AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Khamis, 10 Januari 2013

Rahsia Zakat


Rahsia Zakat

KITAB RAHASIA-RAHASIA ZAKAT
Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan bahagia dan cela-ka, yang me mati kan dan yang menghidupkan, yang mengadakan dan yang memfanakan, yang memiskinkan dan yang mengayakan, yang mendatangkan melarat dan yang menganugerahkan, yang menjadikan hewan (makhluk hidup) dari setitik air yang amis sebagai mani. Kemudian DIAlah sendiri yang menjadikan makhluk dengan sifatNya yang maha kaya. Kemudian, Dia yang menentukan sebahagian hambaNya dengan keadaan yang lebih baik. Maka dicurahkanNya kepada mereka dari nikmat-nikmatNya, akan apa yang memudahkan bagi siapa yang dikehendakiNya dan menjadi kaya. Dan yang sangat memerlukan kepada hambaNya yang memperoleh kelimpahan itu, ialah orang-orang yang tidak berhasil memperoleh rezekinya dan yang bersusah payah, sebagai pernya-taan untuk ujian dan percobaan.
Kemudian, Ia menjadikan zakat untuk agama, adalah menjadi azas dan sendi. Dan diterangkanNya bahwa dengan kurniaNya, mendapat kesucianlah dari hamba-hambaNya, siapa-siapa'yang memperoleh kesucian. Dan dari kekayaanNya, memberikan zakat, siapa yang memberikan zakat hartanya.

Selawat kepada Muhammad Pilihan, penghulu manusia dan matahari petunjuk. Dan kepada keluarga dan para shahabatnya, yang ditentukan dengan ilmu dan taqwa.Kemudian, Allah Ta'ala telah menjadikan zakat, salah satu daripada sendi Islam. Dan mengiringi menyebutkan zakat itu, dengan shalat, yang menjadikan tanda yang setinggi-tingginya (bagi Islam). Ia berfirman :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
(Wa aqiimush-shalaata wa aatuz-zakaah).Artinya ; "Dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat". (S. Al-Baqarah, ayat 43).

Dan sabda Nabi saw. : "Didirikan Islam atas lima : mengaku tiada yang disembah dengan sebenar-benamya. selain Allah; mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan RasulNya;mendirikan shalat dan membayarkan zakat". (1)


 (1) Sambungan dari hadits ini, yang dua lagi dari lima itu. Ialah : berpuasa bulan Ramadlan dan mengerjakan hajii ke Baitullah. (Peny). Dan hadits ini dirawikan Al-Diukhari dan Muslim dari Ibnu Umar.
Allah Ta'ala menegaskan peringatan dengan ancaman, terhadap orang-orang yang teledor dalam pembayaran zakat, dengan firmanNya :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
 (walladziina yaknizuunadz-dzahaba wal-fidl-dlata wa laa yunfiquu-nahaa fii sabiilillaahi fa basy-syirhum biadzaabin aliim).Artinya : "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak mengeluarkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih". (S- Al-Baraah,@Attaubah ayat 34).
Arti mengeluarkan pada jalan Allah, yaitu : mengeluarkan hak zakat.
Berkata Al-Ahnaf bin Qais : "Adalah aku dalam rombongan orang Quraisy, maka lalulah Abu Dzar, seraya mengatakan :" Kabarkanlah kepada orang-orang yang menyimpan harta, tanpa mengeluarkan zakat, bahwa mereka akan disiksa dengan ditusuk belakang mereka dengan besi panas, yang besi panas itu akan keluar pada lembung mereka dan ditusuk pada kuduk mereka, yang akan keluar dari dahi mereka". Dan pada riwayat lain, tersebut: "Bahwa besi panas itu diletakkan di atas pentil susu seseorang mereka, lalu di-tusukkan, maka dikeluarkan dari tulang belikatnya. Dan diletakkan di atas tulang belikatnya, lalu dikeluarkan dari pen til susunya, dengan digerak-gerak kan ".

Berkata Abu Dzar : "Telah sampai aku kepada Rasulullah saw., di mana beliau sedang duduk dalam naungan Ka'abah. Tatkala beliau melihat aku, lalu bersabda : "Mereka adalah sangat merugi, demi Tuhan yang mempunyai Ka'bah ini". Maka aku bertanya : "Siapakah mereka?".Beliau menjawab : "Mereka yang banyak hartanya, kecuali orang-orang yang mengatakan, bahwa begini  dan begini, dari hadapannya dan belakangnya, dari kanannya dan kirinya. Dan amat sedikitlah mereka yang seperti ini.Tidaklah dari orang yang mempunyai unta, sapi dan kambing yang tidak membayarkan zakatnya, melainkan binatang temak itu, datang pada hari qiamat, dalam keadaan yang lebih besar dan gemuk lagi, menanduk orang yang mempunyainya dengan tanduk-tanduknya dan memijakkannya dengan kakinya. Setelah selesai yang penghabisan, maka datanglah yang permulaan, sehingga selesailah dihukum diantara manusia". (1)


 (1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar.
Apabila ketegasan ini dikeluarkan dalam dua kitab Shahih (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), maka menjadi sebahagian yang terpenting dari Agama, membuka segala kunci rahasia dari zakat dan syarat-syaratnya, yang terang dan yang tersembunyi, segala pengertiannya, yang dhahir dan yang bathin, serta diringkaskan kepada yang harus diketahui oleh orang yang membayar zakat dan yang menerimanya. Untuk menyingkapkan yang demikian itu, terbentang di dalam empat-pasal:
Pasal Pertama : tentang segala macam zakat dan sebab-sebab wa-jibnya.
Pasal Kedua : tentang segala adab dan syarat-syaratnya, yang bathin dan yang dhahir.
Pasal Ketiga : tentang orang yang menerima, syarat-syarat berhak zakat dan segala adab menerimanya.
Pasal Keempat: tentang sedekah sunat dan keutamaannya.

Pasal pertama : Tentang segala macam zakat dan sebab-sebab wajibnya.Dipandang kepada yang bersangkutan dengan zakat itu, ada enam bahagian :

1.Zakat binatang temak.
2.Zakat emas dan perak.
3.Zakat tijarah (perniagaan).
4.Zakat rikaz (emas dan perak yang diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu) dan ma'din (emas dan perak yang dikeluarkan dari pertambanganny a).
5.Zakat harta yang diberikan sepersepuluh daripadanya untuk zakat (al-mu'asy-syarat).
6.Zakat fithrah.
Bahagian pertama : Zakat binatang ternak.
Tidak diwajibkan zakat ini dan lainnya, kecuali atas orang merdeka (bukan budak) dan muslim. Dan tidak disyaratkan baligh (dewasa), bahkan diwajibkan zakat pada harta anak-anak dan orang gila.
Inilah syaratnya, orang yang dikenakan zakat.
Mengenai harta (dari bahagian pertama ini, yang dikenakan zakat), maka syaratnya lima ;
1.Binatang ternak.
2.Digembalakan.
3.Cukup setahun dalam miliknya.
4.Sempurna nishabnya.
5.Sempurna miliknya.

Syarat Pertama : adalah binatang itu binatang ternak. Maka tak kena zakat, selain pada unta, kerbau, sapi, kambing dan biri-biri (kibasy). Kuda, baghal, keledai dan anak binatang yang terjadi diantara rusa dan kambing, tidak kena zakat padanya.

Syarat Kedua : digembalakan dilapangan rumput. Maka tidak kena zakat pada binatang temak, yang diberi umpan. Apabila binatang ternak itu, pada suatu waktu digembalakan dan pada waktu yang lain, diberi umpan, yang kelihatan besar perongkosannya, maka tidak dikenakan zakat.
Syarat Ketiga: cukup setahun dalam miliknya. Bersabda Nabi saw.
:لا زكاة في مال حتى يحول عليه الحول
(Laa zakaata fii maalin, hattaa yahuula 'alaihilhaul).Artinya : "Tidak diwajibkan zakat pada harta, sehingga sampailah setahun padanya". (1) Dan dikecualikan dari ini, akan hasil harta (binatang itu beranak dalam pertengahan tahun), maka menjuruslah hukum harta kepadanya. Maka wajiblah zakat pada anak hewan itu, karena tahun induknya.Kalau hewan itu dijual atau diberikan, pada pertengahan tahun niscaya putuslah tahunnya.

Syarat Keempat : sempuma milik dan urusannya pada hewan itu. Maka wajiblah zakat pada hewan yang digadaikan, karena harta itu dalam keadaan dipertaruhkan dalam tanggungannya. Tetapi tidak wajib zakat pada binatang ternak yang hilang dan yang dirampas orang. Kecuali apabila kembali lagi ke dalam tangannya, dengan segala tambahannya. Maka wajiblah zakat pada masa yang lampau, ketika kembalinya.Kalau ada hutang, yang menghabiskan semua hartanya, maka tidaklah wajib zakat pada harta itu, karena tidaklah ia dinamakan orang kaya. Karena orang kaya, ialah orang yang berkelebihan dari yang diperlukan.

Syarat Kelima : sempurna nishabnya. Maka pada unta, tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai banyaknya lima ekor.

Pada lima ekor, zakatnya seekor biri-biri, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun kedua atau seekor kambing, yang umurnya dua tahun dan masuk pada tahun ketiga.

Pada sepuluh ekor unta, zakatnya dua ekor biri-biri atau kambing. Pada lima belas ekor, zakatnya tiga ekor biri-biri atau kambing. Pada dua puluh ekor, zakatnya empat ekor biri-biri atau kambing.


 (1) Dirawikan Abu Dawud dari Ali. dengan isnad baik.
Pada dua puluh lima ekor, zakatnya seekor unta betina, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun kedua (binti machadl). Kalau tak ada binti machadl, maka boleh diserahkan ibnu labun, yaitu anak unta jantan, yang umurnya masuk pada tahun ketiga, walaupun si pemberi zakat itu sanggup membeli binti machadl.

Pada tiga puluh enam ekor, zakatnya seekor binti labun (seekor unta betina, yang umurnya dua tahun dan masuk pada tahun ketiga). Pada empat puluh enam ekor, zakatnya seekor hiqqah, yaitu unta betina, yang umurnya tiga tahun dan masuk pada tahun keempat. Pada enam puluh satu ekor, zakatnya seekor jidz'ah, yaitu unta betina, yang umurnya empat tahun dan masuk pada tahun kelima. Pada tujuh puluh enam ekor, zakatnya dua ekor binti labun. Pada sembilan puluh satu ekor, zakatnya dua ekor hiqqah. Pada seratus dua puluh satu ekor,zakatnya tiga ekor binti labun.

Apabila jumlahnya telah sampai kepada stratus tiga puluh ekor, maka tetaplah perhitungannya, dengan cara : tiap-tiap lima puluh ekor unta, zakatnya, seekor hiqqah dan tiap-tiap empat puluh ekor, zakatnya, seekor binti labun,Mengenai sapi atau kerbau, tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya tiga puluh ekor.

Pada tiga puluh ekor sapi atau kerbau, zakatnya seekor tabi', yaitu seekor anak sapi atau kerbau jantan, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun kedua. Pada empat puluh ekor, zakatnya seekor musinnah, yaitu seekor anak sapi atau anak kerbau betina, yang umurnya dua tahun dan masuk pada tahun ketiga.

Kemudian, pada enam puluh ekor, zakatnya dua ekor tabi'. Dan tetaplah perhitungan sesudah itu, dengan cara : pada tiap-tiap empat puluh ekor sapi atau kerbau, zakatnya seekor musinnah dan pada tiap-tiap tiga puluh ekor, zakatnya seekor tabi'. Mengenai kambing atau biri-biri (kibasy), tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya empat puluh ekor.

Pada empat puluh ekor daripadanya, zakatnya seekor biri-biri (kibasy), atau seekor kambing. Kemudian tiada bertambah pemba-yaran sampai kepada jumlahnya seratus-dua puluh satu ekor. Maka pada seratus dua puluh satu ekor itu, zakatnya dua ekor biri-biri atau kambing, sampai kepada jumlahnya dua ratus satu ekor. Dan pada dua ratus satu ekor ini, zakatnya tiga ekor, sampai kepada empat ratus ekor. Maka pada empat ratus ekor ini, zakatnya empat ekor. Kemudian, tetaplah perhitungannya, bahwa pada tiap-tiap seratus, zakatnya seekor.

Zakat daripada dua harta yang bercampur, adalah seperti zakat dari seorang pemilik, tentang nishabnya. Kalau ada diantara dua orang, empat puluh ekor kambing, maka zakatnya seekor. Kalau ada diantara tiga orang, seratus dua puluh ekor kambing, maka zakatnya seekor juga diantara mereka bertiga.

Campuran yang masih kentara, adalah seperti campuran yang tidak kentara. Tetapi disyaratkan diantara kedua pemilik itu, menem-patkan kedua binatang temaknya bersama-sama, memberikan minuman bersama-sama, mengambil susunya bersama-sama, melepas-kannya bersama-sama, tempat pengembalaannya bersama-sama dan melepaskan jantannya bersama-sama.

Dan kedua pemilik itu adalah dari orang yang diwajibkan zakat. Dari itu, tidak dihukum campuran, bersama dzimmi (orang bukan Islam, yang bernaung di bawah pemerintahan Islam) dan mukatab (budak yang berusaha menebuskan dirinya dari tuannya). Manakala pada zakat yang wajib dikeluarkan dari unta, berkurang umurnya dari tahun yang ditentukan, maka dibolehkan, asal tidak berkurang umurnya dari binti machadl Dan untuk kekurangan itu digantikan, dengan dua ekor kambing atau dua puluh dirham, kalau kekurangan umur itu setahun dari tahun yang ditentukan. Dan dengan empat ekor kambing atau empat puluh dirham, kalau kekurangan umur itu dua tahun.

Dan boleh pula diberikan dengan yang lebih tinggi umurnya, dari tahun yang ditentukan, asal tidak melewati umurnya dari jidz'ah. Untuk pengganti dari yang berlebih itu, diambil dari pengurus harta baitul-mal.

Jangan diambil untuk zakat hewan yang sakit, apabila ada sebahagian harta (hewan) itu, sehat, walaupun seekor. Dan diambil dari hewan yang bagus, akan yang bagus dan dari yang kurang bagus, akan yang kurang bagus. Dan tidak diambil untuk zakat, hewan yang terlalu banyak makan-nya, hewan yang hampir melahirkan anak, hewan yang diperoleh dari riba, hewan yang menjadi jantan untuk hewan-hewan betina dan hewan yang terbaik dari yang dimiliki oleh penyerah zakat.
Bahagian kedua : Zakat harta yang diberikan sepersepuluh daripadanya untuk zakat (zakat al-mu'asy-syarat).Wajib sepersepuluh untuk zakat pada tiap-tiap tumbuh-tumbuhan, yang menjadi makanan yang mengenyangkan, yang sampai banyaknya delapan ratus mann.(1)
Dan tidak diwajibkan, kalau kurang dari itu. Dan juga tidak diwajibkan zakat pada buah-buahan dan kapas. Hanya diwajibkan, pada biji-bijian yang menjadi makanan yang mengenyangkan, pada kurma kering dan buah anggur kering.Dihitung dengan kiraan delapan ratus mann itu, ialah pada kurma kering dan anggur kering, tidak pada buah kurma basah (ruthab) dan buah anggur basah (inab).Dikeluarkan untuk zakat, setelah dikeringkan. Dan menjadi cukup harta dari salah seorang, yang dicampurkan dengan harta orang yang lain, dalam campuran yang beraduk, seperti sebuah kebun yang berkongsi diantara ahli-ahli waris. Untuk semuanya, berjum-lah delapan ratus mann buah anggur kering (zabib). Maka wajiblah atas sekalian mereka, delapan puluh mann zabib, dibagi menurut bahagian masing-masing.Dan tidak dikira campuran, kalau campuran itu tidak secara beraduk.Tidak dicukupkan nishab gandum dengan syair dan dicukupkan nishab syair dengan salt, karena salt itu, semacam syair.

Kewajiban zakat yang sepersepuluh itu, kalau tumbuh-tumbuhan-nya disirami dengan air yang mengalir atau dengan air dari tali air (tegasnya tidak dengan pengeluaran ongkos). Kalau tumbuh-tumbuhannya disirami dengan air yang diangkutatau dengan kincir air, (tegasnya dengan perongkosan), maka diwajibkan untuk zakat, seperdua puluh daripadanya.Kalau dengan kedua-duanya, ya'ni dengan perongkosan dan dengan tanpa perongkosan, maka dikira dengan yang lebih banyak.

Adapun sifat dari yang wajib diserahkan untuk zakat itu, ialah kurma, anggur dan biji-bijian (seperti padi), yang kesemuanya itu sudah kering, setelah dibersihkan. Dan tidak diambil untuk zakat, buah kurma dan buah anggur yang masih basah, kecuali datang penyakit kepada pohon-pohon itu dan lebih baik dipetik sebelum sempurna masaknya. Maka diambilkan yang masih basah untuk zakat. Yaitu, disukat, sembilan bahagian untuk si pemilik dan satu bahagian untuk fakir miskin. Dan tidak terlarang dari pembahagian ini, oleh kata kita, bahwa pembahagian itu adalah penjualan.



**Notakaki (1).Man menurut Kamus Al Munjid ialah alat sukatan atau timbangan , 1 man pada syarak=180 mitsqal ,dan pada uruf kebiasaan 280mitsqal ,menurutpenjelasan kitab kitab lain,nishab zakat ini ialah lima wusuq, 1 wusuq =60 gantang fitrah,1gantang 4 mudd, ialah 1 1/3 kati baghdad,jadi lima wusuq ialah 300 gantang fitrah yang bersih dari   kulit,kalau dengan kulit,menjadi dua kali

Bahkan yang seperti itu, diperbolehkan karena perlu. Waktu yang menentukan wajibnya zakat al-mu 'asy-syarat, ialah ketika kelihatan baik pada buah-buahan dan keras bijinya. Dan waktu penyerahan zakatnya, ialah setelah kering.


Bahagian ketiga : Tentang zakat emas dan perak.
Apabila telah cukup setahun dalam milik si pemilik, yang memiliki seberat dua ratus dirham dengan timbangan Makkah perak murni, maka zakatnya lima dirham, yaitu : seperempat puluh daripadanya. Yang lebih dari itu, maka dikira menurut itu juga, walaupun lebih-sedirham.

Nishab emas, yaitu : dua puluh mitsqal emas murni dengan timbangan Makkah. Zakatnya, seperempat puluh daripadanya. Yang lebih dari itu, maka dikira menurut lebihnya.Kalau berkurang dari nishab yang tersebut di atas, walaupun seberat biji yang kecil, maka tidak dikenakan zakat. Dan diwajibkan zakat atas orang yang mempunyai dirham campuran, apabila ada padanya perak murni sebanyak yang tersebut di atas.Dan diwajibkan zakat pada emas terurai dan pada perhiasan emas atau perak yang terlarang, seperti tempat air dari emas dan perak dan kendaraan emas bagi laki-laki. Dan tidak diwajibkan zakat pada perhiasan yang dibolehkan. Dan wajib zakat pada hutang, di mana yang berhutang itu adalah orang kaya yang mampu membayar hutangnya. Tetapi kewajiban zakatnya, adalah ketika dilunaskan. Kalau hutang itu, belum tiba waktu pembayarannya, maka tidak wajib zakatnya, kecuali ketika telah sampai waktu pembayarannya.
Bahagian keempat : Zakat perniagaan.
Zakat perniagaan, adalah seperti zakat emas dan perak. Dan dihitung tahunnya, dari sejak dimiliki uang (modal) pembeli barang yang diperniagakan, kalau uang itu sampai nishab. Kalau kurang dari nishab atau dibeli dengan benda, dengan diniatkan perniagaan, maka tahunnya dikira dari waktu pembelian.Zakat itu dibayar dengan uang dari negeri yang bersangkutan dan dengan uang itulah barang perniagaan itu dinilai.Kalau barang perniagaan itu dibeli dengan suatu uang dan uang itu cUkup nishabnya, maka barang perniagaan itu lebih utama dinilai dengan uang tadi, daripada dengan uang dari negeri yang bersangkutan.

Kalau diniatkan berniaga dari harta yang disimpan, maka tidaklah dikira tahunnya dengan semata-mata niat, sebelum dibeli sesuatu dengan uang itu. Manakala niat bemiaga itu dibatalkan sebelum cukup tahunnya, niscaya gugurlah zakat. Dan yang lebih utama, zakat tahun itu dilunaskan.laba yang diperoleh dari barang perniagaan pada akhir tahun, wajiblah dizakati menurut tahun modal dan tidak untuk laba itu dimulai dengan tahunnya sendiri, seperti anak-anak binatang ternak menurut tahun induknya.

Uang yang dipertukarkan, tidak putus tahunnya dengan pertukaran yang berlaku diantara pemilik-pemilik uang itu, seperti perniagaan-pemiagaan yang lain. Dan zakat dari keuntungan harta berdua-laba, adalah atas si pekerja, walaupun keuntungan itu belum dibagi.Inilah yang lebih sesuai, menurut qias!.

Bahagian kelima : Zakat emas dan perak yang diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu (rikaz) dan yang diperoleh dari tambangnya (ma din).
Rikaz, ialah harta yang ditanam di dalam tanah pada masa jahiliyah dan diperoleh pada tanah, yang belum berlaku milik seseorang padanya dalam Islam. Maka wajiblah atas orang yang memperoleh emas dan perak dari rikaz itu, seperlima untuk zakat. Dan tahun, tidak dikira. Dan yang lebih utama, nishabnya-pun tidak dikira, karena diwajibkan seperlima itu menguatkan tentang keserupaan-nya dengan harta rampasan perang (ghanimah). Dan mengira ni-shabnyapun, tidak jauh daripada kebenaran, karena penyerahannya adalah sama dengan penyerahan zakat. Dari itu, dikhususkan rikaz menurut paham yang lebih kuat (ashshahih)  kepada emas dan perak saja.

Adapun ma din, maka apa yang dikeluarkan dari tambang, tidak dikenakan zakat, selain emas dan perak. Zakatnya, setelah dihancurkan dan dibersihkan ialah seperempat puluh, menurut pendapat yang terkuat dari dua pendapat.Dan berdasarkan ini nishabnya diperhitungkan,Mengenai kiraan tahunnya, terdapat dua pendapat. Menurut suatu pendapat, diwajibkan seperlima dari ma'din itu untuk zakat. Dan berdasarkan kepada pendapat ini, tahunnya tidak diperkirakan.

Mengenai nishabnya, terdapat dua pendapat. Yang terkuat diantara kedua pendapat ini ilmu yang sebenarnya adalah pada sisi Allah Ta'ala ialah dihubungkan tentang batas wajibnya dengan zakat perniagaan. Karena hasil barang pertambangan itu, adalah semacam perusahaan. Dan mengenai kiraan tahunnya, dihubungkan dengan al-mu'asysyarat. Dari itu tahunnya, tidak dikira,(tegasnya : tidak disyaratkan cukup setahun). Karena ma'din itu adalah benda yang diambil manfa'atnya pada benda itu sendiri. Dan nishabnya, dipandang seperti pada al-mu'asy-syarat.

Yang lebih terpelihara dari kesangsian (mengingat perbedaan-perbedaan pendapat diantara para alim-ulama) ialah, supaya dikeluarkan seperlima dari ma'din itu untuk zakat, tanpa diperhitungkan sedikitnya dan banyaknya dan tanpa diperhatikan pula benda dari ma'din itu, baik ia emas dan perak atau lainnya. Supaya terlepas dari kesangsian dengan perbedaan-perbedaan pendapat itu. Karena perbedaan-perbedaan pendapat itu, merupakan sangkaan-sangkaan keras yang mendekati kepada kebenaran, daripada pertentangan. Meyakini kepada suatu fatwa daripadanya, adalah mem bah ay akan, karena pertentangan yang meragukan itu.

Bahagian keenam : Tentang zakat fithrah.
Zakat fithrah itu wajib, menurut sabda Nabi صلى الله عليه وسلم  atas tiap-tiap muslim, yang ada kelebihan dari makanannya dan makanan orang-orang yang menjadi tanggungannya, pada hari raya fithrah dan malamnya, sebanyak se gantang daripada makanan yang mengenyangkan, dengan sukatan gantang Rasulullah saw. Yaitu 2 2/3 mann, yang dikeluarkan dari jenis makanannya atau dari jenis yang lebih baik daripadanya. (1)

Kalau ia bermakanan tetap gandum, maka tidak dibolehkan syair untuk zakat fithrahnya. Dan kalau ia bermakanan tetap biji-bijian yang bermacam-macam, niscaya dipilihnya yang terbaik. Dan mana saja yang dikeluarkannya, memadaiah.

Pembahagian zakat fithrah itu, adalah seperti pembahagian zakat harta yang lain. Maka wajib dilengkapkan dengan segala macam manusia yang berhak menerimanya.Tidak boleh dikeluarkan yang telah hancur dicumbuk dan yang telah menjadi tepung yang halus.

Diwajibkan atas suami muslim, fithrah isterinya, fithrah budaknya, anak-anaknya dan tiap-tiap keluarganya yang menjadi tanggungannya, yakni : yang wajib ia tanggung nafkahnya, dari bapak, ibu dan anak-anaknya. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
أدوا صدقة الفطر عمن تمونون
(Adduu shadaqatal fithri 'amman tamuunuun).Artinya : "Lunasilah zakat fithrah itu, dari orang-orang yang nafi kah hidupnya menjadi tanggungan kamu".

Zakat fithrah dari budak yang dipunyai oleh dua orang yang ber-kongsi, adalah atas orang-orang itu. Dan tidak wajib zakat fithrah budak yang kafir.Kalau sang isteri mengeluarkan fithrah untuk dirinya sendiri, maka memadailah. Dan bagi sang suami boleh mengeluarkan fithrah untuk isterinya, tanpa izin isteri.



1.Dirawikan Bukhari dan Muslim Dari Ibnu Umar,Kata ibnu umar, zakat fitrah itu di wajibkan pada bulan Ramadhan
Kalau makanan yang berlebih, setelah dikeluarkan untuk fithrah-nya, mencukupi untuk sebahagian dari orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka dikeluarkanlah fithrah untuk sebahagian itu. Dan yang lebih utama didahulukan, ialah yang nafkah hidupnya, lebih kuat menjadi tanggungannya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم  mendahulukan nafkah anak dari nafkah isteri dan nafkah isteri dari nafkah pembantu rumah tangga (babu atau jongos). (1)Inilah hukum-hukum fiqih, yang harus diketahui oleh orang kaya. Dan kadang-kadang terjadi beberapa peristiwa yang jarang terjadi, di luar dari ini, maka dapatlah ia berpegang kepada fatwa, ketika terjadi, sesudah memahami sekedar yang penting ini.



1.DirawikanAbu Dawud Dari Abu Hurairah dengan sanad Sahih
Pasal kedua : Tentang menunaikan zakat, syarat-syaratnya yang bathin dan yang dhahir.
Ketahuilah, bahwa wajiblah atas orang yang menunaikan zakat, menjaga lima perkara :
Pertama: niat, yaitu bemiat dengan hati, menunaikan zakat fardlu. Dan disunatkan menentukan harta yang dikeluarkan zakatnya. Kalau ada hartanya yang jauh, lalu dikatakannya : "Ini, dari harta-ku yang jauh kalau ia selamat. Kalau tidak, maka menjadi sedekah sunat". Maka bolehlah yang demikian, karena walaupun tidak ditegaskannya yang demikian, hasilnya begitu juga, kalau disebut-kannya secara umum.

Niat dari wali yang mengeluarkan zakat dari harta orang gila dan anak-anak yang berada di bawah asuhannya), adalah berkedudukan seperti niat orang gila dan anak itu sendiri. Dan niat dari sultan (penguasa), adalah berkedudukan seperti niat si pemilik yang tidak mau mengeluarkan zakatnya. Tetapi itu, adalah Haram  pandangan hukum duniawi, yakni : mengenai tidak dituntut lagi di dunia ini.

Adapun di akhirat tidak, tetapi tetaplah dalam tanggungannya, sampai ia mengeluarkan kembali zakat itu.Kalau diwakilkan kepada orang lain untuk menunaikan zakatnya dan diniatkannya ketika diwakilkan itu atau diwakilkannya kepada wakil itu untuk meniatkannya, maka mencukupilah yang demikian, karena mewakilkan dengan niat itu, sudah niat namanya.

Kedua : menyegerakan sesudah sampai tahunnya. Dan pada zakat fithrah, tidak diperlambatkan daripada hari raya fithrah. Dan masuk waktu wajibnya dengan terbenam matahari dari hari yang penghabisan dari bulan Ramadlan. Dan waktu menyegerakannya, ialah dalam bulan Ramadlan itu seluruhnya.Orang yang memperlambatkan zakat hartanya, serta ada kemungkinan untuk itu, (artinya : tak ada halangan apa-apa), maka durhakalah ia kepada Tuhan dan tak terhapus kewajiban itu lagi, dengan hilang hartanya.
Kemungkinan mengeluarkan zakat itu, ialah dengan memperoleh orang yang berhak menerima zakat. Kalau diperlambatkannya, karena tidak ada orang yang berhak menerimanya, lalu hilanglah hartanya, maka gugurlah zakat daripadanya.Menyegerakan zakat, dibolehkan, dengan syarat bahwa hal itu terjadi setelah cukup nishabnya dan berjalan tahunnya. Dan boleh menyegerakan zakat dua tahun.

Manakala zakat itu disegerakan, lalu mati orang miskin yang menerimanya, sebelum cukup tahunnya atau ia murtad atau ia menjadi kaya dengan harta yang lain dari zakat yang disegerakan itu atau ia mati, maka harta yang diserahkan itu tidaklah menjadi zakat. Dan memintanya kembali, tidak mungkin, kecuali apabila disyaratkan meminta kembali, (waktu diserahkan dahulu). Maka dalam hal ini, hendaklah orang yang menyegerakan itu, memperhatikan akhir urusan dan keselamatan kesudahan.

Ketiga : bahwa tidak dikeluarkan benda lain sebagai gantinya, dengan menghitung nilainya. Tetapi dikeluarkan benda yang dikenakan zakat padanya. Maka tidak memadai perak dari zakat emas dan emas dari zakat perak, walaupun nilainya berlebih daripada perak.

Mungkin sebahagian orang tidak memahami maksud Asy-Syafi'i ra. yang mempermudahkan tentang itu dan menitik beratkan kepada tujuan untuk memenuhi kepentingan.

Alangkah jauhnya dari berhasil, karena memenuhi kepentingan itu adalah suatu tujuan dan tidaklah ia menjadi seluruh tujuan. Tetapi kewajiban syari'atnya adalah tiga bahagian :

Bahagian Pertama: adalah ibadah semata-mata, tak masuk padanya keuntungan dan maksud-maksud tertentu. Umpamanya melempar-kan jamrah pada ibadah hajji, karena tak ada keuntungan bagi jamrah, pada sampainya batu kepadanya.

Maksud syari'at mengenai pelemparan batu itu, ialah menguji dengan perbuatan, supaya hamba itu melahirkan kehambaan dan perhambaannya, dengan suatu perbuatan yang tidak dipahami maksudnya. Karena apa yang dipahami maksudnya, kadang-kadang ditolong dan didorong oleh tabi'at kepada perbuatan itu. Maka tidak menampak ikhlas kehambaan dan perhambaan. Karena per-hambaan itu menampak dengan gerak untuk melaksanakan perintah Yang Disembah (al-ma'bud) saja, tidak untuk suatu maksud yang Iain. Dan sebahagian besar amal perbuatan ibadah hajji, adalah demikian.
Dari itu, Nabi saw, membaca pada ihramnya :
 لبيك بحجة حقا تعبدا ورقا
(Labbaika bihaj-jatin hr.qqan ta'abbudan wa riqqa).
Artinya ; "Aku terima panggilan Engkau dengan hajji dengan sebenar-benarnya, beribadah dan kehambaan kepadaMu". (1) sebagai peringatan, bahwa itu adalah untuk melahirkan perhambaan, dengan mematuhi, karena perintah dan mengikuti perintah semata-mata, sebagaimana diperintahkan tanpa penjinakan akal pikiran kepadanya, dengan tertarik dan tergerak pikiran itu kepadanya.

Bahagian Kedua : Diantara kewajiban yang diwajibkan syari'at, tidaklah dimaksudkan daripadanya suatu keuntungan yang dapat dipahami dan tidak pula dimaksudkan suatu peribadatan kepada Allah, seperti melunaskan utang dari seseorang dan mengembalikan barang yang dirampasnya.

Maka tidak ragulah kiranya, bahwa dalam hal tadi, tidak dipandang perbuatan dan niatnya. Dan manakala sampailah hak itu kepada yang berhak, dengan mengambil haknya atau digantikan dengan yang lain dengan persetujuan dari yang berhak, maka terlaksanalah kewajiban itu dan selesailah tuntutan syari'at.Inilah dua bahagian, yang tidak ada susunan padanya, di mana sekalian manusia dapat memahaminya.

Bahagian Ketiga : yaitu yang tersusun, yang dimaksudkan padanya dua perkara bersama-sama. yakni keuntungan bagi hamba dan percobaan bagi seorang mukallaf dengan memperhambakan diri. Maka berkumpullah padanya perhambaan kepada Tuhan yang ada pada pelemparan jamrah dan keuntungan pada pengembalian hak milik.

Inilah bahagian yang dipahami pada perbuatan itu sendiri. Maka kalau datanglah syari'at menyuruhnya, niscaya wajiblah terkumpul diantara kedua maksud itu. Dan tidaklah seyogia dilupakan arti yang terhalus daripada keduanya, yaitu : memperhambakan dan memperbudakkan diri kepada Allah, disebabkan nyata benar keduanya. Dan arti yang terhalus itulah, yang terpenting.



 (1) Dirawikan At-Bazzar dan Ad-Daraquthni dari Anas.
Dan zakat, adalah termasuk golongan ini, di mana tak ada yang menyadarinya, selain Imam Asy-Syafi'i ra.Maka keuntungan bagi orang fakir, adalah dimaksudkan pada memenuhi hajat keperluannya. Dan itu, jelas dan lekas dipahami.

Tentang perhambaan kepada Allah dengan zakat, dengan mengikuti segala perinciannya, adalah maksud dari syari'at. Dan dengan memperhatikannya, jadilah zakat itu, teman bagi shalat dan hajji, tentang adanya, sebahagian dari sendi-sendi Islam.

Dan tak ragulah kiranya, bahwa seorang mukallaf itu sukar membedakan segala jenis hartanya dan mengeluarkan bahagian tiap-tiap harta, mengenai macamnya, jenis dan sifatnya. Kemudian, membagi-bagikannya kepada golongan delapan yang berhak menerima zakat, sebagaimana akan diterangkan nanti.

Dan mempermudah-mudahkan dalam hal itu, adalah tidak mencederakan terhadap keuntungan orang fakir. Tetapi mencederakan terhadap perhambaan kepada Allah. Dan dibuktikan, bahwa memperhambakan diri kepadaNya (ta'abbud) itu dimaksudkan dengan menentukan bermacam-macam, oleh beberapa perkara yang telah kami sebutkan dalam kitab-kitab yang menerangkan bermacam-macam pendapat dari masalah-masalah fiqih.
Sebahagian yang amat jelas daripadanya, ialah bahwa syari'at mewajibkan dalam lima ekor unta, seekor kambing.
Syari'at itu, berpaling dari unta kepada kambing dan tidak berpaling kepada emas dan perak dan menilaikannya. Kalau diumpamakan, bahwa yang demikian itu, karena sedikit mata uang pada tangan orang-orang Arab, maka yang demikian itu menjadi batal, dengan diperbolehkan dua puluh dirham pada penempelan dari kekurangan, bersama dengan dua ekor kambing. Maka mengapakah, tidak disebutkan pada penempelan itu, sekedar yang kurang dari nilainya? Mengapakah ditentukan dengan dua puluh dirham dan dua ekor kambing, sedangkan kain dan semua barang, adalah mengandung satu maksud dengan itu?.

Apa yang disebutkan tadi dan segala ketentuan yang seumpama dengan dia, menunjukkan, bahwa zakat tidaklah dibiarkan terlepas daripada perhambaan kepada Allah, sebagaimana pada hajji. Tetapi dikumpulkan diantara kedua maksud. Dan jiwa yang lemah, tak sanggup memahami segala susunan. Dan disitulah terletaknya kesalahan.
Keempat: zakat itu tidak dipindahkan ke negeri lain. Karena mata orang-orang miskin ditiap-tiap negeri memanjang sampai kepada harta-hartanya. Dan dengan pemindahan zakat itu menyia-nyiakan segala sangkaan.Kalau dipindahkan, memadai juga menurut suatu pendapat (qaul). Tetapi keluar dari keragu-raguan perselisihan itu, adalah lebih utama. Dari itu, hendaklah dikeluarkan zakat tiap-tiap harta, pada negeri harta itu sendiri.
Kemudian tidak mengapa diserahkan kepada orang-orang perantau yang ada pada negeri tempat pengeluaran zakat,

Kelima : harta zakat itu dibagi-bagikan, menurut bilangan golongan penerima zakat yang ada dinegeri itu. Karena meratakan golongan adalah wajib, dibuktikan oleh ketegasan firman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
(Innamash-shadaqaatu lil-fuqaraa-i wal-masaakiini wal-'aamiliina 'alaihaa wal-muallafati quluu buhum wa firriqaabi wal-ghaarimiina wa fii sabiilillaahi wabnis-sabiil).
Artinya : "Sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang orang miskin, pengurus zakat, orang-orang yang dibujuk hatinya, untuk-melepaskan perbudakan (tawanan), orang-orang yang ber-hutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam perjalanan (S. Al-Bara-ah,(ATTAUBAH) ayat 60).

Tujuan dari firman tadi, serupa dengan kata orang yang sedang sakit : "Sepertiga dari hartaku, untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin".Maka pembahagian zakat itu, menghendaki penyekutuan pada pemilik an dan peribadatan, sehingga seyogialah di jaga dari tujuan kepada yang dhahir semata-mata.Pada kebanyakan negeri tidak terdapat dua golongan dari golongan yang delapan itu, yaitu : golongan yang dibujuk hatinya (muallaf) dan pengurus zakat ('amil). Dan pada seluruh negeri, terdapat empat golongan, yaitu : fakir, miskin, orang berhutang dan orang musafir, yakni : ibnussabil

Dua golongan terdapat pada sebahagian negeri yaitu : orang-orang yang berperang pada jalan Allah dan budak-budak yang melepaskan dirinya dengan tebusan.

Kalau terdapat lima golongan umpamanya, maka zakat itu dibagi-bagikan antara mereka dalam lima bahagian yang sama atau berlebih-kurang dan ditentukan untuk tiap-tiap golohgan sebahagian. Kemudian tiap-tiap bahagian itu, dibagikan kepada tiga bahagian atau lebih, adakalanya sama banyak atau berlebih-kurang. Dan tidaklah diharuskan sama banyak diantara orang-orang dari sesuatu golongan. Sehingga bolehlah dibagikan, ada yang memperoleh sepuluh dan dua puluh dan tertentulah dengan demikian, bahagian masing-masing.

Adapun golongan-golongan yang ada itu, tidak dapat ditambah dan dikurangi. Dan tidak seyogialah dikurangi pada masing-masing golongan, daripada tiga orang, kalau ada. Kemudian, kalau tidak ada yang wajib diserahkan, selain dari segantang untuk fithrah, diantara lima golongan yang ada, maka haruslah disampaikan pembahagian itu kepada lima belas orang. Kalau kuranglah seorang dari mereka serta mungkin dipenuhi, maka dibayar bahagian orang yang seorang itu Kalau sulit, karena terlalu sedikit yang harus diserahkan, maka hendaklah ia berkongsi dengan golongan yang wajib menyerahkan zakat dan mencampurkan zakatnya dengan zakat golongan itu. Lalu dikumpulkan segala orang yang berhak menerima zakat, kemudian diserahkan zakat itu, sehingga mereka memperoleh bahagian masing-masing.Demikian cara yang seharusnya ditempuh!,



Penjelasan : Adab bathiniah yang halus-halus tentang zakat.
Ketahuilah, bahwa atas orang yang berkehendak jalan akhirat, dengan zakatnya, mempunyai beberapa tugas :
Tugas Pertama : memahami kewajiban dan pengertian zakat serta cara ujian padanya. Dan mengapakah zakat itu dijadikan sebahagian dari sendi-sendi Islam, pada hal dia adalah penyerahan keuangan dan tidak daripada ibadah badaniah?.

Mengenai ini, terdapat tiga pengertian :
1. Mengucapkan dua kalimah syahadah, adalah suatu kemestian bagi tauhid dan pengakuan dengan keesaan yang disembah.
Syarat bagi kesempurnaan ucapan itu, ialah tidak ada bagi orang yang bertauhid, yang dicintainya selain dari Yang Maha Esa, Yang Tunggal. Karena kecintaan, tidak menerima perkongsian. Dan tauhid dengan lisan itu, kurang faedahnya.Maka diujilah tingkat kecintaan itu, dengan berpisah dari yang dikasihi. 

Dan harta, adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena ia alat kesenangan duniawi. Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan iari-dari mati, padahal, pada mati berjumpa dengan Yang Amat Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang kebenaran dakwaannya pada Yang Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta yang menjadi kesayangan dan kesenangannya.

Dari itulah, berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
(Innallaahasy-taraa minal-mu'minima anfusahum wa amwaalahum bianna lahumul-jannah).Artinya : "Sesungguhnya Allah telah membeli diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan sorga untuk mereka". (S. Al-Bara-ah, ayat 111). Yang demikian itu adalah dengan jihad, yakni: kesedihan berkorban karena rindu hendak berjumpa dengan Allah 'Azza wa Jalla. Dan kesediaan dengan harta, adalah lebih mudah. Manakala pengertian ini telah dipahami, mengenai penyerahan harta, maka terbagilah manusia kepada tiga bahagian :

Bahagian Pertama : mereka membenarkan tauhid, menyempurnakan janjinya dan turun dari semua hartanya, tidak disimpankannya, meskipun sedinar atau sedirham. Lalu mereka enggan menghadapi kewajiban zakat atas mereka. Sehingga ditanyakanlah kepada sebahagian mereka : "Berapakah yang wajib untuk zakat pada dua ratus dirham?".

Lalu ia menjawab : "Adapun atas orang awam, yang bodoh dengan hukum syari'at, ialah lima dirham. Adapun kami, maka wajiblah menyerahkan semuanya".Karena inilah, maka Abu Bakar ra. menyedekahkan semua hartanya dan Umar ra. dengan setengah hartanya.
Lalu bertanya Nabi  صلى الله عليه وسلم : "'
Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?".
Menjawab Umar ra. : "Sebanyak itu lagi!".
Dan bertanya Nabi saw. kepada Abu Bakar ra. :
"Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?".
Menjawab Abu Bakar ra. : "Allah dan RasulNya".
Maka menyambung Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :
بينكما ما بين كلمتيكما
(Bainakumaa maa baina kaHmataikumaa).Artinya : Diantara kamu berdua ialah, apa yang diantara kata-kata kamu berdua.(1)

Abu Bakar Siddik, menyempurnakan dengan kesempurnaan kebenarannya , lalu tidak dipegangnya, selain dari Yang Amat Dicintainya, yaitu : Allah dan RasuINya.

Bahagian Kedua : derajat mereka, kurang dari derajat yang di atas tadi. Mereka memegang hartanya, menggunakan segala waktu menunaikan hajat dan musim-musim berbuat yang baik. Tujuan mereka dengan menyimpan harta itu, ialah untuk berbelanja sekedar hajat, tidak untuk bersenang-senang. Dan menyerahkan yang lebih dari hajat itu, kepada jalan kebajikan, manakala telah terang cara-caranya. Mereka tidak merasa cukup sekedar zakat saja. Segolongan dari tabi'in, berpendapat bahwa pada harta itu terdapat beberapa hak, selain dari zakat, seperti An-Nakha-i, Asy-Sya'bi,''Atha' dan Mumhij.

Menjawab Asy-Sya'bi, setelah. ditanyakan kepadanya : "Adakah pada harta itu. hak selain dari zakat?", dengan mengatakan ; "Ada! Apakah engkau tidak mendengar firman Allah 'Azza wa Jalla
وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
(Wa aatal-maala 'alaa hubbihii dzawil-qurbaa wal-yataamaa wal-masaakiina wabnas-sabiili was-saailiina wa fir-riqaab).


 (1) Dirawikan Abu Dawud, At-Tirmidzi. dan Al-Hakim dari ibnu Umar.
Artinya ' "Dan diberikannya harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya, anak-anak piatu, orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang meminta dan untuk melepaskan perbudakan". (S. Al-Baqarah, ayat 177).

Mereka membuat dalil dengan firman Allah 'Azza wa Jalla : "Dan menafkahkan (membelanjakan di jalan kebaikan), se bahagian dari rezeki yang Kami tyerikan kepada mereka (S. Al-Baqarah, ayat 3) dan dengan firman Allah Ta'ala : "Nafkahkanlah sebahagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu (S. Al-Baqarah, ayat 254). Mereka mendakwakan, bahwa itu tidaklah mansukh dengan ayat zakat. Tetapi termasuk ke dalam bahagian hak seorang muslim terhadap seorang muslim. Artinya : wajiblah atas orang yang mampu, biiamana menjumpai orang yang memerlukan kepada uang, menyampaikan hajatnya, lebih-lebih dari harta zakat.

Dan yang syah dalam ilmu fiqih dari bab ini, ialah manakala hajat seseorang itu, bila tidak dipenuhi dapat menghilangkan nyawanya, maka memenuhi hajat tersebut adalah fardlu kifayah. Karena tidak boleh disia-siakan nyawa seorang muslim.

Tetapi mungkin dikatakan, bahwa tidaklah wajib atas orang yang mampu, selain daripada menyerahkan sesuatu yang menyampaikan hajat itu, secara hutang. Dan tidak dimestikan memberikan, sesudah ia menyelesaikan zakatnya sendiri.

Dan mungkin pula dikatakan, harus ia menyerahkan sekarang juga dan tidak boleh secara diperhutangkan. Artinya : tidak boleh diberatkan orang fakir itu menerima hutang. Dan inilah yang diperselisihkan!.

Berhutang, adalah turun ketingkat yang terakhir dari tingkat orang awam. Yaitu : tingkat: Bahagian Ketiga : di mana orang awam itu, berkisar kepada menunaikan yang wajib saja. Mereka tidak menambahkan dan mengurangkan daripadanya.

Inilah tingkat yang paling kurang keutamaannya! Segala orang awam berkisar pada yang wajib saja, karena kebakhilan dan kecondongan hati mereka kepada harta, serta lemah kecintaan mereka kepada akhirat. Berfirman Allah Ta'ala :
 إِنْ يَسْأَلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا وَيُخْرِجْ أَضْغَانَكُمْ
(In yas-alkumau haa fayuh-fikum tabkhaluun ).Artinya : "Jika itu dimintaNya kepada kamu dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir". (S. Muhammad, ayat 37). Artinya : "Jika itu dimintaNya kepada kamu dan didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir". (S. Muhammad, ayat 37). Artinya : berulang kali la meminta kepadamu. Berapa banyak, diantara hambaNya yang dibeli oleh Allah akan harta dan nyawa-nya, dengan sorga dan diantara hamba yang tidak didesak oleh Allah karena kebakhilannya. Inilah salah satu pengertian perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hambaNya, dengan memberikan harta!.

2.Mensucikan diri daripada sifat kebakhilan, karena itu adalah sebahagian dari sifat-sifat yang membinasakan. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم. : "Tiga sifat membinasakan  mernperturut kebakhilan, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri".

Berfirman Allah Ta'ala :
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Wa man yuuqa syuhha nafsihii, fa ulaa-ika humul-muflihuun).Artinya : "Dan siapa yang terpelihara dari kekikiran jiwanya. merekalah orang-orang yang beruntung". (S. Al-Hasyr, ayat 9).
Dan akan datang nanti pada "Rubu' Yang Membinasakan", penjelasan caranya sifat kekikiran itu membinasakan dan bagaimana menjauhkan diri daripadanya.

Sesungguhnya sifat kebakhilan itu, dapat dihilangkan, dengan membiasakan memberikan harta. Mencintai sesuatu itu, tidak akan putus, kecuali dengan memaksakan diri berpisah daripadanya, sehingga menjadi itu nanti suatu kebiasaan. Maka dengan pengertian ini, zakat adalah pencuci, artinya : mensucikan pembayar zakat dari kekejian kikir yang membinasakan. Kesucian itu menurut kadar pemberiannya dan kegembiraannya dengan mengeluarkan harta serta kesenangannya menyerahkan harta itu karena Allah Ta'ala.

3.Mensyukuri nikmat, karena Allah Ta'ala mempunyai nikmat pada hambaNya, pada diri dan harta hamba itu. Maka segala ibadah badaniah, adalah kesyukuran bagi nikmat badan. Dan ibadah maliah (ibadah kehartaan), adalah kesyukuran bagi nikmat harta.

Alangkah kejinya orang yang melihat kepada seorang fakir, yang berpenghidupan sempit dan memerlukan kepada pertolongannya. Lalu ia tidak bersedia menunaikan kesyukurannya kepada Allah Ta'ala, di mana ia tidak memerlukan kepada meminta-minta dan orang lain memerlukan kepadanya, dengan menyerahkan seperempat puluh atau sepersepuluh dari hartanya!.

Tugas Kedua : mengenai waktu pembayaran zakat.
Diantara adab orang yang beragama, ialah menyegerakan zakat dari waktu wajibnya, untuk melahirkan kegemaran mengikuti perintah Allah, dengan menyampaikan kesenangan ke dalam hati orang-orang fakir dan menyegerakan dari penghalang-penghalang masa, yang menghalanginya dari perbuatan kebajikan. Dan karena mengetahui, bahwa dengan melambatkan itu, timbul bahaya-baha-ya serta kemaksiatan yang mendatangi seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu wajibnya.

Manakala telah lahir dari bathin panggilan kepada kebajikan, maka seyogialah dirampas kesempatan itu. Karena yang demikian itu, adalah kawan malaikat. Dan hati orang mu'min, ialah antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih. Alangkah cepatnya hati itu bertukar! Dan setan menjanjikan kemiskinan. menyuruh dengan yang keji dan mungkar. Dia mempunyai teman, dibalik teman malaikat.

Dari itu, hendaklah diambil kesempatan yang baik. Dan hendaklah ditentukan suatu bulan tertentu untuk menunaikan zakat, jika ditunaikan seluruhnya. Hendaklah diusahakan, supaya adalah bulan itu, waktu yang sebaik-baiknya, agar yang demikian menjadi sebab, bagi bertambah mendekatkannya kepada Tuhan dan berli-pat-ganda pahala zakatnya. Seperti bulan Muharram umpamanya, karena dia adalah awal tahun dan termasuk diantara bulan-bulan haram (1) atau bulan Ramadlan.

Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم  makhluk Allah yang terbaik dan pada bulan Ramadlan, ia seperti angin yang dikirim, tidak memegang sesuatu benda pada tangannya. Bulan Ramadlan itu, mempunyai kelebihan dengan Lailatul-qadar dan Al-Qur'an diturunkan pada bulan Ramadlan. Mujahid mengatakan : "Janganlah kamu katakan "Ramadlan", karena dia adalah suatu nama dari nama-nama Allah Ta'ala, tetapi katakanlah "bulan Ramadlan ".



 (1) Bulan haram, ialah diharamkan peperangan padanya, yaitu : bulan Muharram, Rajab, Dzulkaidah dan Dzulhijjah. (Peny).
Bulan Dzulhijjah juga termasuk sebahagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Karena dia bulan haram, padanya hajji akbar dan hari-hari, tertentu, yaitu : sepuluh yang pertama dai\ hari-hari yang terbilang, yaitu : hari-hari tasyriq . (1)  Hari-hari bulan Ramadlan yang terutama, ialah sepuluh yang akhir dan hari-hari bulan Dzulhijjah yang terutama, ialah sepuluh yang awal.
Tugas Ketiga : dirahasiakan, karena dengan demikian, menjauhkan dari ria dan terdengar ke mana-mana. Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم :
أفضل الصدقة جهد المقل إلى فقير في سر
(Afdlalush shadaqati juhdul muqilli ilaa faqiirin fii sirrin).
Artinya : "Sedekah yang terbaik, ialah kesungguhan dari orang yang sedikit hartanya, menyerahkan sebahagian daripadanya kepada orang fakir dengan dirahasiakan (2)

Berkata setengah ulama : "Tiga perkara daripada gudang kebajikan. Sebahagian daripadanya, ialah menyembunyikan sedekah".

Dan diriwayatkan pula suatu hadits musnad, yaitu sabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw.:إن العبد ليعمل عملا في السر فيكتبه الله له سرا فإن أظهره نقل من السر وكتب في العلانية فإن تحدث به نقل من السر والعلانية وكتب رياء
"Sesungguhnya hamba itu hendaklah berbuat amalan dalam rahasia, maka dituliskan Allah baginya secara rahasia. Jikalau dilahirkan nya, maka dipindahkan oleh Allah dari rahasia dan dituliskan dalam keadaan terang Jika diceriterakannya amalan itu kepada orang, maka dipindahkan oleh Allah dari keadaan rahasia dan terang dan dituliskan ria'(3)

Pada suatu hadits masyhur, tersebut :
وفي الحديث المشهور سبعة يظلهم الله يوم لا ظل إلا ظله أحدهم رجل تصدق بصدقة فلم تعلم شماله بما أعطت يمينه
(Sab-'atun yudhiJluhumullaahu yauma laa dhilla illaa dhilluhu, ahaduhum rajulun tashaddaqa bishadaqatin falam ta'Iam syimaa-luhu bimaa a'-that yamiinuh).


1)Hari tasyriq, ialah tiga hari berturut-turut. sesudah tanggal sepuluh bulan Dzulhijjah (hari raya hajji). iaitu tanggal 11 - 12 dan 13 Dzulhijjah, dilarang padanya puasa dan disunatkan mengucapkan takbir di belakang shalat-shalat fardlu. (peny).
2)Dirawikan Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Haklm dari Abi Dzar.
3)Dirawikan At-Khatib dari Anas, dengan isnad dla'if.
Artinya : "Tujuh orang, dinaungi mereka oleh Allah, pada hari yang tak ada naungan, selain daripada naungan Allah. Seorang dari mereka, ialah orang yang bersedekah dengan suatu sedekah, maka tidak diketahui oleh tangan kirinya, apa yang diberikan oleh tangan kanannya". (1)

Pada suatu hadits tersebut : "Sedekah secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan". Berfirman Allah Ta'ala : "Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu adalah lebih baik bagi kamu ". (S, Al-Baqarah, ayat 271).

Faedah menyembunyikan, ialah terlepas dari bahaya ria dan kedengaran keluar. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tidak diterima oleh Allah sedekah dari orang yang memperdengarkan sedekahnya kepada orang lain, memperlihatkannya kepada. orang lain dan mem bang-kit kannya". Orang yang menceriterakan sedekahnya itu, ialah mencari nama supaya terdengar keluar. Dan orang yang memberikan sedekah dihadapan orang banyak, ialah ingin ria. Sedang menyembunyikan dan berdiam diri sesudah bersedekah, adalah orang yang ikhlas dengan sedekahnya, Segolongan dari ulama telah bersangatan benar menerangkan keutamaan menyembunyikan sedekah itu, sehingga dengan bersungguh-sungguh mereka mengatakan, bahwa yang menerima itu tidak mengenai yang memberi. Sebahagian mereka meletakkan sedekahnya dalam tangan orang buta dan sebahagian mereka meletakkan-nya pada jalan yang dilalui orang fakir dan pada tempat duduk orang fakir, di mana orang fakir itu dapat melihatnya dan tidak melihat yang memberikannya. Dan sebahagian mereka meletakkan-nya dalam kain orang fakir, ketika ia masih tidur. Dan sebahagian lagi menyampaikannya ke tangan orang fakir, dengan perantaraan orang lain, di mana orang fakir itu tidak mengenai si pemberi, Dan dimintanya pada perantara, supaya menyembunyikan naznanya dan tidak menyiarkannya ke mana-mana.

Sernua itu, adalah supaya sampai kepada memadamkan kemarahan Tuhan Yang Maha Suci dan memeliharakan diri dari ria dan terdengar keluar.



1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Dan dalam "ittihaf* syarah "Ihya"', jilid 4 hal. 112, diterangkan orang tujuh itu, yaitu : imam (penguasa) yang adil, pemuda yang rajin beribadah, orang yang hatinya tersangkut ke masjid, dua orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah, barkumpul dan berpisah atas yang demikian, laki-iaki yang diajak oleh wanita, lalu ia menjawab, bahwa aku takut kepada Allah dan orang yang bersedekah itu.

Bilamana tidak mungkin, selain dengan diketahui oleh seseorang, maka menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu menyerahkan kepada orang miskin dan orang miskin itu tidak mengenai si pemberi, adalah cara yang sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu, mengandung ria bersama dengan disebut-sebut. Dan dengan dikenal oleh si perantara, tidak adalah, selain dari ria saja.


Manakala ada kemasyhuran yang dimaksudkan bagi si pemberi, maka batallah amalnya. Karena zakat adalah menghilangkan kekikiran dan melemahkan kecintaan kepada harta. Dan mencintai kemegahan, adalah lebih hebat pengaruhnya kepada diri daripada mencintai harta. Kedua-duanya itu membinasakan di akhirat.

Tetapi, sifat kikir, bertukar di dalam kubur, sebagai perumpamaan, menjadi seekor kala yang menyengat. Dan sifat ria bertukar di dalam kubur menjadi seekor ular besar. Dari itu, disuruh melemahkan kedua-duanya atau membunuh kedua-duanya, untuk menolak atau meringankan kesakitan dari kedua-duanya.

Manakala dimaksudkan ria dan didengar orang, maka seolah-olah dijadikan sebahagian dari kaki kala, untuk menguatkan ular. Berapa yang lemah dari kala maka itu menambahkan pada kekuatan ular.Kalau keadaan itu dibiarkan, sebagaimana yang ada, niscaya adalah urusan itu, lebih mudah baginya. Kekuatan sifat-sifat tersebut di atas, di mana kekuatannya bertambah, ialah dengan berbuat, menurut yang dikehendaki oleh sifat-sifat itu. Dan kelemahannya, ialah dengan menantang, menyalahi dan berbuat kebalikan daripada yang dikehendakinya.

Maka apakah faedahnya, menolak panggilan kekikiran dan me-nyambut panggilan ke-ria-an? Lalu lemah yang lebih lemah dan kuat yang lebih kuat? Dan akan datang penjelasan segala rahasia dari pengertian-pengertian ini, pada "Rubu' Yang Membinasakan".

Tugas Keempat : bahwa dilahirkannya, bila diketahuinya, bahwa pada melahirkan itu, membawa manusia suka mengikutinya dan berusaha merahasiakannya dari panggilan ria : dengan jalan yang akan kami sebutkan, tentang pengobatan ria, pada Kitab Ria nanti.

Berfirman Allah Ta'ala :
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ      
 (In tubdush-shadaqaati fani-'immaahiy). Artinya : "Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik (S.Al-Baqarah, ayat271)
Dan yang demikian itu dikehendaki oleh keadaan untuk dilahirkan, adakalanya, untuk diikuti orang dan adakalanya karena peminta itu meminta dihadapan orang banyak. Maka tidak seyogialah ditinggalkan bersedekah, karena takut dari ria pada melahirkannya. Tetapi seyogialah bersedekah. dan menjaga rahasianya daripada ria, sedapat mungkin.

Inilah, karena pada melahirkan itu ditakuti hal ketiga, selain daripada disebut-sebut dan ria, yaitu : merusakkan kehormatan si fakir. Karena mungkin si fakir itu, merasa tersinggung, dengan memperli-hatkannya dalam bentuk orang yang memerlukan kepada sesuatu.

Maka orang yang meminta secara terus-terang, adalah ia telah merusakkan kehormatannya sendiri. Maka tidaklah ditakuti lagi pengertian tadi, pada melahirkannya. Dan itu, adalah seperti melahirkan sifat fasiq atas orang yang menutupinya rapat-rapat, maka itu dicegah. Mengorek-ngorek dan membiasakan menyebutkannya, adalah dilarang. Adapun orang yang melahirkannya, maka menjatuhkan hukuman atas orang itu, ialah memperkembangkan berita itu. Tetapi fasiq itu sendiri, yang menjadi sebab untuk dijatuhkan hukuman itu. Dan pengertian yang seperti ini, sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Barangsiapa mencampakkan pakaian malunya, maka tak adalah upatan baginya lagi". (1) Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً
(Wa anfiquu mimmaa razaqnaahum sirran wa 'alaaniyah). Artinya : "Dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan dengan sembunyi dan terang-terangan". (S. Ar-Ra'd, ayat 22).

Disunatkan juga dengan terang-terangan, karena dengan terang-terangan itu, memberikan faedah menggemarkan orang meng-ikutinya.

Maka hendaklah hamba itu memperhatikan dengan teliti, tentang timbangan faedah ini, dengan larangan yang ada padanya. Dan hal itu berbeda, menurut keadaan suasana dan orang. Kadang-kadang,secara terang-terangan, pada sebahagian keadaan untuk sebahagian orang, adalah lebih baik. Dan siapa yang mengenai segala yang berfaedah dan yang merusakkan, tanpa memandangnya dengan pandangan hawa nafsu, niscaya teranglah baginya yang lebih utama dan yang lebih layak dalam segala hal.



 (1) Dirawikan Ibnu 'Uda dan Ibnu Hibban dari Anas, dengan sanad dla'if.
Tugas Kelima : tidaklah dibatalkan sedekah itu, dengan menyebut-nyebut dan menyakitkan hati orang yang menerimanya. Berfirman Allah Ta'ala :
لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ
(Laa tubthiluu shadaqaatikum bilmanni wal-adzaa). Artinya : "Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza)". S. Al-Baqarah, ayat 264).

Berbeda pendapat diantara para ulama, tentang hakikat menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza). Ada yang mengatakan, al-manni, yaitu : menyebut-nyebut sedekah yang diberikan. Dan al-adza, yaitu : melahirkannya kepada orang lain.

Berkata Sufyan : "Barangsiapa membangkit-bangkitkan sedekahnya, niscaya sedekah itu batal", Lalu orang bertanya kepadanya : "Bagaimana membangkit-bangkitkan itu?". Sufyan menjawab : "Bahwa ia menyebut-nyebutkan dan menceri-terakannya".

Setengah ulama mengatakan, bahwa al-manni, ialah meminta pada orang yang diberikan sedekah itu, supaya memberikan tenaga, demi kepentingan orang yang memberi sedekah. Dan al-adza, ialah meng-hinakan orang yang diberikan sedekah itu, dengan sebab kemis-kinannya.

Ada yang mengatakan, bahwa al-manni, ialah yang memberi itu menyombongkan diri karena pemberiannya. Dan al-adza, ialah menggertak dan mengeluarkan kata-kata keji kepada orang miskin, dengan sebab meminta.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tidak diterima oleh Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan (1)


 (1) Menurut Aliraqi, ia tidak menjumpai hadits. ini.
Padaku, al-manni itu, mempunyai pokok pangkal dan tempat turmbuhnya. Yaitu sebahagian dari ikhwal hati dan sifatnya. Kemudian, bercabang kepadanya segala keadaan yang dhahir, pada lisan dan anggota badan.

Pokok-pangkaInya, ialah si pemberi itu memandang dirinya telah berbuat baik dan menganugerahkan nikmat kepada si penerima. Sedang sebenarnya, hendaklah dia memandang, bahwa si fakir itu telah berbuat baik kepadanya, dengan bersedia menerima hak Allah yang ada padanya, yang menjadi kesucian dan kelepasannya daripada api neraka.

Kalau tidaklah si fakir itu bersedia menerimanya, niscaya tetaplah ia berhutang dengan hak itu. Maka menjadi kewajibannya, menahan diri daripada membangkit-bangkitkan sedekah yang diberikan kepada orang fakir, lantaran si fakir itu telah membuat tapak tangannya, sebagai ganti dari Allah Ta'ala untuk menerima hakNya 'Azza wa Jalla.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسل "Bahwa sedekah itu jatuh dengan tangan (kekuasaan) Allah 'Azza wa Jalla, sebelum jatuh pada tangan yang meminta". (1)
Maka hendaklah diyakininya, bahwa ia menyerahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla hakNya dan orang fakir itu mengambil duripada Allah Ta'ala rezekinya, setelah jadinya kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Kalau dia berhutang pada seseorang, lalu orang itu menyerahkan kepada budaknya atau pelayannya yang menjadi tanggung jawabnya, tentang kehidupan budak atau pelayan itu, untuk menagih hutang tadi, maka keyakinan dari yang membayar hutang, bahwa penerima hutang itu di bawah pengaruhnya adalah sangat dungu dan bodoh. Karena yang berjasa kepadanya, ialah orang yang menang-gung belanja hidupnya.

Adapun dia, hanyalah melunaskan apa yang menjadi kewajibannya, disebabkan sudah membeli apa-apa yang disukainya. Jadi, ia bekerja untuk dirinya sendiri, maka mengapakah ia menyebut-nyebut orang lain?

Manakala telah dipahami, pengertian yang tiga, yang telah kami sebutkan tentang pemahaman kewajiban zakat atau satu dari yang tiga itu, niscaya ia tidak melihat dirinya telah berbuat baik, selain kepada dirinya sendiri. Adakalanya, dengan menyerahkan hartanya, demi melahirkan kecintaannya, kepada Allah Ta'ala atau mensucikan dirinya dari kekejian kikir atau mensyukuri nikmat harta, karena mengharap bertambahnya harta itu.



1) Dirawikan Ad-Daraquthni dari Ibnu Abbas, hadits gharib.
Bagaimanapun adanya, tetapi tak adalah hubungan mu'amalah antara dia dan orang fakir itu, sehingga ia memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir.

Manakala terdapat kebodohan itu, dengan memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir, lalu bercabanglah daripadanya pada dhahirnya, apa yang telah disebutkan pada pengertian al-man-ni, yaitu : membicarakan, mendhahirkan dan meminta balasan dari si penerima itu, dengan ucapan terima kasih, dengan do'a, pelayanan, penghormatan, pengagungan, penegakan hak-haknya,mendahulukan di majelis-majelis dan mengikutinya dalam segala hal.

Maka ini semuanya, adalah buah daripada al-manni. Dan arti al-manni pada bathin, ialah apa yang telah kami sebutkan itu.

Adapun al-adza, dhahirnya ialah menghina dan memberi malu, mengeluarkan kata-kata kasar, bermasam muka dan merusakkan kehormatan si fakir dengan melahirkan pemberian itu serta dengan berbagai macam cara merendahkan orang yang menerima itu.

Bathinnya, yaitu sumbernya, ada dua hal:
1.Tidak suka melepaskan harta dari tangan dan sangat beratlah yang demikian atas dirinya. Maka yang demikian itu —sudah pasti— menyempitkan makhluk.
2.Dia melihat dirinya lebih baik dari orang fakir. Dan orang fakir itu, disebabkan keperluannya, adalah lebih hina daripadanya. Kedua sumber tadi, terjadinya dari karena kebodohan.
Mengenai tidak suka melepaskan harta, itu adalah suatu kedunguan. Karena orang yang tidak suka menyerahkan sedirham, dalam balasan yang menyamai seribu dirham, itu adalah sangat dungu.

Dan sebagaimana dimaklumi, bahwa menyerahkan harta, adalah karena mencari kerelaan Allah 'Azza wa Jalla dan pahala pada negeri akhirat. Dan itu, adalah lebih mulia daripada apa yang diserahkan-nya. Atau diserahkannya untuk mensucikan dirinya dari kehinaan kikir atau bersyukur karena mengharap tambahan.Bagaimanapun diumpamakan, tetapi tidak suka menyerahkan harta itu, tak beralasan sama sekali.

Mengenai yang kedua, yaitu : memandang dirinya lebih mulia dari si fakir, itu juga tanda kebodohan. Karena kalau diketahuinya kelebihan miskin dari kaya dan diketahuinya bahaya yang dihadapi oleh orang-orang kaya, niscaya tidak akan dihinakannya orang fakir. Bahkan ia mengambil berkat daripada orang fakir dan bercita-cita memperoleh derajat kefakiran itu. Orang-orang kaya yang salih, akan memasuki sorga sesudah orang-orang fakir dengan lima ratus tahun.Dari itu, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Demi Tuhan yang mempunyai Ka'bah! Mereka itu merugi!Bertanya Abu Dzar : "Siapakah mereka itu?".Nabi saw. menjawab : "Mereka yang banyak harta!".

Kemudian, bagaimanakah ia menghinakan orang fakir, padahal orang fakir itu, telah dijadikan oleh Allah Ta'ala tempat ia berniaga. Karena ia mengusahakan harta dengan rajin, memperbanyakkan harta dan bersungguh-sungguh menjaganya sekedar perlu. Dan ia telah dimestikan, bahwa menyerahkan kepada orang fakir sekedar keperluannya. Dan dilarang melebihi daripada itu, yang mendatangkan melarat kepadanya, kalau diserahkan.

Maka orang kaya, adalah dilayani untuk berusaha, menghasilkan rezeki orang fakir. Dan dibedakan dari orang fakir, dengan menghadapi kedlaliman, mengalami penderitaan dan menjaga diri dari segala yang tidak perlu, sampai ia mati. Lalu hartanya, dimakan oleh musuh-musuhnya.

Jadi, manakala telah tersingkir sifat tidak suka dan berganti dengan suka dan senang dengan taufiq Allah Ta'ala kepadanya, pada pelak-sanaan kewajiban dan digenggam kannya harta kepada orang fakir, sehingga terlepas daripada buruknya nasib dengan diterimanya pemberian itu daripadanya, maka bilanglah al-adza, perighinaan, mas am muka. Dan bertukarlah dengan kegembiraan. pujian dan penerimaan kenikmatan itu. Itulah tempat terjadinya al-manni dan al-adza! Kalau anda mengatakan, bahwa melihat dirinya dalam tingkat orang yang berbuat baik, adalah suatu hal yang sulit. Adakah tanda, yang dapat ia menguji hatinya dengan tanda itu, sehingga ia mengenai bahwa dia tidak melihat dirinya berbuat baik?

Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai tanda yang halus dan jelas. Yaitu : kalau diumpamakan si fakir itu telah berbuat suatu penganiayaan atas dirinya atau si fakir itu menolong musuhnya umpamanya, maka ada kali bertambah perlawanan bathinnya dan menjauh hatinya dari si fakir itu, dengan perlawanan bathinnya sebelum bersedekah itu?Kalau bertambah, maka tidaklah terlepas sedekahnya dari campuran al-manni, karena dengan sebabnya, telah terjadi apa yang sebetulnya, tidak diharapkan terjadi sebelumnya.Kalau anda mengatakan : "Ini adalah soal yang sulit dan tidak terlepaslah hati seseorang daripadanya. Maka apakah obatnya?".Maka ketahuilah, bahwa ia mempunyai obat bathin dan obat dhahir.

Obat bathin, ialah mengenai segala hakikat yang telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib itu. Sesungguhnya orang fakirlah yang berbuat baik kepadanya, pada mensui-ikannya dengan menerima sedekah.

Adapun obat dhahir, maka ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh orang yang bersifat dengan al-manni itu, Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang timbul dari budi pekerti yang baik, niscaya akan mencelup hati itu berbudi pekerti yang baik, sebagaimana akan datang segala kunci rahasianya, pada bahagian yang penghabisan dari Kitab ini.

Dari itu, sebahagian mereka meletakkan sedekah dihadapan orang fakir dan tegak berdiri dihadapannya, meminta kiranya fakir itu bersedia menerima sedekahnya. Sehingga ia berada dalam bentuk orang yang meminta, disamping ia merasa tidak senang kalau sedekahnya ditolak.Sebahagian mereka membuka tangannya, supaya fakir itu mengambil dari tangannya dan tangan si fakir menjadi di atas. 'Aisyah ra. dan Ummu Salmah ra. apabila mengirimkan sesuatu pemberian kepada orang fakir, mengatakan kepada utusan yang membawa kiriman itu : "Hafalkanlah do'a yang dibacakan fakir itu!".Kemudian, keduanya membalas seperti do'a yang dibacakan si fakir seraya mengatakan : "Dengan demikian, ikhlaslah sedekah kami bagi kami".Mereka sebetulnya, tidak mengharapkan do'a, karena itu menyerupai pembalasan. Dari itu, mereka membalas do'a yang dibacakan si fakir, dengan do'a yang seperti itu pula.

Begitulah diperbuat oleh Umar bin Al-Khaththab dan anaknya Abdullah ra. Dan begitu pulalah orang-orang yang menitik berat-kan perhatiannya pada hati, mengobati hatinya. Dan tak adalah obatnya dari segi dhahir, selain dari segala amal perbuatan ini,yang menunjukkan kepada kehinaan, kerendahan diri dan menerima nikmat Allah Ta'ala. Dan dari segi bathin, ialah segala pengetahuan (ma'rifah) yang telah kami sebutkan itu.Ini, dari segi amal perbuatan. Dan yang itu dahulu, dari segi ilmu pengetahuan. Dan tidaklah hati itu diobati, selain dengan obat ilmu dan amal. Syarat ini dari zakat, adalah sejalan dengan jalannya khusyu' dari shalat. Hal itu, dibuktikan dengan sabda Nabi saw. :"Tidaklah bagi manusia d.ari shalatnya, selain daripada apa yang dipahaminya ".Dan ini, adalah seperti sabda Nabi saw. : "Tidak diterima Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan dan seperti firman Allah 'Azza wa Jaila : "Janganlah kamu batalkan sedekahmu dengan "al-manni" (menyebut-nyebut kan) dan "al-adza" (menyakitkan)". (S. Al-Baqarah, ayat 264).

Adapun fatwa ulama fiqih, dengan jadinya zakat itu menjadi zakat dan terlepasnya tanggung jawab dengan penyerahan yang seperti itu, tanpa syarat yang kami sebutkan, adalah berdasarkan hadits lain, yang sudah kami tunjukkan pengertiannya dalam "Kitab Shalat" dahulu.

Tugas Keenam : hendaklah dipandangnya pemberian itu kecil saja. Karena, kalau dipandangnya besar, maka timbullah kebanggaan di dalam hatinya. Dan sifat kebanggaan itu, termasuk sifat yang membinasakan. Dan itu membatalkan segala amal perbuatan. Berfirman Allah Ta'ala :
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا
(Wa yauma hunainm idz- a'jabatkum katsratukum falam tughni 'ankum syai-aa). Artinya : "Dan di hari perang Hunain, ketika kamu membanggakan diri karena banyak jumlahnya, tetapi jumlah yang banyak itu, tidak menolong kepada kamu sedikitpun". (S. Al-Bara-ah,@Attaubah ayat 25)

Dan ada yang mengatakan bahwa tha'at, kalau dipandang kecil, maka besarlah dia pada sisi Allah Ta'ala. Dan ma'siat kalau dipandang besar, maka kecillah dia pada sisi Allah 'Azza wa Jalla. Ada yang mengatakan, bahwa perbuatan baik, tidak akan sempurna, selain dengan tiga perkara : memandangnya kecil, menyegera-kannya dan menutupkannya. Dan tidaklah memandangnya besar itu, dinamakan al-manni dan al-adza. Karena kalau diserahkannya hartanya kepada pembangunan masjid atau langgar, niscaya mung-kinlah disitu memandangnya besar dan tidak mungkin al-manni dan al-adza. Tetapi membanggakan diri dan memandang amalan itu besar, berlaku dalam segala ibadah. Dan obatnya, ialah ilmu dan amal.

Adapun ilmu, yaitu ia mengetahui bahwa seperselupuh atau seperempat puluh, adalah sedikit dari yang banyak. Dan dia telah merasa puas bagi dirinya, dengan pemberian ditingkat yang paling rendah itu, sebagaimana telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib dahulu. Dari itu, wajarlah ia merasa malu dari pemberian yang demikian. Bagaimanakah kiranya, ia memandang besar? Kalau naiklah ia ke derajat yang lebih tinggi, lalu memberikan semua hartanya ataupun sebahagian besar daripadanya, maka hendaklah ia memperhatikan, bahwa dari manakah harta itu datang dan k em an a kah hendak digunakannya? Harta itu, adalah kepunyaan Allah 'Azza wa Jalla. Allah boleh menyebut-nyebutkannya, karena telah meanugerah kannya kepada seseorang dan memberikan taufiq kepada orang itu untuk menye-rahkannya. Maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberiannya pada hak Allah Ta'ala, akan sesuatu yang sebetulnya kepunyaan Allah Ta'ala? Kalau keadaannya menghendaki, bahwa ia memandang ke akhirat dan memberikannya untuk memperoleh pahala, maka mengapakah ia membesar-besarkan pemberian yang ditunggukannya pahala yang berlipat ganda?.

Adapun amal, maka ia memberikan harta itu, sebagai pemberian karena malu dari kekikiran, dengan menahan sisa hartanya daripada Allah 'Azza wa Jalla. Maka adalah sifatnya, merasa enggan dan malu, seperti sifat orang yang diminta mengembalikan barang simpanan yang ada padanya. Maka ditahannya setengah dan di-kembalikannya setengah, sedang harta seluruhnya adalah kepunyaan Allah 'Azza wa Jalla. Menyerahkan seluruhnya adalah lebih disukai Allah Subhaanahuwa Ta'aalaa. Sesungguhnya Dia tidak menyuruhkan hambaNya dengan demikian karena menyusahkan bagi hamba itu, lantaran kekikirannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta'ala :
 فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُو
(Fayuhfikum tabkhaluu) = Artinya : "Maka didesakkan Allah akan kamu, niscaya kamu akan kikir". (S. Muhammad, ayat 37).

Tugas Ketujuh : bahwa dipilihnya daripada hartanya yang paling baik, yang paling disayanginya, yang paling mulia dan yang paling cantik. Karena Allah Ta'ala itu baik, tidak menerima melainkan yang baik. Apabila yang dikeluarkan untuk sedekah itu, dari harta yang diragukan haialnya (harta syubhat), maka kadang-kadang harta itu bukan miliknya secara mutlak. Sehingga tidaklah harta itu menjadi sebagaimana yang diharapkan.

Tersebut pada hadits yang diriwayatkan Aban dari Anas bin Malik: (Thuubaa li'abdin anfaqa min maaliniktasabahu min ghairi ma'-shiyah). Artinya : "Amat baiklah kiranya bagi seorang hamba, yang mengeluarkan untuk sedekah dari harta yang diusahaknnnya, tidak dari kema'siatan". (1)

Apabila yang dikeluarkan itu, tidak daripada harta yang baik, maka itu adalah setengah daripada kurang adab (kurang sopan). Karena mungkin ditahannya yang baik untuk dirinya sendiri atau untuk hambanya atau untuk keluarganya. Jadi ia lebih memilih dan me-mentingkan orang lain, daripada Allah Ta'ala.

Kalau diperbuatnya demikian terhadap tamunya, disugu kannya makanan yang paling buruk kepada tamu itu di rumahnya, maka sesungguhnya ia menyesakkan dadanya dengan yang demikian. Demikianlah kiranya, kalau ada pandangannya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dan kalau pandangannya kepada dirinya sendiri dan pa-halanya di akhirat, maka tidaklah namanya berakal, orang yang mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Dan tidaklah harta itu menjadi kepunyaannya, selain daripada apa yang telah di sedekahkannya. Maka itulah yang kekal. Atau apa yang telah dimakannya, maka itulah yang binasa. Dan apa yang dimakannya, adalah menunaikan hajat hidup yang sekarang. Maka tidaklah termasuk berakal, orang yang memperhatikan semata-mata kepada masa dekat dan meninggalkan penyimpanan untuk masa depan.



1) Dirawikan ibnu 'Uda dan Al-Bazzar dari Anas.
Berfirman Allah Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ
(Yaa-ayyuhal ladziina aamanuu anfiquu min thayyibaati maa kasabtum wa mimmaa akhrajnaalakum minal ardli wa laa tayam-mamul khabiitsa minhu tunfiquuna wa lastum bi-aakhidziihi illaa an tughmidluu fiih).Artinya : "Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (keluar-kanlah) sebahagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluar kan dari bumi dan janganlah kamu pilih kan yang buruk-buruk diantaranya yang akan kamu nafkahkan; sedang-kan kamu sendiri tak mau mengambilnya (kalau diberikan kepada kamu), melainkan dengan memincingkan mata". (S. Al-Baqarah, ayat 267).Artinya : kamu tidak mengambilnya, kecuali dengan merasa benci dan malu. Itulah artinya memincingkan mata. Maka tidaklah kamu memilihkan Tuhanmu dengan demikian.

Pada hadits tersebut : "Didahulukan oleh sedirham, akan seratus ribu dirham (1) Yaitu dengan dikeluarkan oleh seseorang dari hartanya, yang paling halal dan yang paling baik. Maka keluarlah yang demikian itu dengan kerelaan dan kegembiraan memberikannya.Kadang-kadang dikeluarkannya seratus ribu dirham daripada hartanya yang tidak disukainya. Maka yang demikian itu, menunjukkan bahwa dia tidak mengutamakan Allah 'Azza wa Jalla, dengan sesuatu yang dikasihinya. Dengan sebab yang demikianlah, maka dicacikan oleh Allah suatu golongan yang menjadikan untuk Allah, apa yang tidak disukai mereka. Berfirman Allah Ta'ala :



 (1)Dirawikan An-Nasa-i dan Ibnu Hibban dan dipandangnya shahih, dari Abu Hurairah.
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ مَا يَكْرَهُونَ وَتَصِفُ أَلْسِنَتُهُمُ الْكَذِبَ أَنَّ لَهُمُ الْحُسْنَى لا
(Wa yaj'aluuna lillaahi maa yakrahuuna wa tashifu alsinatuhumul kadziba anna Iahumul husnaa laa).Artinya : "Dan mereka hubungkan dengan Allah, apa-apa yang tidak mereka snkai (untuk diri mereka) dan lidah mereka menceri-terakan kepalsuan, bahwa mereka akan mendapat kebaikan. Tidak"

Sebahagian ahli bacaan Al-Quran (ahli qira-at) berhenti (waqaf) pada kata-kata "Tidak" itu, untuk membohongi mereka, kemudian memulai lagi dan menyambung :
جَرَمَ أَنَّ لَهُمُ النَّارَ
(jarama anna iahumun naar) Artinya : "Sesungguhnya untuk mereka, adalah neraka". (S, An-Nahi, ayat 62).Bermakna: Sesungguhnya bagi mereka neraka, karena mereka jadikan bagi Allah, apa yang tidak mereka sukai.

Tugas Ke delapan : hendaklah dicari untuk menerima sedekahnya, orang yang menjadi suci sedekahnya dengan orang itu. Dan tidak dicukupkan saja, asal orang itu termasuk dalam golongan yang delapan. Karena dalam keseluruhan golongan yang delapan itu, terdapat sifat-sifat tertentu. Maka hendaklah diperhatikannya sifat-sifat yang tertentu itu, yaitu enam perkara.

1. Hendaklah dicarikan orang-orang yang taqwa, yang berpaling dari dunia, menjuruskan hidupnya untuk perniagaan akhirat. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Janganlah engkau makan, selain dari makanan orang yang bertaqwa dan janganlah dimakan makanan engkau, selain oleh orang yang bertaqwa (1). Inilah kiranya, karena orang yang bertaqwa itu, dapat meminta pertolongan kepada caqwa. Maka adalah anda bersama-sama dengan dia dalam mengerjakan tha'at, disebabkan anda memberikan pertolongan kepadanya. Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم "Berikanlah makanan-mu kepada orang-orang yang taqwa dan tujukanlah perbuatan baikmu kepada orang-orang mu'min". (2) Dan pada riwayat yang Iain, tersebut ; "Tambahkanlah makanan mu kepada orang yang engkau kasihipada jalan Allah Ta'ala". (3)



(1)Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan Abi Sa'id,
(2)Dirawikan ibnul-Mubarak dari Abi Sa'id. Kata Ibnu Thahir, hadits ini gharib dan majhul.
(3)Dirawikan Ibnul-Mubarak dari Adl-dlahhak, hadits mursal.
Adalah sebahagian ulama, mengutarakan makanannya kepada orang-orang shufi yang fakir, tidak kepada orang lain. Lalu orang bertanya kepadanya : "Kalau tuan ratakan pemberian tuan itu kepada semua orang fakir, tentulah lebih baik". Ulama itu menjawab : "Tidak! Cita-cita dari fakir yang shufi itu, adalah semata-mata kepada Allah Ta'ala. Kalau datanglah kepapaan kepada mereka, niscaya hancurlah cita-cita seseorang mereka. Dari itu, aku lebih menyukai mengembalikan cita-cita seseorang kepada Allah 'Azza wa Jalla, daripada memberikan kepada seribu orang, yang cita-citanya duniawi".

Ucapan yang di atas ini,disampaikan orang kepada Junaid, maka diterimanya dengan baik, seraya mengatakan : "Yang mengucapkan kata-kata ini adalah salah seorang daripada aulia Allah Ta'ala". Seterusnya Junaid mengatakan : "Belum pernah aku mendengar sejak dahulu, perkataan yang lebih baik daripada ini".

Kemudian, diceriterakan, bahwa ulama yang mengucapkan kata-kata di atas tadi, rusak keadaan perniagaannya. Ia bercita-cita meninggalkan tokonya, lalu Junaid mengirimkan bantuan harta kepadanya dan berpesan : "Jadikanlah harta ini modalmu Janganlah engkau tinggalkan toko itu, karena berniaga tidaklah mendatangkan melarat bagi orang, yang seperti engkau".

Ulama itu adalah penjual sayur-sayuran, tidak mau mengambil pembayaran dari orang-orang fakir yang membeli padanya.
2.Hendaklah orang yang dikhususkan diberikan itu dari ahli ilmu khususnya. Karena yang demikian, adalah menolong orang itu kepada ilmu. Dan ilmu adalah ibadah yang paling mulia, manakala benar niat padanya.
Adalah Ibnul-Mubarak mengkhususkan pemberiannya kepada ahli ilmu, lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah tidak tuan katakan pemberian itu?".la menjawab : "Aku tidak mengenal  sesudah derajat kenabian, yang lebih utama daripada derajat alim-ulama. Apabila hati salah seorang ulama terganggu dengan sesuatu keperluan, maka tidaklah tercurah hatinya itu kepada ilmu dan tidak lagi menerima orang untuk belajar. Dari itu, berusaha mencurahkan hati mereka kepada ilmu, adalah lebih utama".

3.Hendaklah orang yang diberikan itu, orang yang benar taqwanya dan ilmunya dengan ketauhidan. Ketauhidannya itu, ialah apa-bila ia menerima pemberian lalu memujikan Allah, mensyukuriNya dan memandang bahwa nikmat itu daripadaNya. Dan ia tidak memandang kepada perantaraan (si pemberi).

Inilah kesyukuran hamba yang sebaik-baiknya kepada Allah swt. Yaitu : memandang bahwa nikmat itu semuanya adalah daripadaNya.

Dalam wasiat Luqman kepada puteranya, tersebut : "Janganlah engkau adakan diantara engkau dan Allah, pemberi nikmat yang lain  dan engkau hitung nikmat dari orang lain itu kepada engkau sebagai hutang. Dan barangsiapa mensyukuri selain kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dia seolah-olah tidak mengenal  yang memberikan nikmat itu. Dan tidak meyakini bahwa orang perantaraan itu, adalah terpaksa diperuntukkan untuk memberi dengan penunjukan Allah 'Azza wa Jalla. Karena Allah Ta'ala telah menguasakan kepadanya faktor-faktor untuk berbuat dan memudahkan sebab-sebab untuk berbuat. Lalu orang itu memberikan dan dia itu terpaksa. Kalau ia menolak, tidak mau memberikannya, maka ia tidak sanggup, setelah dicurahkan Allah ke dalam hatinya, bahwa kemuslihatan agamanya dan dunianya adalah pada perbuatan itu.

Manakala penggerak sudah kuat, niscaya mengharuskan yang demikian, akan keteguhan kemauan dan kebangkitan kesanggupan. Dan tidak hamba itu, sanggup menantang penggerak yang kuat, yang tak. ada keraguan lagi padanya. Allah 'Azza wa Jalla juayang menjadikan penggerak-penggerak itu dan membangkitkannya, menghilangkan kelemahan dan kesangsian daripadanya. Menentukan kesanggupan untuk bangun, menurut yang dikehendaki penggerak-penggerak itu.

Siapa yang meyakini akan ini, niscaya tidak ada baginya pandangan selain kepada Yang Menyebabkan sebab-sebab itu. Keyakinan seperti hamba ini adalah lebih bermanfa'at bagi si pemberi, daripada pujian dan ucapan syukur dari orang lain.

Maka yang demikian itu, adalah gerakan lidah, pada kebanyakan hal, yang sedikit faedahnya. Dan memberi pertolongan kepada seumpama hamba yang bertauhid ini, tidaklah sia-sia.

Adapun orang yang memuji dengan pemberian dan mendo'akan dengan kebajikan, maka akan mencaci bila tidak diberikan lagi dan akan mendo'akan dengan kejahatan, ketika disakitkan hatinya. Dan hal-ikhwalnya, adalah berlebih-kurang.

Diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم : "Mengirimkan pemberian kepada sebahagian orang fakir dan mengatakan kepada utusan yang membawa pemberian itu : "Hafalkanlah apa yang diucapkan fakir itu!".

Tatkala fakir menerimanya, lalu mengucapkan : "Segala pujian bagi Allah yang tidak lupa akan siapa yang mengingatiNya dan tidak menyianyiakan akan siapa yang mejisyukuriNya". Kemudian fakir itu menyambung lagi : "Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau tidak melupakan si Anu (maksudnya, dirinya sendiri), maka jadikanlah si Anu tidak melupakan Engkau". Ia maksudkan dengan si anu dirinya sendiri.Utusan itu menceriterakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم apa yang didengarnya, maka amat gembiralah Nabi صلى الله عليه وسلمlalu bersabda : "Aku tahu, memang ia mengucapkan yang demikian ". (1)

Lihatlah betapa perhatiannya, hanya tertuju kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa .

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada seorang laki-laki : "Bertobatlah!". Maka menjawab laki-laki itu : "Aku bertobat kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak aku bertobat kepada Muhammad!".
Menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم  "Diperkenalkan kebenaran kepada ahlinya " (2)

Tatkala turun ayat suci, yang menerangkan terlepasnya 'Aisyah ra. daripada berita palsu, maka berkata Abu Bakar ra. kepada 'Aisyah ra. : "Bangunlah dan peluklah kepala Rasulullah  صلى الله عليه وسلم Maka menjawab 'Aisyah ra. : "Demi Allah, aku tidak mau dan aku tidak memujikan, selain Allah!".Lalu menjawab Nabi saw. : "Biarkanlah dia, wahai Abu Bakar!".

Pada riwayat Iain, tersebut, bahwa 'Aisyah berkata kepada Abu Bakar ra. : "Dengan memujikan Allah, tidak dengan memujikan engkau dan shahabat engkau!".

Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم  tidak membantah yang demikian, sedang wahyu itu sampai kepada 'Aisyah ra. dengan perantaraan lisan Rasulullah صلى الله عليه وسلم  saw.   (3)



1)Menurut Al-lraqi, ia menjumpai hadits ini dalam suatu hadits dla'if dari Ibnu Umar.
2)Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari Al-Aswad bin Surai', dengan sanad dla'if.
3)Berita palsu, yang disiarkan oleh pihak musuh, bahwa 'Aisyah isteri junjungan kita telah berbuat serong. Maka turunlah ayat suci membantah berita bohong yang diadaadakan itu, yaitu : "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu, adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira -perbuatan- itu memburuk -kan kamu, tetapi membaikkan kamu. Setlap orang mendapat (hukuman) dari dosa yang dikerjakan. Dan stapa diantara mereka yang mengambil bahagian terbesar, dia akan memperoleh siksaan yang besar pula". S. An-Nur, ayat 11 (peny).Hadits tersebut dirawikan Abu Dawud dari 'Aisyah ra.
Memandang segala sesuatu, selain daripada Allah Subhaanahuwa Ta'aalaa, adalah sifat orang-orang kafir. Berfirman Allah Ta'ala :
 وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
(Wa idzaa dzukirallaahu wahdahusyma-azzat quluubul ladziina laa yu'minuuna bil aakhirati wa idzaa dzukiralladziina min duunihii idzaahum yastabsyiruun)Artinya : "Ketika disebut Allah saja sendirian, amatlah kesal hati orang-orang yang tiada mempercayai hari kemudian itu. Tetapi ketika disebut (berhala-berhala) lain dari Tuhan, lihatlah mereka amat gembira". (S. Az-Zumar, ayat 45).

Dan siapa yang tiada bersih bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari segi sebagai perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya daripada syirik yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah Ta'ala, pada membersihkan tauhidnya dari segala kotoran dan campuran syirik.

4. Hendaklah orang yang diberikan itu, menutup dan menyembunyikan hajat keperluannya. Tidak membanyakkan ceritera dan pengaduan. Atau ada dia orang yang berpribadi, sebahagian dari orang yang telah hilang nikmat dari tangannya dan masih tetap adat kebiasaannya yang baik, di mana ia meneruskan kehidupannya dalam pakaian keelokan. Berfirman Allah Ta'ala :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
(Yahsabuhumul jaahilu aghniyaa-a minat ta'affufi, ta'-rifuhum bisiimaahum, laa yas-aluunan naasa ilhaafaa).Artinya  "Orang yang tidak tahu, mengira bahwa mereka masih kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta); kamu kenal mereka dengan' tanda-tandanya, mereka tidak mau meminta pada orang berulang-ulang". (S. Al-Baqarah, ayat 273). Artinya : mereka tiada berulang-ulang meminta, karena mereka adalah orang-orang kaya dengan keyakinan dan orang-orang mulia dengan kesabaran.Dan ini, seyogialah dicari dengan memeriksa dari ahli-ahli agama  pada tiap-tiap tempat. Dan menyelidiki tentang bathin keadaan dari ahli-ahli kebajikan dan keelokan. Maka pahala menyerahkan pemberian yang baik kepada mereka, adalah berlipat-ganda daripada menyerahkan kepada orang-orang yang berterang-terangan meminta.

5.Hendaklah ada orang yang diberikan itu, berkeluarga banyak atau terkurung disebabkan karena sakit ataupun sebab-sebab yang lain. Maka terdapatlah pada orang yang tersebut tadi, maksud daripada firman Allah 'Azza wa Jalla :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
(Lilfuqaraa-illadziina uhshiruu fii sabiilillaah).Artinya : "(Berikanlah sedekah itu) untuk orang-orang fakir, yang terkepung di jalan Allah". (S. Al-Baqarah, ayat 273).Artinya : mereka tertahan pada jalan akhirat, disebabkan penyakit atau kesempitan hidup atau perbaikan hati. Mereka tidak sanggup berjalan keliling negeri, karena mereka terpotong sayap dan terikat kaki dan tangannya.

Dengan sebab-sebab inilah Umar ra. memberikan kepada keluarga Nabi saw. yang keputusan belanja, sepuluh ekor kambing dan lebih dari itu. Dan adalah Nabi saw. sendiri "memberikan sesuatu pemberian, menurut banyak keluarga".

Ditanyakan Umar ra. tentang bencana yang sungguh-sungguh, maka menjawab Umar : "banyak keluarga dan sedikit harta".
6.Hendaklah ada yang menerima itu, sebahagian dari keluarga dan fainili pihak ibu, maka jadilah itu sedekah dan silatur-rahmi. Dan pada silatur-rahmi itu, terdapat pahala yang tidak terhingga. Berkata Ali ra. : "Adalah lebih aku sukai menyambungkan silatur-rahmi seseorang daripada saudaraku dengan satu dirham, daripada bersedekah dengan dua puluh dirham. Dan menyambung silatur-rahmi dengan dua puluh dirham, adalah lebih aku sukai daripada bersedekah sebanyak seratus dirham. Dan menyambung silatur-rahmi dengan seratus dirham, lebih aku sukai daripada aku merdekakan seorang budak".

Teman-teman dan juga saudara-saudara pada jalan kebajikan, didahulukan, dari segala orang yang berilmu pengetahuan, sebagaimana didahulukan kaum keluarga dari orang-orang asing (yang bukan keluarga).Maka hendaklah dijaga yang halus-halus ini!.

Inilah sifat-sifat yang diminta dan masing-masing sifat itu mempunyai tingkat. Maka seyogialah dicari tingkat yang tertinggi. Kalau diperoleh orang yang mengumpulkan sejumlah dari sifat-sifat ini, maka adalah itu suatu simpanan besar dan rampasan agung. Manakala berusaha sungguh-sungguh yang demikian dan benar (tidak salah), maka ia memperoleh dua pahala. Dan jika salah, maka ia memperoleh satu pahala.

Salah satu dari kedua pahalanya, pada sekarang juga, yaitu mensucikan dirinya dari sifat kikir dan menguatkan cinta kepada Allah dalam hatinya dan kesungguhannya mentha'ati Allah. Dan sifat-sifat inilah yang menguatkan dalam hatinya, lalu merin-dukannya berjumpa dengan Allah 'Azza wa Jalla.

Pahala kedua, ialah yang kembali kepadanya, daripada faedah do'a dan cita-cita yang baik dari yang menerima zakat. Hati orang-orang baik itu, mempunyai bekas sekarang dan di akhirat nanti.

Kalau benarlah ia, maka berhasillah dua pahala. Dan kalau salah, maka berhasil pahala pertama, tidak pahala kedua.

Maka dengan ini, berlipat-gandalah pahala orang yang memperoleh kebenaran pada ber-ijtihad di sini dan pada tempat-tempat yang lain.
Allah Yang Maha Tahu! Wallaahu alam!.
Pasal ketiga : Tentang orang yang menerima zakat, sebab-sebab ia berhak menerimanya dan tugas-tugas penerimaan.
Penjelasan : sebabsebab berhak menerima zakat
Ketahuilah, bahwa tiada berhak menerima zakat, selain orang merdeka, muslim, tidak keturunan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, bersifat dengan salah satu dari sifat delapan yang tersebut dalam Kitab Allah Azza wa jalla (Al-Qur'an).Dan tidaklah zakat itu diserahkan kepada orang kafir, hamba saha-ya, Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Adapun anak kecil dan orang gila, maka boleh diserahkan zakat kepadanya, apabila diterima oleh walinya. Marilah sekarang, kami sebutkan sifat-sifat dari golongan delapan itu :

Golongan Pertama := Orang fakir.

Orang fakir : ialah orang yang tidak mempunyai harta dan tidak sanggup berusaha. Kalau ia mempunyai makanan yang mencukupi sehari dan pakaian untuk dipakainya sekarang, maka tidaklah ia orang fakir, tetapi orang miskin. Kalau ia mempunyai makanan untuk mencukupi setengah hari, maka dia itu orang fakir. Kalau ia mempunyai kemeja panjang dan tidak mempunyai sapu tangan, alas kaki dan celana, sedang harga kemeja panjang itu tidak mencukupi untuk semua yang tadi, menurut yang layak bagi orang fakir, maka dia itu orang fakir namanya. Karena dia sekarang tidak mempunyai apa yang diperlukannya dan apa yang tidak disanggupinya.

Maka tidak seyogialah disyaratkan pada fakir itu, bahwa ia tidak mempunyai pakaian selain dari penutup aurat, karena syarat yang demikian itu, adalah berlebih-lebihan. Biasanya tidak diperoleh orang yang seperti itu.

Dan tidaklah keluar dari nama fakir, karena ia biasa meminta-minta. Maka tidaklah meminta-minta itu, dinamakan usaha. Kecuali ia sanggup berusaha, maka dengan ini, ia dikeluarkan dari nama fakir.Kalau sanggup ia berusaha dengan sesuatu perkakas, maka dia itu fakir, dan boleh dihelikan untuknya perkakas itu.

Kalau sanggup ia berusaha yang tidak layak dengan kepribadiannya dan dengan keadaan orang yang seperti dia, maka itu fakir nama-nya. Kalau ia sedang belajar dan terhalang dari belajar dengan berusaha, maka dia itu fakir dan tidak dikira kesanggupannya bekerja.

Kalau ia seorang yang beribadah, yang dihalangi oleh berusaha itu, daripada segala tugas ibadah dan wirid-wirid waktunya, maka hendaklah ia berusaha. Karena berusaha adalah lebih utama daripada beribadah.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :
طلب الحلال فريضة بعد الفريضة (Thalabul halaali fariidlatun ba'dal fariidlah).Artinya : "Mencari yang halal, adalah fardlu sesudah mengerjakan yang fardlu (1)

Dimaksudkan dengan "mencari halal" itu, ialah bekerja mencari perbelanjaan. Berkata Umar ra.: "Berusaha pada harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), adalah lebih baik daripada meminta-minta".Kalau ia berkecukupan dengan perongkosan dari orang tuanya atau dari orang yang wajib menanggungperbelanjaannya, maka ini adalah lebih mudah daripada berusaha. Maka tidaklah ia dinamakan fakir.

Golongan Kedua : Orang miskin :
Orang miskin, ialah orang yang tidak mencukupi uang masuknya untuk uang keluarnya. Kadang-kadang orang yang mempunyai seribu dirham, dinamakan miskin dan kadang-kadang orang yang tidak mempunyai selain dari sebuah kapak dan sehelai tali, dinamakan kaya. Sebuah gubuk kecil yang ditempatinya dan sehelai kain yang menutupkan tubuhnya sekedar perlu, tidaklah menghilangkan nama miskinnya.Demikian juga, perabot rumah, yakni yang diperlukan dan yang layak baginya. Begitu pula kitab-kitab fiqih, tidaklah melepaskan dia daripada nama miskin.Apabila tidak dimilikinya, selain dari kitab-kitab, maka tidaklah wajib atasnya zakat fithrah. Karena kitab itu, disamakan hokumnya dengan kain dan perabot rumah, karena diperlukan kepadanya. Tetapi, seyogialah diperhatikan sungguh-sungguh tentang keperluan kepada kitab itu.



 (1) Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad dla'if.
Kitab adalah diperlukan karenatiga macam maksud, yaitu : untuk mengajar, untuk mengambil faedah daripada isinya dan untuk memperoleh kesenangan dengan membacanya. (untuk penghibur).

Adapun keperluan untuk memperoleh kesenangan dengan membaca buku-buku itu, maka tidak masuk kiraan. Seperti menyimpan buku-buku syair, sejarah dari berita-berita lama dan sebagainya, yang tidak bermanfa'at di akhirat dan tidak berlaku di dunia ini, selain untuk perintang waktu dan penghibur. Buku yang semacam ini, dijual untuk membayar kafarat dan zakat fithrah. Dan dilarang menamakan miskin orang yang mempunyainya.

Adapun keperluan mengajar kalau mengajar itu untuk usaha mencari perbelanjaan, seperti juru nasehat, pengajar dan pemberi pelajaran dengan memperoleh balasan jerih-payah,maka. buku-buku itu adalah perkakasnya. Tidak boleh dijual untuk pembayar fithrah, seperti alat perkakas tukang jahit dan tukang-tukang yang lain.

Kalau dipakainya buku-buku itu, untuk mengajar buat menegakkan fardlu kifayah, maka buku-buku tersebut tidak dijual dan tidak mencabutkan dia dari nama miskin, karena itu adalah keperluan yang penting. Adapun keperluan untuk memperoleh faedah daripada isinya dan untuk belajar daripadanya, seperti menyimpan buku-buku kesehatan untuk mengobati diri sendiri atau kitab nasehat, untuk dibaca sendiri dan untuk memperoleh pengajaran dengan isinya, maka kalau dalam negeri itu adalah dokter dan juru nasehat, niscaya buku-buku itu tidak begitu penting baginya. Kalau tidak ada, maka benarlah dia memerlukan kepada buku itu.

Kadang-kadang, dia tidak memerlukan membaca buku tersebut, kecuali sesudah beberapa lama kemudian. Maka seyogialah dipastikan masa memerlukan kepadanya.Yang lebih dekat kepada kebenaran, hendaklah dikatakan, bahwa manakala tidak diperlukan kepadanya dalam setahun, maka adalah buku itu tidak penting baginya.Sesungguhnya, siapa yang berlebih dari makanan harinya sesuatu, niscaya wajiblah ia mengeluarkan fithrah. Apabila makanan kita taksirkan mencukupi untuk sehari, maka keperluan perabot rumah tangga dan pakaian di badan, selayaknyalah ditaksir untuk setahun.

Dari itu, tidak dijual pakaian musim panas pada musim dingin. Dan buku-buku adalah serupa dengan pakaian dan perabot rumah tangga. Kadang-kadang dia mempunyai dari semacam buku dua buah, maka tidaklah memerlukan kepada salah satu daripada keduanya.Kalau ia mengatakan : "Yang satu lebih benar dan yang satu lagi lebih baik. Aku memerlukan kepada kedua-duanya!".Maka kami menjawab : "Cukupkanlah dengan yang lebih benar, jualkanlah yang lebih baik dan tinggalkanlah penghiburan dan kerne wahan!".
Kalau ada dua macam buku dari satu ilmu pengetahuan, yang satu secara luas dan yang satu lagi secara singkat, maka kalau maksudnya untuk memperoleh faedah, maka hendaklah dicukupkannya dengan yang secara luas. Dan kalau maksudnya untuk memberi pelajaran, maka berhajatlah ia kepada kedua-duanya, karena masing-masing ada faedahnya, yang tidak terdapat pada yang lain .

Contoh-contoh untuk gambaran-gambaran yang serupa ini, tidaklah terhingga banyaknya dan tidak dibentangkan dalam ilmu fiqih. Dan kami bentangkan di sini, adalah karena merata bahayanya dan menjaga dengan kebagusan pandangan ini kepada yang lain.

Sesungguhnya menyelidiki secara mendalam, gambaran-gambaran itu, adalah tidak mungkin. Karena seperti pandangan ini mengenai perabot rumah adalah melampaui tentang ukurannya, bilangannya dan macamnya. Dan mengenai pakaian di badan dan di rumah, tentang luasnya dan sempitnya. Dan tidaklah hal-hal ini mempunyai batas tertentu. Tetapi ulama fiqih berusaha benar-benar tentang itu dengan buah pikirannya dan ia mendekatkan kepada pembatasan-pembatasan itu, dengan pendapat yang dikemukakannya. Dan dihadapinya bahaya syubhat dalam hal tersebut.

Orang wara', mengambil dengan berhati-hati dan meninggalkan apa yang meragukannya kepada yang tidak meragukannya.Tingkat-tingkat menengah yang menyulitkan, diantara segi-segi yang nyata-nyata bertentangan, adalah amat banyak. Dan tidaklah terlepas daripadanya, selain dengan berhati-hati. 

Wallaahu a'lam : Allah Yang Maha Tahu!.


Golongan ketiga : yang bekerja pada zakat ('amil)

Mereka adalah para pekerja yang mengumpulkan zakat, selain dari khalifah (kepala pemerintah) dan qadli (hakim). Dan termasuk dalam golongan 'amil zakat, orang yang mengamat-amati zakat, penulis urusan zakat, orang yang mengurus, supaya zakat itu dilak-sanakan dengan sempurna, penjaga zakat dan pengangkut zakat. Masing-masing mereka, tidak dilebihkan upahnya dari upah yang layak. Kalau berlebih sesuatu harga dari yang diserahkan kepada 'amil itu, dari upahnya yang layak, maka yang berlebih itu dikem-baiikan untuk diserahkan kepada golongan penerima zakat yang lain. Dan kalau berkurang, maka dicukupkan dari harta kepentingan umum.

Golongan keempat : orang muallaf (orang yang ditarik hatinya kepada Islam). Yaitu orang-orang yang terkemuka yang telah me-meluk agama Islam, di mana mereka berpengaruh dalam kaumnya. Dan dengan menyerahkan zakat kepada mereka, membawa mereka tetap di dalam agama Islam dan menarik hati orang-orang yang setaraf dan pengikut-pengikutnya.

Golongan kelima : orang mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta, untuk diserahkan kepada tuannya, sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya). Maka diserahkan bahagian dari mukatab ini kepada tuannya. Dan kalau diserahkan kepada si mukatab sendiri, boleh juga, Dan si tuan itu tidak boleh menyerahkan zakatnya kepada muka-tabnya sendiri, karena terhitung budaknya.

Golongan keenam gharim (orang yang berhutang), yaitu : yang berhutang pada mentha'ati Allah atau pada pekerjaan yang dibolehkan (pekerjaan mubah), sedang ia seorang fakir, Kalau berhutang pada jalan ma'siat, maka tidak diberikan zakat, kecuali setelah ia bertobat. Dan kalau ia seorang kaya, maka tidak dilunaskan hutangnya dengan zakat, kecuali apabila ia berhutang untuk kepentingan umum atau untuk memadamkan suatu kekacauan (fitnah).

Golongan ketujuh : ghuzah (kaum pejuang fisabilillah), yaitu mereka yang tidak terdaftar namanya dalam buku orang-orang yang dibelanjai negara. Maka diserahkan kepada mereka sebahagian dari zakat, walaupun mereka itu kaya, untuk memberikan pertolongan kepada mereka dalam peperangan.

Golongan kedelapan : ibnussabil, yaitu,orang yang bermusafir dari negerinya, pada bukan ma'siat atau ia singgah pada negeri itu. Maka diberikan zakat kepadanya, kalau ia seorang fakir. Dan kalau ada hartanya dinegeri lain, niscaya diberikan sekedar, yang menyam-paikannya ke negeri itu.

Kalau anda bertanya : "Dengan apakah dikenal sifat-sifat itu?". Maka kami menjawab, bahwa kefakiran dan kemiskinan, adalah dengan keterangan dari penerima zakat itu sendiri, tanpa diminta-kan bukti dan tanpa disumpahkan. Tetapi bolehlah berpegang kepada perkataannya, apabila tidak diketahui kedustaannya. Berperang dan bermusafir itu, adalah pekerjaan yang akan datang. Dari itu, diberikan zakat kepadanya, dengan pengakuannya : "Aku ini orang yang berperang". Kalau tidak ditepatinya, menurut pengakuannya itu, maka yang telah diterimanya, diminta kembali. Adapun golongan-golongan yang lain, maka hendaklah dibuktikan! Itulah syarat-syarat berhak menerima zakat! Dan tentang jumlah yang diserahkan kepada masing-masing, akan diterangkan nanti.

Penjelasan : Tugas-tugas dari orang yang menerima zakat. Yaitu lima perkara :
Pertama : hendaklah diketahuinya, bahwa Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan penyerahan zakat kepadanya, adalah supaya mencukupi cita-cita dan seluruh cita-citanya menjadi satu. Karena Allah 'Azza wa Jalla menerima ibadah makhlukNya, dengan adanya satu cita-cita hati mereka, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari akhirat. Dan itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
(Wa maa khalaqtul-jinna wal-insa illaa liya'-buduun). Artinya : "Kuciptakan jin dan manusia itu, supaya mereka berbakti (beribadah) kepadaKu (S. Adz-Dzariyat, ayat 56). Tetapi, tatkala hikmah menghendaki, bahwa hamba itu dikuasai hawa nafsu dan hajat keperluannya, di mana hawa nafsu dan hajat keperluan itu mencerai-beraikan cita-citanya, maka kemurahan Tuhan menghendaki kelimpahan nikmat, yang mencukupkan segala hajat keperluan. Lalu diperbanyakkanNya harta dan dituangkan-Nya ke dalam tangan hamba-hambaNya. Untuk menjadi alat bagi mereka dalam menolakkan hajat keperluannya dan menjadi jalan dalam menyelesaikan ketha'atannya.

Diantara mereka, ada yang sebahagian besar dari hartanya, menjadi fitnah dan bencana, lalu harta itu mendorongkannya ke dalam bahaya. Dan diantara mereka, ada yang mencintai harta, yang dapat memeliharakannya daripada kesibukan duniawi, sebagaimana seorang perawat memeliharakan orang sakit yang dirawatinya. Maka terjauhlah dia daripada segala kejijikan duniawi dan mengalirlah kepadanya harta sekedar yang diperlukan, dari tangan orang-orang kaya. Supaya adalah yang demikian itu, usaha yang mudah. Dan payah pada mengumpulkan dan penjagaan harta itu, adalah atas orang-orang kaya tersebut. Dan faedahnya menonjol kepada orang-orang fakir, lalu fakir-fakir itu dapat menyerahkan seluruh jiwa-raganya berbakti kepada Allah dan bersedia untuk sesudah mati. Maka tidak terhalang dari kebaktian oleh segala kejijikan duniawi dan tidak diganggu oleh kesempitan hidup, daripada bersedia bagi hari kemudian.
Inilah nikmat yang setinggi-tingginya!.

Maka hak orang fakir ialah, mengetahui tingkatnya nikmat kefakiran. Dan meyakini bahwa kurnia Allah kepadanya, mengenai sesuatu yang menjauhkannya daripadanya, adalah lebih banyak daripada kurniaNya mengenai sesuatu yang dianugerahiNya, sebagaimana akan datang pembuktian dan penjelasannya pada "Kitab Kefakiran" insya Allah Ta'ala.Maka hendaklah diambilnya, apa yang diambilnya daripada Allah Ta'ala, sebagai rezeki dan pertolongan baginya kepada tha'at. Dan hendaklah niatnya untuk memperoleh kekuatan mentha'ati Allah. Kalau ia tidak sanggup kepada yang demikian, maka hendaklah harta itu digunakannya kepada yang diperbolehkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Kalau digunakannya untuk penolong berbuat ma'siat kepada Allah Ta'ala , niscaya adalah ia orang yang kufur (tidak mensyukuri) akan segala nikmat Allah 'Azza wa Jalla. berhak kejauhan dan kutukan daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua : hendaklah disyukurinya orang yang memberi, dido'akan dan dipujikan. Syukur dan do'anya itu, hendaklah tidak keluar dari kedudukan si pemberi selaku perantaraan. Tetapi dia adalah jalan sampainya nikmat Allah kepadanya. Dan jalan itu mempunyai hak, di mana dia telah dijadikan Allah sebagai jalan dan perantaraan. Dan tidaklah ia menghilangkan penglihatan nikmat daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم  :من لم يشكر الناس لم يشكر الله
(Man lam yasykurin-naasa lam yasykurillaah). Artinya : "Siapa yang tidak mensyukuri manusia, niscaya ia tidak mensyukuri Allah (1) Allah 'Azza wa Jalla memujikan hambaNya pada beberapa tempat atas amal perbuatan mereka, padahal Dia yang menjadikan dan yang menciptakan kudrat pada perbuatan-perbuatan itu, seperti firmanNya :(Ni'mal 'abdu innahuu awwaab) =  نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Artinya : "la adalah seorang hamba Allah yang amat baik! Sesungguhnya dia senantiasa kembali kepadaNya (S. Shad, ayat 30). Dan pada beberapa tempat yang lain.

Hendaklah penerima zakat, mengucapkan dalam do'anya : "Disucikan Allah kiranya hatimu dalam hati orang-orang baik, dibersihkan Allah amalanmu dalam amalan orang-orang pilihan dan diberikan Allah rahmat kepada ruhmu dalam ruh orang-orang syahid".

Bersabda Nabi saw. : "Siapa yang menyerahkan kepadamu sesuatu pemberian yang baik, maka balaskanlah pemberian itu! Jikalau kamu tidak sanggup, maka berdo'alah kepadanya, sehingga kamu mengetahui, bahwa kamu telah membalaskan pemberiannya". (2) Setengah daripada kesempurnaan syukur, ialah menutupkan kekurangan yang ada pada pemberian, kalau ada padanya kekurangan. Dan tidak menghina dan mencaci akan pemberian itu,Dan tidak diberi malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah memandang besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya dan kepada orang lain.



(1)Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Sa'id. Abu Dawud dan ibnu Hibban dari Abi Hurairah dan katanya hadits hasan shahih.
(2)Dirawikan Abu Dawud dan An-Nasa-i dari Ibnu Umar dengan isnad shahih.
Dan tidak diberi malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah memandang besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya dan kepada orang lain.

Tugas si pemberi, ialah memandang kecil amalan yang dikerjakan-nya. Dan tugas si penerima, ialah mengingati nikmat yang diperolehnya dan hendaklah memandangnya besar. Masing-masing hamba Aliah itu, hendaklah berdiri pada hak kewajibannya. Dan yang demikian itu, tidak ada padanya pertentangan. Karena yang mewajibkan untuk memandang kecil dan besar adalah bertentangan. Yang bermanfa'at bagi si pemberi, ialah memperhatikan sebab-sebab yang membawa kecil arti pemberian nya dan memberi melarat yang sebalik dari itu.

Dan bagi yang menerima adalah sebaliknya. Sehingga masing-masing, tidak berlawanan dengan melihat nikmat itu daripada Allah 'Azza wa Jalla. Karena orang yang tidak melihat perantaraan itu, sebagai perantaraan, adalah orang bodoh. Dan orang yang mungkir, ialah orang yang tidak sekali-kali melihat perantaraan itu.

Ketiga : hendaklah dilihatnya barang yang diambilnya itu. Kalau tidak dari yang halal, hendaklah ia menjaga diri daripadanya.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا  وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
(Wa man yattaqillaaha yaj-'al lahuu makhrajan wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib). Artinya : "'Siapa yang takut (bertaqwa} kepada Allah, maka Dia mengadakan untuk orang itu, jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari (sumber) yang tiada pernah dipikirkannya." (S. Ath-Thalaq, ayat 2 - 3). Orang yang menjaga diri (wara') dan yang haram, terbukalah baginya yang halal.

Dari itu, janganlah diterima harta orang-orang Turki, tentara, pega-wai-pegawai sultan dan orang-orang yang sebagian besar usahanya dari haram. Kecuali kalau dia dalam keadaan yang sempit benar dan barang yang diserahkan kepadanya, tidak diketahuinya, pemiliknya yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, ia boleh mengambil sekedar perlu saja. Karena fatwa dari syari'at, dalam hal yang seperti ini, ialah boleh ia menerima sedekah, berdasarkan kepada apa yang akan diterangkan nanti dalam "Kitab Halal dan Haram". Yaitu apabila ia telah lemah daripada memperoleh yang halal.

Apabila diambilnya pemberian tersebut, maka tidaklah pengambil-an itu pengambilan zakat namanya. Karena tidaklah menjadi zakat dari pembayarnya, dan harta itu haram.

Keempat : hendaklah ia menjaga dari hal-hal yang meragukan dan menyangsikan tentang jumlah yang diambilnya dari zakat. Janganlah ia mengambil, selain daripada jumlah yang diperbolehkan. Dan tidak ia mengambilnya, kecuali apabila ia meyakini benar-benar, bahwa ia termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Kalau ia menerima zakat atas nama golongan mukatab dan gharim, maka janganlah melebihi dari sekedar hutang. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan bekerja pada zakat, maka janganlah melebihi dari ongkos yang layak. Kalau diberikan lebih banyak dari itu, hendaklah ia menolak dan tidak menerimanya. Karena bukanlah itu harta kepunyaan si pemberi, sehingga ia boleh bersedekah begitu saja.

Kalau ia seorang musafir, janganlah melebihi daripada perbekalan dan ongkos kendaraan ke tempat tujuannya, Kalau ia seorang pejuang di medan perang, janganlah ia mengambil, selain daripada apa yang diperlukannya untuk berperang khususnya. Yaitu : kuda, senjata dan belanja. Dan taksiran untuk itu, adalah dengan taksiran yang sungguh-sungguh dan tak adalah baginya batas tertentu.

Dan begitu pula, perbekalan bagi bermusafir. Dan orang wara meninggalkan yang meragukan kepada yang tidak meragukannya. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan kemiskinan, maka hendaklah mula-mula ia memperhatikan kepada perabot rumahnya, pakaian-nya dan kitab-kitabnya. Adakah diantara barang-barang tersebut, yang tidak diperlukannya? Atau tidak diperlukan atas kecantikan-nya, sehingga mungkin diganti dengan barang lain yang memadai baginya dan melebihi sebahagian harganya.

Semuanya itu, memerlukan kepada pemikiran yang sungguh-sung-guh. Ada padanya segi dhahir, di mana ia meyakini bahwa ia berhak dan segi lain yang bertentangan dengan segi dhahir tadi, di mana ia meyakini bahwa ia tidak berhak.

Diantara kedua segi tersebut, terdapat beberapa hal yang di tengah-tengah, yang serupa satu dengan lainnya. Dan siapa yang bermain-main keliling barang yang terlarang, besar kemungkinan ia terjatuh ke dalamnya. Pada dhahirnya, di sini dipegang, adalah kepada perkataan si penerima zakat. Dan yang berkepentingan, pada menentukan kepen-tingannya, mempunyai beberapa tingkatan, tentang kesempitan dan kelapangannya. Dan tingkatan-tingkatan itu tidak terhingga jumlahnya. Orang wara', condong kepada kesempitan dan orang yang menganggap enteng tentang sesuatu, condong kepada kelapangan. Sehingga ia memandang dirinya memerlukan kepada bermacam-macam seni kelapangan, yaitu hal-hal yang terkutuk pada agama.


Kemudian, apabila telah tertentu keperluannya, maka janganlah si penerima zakat itu, mengambil lebih banyak. Tetapi sekedar yang mencukupkan kebutuhannya, dari waktu diambilnya sampai kepada masa setahun. Inilah sejauh mungkin masa, yang diberi kesempatan padanya, dari segi bahwa masa setahun, apabila berulang-ulang, niscaya berulang-ulang pula sebab kemasukan uang. Dan dari segi bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyimpan untuk keluarganya makanan setahun. (1)

Inilah yang lebih mendekati kepada kebenaran, batas an yang mem-batasi fakir dan miskin. Kalau disingkatkan kepada keperluannya untuk sebulan atau sehari, maka ini adalah lebih mendekati kepada taqwa. Berbeda pendapat diantara beberapa madzhab dari para ulama, tentang jumlah yang diambil menurut hukum zakat dan sedekah. Diantaranya, ada yang bersangatan benar sedikitnya, kepada batas yang mengharuskan, disingkatkan kepada sekedar makanan sehari-semalam dari si penerima zakat itu. Golongan ini berpegang dengan apa yang diriwayatkan Sahl bin Al-Handhaliah, bahwa : "Nabi صلى الله عليه وسلم melarang meminta-minta dalam keadaan kaya". Lalu ditanyakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang kaya itu, maka beliau menjawab : "Mencukupi untuk pagi dan sore". (2)

Berkata golongan lain, boleh si penerima zakat itu mengambil sampai kepada batas kaya. Batas kaya, ialah nishab zakat, karena Allah Ta'ala tidak mewajibkan zakat, selain atas orang-orang kaya. Seterusnya, golongan ini mengatakan, bahwa si penerima zakat boleh mengambil untuk dirinya sendiri dan untuk masing-masing dari keluarganya, sebanyak nishab zakat. Berkata golongan lain pula, bahwa batas kaya, ialah lima puluh dirham atau nilainya dengan emas, karena diriwayatkan Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi saw. bersabda :



 (1)Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Umar.
(2)Dirawikan Abu Dawud dan Ibnu Hibban dari Sahl bin Al-Handhaliah.
قال من سأل وله مال يغنيه جاء يوم القيامة وفي وجهه خموش
(Man sa-ala wa lahu maalun yughniihi jaa-a yaumal qiyaamati wa fii wajhihi khumuusyun). Artinya : "Siapa yang meminta-minta, sedang ia mempunyai harta yang menjadikan ia kaya, niscaya ia datang-pada hari qiamat dan pada mukanya penuh dengan luka yang digaruk-garuk ". Maka ditanyakan Nabi صلى الله عليه وسلم : " Bagaimanakah kayanya itu?". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم  menjawab : "Lima puluh dirham atau nilainya dari emas".(1)

Ada yang mengatakan, bahwa perawi hadits tadi, tidak kuat. Berkata suatu golongan, empat puluh dirham, karena diriwayatkan oleh 'Atha' bin Yassar suatu hadits munqathY (hadits yang putus riwayatnya antara perawi dan Nabi saw., bahwa Nabi saw. bersabda : "Barangsiapa meminta-minta, sedang dia mempunyai satu auqiah perak (empat puluh dirham), maka adalah dia memaksakan diri m emin ta yang tidak dib oleh kan". (2)

Segolongan lam lagi, terlalu benar memberi kelapangan, di mana mereka mengatakan : "Boleh bagi si penerima zakat mengambil suatu jumlah, yang dapat dibelikannya suatu benda. Lalu ia merasa cukup dengan benda itu seumur hidupnya. Atau ia menyediakan suatu barang untuk diperniagakannya. Dan ia merasa cukup dengan barang itu seumur hidupnya, karena inilah yang bernama kaya". Berkata Umar ra. : "Apabila kamu memberi, maka kayakanlah orang yang diberikan itu!". Sehingga segolongan berpendapat, bahwa seorang yang fakir, boleh mengambil jumlah yang membawa ia kepada keadaan yang layak, walau sepuluh ribu dirham. Kecuali apabila ia telah keluar dari batas sederhana.

Tatkala Abu Thalhah sibuk dengan kebunnya, sampai tertinggal shalat, lalu ia berkata : "Aku serahkan kebun ini untuk sedekah!". Maka Nabi صلى الله عليه وسلم berkata : "Serahkanlah kebun itu kepada kerabat-mu. Itu adalah lebih baik bagimu!". Lalu Abu Thalhah menyerahkannya kepada Hassan dan Abu Qatadah. Maka sebuah kebun kurma bagi dua orang, adalah banyak, sehingga tidak memerlukan kepada yang lain.



1) Dirawikan At-Tirmidzi dan An-Nasa-i dari Ibnu Mas'ud.
2) Dirawikan Abu Dawud dan An-Nasa-i dari 'Atha', sebagai hadits muttashil, tidak munqathi'i.
Umar ra. menyerahkan kepada seorang Arab kampung, seekor unta betina serta dengan anaknya.Demikianlah diceriterakan tentang memberikan kelapangan pada bersedekah itu.Adapun menyedikitkan sampai kepada makanan sehari atau sebahagian dari sekati makanan, maka itu datangnya, mengenai tidak disukai meminta-minta dan bulak-balik dari pintu ke pintu rumah orang.

Hal yang seperti itu ditantang benar-benar dan mempunyai kedudukan hukum yang lain. Bahkan; membolehkan, sampai dapat dibelikannya suatu benda, di mana ia merasa cukup dengan benda itu, adalah lebih mendekati kepada suatu kemungkinan dan juga lebih condong kepada keroyalan.

Yang lebih mendekati kepada kesederhanaan, ialah mencukupi setahun. Dan dibalik itu, adalah membahayakan. Sedang kurang dari itu, adalah menyempitkan.Segala persoalan ini, apabila tak ada padanya penentuan sesuatu bahagian dengan tauqif (penentuan yang datang dari Nabi saw.), maka tidaklah bagi orang mujtahid, selain daripada menetapkan hukum dengan apa yang terjadi baginya. Kemudian dikatakan kepada orang yang wara' : "Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka telah berfatwa kepadamu dan mereka telah berfatwa kepadamu", sebagaimana telah disabdakan Nabi saw. Karena dosa itu adalah suatu penyakit hati.Dari itu, apabila yang menerima zakat, memperoleh sesuatu pada dirinya, dari apa yang diambilnya itu, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padanya dan janganlah memandang enteng, karena berdalilkan dengan fatwa dari ulama-ulama dhahir.

Fatwa mereka mempunyai beberapa ikatan dan melepaskan dari hal-hal yang dlarurat. Pada fatwa itu, terdapat dugaan-dugaan dan perbuatan-perbuatan yang meragukan. Dan menjaga dari hal-hal yang meragukan itu, adalah sifat dari orang-orang yang beragama, dan kebiasaan dari orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat.

Kelima: hendaklah yang menerima zakat, bertanya kepada pemilik harta, berapa jumlah zakat yang diwajibkan ke atas pundaknya. Kalau ada yangdiserahkannya, di atas harga yang seharusnya, maka janganlah diambilnya. Karena dia tidak berhak bersama kongsinya, melainkan harga yang pantas. Maka hendaklah dikurangkannya dari harga itu, sebanyak apa yang diserahkan kepada dua orang daripada golongannya yang menerima zakat.Pertanyaan yang dimajukan kepada pemilik harta tadi, adalah wajib atas kebanyakan orang, karena mereka tiada menjaga pembahagian itu, adakalanya karena kebodohan dan adakalanya karena memandang enteng. Dan baru boleh meninggalkan pertanyaan dari persoalan-persoalan yang seperti ini, apabila tidak menimbulkan keras dugaan, kemungkinan haram padanya.

Dan akan datang uraian tentang tempat-tempat yang menimbulkan dugaan pertanyaan dan tingkat kemungkinan, pada "Kitab Halal  dan Haram ". Insya Allah Ta'ala.
Pasal keempat : Tentang sedekah sunat, tentang keutamaannya, adab menerimanya dan memberinya.
Penjelasan : Keutamaan sedekah.
Diantara hadits-hadits yang menerangkan keutamaan sedekah, yaitu sabda Nabi saw. :
 تصدقوا ولو بتمرة فإنها تسد من الجائع وتطفىء الخطيئة كما يطفىء الماء النار
(Tashaddaquu walau bitamratin fa-innahaa tasuddu minal-jaa-'i wa tuthfi-ul-khathii-ata kamaa yuthfi-ul-maaunnaar).Artinya : "Bersedekahlah, walaupun dengan sebiji kurma. Sesungguhnya sedekah itu menu tup kan keperluan daripada orang yang lapar dan memadamkan kesalahan, sebagaimana air memadamkan api". (1)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :اتقوا النار ولو بشق تمرة فإن لم تجدوا فبكلمة طيبة
(Ittaqunnaara wa lau bisyiqqi tamratin fa-in lam tajiduu fabikali-matin thayyibah).Artinya : "Takutilah api neraka, walaupun dengan sebelah biji kurma. Kalau tidak kamu peroleh biji kurma, maka dengan perkataan yang baik (2)

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :ما من عبد مسلم يتصدق بصدقة من كسب طيب ولا يقبل الله إلا طيبا إلا كان الله آخذها بيمينه فيربيها كما يربي أحدكم فصيله حتى تبلغ التمرة مثل أحد  "Tidaklah dari seorang hamba muslim, yang bersedekah dengan suatu sedekah daripada usaha yang baik — dan Allah tidak menerima, selain yang baik — melainkan adalah Allah yang mengambil sedekah itu dengan tangan kananNya. Lalu dipeliharaNya sebagaimana dipelihara oleh seorang dari kamu akan anak lembunya, sehtrigga biji kurma itu sampai sebesar bukit uhud". (3)



1)Dirawikan ibnul Mubarok dari Akramah. hadits mursal.
2)Dirawikan At-Bukharl dan Muslim dari Uda bin Hatim.
3)Dirawikan Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada Abid-Darda' :لأبي الدرداء إذا طبخت مرقة فأكثر ماءها ثم انظر إلى أهل بيت من جيرانك فأصبهم منه بمعروف  "Apabila engkau masak-kan sayuran, maka banyakkanlah airnya, kemudian lihatlah kepada tetanggamu, lalu tuangkanlah kepada mereka daripadanya dengan yang baik!". (1)

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw.:ما أحسن عبد الصدقة إلا أحسن الله عز وجل الخلافة على تركته  "Tiadalah seorang hamba, yang membaguskan sedekahnya, melainkan Allah Azza wajalla Jalla membaguskan penggantinya pada harta peninggalannya".

Bersabda Nabi saw. : "Tiap-tiap manusia itu dalam naungan sedekahnya, sehingga ia diadili diantara segala manusia". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Sedekah itu menutupkan tujuh puluh pintu kejahatan". Bersabda Nabi saw. : "Sedekah secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan 'Azza wa Jalla". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Tidaklah yang memberikan daripada keluasan, dengan pahala yang lebih utama, daripada yang menerima untuk memenuhi hajat keperluan". Semoga yang dimaksudkan dengan hadits ini, ialah orang yang ber-tujuan daripada memenuhi hajat keperluannya, adalah menyerahkan seluruh waktunya untuk agama. Maka samalah dia dengan orang yang memberi, yang bertujuan dengan pemberiannya itu, untuk memakmurkan agamanya.

Ditanyakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم "Sedekah manakah yang lebih utama?" Nabi saw. menjawab : "Yaitu bahwa engkau bersedekah, di mana engkau dalam sehat dan kikir, bercita-cita kekal dan takut kepada kemiskinan. Janganlah engkau lam bat kan bersedekah itu, sehingga apabila nyawa telah sampai kepada nafas yang penghabisan, lalu engkau katakan : untuk si anu sekian, untuk si anu sekian dan adalah itu untuk si anu!".

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم pada suatu hari kepada para shahabatnya : "Bersedekahlah kamu sekalian!". Menjawab seorang shahabat: "Padaku ada satu dinar!". Maka bersabda Nabi saw. : "Belanjakan untuk dirimu!". Menjawab shahabat itu : "Padaku ada satu dinar lagi!". Menyahut Nabi صلى الله عليه وسلم  "Belanjakanlah untuk isterimu!". Menjawab shahabat itu lagi : "Padaku ada satu dinar lagi!". Menyahut Nabi saw. : "Belanjakanlah untuk anakmu!". Menjawab shahabat itu lagi : "Padaku ada satu dinar lagi!". Menyahut Nabi صلى الله عليه وسلم"Belanjakanlah untuk pelayanmu! ". Menjawab shahabat itu lagi : "Padaku ada satu dinar lagi!".


 (1) Menurut al-lraqi, dirawikan Muslim dari Abu Dzar, tidak dari Abid Darda.

Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Engkaulah yang lebih tahu kepentingan, untuk apa uang itu lagi".Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Tidaklah halal sedekah untuk keluarga Muhammad. Sedekah itu adalah daki manusia".Bersabda Nabi saw. : "Kembalikanlah kehormatan orang yang meminta, walaupun dengan makanan seperti kepala burung". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Kalau benarlah orang yang meminta, maka die tidak merasa senang kepada orang yang menolak permintaannya".


Berkata isa as. : "Siapa yang menolak orang yang meminta, yang kecewa keluar dari rumahnya, niscaya malaikat tidak masuk ke rumah itu selama tujuh hari".

Nabi kita Muhammad saw. tidak menyerahkan dua perkara kepada orang lain : ia sendiri menyimpan air bersuci dan menutupkannya di malam hari dan ia sendiri memberikan sesuatu kepada orang miskin dengan tangannya yang mulia.

Bersabda Nabi saw. : "Tidaklah orang miskin itu, yang ditolak oleh sebiji dan dua biji kurma, oleh sesuap dan dua snap makanan. Sesungguhnya orang miskin ialah yang menjaga kehormatan diri. Bacakanlah kalau kamu mau : "Laa yas-aluunan naasa ilhaafaa". (Mereka tidak mau meminta bcrnlang-ulangj.S. Al-Baqarah, ayat 273.

Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم : "Tidaklah seorang muslim yang memberi pakaian kepada orang muslim, melainkan adalah ia dalam pemeliharaan Allah 'Azza wa Jalla, selama masih tinggal secarik pakaian itu daripadanya ".

Adapun atsar, yaitu berkata 'Urwah bin Az-Zubair : "Telah bersedekah 'Aisyah ra. sebanyak lima puluh ribu, sedang bajunya sendiri koyak".Berkata Mujahid mengenai firman Allah 'Azza wa Jalla : وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

(Wa yuth-'imuunath tha-'aama 'alaa hubbihii miskiinan wa yatii-man wa asiira).Artinya : "Mereka memberikan makanan dengan kasih sayangnya kepada orang miskin, anak piatu dan orang tawanan (terpenjara). (S. Ad-Dahr,(Al Insan)ayat 8),

Umar ra- berdo'a : "Ya Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah kurniaMu pada orang-orang baik dari kami, mudah-mudahan mereka kembalikan kumia itu kepada yang berhajat dari pada kami".

Berkata Umar bin 'Abdul 'Aziz : "Shalat itu menyampaikan kamu setengah jalan, puasa itu menyampaikan kamu ke pintu kerajaan dan sedekah itu membawa kamu masuk ke dalamnya".

Berkata Ibnu Abii Ja'd : "Sesungguhnya sedekah itu, menolak tujuh puluh pintu kejahatan. Dan keiebihan merahasiakannya daripada melahirkannya, adalah tujuh puluh kali lipat. Dan sesungguhnya sedekah itu melepaskan seorang yang hidup dari tipuan tujuh puluh setan".

Berkata Ibnu Mas'ud : "Bahwa seorang laki-laki telah beribadah kepada Allah tujuh puluh tahun lam any a, kemudian tertimpa ke atas dirinya suatu perbuatan keji, maka binasalah amalannya. Kemudian lalulah ia pada seorang miskin, maka ia bersedekah kepadanya dengan sepotong roti. Maka diampunkan oleh Allah dosanya dan dikembalikan kepadanya amalannya yang tujuh puluh tahun itu"

Berkata Luqman kepada puteranya : "Apabila engkau berbuat suatu kesalahan, maka berikanlah sedekah!".

Berkata Yahya bin Mu'az : "Tiada aku ketahui suatu bijipun yang timbangannya seberat bukit-bukit dunia, selain daripada suatu biji daripada sedekah".

Berkata 'Abdul 'Aziz bin Abi Ruwwad : "Adakah dikatakan, bahwa tiga perkara dari gudang sorga : menyembunyikan kesakitan, menyembunyikan sedekah dan menyembunyikan bahaya (musibah) yang menimpa diri".Ucapan yang di atas ini, ada yang meriwayatkan sebagai hadits musnad.

Berkata Umar bin Al-Khaththab ra. : "Bahwa segala amalan itu bangga membanggakan sesamanya. Maka berkatalah sedekah : "Akulah yang lebih utama daripada kamu semuanya!".Abdullah bin Umar bersedekah gula, seraya berkata : "Aku mendengar firman Allah :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
(Lan tanaalul birra hattaa tunflquu mimmaa tuhibbuun). Artinya : "Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, hanyalah jika kamu menafkahkan (mengeluarkan) sebahagian daripada apa yang kamu kasihi". (S. Ali 'Imran, ayat 92).Dan Allah Maha Tahu bahwa aku menyukai gula".

Berkata An-Nakha'i : "Apabila sesuatu itu untuk Allah 'Azza wa Jalla maka aku tidak senang, bila ada padanya kekurangan".

تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله

Tiada ulasan:

Catat Ulasan