AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Khamis, 10 Januari 2013

Kitab Rahsia Bersuci

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Kitab Rahsia Bersuci



وهو الكتاب الثالث من ربع العبادات
KITAB RAHASIA BERSUCI
Yaitu : Kitab Ketiga dari Rubu' Ibadah
 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
(Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).

Segala pujian bagi Allah yang berlemah-lembut dengan hambaNya. Maka dianugerahiNya ibadah kepada mereka dengan kebersihan. DicurahkanNya ke dalam hati mereka untuk mensucikan bathinnya, nur dan kasih-sayangNya. Dan disediakanNya bagi dhahiriah mereka, untuk menyucikan yang dhahir itu, air yang tertentu dengan cair dan bening.
Rahmat Allah kepada Nabi Muhammad yang meratai seluruh pelosok dan penjuru alam dengan nur-hidayah dan kepada keluar-ganya yang baik lagi suci, rahmat — yang oleh berkahnya melepaskan kita pada hari ketakutan dan menegakkan benteng diantara kita dan setiap bahaya.
Kemudian, maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw :
 بني الدين على النظافة
(Budiyad-diinu 'alan-nadhaafah).Artinya : "Dibangun Agama di atas kebersihan". (1)
Dan bersabda Nabi saw.
مفتاح الصلاة الطهور.
(Miftaahush-shalaatith-thuhuur).Artinya: "Kunci shalat ialah kesucian". (2)
Berfirman Allah Ta'ala :
فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
(Fiihi rijaalun yuhibbuuna an yatathah-haruu wallaahu yuhibbul mutathah-hiriin).
Artinya : "Di dalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih". (S. At Taubah, ayat 108).


1 Menurut Al-lraqi ia tidak menjumpai hadits yang berbunyi demikian.
2 DirawikanAth Tirmidzi dari Ali.
Bersabda Nabi sawصلى الله عليه وسلم  :
الطهور نصف الإيمان
(Ath-thuhuuru nishful iimaan).Artinya : "Kesucian itu setengah Iman". (1)

Berfirman Allah Ta'ala :
"Allah tidak hendak menyusahkan kamu, tetapi hendak mensucikan kamu ". (S. Al-Maidah, ayat 6).
Maka berfikirlah orang-orang yang mempunyai mata-hati dengan yang dhahiriah dari ayat-ayat dan hadits-hadits tadi, bahwa pekerjaan yang terpenting ialah mensucikan segala rahasia hati (as-saraair). Karena rasanya jauhlah dari paham yang benar, bahwa yang dimaksud dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Kesucian itu setengah Iman", adalah membangun dhahiriah dengan pembersihan dengan menyiram dan menuangkan air. Dan meruntuhkan bathiniyah serta membiarkannya berlumuran dengan barang-barang keji dan kotor. Amat jauhlah dari itu!.
Bersuci itu empat tingkat :
Tingkat Pertama : Mensucikan dhahir dari segala hadats, kotoran dan benda yang menjijikkan.
Tingkat Kedua    : Mensucikan anggota badan dari segala perbuatan jahat dan dosa.
Tingkat Ketiga  : Mensucikan hati dari segala pekerti yang tercela dan sifat-sifat rendah yang terkutuk.
Tingkat Keempat: Mensucikan sirr (Rahasia atau bathin) dari sesuatu selain dari Allah Ta'ala.Yaitu : bersuci para NABI  Alaihissalam dan para Shiddiq.

Bersuci pada tiap-tiap tingkat tadi adalah setengah dari amal perbuatan yang ada di dalamnya. Dan tujuan penghabisan pada amalan sirr ialah terbuka baginya kebesaran dan keagungan Allah Ta'ala. Dan tidaklah bertempat ma'rifah kepada Allah dengan sebenarnya pada bathin, selama belum berangkat daripadanya segala sesuatu selain Allah. Dari itu berfirman Allah Ta'ala :

1. Dirawikan Muslim dari Abi Malik AI-Asy'ari.
قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
(Qulillaahu tsumma dzarhum fii khaudlihim yal-'abuun).
Artinya : "Katakan : Yang menurunkan itu Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya". (S. Al-An-'aam, ayat 91).Karena keduanya itu tidak dapat berkumpul di dalam hati."Allah tidak menjadikan seseorang mempunyai dua hati di dalam dadanya ". (S. Al-Ahzaab, ayat 4).
Adapun amalan hati, maka tujuannya yang terakhir ialah membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji dan 'aqidah yang disuruh Agama. Dan tidak bersifat hati itu dengan sifat-sifat tersebut, sebelum dibersihkan dari lawan-lawannya. Yaitu 'aqidah yang salah dan sifat-sifat rendah yang terkutuk.
Maka pensucian hati itu adalah salah satu dari dua bahagian, di mana dia adalah bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua. Maka adalah kesucian itu setengah Iman menurut pengertian ini.
Begitu pula, pensucian anggota badan dari segala yang dilarang, adalah salah satu dari dua bahagian. Yaitu bahagian pertama yang menjadi syarat pada bahagian kedua.
Maka pensucian hati adalah salah satu dari dua bahagian, yaitu
Bahagian pertama pembangunan anggota badan dengan segala macam tha'at, adalah bahagian kedua.
Maka inilah maqam-maqam Iman itu. Tiap-tiap maqam,mempunyai tingkat. Dan tidaklah sampai seorang hamba ke tingkat yang tinggi, melainkan setelah melampaui tingkat yang dibawah. Tidak sampai ia kepada kesucian bathin dari segala sifat yang tercela dan mem-bangunnya dengan sifat yang terpuji, selama ia belum selesai dari pensucian hati dari budi pekerti yang tercela dan membangunnya dengan budi pekerti yang terpuji. Dan tidak sampai ke situ orang-orang yang belum menyelesaikan daripada pensucian anggota badan dari segala yang dilarang dan membangunnya dengan segala amalan tha'at. Tiap-tiap yang dicari itu tinggi dan mulia, maka sulit dan jauhlah jalannya dan banyaklah halangannya.
Janganlah anda menyangka bahwa hal ini didapati dengan angan-angan dan dicapai dengan keinginan saja. Ya, siapa yang buta mata-hatinya daripada berlebih-kurangnya tingkatan-tingkatan ini, niscaya ia tidak memahami dari .tingkatan-tingkatan bersuci itu selain daripada tingkatan akhir, di mana dia merupakan seperti kulit ter-akhir yang dhahir, dibandingkan kepada isinya yang dicari.

Maka jadilah dia memperhatikan pada kulit itu dan memeriksa jalan-ja-lannya. Dan menghabiskan segala waktunya pada beristinja \ mencuci kain, membersihkan dhahiriyah dan mencari air banyak yang mengalir. Karena timbul sangkaan daripadanya, karena bisik-an setan dan khayalan akal pikiran, bahwa kesucian yang dicari lagi mulia, itulah saja. Dan tidak mengerti akan perjalanan hidup orang-orang dahulu dan mereka menghabiskan segala enargie dan pikiran pada pensucian hati dan tidak mementingkan pada urusan dhahir. Sehingga Umar ra. dengan kedudukannya yang tinggi itu, berwudlu dari air di dalam kendi seorang Nasrani. Sehingga, sesungguhnya orang-orang dahulu itu tidak membasuhkan tangannya dari pada debu dan bekas makanan. Tetapi mereka menyapukan tangannya dengan tuihit kakinya. Dan mereka menghitung kain serbet (kain lap) itu termasuk bid'ah yang diada-adakan. Mereka melakukan shalat di atas lantai di masjid, berjalan dengan kaki telanjang di jalan-jalan. Siapa yang tidak membuat alas diantaranya dan lantai pada tempat tidur, maka adalah dia termasuk orang besar dari mereka. Dan mereka mencukupkan dengan batu saja pada beristinja

Berkata Abu Hurairah dan lainnya dari ahli tasawwuf : "Adalah kami memakan daging bakar, lalu dibacakan iqamat untuk shalat. Maka kami masukkan jari-jari kami di dalam batu-batu kecil. Kemudian kami gosok-gosokkan dia dengan tanah dan kami bertakbir".
Berkata Umar ra. : "Tidak adalah kami mengenai kain lap pada masa Rasulullah saw. Dan sesungguhnya sapu tangan kami ialah tapak kaki kami. Adalah kami apabila sudah memakan makanan yang berminyak, lalu kami sapukan dengan tapak kaki itu".
Ada orang mengatakan bahwa bid'ah yang pertama-tama lahir sesudah Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah empat : ayakan tepung, kain lap, meja makan dan kenyang. Dan adalah kesungguhan mereka seluruhnya pada kebersihan bathin. Sehingga berkatalah setengah mereka: "Mengerjakan shalat di dalam dua alas kaki adalah lebih utama!". Karena Rasulullah saw. tatkala membuka kedua alas kakinya di dalam shalat, karena diterangkan oleh Jibril as. kepadanya, bahwa pada kedua alas kakinya itu najis dan orang lainpun membuka alas kakinya, maka kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya : "Mengapa kamu membuka alas kakimu?".

Berkata An-Nakha'i, tentang mereka yang membuka alas kakinya : "Aku suka, jikalau adalah orang yang memerlukan, lalu datang kepada alas-alas kaki itu dan mengambilnya". Perkataan ini adalah sebagai pertanda bahwa An-Nakha'i menentang di buka alas-alas kaki itu.
Begitulah orang-orang dahulu itu memandang enteng dalam hal-hal tadi, bahkan adalah mereka berjalan kaki di atas tanah jalan dengan kaki terbuka. Mereka duduk di atasnya, mengerjakan shalat di masjid-masjid atas lantai. Mereka makan dari tepung gandum dan syair yang sudah dipijak dan dikencingi hewan. Tiada mereka memperdulikan dari keringat unta dan kuda serta banyak jatuhnya di dalam najis. Dan tidak adalah sekali-kali dinukilkan dari salah seorang dari mereka pertanyaan, mengenai najis yang halus-halus.
Begitulah mereka memandang enteng pada najis-najis itu. Sekarang telah sampai giliran kepada suatu golongan, yang menamakan berdandan itu kebersihan. Lalu mereka mengatakan, kebersihan itu tempat tegaknya Agama. Maka dipergunakannya sebahagian besar waktunya untuk menghiasi dhahiriyah, seperti yang diperbuat oleh penghias rambut dengan anak-daranya. Sedang bathinnya rusak, penuh dengan segala macam kekejian : takabur, 'ujub, bodoh, ria dan nifaq. Mereka tidak membantah yang demikian dan tidak merasa heran akan hal itu.
Jikalau orang yang hanya beristinja' dengan batu atau berjalan di atas tanah dengan kaki terbuka atau mengerjakan shalat di atas lantai atau beranda masjid tanpa tikar sajadah yang terbentang atau berjalan pada lapangan luas tanpa alas tapak kaki dari kulit atau berwudlu pada kendi air seorang wanita tua atau lelaki yang berpakaian kumuh maka golongan itu bangun tegak berdiri, menentang orang ini. Dan menggelarkannya kotor" serta mengusir-kannya dari golongan mereka, menolak untuk makan bersama dan bergaul. Mereka menamakan sederhana yang menjadi sebahagian dari Iman itu kotor dan berdaki dan itu kebersihan.
Lihatlah, bagaimana yang munkar itu telah menjadi ma'ruf dan yang ma'ruf telah menjadi munkar. Dan bagaimana telah terbenam dari agama tandanya, sebagaimana telah terbenam hakikat dan ilmunya.
Jika anda bertanya : "Apakah kata tuan, mengenai adat kebiasaan yang diadakan kaum shufi tentang keadaan dan kebersihan mereka, termasuk yang dilarang atau munkar?".

Maka aku menjawab, di mana aku berlindung dengan Allah dari memberi penjelasan tanpa perincian. Dengan tegas aku mengatakan bahwa membersihkan diri, memberatkan diri dengan perbuatan-perbuatan itu, menyediakan tempat-tempat air dan perkakas-perka-kasnya, memakai sarung kaki dan kain sarung yang mencukupi untuk menolak debu dan lain-lain sebagainya daripada sebab-sebab itu, maka kalau dipandang kepada diri hal-hal itu semata-mata, adalah termasuk barang mubah. (dibolehkan). Kadang-kadang dia disertai oleh hal-hal dan niat-niat yang menghubungkannya, sekali dengan yang ma 'ruf dan sekali dengan yang munkar.

Adapun adanya itu mubah pada dirinya maka tidaklah tersembunyi, bahwa orang itu adalah bertindak dengan hal-hal yang tersebut di atas pada hartanya, badannya dan kainnya. Maka ia berbuat sekehendaknya apabila tidak ada padanya perbuatan yang sia-sia dan pemborosan.

Adapun menjadi munkar, maka yaitu dengan menjadikan yang demikian itu pokok agama. Dan menafsirkan dengan demikian, sabda Nabi saw. : "Agama itu dibangun atas kebersihan". Sehingga dengan itu ditantangnya orang-orang yang mempermudah-mudahkannya seperti yang dipermudah-mudahkan oleh orang-orang terdahulu. Atau bermaksud dengan yang demikian itu, menghiasi dhahiriah bagi manusia dan mencantikkan pandangan kepada mereka. Maka yang demikian itu adalah ria yang terlarang. Lalu jadilah dia itu munkar dengan dua pandangan tadi.

Adapun adanya itu ma 'ruf maka adalah maksud daripadanya kebaikan, bukan penghiasan. Dan tidak ditantang terhadap yang meninggalkannya dan tidak dikemudiankan sembahyang dari awal waktu, karenanya. Dan tidak terhalang dengan sebabnya, daripada mengerjakan perbuatan yang lebih utama daripadanya atau tidak terhalang daripada ilmu pengetahuan atau lainnya.

Apabila tidak disertai oleh sesuatu daripada yang tersebut tadi, maka adalah mubah, yang mungkin dijadikan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan niat.

Tetapi tiadalah mudah yang demikian, kecuali bagi orang-orang yang berani di mana jikalau mereka itu tidak bekerja dengan meng-gunakan segala waktu untuknya, niscaya mereka menghabiskan waktunya dengan tidur ataupun berbicara yang tidak penting. Sehingga jadilah pekerjaan mereka dengan membersihkan itu lebih utama. Karena bekerja dengan bersuci itu adalah membaharukan ingatan kepada Allah Ta'ala dan mengingatkan kepada ibadah. Maka tiada mengapa, apabila tidak menimbulkan kemungkaran atau pemborosan.

Adapun ahli ilmu dan amal maka tiada seyogialah menyerahkan waktunya kepada membersihkan itu melainkan sekedar perlu saja. Melebihkan dari itu adalah munkar terhadap mereka dan membuang-buang umur yang amat berharga dan amat mulia bagi diri orang yang dapat menggunakannya.

Dan tidaklah mengherankan yang demikian itu, karena perbuatan baik bagi orang-orang baik, adalah kejahatan bagi orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah (al-muqarrabin).
Dan tidaklah layak bagi pahlawan, meninggalkan kebersihan dan menentang orang shufi. Dan mendakwakan bahwa dia menyerupai dengan shahabat-shahabat, Karena menyerupai mereka itu adalah tentang tidak menggunakan waktunya selain untuk sesuatu yang lebih penting. Sebagaimana ditanyakan kepada Daud Ath-Tha-i : "Mengapakah engkau tidak menyisirkan janggut engkau?. Lalu ia menjawab : "Jadi saja ini orang yang berbuat bathil!". Karena itulah saya tidak melihat bagi orang yang berilmu, yang belajar dan yang beramal, bahwa menyianyiakan waktunya untuk mencuci kain. Karena menjaga daripada memakai kain-kain yang dipakai oleh orang-orang yang rendah dan yang memberi sangkaan buruk dengan kerendahan itu, karena lengah menyucikannya".
Adalah mereka pada masa pertama dahulu, mengerjakan shalat pada kulit hewan yang disamak. Dan tidak diketahui dari mereka orang-orang yang membedakan antara pakaian yang tidak dicuci dan pakaian dari kulit yang disamak, tentang suci dan najisnya. Tetapi adalah mereka menjauhkan diri daripada najis apabila dilihatnya dan tiada memperhatikan benar-benar untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan kecil. Malahan mereka adalah amat memperhatikan mengenai ria dan dhalim sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Sehingga berkatalah Sufyan Ats-Tsuri kepada seorang kawannya yang berjalan bersama-sama, lalu memandang ke pintu sebuah rumah yang tinggi lagi besar : "Janganlah engkau perbuat yang demikian! Karena jikalau tidaklah manusia memandang kepada rumah itu, niscaya tidaklah pemiliknya berbuat pemborosan seperti itu. Maka orang yang memandang kepadanya adalah menolong kepada pemiliknya untuk melakukan pemborosan",
Orang-orang pada masa pertama dahulu itu, menyediakan seluruh jiwanya untuk memahami yang halus-halus seperti itu, tidak mengenai kemungkinan-kemungkinan ada najis,Kalau orang yang berilmu memperoleh seorang awwam yang bekerja untuknya menyucikan kain untuk menjaga kebersihan, maka adalah yang demikian itu lebih utama. Karena yang demikian adalah lebih baik daripada menyia-nyiakan kebersihan. Dan orang awwam itu memperoleh manfa'at dengan perbuatannya karena dapat menggunakan dirinya yang mungkin terperosok kepada perbuatan jahat, dengan mengerjakan yang mubah tadi pada dirinya. Sehingga ia tercegah dari perbuatan ma'siat di dalam hal tersebut. Diri, jikalau tidak sibuk dengan sesuatu, maka akan menyibukkan yang mempunyai diri itu sendiri.
Dan apabila orang awwam tadi bermaksud dengan perbuatan itu, mendekatkan diri kepada orang yang berilmu itu, niscaya jadilah yang demikian baginya pengorbanan yang sebaik-baiknya. Dan waktu bagi orang yang berilmu itu adalah lebih mulia daripada diserahkannya kepada pekerjaan yang seperti itu (mencuci kain). Sehingga tinggallah waktu itu terpelihara baginya. Dan waktu bagi orang awwam tadi adalah lebih mulia untuk berbuat seperti itu. Maka sempurnalah kebajikan kepadanya dari segala segi.

Dan hendaklah diperhatikan dengan contoh di atas, kepada contoh-contoh yang lam yang seirama dengan itu, dari segala amal perbuatan. Dan menyusun segala kelebihannya dan segi kelebihan sebahagian daripadanya dengan sebahagian yang lain.

Penelitian benar-benar dengan menghitung dan menjaga segala detik umur, dengan mengguriakannya kepada yang lebih utama, adalah lebih penting daripada meneliti segala urusan duniawi dengan sukadukanya.

Apabila telah dipahami pendahuluan ini dan telah tegas bahwa bersuci itu mempunyai empat tingkat, maka ketahuilah bahwa kami pada Kitab ini, tidak akan memperkatakan, melainkan mengenai tingkat keempat saja. Yaitu : kebersihan dhahir. Karena kami dalam bahagian pertama dari Kitab ini, dengan sengaja tidak mengetengahkan melainkan pereoalan-persoalan dhahir saja.
Maka kami jelaskan sekarang bahwa kesucian dhahir itu tiga bahagian : kesucian dari najis, kesucian dari hadats dan kesucian dari benda-benda yang jijik pada badan. Yaitu yang diperoleh dengan pemotongan kuku, penajaman pisau, pemakaian obat yang menghilangkan bulu, pengkhitanan dan lainnya.
Bahagian pertama :Tentang bersuci daripada najis.
Pandangan mengenai najis, yang berhubungan dengan "Yang di-hilangkan" "dengan apa ia dihitangkan " dan "cara meng-hilangkannya".
SEGI PERTAMA : mengenai apa yang dihilangkan. Yang dihilangkan ialah : najis.
Benda itu tiga : benda tidak bernyawa (jamaadaat), hewan dan bahagian-bahagian dari badan hewan.
Adapun benda yang tidak bernyawa : maka semuanya suci selain khamar dan tiap-tiap yang berasal dari buah anggur kering yang memabukkan.
Hewan itu semuanya suci, selain anjing dan babi dan anak dari keduanya atau dari salah satu daripada keduanya. Apabila hewan itu mati, maka najis semuanya, kecuali lima : manusia, ikan, belalang, ulat buah tufah (buah-buahan). Dan dipandang seperti itu, tiap-tiap makanan yang berubah.
Tiap-tiap yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti lalat, lipas dan lain-lainnya, maka tidaklah bemajis air dengan jatuhnya ke dalam air.
Adapun bahagian dari badan hewan, maka dua macam :
Pertama : yang dipotong daripadanya. Maka hukumnya seperti hukum bangkai. Rambut (bulu), tidak menjadi najis dengan dipotong dan dengan sebab mati yang mempunyai rambut itu. Dan tulang itu menjadi najis dengan sebab-sebab yang demikian.
Kedua : barang-barang basah yang keluar dari perut hewan. Maka tiap-tiap yang tidak berubah dan tidak mempunyai tempat tetap, maka adalah suci, seperti air mata, peluh, air liur dan ingus. Dan yang mempunyai tempat tetap, sedang dia itu berubah, maka adalah najis, kecuali benda itu adalah unsur bagi kejadian hewan, seperti mani,dan telur. Nanah, darah, berak dan kencing itu najis dari seluruh hewan.
Dan tidak dima'afkan sesuatu dari najis ini baik sedikit atau banyak, selain dari lima :
Pertama : bekas tempat istinja', sesudah beristinja' dengan batu dima'afkan selama tidak melewati dari tempat keluarnya.
Kedua : tanah jalan raya dan debu dari berak di jalan besar dima'afkan daripadanya, walaupun diyakini bemajis, sekedar yang sukar menjaga daripadanya. Yaitu yang tidak dianggap terlalu berlumuran dengan debu itu atau terlalu banyak jatuh - pada orang yang kena debu itu.

Ketiga : apa yang diperoleh di bawah sepatu, dari najis yang tidak terlepas jalan besar daripadanya. Maka dima'afkan daripadanya setelah digosok, karena diperlukan.

Keempat : darah kutu anjing, sedikit atau banyak daripadanya. Kecuali apabila melampaui batas kebiasaan. Biar adanya pada kain kita atau pada kain orang lam yang kita pakai.

Kelima : darah jerawat dan yang keluar daripadanya, yang merupakan nan ah dan lendir.

Ibnu Umar ra. menggosok jerawat pada mukanya. maka keluarlah darah, lalu ia mengerjakan shalat tanpa membasuhnya.

Dan termasuk dalam pengertian itu, sesuatu yang membening dari kotoran kutu-kutu yang biasanya tahan lama. Begitu pula bekas bekam, kecuali apa yang jarang terjadi, dari sesuatu yang keluar dari badan atau lainnya. Maka dihubungkan hukumnya dengan darah kotor wanita (istihadhah). Dan tidaklah ia termasuk dalam pengertian jerawat yang tidak terlepas manusia daripadanya dalam segala keadaannya.

Dengan dima'afkan oleh Agama najis-najis yang lima itu, memberi-tahukan kepada kita bahwa persoalan bersuci itu adalah didasarkan kepada dipermudahkan (tidak dipersulitkan).Dan apa yang dibuat-buat yang merupakan suatu kesangsian tentang najis-najis itu, tidaklah mempunyai dasar sama sekali.
SEGI KEDUA : mengenai dengan apa najis itu dihilangkan (dibersihkan). Yaitu, adakalanya barang beku, dan adakalanya barang cair.
Adapun barang beku, maka yaitu batu istinja'. Barang beku itu mensucikan sebagai penyucian yang mengeringkan, dengan syarat, barang beku itu keras, suci, kering dan tidak benda yang dihormati.
Adapun benda cair, maka tidak dihilangkan (dibersihkan) najis dengan sesuatu daripadanya, selain air. Dan tidaklah semua air, tetapi yang suci saja, di mana tidak terlalu besar perobahannya dengan percampuran sesuatu yang tidak diperlukan untuk air itu.
Dan keluarlah air dari kesuciannya, disebabkan berobah rasanya atau warnanya atau baunya dengan jatuh najis ke dalamnya.Kalau air itu tidak berobah di mana dia mendekati dua ratus lima puluh sukatan, yaitu lima ratus kati Irak, niscaya ia tidak bernajis, karena sabda Nabi sawصلى الله عليه وسلم . :
إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل خبثا حديث إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل خبثا
(Idzaa balagha) maa-u qullatairii lam yahmil khabatsan
Artinya : "Apabila sampailah air itu dua qullah, niscaya tidak membawa najis (1)  Kalau air itu kurang dari dua qullah, maka menurut Asy-Syafi'i ra. bernajis. Ini, adalah pada air yang tenang.

Adapun air yang mengalir, apabila berobah dengan najis, maka riak yang berobah sajalah yang najis, tidak yang di atas dan yang di bawah dari riak itu. Karena riak-riak air itu berpisah, satu dari lainnya.

Demikian juga najis yang mengalir, apabila ia mengalir pada tempat mengalir air. Maka yang bernajis, ialah tempatnya dari air itu dan di kanan kirinya, apabila ia berkurang dari dua qullah.

Kalau mengalirnya air lebih deras dari mengalimya najis, maka air yang di atas najis itu suci dan yang di bawahnya najis, meskipun berjauhan air yang di bawah najis itu dan banyak. Kecuali apabila berkumpul pada suatu kolam sebanyak dua qullah.

Apabila dikumpulkan dua qullah dari air najis, niscaya sucilah ia dan tidak kembali menjadi najis dengan dipisah-pisahkan kemudian.

Inilah menurut madzhab Asy-Syafi'i ra. Saya ingin supaya madzhab Asy-Syafi'i itu seperti madzhab Malik ra., tentang air itu. Yaitu meskipun sedikit, tidak bernajis, kecuali dengan berobah. Karena kepentingan memerlukan kepadanya. Dan melonjaknya kesangsian karena disyaratkan dua qullah. Dari itu, yang demikian membawa kesukaran kepada orang banyak. Dan demi umurku, itulah sebab kesukaran dan diketahui oleh orang yang mencoba dan memperhatikannya.

1.Dirawikan pengarang-pengarang Kitab As-Sunan. seperti An-Nasa-i dan lain-lain dari Ibnu Umar.
Dan termasuk diantara yang tidak saya ragukan lagi, bahwa kalau itu disyaratkan, sungguh tempat yang terutama sukarnya bersuci adalah Makkah dan Madinah, Karena pada dua tempat ini, tidak banyak air yang mengalir dan yang tenang. Dari permulaan masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم. sampai kepada akhir masa shahabat-shahabatnya, tidak ada dinukilkan sesuatu kejadian tentang bersuci dan tiada suatu persoalan tentang cara menjaga air dari najis. Dan tempat-tempat air mereka selalu dipergunakan oleh anak-anak dan budak-budak wanita yang tidak begitu menjaga dari najis-najis. Umar ra. pernah mengambil wudlu dengan air dari kendi seorang Nasrani. Ini, adalah sebagai suatu penegasan, bahwa tidak diperpegangi, selain pada tidak berobahnya air, Kalau tidak demikian, maka kenajisan kenasranian dan tempat airnya, adalah Iumrah yang diketahui dengan berat dugaan yang mendekati kepada kebenaran,

Apabila sulitlah berpegang kepada aliran (madzhab) ini dan tidak adanya terjadi persoalan pada masa-masa itu adalah dalil pertama dan perbuatan Umar ra. menjadi dalil kedua. Dan Dalil ketiga, dibiarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم kendi air untuk kucing dan tidak ditutup-kannya dari kucing-kucing itu, sesudah Nabi صلى الله عليه وسلم melihat kucing itu memakan tikus dan tidak ada pada negeri mereka kolam-kolam, di mana kucing dapat membenamkan mulutnya ke dalam kolam-kolam itu dan tidak pula kucing-kucing itu turun ke sumur-sumur.

Dan dalil keempat bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. telah mengeluarkan nash (ketetapan sesuatu masalah dengan dalil), bahwa air penyucian najis itu suci, apabila tidak berobah dan najis apabila berobah. Dan apa bedanya, diantara air itu menemukan najis dengan dituangkan ke atas najis atau najis itu datang kepada air? Dan apa artinya perkataan dari orang yang mengatakan, bahwa kekuatan kedatangan itu, menolakkan najis, serta kedatangan itu tidak mencegah percampuran najis. Jikalau dibawa yang demikian kepada diperlukan, maka juga keperluan meminta untuk itu. Sehingga tiada berbeda diantara menuangkan air ke dalam ember yang ada di dalamnya kain bernajis. Atau mencampakkan kain bernajis dalam ember yang ada padanya air. Dan semuanya adalah biasa pada menyucikan kain dan kendi-kendi air.

Dan dalil kelima, adalah mereka itu beristinja' di tepi air sedikit yang mengalir. Dan tidak ada perselisihan pada madzhab Asy-Sya-fi'i ra. bahwa apabila jatuh kencing ke dalam air yang mengalir dan air itu tidak berobah, bahwa bolehlah berwudlu dengan air itu, meskipun ia sedikit. Dan apakah bedanya diantara air yang mengalir dan air yang tenang? Dan menurut perasaanku kiranya, apakah berpegang kepada tiada berobah itu lebih utama atau kepada kekuatan air disebabkan mengalir? Kemudian manakah batas kekuatan itu, apakah berlaku pada air yang mengalir di dalam pipa-pipa kamar mandi atau tidak? Jika tidak berlaku, maka apakah bedanya?
Dan jika berlaku, maka apakah bedanya diantara benda yang jatuh ke dalamnya dan diantara benda yang jatuh pada tempat lalunya air dari kendi-kendi kepada badan? Dan itu juga mengalir bukan? Kemudian air kecil itu (air kencing) adalah lebih berat percampurannya dengan air yang mengalir, daripada najis beku yang tetap, apabila diputuskan bahwa air yang mengalir kepadanya, biarpun tidak berobah itu najis, sampai air itu dikumpulkan menjadi dua qullah pa^a suatu tempat. Maka apakah bedanya diantara benda beku dan benda cair, sedang air itu satu dan bercampur aduk (ikhtilath), adalah lebih berat daripada mujawarah (percampuran yang tidak campur-aduk)?.

Dan dalil keenam, bahwa apabila jatuh sekati kencing ke dalam air yang dua qullah, kemudian air itu dipisah-pisahkan, maka tiap-tiap bahagian yang diambil daripadanya itu suci. Dan sebagai dimaklumi bahwa kencing itu bertebaran di dalamnya, sedang air itu adalah sedikit.

Dan kiranya, menurut perasaanku, adakah menjadi sebab sucinya karena tidak berobah itu lebih diutamakan. Atau disebabkan kekuatan banyaknya air, setelah dipisah-pisahkan dan dihilangkan banyaknya, serta diyakini masih adanya bahagian-bahagian najis di dalamnya?.

Dan dalil ketujuh bahwa tempat-tempat permandian itu pada masa-masa yang lampau, selalulah menjadi tempat berwudlu orang-orang yang hidupnya melarat. Mereka membenamkan tangan dan kendi-kendi air ke dalam kolam-kolam itu, sedang airnya sedikit, serta diketahui bahwa tangan-tangan yang bernajis dan bersih, datang silih berganti kepadanya.

Maka segala hal ini, serta keperluan yang mendesak itu, meneguh-kan di dalam jiwa, bahwa mereka itu memandang kepada tiada berobahnya air, bersandarkan kepada sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
 خلق الماء طهورا لا ينجسه شيء إلا ما غير طعمه أو لونه أو ريحه
(Khuliqal maa-u thahuuran laa yunajjisuhu syai-un illaa maa ghayyara tha'mahu au launahu au riihahu).Artinya : "Dijadikan air itu suci-menyucikan, tidak dinajiskannya oleh sesuatu, kecuali yang dapat mengobahkan rasanya atau warna-nya atau baunya".(1)
1.Dirawikan Ibnu Majah dari Abi Amamah. dangan isnad dla'if.
Dan ini dapat meyakinkan. Yaitu, sifat dari tiap-tiap yang cair, dapat membawa kepada sifatnya sendiri, tiap-tiap benda yang jatuh ke dalamnya. Dan adalah benda yang jatuh itu menjadi kalah, tidak dapat mempertahankan diri. Maka sebagaimana kita melihat anjing yang jatuh ke dalam gudang garam, lalu berobah menjadi garam. Dan ditetapkan hukumnya dengan suci, disebabkan telah menjadi garam dan hilang sifat ke-anjing-an daripadanya. Maka demikian pula cuka yang jatuh ke dalam air. Begitu pula susu yang jatuh ke dalamnya, sedang dia itu sedikit, maka hilanglah sifatnya dan merupakanlah dia dengan sifat air dan berbentuklah dia dengan bentuk air. Kecuali apabila benda itu banyak dan menang. Dan dikenal kemenangannya itu dengan kemenangan rasanya atau warnanya atau baunya.
Maka ukuran ini dan Agama telah memberi isyarat kepadanya, mengenai air yang kuat untuk menghilangkan najis, adalah lebih layak untuk menjadi pegangan. Sehingga tertolaklah dengan itu kesulitan dan lahirlah pengertian adanya air itu suci-menyucikan. Karena dia memenangkan atas benda itu, lalu menyucikannya. Sebagaimana telah terjadi seperti itu, mengenai air yang melebihi daripada dua qullah, mengenai air cucian, mengenai air yang mengalir dan mengenai dibiarkan tempat air bagi kucing.
Janganlah anda menyangka, yang demikian itu karena dima'afkan. Karena kalau benarlah begitu, maka adalah seperti bekas istinja' dan darah kutu-kutu busuk, sehingga jadilah air yang terjatuh benda itu ke dalamnya najis. Dan tidak bernajislah, dengan air cucian dan dengan jilatan kucing ke dalam air yang sedikit.
Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Air itu tidak membawa najis", maka hadits itu meragukan. Karena air itu membawa najis, apabila ia telah berobah ".
Kalau dikatakan, bahwa dimaksudkan dengan hadits itu, apabila tidak berobah, maka mungkin dijawab bahwa dimaksudkan dengan demikian, karena biasanya air itu tiada berobah dengan najia-najis biasa. Kemudian, dipegang dengan yang dipahami dari hadits itu (maksudnya : membawa najis), yaitu mengenai air apabila tiada sampai dua qullah. Dan meninggalkan yang dipahami itu, dengan mempergunakan sedikit daripada dalil-dalil yang telah kami sebutkan itu, mungkin saja.

Sabda Nabi sawصلى الله عليه وسلم . : "Tidak membawa najis", secara dhahiriyah, ialah tidak membawanya, Artinya : membalikkan najis kepada sifat air itu sendiri, sebagaimana dikatakan bagi gudang garam itu tidak membawa anjing dan lainnya. Artinya : bertukar kepada garam.

Maka demikian, karena manusia itu kadang-kadang beristinja' pada air yang sedikit dan dengan potongan-potongan kecil dari tumbuh-tumbuhan dan membenamkan tempat-tempat air (bejana-bejana) yang bernajis ke dalam air yang sedikit. Kemudian mereka menjadi ragu, mengenai air itu, berobahkah dia dengan kentara atau tidak?.
Maka jelaslah bahwa air itu apabila dua qulah, niscaya tidak berobah dengan najis biasa.
Kalau anda mengatakan, bahwa Nabi saw. telah bersabda : "Tidak membawa najis",' maka manakala najis itu banyak, niscaya dibawanya ".
Ini terbalik kepada anda. Karena bila najis itu banyak, maka air itu membawanya pada hukum sebagaimana membawanya pada. pandangan. Dari itu, haruslah ditentukan dengan najis-najis biasa pada kedua madzhab itu (madzhab Malik dan Asy-Syafi'i).
Kesimpulannya, maka kecenderunganku mengenai persoalan najis-najis biasa kepada memudahkan, adalah karena memahami dari perjalanan orang-orang terdahulu dan karena menutupi pintu kebimbangan. Dengan sebab itulah, aku berfatwa dengan suci mengenai hal-hal y ang terjadi perselisihan padanya dalam contoh-contoh daripada masalah-masalah itu.
SEGI TIGA : Mengenai cara menghilangkan najis.
Najis itu, kalau najis hukmiah, yaitu najis yang tiada mempunyai bentuk yang tampak dilihat, maka mencukupilah melalukan air di atas seluruh tempat najis itu.
Dan kalau najis 'ainiah (mempunyai bentuk yang tampak dilihat), maka haruslah dihilangkan bentuk najis itu. Kalau rasanya masih ada, maka itu menunjukkan kepada masih adanya najis itu. Begitu pula kalau masih ada warnanya. Kecuali kalau sudah melekat betul, maka dima'afkan setelah dikikis dan digosok.
Kalau baunya masih ada, maka menunjukkan masih adanya najis itu dan tidak dima'afkan, kecuali apabila benda itu mempunyai bau keras, yang sukar menghilangkannya. Maka menggosok dan memeraskannya beberapa kali berturut-turut, adalah merupakan seperti mengikis dan menggosok pada warna tadi. Cara menghilangkan kebimbangan hati (waswas), ialah mengetahuinya dengan keyakinan bahwa segala benda dijadikan suci. Maka sesuatu benda yang tiada kelihatan najis padanya dan tiada diketahui najis itu dengan yakin, maka bolehlah dilakukan shalat bersamanya. Dan tidak seyogialah dipakai pemahaman secara mendalam untuk mengumpamakan adanya najis itu.
BAHAGIAN KEDUA : Bersuci Dari Hadas
Diantara cara bersuci daripada hadas itu, ialah wudlu, mandi dan tayammum. Semuanya itu didahului oleh istinja  Maka akan kami bentangkan semuanya itu secara berturut-turut, serta dengan adab dan sunatnya. Dimulai dengan sebabnya berwudlu dan adab melakukan qadla-hajat (membuang air besar dan air kecil), insya Allah Ta'ala!.
BAB : MENGENAI ADAB QADLA-HAJAT.
Seyogialah menjauhkan dari pandangan mata orang banyak, apabila berqadla hajat di lapangan lepas. Dan seharusnyalah menutup kan dirinya dengan sesuatu jika diperolehnya. Dan tidak membuka aurat, sebelum sampai ke tempat duduk berqadla hajat itu. Tidak menghadap matahari dan bulan. Tidak menghadap qiblat dan membelakanginya, kecuali berada di dalam kakus (bangunan). Tetapi mengelakkan dirinya dari qiblat itu, adalah lebih baik juga, meskipun di dalam kakus,

Dan kalau ia menutupkan dirinya pada lapangan lepas dengan kendaraannya, maka itu boleh. Demikian juga dengan tepi kain sarungnya. Dan menjaga benar-benar, daripada duduk berqadla hajat pada tempat yang dipakai orang untuk bercakap-cakap.

Dan tidak membuang air kecil (kencing) pada air tenang, di bawah pohon kayu yang berbuah dan di dalam lobang. Dan menjaga dari pada membuang air kecil itu pada tempat keras dan arah hembusan angin karena menjaga daripada terpeciknya air kecil itu.

Dan bahwa bertekan pada duduknya atas kaki kiri. Dan jikalau berqadla hajat dalam bangunan (kakus), maka mendahulukan kaki kiri waktu masuk dan kaki kanan waktu keluar. Dan tidaklah membuang air kecil sedang berdiri. Berkata 'Aisyah ra.: "Siapa yang menerangkan kepadamu bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم membuang air kecil dengan berdiri, maka janganlah kamu membenarkannya!"

Berkata Umar ra. : "Rasulullah صلى الله عليه وسلم melihat saya membuang air kecil dengan berdiri, lalu bersabda : "Hai Umar, janganlah membuang air kecil dengan berdiri

Lalu Umar ra. menyambung : "Maka tidaklah lagi aku membuang air kecil dengan berdiri sesudah itu".

Dalam pada itu, ada juga keringanan, karena Hudzaifah ra. meriwayatkan : "Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم membuang air kecil dengan berdiri, maka aku bawa kepadanya air wudlu. Lalu beliau berwudlu dan menyapu kedua alas kakinya". (1) Dan tidaklah membuang air kecil pada tempat mandi.

Bersabda Nabi saw. : "Umumnya kebimbangan (waswas itu, dari membuang air kecil pada tempat mandi", (2)

Berkata Ibnul Mubarak : "Diberi kelapangan membuang air kecil di tempat mandi, apabila dilalukan air (disiram)", demikian diterangkan oleh At-Tirmidzi.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Janganlah membuang air kecil seorang kamu pada tempat permandian, kemudian berwudlu padanya. Karena, umumnya kebimbangan hati itu daripadanya". Berkata Ibnul Mubarak : "Kalau air itu mengalir, maka tidak mengapa",
Dan tidaklah membawa ke tempat berqadla hajat, sesuatu yang ada padanya nama Allah atau nama Rasul صلى الله عليه وسلم Dan tidaklah memasuki kakus dengan kepala terbuka. Dan membaca ketika masuk
:بسم الله أعوذ بالله من الرجس النجس الخبيث المخبث الشيطان الرجيم
(Bismillaahi A'uudzuu billaahi minar-rijsinnajsil khabiitsil mu-khabbatsisy syaithaanir-rajiim).Artinya : "Dengan nama Allah. Aku berlindung dengan Allah dari najis yang kotor, lagi keji yang dikejikan setan yang terkutuk
Dan membaca ketika keluar :
 الحمد لله الذي أذهب عني ما يؤذيني وأبقى علي ما ينفعني
(Alhamdu lillaahilladzii adzhaba 'annii maa yu'dziinii wa abqaa 'alayya maa yanfa'unii).
Artinya : "Segala pujian bagi Allah yang telah menghilangkan daripada ku, apa yang menyakitkan aku dan mengekalkan bagiku apa yang bermanfa at kepadaku ".
Dan adalah pembacaan ini ketika berada di luar tempat membuang air.
1 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah.
2 Dirawikan pengarang-pengarang Kitab As-Sunan dari Abdullah bin Maghfal.
Dan menyediakan batu untuk istinja sebelum duduk dan tidak beristinja dengan air pada tempat melakukan qadla hajat. Dan berusahalah menghabiskan keluar air kecil dengan mendehem-dehem dan bersin tiga kali dan melalukan tangan di bawah kema-luan. Dan tidaklah membanyakkan berfikir mengenai habis dan tidaknya keluar air kecil itu, karena dapat menimbulkan kebimbangan hati dan menyukarkan kepadanya urusan membuang air kecil itu. Dan apa yang dirasakannya ada basah, maka hendaklah diperkirakannya itu sisa air. Kalau tidak juga menyenangkan hatinya, maka hendaklah diperdiknya air ke tempat itu, sehingga kuatlah keyakinannya yang demikian. Tidaklah kiranya ia dipengaruhi setan dengan kebimbangan hati itu. Pada hadits tersebut, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم "berbuat demikian, yaitu memercikkan air", (1) Yang paling mudah membuang air kecil, ialah orang yang lebih berpaham. Maka kebimbangan hati itu, menunjukkan kepada kekurangan paham.
Pada hadits yang diriwayatkan Salman ra. tersebut : "Bahwa kami diajarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم tiap-tiap perkara, sampai kepada bersuci daripada hadas. Maka disuruhnya kami, tidak beristinja' dengan tulang dan berak keras. Dilarangnya kami menghadap qiblat waktu membuang air besar atau air kecil". (2)
Berkata seorang laki-laki kepada setengah shahabat Nabi saw. dari orang Arab, yang telah berselisih paham dengan dia : "Aku tidak menyangka engkau pandai bersuci dari hadas".

Maka menjawab shahabat itu : "Ya, saya pandai. Sungguh-sungguh saya pandai dan mengetahui betul. Saya jauhkan bekas-bekasnya, saya sediakan alat pembersihannya, saya menghadap ke asy-syih, saya membelakangkan angin, saya iq'a' seperti iq'a'nya kijang dan saya ijfaal seperti ijfaalnya unta".

Asy-syih ialah tumbuh-tumbuhan yang harum baunya, tumbuh di desa, iq'a di sini, ialah menjongkok ke depan dua tapak kakinya. Dan ijfaal, ialah mengangkat punggungnya,
Diantara keringanan, ialah bahwa manusia itu membuang air kecilnya dekat temannya, dengan menutupkan diri daripada teman itu. Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah berbuat demikian, meskipun dengan perasaan malu yang sangat berat, gunanya untuk menerangkan kepada orang banyak, bolehnya demikian. (3)
1 Dirawikan Abu Dawud, An-Nasa-i dan ibnu Maiah dari Sufyan bin Al-Hakim Atf-Tsaqafi.
2 Dirawikan Muslim dari Salman.
3 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah.
CARA ISTINJA:
Kemudian beristinja' pada tempatnya dengan tiga buah batu. Kalau bersih dengan tiga batu itu, maka mencukupilah. Dan jikalau tidak, maka hendaklah dipakai batu yang keempat. Kalau sudah bersih dengan batu yang keempat itu, maka ditambahilah dengan memakai batu yang kelima. Karena membersihkan itu wajib dan mengganjilkan itu sunat.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Barangsiapa beristinja' dengan batu, maka hendaklah menggajijilkan batu itu". (1)
Batu itu diambil dengan tangan kirinya dan diletakkan di muka tempat keluar najis sebelum tempat najis dan dilalukanlah batu itu dengan menyapu dan memutarkannya sampai ke ujung tempat najis. Kemudian diambil batu kedua dan diletakkan di ujung tempat najis tadi dan dilalukan ke muka. Kemudian diambil batu ke tiga lalu diputarkan dikeliling tempat keluar najis sekali putar saja. Kalau sukar diputar dan disapu dari depan ke belakang, maka mencukupilah yang demikian. Kemudian diambil batu yang agak besar dengan tangan kanan dan dipegang kemaluan dengan tangan kiri dan disapukan batu dengan kemaluan dan digerakkan tangan kiri. Lalu menyapu tiga kali, pada tiga tempat dari sebuah batu atau pada tiga batu atau pada tiga tempat dari dinding (maksudnya menyapu kemaluan pada dinding sebagai alat istinja'). Sehingga tiada kelihatan lagi basah pada tempat yang disapu itu. Apabila berhasil yang demikian dengan dua kali, maka ditambah dengan kali ketiga. Dan wajiblah yang demikian, kalau ia bermaksud menyingkatkan dengan batu saja. Dan kalau berhasil dengan empat kali, maka disunatkan kali kelima supaya ganjil. Kemudian berpindahlah ke tempat lain dari tempat itu dan beristinja'lah dengan air, dengan menuangkannya dengan tangan kanan ke tempat yang di-istinja'kan itu. Serta digosokkan dengan tangan kiri, sehingga tidak tinggal lagi bekasnya, yang dirasakan oleh tapak tangan dengan perasaan disentuh. Dan tidak dilakukan istinja* itu dengan bersangatan benar, sampai-sampai ke dalamnya.
1 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
Karena yang demikian itu adalah sumber kebimbangan. Dan hendaklah diketahui bahwa yang tidak sampai air kepadanya, maka itu adalah bathin (bahagian dalam).
Dan tidaklah dihukum najis lendir-lendir yang di dalam badan sebelum lagi nyata keluar. Dan tiap-tiap yang sudah nyata keluar maka tetaplah baginya hukum najis.
Batas ukuran sudah nyata keluar, ialah sampai air kepadanya. Maka air itu menghilangkannya. Dan tidak ada arti bagi kebimbangan.
Dibacakan setelah selesai daripada istinja' :
 اللهم طهر قلبي من النفاق وحصن فرجي من الفواحش
(Allaahumma thahhir qalbii minannifaaqi wa hash-shin farjii minal fawaahish).
Artinya : "Ya Allah, ya TuhankuI Sucikanlah hatiku daripada nifaq dan peliharakanlah kemaluanku dari kekejian".
Digosokkannya tangannya pada dinding atau pada tanah, untuk menghilangkan bau kalau masih ada. Mengumpulkan antara air dan batu itu sunat. Diriwayatkan, bahwa tatkala turun firman Allah Ta'ala : "Di dalamnya ada beberapa orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih ". (S. Al-Baraah, (Attaubah)ayat 108).
Lalu bertanya Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada penduduk Quba' :"Bersuci yang manakah yang dipuji Allah akan kamu dengan sebab bersuci itu?". Maka mereka itu menjawab : "Kami kumpulkan diantara air dan batu". (1)
1.Dirawikan Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Abi Ayyub dan Jabir dan dishahihkannya.
CARA WUDLU:
Apabila telah selesai daripada istinja', maka dikerjakan wudlu. Tidak pemah sekali-kali Rasulullah صلى الله عليه وسلم dilihat keluar dari kakus, melainkan terus berwudlu. Dimulai dengan menggosok gigi (bersugi),
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
إن أفواهكم طرق القرآن فطيبوها بالسواك
(Inna afwaahakum thuruqul-Qur-aani fathayyibuuhaa bis-siwaaki). Artinya : "Mulutmu itu adalah jalan Al-Qur'an, maka buatkanlah dia baik dengan bersugi". (1)
Seharuslah diniatkan ketika menggosok gigi itu, membersihkan mulut untuk membaca Al-Qur'an dan berdzikir kepada Allah (menyebutkan nama Allah) di dalam shalat.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
 صلاة على أثر سواك أفضل من خمس وسبعين صلاة بغير سواك
(Shalaatun 'alaa atsari siwaakin afdlalu min khamsin wa sab'iina shalaatan bighairi siwaakin).Artinya : "Satu shalat sesudah bersugi, adalah lebih utama daripada tujuh puluh lima shalat dengan tidak bersugi". (2)
Dan bersabda Nabi  صلى الله عليه وسلم , :
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة حديث لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة متفق عليه من حديث أبي هريرة
(Laulaa an asyuqqa 'alaa ummatii la-amartuhum bissiwaaki 'inda kulli shalaatin). Artinya : "Jikalau tidak aku takut kesukaran kepada ummatku, niscaya aku suruh mereka dengan bersugi tiap-tiap shalat".(3)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Aku tidak ingin melihat kamu masuk ke tempatku dengan gigi kuning. Dari itu bersugilah. (4)
"Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم bersugi pada malam hari beberapa kali". 
Dari Ibnu Abbas ra. diriwayatkan bahwa ia menerangkan : "Selalulah Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruh kamu menggosok gigi, sehingga kami menyangka akan turun sesuatu mengenai bersugi itu kepadanya". (5)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Haruslah kamu bersugi, karena bersugi itu menyucikan mulut dan membawakan kerelaan Tuhan". (6)
Berkata Ali bin Abi Thalib ra. : "Bersugi itu menambah terpelihara kesehatan dan menghilangkan dahak".
1.Dirawikan Abu Naim Dari Ali,Hadis Mauquf dan Dlaif
2. Dirawikan Abu Naim dari ibnu umar dengan isnad Dlaif
3.Dirawikan Dari Albukhari ,Muslim,Dari Abu Hurairah.
4.Dirawikan Al Bzzar dan Al Baihaqi Dari Al Abbas Bin Abdul Muthalib
5.Dirawikan Ahmad Dari Ibnu Abbas
6.Dirawikan Al Bukhari Dari Aishah

Adalah shahabat-shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم berjalan-jalan dan sugi itu pada telinga mereka. Caranya : ialah bersugi itu dengan kayu arak atau dengan ranting kayu-kayu yang lain, di mana kayu itu kesat dan menghilangkan daki gigi. Bersugi itu pada lintang dan menurut panjang dari gigi. Jika diringkaskan, maka menurut lintangnya saja.

Disunnahkan bersugi pada tiap-tiap shalat dan pada tiap-tiap wudlu, meskipun tidak melakukan shalat sesudah wudlu itu. Dan ketika berobah bau mulut dengan sebab tidur atau lama berdiam diri atau memakan sesuatu yang tiada enak baunya.

Kemudian, setelah selesai daripada bersugi, duduklah untuk berwudlu, dengan menghadap qiblat dan membacakan : بسم الله الرحمن الرحيم

Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم  saw(1).:لا وضوء لمن لم يسم الله   "Tiada wudlu bagi siapa yang tiada membaca : "بسم الله الرحمن الرحيم  Artinya: tiada wudlu yang sempurna.

Dan membaca do'a ketika itu, yaitu :
 أعوذ بك من همزات الشياطين وأعوذ بك رب أن يحضرون
(A'uudzubika min hamazaatisy syayaathiini wa a'uudzubika rabbi an yahdluruuni).
Artinya : "Aku berlindung dengan Engkau daripada gangguan setan dan aku berlindung dengan Engkau ya Tuhan, daripada kedatangan setan itu kepadaku! Kemudian, membasuh kedua tangan tiga kali, sebelum memasukkannya ke dalam bejana (tempat air). Dan membacakan do'a, yang bunyinya :
اللهم إنى أسألك اليمنى والبركة وأعوذ بك من السؤم والهلكة
(Allaahumma innii as-alukal yumna wal barakata wa a'uudzubika minasy syu'mi wal halakah). Artinya : "Ya Allah ya Tuhanku! Aku bermohon padaMu kebahagiaan dan keberkatan, aku berlindung dengan Engkau daripada kecelakaan dan kebinasaan
1 Dirawikan Al-Bukhari dari Sa'id bin Zaid.
Kemudian meniatkan mengangkat hadas atau membolehkan shalat dan mengekalkan niat itu sampai kepada membasuh muka. Jikalau lupa berniat ketika pada muka, niscaya tidak boleh.
Kemudian, mengambil air dengan tangan kanan untuk mulut, maka berkumur-kumurlah dengan air tadi tiga kali dan memasuk-kannya ke lobang mulut. Kecuali berpuasa, maka hendaklah dengan pelan-pelan saja. Dan bacakan do'a, yang bunyinya :
اللهم أعني على تلاوة كتابك وكثرة الذكر لك
(Allaahumma a'innii 'alaa tilaawati kitaabika wa katsratidz-dzikri laka).Artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku-Tolonglah aku untuk membaca KitabMu dan membanyakkan dzikir kepadaMu
Kemudian, mengambil lagi air untuk hidung dan memasukkannya ke hidung (istinsyaq) tigakali, lalu menaikkan air itu dengan nafas ke rongga hidung dan mengeluarkan apa yang ada di dalam rongga hidung, seraya membaca ketika raenghisapkan air tadi, do'a yang berbunyi :
 اللهم أوجد لي رائحة الجنة وأنت عني راض
(Allaahumma aujid lii raa-ihatal jannati wa anta 'annii raadlin).
Artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Adakanlah untukku bau sorga dan Engkau rela kepadaku Dan ketika mengeluarkan kotoran di dalam hidung, maka membaca do'a, yang berbunyi :
اللهم إني أعوذ بك من روائح النار ومن سوء الدار  
(Allaahumma innii a'uudzubika min rawaa-ihin naari wa min suuid-daar).  Artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari bau neraka dan dari buruknya negeri tempat tinggal".  Karena menghisap ialah menyampaikan air ke dalam dan membersihkan ialah menghilangkan sesuatu yang ada di dalam hidung.

Kemudian mengambil air untuk muka, maka membasuhkan muka itu dari permulaan dahi sampai ke penghabisan yang dihadapan dari dagu, menurut panjangnya dan dari telinga ke telinga menurut lebarnya. Dan tidak termasuk dalam batasan muka dua sulah yang terletak pada pinggir dua pelipis. Kedua sulah itu adalah bahagian dari kepala.

Dan air itu disampaikan ke tempat andam, yaitu apa yang dibiasa-kan kaum wanita.memotongnya. Yakni sekedar yang ada pada tepi muka, di mana diletakkan ujung benang atas puncak telinga dan ujungnya yang kedua pada sudut pelipis.

Dan disampaikan air kepada tempat tumbuh bulu yang empat : dua alis mata, dua kumis, dua jambang dan bulu-bulu mata, karena bulu-bulu tersebut adalah biasanya tipis 
Dan dua bulu jambang yaitu yang setentang dengan dua telinga dari permulaan janggut.
Dan wajiblah disampaikan air kepada pangkal-pangkal janggut yang tipis, yakni yang termasuk bahagian muka. Adapun janggut yang tebal maka tidak diwajibkan. Dan bulu yang tumbuh diantara bibir bawah dan dagu dihukum seperti hukum janggut tentang tebal dan tipisnya.
Kemudian diperbuat yang demikian itu tiga kali atau ditumpahkan air ke atas yang dhahir dari janggut yang terurai. Dan dimasukkan anak-anak jari ke dalam lobang dua mata, tempat pangkal mata, tempat penghimpunan celak dan dibersihkan kedua mata itu. Dan bercita-cita dengan penuh pengharapan ketika itu akan keluar segala kesalahan dari kedua mata. Dan seperti itu pula pada tiap-tiap anggota yang lain. Dan dibacakan ketika membasuh muka itu do'a, yang bunyinya 
 اللهم بيض وجهي بنورك يوم تبيض وجوه أوليائك ولا تسود وجهي بظلماتك يوم تسود وجوه أعدائك
(Allaahumma bayyidl wajhii binuurika yauma tabyadldlu wujuuhu auliyaa-ika wa laa tusawwid wajhii bidhulumaatika yauma taswad-du wujuuhu a'-daa-ika).Artinya :"Ya Allah, ya Tuhanku! Putihkanlah mukaku dengan nur Engkau, pada hari yang putih segala muka wali-wali Engkau. Dan janganlah Engkau hitamkan mukaku dengan kegelapan Engkau, pada hari hitam segala muka musuh Engkau".
1 Diriwayatkan Ahmad dari Abi Amamah dan Ad-Daraquthni dari Abi Hurairah, dengan isnad Dlaif
Dan digosok-gosokkan janggut yang tebal ketika memb isuh muka, karena yang demikian itu adalah sunat,
Kemudian dibasuhkan kedua tangan, sampai kedua siku, tiga kali. Digerak-gerakkan cincin, dipanjangkan penyapuan tangan dan dira-takan air sampai kebahagian atas pangkal lengan. Karena yang berbuat demikian, dikumpulkan pada hari qiamat dengan cahaya yang gemilang pada pangkal lengannya dari bekasan wudlu. Begitulah telah datang hadits, di mana Nabi صلى الله عليه وسلbersabda : "Siapa yang sanggup memanjangkan pemakaian air sampai ke pangkal lengan (qhurrah), maka hendaklah dikerjakannya". (1) Dan diriwayatkan bahwa : "Pakaian itu, sampai ke segala tempat Wudlu (2)
Di mulai dengan tangan kanan, seraya dibacakan do'a yang bunyinya :
 اللهم أعطني كتابي بيميني وحاسبني حسابا يسيرا
(Allaahumma a'-thinii kitaabii biyamiinii wa haasibnii hisaaban yasiiraa).
Artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Berikanlah akan daku kitabku pada tangan kanan ku dan hitunglah kiranya amalan ku (hisab) dengan kiraan yang mudah".
Dan dibacakan ketika membasuh tangan kiri, do'a yang bunyinya :
 اللهم إني أعوذ بك أن تعطيني كتابي بشمالي أو من وراء ظهري
(Allaahumma innii a'uudzubika antu'-thiyanii kitaabii bisyimaalii au min waraa-i dhahrii).
Artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya aku, berlindung dengan Engkau daripada Engkau berikan kepadaku kitab ku pada tangan kiriku atau dari belakang punggungku "
1 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
2 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.
Kemudian diratakan kepala dengan menyapu, di mana dibasuhkan kedua tangan dan dipertemukan ujung anak-anak jari kedua tangan, yang kanan dengan yang kiri. Dan diletakkan kedua tangan itu pada hadapan kepala, lalu ditarikkan kedua tangan itu kekuduk, kemudian dikembalikan kehadapan kepala kembali.

Dan ini adalah sekali sapu, di mana diperbuat yang demikian itu sampai tiga kali, seraya dibacakan do'a yang artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Tolonglah aku dengan rahmat Engkau, turunkanlah kepadaku segala berkat Engkau, naungilah aku di barzah naungan 'Arasy Engkau, pada hari yang tak ada naungan selain dari naungan Engkau "

Kemudian disapukan kedua telinga, luar dan dalamnya dengan air yang baru, dengan memasukkan kedua telunjuk ke dalam lobang kedua telinga itu dan diputar-putarkan kedua ibu jari pada luar kedua telinga. Kemudian diletakkan tapak tangan ke atas dua telinga itu sebagai tanda melahirkan ratanya air. Dan diulangi tiga kali serta dibacakan do'a yang artinya

"Ya Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah aku sebahagian dari mereka yang mendengar perkataan maka mengikuti yang baik daripadanya! Ya Allah, ya Tuhanku! Perdengarkanlah kepadaku seruan penyeru sorga bersama orang baik-baik ".

Kemudian disapukan leher dengan air yang baru karena sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  : "Menyapu leher adalah menyelamatkan daripada rantai neraka pada hari qiamat". (1) Dan dibacakan do'a yang artinya "Ya Allah, ya Tuhanku! Lepaskanlah leherku dari api neraka! Dan aku berlindung dengan Engkau daripada rantai dan kalung api neraka ".

Kemudian dibasuhkan. kaki yang kanan tiga kali dan diselang-selangi dengan tangan kiri dari bawah jari-jari kaki kanan. Dan di mulai dengan jari kelingking dari kaki kanan dan disudahi dengan keling-king dari kaki kiri. Dan dibacakan do'a, yang artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Tetapkanlah tapakku di atas titian yang lurus (ash-shiraathal mustaqim) pada hari yang tergelincir segala tapak kaki ke dalam api neraka ".

1 Dirawikan Abu Mansur Ad-Dailami dari Umar, hadith dla'if.

Dan dibacakan ketika membasuh kaki kiri, do'a yang  artinya : "Aku berlindung dengan Engkau daripada tergelincirnya tapakku dari titian, pada hari yang tergelincir padanya segala tapak kaki munafiq" Dan naikkan air sampai di tengah-tengah dua betis.
Apabila telah selesai wudlu maka  membaca do'a yang bunyinya :
أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت عملت سوءا وظلمت نفسي أستغفرك اللهم وأتوب إليك فاغفر لي وتب علي إنك أنت التواب الرحيم اللهم اجعلني من التوابين واجعلني من المتطهرين واجعلني من عبادك الصالحين واجعلني عبدا صبورا شكورا واجعلني أذكرك كثيرا وأسبحك بكرة وأصيلا
Artinya :"Aku mengaku bahwa tiada yang disembah melainkan Allah Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagiNya. Aku mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan utusanNya. Maha suci Engkau hai Tuhanku dan dengan memuji Engkau tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku telah perbuat yang jahat dan aku telah perbuat aniaya kepada diriku. Aku meminta ampun pada Engkau wahai Allah dan aku bertaubat kepada Engkau. Maka ampunilah aku dan berilah taubat kepadaku, sesungguhnya Engkau menerima taubat dan maha penyayang. Ya Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah aku daripada orang yang bertaubat dan jadikanlah aku daripada orang-orang yang bersih dan jadikanlah aku daripada hambaMu yang shalih. Dan jadikanlah aku hamba yang sabar, tahu berterima-kasih dan jadikanlah aku banyak berdzikir kepada Engkau dan bertasbih kepada Engkau pada pagi dan pada petang'

Diriwayatkan bahwa siapa yang membaca do'a ini sesudah wudlu, maka dicapkan wudlunya dengan suatu cap dan diangkatkan cap itu untuknya di bawah 'Arasy. Maka senantiasalah cap itu bertasbih dari mengquduskan Allah dan dituliskan pahala itu untuknya sampai kepada hari qiamat.
Dimakruhkan pada wudlu beberapa perkara :
Diantaranya melebihkan dari tiga kali. Barangsiapa melebihkannya, maka telah berbuat aniaya. Juga termasuk makruh, berlebih-lebih-an memakai air. Adalah Nabi saw. berwudlu tiga-tiga kali dan bersabda : "Barangsiapa melebihkannya maka telah berbuat aniaya dan berbuat jahat". (1).
Dan bersabda lagi : "Akan ada suatu kaum daripada ummat ini, melampaui batas di dalam berdo'a dan bersuci
Dan diriwayatkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Diantara kelemahan ilmu seseorang itu, ialah suka benar membanyakkan air di dalam bersuci (2)
Berkata Ibrahim bin Adham : "Dikatakan bahwa kejadian yang pertama dari orang yang berwudlu ialah, kebimbangan hati sebelum bersuci".
Berkata Al-Hasan : "Bahwa setan itu menertawakan orang di dalam wudlunya. Setan itu bemama Al-Walham".
Dimakruhkan menggoyang-goyangkan tangan, maka terperciklah air. Dimakruhkan berbicara sedang berwudlu, menamparkan muka dengan air. Segolongan ulama memandang makruh mengeringkan air wudlu, dan kata mereka : air wudlu itu ditimbang, demikian menurut Sa'id bin Al-Musayyab dan Az-Zuhri. Tetapi diriwayatkan oleh Ma'az ra. bahwa : "Nabi saw. menyapu mukanya dengan tepi kainnya". Dan diriwayatkan oleh 'Aisyah ra. : "Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم  mempunyai kain untuk mengeringkan air". Tetapi riwayat ini dibantah benar-benar daripada 'Aisyah".
Dimakruhkan berwudlu dari bejana air tembaga kuning dan dengan air yang panas dengan matahari. Makruhnya itu dipandang dari segi kedokteran. Diriwayatkan daripada Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra. akan makruhnya bejana tembaga kuning itu. Dan berkata setengah mereka : "Aku serahkan kepada Syu'bah, air di dalam bejana tembaga kuning, maka enggan ia berwudlu daripadanya". Dinukilkan makruh yang demikian itu,dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra.
Tatkala telah selesailah daripada berwudlu dan menuju kepada shalat, maka hendaklah terlintas di hati bahwa ia telah suci dhahiriyahnya.
1 Dirawikan Abu Dawud, An-Nasai dan Ibnu Majah dari 'Amr bin Syu'af.
2 Menurut Al-lraqi, beliau tidak  pernah menjumpai hadit ini.
Dan dhahiriyah itu adalah tempat pandangan orang ramai. Maka seyogialah ia merasa malu bermunajah (berbicara dengan berbisik) dengan Allah Ta'ala tanpa mensucikan hatinya, yang menjadi tempat pandangan Tuhan Yang Maha Suci. Dan hendaklah ia yakin bahwa kesucian hati itu dengan bertobat, menjauhkan diri daripada budi pekerti yang tercela. Dan bertingkah laku dengan budi pekerti terpuji, adalah lebih utama.

Orang yang menyingkatkan kepada kesucian dhahiriyah saja, adalah seumpama orang yang bermaksud mengundang seorang raja ke rumahnya, di mana rumahnya itu dibiarkan penuh dengan kotoran dan hanya bergiat mencat pintu luar dari rumah. Alangkah tepat-nya orang yang seperti lelaki ini mendapat cacian dan makian!.
Allah yang maha suci dan yang maha tahu!.










تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله

Tiada ulasan:

Catat Ulasan