Rahsia Zakat
Segala pujian bagi
Allah yang menganugerahkan bahagia dan cela-ka, yang me mati kan dan yang
menghidupkan, yang mengadakan dan yang memfanakan, yang memiskinkan dan yang
mengayakan, yang mendatangkan melarat dan yang menganugerahkan, yang menjadikan
hewan (makhluk hidup) dari setitik air yang amis sebagai mani. Kemudian DIAlah
sendiri yang menjadikan makhluk dengan sifatNya yang maha kaya. Kemudian, Dia
yang menentukan sebahagian hambaNya dengan keadaan yang lebih baik. Maka
dicurahkanNya kepada mereka dari nikmat-nikmatNya, akan apa yang memudahkan
bagi siapa yang dikehendakiNya dan menjadi kaya. Dan yang sangat memerlukan kepada
hambaNya yang memperoleh kelimpahan itu, ialah orang-orang yang tidak berhasil
memperoleh rezekinya dan yang bersusah payah, sebagai pernya-taan untuk ujian
dan percobaan.
Kemudian, Ia
menjadikan zakat untuk agama, adalah menjadi azas dan sendi. Dan diterangkanNya
bahwa dengan kurniaNya, mendapat kesucianlah dari hamba-hambaNya,
siapa-siapa'yang memperoleh kesucian. Dan dari kekayaanNya, memberikan zakat,
siapa yang memberikan zakat hartanya.
Selawat kepada
Muhammad Pilihan, penghulu manusia dan matahari petunjuk. Dan kepada keluarga
dan para shahabatnya, yang ditentukan dengan ilmu dan taqwa.Kemudian, Allah
Ta'ala telah menjadikan zakat, salah satu daripada sendi
Islam. Dan mengiringi menyebutkan zakat itu, dengan shalat, yang menjadikan
tanda yang setinggi-tingginya (bagi Islam). Ia berfirman :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
(Wa
aqiimush-shalaata wa aatuz-zakaah).Artinya ; "Dirikanlah
shalat dan bayarkanlah zakat". (S. Al-Baqarah, ayat 43).
Dan sabda Nabi saw.
: "Didirikan Islam atas lima : mengaku tiada yang disembah dengan
sebenar-benamya. selain Allah; mengaku bahwa Muhammad hambaNya dan
RasulNya;mendirikan shalat dan membayarkan zakat". (1)
(1)
Sambungan dari hadits ini, yang dua lagi dari lima itu. Ialah : berpuasa
bulan Ramadlan dan mengerjakan hajii ke Baitullah. (Peny). Dan hadits ini
dirawikan Al-Diukhari dan Muslim dari Ibnu Umar.
|
Allah Ta'ala
menegaskan peringatan dengan ancaman, terhadap orang-orang yang teledor dalam
pembayaran zakat, dengan firmanNya :
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
(walladziina yaknizuunadz-dzahaba
wal-fidl-dlata wa laa yunfiquu-nahaa fii sabiilillaahi fa basy-syirhum
biadzaabin aliim).Artinya : "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak mengeluarkannya pada jalan Allah, maka beritakanlah kepada
mereka, bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih". (S-
Al-Baraah,@Attaubah ayat 34).
Arti mengeluarkan
pada jalan Allah, yaitu : mengeluarkan hak zakat.
Berkata Al-Ahnaf bin
Qais : "Adalah
aku dalam rombongan orang Quraisy, maka lalulah Abu Dzar, seraya mengatakan
:" Kabarkanlah kepada orang-orang yang menyimpan harta, tanpa mengeluarkan
zakat, bahwa mereka akan disiksa dengan ditusuk belakang mereka dengan besi
panas, yang besi panas itu akan keluar pada lembung mereka dan ditusuk pada
kuduk mereka, yang akan keluar dari dahi mereka". Dan pada riwayat lain,
tersebut: "Bahwa besi panas itu diletakkan di atas pentil susu seseorang mereka,
lalu di-tusukkan, maka dikeluarkan dari tulang belikatnya. Dan diletakkan di
atas tulang belikatnya, lalu dikeluarkan dari pen til susunya, dengan
digerak-gerak kan ".
Berkata Abu Dzar : "Telah
sampai aku kepada Rasulullah saw., di mana beliau sedang duduk dalam naungan
Ka'abah. Tatkala beliau melihat aku, lalu bersabda : "Mereka adalah sangat merugi, demi
Tuhan yang mempunyai Ka'bah ini". Maka aku bertanya :
"Siapakah mereka?".Beliau menjawab : "Mereka yang banyak hartanya, kecuali orang-orang yang mengatakan, bahwa begini dan begini, dari
hadapannya dan belakangnya, dari kanannya dan kirinya. Dan amat sedikitlah
mereka yang seperti ini.Tidaklah dari orang yang mempunyai unta, sapi dan
kambing yang tidak membayarkan zakatnya, melainkan binatang temak
itu, datang pada hari qiamat, dalam keadaan yang lebih besar dan gemuk lagi,
menanduk orang yang mempunyainya dengan tanduk-tanduknya dan memijakkannya
dengan kakinya. Setelah selesai yang penghabisan, maka datanglah yang
permulaan, sehingga selesailah dihukum diantara manusia". (1)
(1)
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar.
|
Apabila ketegasan
ini dikeluarkan dalam dua kitab Shahih (Shahih
Al-Bukhari dan Shahih Muslim), maka menjadi sebahagian yang terpenting dari
Agama, membuka segala kunci rahasia dari zakat dan syarat-syaratnya, yang
terang dan yang tersembunyi, segala pengertiannya, yang dhahir dan yang bathin,
serta diringkaskan kepada yang harus diketahui oleh orang yang membayar zakat
dan yang menerimanya. Untuk menyingkapkan yang demikian itu, terbentang di
dalam empat-pasal:
Pasal Pertama : tentang segala
macam zakat dan sebab-sebab wa-jibnya.
Pasal Kedua : tentang segala
adab dan syarat-syaratnya, yang bathin dan yang dhahir.
Pasal Ketiga : tentang orang
yang menerima, syarat-syarat berhak zakat dan segala adab menerimanya.
Pasal Keempat: tentang
sedekah sunat dan keutamaannya.
Pasal pertama : Tentang segala macam
zakat dan sebab-sebab wajibnya.Dipandang kepada yang bersangkutan dengan
zakat itu, ada enam bahagian :
1.Zakat binatang
temak.
2.Zakat emas dan
perak.
3.Zakat tijarah
(perniagaan).
4.Zakat rikaz (emas
dan perak yang diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu) dan ma'din (emas
dan perak yang dikeluarkan dari pertambanganny a).
5.Zakat harta yang
diberikan sepersepuluh daripadanya untuk zakat (al-mu'asy-syarat).
6.Zakat fithrah.
Bahagian pertama : Zakat binatang ternak.
Tidak diwajibkan
zakat ini dan lainnya, kecuali atas orang merdeka (bukan budak) dan muslim. Dan
tidak disyaratkan baligh (dewasa), bahkan diwajibkan zakat
pada harta anak-anak dan orang gila.
Inilah syaratnya,
orang yang dikenakan zakat.
Mengenai harta (dari
bahagian pertama ini, yang dikenakan zakat), maka syaratnya lima ;
1.Binatang ternak.
2.Digembalakan.
3.Cukup setahun
dalam miliknya.
4.Sempurna
nishabnya.
5.Sempurna miliknya.
Syarat Pertama : adalah
binatang itu binatang ternak. Maka tak kena zakat, selain pada unta,
kerbau, sapi, kambing dan biri-biri (kibasy). Kuda,
baghal, keledai dan anak binatang yang terjadi diantara rusa dan kambing, tidak
kena zakat padanya.
Syarat Kedua : digembalakan
dilapangan rumput. Maka tidak kena zakat pada binatang temak, yang diberi
umpan. Apabila binatang ternak itu, pada suatu waktu digembalakan dan pada
waktu yang lain, diberi umpan, yang kelihatan besar perongkosannya, maka tidak
dikenakan zakat.
Syarat Ketiga: cukup setahun
dalam miliknya. Bersabda Nabi saw.
:لا زكاة في مال حتى يحول عليه الحول
(Laa zakaata fii
maalin, hattaa yahuula 'alaihilhaul).Artinya : "Tidak diwajibkan zakat
pada harta, sehingga sampailah setahun padanya". (1) Dan
dikecualikan dari ini, akan hasil harta (binatang itu beranak dalam pertengahan
tahun), maka menjuruslah hukum harta kepadanya. Maka wajiblah zakat pada anak
hewan itu, karena tahun induknya.Kalau hewan itu dijual atau diberikan, pada
pertengahan tahun niscaya putuslah tahunnya.
Syarat Keempat : sempuma milik
dan urusannya pada hewan itu. Maka wajiblah zakat pada hewan yang digadaikan,
karena harta itu dalam keadaan dipertaruhkan dalam tanggungannya. Tetapi
tidak wajib zakat pada binatang ternak yang hilang dan yang dirampas orang.
Kecuali apabila kembali lagi ke dalam tangannya, dengan segala tambahannya.
Maka wajiblah zakat pada masa yang lampau, ketika kembalinya.Kalau ada hutang,
yang menghabiskan semua hartanya, maka tidaklah wajib zakat pada harta itu,
karena tidaklah ia dinamakan orang kaya. Karena orang
kaya, ialah orang yang berkelebihan dari yang diperlukan.
Syarat Kelima : sempurna
nishabnya. Maka pada unta, tidak diwajibkan zakat, sebelum
sampai banyaknya lima ekor.
Pada lima
ekor, zakatnya seekor biri-biri, yang umurnya setahun dan
masuk pada tahun kedua atau seekor kambing, yang umurnya dua
tahun dan masuk pada tahun ketiga.
Pada sepuluh
ekor unta, zakatnya dua ekor biri-biri atau kambing. Pada lima
belas ekor, zakatnya tiga ekor biri-biri atau kambing.
Pada dua puluh ekor, zakatnya empat ekor biri-biri
atau kambing.
(1)
Dirawikan Abu Dawud dari Ali. dengan isnad baik.
|
Pada dua
puluh lima ekor, zakatnya seekor unta betina, yang
umurnya setahun dan masuk pada tahun kedua (binti machadl). Kalau tak ada binti
machadl, maka boleh diserahkan ibnu labun, yaitu anak unta
jantan, yang umurnya masuk pada tahun ketiga, walaupun si pemberi zakat itu
sanggup membeli binti machadl.
Pada tiga
puluh enam ekor, zakatnya seekor binti labun (seekor
unta betina, yang umurnya dua tahun dan masuk pada tahun ketiga). Pada empat
puluh enam ekor, zakatnya seekor hiqqah, yaitu unta
betina, yang umurnya tiga tahun dan masuk pada tahun keempat. Pada enam
puluh satu ekor, zakatnya seekor jidz'ah, yaitu unta
betina, yang umurnya empat tahun dan masuk pada tahun kelima. Pada tujuh
puluh enam ekor, zakatnya dua ekor binti labun. Pada sembilan
puluh satu ekor, zakatnya dua ekor hiqqah. Pada seratus
dua puluh satu ekor,zakatnya tiga ekor binti labun.
Apabila jumlahnya
telah sampai kepada stratus tiga puluh ekor, maka tetaplah
perhitungannya, dengan cara : tiap-tiap lima puluh ekor unta, zakatnya, seekor
hiqqah dan tiap-tiap empat puluh ekor, zakatnya, seekor
binti labun,Mengenai sapi atau kerbau, tidak
diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya tiga puluh ekor.
Pada tiga
puluh ekor sapi atau kerbau, zakatnya seekor tabi', yaitu
seekor anak sapi atau kerbau jantan, yang umurnya setahun dan masuk pada tahun
kedua. Pada empat puluh ekor, zakatnya seekor
musinnah, yaitu seekor anak sapi atau anak kerbau betina, yang umurnya
dua tahun dan masuk pada tahun ketiga.
Kemudian, pada enam
puluh ekor, zakatnya dua ekor tabi'. Dan tetaplah
perhitungan sesudah itu, dengan cara : pada tiap-tiap empat puluh ekor sapi
atau kerbau, zakatnya seekor musinnah dan pada tiap-tiap tiga
puluh ekor, zakatnya seekor tabi'. Mengenai kambing atau biri-biri (kibasy),
tidak diwajibkan zakat, sebelum sampai jumlahnya empat puluh ekor.
Pada empat
puluh ekor daripadanya, zakatnya seekor biri-biri (kibasy),
atau seekor kambing. Kemudian tiada bertambah pemba-yaran
sampai kepada jumlahnya seratus-dua puluh satu ekor. Maka
pada seratus dua puluh satu ekor itu, zakatnya dua
ekor biri-biri atau kambing, sampai kepada
jumlahnya dua ratus satu ekor. Dan pada dua ratus satu
ekor ini, zakatnya tiga ekor, sampai kepada empat
ratus ekor. Maka pada empat ratus ekor ini,
zakatnya empat ekor. Kemudian, tetaplah perhitungannya, bahwa
pada tiap-tiap seratus, zakatnya seekor.
Zakat daripada dua
harta yang bercampur, adalah seperti zakat dari seorang pemilik, tentang nishabnya. Kalau
ada diantara dua orang, empat puluh ekor kambing, maka zakatnya seekor. Kalau
ada diantara tiga orang, seratus dua puluh ekor kambing, maka zakatnya seekor
juga diantara mereka bertiga.
Campuran yang masih
kentara, adalah seperti campuran yang tidak kentara. Tetapi
disyaratkan diantara kedua pemilik itu, menem-patkan kedua binatang temaknya
bersama-sama, memberikan minuman bersama-sama, mengambil susunya bersama-sama,
melepas-kannya bersama-sama, tempat pengembalaannya bersama-sama dan melepaskan
jantannya bersama-sama.
Dan kedua pemilik
itu adalah dari orang yang diwajibkan zakat. Dari itu, tidak dihukum campuran,
bersama dzimmi (orang bukan Islam, yang bernaung di bawah
pemerintahan Islam) dan mukatab (budak yang berusaha
menebuskan dirinya dari tuannya). Manakala pada zakat yang wajib
dikeluarkan dari unta, berkurang umurnya dari tahun yang ditentukan, maka
dibolehkan, asal tidak berkurang umurnya dari binti machadl Dan
untuk kekurangan itu digantikan, dengan dua ekor kambing atau dua
puluh dirham, kalau kekurangan umur itu setahun dari tahun yang
ditentukan. Dan dengan empat ekor kambing atau empat
puluh dirham, kalau kekurangan umur itu dua tahun.
Dan boleh pula
diberikan dengan yang lebih tinggi umurnya, dari tahun yang ditentukan, asal
tidak melewati umurnya dari jidz'ah. Untuk pengganti dari yang
berlebih itu, diambil dari pengurus harta baitul-mal.
Jangan diambil untuk
zakat hewan yang sakit, apabila ada sebahagian harta (hewan) itu, sehat,
walaupun seekor. Dan diambil dari hewan yang bagus, akan yang bagus dan dari
yang kurang bagus, akan yang kurang bagus. Dan tidak diambil untuk zakat,
hewan yang terlalu banyak makan-nya, hewan yang hampir melahirkan anak, hewan
yang diperoleh dari riba, hewan yang menjadi jantan untuk hewan-hewan betina
dan hewan yang terbaik dari yang dimiliki oleh penyerah zakat.
Bahagian kedua : Zakat harta yang
diberikan sepersepuluh daripadanya untuk zakat (zakat al-mu'asy-syarat).Wajib sepersepuluh untuk
zakat pada tiap-tiap tumbuh-tumbuhan, yang menjadi makanan yang mengenyangkan,
yang sampai banyaknya delapan ratus mann.(1)
Dan tidak
diwajibkan, kalau kurang dari itu. Dan juga tidak diwajibkan zakat pada
buah-buahan dan kapas. Hanya diwajibkan, pada biji-bijian yang menjadi
makanan yang mengenyangkan, pada kurma kering dan buah
anggur kering.Dihitung dengan kiraan delapan ratus mann itu,
ialah pada kurma kering dan anggur kering, tidak
pada buah kurma basah (ruthab) dan buah anggur basah (inab).Dikeluarkan untuk
zakat, setelah dikeringkan. Dan menjadi cukup harta dari salah seorang, yang
dicampurkan dengan harta orang yang lain, dalam campuran yang beraduk, seperti
sebuah kebun yang berkongsi diantara ahli-ahli waris. Untuk semuanya,
berjum-lah delapan ratus mann buah anggur kering (zabib). Maka
wajiblah atas sekalian mereka, delapan puluh mann zabib,
dibagi menurut bahagian masing-masing.Dan tidak dikira campuran, kalau campuran
itu tidak secara beraduk.Tidak dicukupkan nishab gandum dengan
syair dan dicukupkan nishab syair dengan salt, karena salt itu, semacam syair.
Kewajiban zakat yang
sepersepuluh itu, kalau tumbuh-tumbuhan-nya disirami dengan air yang mengalir
atau dengan air dari tali air (tegasnya tidak dengan pengeluaran ongkos). Kalau
tumbuh-tumbuhannya disirami dengan air yang diangkutatau dengan kincir air,
(tegasnya dengan perongkosan), maka diwajibkan untuk zakat, seperdua puluh
daripadanya.Kalau dengan kedua-duanya, ya'ni dengan perongkosan dan dengan
tanpa perongkosan, maka dikira dengan yang lebih banyak.
Adapun sifat dari
yang wajib diserahkan untuk zakat itu, ialah kurma, anggur dan biji-bijian
(seperti padi), yang kesemuanya itu sudah kering, setelah dibersihkan. Dan
tidak diambil untuk zakat, buah kurma dan buah anggur yang masih basah, kecuali
datang penyakit kepada pohon-pohon itu dan lebih baik dipetik sebelum sempurna
masaknya. Maka diambilkan yang masih basah untuk zakat. Yaitu, disukat,
sembilan bahagian untuk si pemilik dan satu bahagian untuk fakir miskin. Dan
tidak terlarang dari pembahagian ini, oleh kata kita, bahwa pembahagian itu
adalah penjualan.
**Notakaki (1).Man
menurut Kamus Al Munjid ialah alat sukatan atau timbangan , 1 man pada
syarak=180 mitsqal ,dan pada uruf kebiasaan 280mitsqal ,menurutpenjelasan
kitab kitab lain,nishab zakat ini ialah lima wusuq, 1 wusuq =60 gantang
fitrah,1gantang 4 mudd, ialah 1 1/3 kati baghdad,jadi lima wusuq ialah 300
gantang fitrah yang bersih dari kulit,kalau dengan kulit,menjadi
dua kali
|
Bahkan yang seperti itu, diperbolehkan karena perlu. Waktu yang menentukan wajibnya zakat al-mu 'asy-syarat, ialah ketika kelihatan baik pada buah-buahan dan keras bijinya. Dan waktu penyerahan zakatnya, ialah setelah kering.
Bahagian ketiga : Tentang zakat emas dan
perak.
Apabila telah cukup
setahun dalam milik si pemilik, yang memiliki seberat dua ratus dirham
dengan timbangan Makkah perak murni, maka zakatnya lima dirham,
yaitu : seperempat puluh daripadanya. Yang lebih dari itu,
maka dikira menurut itu juga, walaupun lebih-sedirham.
Nishab emas, yaitu : dua
puluh mitsqal emas murni dengan timbangan Makkah. Zakatnya, seperempat puluh
daripadanya. Yang lebih dari itu, maka dikira menurut lebihnya.Kalau
berkurang dari nishab yang tersebut di atas, walaupun seberat biji yang kecil,
maka tidak dikenakan zakat. Dan diwajibkan zakat atas orang yang mempunyai
dirham campuran, apabila ada padanya perak murni sebanyak yang tersebut di
atas.Dan diwajibkan zakat pada emas terurai dan pada perhiasan emas atau perak
yang terlarang, seperti tempat air dari emas dan perak dan kendaraan emas bagi
laki-laki. Dan tidak diwajibkan zakat pada perhiasan yang dibolehkan. Dan wajib
zakat pada hutang, di mana yang berhutang itu adalah orang kaya yang mampu
membayar hutangnya. Tetapi kewajiban zakatnya, adalah ketika dilunaskan. Kalau
hutang itu, belum tiba waktu pembayarannya, maka tidak wajib zakatnya, kecuali
ketika telah sampai waktu pembayarannya.
Bahagian keempat : Zakat perniagaan.
Zakat perniagaan, adalah seperti
zakat emas dan perak. Dan dihitung tahunnya, dari sejak dimiliki uang (modal)
pembeli barang yang diperniagakan, kalau uang itu sampai nishab. Kalau
kurang dari nishab atau dibeli dengan benda, dengan diniatkan perniagaan, maka
tahunnya dikira dari waktu pembelian.Zakat itu dibayar dengan uang dari negeri
yang bersangkutan dan dengan uang itulah barang perniagaan itu dinilai.Kalau
barang perniagaan itu dibeli dengan suatu uang dan uang itu cUkup nishabnya,
maka barang perniagaan itu lebih utama dinilai dengan uang tadi, daripada
dengan uang dari negeri yang bersangkutan.
Kalau diniatkan berniaga
dari harta yang disimpan, maka tidaklah dikira tahunnya dengan semata-mata
niat, sebelum dibeli sesuatu dengan uang itu. Manakala niat bemiaga itu
dibatalkan sebelum cukup tahunnya, niscaya gugurlah zakat. Dan yang lebih
utama, zakat tahun itu dilunaskan.laba yang diperoleh dari barang perniagaan
pada akhir tahun, wajiblah dizakati menurut tahun modal dan tidak untuk laba
itu dimulai dengan tahunnya sendiri, seperti anak-anak binatang ternak menurut
tahun induknya.
Uang yang
dipertukarkan, tidak putus tahunnya dengan pertukaran yang berlaku diantara
pemilik-pemilik uang itu, seperti perniagaan-pemiagaan yang lain. Dan zakat
dari keuntungan harta berdua-laba, adalah atas si pekerja, walaupun keuntungan
itu belum dibagi.Inilah yang lebih sesuai, menurut qias!.
Bahagian kelima : Zakat emas dan perak
yang diperoleh dari simpanan orang-orang dahulu (rikaz) dan yang diperoleh dari
tambangnya (ma din).
Rikaz, ialah harta
yang ditanam di dalam tanah pada masa jahiliyah dan diperoleh pada tanah, yang
belum berlaku milik seseorang padanya dalam Islam. Maka wajiblah atas orang
yang memperoleh emas dan perak dari rikaz itu, seperlima untuk
zakat. Dan tahun, tidak dikira. Dan yang lebih utama, nishabnya-pun tidak
dikira, karena diwajibkan seperlima itu menguatkan tentang keserupaan-nya
dengan harta rampasan perang (ghanimah). Dan mengira
ni-shabnyapun, tidak jauh daripada kebenaran, karena penyerahannya adalah sama
dengan penyerahan zakat. Dari itu, dikhususkan rikaz menurut paham yang lebih
kuat (ashshahih) kepada emas dan perak saja.
Adapun ma
din, maka apa yang dikeluarkan dari tambang, tidak dikenakan zakat,
selain emas dan perak. Zakatnya, setelah
dihancurkan dan dibersihkan ialah seperempat puluh, menurut pendapat yang
terkuat dari dua pendapat.Dan berdasarkan ini nishabnya
diperhitungkan,Mengenai kiraan tahunnya, terdapat dua
pendapat. Menurut suatu pendapat, diwajibkan seperlima dari
ma'din itu untuk zakat. Dan berdasarkan kepada pendapat ini, tahunnya tidak
diperkirakan.
Mengenai nishabnya,
terdapat dua pendapat. Yang terkuat diantara kedua pendapat ini ilmu yang
sebenarnya adalah pada sisi Allah Ta'ala ialah dihubungkan tentang batas
wajibnya dengan zakat perniagaan. Karena hasil barang
pertambangan itu, adalah semacam perusahaan. Dan mengenai kiraan
tahunnya, dihubungkan dengan al-mu'asysyarat. Dari
itu tahunnya, tidak dikira,(tegasnya : tidak disyaratkan cukup setahun). Karena
ma'din itu adalah benda yang diambil manfa'atnya pada benda itu sendiri.
Dan nishabnya, dipandang seperti pada al-mu'asy-syarat.
Yang lebih
terpelihara dari kesangsian (mengingat perbedaan-perbedaan pendapat diantara
para alim-ulama) ialah, supaya dikeluarkan seperlima dari
ma'din itu untuk zakat, tanpa diperhitungkan sedikitnya dan banyaknya dan tanpa
diperhatikan pula benda dari ma'din itu, baik ia emas dan perak atau lainnya.
Supaya terlepas dari kesangsian dengan perbedaan-perbedaan pendapat itu. Karena
perbedaan-perbedaan pendapat itu, merupakan sangkaan-sangkaan keras yang
mendekati kepada kebenaran, daripada pertentangan. Meyakini kepada suatu fatwa
daripadanya, adalah mem bah ay akan, karena pertentangan yang meragukan itu.
Bahagian keenam : Tentang
zakat fithrah.
Zakat fithrah itu
wajib, menurut sabda Nabi صلى الله عليه وسلم atas tiap-tiap muslim, yang ada kelebihan dari
makanannya dan makanan orang-orang yang menjadi tanggungannya, pada hari raya
fithrah dan malamnya, sebanyak se gantang daripada makanan yang mengenyangkan,
dengan sukatan gantang Rasulullah saw. Yaitu 2 2/3 mann, yang
dikeluarkan dari jenis makanannya atau dari jenis yang lebih baik daripadanya.
(1)
Kalau ia bermakanan
tetap gandum, maka tidak dibolehkan syair untuk zakat
fithrahnya. Dan kalau ia bermakanan tetap biji-bijian yang bermacam-macam,
niscaya dipilihnya yang terbaik. Dan mana saja yang dikeluarkannya, memadaiah.
Pembahagian zakat
fithrah itu, adalah seperti pembahagian zakat harta yang lain. Maka wajib
dilengkapkan dengan segala macam manusia yang berhak menerimanya.Tidak boleh dikeluarkan
yang telah hancur dicumbuk dan yang telah menjadi tepung yang halus.
Diwajibkan atas
suami muslim, fithrah isterinya, fithrah budaknya, anak-anaknya dan tiap-tiap
keluarganya yang menjadi
tanggungannya, yakni : yang wajib ia tanggung nafkahnya, dari bapak, ibu dan
anak-anaknya. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
أدوا صدقة الفطر عمن تمونون
(Adduu shadaqatal
fithri 'amman tamuunuun).Artinya : "Lunasilah zakat fithrah itu,
dari orang-orang yang nafi kah hidupnya menjadi tanggungan kamu".
Zakat fithrah dari
budak yang dipunyai oleh dua orang yang ber-kongsi, adalah atas orang-orang
itu. Dan tidak wajib zakat fithrah budak yang kafir.Kalau sang isteri
mengeluarkan fithrah untuk dirinya sendiri, maka memadailah. Dan bagi sang
suami boleh mengeluarkan fithrah untuk isterinya, tanpa izin isteri.
1.Dirawikan
Bukhari dan Muslim Dari Ibnu Umar,Kata ibnu umar, zakat fitrah itu di
wajibkan pada bulan Ramadhan
|
Kalau makanan yang
berlebih, setelah dikeluarkan untuk fithrah-nya, mencukupi untuk sebahagian
dari orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka dikeluarkanlah fithrah untuk
sebahagian itu. Dan yang lebih utama didahulukan, ialah yang nafkah hidupnya,
lebih kuat menjadi tanggungannya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mendahulukan
nafkah anak dari nafkah isteri dan nafkah isteri dari nafkah pembantu rumah tangga
(babu atau jongos). (1)Inilah hukum-hukum fiqih, yang harus diketahui oleh
orang kaya. Dan kadang-kadang terjadi beberapa peristiwa yang jarang terjadi,
di luar dari ini, maka dapatlah ia berpegang kepada fatwa, ketika terjadi,
sesudah memahami sekedar yang penting ini.
1.DirawikanAbu
Dawud Dari Abu Hurairah dengan sanad Sahih
|
Pasal kedua : Tentang
menunaikan zakat, syarat-syaratnya yang bathin dan yang dhahir.
Ketahuilah, bahwa wajiblah atas orang yang menunaikan zakat, menjaga lima
perkara :
Pertama: niat, yaitu bemiat
dengan hati, menunaikan zakat fardlu. Dan disunatkan menentukan harta yang
dikeluarkan zakatnya. Kalau ada hartanya yang jauh, lalu dikatakannya : "Ini, dari harta-ku yang jauh kalau ia
selamat. Kalau tidak, maka menjadi sedekah sunat". Maka
bolehlah yang demikian, karena walaupun tidak ditegaskannya yang demikian,
hasilnya begitu juga, kalau disebut-kannya secara umum.
Niat dari wali yang
mengeluarkan zakat dari harta orang gila dan anak-anak yang berada di bawah
asuhannya), adalah berkedudukan seperti niat orang gila dan anak itu sendiri.
Dan niat dari sultan (penguasa), adalah berkedudukan seperti niat si pemilik
yang tidak mau mengeluarkan zakatnya. Tetapi itu, adalah
Haram pandangan hukum duniawi, yakni : mengenai tidak dituntut lagi
di dunia ini.
Adapun di akhirat tidak, tetapi
tetaplah dalam tanggungannya, sampai ia mengeluarkan kembali zakat itu.Kalau
diwakilkan kepada orang lain untuk menunaikan zakatnya dan diniatkannya ketika
diwakilkan itu atau diwakilkannya kepada wakil itu untuk meniatkannya, maka
mencukupilah yang demikian, karena mewakilkan dengan niat itu, sudah niat
namanya.
Kedua : menyegerakan
sesudah sampai tahunnya. Dan pada zakat fithrah, tidak diperlambatkan daripada hari raya
fithrah. Dan masuk waktu wajibnya dengan terbenam matahari dari hari yang
penghabisan dari bulan Ramadlan. Dan waktu menyegerakannya, ialah dalam bulan
Ramadlan itu seluruhnya.Orang yang memperlambatkan zakat hartanya, serta ada
kemungkinan untuk itu, (artinya : tak ada halangan apa-apa), maka durhakalah ia
kepada Tuhan dan tak terhapus kewajiban itu lagi, dengan hilang hartanya.
Kemungkinan
mengeluarkan zakat itu, ialah dengan memperoleh orang yang berhak menerima
zakat. Kalau diperlambatkannya, karena tidak ada orang yang berhak menerimanya,
lalu hilanglah hartanya, maka gugurlah zakat daripadanya.Menyegerakan zakat,
dibolehkan, dengan syarat bahwa hal itu terjadi setelah cukup nishabnya dan
berjalan tahunnya. Dan boleh menyegerakan zakat dua tahun.
Manakala zakat itu
disegerakan, lalu mati orang miskin yang menerimanya, sebelum cukup tahunnya
atau ia murtad atau ia menjadi kaya dengan harta yang lain dari zakat yang
disegerakan itu atau ia mati, maka harta yang diserahkan itu tidaklah menjadi
zakat. Dan memintanya kembali, tidak mungkin, kecuali apabila disyaratkan
meminta kembali, (waktu diserahkan dahulu). Maka dalam hal ini, hendaklah orang
yang menyegerakan itu, memperhatikan akhir urusan dan keselamatan kesudahan.
Ketiga : bahwa tidak
dikeluarkan benda lain sebagai gantinya, dengan menghitung nilainya. Tetapi
dikeluarkan benda yang dikenakan zakat padanya. Maka tidak memadai perak dari
zakat emas dan emas dari zakat perak, walaupun nilainya berlebih daripada
perak.
Mungkin sebahagian
orang tidak memahami maksud Asy-Syafi'i ra. yang mempermudahkan tentang itu dan
menitik beratkan kepada tujuan untuk memenuhi kepentingan.
Alangkah jauhnya
dari berhasil, karena memenuhi kepentingan itu adalah suatu tujuan dan tidaklah
ia menjadi seluruh tujuan. Tetapi kewajiban syari'atnya adalah tiga bahagian
:
Bahagian Pertama: adalah ibadah
semata-mata, tak masuk padanya keuntungan dan maksud-maksud tertentu.
Umpamanya melempar-kan jamrah pada ibadah hajji, karena tak
ada keuntungan bagi jamrah, pada sampainya batu kepadanya.
Maksud syari'at
mengenai pelemparan batu itu, ialah menguji dengan perbuatan, supaya hamba itu
melahirkan kehambaan dan perhambaannya, dengan suatu perbuatan yang tidak
dipahami maksudnya. Karena apa yang dipahami maksudnya, kadang-kadang ditolong
dan didorong oleh tabi'at kepada perbuatan itu. Maka tidak menampak ikhlas
kehambaan dan perhambaan. Karena per-hambaan itu menampak dengan gerak untuk
melaksanakan perintah Yang Disembah (al-ma'bud) saja, tidak
untuk suatu maksud yang Iain. Dan sebahagian besar amal perbuatan ibadah hajji,
adalah demikian.
Dari itu, Nabi saw,
membaca pada ihramnya :
لبيك بحجة حقا تعبدا ورقا
(Labbaika
bihaj-jatin hr.qqan ta'abbudan wa riqqa).
Artinya ; "Aku
terima panggilan Engkau dengan hajji dengan sebenar-benarnya, beribadah dan
kehambaan kepadaMu". (1) sebagai peringatan, bahwa itu adalah
untuk melahirkan perhambaan, dengan mematuhi, karena perintah dan mengikuti
perintah semata-mata, sebagaimana diperintahkan tanpa penjinakan akal pikiran
kepadanya, dengan tertarik dan tergerak pikiran itu kepadanya.
Bahagian Kedua : Diantara
kewajiban yang diwajibkan syari'at, tidaklah dimaksudkan daripadanya suatu
keuntungan yang dapat dipahami dan tidak pula dimaksudkan suatu peribadatan
kepada Allah, seperti melunaskan utang dari seseorang dan mengembalikan barang
yang dirampasnya.
Maka tidak ragulah
kiranya, bahwa dalam hal tadi, tidak dipandang perbuatan dan niatnya. Dan
manakala sampailah hak itu kepada yang berhak, dengan mengambil haknya atau
digantikan dengan yang lain dengan persetujuan dari yang berhak, maka
terlaksanalah kewajiban itu dan selesailah tuntutan
syari'at.Inilah dua bahagian, yang tidak ada susunan padanya,
di mana sekalian manusia dapat memahaminya.
Bahagian
Ketiga : yaitu yang
tersusun, yang dimaksudkan padanya dua perkara bersama-sama.
yakni keuntungan bagi hamba dan percobaan bagi seorang mukallaf dengan
memperhambakan diri. Maka berkumpullah padanya perhambaan kepada
Tuhan yang ada pada pelemparan jamrah dan keuntungan pada pengembalian
hak milik.
Inilah bahagian yang
dipahami pada perbuatan itu sendiri. Maka kalau datanglah syari'at menyuruhnya,
niscaya wajiblah terkumpul diantara kedua maksud itu. Dan tidaklah seyogia
dilupakan arti yang terhalus daripada keduanya, yaitu : memperhambakan
dan memperbudakkan diri kepada Allah, disebabkan nyata benar keduanya. Dan
arti yang terhalus itulah, yang terpenting.
(1)
Dirawikan At-Bazzar dan Ad-Daraquthni dari Anas.
|
Dan zakat, adalah
termasuk golongan ini, di mana tak ada yang menyadarinya, selain Imam
Asy-Syafi'i ra.Maka keuntungan bagi orang fakir, adalah dimaksudkan pada
memenuhi hajat keperluannya. Dan itu, jelas dan lekas dipahami.
Tentang perhambaan
kepada Allah dengan zakat, dengan mengikuti segala perinciannya, adalah maksud
dari syari'at. Dan dengan memperhatikannya, jadilah zakat itu, teman bagi shalat
dan hajji, tentang adanya, sebahagian dari sendi-sendi Islam.
Dan tak ragulah
kiranya, bahwa seorang mukallaf itu sukar membedakan segala jenis hartanya dan
mengeluarkan bahagian tiap-tiap harta, mengenai macamnya, jenis dan sifatnya.
Kemudian, membagi-bagikannya kepada golongan delapan yang berhak menerima
zakat, sebagaimana akan diterangkan nanti.
Dan mempermudah-mudahkan dalam
hal itu, adalah tidak mencederakan terhadap keuntungan orang fakir. Tetapi
mencederakan terhadap perhambaan kepada Allah. Dan dibuktikan,
bahwa memperhambakan diri kepadaNya (ta'abbud) itu dimaksudkan dengan
menentukan bermacam-macam, oleh beberapa perkara yang telah kami sebutkan
dalam kitab-kitab yang menerangkan bermacam-macam pendapat dari
masalah-masalah fiqih.
Sebahagian yang amat
jelas daripadanya, ialah bahwa syari'at mewajibkan dalam lima ekor unta, seekor
kambing.
Syari'at itu,
berpaling dari unta kepada kambing dan tidak berpaling kepada emas dan perak
dan menilaikannya. Kalau diumpamakan, bahwa yang demikian itu, karena sedikit
mata uang pada tangan orang-orang Arab, maka yang demikian itu menjadi batal,
dengan diperbolehkan dua puluh dirham pada penempelan dari kekurangan, bersama
dengan dua ekor kambing. Maka mengapakah, tidak disebutkan pada penempelan itu,
sekedar yang kurang dari nilainya? Mengapakah ditentukan dengan dua puluh
dirham dan dua ekor kambing, sedangkan kain dan semua barang, adalah mengandung
satu maksud dengan itu?.
Apa yang disebutkan
tadi dan segala ketentuan yang seumpama dengan dia, menunjukkan, bahwa zakat
tidaklah dibiarkan terlepas daripada perhambaan kepada Allah, sebagaimana pada
hajji. Tetapi dikumpulkan diantara kedua maksud. Dan jiwa yang lemah, tak
sanggup memahami segala susunan. Dan disitulah terletaknya kesalahan.
Keempat: zakat itu
tidak dipindahkan ke negeri lain. Karena mata orang-orang miskin ditiap-tiap
negeri memanjang sampai kepada harta-hartanya. Dan dengan pemindahan zakat itu
menyia-nyiakan segala sangkaan.Kalau dipindahkan, memadai juga menurut suatu
pendapat (qaul). Tetapi keluar dari keragu-raguan perselisihan itu, adalah lebih
utama. Dari itu, hendaklah dikeluarkan zakat tiap-tiap harta, pada negeri harta
itu sendiri.
Kemudian tidak
mengapa diserahkan kepada orang-orang perantau yang ada pada negeri tempat
pengeluaran zakat,
Kelima : harta zakat
itu dibagi-bagikan, menurut bilangan golongan penerima zakat yang ada dinegeri
itu. Karena meratakan golongan adalah wajib, dibuktikan oleh ketegasan firman
Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
(Innamash-shadaqaatu
lil-fuqaraa-i wal-masaakiini wal-'aamiliina 'alaihaa wal-muallafati quluu buhum
wa firriqaabi wal-ghaarimiina wa fii sabiilillaahi wabnis-sabiil).
Artinya : "Sedekah itu hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang orang miskin, pengurus zakat,
orang-orang yang dibujuk hatinya, untuk-melepaskan perbudakan (tawanan),
orang-orang yang ber-hutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam
perjalanan (S. Al-Bara-ah,(ATTAUBAH) ayat 60).
Tujuan dari firman
tadi, serupa dengan kata orang yang sedang sakit : "Sepertiga dari
hartaku, untuk orang-orang fakir dan orang-orang miskin".Maka
pembahagian zakat itu, menghendaki penyekutuan pada pemilik an dan peribadatan,
sehingga seyogialah di jaga dari tujuan kepada yang dhahir semata-mata.Pada
kebanyakan negeri tidak terdapat dua golongan dari golongan yang delapan itu,
yaitu : golongan yang dibujuk hatinya (muallaf) dan pengurus
zakat ('amil). Dan pada seluruh negeri, terdapat empat golongan, yaitu
: fakir, miskin, orang berhutang dan orang musafir, yakni
: ibnussabil
Dua golongan
terdapat pada sebahagian negeri yaitu : orang-orang yang
berperang pada jalan Allah dan budak-budak yang melepaskan dirinya dengan
tebusan.
Kalau terdapat lima
golongan umpamanya, maka zakat itu dibagi-bagikan antara mereka dalam lima
bahagian yang sama atau berlebih-kurang dan ditentukan untuk tiap-tiap golohgan
sebahagian. Kemudian tiap-tiap bahagian itu, dibagikan kepada tiga bahagian
atau lebih, adakalanya sama banyak atau berlebih-kurang. Dan tidaklah
diharuskan sama banyak diantara orang-orang dari sesuatu golongan. Sehingga
bolehlah dibagikan, ada yang memperoleh sepuluh dan dua puluh dan tertentulah
dengan demikian, bahagian masing-masing.
Adapun
golongan-golongan yang ada itu, tidak dapat ditambah dan dikurangi. Dan tidak
seyogialah dikurangi pada masing-masing golongan, daripada tiga orang, kalau
ada. Kemudian, kalau tidak ada yang wajib diserahkan, selain dari segantang
untuk fithrah, diantara lima golongan yang ada, maka haruslah disampaikan
pembahagian itu kepada lima belas orang. Kalau kuranglah seorang dari mereka
serta mungkin dipenuhi, maka dibayar bahagian orang yang seorang itu Kalau
sulit, karena terlalu sedikit yang harus diserahkan, maka hendaklah ia
berkongsi dengan golongan yang wajib menyerahkan zakat dan mencampurkan
zakatnya dengan zakat golongan itu. Lalu dikumpulkan segala orang yang berhak
menerima zakat, kemudian diserahkan zakat itu, sehingga mereka memperoleh
bahagian masing-masing.Demikian cara yang seharusnya ditempuh!,
Penjelasan : Adab bathiniah yang halus-halus tentang zakat.
Bilamana tidak mungkin, selain dengan diketahui oleh seseorang, maka menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu menyerahkan kepada orang miskin dan orang miskin itu tidak mengenai si pemberi, adalah cara yang sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu, mengandung ria bersama dengan disebut-sebut. Dan dengan dikenal oleh si perantara, tidak adalah, selain dari ria saja.
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Engkaulah yang lebih tahu kepentingan, untuk apa uang itu lagi".Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Tidaklah halal sedekah untuk keluarga Muhammad. Sedekah itu adalah daki manusia".Bersabda Nabi saw. : "Kembalikanlah kehormatan orang yang meminta, walaupun dengan makanan seperti kepala burung". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Kalau benarlah orang yang meminta, maka die tidak merasa senang kepada orang yang menolak permintaannya".
Penjelasan : Adab bathiniah yang halus-halus tentang zakat.
Ketahuilah, bahwa
atas orang yang berkehendak jalan akhirat, dengan zakatnya, mempunyai beberapa
tugas :
Tugas Pertama :
memahami kewajiban dan pengertian zakat serta cara ujian padanya. Dan mengapakah
zakat itu dijadikan sebahagian dari sendi-sendi Islam, pada hal dia adalah
penyerahan keuangan dan tidak daripada ibadah badaniah?.
Mengenai ini, terdapat tiga pengertian :
1. Mengucapkan dua
kalimah syahadah, adalah suatu kemestian bagi tauhid dan pengakuan dengan
keesaan yang disembah.
Syarat bagi kesempurnaan ucapan itu, ialah tidak ada
bagi orang yang bertauhid, yang dicintainya selain dari Yang Maha Esa, Yang
Tunggal. Karena kecintaan, tidak menerima perkongsian. Dan tauhid dengan lisan
itu, kurang faedahnya.Maka diujilah tingkat kecintaan itu, dengan berpisah dari
yang dikasihi.
Dan harta, adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena ia alat kesenangan duniawi. Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan iari-dari mati, padahal, pada mati berjumpa dengan Yang Amat Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang kebenaran dakwaannya pada Yang Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta yang menjadi kesayangan dan kesenangannya.
Dan harta, adalah amat dikasihi oleh segala manusia. Karena ia alat kesenangan duniawi. Dan dengan harta, manusia itu menyukai dunia dan iari-dari mati, padahal, pada mati berjumpa dengan Yang Amat Dikasihi. Maka diujikanlah mereka, tentang kebenaran dakwaannya pada Yang Dicintai. Dan diminta mereka turun dari harta yang menjadi kesayangan dan kesenangannya.
Dari itulah,
berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
(Innallaahasy-taraa
minal-mu'minima anfusahum wa amwaalahum bianna lahumul-jannah).Artinya : "Sesungguhnya Allah telah membeli
diri dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan sorga untuk
mereka". (S. Al-Bara-ah, ayat 111). Yang demikian itu
adalah dengan jihad, yakni: kesedihan berkorban karena rindu hendak berjumpa dengan Allah 'Azza wa
Jalla. Dan kesediaan dengan harta, adalah
lebih mudah. Manakala pengertian ini telah dipahami, mengenai penyerahan
harta, maka terbagilah manusia kepada tiga bahagian :
Bahagian
Pertama : mereka
membenarkan tauhid, menyempurnakan janjinya dan turun dari semua hartanya,
tidak disimpankannya, meskipun sedinar atau sedirham. Lalu mereka enggan
menghadapi kewajiban zakat atas mereka. Sehingga ditanyakanlah kepada
sebahagian mereka : "Berapakah yang wajib untuk zakat pada dua ratus
dirham?".
Lalu ia menjawab : "Adapun
atas orang awam, yang bodoh dengan hukum syari'at, ialah lima dirham. Adapun
kami, maka wajiblah menyerahkan semuanya".Karena inilah, maka Abu Bakar
ra. menyedekahkan semua hartanya dan Umar ra. dengan setengah hartanya.
Lalu bertanya
Nabi صلى الله عليه وسلم : "'
Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?".
Menjawab Umar ra. :
"Sebanyak itu lagi!".
Dan bertanya Nabi
saw. kepada Abu Bakar ra. :
"Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?".
Menjawab Abu Bakar
ra. : "Allah dan RasulNya".
Maka menyambung
Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :
بينكما ما بين كلمتيكما
(Bainakumaa maa
baina kaHmataikumaa).Artinya : Diantara
kamu berdua ialah, apa yang diantara kata-kata kamu berdua.(1)
Abu Bakar Siddik, menyempurnakan
dengan kesempurnaan kebenarannya , lalu tidak dipegangnya, selain dari Yang
Amat Dicintainya, yaitu : Allah dan RasuINya.
Bahagian Kedua : derajat
mereka, kurang dari derajat yang di atas tadi. Mereka memegang hartanya,
menggunakan segala waktu menunaikan hajat dan musim-musim
berbuat yang baik. Tujuan mereka dengan menyimpan harta itu, ialah untuk
berbelanja sekedar hajat, tidak untuk bersenang-senang. Dan menyerahkan yang
lebih dari hajat itu, kepada jalan kebajikan, manakala telah terang
cara-caranya. Mereka tidak merasa cukup sekedar zakat saja. Segolongan
dari tabi'in, berpendapat bahwa pada harta itu terdapat
beberapa hak, selain dari zakat, seperti An-Nakha-i, Asy-Sya'bi,''Atha' dan Mumhij.
Menjawab Asy-Sya'bi, setelah.
ditanyakan kepadanya : "Adakah pada harta itu. hak selain dari
zakat?", dengan mengatakan ; "Ada! Apakah engkau tidak mendengar
firman Allah 'Azza wa Jalla
وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
(Wa aatal-maala
'alaa hubbihii dzawil-qurbaa wal-yataamaa wal-masaakiina wabnas-sabiili
was-saailiina wa fir-riqaab).
(1) Dirawikan
Abu Dawud, At-Tirmidzi. dan Al-Hakim dari ibnu Umar.
|
Artinya ' "Dan
diberikannya harta yang dikasihinya itu kepada kerabatnya, anak-anak piatu,
orang-orang miskin, orang yang terlantar dalam perjalanan, orang-orang yang
meminta dan untuk melepaskan perbudakan". (S. Al-Baqarah, ayat
177).
Mereka membuat dalil
dengan firman Allah 'Azza wa Jalla : "Dan menafkahkan (membelanjakan di
jalan kebaikan), se bahagian dari rezeki yang Kami tyerikan kepada mereka (S.
Al-Baqarah, ayat 3) dan dengan firman Allah Ta'ala : "Nafkahkanlah
sebahagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu (S.
Al-Baqarah, ayat 254). Mereka mendakwakan, bahwa itu tidaklah mansukh dengan
ayat zakat. Tetapi termasuk ke dalam bahagian hak seorang muslim terhadap
seorang muslim. Artinya : wajiblah atas orang yang mampu, biiamana menjumpai
orang yang memerlukan kepada uang, menyampaikan hajatnya, lebih-lebih dari
harta zakat.
Dan yang syah dalam
ilmu fiqih dari bab ini, ialah manakala hajat seseorang itu, bila tidak
dipenuhi dapat menghilangkan nyawanya, maka memenuhi hajat tersebut
adalah fardlu kifayah. Karena tidak boleh disia-siakan nyawa
seorang muslim.
Tetapi mungkin
dikatakan, bahwa tidaklah wajib atas orang yang mampu, selain daripada
menyerahkan sesuatu yang menyampaikan hajat itu, secara hutang. Dan tidak
dimestikan memberikan, sesudah ia menyelesaikan zakatnya sendiri.
Dan mungkin pula
dikatakan, harus ia menyerahkan sekarang juga dan tidak boleh secara
diperhutangkan. Artinya : tidak boleh diberatkan orang fakir itu menerima
hutang. Dan inilah yang diperselisihkan!.
Berhutang, adalah turun
ketingkat yang terakhir dari tingkat orang awam. Yaitu : tingkat: Bahagian
Ketiga : di mana orang awam itu, berkisar kepada menunaikan yang wajib
saja. Mereka tidak menambahkan dan mengurangkan daripadanya.
Inilah tingkat yang
paling kurang keutamaannya! Segala orang awam berkisar pada yang wajib saja,
karena kebakhilan dan kecondongan hati mereka kepada harta, serta lemah
kecintaan mereka kepada akhirat. Berfirman Allah Ta'ala :
إِنْ يَسْأَلْكُمُوهَا فَيُحْفِكُمْ تَبْخَلُوا وَيُخْرِجْ أَضْغَانَكُمْ
(In yas-alkumau haa
fayuh-fikum tabkhaluun ).Artinya : "Jika itu dimintaNya kepada kamu dan
didesakNya kamu, niscaya kamu akan kikir". (S. Muhammad, ayat
37). Artinya : "Jika itu dimintaNya kepada kamu dan didesakNya
kamu, niscaya kamu akan kikir". (S. Muhammad, ayat 37). Artinya :
berulang kali la meminta kepadamu. Berapa banyak, diantara hambaNya yang dibeli
oleh Allah akan harta dan nyawa-nya, dengan sorga dan diantara hamba yang tidak
didesak oleh Allah karena kebakhilannya. Inilah salah satu pengertian
perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hambaNya, dengan memberikan harta!.
2.Mensucikan diri
daripada sifat kebakhilan, karena itu adalah sebahagian dari sifat-sifat yang
membinasakan. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم. : "Tiga sifat membinasakan mernperturut
kebakhilan, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri".
Berfirman Allah
Ta'ala :
(Wa man yuuqa syuhha
nafsihii, fa ulaa-ika humul-muflihuun).Artinya : "Dan siapa yang
terpelihara dari kekikiran jiwanya. merekalah orang-orang yang beruntung". (S.
Al-Hasyr, ayat 9).
Dan akan datang nanti pada "Rubu' Yang Membinasakan", penjelasan
caranya sifat kekikiran itu membinasakan dan bagaimana
menjauhkan diri daripadanya.
Sesungguhnya sifat
kebakhilan itu, dapat dihilangkan, dengan membiasakan memberikan
harta. Mencintai sesuatu itu, tidak akan putus, kecuali dengan memaksakan diri
berpisah daripadanya, sehingga menjadi itu nanti suatu kebiasaan. Maka
dengan pengertian ini, zakat adalah pencuci, artinya :
mensucikan pembayar zakat dari kekejian kikir yang membinasakan. Kesucian itu
menurut kadar pemberiannya dan kegembiraannya dengan mengeluarkan harta serta
kesenangannya menyerahkan harta itu karena Allah Ta'ala.
3.Mensyukuri
nikmat, karena Allah Ta'ala mempunyai nikmat pada hambaNya, pada diri
dan harta hamba itu. Maka segala ibadah badaniah, adalah kesyukuran bagi
nikmat badan. Dan ibadah maliah (ibadah kehartaan), adalah kesyukuran bagi
nikmat harta.
Alangkah kejinya orang yang melihat kepada seorang fakir, yang
berpenghidupan sempit dan memerlukan kepada pertolongannya. Lalu ia tidak
bersedia menunaikan kesyukurannya kepada Allah Ta'ala, di mana ia
tidak memerlukan kepada meminta-minta dan orang lain memerlukan kepadanya,
dengan menyerahkan seperempat puluh atau sepersepuluh dari
hartanya!.
Tugas Kedua : mengenai waktu
pembayaran zakat.
Diantara adab orang
yang beragama, ialah menyegerakan zakat dari waktu wajibnya, untuk melahirkan
kegemaran mengikuti perintah Allah, dengan menyampaikan kesenangan ke dalam
hati orang-orang fakir dan menyegerakan dari penghalang-penghalang masa, yang
menghalanginya dari perbuatan kebajikan. Dan karena mengetahui, bahwa dengan
melambatkan itu, timbul bahaya-baha-ya serta kemaksiatan yang mendatangi
seorang hamba, kalau diperlambatkan daripada waktu wajibnya.
Manakala telah lahir
dari bathin panggilan kepada kebajikan, maka seyogialah dirampas kesempatan
itu. Karena yang demikian itu, adalah kawan malaikat. Dan hati orang mu'min,
ialah antara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Alangkah cepatnya hati itu bertukar! Dan setan menjanjikan kemiskinan. menyuruh
dengan yang keji dan mungkar. Dia mempunyai teman, dibalik teman malaikat.
Dari itu, hendaklah
diambil kesempatan yang baik. Dan hendaklah ditentukan suatu bulan tertentu
untuk menunaikan zakat, jika ditunaikan seluruhnya. Hendaklah diusahakan,
supaya adalah bulan itu, waktu yang sebaik-baiknya, agar yang demikian menjadi
sebab, bagi bertambah mendekatkannya kepada Tuhan dan berli-pat-ganda pahala
zakatnya. Seperti bulan Muharram umpamanya, karena dia adalah awal tahun dan
termasuk diantara bulan-bulan haram (1) atau bulan Ramadlan.
Adalah Nabi صلى الله عليه وسلم makhluk
Allah yang terbaik dan pada bulan Ramadlan, ia seperti angin yang dikirim,
tidak memegang sesuatu benda pada tangannya. Bulan Ramadlan itu, mempunyai
kelebihan dengan Lailatul-qadar dan Al-Qur'an diturunkan pada
bulan Ramadlan. Mujahid mengatakan : "Janganlah kamu katakan
"Ramadlan", karena dia adalah suatu nama dari nama-nama
Allah Ta'ala, tetapi katakanlah "bulan Ramadlan ".
(1) Bulan
haram, ialah diharamkan peperangan padanya, yaitu : bulan Muharram, Rajab,
Dzulkaidah dan Dzulhijjah. (Peny).
|
Bulan Dzulhijjah
juga termasuk sebahagian dari bulan yang banyak kelebihannya. Karena dia bulan
haram, padanya hajji akbar dan hari-hari, tertentu, yaitu
: sepuluh yang pertama dai\ hari-hari yang terbilang, yaitu
: hari-hari tasyriq . (1) Hari-hari bulan Ramadlan yang terutama,
ialah sepuluh yang akhir dan hari-hari bulan
Dzulhijjah yang terutama, ialah sepuluh yang awal.
Tugas Ketiga : dirahasiakan,
karena dengan demikian, menjauhkan dari ria dan terdengar ke mana-mana.
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم :
أفضل الصدقة جهد المقل إلى فقير في سر
(Afdlalush shadaqati
juhdul muqilli ilaa faqiirin fii sirrin).
Artinya : "Sedekah yang terbaik, ialah kesungguhan
dari orang yang sedikit hartanya, menyerahkan sebahagian daripadanya kepada
orang fakir dengan dirahasiakan (2)
Berkata setengah
ulama : "Tiga
perkara daripada gudang kebajikan. Sebahagian daripadanya, ialah menyembunyikan
sedekah".
Dan diriwayatkan
pula suatu hadits musnad, yaitu sabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw.:إن العبد ليعمل عملا في السر فيكتبه الله له سرا فإن أظهره نقل من السر وكتب في العلانية فإن تحدث به نقل من السر والعلانية وكتب رياء
"Sesungguhnya
hamba itu hendaklah berbuat amalan dalam rahasia, maka dituliskan Allah baginya
secara rahasia. Jikalau dilahirkan nya, maka dipindahkan oleh Allah dari
rahasia dan dituliskan dalam keadaan terang Jika diceriterakannya amalan itu
kepada orang, maka dipindahkan oleh Allah dari keadaan rahasia dan terang dan
dituliskan ria'(3)
Pada suatu hadits
masyhur, tersebut :
وفي الحديث المشهور سبعة يظلهم الله يوم لا ظل إلا ظله أحدهم رجل تصدق بصدقة فلم تعلم شماله بما أعطت يمينه
(Sab-'atun
yudhiJluhumullaahu yauma laa dhilla illaa dhilluhu, ahaduhum rajulun tashaddaqa
bishadaqatin falam ta'Iam syimaa-luhu bimaa a'-that yamiinuh).
1)Hari tasyriq,
ialah tiga hari berturut-turut. sesudah tanggal sepuluh bulan Dzulhijjah
(hari raya hajji). iaitu tanggal 11 - 12 dan 13 Dzulhijjah, dilarang padanya
puasa dan disunatkan mengucapkan takbir di belakang shalat-shalat fardlu.
(peny).
2)Dirawikan Ahmad,
Ibnu Hibban dan Al-Haklm dari Abi Dzar.
3)Dirawikan
At-Khatib dari Anas, dengan isnad dla'if.
|
Artinya : "Tujuh
orang, dinaungi mereka oleh Allah, pada hari yang tak ada naungan, selain
daripada naungan Allah. Seorang dari mereka, ialah orang yang bersedekah dengan
suatu sedekah, maka tidak diketahui oleh tangan kirinya, apa yang diberikan
oleh tangan kanannya". (1)
Pada suatu hadits
tersebut : "Sedekah
secara rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan". Berfirman Allah
Ta'ala : "Dan kalau kamu sembunyikan memberikannya kepada orang-orang
fakir, maka itu adalah lebih baik bagi kamu ". (S, Al-Baqarah,
ayat 271).
Faedah
menyembunyikan, ialah terlepas dari bahaya ria dan kedengaran keluar. Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم "Tidak
diterima oleh Allah sedekah dari orang yang memperdengarkan sedekahnya kepada
orang lain, memperlihatkannya kepada. orang lain dan mem bang-kit kannya". Orang
yang menceriterakan sedekahnya itu, ialah mencari nama supaya terdengar keluar.
Dan orang yang memberikan sedekah dihadapan orang banyak, ialah ingin ria.
Sedang menyembunyikan dan berdiam diri sesudah bersedekah, adalah orang yang
ikhlas dengan sedekahnya, Segolongan dari ulama telah bersangatan benar
menerangkan keutamaan menyembunyikan sedekah itu, sehingga dengan
bersungguh-sungguh mereka mengatakan, bahwa yang menerima itu tidak mengenai
yang memberi. Sebahagian mereka meletakkan sedekahnya dalam tangan orang buta
dan sebahagian mereka meletakkan-nya pada jalan yang dilalui orang fakir dan
pada tempat duduk orang fakir, di mana orang fakir itu dapat melihatnya dan
tidak melihat yang memberikannya. Dan sebahagian mereka meletakkan-nya dalam
kain orang fakir, ketika ia masih tidur. Dan sebahagian lagi menyampaikannya ke
tangan orang fakir, dengan perantaraan orang lain, di mana orang fakir itu
tidak mengenai si pemberi, Dan dimintanya pada perantara, supaya menyembunyikan
naznanya dan tidak menyiarkannya ke mana-mana.
Sernua itu, adalah
supaya sampai kepada memadamkan kemarahan Tuhan Yang Maha Suci dan
memeliharakan diri dari ria dan terdengar keluar.
1. Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. Dan dalam "ittihaf* syarah
"Ihya"', jilid 4 hal. 112, diterangkan orang tujuh itu, yaitu :
imam (penguasa) yang adil, pemuda yang rajin beribadah, orang yang hatinya
tersangkut ke masjid, dua orang yang berkasih-kasihan pada jalan Allah,
barkumpul dan berpisah atas yang demikian, laki-iaki yang diajak oleh wanita,
lalu ia menjawab, bahwa aku takut kepada Allah dan orang yang bersedekah itu.
|
Bilamana tidak mungkin, selain dengan diketahui oleh seseorang, maka menyerahkannya kepada wakil, supaya wakil itu menyerahkan kepada orang miskin dan orang miskin itu tidak mengenai si pemberi, adalah cara yang sebaik-baiknya. Karena dengan dikenal oleh si miskin itu, mengandung ria bersama dengan disebut-sebut. Dan dengan dikenal oleh si perantara, tidak adalah, selain dari ria saja.
Manakala ada
kemasyhuran yang dimaksudkan bagi si pemberi, maka batallah amalnya. Karena
zakat adalah menghilangkan kekikiran dan melemahkan kecintaan kepada harta. Dan
mencintai kemegahan, adalah lebih hebat pengaruhnya kepada diri daripada
mencintai harta. Kedua-duanya itu membinasakan di akhirat.
Tetapi, sifat
kikir, bertukar di dalam kubur, sebagai perumpamaan, menjadi seekor kala
yang menyengat. Dan sifat ria bertukar di dalam kubur menjadi
seekor ular besar. Dari itu, disuruh melemahkan kedua-duanya atau membunuh
kedua-duanya, untuk menolak atau meringankan kesakitan dari kedua-duanya.
Manakala dimaksudkan
ria dan didengar orang, maka seolah-olah dijadikan sebahagian dari kaki
kala, untuk menguatkan ular. Berapa yang lemah dari kala maka itu
menambahkan pada kekuatan ular.Kalau keadaan itu dibiarkan, sebagaimana yang
ada, niscaya adalah urusan itu, lebih mudah baginya. Kekuatan sifat-sifat
tersebut di atas, di mana kekuatannya bertambah, ialah dengan berbuat, menurut
yang dikehendaki oleh sifat-sifat itu. Dan kelemahannya, ialah dengan
menantang, menyalahi dan berbuat kebalikan daripada yang dikehendakinya.
Maka apakah
faedahnya, menolak panggilan kekikiran dan me-nyambut
panggilan ke-ria-an? Lalu lemah yang lebih lemah dan kuat yang
lebih kuat? Dan akan datang penjelasan segala rahasia dari
pengertian-pengertian ini, pada "Rubu' Yang Membinasakan".
Tugas Keempat : bahwa dilahirkannya, bila
diketahuinya, bahwa pada melahirkan itu, membawa manusia suka mengikutinya
dan berusaha merahasiakannya dari panggilan ria : dengan jalan
yang akan kami sebutkan, tentang pengobatan ria, pada Kitab
Ria nanti.
Berfirman Allah
Ta'ala :
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ
(In
tubdush-shadaqaati fani-'immaahiy). Artinya
: "Kalau kamu memberikan sedekah dengan terang, itu baik (S.Al-Baqarah,
ayat271)
Dan yang demikian
itu dikehendaki oleh keadaan untuk dilahirkan, adakalanya, untuk diikuti orang
dan adakalanya karena peminta itu meminta dihadapan orang banyak. Maka tidak
seyogialah ditinggalkan bersedekah, karena takut dari ria pada melahirkannya.
Tetapi seyogialah bersedekah. dan menjaga rahasianya daripada ria, sedapat
mungkin.
Inilah, karena pada
melahirkan itu ditakuti hal ketiga, selain daripada disebut-sebut dan ria,
yaitu : merusakkan kehormatan si fakir. Karena mungkin si fakir itu,
merasa tersinggung, dengan memperli-hatkannya dalam bentuk orang yang
memerlukan kepada sesuatu.
Maka orang yang
meminta secara terus-terang, adalah ia telah merusakkan kehormatannya sendiri.
Maka tidaklah ditakuti lagi pengertian tadi, pada melahirkannya. Dan itu,
adalah seperti melahirkan sifat fasiq atas orang yang
menutupinya rapat-rapat, maka itu dicegah. Mengorek-ngorek dan membiasakan
menyebutkannya, adalah dilarang. Adapun orang yang melahirkannya, maka
menjatuhkan hukuman atas orang itu, ialah memperkembangkan berita itu. Tetapi
fasiq itu sendiri, yang menjadi sebab untuk dijatuhkan hukuman itu. Dan
pengertian yang seperti ini, sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Barangsiapa mencampakkan pakaian malunya, maka tak
adalah upatan baginya lagi". (1) Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً
(Wa anfiquu mimmaa
razaqnaahum sirran wa 'alaaniyah). Artinya : "Dan mereka
menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan dengan sembunyi dan
terang-terangan". (S. Ar-Ra'd, ayat 22).
Disunatkan juga
dengan terang-terangan, karena dengan terang-terangan itu, memberikan faedah
menggemarkan orang meng-ikutinya.
Maka hendaklah hamba
itu memperhatikan dengan teliti, tentang timbangan faedah ini, dengan larangan
yang ada padanya. Dan hal itu berbeda, menurut keadaan suasana dan orang.
Kadang-kadang,secara terang-terangan, pada sebahagian keadaan untuk sebahagian
orang, adalah lebih baik. Dan siapa yang mengenai segala yang berfaedah dan
yang merusakkan, tanpa memandangnya dengan pandangan hawa nafsu, niscaya
teranglah baginya yang lebih utama dan yang lebih layak dalam segala hal.
(1)
Dirawikan Ibnu 'Uda dan Ibnu Hibban dari Anas, dengan sanad dla'if.
|
Tugas Kelima : tidaklah
dibatalkan sedekah itu, dengan menyebut-nyebut dan menyakitkan hati orang yang
menerimanya. Berfirman Allah Ta'ala :
(Laa tubthiluu
shadaqaatikum bilmanni wal-adzaa). Artinya : "Janganlah kamu batalkan sedekahmu
dengan menyebut-nyebut (al-manni) dan menyakitkan (al-adza)". S.
Al-Baqarah, ayat 264).
Berbeda pendapat
diantara para ulama, tentang hakikat menyebut-nyebut (al-manni)
dan menyakitkan (al-adza). Ada yang mengatakan, al-manni, yaitu : menyebut-nyebut sedekah yang diberikan. Dan al-adza, yaitu
: melahirkannya kepada orang lain.
Berkata Sufyan :
"Barangsiapa membangkit-bangkitkan sedekahnya, niscaya sedekah itu
batal", Lalu orang bertanya kepadanya : "Bagaimana
membangkit-bangkitkan itu?". Sufyan menjawab : "Bahwa ia
menyebut-nyebutkan dan menceri-terakannya".
Setengah ulama
mengatakan, bahwa al-manni, ialah meminta pada orang yang
diberikan sedekah itu, supaya memberikan tenaga, demi kepentingan orang yang
memberi sedekah. Dan al-adza, ialah meng-hinakan orang yang
diberikan sedekah itu, dengan sebab kemis-kinannya.
Ada yang mengatakan,
bahwa al-manni, ialah yang memberi itu menyombongkan diri
karena pemberiannya. Dan al-adza, ialah menggertak dan
mengeluarkan kata-kata keji kepada orang miskin, dengan sebab meminta.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tidak
diterima oleh Allah sedekah orang yang membangkit-bangkitkan (1)
(1) Menurut
Aliraqi, ia tidak menjumpai hadits. ini.
|
Padaku, al-manni
itu, mempunyai pokok pangkal dan tempat turmbuhnya. Yaitu
sebahagian dari ikhwal hati dan sifatnya. Kemudian, bercabang kepadanya segala
keadaan yang dhahir, pada lisan dan anggota badan.
Pokok-pangkaInya, ialah si
pemberi itu memandang dirinya telah berbuat baik dan menganugerahkan nikmat
kepada si penerima. Sedang sebenarnya, hendaklah dia memandang, bahwa si fakir
itu telah berbuat baik kepadanya, dengan bersedia menerima hak Allah yang ada
padanya, yang menjadi kesucian dan kelepasannya daripada api neraka.
Kalau tidaklah si
fakir itu bersedia menerimanya, niscaya tetaplah ia berhutang dengan hak itu.
Maka menjadi kewajibannya, menahan diri daripada membangkit-bangkitkan sedekah
yang diberikan kepada orang fakir, lantaran si fakir itu telah membuat tapak
tangannya, sebagai ganti dari Allah Ta'ala untuk menerima hakNya 'Azza wa
Jalla.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسل "Bahwa sedekah itu jatuh dengan
tangan (kekuasaan) Allah 'Azza wa Jalla, sebelum jatuh pada tangan yang
meminta". (1)
Maka hendaklah
diyakininya, bahwa ia menyerahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla hakNya dan orang
fakir itu mengambil duripada Allah Ta'ala rezekinya, setelah jadinya kepada
Allah 'Azza wa Jalla.
Kalau dia berhutang
pada seseorang, lalu orang itu menyerahkan kepada budaknya atau pelayannya yang
menjadi tanggung jawabnya, tentang kehidupan budak atau pelayan itu, untuk
menagih hutang tadi, maka keyakinan dari yang membayar hutang, bahwa penerima
hutang itu di bawah pengaruhnya adalah sangat dungu dan bodoh. Karena yang
berjasa kepadanya, ialah orang yang menang-gung belanja hidupnya.
Adapun dia, hanyalah
melunaskan apa yang menjadi kewajibannya, disebabkan sudah membeli apa-apa yang
disukainya. Jadi, ia bekerja untuk dirinya sendiri, maka mengapakah ia
menyebut-nyebut orang lain?
Manakala telah
dipahami, pengertian yang tiga, yang telah kami sebutkan
tentang pemahaman kewajiban zakat atau satu dari yang tiga itu, niscaya
ia tidak melihat dirinya telah berbuat baik, selain kepada dirinya sendiri.
Adakalanya, dengan menyerahkan hartanya, demi melahirkan kecintaannya, kepada
Allah Ta'ala atau mensucikan dirinya dari kekejian kikir atau mensyukuri nikmat
harta, karena mengharap bertambahnya harta itu.
1) Dirawikan
Ad-Daraquthni dari Ibnu Abbas, hadits gharib.
|
Bagaimanapun adanya,
tetapi tak adalah hubungan mu'amalah antara dia dan orang fakir itu, sehingga
ia memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir.
Manakala terdapat
kebodohan itu, dengan memandang dirinya telah berbuat baik kepada si fakir,
lalu bercabanglah daripadanya pada dhahirnya, apa yang telah disebutkan pada
pengertian al-man-ni, yaitu : membicarakan, mendhahirkan dan
meminta balasan dari si penerima itu, dengan ucapan terima kasih, dengan do'a,
pelayanan, penghormatan, pengagungan, penegakan hak-haknya,mendahulukan di
majelis-majelis dan mengikutinya dalam segala hal.
Maka ini semuanya,
adalah buah daripada al-manni. Dan arti al-manni pada
bathin, ialah apa yang telah kami sebutkan itu.
Adapun al-adza,
dhahirnya ialah menghina dan memberi malu, mengeluarkan kata-kata
kasar, bermasam muka dan merusakkan kehormatan si fakir dengan melahirkan
pemberian itu serta dengan berbagai macam cara merendahkan orang yang menerima
itu.
Bathinnya, yaitu sumbernya, ada dua hal:
1.Tidak suka melepaskan
harta dari tangan dan sangat beratlah yang demikian atas dirinya. Maka yang
demikian itu —sudah pasti— menyempitkan makhluk.
2.Dia melihat
dirinya lebih baik dari orang fakir. Dan orang fakir itu, disebabkan keperluannya, adalah lebih hina daripadanya.
Kedua sumber tadi, terjadinya dari karena kebodohan.
Mengenai tidak
suka melepaskan harta, itu adalah suatu kedunguan. Karena orang yang
tidak suka menyerahkan sedirham, dalam balasan yang menyamai seribu dirham, itu
adalah sangat dungu.
Dan sebagaimana
dimaklumi, bahwa menyerahkan harta, adalah karena mencari kerelaan Allah 'Azza
wa Jalla dan pahala pada negeri akhirat. Dan itu, adalah lebih mulia daripada
apa yang diserahkan-nya. Atau diserahkannya untuk mensucikan dirinya dari
kehinaan kikir atau bersyukur karena mengharap tambahan.Bagaimanapun
diumpamakan, tetapi tidak suka menyerahkan harta itu, tak beralasan sama
sekali.
Mengenai yang kedua, yaitu :
memandang dirinya lebih mulia dari si fakir, itu juga tanda kebodohan. Karena
kalau diketahuinya kelebihan miskin dari kaya dan diketahuinya bahaya yang
dihadapi oleh orang-orang kaya, niscaya tidak akan dihinakannya orang fakir.
Bahkan ia mengambil berkat daripada orang fakir dan bercita-cita memperoleh
derajat kefakiran itu. Orang-orang kaya yang salih, akan memasuki sorga sesudah
orang-orang fakir dengan lima ratus tahun.Dari itu, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Demi Tuhan
yang mempunyai Ka'bah! Mereka itu merugi!Bertanya Abu Dzar : "Siapakah
mereka itu?".Nabi saw. menjawab : "Mereka yang banyak harta!".
Kemudian,
bagaimanakah ia menghinakan orang fakir, padahal orang fakir itu, telah
dijadikan oleh Allah Ta'ala tempat ia berniaga. Karena ia mengusahakan harta
dengan rajin, memperbanyakkan harta dan bersungguh-sungguh menjaganya sekedar
perlu. Dan ia telah dimestikan, bahwa menyerahkan kepada orang fakir sekedar
keperluannya. Dan dilarang melebihi daripada itu, yang mendatangkan melarat
kepadanya, kalau diserahkan.
Maka orang kaya,
adalah dilayani untuk berusaha, menghasilkan rezeki orang fakir. Dan dibedakan
dari orang fakir, dengan menghadapi kedlaliman, mengalami penderitaan dan
menjaga diri dari segala yang tidak perlu, sampai ia mati. Lalu hartanya,
dimakan oleh musuh-musuhnya.
Jadi, manakala telah
tersingkir sifat tidak suka dan berganti dengan suka dan senang dengan
taufiq Allah Ta'ala kepadanya, pada pelak-sanaan kewajiban dan digenggam kannya
harta kepada orang fakir, sehingga terlepas daripada buruknya nasib dengan
diterimanya pemberian itu daripadanya, maka bilanglah al-adza, perighinaan,
mas am muka. Dan bertukarlah dengan kegembiraan. pujian dan penerimaan
kenikmatan itu. Itulah tempat terjadinya al-manni dan al-adza! Kalau
anda mengatakan, bahwa melihat dirinya dalam tingkat orang yang berbuat baik,
adalah suatu hal yang sulit. Adakah tanda, yang dapat ia menguji hatinya dengan
tanda itu, sehingga ia mengenai bahwa dia tidak melihat dirinya berbuat baik?
Maka ketahuilah,
bahwa ia mempunyai tanda yang halus dan jelas. Yaitu : kalau diumpamakan si
fakir itu telah berbuat suatu penganiayaan atas dirinya atau si fakir itu
menolong musuhnya umpamanya, maka ada kali bertambah perlawanan bathinnya dan
menjauh hatinya dari si fakir itu, dengan perlawanan bathinnya sebelum
bersedekah itu?Kalau bertambah, maka tidaklah terlepas sedekahnya dari
campuran al-manni, karena dengan sebabnya, telah terjadi apa
yang sebetulnya, tidak diharapkan terjadi sebelumnya.Kalau anda mengatakan : "Ini adalah soal yang sulit
dan tidak terlepaslah hati seseorang daripadanya. Maka apakah obatnya?".Maka
ketahuilah, bahwa ia mempunyai obat bathin dan obat dhahir.
Obat bathin, ialah mengenai
segala hakikat yang telah kami sebutkan pada pemahaman yang wajib itu. Sesungguhnya
orang fakirlah yang berbuat baik kepadanya, pada mensui-ikannya dengan menerima
sedekah.
Adapun obat dhahir, maka ialah segala perbuatan yang dikerjakan oleh orang yang
bersifat dengan al-manni itu, Maka sesungguhnya
perbuatan-perbuatan yang timbul dari budi pekerti yang baik, niscaya akan
mencelup hati itu berbudi pekerti yang baik, sebagaimana akan datang segala
kunci rahasianya, pada bahagian yang penghabisan dari Kitab
ini.
Dari itu, sebahagian
mereka meletakkan sedekah dihadapan orang fakir dan tegak berdiri dihadapannya,
meminta kiranya fakir itu bersedia menerima sedekahnya. Sehingga ia berada
dalam bentuk orang yang meminta, disamping ia merasa tidak senang kalau
sedekahnya ditolak.Sebahagian mereka membuka tangannya, supaya fakir itu
mengambil dari tangannya dan tangan si fakir menjadi di atas. 'Aisyah ra. dan
Ummu Salmah ra. apabila mengirimkan sesuatu pemberian kepada orang fakir,
mengatakan kepada utusan yang membawa kiriman itu : "Hafalkanlah do'a yang
dibacakan fakir itu!".Kemudian, keduanya membalas seperti do'a yang
dibacakan si fakir seraya mengatakan : "Dengan demikian, ikhlaslah sedekah
kami bagi kami".Mereka sebetulnya, tidak mengharapkan do'a, karena itu
menyerupai pembalasan. Dari itu, mereka membalas do'a yang dibacakan si fakir,
dengan do'a yang seperti itu pula.
Begitulah diperbuat
oleh Umar bin Al-Khaththab dan anaknya Abdullah ra. Dan begitu pulalah
orang-orang yang menitik berat-kan perhatiannya pada hati, mengobati hatinya.
Dan tak adalah obatnya dari segi dhahir, selain dari segala
amal perbuatan ini,yang menunjukkan kepada kehinaan, kerendahan diri dan
menerima nikmat Allah Ta'ala. Dan dari segi bathin, ialah
segala pengetahuan (ma'rifah) yang telah kami sebutkan itu.Ini, dari segi
amal perbuatan. Dan yang itu dahulu, dari segi ilmu pengetahuan. Dan
tidaklah hati itu diobati, selain dengan obat ilmu dan amal. Syarat
ini dari zakat, adalah sejalan dengan jalannya khusyu' dari
shalat. Hal itu, dibuktikan dengan sabda Nabi saw. :"Tidaklah bagi manusia d.ari shalatnya,
selain daripada apa yang dipahaminya ".Dan ini, adalah seperti
sabda Nabi saw. : "Tidak diterima Allah sedekah orang yang
membangkit-bangkitkan dan seperti firman Allah 'Azza wa Jaila : "Janganlah
kamu batalkan sedekahmu dengan "al-manni" (menyebut-nyebut kan) dan
"al-adza" (menyakitkan)". (S. Al-Baqarah, ayat 264).
Adapun fatwa ulama
fiqih, dengan jadinya zakat itu menjadi zakat dan terlepasnya tanggung jawab
dengan penyerahan yang seperti itu, tanpa syarat yang kami sebutkan, adalah
berdasarkan hadits lain, yang sudah kami tunjukkan pengertiannya dalam "Kitab
Shalat" dahulu.
Tugas Keenam : hendaklah
dipandangnya pemberian itu kecil saja. Karena, kalau dipandangnya besar, maka timbullah kebanggaan di
dalam hatinya. Dan sifat kebanggaan itu, termasuk sifat yang membinasakan. Dan
itu membatalkan segala amal perbuatan. Berfirman Allah Ta'ala :
(Wa yauma hunainm
idz- a'jabatkum katsratukum falam tughni 'ankum syai-aa). Artinya : "Dan
di hari perang Hunain, ketika kamu membanggakan diri karena banyak jumlahnya,
tetapi jumlah yang banyak itu, tidak menolong kepada kamu sedikitpun". (S.
Al-Bara-ah,@Attaubah ayat 25)
Dan ada yang
mengatakan bahwa tha'at, kalau dipandang kecil, maka besarlah dia pada sisi
Allah Ta'ala. Dan ma'siat kalau dipandang besar, maka kecillah dia pada sisi
Allah 'Azza wa Jalla. Ada yang
mengatakan, bahwa perbuatan baik, tidak akan sempurna, selain dengan
tiga perkara : memandangnya kecil, menyegera-kannya dan menutupkannya. Dan
tidaklah memandangnya besar itu, dinamakan al-manni dan al-adza. Karena
kalau diserahkannya hartanya kepada pembangunan masjid atau langgar, niscaya
mung-kinlah disitu memandangnya besar dan tidak mungkin
al-manni dan al-adza. Tetapi membanggakan diri dan memandang amalan itu besar,
berlaku dalam segala ibadah. Dan obatnya, ialah ilmu dan amal.
Adapun ilmu, yaitu ia mengetahui bahwa seperselupuh atau seperempat puluh,
adalah sedikit dari yang banyak. Dan dia telah merasa puas bagi dirinya, dengan
pemberian ditingkat yang paling rendah itu, sebagaimana telah kami sebutkan
pada pemahaman yang wajib dahulu. Dari itu, wajarlah ia merasa malu dari
pemberian yang demikian. Bagaimanakah kiranya, ia memandang besar? Kalau
naiklah ia ke derajat yang lebih tinggi, lalu memberikan semua hartanya ataupun
sebahagian besar daripadanya, maka hendaklah ia memperhatikan, bahwa dari
manakah harta itu datang dan k em an a kah hendak digunakannya? Harta itu,
adalah kepunyaan Allah 'Azza wa Jalla. Allah boleh menyebut-nyebutkannya,
karena telah meanugerah kannya kepada seseorang dan memberikan taufiq kepada
orang itu untuk menye-rahkannya. Maka mengapakah ia membesar-besarkan
pemberiannya pada hak Allah Ta'ala, akan sesuatu yang sebetulnya kepunyaan
Allah Ta'ala? Kalau keadaannya menghendaki, bahwa ia memandang ke
akhirat dan memberikannya untuk memperoleh pahala, maka mengapakah ia
membesar-besarkan pemberian yang ditunggukannya pahala yang berlipat ganda?.
Adapun amal, maka ia
memberikan harta itu, sebagai pemberian karena malu dari kekikiran, dengan
menahan sisa hartanya daripada Allah 'Azza wa Jalla. Maka adalah sifatnya,
merasa enggan dan malu, seperti sifat orang yang diminta mengembalikan barang
simpanan yang ada padanya. Maka ditahannya setengah dan di-kembalikannya
setengah, sedang harta seluruhnya adalah kepunyaan Allah 'Azza wa Jalla. Menyerahkan
seluruhnya adalah lebih disukai Allah Subhaanahuwa Ta'aalaa. Sesungguhnya
Dia tidak menyuruhkan hambaNya dengan demikian karena menyusahkan bagi hamba
itu, lantaran kekikirannya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta'ala :
(Fayuhfikum
tabkhaluu) = Artinya : "Maka
didesakkan Allah akan kamu, niscaya kamu akan kikir". (S. Muhammad, ayat 37).
Tugas Ketujuh : bahwa
dipilihnya daripada hartanya yang paling baik, yang paling disayanginya, yang
paling mulia dan yang paling cantik. Karena Allah Ta'ala itu baik, tidak
menerima melainkan yang baik. Apabila yang dikeluarkan untuk sedekah itu,
dari harta yang diragukan haialnya (harta syubhat), maka kadang-kadang harta
itu bukan miliknya secara mutlak. Sehingga tidaklah harta itu menjadi
sebagaimana yang diharapkan.
Tersebut pada hadits
yang diriwayatkan Aban dari Anas bin Malik: (Thuubaa li'abdin anfaqa min
maaliniktasabahu min ghairi ma'-shiyah). Artinya : "Amat
baiklah kiranya bagi seorang hamba, yang mengeluarkan untuk sedekah dari harta
yang diusahaknnnya, tidak dari kema'siatan". (1)
Apabila yang
dikeluarkan itu, tidak daripada harta yang baik, maka itu adalah setengah
daripada kurang adab (kurang sopan). Karena mungkin ditahannya yang baik untuk
dirinya sendiri atau untuk hambanya atau untuk keluarganya. Jadi ia lebih
memilih dan me-mentingkan orang lain, daripada Allah Ta'ala.
Kalau diperbuatnya
demikian terhadap tamunya, disugu kannya makanan yang paling buruk kepada tamu
itu di rumahnya, maka sesungguhnya ia menyesakkan dadanya dengan yang demikian.
Demikianlah kiranya, kalau ada pandangannya kepada Allah 'Azza wa Jalla. Dan
kalau pandangannya kepada dirinya sendiri dan pa-halanya di akhirat, maka tidaklah
namanya berakal, orang yang mendahulukan orang lain daripada dirinya
sendiri. Dan tidaklah harta itu menjadi kepunyaannya, selain daripada apa yang
telah di sedekahkannya. Maka itulah yang kekal. Atau apa yang telah dimakannya,
maka itulah yang binasa. Dan apa yang dimakannya, adalah menunaikan hajat hidup
yang sekarang. Maka tidaklah termasuk berakal, orang yang memperhatikan
semata-mata kepada masa dekat dan meninggalkan penyimpanan untuk masa depan.
1) Dirawikan ibnu
'Uda dan Al-Bazzar dari Anas.
|
Berfirman Allah
Ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ
(Yaa-ayyuhal
ladziina aamanuu anfiquu min thayyibaati maa kasabtum wa mimmaa akhrajnaalakum
minal ardli wa laa tayam-mamul khabiitsa minhu tunfiquuna wa lastum
bi-aakhidziihi illaa an tughmidluu fiih).Artinya : "Hai
orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (keluar-kanlah) sebahagian yang
baik-baik dari hasil usahamu dan hasil-hasil yang Kami keluar kan dari bumi dan
janganlah kamu pilih kan yang buruk-buruk diantaranya yang akan kamu nafkahkan;
sedang-kan kamu sendiri tak mau mengambilnya (kalau diberikan kepada kamu),
melainkan dengan memincingkan mata". (S. Al-Baqarah, ayat 267).Artinya
: kamu tidak mengambilnya, kecuali dengan merasa benci dan malu.
Itulah artinya memincingkan mata. Maka tidaklah kamu memilihkan Tuhanmu dengan
demikian.
Pada hadits tersebut
: "Didahulukan
oleh sedirham, akan seratus ribu dirham (1) Yaitu dengan dikeluarkan
oleh seseorang dari hartanya, yang paling halal dan yang paling baik. Maka
keluarlah yang demikian itu dengan kerelaan dan kegembiraan
memberikannya.Kadang-kadang dikeluarkannya seratus ribu dirham daripada
hartanya yang tidak disukainya. Maka yang demikian itu, menunjukkan bahwa dia
tidak mengutamakan Allah 'Azza wa Jalla, dengan sesuatu yang
dikasihinya. Dengan sebab yang demikianlah, maka dicacikan oleh Allah
suatu golongan yang menjadikan untuk Allah, apa yang tidak disukai mereka.
Berfirman Allah Ta'ala :
(1)Dirawikan
An-Nasa-i dan Ibnu Hibban dan dipandangnya shahih, dari Abu Hurairah.
|
وَيَجْعَلُونَ لِلَّهِ مَا يَكْرَهُونَ وَتَصِفُ أَلْسِنَتُهُمُ
الْكَذِبَ أَنَّ لَهُمُ الْحُسْنَى لا
(Wa yaj'aluuna
lillaahi maa yakrahuuna wa tashifu alsinatuhumul kadziba anna Iahumul husnaa
laa).Artinya : "Dan
mereka hubungkan dengan Allah, apa-apa yang tidak mereka snkai (untuk diri
mereka) dan lidah mereka menceri-terakan kepalsuan, bahwa mereka akan mendapat
kebaikan. Tidak"
Sebahagian ahli
bacaan Al-Quran (ahli qira-at) berhenti (waqaf) pada kata-kata
"Tidak" itu, untuk membohongi mereka, kemudian memulai lagi dan
menyambung :
(jarama anna iahumun
naar) Artinya : "Sesungguhnya untuk mereka, adalah neraka". (S,
An-Nahi, ayat 62).Bermakna: Sesungguhnya bagi mereka neraka, karena mereka
jadikan bagi Allah, apa yang tidak mereka sukai.
Tugas Ke delapan : hendaklah dicari untuk menerima sedekahnya, orang yang menjadi suci
sedekahnya dengan orang itu. Dan tidak dicukupkan saja, asal orang itu termasuk
dalam golongan yang delapan. Karena dalam keseluruhan golongan yang delapan
itu, terdapat sifat-sifat tertentu. Maka hendaklah diperhatikannya sifat-sifat
yang tertentu itu, yaitu enam perkara.
1. Hendaklah
dicarikan orang-orang yang taqwa, yang berpaling dari dunia, menjuruskan
hidupnya untuk perniagaan akhirat. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Janganlah
engkau makan, selain dari makanan orang yang bertaqwa dan janganlah dimakan
makanan engkau, selain oleh orang yang bertaqwa (1). Inilah kiranya, karena orang yang
bertaqwa itu, dapat meminta pertolongan kepada caqwa. Maka adalah anda
bersama-sama dengan dia dalam mengerjakan tha'at, disebabkan anda memberikan
pertolongan kepadanya. Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم "Berikanlah makanan-mu kepada orang-orang yang taqwa dan
tujukanlah perbuatan baikmu kepada orang-orang mu'min". (2) Dan
pada riwayat yang Iain, tersebut ; "Tambahkanlah makanan mu kepada orang yang engkau kasihipada jalan
Allah Ta'ala". (3)
(1)Dirawikan Abu
Dawud dan At-Tirmidzi dan Abi Sa'id,
(2)Dirawikan
ibnul-Mubarak dari Abi Sa'id. Kata Ibnu Thahir, hadits ini gharib dan majhul.
(3)Dirawikan
Ibnul-Mubarak dari Adl-dlahhak, hadits mursal.
|
Adalah sebahagian ulama, mengutarakan makanannya kepada orang-orang shufi
yang fakir, tidak kepada orang lain. Lalu orang bertanya kepadanya :
"Kalau tuan ratakan pemberian tuan itu kepada semua orang fakir, tentulah
lebih baik". Ulama itu menjawab : "Tidak! Cita-cita
dari fakir yang shufi itu, adalah semata-mata kepada Allah Ta'ala. Kalau
datanglah kepapaan kepada mereka, niscaya hancurlah cita-cita seseorang mereka.
Dari itu, aku lebih menyukai mengembalikan cita-cita seseorang kepada Allah
'Azza wa Jalla, daripada memberikan kepada seribu orang, yang cita-citanya
duniawi".
Ucapan yang di atas ini,disampaikan orang kepada Junaid, maka diterimanya
dengan baik, seraya mengatakan : "Yang mengucapkan kata-kata
ini adalah salah seorang daripada aulia Allah Ta'ala". Seterusnya Junaid
mengatakan : "Belum pernah aku mendengar sejak dahulu, perkataan yang
lebih baik daripada ini".
Kemudian, diceriterakan, bahwa ulama yang mengucapkan kata-kata di atas
tadi, rusak keadaan perniagaannya. Ia bercita-cita meninggalkan tokonya, lalu
Junaid mengirimkan bantuan harta kepadanya dan berpesan :
"Jadikanlah harta ini modalmu Janganlah engkau tinggalkan toko itu, karena
berniaga tidaklah mendatangkan melarat bagi orang, yang seperti engkau".
Ulama itu adalah
penjual sayur-sayuran, tidak mau mengambil pembayaran dari orang-orang fakir
yang membeli padanya.
2.Hendaklah orang
yang dikhususkan diberikan itu dari ahli ilmu khususnya. Karena yang demikian,
adalah menolong orang itu kepada ilmu. Dan ilmu adalah ibadah yang paling
mulia, manakala benar niat padanya.
Adalah Ibnul-Mubarak mengkhususkan
pemberiannya kepada ahli ilmu, lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah
tidak tuan katakan pemberian itu?".la menjawab : "Aku
tidak mengenal sesudah derajat kenabian, yang lebih utama daripada
derajat alim-ulama. Apabila hati salah seorang ulama terganggu dengan sesuatu
keperluan, maka tidaklah tercurah hatinya itu kepada ilmu dan tidak lagi
menerima orang untuk belajar. Dari itu, berusaha mencurahkan hati mereka kepada
ilmu, adalah lebih utama".
3.Hendaklah orang
yang diberikan itu, orang yang benar taqwanya dan ilmunya dengan ketauhidan.
Ketauhidannya itu, ialah apa-bila ia menerima pemberian lalu memujikan Allah,
mensyukuriNya dan memandang bahwa nikmat itu daripadaNya. Dan ia tidak
memandang kepada perantaraan (si pemberi).
Inilah kesyukuran
hamba yang sebaik-baiknya kepada Allah swt. Yaitu : memandang bahwa nikmat itu
semuanya adalah daripadaNya.
Dalam wasiat Luqman
kepada puteranya, tersebut : "Janganlah engkau adakan diantara engkau dan
Allah, pemberi nikmat yang lain dan engkau hitung nikmat dari orang
lain itu kepada engkau sebagai hutang. Dan barangsiapa mensyukuri selain kepada
Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dia seolah-olah tidak mengenal yang
memberikan nikmat itu. Dan tidak meyakini bahwa orang perantaraan itu, adalah
terpaksa diperuntukkan untuk memberi dengan penunjukan Allah 'Azza wa Jalla.
Karena Allah Ta'ala telah menguasakan kepadanya faktor-faktor untuk berbuat dan
memudahkan sebab-sebab untuk berbuat. Lalu orang itu memberikan dan dia itu
terpaksa. Kalau ia menolak, tidak mau memberikannya, maka ia tidak sanggup,
setelah dicurahkan Allah ke dalam hatinya, bahwa kemuslihatan agamanya dan
dunianya adalah pada perbuatan itu.
Manakala penggerak
sudah kuat, niscaya mengharuskan yang demikian, akan keteguhan kemauan dan
kebangkitan kesanggupan. Dan tidak hamba itu, sanggup menantang penggerak yang
kuat, yang tak. ada keraguan lagi padanya. Allah 'Azza wa Jalla juayang
menjadikan penggerak-penggerak itu dan membangkitkannya, menghilangkan
kelemahan dan kesangsian daripadanya. Menentukan kesanggupan untuk bangun,
menurut yang dikehendaki penggerak-penggerak itu.
Siapa yang meyakini
akan ini, niscaya tidak ada baginya pandangan selain kepada Yang
Menyebabkan sebab-sebab itu. Keyakinan seperti hamba ini adalah lebih
bermanfa'at bagi si pemberi, daripada pujian dan ucapan syukur dari orang lain.
Maka yang demikian
itu, adalah gerakan lidah, pada kebanyakan hal, yang sedikit faedahnya. Dan
memberi pertolongan kepada seumpama hamba yang bertauhid ini, tidaklah sia-sia.
Adapun orang yang
memuji dengan pemberian dan mendo'akan dengan kebajikan, maka akan mencaci bila
tidak diberikan lagi dan akan mendo'akan dengan kejahatan, ketika disakitkan
hatinya. Dan hal-ikhwalnya, adalah berlebih-kurang.
Diriwayatkan, bahwa
Nabi صلى الله عليه وسلم : "Mengirimkan
pemberian kepada sebahagian orang fakir dan mengatakan kepada utusan yang
membawa pemberian itu : "Hafalkanlah apa yang diucapkan fakir itu!".
Tatkala fakir
menerimanya, lalu mengucapkan : "Segala pujian bagi Allah yang tidak
lupa akan siapa yang mengingatiNya dan tidak menyianyiakan akan siapa yang
mejisyukuriNya". Kemudian fakir itu menyambung lagi : "Ya
Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau tidak melupakan si Anu (maksudnya,
dirinya sendiri), maka jadikanlah si Anu tidak melupakan
Engkau". Ia maksudkan dengan si anu dirinya sendiri.Utusan itu
menceriterakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم apa yang
didengarnya, maka amat gembiralah Nabi صلى الله عليه وسلمlalu bersabda : "Aku
tahu, memang ia mengucapkan yang demikian ". (1)
Lihatlah betapa
perhatiannya, hanya tertuju kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa .
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada seorang
laki-laki : "Bertobatlah!". Maka menjawab laki-laki itu
: "Aku bertobat kepada
Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak aku bertobat kepada Muhammad!".
Menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Diperkenalkan kebenaran kepada ahlinya "
(2)
Tatkala turun ayat
suci, yang menerangkan terlepasnya 'Aisyah ra. daripada berita palsu, maka
berkata Abu Bakar ra. kepada 'Aisyah ra. : "Bangunlah dan peluklah kepala Rasulullah صلى الله عليه وسلم Maka menjawab
'Aisyah ra. : "Demi Allah,
aku tidak mau dan aku tidak memujikan, selain Allah!".Lalu menjawab Nabi
saw. : "Biarkanlah
dia, wahai Abu Bakar!".
Pada riwayat Iain,
tersebut, bahwa 'Aisyah berkata kepada Abu Bakar ra. : "Dengan memujikan Allah, tidak dengan
memujikan engkau dan shahabat engkau!".
Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak membantah yang
demikian, sedang wahyu itu sampai kepada 'Aisyah ra. dengan perantaraan lisan
Rasulullah صلى الله عليه وسلم saw. (3)
1)Menurut
Al-lraqi, ia menjumpai hadits ini dalam suatu hadits dla'if dari Ibnu Umar.
2)Dirawikan Ahmad
dan Ath-Thabrani dari Al-Aswad bin Surai', dengan sanad dla'if.
3)Berita palsu,
yang disiarkan oleh pihak musuh, bahwa 'Aisyah isteri junjungan kita telah
berbuat serong. Maka turunlah ayat suci membantah berita bohong yang
diadaadakan itu, yaitu : "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita
bohong itu, adalah golongan kamu juga. Janganlah kamu kira -perbuatan- itu
memburuk -kan kamu, tetapi membaikkan kamu. Setlap orang mendapat (hukuman)
dari dosa yang dikerjakan. Dan stapa diantara mereka yang mengambil bahagian
terbesar, dia akan memperoleh siksaan yang besar pula". S. An-Nur, ayat
11 (peny).Hadits tersebut dirawikan Abu Dawud dari 'Aisyah ra.
|
Memandang segala
sesuatu, selain daripada Allah Subhaanahuwa Ta'aalaa, adalah sifat orang-orang
kafir. Berfirman Allah Ta'ala :
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
(Wa idzaa
dzukirallaahu wahdahusyma-azzat quluubul ladziina laa yu'minuuna bil aakhirati
wa idzaa dzukiralladziina min duunihii idzaahum yastabsyiruun)Artinya : "Ketika disebut Allah saja sendirian,
amatlah kesal hati orang-orang yang tiada mempercayai hari kemudian itu. Tetapi
ketika disebut (berhala-berhala) lain dari Tuhan, lihatlah mereka amat gembira". (S.
Az-Zumar, ayat 45).
Dan siapa yang tiada bersih bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari segi sebagai perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya daripada syirik yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah Ta'ala, pada membersihkan tauhidnya dari segala kotoran dan campuran syirik.
Dan siapa yang tiada bersih bathinnya, daripada melihat perantara-perantara, kecuali dari segi sebagai perantara saja, maka seakan-akan ia tiada terlepas bathinnya daripada syirik yang tersembunyi. Hendaklah kiranya ia bertaqwa kepada Allah Ta'ala, pada membersihkan tauhidnya dari segala kotoran dan campuran syirik.
4. Hendaklah orang
yang diberikan itu, menutup dan menyembunyikan hajat keperluannya. Tidak
membanyakkan ceritera dan pengaduan. Atau ada dia orang yang berpribadi, sebahagian
dari orang yang telah hilang nikmat dari tangannya dan masih tetap adat
kebiasaannya yang baik, di mana ia meneruskan kehidupannya dalam pakaian
keelokan. Berfirman Allah Ta'ala :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا
(Yahsabuhumul
jaahilu aghniyaa-a minat ta'affufi, ta'-rifuhum bisiimaahum, laa yas-aluunan
naasa ilhaafaa).Artinya "Orang yang tidak tahu, mengira
bahwa mereka masih kaya, karena suci jiwanya (tidak mau minta-minta); kamu
kenal mereka dengan' tanda-tandanya, mereka tidak mau meminta pada orang
berulang-ulang". (S. Al-Baqarah, ayat 273). Artinya : mereka
tiada berulang-ulang meminta, karena mereka adalah orang-orang kaya dengan
keyakinan dan orang-orang mulia dengan kesabaran.Dan ini, seyogialah dicari
dengan memeriksa dari ahli-ahli agama pada tiap-tiap tempat. Dan
menyelidiki tentang bathin keadaan dari ahli-ahli kebajikan dan keelokan. Maka
pahala menyerahkan pemberian yang baik kepada mereka, adalah berlipat-ganda
daripada menyerahkan kepada orang-orang yang berterang-terangan meminta.
5.Hendaklah ada
orang yang diberikan itu, berkeluarga banyak atau terkurung disebabkan karena
sakit ataupun sebab-sebab yang lain. Maka terdapatlah pada orang yang tersebut
tadi, maksud daripada firman Allah 'Azza wa Jalla :
(Lilfuqaraa-illadziina
uhshiruu fii sabiilillaah).Artinya : "(Berikanlah sedekah itu)
untuk orang-orang fakir, yang terkepung di jalan Allah". (S.
Al-Baqarah, ayat 273).Artinya : mereka tertahan pada jalan akhirat, disebabkan
penyakit atau kesempitan hidup atau perbaikan hati. Mereka tidak sanggup
berjalan keliling negeri, karena mereka terpotong sayap dan terikat kaki dan
tangannya.
Dengan sebab-sebab
inilah Umar ra. memberikan kepada keluarga Nabi saw. yang keputusan belanja,
sepuluh ekor kambing dan lebih dari itu. Dan adalah Nabi saw. sendiri
"memberikan sesuatu pemberian, menurut banyak keluarga".
Ditanyakan Umar ra. tentang
bencana yang sungguh-sungguh, maka menjawab Umar : "banyak keluarga dan
sedikit harta".
6.Hendaklah ada yang
menerima itu, sebahagian dari keluarga dan fainili pihak ibu, maka jadilah itu
sedekah dan silatur-rahmi. Dan pada silatur-rahmi itu, terdapat pahala yang
tidak terhingga. Berkata Ali ra. : "Adalah lebih aku sukai menyambungkan
silatur-rahmi seseorang daripada saudaraku dengan satu dirham, daripada
bersedekah dengan dua puluh dirham. Dan menyambung silatur-rahmi dengan dua
puluh dirham, adalah lebih aku sukai daripada bersedekah sebanyak seratus
dirham. Dan menyambung silatur-rahmi dengan seratus dirham, lebih aku sukai
daripada aku merdekakan seorang budak".
Teman-teman dan juga
saudara-saudara pada jalan kebajikan, didahulukan, dari segala orang yang
berilmu pengetahuan, sebagaimana didahulukan kaum keluarga dari orang-orang
asing (yang bukan keluarga).Maka hendaklah dijaga yang halus-halus ini!.
Inilah sifat-sifat
yang diminta dan masing-masing sifat itu mempunyai tingkat. Maka seyogialah
dicari tingkat yang tertinggi. Kalau diperoleh orang yang mengumpulkan
sejumlah dari sifat-sifat ini, maka adalah itu suatu simpanan besar dan
rampasan agung. Manakala berusaha sungguh-sungguh yang demikian dan benar
(tidak salah), maka ia memperoleh dua pahala. Dan jika salah, maka ia
memperoleh satu pahala.
Salah satu dari
kedua pahalanya, pada sekarang juga, yaitu mensucikan dirinya dari sifat
kikir dan menguatkan cinta kepada Allah dalam hatinya dan
kesungguhannya mentha'ati Allah. Dan sifat-sifat inilah yang menguatkan
dalam hatinya, lalu merin-dukannya berjumpa dengan Allah 'Azza wa Jalla.
Pahala kedua, ialah yang
kembali kepadanya, daripada faedah do'a dan cita-cita yang baik dari yang
menerima zakat. Hati orang-orang baik itu, mempunyai bekas sekarang dan di
akhirat nanti.
Kalau benarlah ia,
maka berhasillah dua pahala. Dan kalau salah, maka berhasil pahala pertama,
tidak pahala kedua.
Maka dengan ini,
berlipat-gandalah pahala orang yang memperoleh kebenaran pada ber-ijtihad di
sini dan pada tempat-tempat yang lain.
Allah Yang Maha Tahu! Wallaahu alam!.
Pasal ketiga : Tentang
orang yang menerima zakat, sebab-sebab ia berhak menerimanya dan tugas-tugas
penerimaan.
Penjelasan : sebabsebab berhak
menerima zakat
Ketahuilah, bahwa
tiada berhak menerima zakat, selain orang merdeka, muslim, tidak keturunan Bani
Hasyim dan Bani Muththalib, bersifat dengan salah satu dari sifat
delapan yang tersebut dalam Kitab Allah Azza wa jalla (Al-Qur'an).Dan
tidaklah zakat itu diserahkan kepada orang kafir, hamba saha-ya, Bani Hasyim
dan Bani Muththalib. Adapun anak kecil dan orang gila, maka boleh diserahkan
zakat kepadanya, apabila diterima oleh walinya. Marilah sekarang, kami
sebutkan sifat-sifat dari golongan delapan itu :
Golongan Pertama := Orang
fakir.
Orang fakir : ialah orang
yang tidak mempunyai harta dan tidak sanggup berusaha. Kalau ia mempunyai
makanan yang mencukupi sehari dan pakaian untuk dipakainya sekarang, maka
tidaklah ia orang fakir, tetapi orang miskin. Kalau
ia mempunyai makanan untuk mencukupi setengah hari, maka dia
itu orang fakir. Kalau ia mempunyai kemeja panjang dan tidak
mempunyai sapu tangan, alas kaki dan celana, sedang harga kemeja panjang itu
tidak mencukupi untuk semua yang tadi, menurut yang layak bagi orang fakir,
maka dia itu orang fakir namanya. Karena dia sekarang tidak
mempunyai apa yang diperlukannya dan apa yang tidak disanggupinya.
Maka tidak
seyogialah disyaratkan pada fakir itu, bahwa ia tidak mempunyai pakaian selain
dari penutup aurat, karena syarat yang demikian itu, adalah berlebih-lebihan.
Biasanya tidak diperoleh orang yang seperti itu.
Dan tidaklah keluar
dari nama fakir, karena ia biasa meminta-minta. Maka tidaklah meminta-minta
itu, dinamakan usaha. Kecuali ia sanggup berusaha,
maka dengan ini, ia dikeluarkan dari nama fakir.Kalau sanggup ia berusaha
dengan sesuatu perkakas, maka dia itu fakir, dan boleh dihelikan untuknya
perkakas itu.
Kalau sanggup ia
berusaha yang tidak layak dengan kepribadiannya dan dengan keadaan orang yang
seperti dia, maka itu fakir nama-nya. Kalau ia sedang belajar dan terhalang
dari belajar dengan berusaha, maka dia itu fakir dan tidak dikira
kesanggupannya bekerja.
Kalau ia seorang
yang beribadah, yang dihalangi oleh berusaha itu, daripada segala tugas ibadah
dan wirid-wirid waktunya, maka hendaklah ia berusaha. Karena berusaha adalah
lebih utama daripada beribadah.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :
طلب الحلال فريضة بعد الفريضة (Thalabul halaali fariidlatun ba'dal fariidlah).Artinya : "Mencari
yang halal, adalah fardlu sesudah mengerjakan yang fardlu (1)
Dimaksudkan dengan
"mencari halal" itu, ialah bekerja mencari perbelanjaan. Berkata Umar
ra.: "Berusaha pada harta yang diragukan halalnya (harta syubhat), adalah
lebih baik daripada meminta-minta".Kalau ia berkecukupan dengan
perongkosan dari orang tuanya atau dari orang yang wajib
menanggungperbelanjaannya, maka ini adalah lebih mudah daripada berusaha. Maka
tidaklah ia dinamakan fakir.
Golongan Kedua :
Orang miskin :
Orang miskin, ialah orang
yang tidak mencukupi uang masuknya untuk uang keluarnya. Kadang-kadang orang
yang mempunyai seribu dirham, dinamakan miskin dan kadang-kadang
orang yang tidak mempunyai selain dari sebuah kapak dan sehelai tali,
dinamakan kaya. Sebuah gubuk kecil yang ditempatinya dan sehelai
kain yang menutupkan tubuhnya sekedar perlu, tidaklah menghilangkan nama
miskinnya.Demikian juga, perabot rumah, yakni yang diperlukan dan yang
layak baginya. Begitu pula kitab-kitab fiqih, tidaklah melepaskan dia daripada
nama miskin.Apabila tidak dimilikinya, selain dari kitab-kitab, maka tidaklah
wajib atasnya zakat fithrah. Karena kitab itu, disamakan
hokumnya dengan kain dan perabot rumah, karena diperlukan kepadanya. Tetapi,
seyogialah diperhatikan sungguh-sungguh tentang keperluan kepada kitab itu.
(1)
Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad dla'if.
|
Kitab adalah
diperlukan karenatiga macam maksud, yaitu : untuk mengajar, untuk mengambil
faedah daripada isinya dan untuk memperoleh kesenangan dengan membacanya.
(untuk penghibur).
Adapun keperluan
untuk memperoleh kesenangan dengan membaca buku-buku itu, maka tidak masuk
kiraan. Seperti menyimpan buku-buku syair, sejarah dari berita-berita lama dan
sebagainya, yang tidak bermanfa'at di akhirat dan tidak berlaku di dunia ini,
selain untuk perintang waktu dan penghibur. Buku yang semacam ini, dijual
untuk membayar kafarat dan zakat fithrah. Dan dilarang menamakan miskin orang
yang mempunyainya.
Adapun keperluan
mengajar kalau mengajar itu untuk usaha mencari perbelanjaan, seperti
juru nasehat, pengajar dan pemberi pelajaran dengan memperoleh balasan
jerih-payah,maka. buku-buku itu adalah perkakasnya. Tidak boleh dijual
untuk pembayar fithrah, seperti alat perkakas tukang jahit dan tukang-tukang
yang lain.
Kalau dipakainya
buku-buku itu, untuk mengajar buat menegakkan fardlu kifayah, maka
buku-buku tersebut tidak dijual dan tidak mencabutkan dia dari nama
miskin, karena itu adalah keperluan yang penting. Adapun keperluan
untuk memperoleh faedah daripada isinya dan untuk belajar daripadanya,
seperti menyimpan buku-buku kesehatan untuk mengobati diri sendiri atau kitab
nasehat, untuk dibaca sendiri dan untuk memperoleh pengajaran dengan isinya,
maka kalau dalam negeri itu adalah dokter dan juru nasehat, niscaya buku-buku
itu tidak begitu penting baginya. Kalau tidak ada, maka benarlah dia memerlukan
kepada buku itu.
Kadang-kadang, dia
tidak memerlukan membaca buku tersebut, kecuali sesudah beberapa lama kemudian.
Maka seyogialah dipastikan masa memerlukan kepadanya.Yang lebih dekat kepada
kebenaran, hendaklah dikatakan, bahwa manakala tidak diperlukan kepadanya dalam
setahun, maka adalah buku itu tidak penting baginya.Sesungguhnya, siapa yang
berlebih dari makanan harinya sesuatu, niscaya wajiblah ia mengeluarkan
fithrah. Apabila makanan kita taksirkan mencukupi untuk sehari, maka keperluan
perabot rumah tangga dan pakaian di badan, selayaknyalah ditaksir untuk
setahun.
Dari itu, tidak
dijual pakaian musim panas pada musim dingin. Dan buku-buku adalah serupa
dengan pakaian dan perabot rumah tangga. Kadang-kadang dia mempunyai dari
semacam buku dua buah, maka tidaklah memerlukan kepada salah
satu daripada keduanya.Kalau ia mengatakan : "Yang satu lebih benar dan
yang satu lagi lebih baik. Aku memerlukan kepada kedua-duanya!".Maka
kami menjawab : "Cukupkanlah dengan yang lebih benar, jualkanlah
yang lebih baik dan tinggalkanlah penghiburan dan kerne wahan!".
Kalau ada dua macam
buku dari satu ilmu pengetahuan, yang satu secara luas dan yang satu lagi
secara singkat, maka kalau maksudnya untuk memperoleh faedah, maka hendaklah
dicukupkannya dengan yang secara luas. Dan kalau maksudnya untuk memberi pelajaran,
maka berhajatlah ia kepada kedua-duanya, karena masing-masing ada faedahnya,
yang tidak terdapat pada yang lain .
Contoh-contoh untuk
gambaran-gambaran yang serupa ini, tidaklah terhingga banyaknya dan tidak
dibentangkan dalam ilmu fiqih. Dan kami bentangkan di sini, adalah karena
merata bahayanya dan menjaga dengan kebagusan pandangan ini kepada yang lain.
Sesungguhnya
menyelidiki secara mendalam, gambaran-gambaran itu, adalah tidak mungkin.
Karena seperti pandangan ini mengenai perabot rumah adalah melampaui tentang
ukurannya, bilangannya dan macamnya. Dan mengenai pakaian di badan dan di
rumah, tentang luasnya dan sempitnya. Dan tidaklah hal-hal ini mempunyai batas
tertentu. Tetapi ulama fiqih berusaha benar-benar tentang itu dengan buah pikirannya
dan ia mendekatkan kepada pembatasan-pembatasan itu, dengan pendapat yang
dikemukakannya. Dan dihadapinya bahaya syubhat dalam hal tersebut.
Orang wara',
mengambil dengan berhati-hati dan meninggalkan apa yang meragukannya kepada
yang tidak meragukannya.Tingkat-tingkat menengah yang menyulitkan, diantara
segi-segi yang nyata-nyata bertentangan, adalah amat banyak. Dan tidaklah
terlepas daripadanya, selain dengan berhati-hati.
Wallaahu a'lam : Allah Yang Maha Tahu!.
Wallaahu a'lam : Allah Yang Maha Tahu!.
Golongan ketiga : yang bekerja pada zakat ('amil)
Mereka adalah para
pekerja yang mengumpulkan zakat, selain dari khalifah (kepala pemerintah) dan
qadli (hakim). Dan termasuk dalam golongan 'amil zakat, orang yang
mengamat-amati zakat, penulis urusan zakat, orang yang mengurus, supaya zakat
itu dilak-sanakan dengan sempurna, penjaga zakat dan pengangkut
zakat. Masing-masing mereka, tidak dilebihkan upahnya dari upah yang
layak. Kalau berlebih sesuatu harga dari yang diserahkan kepada 'amil itu, dari
upahnya yang layak, maka yang berlebih itu dikem-baiikan untuk diserahkan
kepada golongan penerima zakat yang lain. Dan kalau berkurang, maka dicukupkan
dari harta kepentingan umum.
Golongan keempat : orang muallaf (orang yang ditarik hatinya kepada Islam). Yaitu orang-orang
yang terkemuka yang telah me-meluk agama Islam, di mana mereka berpengaruh
dalam kaumnya. Dan dengan menyerahkan zakat kepada mereka, membawa mereka tetap
di dalam agama Islam dan menarik hati orang-orang yang setaraf dan
pengikut-pengikutnya.
Golongan kelima : orang mukatab (budak yang diberi kesempatan oleh tuannya mencari harta,
untuk diserahkan kepada tuannya, sebagai penebus dirinya dari hamba sahaya).
Maka diserahkan bahagian dari mukatab ini kepada tuannya. Dan kalau diserahkan
kepada si mukatab sendiri, boleh juga, Dan si tuan itu tidak boleh
menyerahkan zakatnya kepada muka-tabnya sendiri, karena terhitung budaknya.
Golongan keenam gharim (orang yang berhutang), yaitu : yang berhutang pada mentha'ati
Allah atau pada pekerjaan yang dibolehkan (pekerjaan mubah), sedang ia seorang
fakir, Kalau berhutang pada jalan ma'siat, maka tidak diberikan zakat,
kecuali setelah ia bertobat. Dan kalau ia seorang kaya, maka tidak dilunaskan
hutangnya dengan zakat, kecuali apabila ia berhutang untuk kepentingan umum
atau untuk memadamkan suatu kekacauan (fitnah).
Golongan ketujuh : ghuzah (kaum pejuang
fisabilillah), yaitu mereka yang tidak terdaftar namanya dalam buku orang-orang
yang dibelanjai negara. Maka diserahkan kepada mereka sebahagian dari zakat,
walaupun mereka itu kaya, untuk memberikan pertolongan kepada mereka dalam
peperangan.
Golongan kedelapan : ibnussabil, yaitu,orang yang bermusafir dari negerinya, pada bukan
ma'siat atau ia singgah pada negeri itu. Maka diberikan zakat kepadanya, kalau
ia seorang fakir. Dan kalau ada hartanya dinegeri lain, niscaya diberikan
sekedar, yang menyam-paikannya ke negeri itu.
Kalau anda bertanya
: "Dengan apakah dikenal sifat-sifat itu?". Maka kami menjawab,
bahwa kefakiran dan kemiskinan, adalah dengan keterangan dari penerima zakat
itu sendiri, tanpa diminta-kan bukti dan tanpa disumpahkan. Tetapi bolehlah
berpegang kepada perkataannya, apabila tidak diketahui
kedustaannya. Berperang dan bermusafir itu, adalah pekerjaan yang akan
datang. Dari itu, diberikan zakat kepadanya, dengan pengakuannya : "Aku
ini orang yang berperang". Kalau tidak ditepatinya, menurut
pengakuannya itu, maka yang telah diterimanya, diminta kembali. Adapun
golongan-golongan yang lain, maka hendaklah dibuktikan! Itulah
syarat-syarat berhak menerima zakat! Dan tentang jumlah yang diserahkan kepada
masing-masing, akan diterangkan nanti.
Penjelasan : Tugas-tugas dari orang yang menerima
zakat. Yaitu lima
perkara :
Pertama : hendaklah
diketahuinya, bahwa Allah 'Azza wa Jalla mewajibkan penyerahan zakat kepadanya,
adalah supaya mencukupi cita-cita dan seluruh cita-citanya menjadi satu. Karena
Allah 'Azza wa Jalla menerima ibadah makhlukNya, dengan adanya satu cita-cita
hati mereka, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala dan hari akhirat. Dan itulah yang
dimaksudkan dengan firmanNya :
(Wa maa
khalaqtul-jinna wal-insa illaa liya'-buduun). Artinya : "Kuciptakan
jin dan manusia itu, supaya mereka berbakti (beribadah) kepadaKu (S.
Adz-Dzariyat, ayat 56). Tetapi, tatkala hikmah menghendaki, bahwa hamba
itu dikuasai hawa nafsu dan hajat keperluannya, di mana hawa nafsu dan
hajat keperluan itu mencerai-beraikan cita-citanya, maka kemurahan Tuhan
menghendaki kelimpahan nikmat, yang mencukupkan segala hajat keperluan. Lalu
diperbanyakkanNya harta dan dituangkan-Nya ke dalam tangan hamba-hambaNya.
Untuk menjadi alat bagi mereka dalam menolakkan hajat keperluannya dan menjadi
jalan dalam menyelesaikan ketha'atannya.
Diantara mereka, ada
yang sebahagian besar dari hartanya, menjadi fitnah dan bencana, lalu harta itu
mendorongkannya ke dalam bahaya. Dan diantara mereka, ada yang mencintai harta,
yang dapat memeliharakannya daripada kesibukan duniawi, sebagaimana seorang
perawat memeliharakan orang sakit yang dirawatinya. Maka terjauhlah dia
daripada segala kejijikan duniawi dan mengalirlah kepadanya harta sekedar yang
diperlukan, dari tangan orang-orang kaya. Supaya adalah yang demikian itu,
usaha yang mudah. Dan payah pada mengumpulkan dan penjagaan harta itu, adalah
atas orang-orang kaya tersebut. Dan faedahnya menonjol kepada orang-orang
fakir, lalu fakir-fakir itu dapat menyerahkan seluruh jiwa-raganya berbakti
kepada Allah dan bersedia untuk sesudah mati. Maka tidak terhalang dari
kebaktian oleh segala kejijikan duniawi dan tidak diganggu oleh kesempitan
hidup, daripada bersedia bagi hari kemudian.
Inilah nikmat yang
setinggi-tingginya!.
Maka hak orang fakir
ialah, mengetahui tingkatnya nikmat kefakiran. Dan meyakini bahwa kurnia Allah
kepadanya, mengenai sesuatu yang menjauhkannya daripadanya, adalah lebih banyak
daripada kurniaNya mengenai sesuatu yang dianugerahiNya, sebagaimana akan
datang pembuktian dan penjelasannya pada "Kitab Kefakiran" insya
Allah Ta'ala.Maka hendaklah diambilnya, apa yang diambilnya daripada Allah
Ta'ala, sebagai rezeki dan pertolongan baginya kepada tha'at. Dan hendaklah
niatnya untuk memperoleh kekuatan mentha'ati Allah. Kalau ia tidak sanggup
kepada yang demikian, maka hendaklah harta itu digunakannya kepada yang
diperbolehkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Kalau digunakannya untuk penolong
berbuat ma'siat kepada Allah Ta'ala , niscaya adalah ia orang yang kufur (tidak
mensyukuri) akan segala nikmat Allah 'Azza wa Jalla. berhak kejauhan dan
kutukan daripada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kedua : hendaklah
disyukurinya orang yang memberi, dido'akan dan dipujikan. Syukur dan do'anya
itu, hendaklah tidak keluar dari kedudukan si pemberi selaku perantaraan.
Tetapi dia adalah jalan sampainya nikmat Allah
kepadanya. Dan jalan itu mempunyai hak, di mana dia telah
dijadikan Allah sebagai jalan dan perantaraan. Dan
tidaklah ia menghilangkan penglihatan nikmat daripada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :من لم يشكر الناس لم يشكر الله
(Man lam
yasykurin-naasa lam yasykurillaah). Artinya : "Siapa yang tidak
mensyukuri manusia, niscaya ia tidak mensyukuri Allah (1) Allah 'Azza
wa Jalla memujikan hambaNya pada beberapa tempat atas amal perbuatan mereka,
padahal Dia yang menjadikan dan yang menciptakan kudrat pada
perbuatan-perbuatan itu, seperti firmanNya :(Ni'mal 'abdu innahuu awwaab)
= نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ
Artinya : "la
adalah seorang hamba Allah yang amat baik! Sesungguhnya dia senantiasa kembali
kepadaNya (S. Shad, ayat 30). Dan pada beberapa tempat yang lain.
Hendaklah penerima
zakat, mengucapkan dalam do'anya : "Disucikan Allah kiranya hatimu dalam
hati orang-orang baik, dibersihkan Allah amalanmu dalam amalan orang-orang
pilihan dan diberikan Allah rahmat kepada ruhmu dalam ruh orang-orang
syahid".
Bersabda Nabi saw. : "Siapa
yang menyerahkan kepadamu sesuatu pemberian yang baik, maka balaskanlah
pemberian itu! Jikalau kamu tidak sanggup, maka berdo'alah kepadanya, sehingga
kamu mengetahui, bahwa kamu telah membalaskan pemberiannya". (2) Setengah
daripada kesempurnaan syukur, ialah menutupkan kekurangan yang ada pada pemberian,
kalau ada padanya kekurangan. Dan tidak menghina dan mencaci akan pemberian
itu,Dan tidak diberi malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan
hendaklah memandang besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya
dan kepada orang lain.
(1)Dirawikan
At-Tirmidzi dari Abi Sa'id. Abu Dawud dan ibnu Hibban dari Abi Hurairah dan
katanya hadits hasan shahih.
(2)Dirawikan Abu
Dawud dan An-Nasa-i dari Ibnu Umar dengan isnad shahih.
|
Dan tidak diberi
malu orang yang diminta, apabila ia tidak memberi. Dan hendaklah memandang
besar perbuatan dari orang yang memberi itu, kepada dirinya dan kepada orang
lain.
Tugas si pemberi,
ialah memandang kecil amalan yang dikerjakan-nya. Dan tugas si penerima, ialah
mengingati nikmat yang diperolehnya dan hendaklah memandangnya besar.
Masing-masing hamba Aliah itu, hendaklah berdiri pada hak kewajibannya. Dan
yang demikian itu, tidak ada padanya pertentangan. Karena yang mewajibkan untuk
memandang kecil dan besar adalah bertentangan. Yang bermanfa'at bagi si
pemberi, ialah memperhatikan sebab-sebab yang membawa kecil arti pemberian nya
dan memberi melarat yang sebalik dari itu.
Dan bagi yang
menerima adalah sebaliknya. Sehingga masing-masing, tidak berlawanan dengan
melihat nikmat itu daripada Allah 'Azza wa Jalla. Karena orang yang tidak
melihat perantaraan itu, sebagai perantaraan, adalah orang
bodoh. Dan orang yang mungkir, ialah orang yang tidak sekali-kali melihat
perantaraan itu.
Ketiga : hendaklah
dilihatnya barang yang diambilnya itu. Kalau tidak dari yang halal, hendaklah
ia menjaga diri daripadanya.
(Wa man yattaqillaaha yaj-'al lahuu makhrajan
wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib). Artinya
: "'Siapa yang takut (bertaqwa} kepada Allah, maka Dia mengadakan untuk
orang itu, jalan keluar (dari kesulitan). Dan memberikan rezeki kepadanya dari
(sumber) yang tiada pernah dipikirkannya." (S. Ath-Thalaq, ayat 2
- 3). Orang yang menjaga diri (wara') dan yang haram, terbukalah baginya yang
halal.
Dari itu, janganlah
diterima harta orang-orang Turki, tentara, pega-wai-pegawai sultan dan
orang-orang yang sebagian besar usahanya dari haram. Kecuali kalau dia dalam
keadaan yang sempit benar dan barang yang diserahkan kepadanya, tidak
diketahuinya, pemiliknya yang sebenarnya. Maka dalam hal ini, ia boleh
mengambil sekedar perlu saja. Karena fatwa dari syari'at, dalam hal yang
seperti ini, ialah boleh ia menerima sedekah, berdasarkan kepada apa yang akan
diterangkan nanti dalam "Kitab Halal dan Haram". Yaitu
apabila ia telah lemah daripada memperoleh yang halal.
Apabila diambilnya
pemberian tersebut, maka tidaklah pengambil-an itu pengambilan zakat namanya.
Karena tidaklah menjadi zakat dari pembayarnya, dan harta itu haram.
Keempat : hendaklah ia
menjaga dari hal-hal yang meragukan dan menyangsikan tentang jumlah yang
diambilnya dari zakat. Janganlah ia mengambil, selain daripada jumlah yang
diperbolehkan. Dan tidak ia mengambilnya, kecuali apabila ia meyakini
benar-benar, bahwa ia termasuk golongan orang yang berhak menerima
zakat. Kalau ia menerima zakat atas nama golongan mukatab dan gharim, maka
janganlah melebihi dari sekedar hutang. Kalau ia mengambil zakat, disebabkan
bekerja pada zakat, maka janganlah melebihi dari ongkos yang layak. Kalau
diberikan lebih banyak dari itu, hendaklah ia menolak dan tidak menerimanya.
Karena bukanlah itu harta kepunyaan si pemberi, sehingga ia boleh bersedekah
begitu saja.
Kalau ia seorang
musafir, janganlah melebihi daripada perbekalan dan ongkos kendaraan ke tempat
tujuannya, Kalau ia seorang pejuang di medan perang, janganlah ia mengambil,
selain daripada apa yang diperlukannya untuk berperang khususnya. Yaitu : kuda,
senjata dan belanja. Dan taksiran untuk itu, adalah
dengan taksiran yang sungguh-sungguh dan tak adalah baginya batas tertentu.
Dan begitu pula,
perbekalan bagi bermusafir. Dan orang wara meninggalkan yang
meragukan kepada yang tidak meragukannya. Kalau ia mengambil zakat,
disebabkan kemiskinan, maka hendaklah mula-mula ia memperhatikan kepada perabot
rumahnya, pakaian-nya dan kitab-kitabnya. Adakah diantara barang-barang
tersebut, yang tidak diperlukannya? Atau tidak diperlukan atas kecantikan-nya,
sehingga mungkin diganti dengan barang lain yang memadai baginya dan melebihi
sebahagian harganya.
Semuanya itu,
memerlukan kepada pemikiran yang sungguh-sung-guh. Ada padanya segi dhahir, di
mana ia meyakini bahwa ia berhak dan segi lain yang
bertentangan dengan segi dhahir tadi, di mana ia meyakini
bahwa ia tidak berhak.
Diantara kedua segi
tersebut, terdapat beberapa hal yang di tengah-tengah, yang serupa satu dengan
lainnya. Dan siapa yang bermain-main keliling barang yang terlarang, besar
kemungkinan ia terjatuh ke dalamnya. Pada dhahirnya, di sini dipegang,
adalah kepada perkataan si penerima zakat. Dan yang berkepentingan, pada
menentukan kepen-tingannya, mempunyai beberapa tingkatan, tentang kesempitan dan kelapangannya. Dan
tingkatan-tingkatan itu tidak terhingga jumlahnya. Orang wara', condong
kepada kesempitan dan orang yang menganggap enteng tentang sesuatu, condong
kepada kelapangan. Sehingga ia memandang dirinya memerlukan kepada
bermacam-macam seni kelapangan, yaitu hal-hal yang terkutuk pada agama.
Kemudian, apabila
telah tertentu keperluannya, maka janganlah si penerima zakat itu, mengambil
lebih banyak. Tetapi sekedar yang mencukupkan kebutuhannya, dari waktu
diambilnya sampai kepada masa setahun. Inilah sejauh mungkin masa, yang
diberi kesempatan padanya, dari segi bahwa masa setahun, apabila
berulang-ulang, niscaya berulang-ulang pula sebab kemasukan uang. Dan dari segi
bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyimpan
untuk keluarganya makanan setahun. (1)
Inilah yang lebih
mendekati kepada kebenaran, batas an yang mem-batasi fakir dan miskin. Kalau
disingkatkan kepada keperluannya untuk sebulan atau sehari, maka
ini adalah lebih mendekati kepada taqwa. Berbeda pendapat
diantara beberapa madzhab dari para ulama, tentang jumlah yang diambil menurut
hukum zakat dan sedekah. Diantaranya, ada yang bersangatan benar sedikitnya,
kepada batas yang mengharuskan, disingkatkan kepada sekedar makanan sehari-semalam
dari si penerima zakat itu. Golongan ini berpegang dengan apa yang diriwayatkan
Sahl bin Al-Handhaliah, bahwa : "Nabi صلى الله عليه وسلم melarang meminta-minta dalam keadaan kaya". Lalu
ditanyakan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang kaya itu, maka beliau menjawab :
"Mencukupi untuk pagi dan sore". (2)
Berkata golongan
lain, boleh si penerima zakat itu mengambil sampai kepada batas kaya.
Batas kaya, ialah nishab zakat, karena Allah Ta'ala tidak
mewajibkan zakat, selain atas orang-orang kaya. Seterusnya, golongan ini
mengatakan, bahwa si penerima zakat boleh mengambil untuk dirinya sendiri dan
untuk masing-masing dari keluarganya, sebanyak nishab zakat. Berkata
golongan lain pula, bahwa batas kaya, ialah lima puluh dirham
atau nilainya dengan emas, karena diriwayatkan Ibnu Mas'ud, bahwa Nabi saw.
bersabda :
(1)Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari Umar.
(2)Dirawikan Abu
Dawud dan Ibnu Hibban dari Sahl bin Al-Handhaliah.
|
قال من سأل وله مال يغنيه جاء يوم القيامة وفي وجهه خموش
(Man sa-ala wa lahu
maalun yughniihi jaa-a yaumal qiyaamati wa fii wajhihi khumuusyun). Artinya : "Siapa
yang meminta-minta, sedang ia mempunyai harta yang menjadikan ia kaya, niscaya
ia datang-pada hari qiamat dan pada mukanya penuh dengan luka yang
digaruk-garuk ". Maka ditanyakan Nabi صلى الله عليه وسلم : "
Bagaimanakah kayanya itu?". Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab : "Lima puluh dirham atau nilainya
dari emas".(1)
Ada yang mengatakan,
bahwa perawi hadits tadi, tidak kuat. Berkata suatu golongan, empat
puluh dirham, karena diriwayatkan oleh 'Atha' bin Yassar suatu hadits
munqathY (hadits yang
putus riwayatnya antara perawi dan Nabi saw., bahwa Nabi saw. bersabda : "Barangsiapa
meminta-minta, sedang dia mempunyai satu auqiah perak (empat puluh dirham),
maka adalah dia memaksakan diri m emin ta yang tidak dib oleh kan". (2)
Segolongan lam lagi,
terlalu benar memberi kelapangan, di mana mereka mengatakan : "Boleh bagi
si penerima zakat mengambil suatu jumlah, yang dapat dibelikannya suatu benda.
Lalu ia merasa cukup dengan benda itu seumur hidupnya. Atau ia menyediakan
suatu barang untuk diperniagakannya. Dan ia merasa cukup dengan barang itu seumur
hidupnya, karena inilah yang bernama kaya". Berkata Umar ra. :
"Apabila kamu memberi, maka kayakanlah orang yang diberikan itu!".
Sehingga segolongan berpendapat, bahwa seorang yang fakir, boleh mengambil
jumlah yang membawa ia kepada keadaan yang layak, walau sepuluh ribu dirham.
Kecuali apabila ia telah keluar dari batas sederhana.
Tatkala Abu Thalhah
sibuk dengan kebunnya, sampai tertinggal shalat, lalu ia berkata : "Aku
serahkan kebun ini untuk sedekah!". Maka Nabi صلى الله عليه وسلم berkata
: "Serahkanlah kebun itu kepada kerabat-mu. Itu adalah lebih baik
bagimu!". Lalu Abu Thalhah menyerahkannya kepada Hassan dan Abu
Qatadah. Maka sebuah kebun kurma bagi dua orang, adalah banyak, sehingga tidak
memerlukan kepada yang lain.
1) Dirawikan
At-Tirmidzi dan An-Nasa-i dari Ibnu Mas'ud.
2) Dirawikan Abu
Dawud dan An-Nasa-i dari 'Atha', sebagai hadits muttashil, tidak munqathi'i.
|
Umar ra. menyerahkan
kepada seorang Arab kampung, seekor unta betina serta dengan
anaknya.Demikianlah diceriterakan tentang memberikan kelapangan pada bersedekah
itu.Adapun menyedikitkan sampai kepada makanan sehari atau
sebahagian dari sekati makanan, maka itu datangnya, mengenai tidak disukai
meminta-minta dan bulak-balik dari pintu ke pintu rumah orang.
Hal yang seperti itu
ditantang benar-benar dan mempunyai kedudukan hukum yang lain. Bahkan;
membolehkan, sampai dapat dibelikannya suatu benda, di mana ia merasa cukup
dengan benda itu, adalah lebih mendekati kepada suatu kemungkinan dan juga
lebih condong kepada keroyalan.
Yang lebih mendekati
kepada kesederhanaan, ialah mencukupi setahun. Dan dibalik itu, adalah
membahayakan. Sedang kurang dari itu, adalah menyempitkan.Segala persoalan ini,
apabila tak ada padanya penentuan sesuatu bahagian dengan tauqif (penentuan
yang datang dari Nabi saw.), maka tidaklah bagi orang mujtahid, selain
daripada menetapkan hukum dengan apa yang terjadi baginya. Kemudian dikatakan
kepada orang yang wara' : "Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun mereka
telah berfatwa kepadamu dan mereka telah berfatwa kepadamu", sebagaimana
telah disabdakan Nabi saw. Karena dosa itu adalah suatu penyakit hati.Dari itu,
apabila yang menerima zakat, memperoleh sesuatu pada dirinya, dari apa yang
diambilnya itu, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah padanya dan janganlah memandang
enteng, karena berdalilkan dengan fatwa dari ulama-ulama dhahir.
Fatwa mereka
mempunyai beberapa ikatan dan melepaskan dari hal-hal yang dlarurat. Pada fatwa
itu, terdapat dugaan-dugaan dan perbuatan-perbuatan yang meragukan. Dan menjaga
dari hal-hal yang meragukan itu, adalah sifat dari orang-orang yang beragama,
dan kebiasaan dari orang-orang yang berjalan ke jalan akhirat.
Kelima: hendaklah yang
menerima zakat, bertanya kepada pemilik harta, berapa jumlah zakat yang
diwajibkan ke atas pundaknya. Kalau ada yangdiserahkannya, di atas harga yang
seharusnya, maka janganlah diambilnya. Karena dia tidak berhak bersama
kongsinya, melainkan harga yang pantas. Maka hendaklah dikurangkannya dari
harga itu, sebanyak apa yang diserahkan kepada dua orang daripada golongannya
yang menerima zakat.Pertanyaan yang dimajukan kepada pemilik harta tadi, adalah
wajib atas kebanyakan orang, karena mereka tiada menjaga pembahagian itu,
adakalanya karena kebodohan dan adakalanya karena memandang enteng. Dan baru
boleh meninggalkan pertanyaan dari persoalan-persoalan yang seperti ini,
apabila tidak menimbulkan keras dugaan, kemungkinan haram padanya.
Dan akan datang
uraian tentang tempat-tempat yang menimbulkan dugaan pertanyaan dan tingkat
kemungkinan, pada "Kitab Halal dan Haram ".
Insya Allah Ta'ala.
Pasal keempat : Tentang
sedekah sunat, tentang keutamaannya, adab menerimanya dan memberinya.
Penjelasan : Keutamaan
sedekah.
Diantara
hadits-hadits yang menerangkan keutamaan sedekah, yaitu sabda Nabi saw. :
تصدقوا ولو بتمرة فإنها تسد من الجائع وتطفىء الخطيئة كما يطفىء الماء النار
(Tashaddaquu walau
bitamratin fa-innahaa tasuddu minal-jaa-'i wa tuthfi-ul-khathii-ata kamaa
yuthfi-ul-maaunnaar).Artinya : "Bersedekahlah, walaupun dengan
sebiji kurma. Sesungguhnya sedekah itu menu tup kan keperluan daripada orang
yang lapar dan memadamkan kesalahan, sebagaimana air memadamkan api". (1)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :اتقوا النار ولو بشق تمرة فإن لم تجدوا فبكلمة طيبة
(Ittaqunnaara wa lau
bisyiqqi tamratin fa-in lam tajiduu fabikali-matin thayyibah).Artinya : "Takutilah
api neraka, walaupun dengan sebelah biji kurma. Kalau tidak kamu peroleh biji
kurma, maka dengan perkataan yang baik (2)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :ما من عبد مسلم يتصدق بصدقة من كسب طيب ولا يقبل الله إلا طيبا إلا كان الله آخذها بيمينه فيربيها كما يربي أحدكم فصيله حتى تبلغ التمرة مثل أحد "Tidaklah dari seorang hamba muslim, yang bersedekah
dengan suatu sedekah daripada usaha yang baik — dan Allah tidak menerima,
selain yang baik — melainkan adalah Allah yang mengambil sedekah itu dengan
tangan kananNya. Lalu dipeliharaNya sebagaimana dipelihara oleh seorang dari
kamu akan anak lembunya, sehtrigga biji kurma itu sampai sebesar bukit
uhud". (3)
1)Dirawikan ibnul
Mubarok dari Akramah. hadits mursal.
2)Dirawikan
At-Bukharl dan Muslim dari Uda bin Hatim.
3)Dirawikan Muslim
dan lain-lain dari Abu Hurairah.
|
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada
Abid-Darda' :لأبي الدرداء إذا طبخت مرقة فأكثر ماءها ثم انظر إلى أهل بيت من جيرانك فأصبهم منه بمعروف "Apabila engkau masak-kan sayuran, maka banyakkanlah
airnya, kemudian lihatlah kepada tetanggamu, lalu tuangkanlah kepada mereka daripadanya
dengan yang baik!". (1)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw.:ما أحسن عبد الصدقة إلا أحسن الله عز وجل الخلافة على تركته "Tiadalah
seorang hamba, yang membaguskan sedekahnya, melainkan Allah Azza wajalla Jalla
membaguskan penggantinya pada harta peninggalannya".
Bersabda Nabi saw. : "Tiap-tiap
manusia itu dalam naungan sedekahnya, sehingga ia diadili diantara segala
manusia". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Sedekah itu menutupkan tujuh puluh pintu
kejahatan". Bersabda Nabi saw. : "Sedekah secara
rahasia, memadamkan kemarahan Tuhan 'Azza wa Jalla". Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم: "Tidaklah
yang memberikan daripada keluasan, dengan pahala yang lebih utama, daripada
yang menerima untuk memenuhi hajat keperluan". Semoga yang
dimaksudkan dengan hadits ini, ialah orang yang ber-tujuan daripada memenuhi
hajat keperluannya, adalah menyerahkan seluruh waktunya untuk agama. Maka
samalah dia dengan orang yang memberi, yang bertujuan dengan pemberiannya itu,
untuk memakmurkan agamanya.
Ditanyakan Rasulullah صلى الله عليه وسلم "Sedekah
manakah yang lebih utama?" Nabi saw. menjawab : "Yaitu bahwa
engkau bersedekah, di mana engkau dalam sehat dan kikir, bercita-cita kekal dan
takut kepada kemiskinan. Janganlah engkau lam bat kan bersedekah itu, sehingga
apabila nyawa telah sampai kepada nafas yang penghabisan, lalu engkau katakan :
untuk si anu sekian, untuk si anu sekian dan adalah itu untuk si anu!".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم pada suatu
hari kepada para shahabatnya : "Bersedekahlah kamu sekalian!". Menjawab
seorang shahabat: "Padaku ada satu dinar!". Maka bersabda Nabi saw.
: "Belanjakan untuk dirimu!". Menjawab shahabat itu
: "Padaku ada satu dinar lagi!". Menyahut Nabi صلى الله عليه وسلم "Belanjakanlah
untuk isterimu!". Menjawab shahabat itu lagi : "Padaku ada
satu dinar lagi!". Menyahut Nabi saw. : "Belanjakanlah untuk
anakmu!". Menjawab shahabat itu lagi : "Padaku ada satu
dinar lagi!". Menyahut Nabi صلى الله عليه وسلم: "Belanjakanlah untuk pelayanmu! ". Menjawab
shahabat itu lagi : "Padaku ada satu dinar lagi!".
(1) Menurut
al-lraqi, dirawikan Muslim dari Abu Dzar, tidak dari Abid Darda.
|
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Engkaulah yang lebih tahu kepentingan, untuk apa uang itu lagi".Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Tidaklah halal sedekah untuk keluarga Muhammad. Sedekah itu adalah daki manusia".Bersabda Nabi saw. : "Kembalikanlah kehormatan orang yang meminta, walaupun dengan makanan seperti kepala burung". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Kalau benarlah orang yang meminta, maka die tidak merasa senang kepada orang yang menolak permintaannya".
Berkata isa as. : "Siapa
yang menolak orang yang meminta, yang kecewa keluar dari rumahnya, niscaya
malaikat tidak masuk ke rumah itu selama tujuh hari".
Nabi kita Muhammad
saw. tidak
menyerahkan dua perkara kepada orang lain : ia sendiri menyimpan air bersuci
dan menutupkannya di malam hari dan ia sendiri memberikan sesuatu kepada orang
miskin dengan tangannya yang mulia.
Bersabda Nabi saw. : "Tidaklah
orang miskin itu, yang ditolak oleh sebiji dan dua biji kurma, oleh sesuap dan
dua snap makanan. Sesungguhnya orang miskin ialah yang menjaga kehormatan diri.
Bacakanlah kalau kamu mau : "Laa yas-aluunan naasa
ilhaafaa". (Mereka tidak mau meminta bcrnlang-ulangj.S.
Al-Baqarah, ayat 273.
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم : "Tidaklah
seorang muslim yang memberi pakaian kepada orang muslim, melainkan adalah ia
dalam pemeliharaan Allah 'Azza wa Jalla, selama masih tinggal secarik pakaian
itu daripadanya ".
Adapun atsar, yaitu berkata
'Urwah bin Az-Zubair : "Telah bersedekah 'Aisyah ra. sebanyak lima puluh
ribu, sedang bajunya sendiri koyak".Berkata Mujahid mengenai firman Allah
'Azza wa Jalla : وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
(Wa yuth-'imuunath
tha-'aama 'alaa hubbihii miskiinan wa yatii-man wa asiira).Artinya : "Mereka
memberikan makanan dengan kasih sayangnya kepada orang miskin, anak piatu dan
orang tawanan (terpenjara). (S. Ad-Dahr,(Al Insan)ayat 8),
Umar ra- berdo'a : "Ya
Allah, ya Tuhanku! Jadikanlah kurniaMu pada orang-orang baik dari kami,
mudah-mudahan mereka kembalikan kumia itu kepada yang berhajat dari pada
kami".
Berkata Umar bin
'Abdul 'Aziz : "Shalat
itu menyampaikan kamu setengah jalan, puasa itu menyampaikan kamu ke pintu
kerajaan dan sedekah itu membawa kamu masuk ke dalamnya".
Berkata Ibnu Abii
Ja'd : "Sesungguhnya
sedekah itu, menolak tujuh puluh pintu kejahatan. Dan keiebihan merahasiakannya
daripada melahirkannya, adalah tujuh puluh kali lipat. Dan sesungguhnya sedekah
itu melepaskan seorang yang hidup dari tipuan tujuh puluh setan".
Berkata Ibnu Mas'ud
: "Bahwa
seorang laki-laki telah beribadah kepada Allah tujuh puluh tahun lam any a,
kemudian tertimpa ke atas dirinya suatu perbuatan keji, maka binasalah
amalannya. Kemudian lalulah ia pada seorang miskin, maka ia bersedekah
kepadanya dengan sepotong roti. Maka diampunkan oleh Allah dosanya dan
dikembalikan kepadanya amalannya yang tujuh puluh tahun itu"
Berkata Luqman
kepada puteranya : "Apabila
engkau berbuat suatu kesalahan, maka berikanlah sedekah!".
Berkata Yahya bin
Mu'az : "Tiada
aku ketahui suatu bijipun yang timbangannya seberat bukit-bukit dunia, selain
daripada suatu biji daripada sedekah".
Berkata 'Abdul 'Aziz
bin Abi Ruwwad : "Adakah
dikatakan, bahwa tiga perkara dari gudang sorga : menyembunyikan kesakitan,
menyembunyikan sedekah dan menyembunyikan bahaya (musibah) yang menimpa
diri".Ucapan yang di atas ini, ada yang meriwayatkan sebagai hadits
musnad.
Berkata Umar bin
Al-Khaththab ra. : "Bahwa
segala amalan itu bangga membanggakan sesamanya. Maka berkatalah sedekah :
"Akulah yang lebih utama daripada kamu semuanya!".Abdullah bin Umar
bersedekah gula, seraya berkata : "Aku mendengar firman Allah :
(Lan tanaalul birra
hattaa tunflquu mimmaa tuhibbuun). Artinya : "Kamu tidak akan
memperoleh kebajikan, hanyalah jika kamu menafkahkan (mengeluarkan)
sebahagian daripada apa yang kamu kasihi". (S. Ali 'Imran,
ayat 92).Dan Allah Maha Tahu bahwa aku menyukai gula".
Berkata An-Nakha'i : "Apabila
sesuatu itu untuk Allah 'Azza wa Jalla maka aku tidak senang, bila ada padanya
kekurangan".
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan