk ke dalam
sujud, adalah seolah-olah ia menjadikan salam nya itu terlupa, tidak pada
tempatnya. Maka tidaklah berhasil tahallul(menjadi halal apa yang
dilarang dengan shalat) dengan salam itu. Dan ia telah kembali'kepada shalat.
Dari itulah, diulangi salam sesudah sujud sahwi.
Kalau
ia teringat kepada sujud sahwi setelah keluar dari masjid atau setelah lama
masanya, maka luputlah waktu untuk sujud sahwi itu.
Masalah
:
waswas (bimbang
hati) pada "niat shalat, adalah disebabkan oleh kelemahan pikiran atau
kebodohan tentang Agama. Karena menuruti perintah Allah Ta'ala, adalah seperti
menuruti perintah lainNya. Dan mengagungkanNya adalah seperti mengagungkan
lainNya, tentang kasad di hati.
Siapa
yang datang kepadanya seorang ulama, lalu ia berdiri meng-hormatmya, maka kalau
ia mengatakan : "Aku meniatkan berdiri, untuk menghormati kedatangan Pak
Zaid yang mulia, karena kemuliaannya, menyambut kedatangannya, dengan
menghadapkan wajahku kepadanya", maka perkataan itu, menunjukkan kepada
kebodohan.
Tetapi
sebegitu melihatnya dan mengetahui kelebihannya, terus timbul pendorong untuk
menghormatinya. Lalu pendorong itu membawa ia berdiri dan memuliakannya.
Kecuali ia berdiri karena urusan lain atau dalam kealpaan.
Pensyaratan
adanya shalat itu Dhuhur, dalam waktu dan fardlu, dalam
keadaannya, menuruti perintah Allah, adalah seperti pensyaratan adanya berdiri
yang disertai dengan masuk, serta menghadapkan muka kepada orang yang masuk itu dan tanpa
penggerak lain-nya, selain yang tersebut dan maksud penghormatan dengan
demikian, adalah supaya menjadi penghormatan. Karena kalau ia
berdiri membelakangi orang yang mau dihormati atau ia
bersabar dahulu, kemudian sesudah sejenak, baru ia bangun berdiri,
maka tidaklah itu penghormatan namanya.
Kemudian,
sifat-sifat tersebut, harus ada, harus dimaklumi dan dimaksudkan. Kemudian
tidak lama datangnya pada hati dalam satu detik. Yang lama, hanyalah menyusun kata-kata
yang menunjukkan kepada sifat-sifat itu. Adakalanya diucapkan dengan lisan dan
adakalanya dipikirkan dengan hati.
Siapa
yang tidak memahami niat shalat secara ini, adalah seolah-olah
ia tiada memahami niat.Sehingga tiada padanya selain daripada anda
dipanggil supaya mengerjakan shalat pada suatu waktu, lalu anda terima
panggilan itu dan anda tegak berdiri. Was-was itu, adalah semata-mata
kebodohan.
Segala
maksud dan pengetahuan itu, berkumpul dalam hati pada suatu keadaan. Dan
tidaklah berpisah-pisah satu dengan lainnya di dalam hati, dari segi dilihat
dan diperhatikan semuanya itu oleh hati.
Berbeda
antara kehadliran sesuatu dalam hati dan perinciannya
dengan pemikiran.
Kehadliran adalah
berlawanan dengan keghaiban dan kealpaan, meskipun
tidak diperincikan. Siapa yang mengetahui suatu kejadian, umpamanya, maka ia
mengetahuinya dengan suatu pengetahuan dalam suatu
keadaan. Pengetahuan itu mengandung beberapa pengetahuan yang
mendatang, walaupun tiada diperincikan.
Siapa
yang mengetahui suatu kejadian, sesungguhnya ia telah
mengetahui : yang ada (maujud), yang tiada (ma'dum), yang
dahulu, yang kemudian dan waktu. Dan yang dahulu itu,
adalah untuk tiadadan kemudian itu, adalah untuk ada.
Segala
pengetahuan tadi, tersimpul di bawah pengetahuan dengan suatu kejadian
itu, dengan dalil bahwa orang itu mengetahui kejadian itu, apabila ia
tiada mengetahui yang lain. Kalau umpamanya ditanyakan kepadanya : "Adakah
anda mengetahui yang dahulu saja atau yangkemudian atau tiada atau terdahulu
tiadaatau terkemudian ada atau waktu yang terbagi
kepada yang dahuludan yang kemudian?", lalu ia
menjawab : "Aku tiada mengetahuinya sekali-kali", maka adalah dia itu pembohong. Dan
perkataannya itu ber-tentangan dengan perkataannya : "Aku mengetahui
kejadian itu".
Dari
kebodohan dengan pengertian yang halus ini, melonjaklah kewaswasan itu.
Orang
yang waswas itu, memberatkan dirinya untuk menghadlirkan ke dalam hatinya,
pengertian ke Dhuhuran, dalam waktu (adaa') dan fardlu,
dalam suatu keadaan yang terperinci dengan kata-kata yang dibacanya.
Yang
demikian itu, adalah mustahil! Kalau ia memberatkan dirinya yang demikian,
mengenai bangunnya untuk menghormati seorang ahli ilmu, niscaya amat sukarlah
baginya.
Dengan
pengetahuan tersebut, tertolaklah waswas itu. Yaitu, ia mengetahui bahwa
menuruti perintah Allah Ta'ala dalam niat, adalah seperti menuruti perintah
lainNya.
Kemudian,
aku tambahkan untuk lebih memudahkan dan menje-laskan, bahwa kalau orang yang
waswas itu tidak memahami niat, kecuali dengan menghadlirkan segala keadaan itu
dengan terperinci dan tidak tergambar dalam hatinya dengan sekaligus, mengikuti
perintah Allah dan ia menghadlirkan secara keseluruhan yang demikian
itu, waktu sedang bertakbir, dari'permulaannya sampai kepada
penghabisannya, di mana ia tiada selesai daripada takbir itu, melainkan telah
berhasillah niat tadi, niscaya memadailah yang demikian.
Kita
tidak memberatkan orang yang waswas itu, bahwa menyerta-kan semua tadi, dengan
awal takbir atau dengan akhir takbir. Karena yang demikian adalah amat
memberatkan. Dan kalau itu disuruh, tentu telah menimbulkan pertanyaan bagi
orang-orang dahulu. Dan tentulah mendatangkan waswas bagi seseorang daripada
shahabat tentang niat.
Maka
tidak terjadinya yang demikian itu, adalah menjadi dalil bahwa hal itu
dipermudahkan (tidak dipersulitkan). Maka bagaimanakah niat itu menjadi mudah
bagi orang waswas, selayaknyalah dicukupkan dengan itu. Sehingga ia terbiasa
yang demikian dan ia terpisah daripada sifat waswas. Dan tidak memaksakan
dirinya dengan meyakinkan yang demikian itu. Karena untuk meyakinkan itu,
menambahkan kewaswasan.
Telah
kami sebutkan dalam "Al-Fatawa", cara-cara yang meyakinkan, untuk
mendatangkan keyakinan bagi segala pengetahuan dan maksud-maksud yang
berhubungan dengan niat, di mana para ulama memerlukan untuk mengetahuinya.
Adapun
orang awwam, mungkin membawa kemelaratan mendengarnya dan membangkitkan was-was
kepada mereka. Dari itu, kami tinggalkan menerangkannya!.
Masalah.
Seyogialah
ma'mum tidak mendahului imam pada ruku', sujud, pada bangkit daripada keduanya
dan pada perbuatan-perbuatan yang lain.
Dan
tidak seyogialah ma'mum menyamai imam, tetapi hendaklah ia mengikuti imam dan
menuruti di belakangnya.
Inilah,
arti mengikuti imam. Kalau ma'mum itu menyamai imam dengan sengaja, tidaklah
batal shalatnya, sebagaimana kalau ma'mum itu berdiri di samping imam, tidak
terbelakang daripada iman,Kalau ma'mum itu mendahului imam, maka mengenai batal
shalatnya terdapat perbedaan paham diantara para ulama. Dan tidaklah jauh
daripada kebenaran, kalau dihukum dengan batalnya. Karena diserupakan dengan :
kalau ma'mum itu, lebih ke muka tempat berdirinya daripada imam. Bahkan ini
lebih utama lagi, karena berjama'ah ialah mengikuti imam pada perbuatan, bukan
pada tempat berdiri.
Maka
mengikuti pada perbuatan itu, adalah lebih penting!.
Disyaratkan,
tidak ke muka pada tempat berdiri, adalah untuk memudahkan bagi ma'mum
mengikuti perbuatan imam dan untuk memperoleh bentuk mengikuti itu. Karena
selayaknyalah bagi yang diikut, mendahului daripada yang
mengikut. Tak adalah cara bagi ma'mum mendahului perbuatan imam,
kecuali ia terlupa. Karena itulah Rasulullah صلى الله عليه وسلم . sangat
menantangnya, dengan sabdanya :
أما يخشى الذي يرفع رأسه قبل الإمام متفق عليه من حديث أبي هريرة
(Amaa yakhsyalladzii yarfa'u ra'-sahu qablal imaami
an yuhawwi-lallaahu ra'-sahu ra'-sa hiniaar) Artinya : "Apakah
tidak takut orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam, bahwa diputar oleh
Allah kepalanya itu, menjadi kepala keledai?". (1)
Adapun
terkemudian daripada imam dengan satu rukun, tidaklah membatalkan shalat. Yang
demikian itu, umpamanya : imam i'tidal dari ruku', sedang
ma'mum belum lagi ruku'. Tetapi terkemudian sampai batas ini adalah makruh.
1.Hadis
Bukhari Dan muslim Dari Abi Hurairah
|
Kalau
imam telah meletakkan dahinya ke lantai, sedang ma'mum belum lagi sampai kepada
batas ruku', niscaya batallah shalat ma'mum itu. Begitu pula kalau imam telah
meletakkan dahinya untuk sujud kedua, sedang ma'mum belum lagi sujud pertama.
Masalah :
Berhaklah
orang yang menghadliri shalat, apabila melihat orang lain berbuat salah pada
shalatnya, menegur dengan memperbaiki dan menantang. Kalau kesalahan itu timbul
pada orang bodoh, maka hendaklah orang bodoh itu dikawani dan diajari.
Diantara
yang tersebut itu, ialah menyuruh menyamakan shaf, melarang sendirian berdiri
di luar shaf dan menegur orang yang mengangkatkan kepalanya sebelum imam dan
lain-lain sebagainya.
Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم : ويل للعالم من الجاهل حيث لا يعلمه
(Wailun
Iil-'aalimi minal-jaahili haitsu laa yu-'allimuh) Artinya ;"Neraka
wailun bagi orang berilmu, daripada orang bodoh, yang tidak diajarinya",
(1)
Berkata
Ibnu Mas'ud ra. : "Siapa
yang melihat orang berbuat salah dalam shalatnya dan tidak ditegurnya, maka dia
adalah sekutu orang itu dalam kedosaan".
Dari
Bilal bin Sa'ad, bahwa ia berkata : "Kesalahan apabila disem-bunyikan,
maka tidak mendatangkan melarat, kecuali atas orang yang berbuat kesalahan itu.
Apabila kesalahan itu telah lahir dan tidak diadakan perobahan, maka adalah
memberi melarat kepada orang awwam".
Pada
hadits tersebut : "Bahwa Bilal meratakan shaf-shaf shalat dan
memukul ujung betis mereka dengan cambuk ". (2)
Dari
Umar ra., bahwa ia berkata : Periksalah saudara-saudaramu yang tidak hadlir
pada shalat! Apabila kami dapati, mereka tidak menghadliri shalat, kalau mereka
sakit, maka hendaklah kamu kunjungi mereka. Dan kalau mereka sehat, maka
hendaklah kamu menentang mereka. Menentang itu ialah, membantah terhadap orang
yang meninggalkan jama'ah.
(1)Dirawikan
Ad-Dailami dari Anas, dengan sanad dla'if.
(2)Menurut
Al-lraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits tersebut.
|
Tidak
layaklah mempermudah-mudahkan shalat jama'ah. Orang-orang dahulu, bersangatan
benar padanya, sampai sebahagian mereka membawa janazah kepada sebahagian orang
yang meninggalkan shalat jama'ah, sebagai pertanda bahwa orang matilah yang
meninggalkan jama'ah. Tidak orang yang hidup.
Siapa
yang masuk masjid, hendaklah menuju kebahagian kanan shaf. Dari itulah,
berdesak-desak manusia kejurusan itu pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلمsampai orang
mengatakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . : Telah kosonglah bahagian kiri shaf.
Maka
menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم :من عمر ميسرة المسجد كان له كفلان من الأجر
(Man
'amaya maisaratal-masjidi kaana lahuu kil'laani minal-ajri). Artinya :
"Siapa yang meramaikan bahagian kiri masjid, adalah baginya dua kali
pahala". (1)
Manakala
dijumpai seorang budak dalam shaf dan ia sendiri tidak memperoleh tempat, maka
bolehlah ia mengeluarkan budak itu ke shaf belakang dan ia masuk ke tempat
tadi. Ini maksudnya, kalau budak itu belum dewasa.
Inilah
yang kami maksudkan menyebutnya mengenai masalah-masaalah yang meratai
bencananya! Dan akan datang hukum beberapa shalat yang bercerai-berai dalam
"Kitab Wirid".
Insya Allah Ta'ala!.!!!
1.Dirawikan ibnu majah dari ibnu Umar dengan sanad
Daif
|
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan