PASAL KEEMPAT : Dari hal
qaidah-qaidah 'aqidah mengenai Iman dan Islam. Hubungan dan pemisahan diantara
keduanya. Bertambah dan berkurang yang mendatang kepadanya. Dan cara
pengecualian ulama salaf padanya.
Mengenai hal tersebut ada tiga masalah :
MASALAH I
Berbeda pendapat para ahli Agama, mengenai Islam, apakah Islam itu
Iman atau kata dari Iman. Jikalau lain, adakah Islam itu berpisah dari Iman, di
mana Islam itu ada tanpa Iman, atau Islam itu berhubungan rapat dengan Iman, di
mana dia mengikuti akan Iman?.
Ada yang mengatakan bahwa keduanya itu satu. Ada yang mengatakan
bahwa keduanya adalah dua hal yang tidak berhubungan. Dan ada yang mengatakan
bahwa keduanya adalah dua hal, tetapi berhubungan satu sama lain.
Abu Thalib Al-Makki telah membentangkan masalah
ini dengan cara yang sangat menggoncangkan dan panjang sekali. Maka hendaklah
sekarang kita tampil menjelaskan kebenaran tanpa menukilkan sesuatu yang tak
ada hasilnya.
Maka kami mengatakan bahwa pada masalah ini ada tiga pembahasan :
pembahasan tentang kedua perkataan tersebut menurut bahasa: pembahasan tentang
maksud keduanya di dalam pemakaian Agama dan pembahasan tentang hukum keduanya
di dunia dan di akhirat.
Pembahasan pertama : itu adalah pembahasan bahasa.
Pembahasan kedua : itu adalah pembahasan
penafsiran.
Pembahasan ketiga : itu adalah pembahasan
fiqih dan syari'at.
Pembahasan Pertama : menurut keharusan bahasa :
Yang benar menurut bahasa, ialah Iman itu adalah ibarat daripada
pembenaran.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا
(Wa maa anta bi-mu'minin Ianaa).
Artinya : "Dan engkau tentu tidak akan beriman (percaya)
kepada kami". Artinya : membenarkan. (S. Yusuf, ayat 17).
Dan Islam adalah ibarat daripada menyerah dan tunduk dengan yakin,
patuh, tidak melawan, tidak enggan dan tidak menentang.
Untuk membenarkan itu,
mempunyai tempat khusus yaitu hati. Dan lidah adalah
penterjemah (pengalih bahasa) dari hati. Adapun menyerah, maka itu umum, pada
hati, lidah dan anggota badan. Tiap-tiap pembenaran dengan hati adalah
menyerah, tanpa enggan dan ingkar. Begitu pula, pengakuan dengan lidah. Begitu
pula ta'at dan tunduk dengan anggota badan. Maka menurut bahasa, Islam itu
lebih umum dan Iman itu lebih khusus. Iman adalah ibarat dari bahagian yang
termulia dari Islam.
Jadi, tiap-tiap membenarkan adalah menyerah dan tidaklah tiap-tiap
menyerah itu membenarkan.
Pembahasan Kedua : tentang pemakaian Agama.
Yang benar ialah bahwa Agama telah tampil memakai kedua-dua-nya
dalam satu pengertian dan beriring-iringan. Dan telah tampil pula di dalam
pengertian yang berlainan dan di dalam pengertian yang masuk satu pada lainnya.
Adapun yang dalam suatu pengertian (at-taraaduf), maka tersebut
pada firman Allah Ta'ala :
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
(Fa-akhrajnaa man kaana fiihaa minal mu'miniin, famaa wa jadnaa
fiihaa ghaira baitin minal muslimiin).Artinya :"Lalu kami
keluarkan orang-orang beriman yang ada di sana.Tetapi tiada kami dapati di sana
selain dari sebuah rumah orang yang Islam (tunduk kepada Allah)".(S.
Adz-Dzariyat, ayat 35-36).
Dan telah sepakat, tidak ada di situ selain satu rumah. Dan
berfirman Allah Ta'ala :
يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِينَ
(Yaa qaumi in kuntum aamantum billaahi fa'alaihi tawakkaluu in
kuntum muslimiin).
Artinya : "Hai kaumku! Kalau kamu ada beriman (percaya)
kepada Allah, hendaklah kepadaNya saja kamu mempercayakan diri kalau kamu
benar-benar orang yang Islam (yang patuh kepadaNya) ". (S. Yunus, ayat
84).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. : بني الإسلام على خمس "Didirikan Islam
atas lima ". (1)
Pada suatu kali datanglah pertanyaan kepada Nabi saw, tentang
Iman, maka Nabi صلى الله عليه وسلم. menjawab dengan yang lima
itu.
Adapun pengertian yang berlainan, maka berfirman Allah Ta'ala :
قَالَتِ الأعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا
(Qaalatil a'-raabu aamannaa, Qul lam tu'-minuu, wa laakin quuluu
aslamnaa).
Artinya : "Orang-orang dusun itu berkata : Kami beriman
(percaya). Katakan : Kamu belum percaya, tetapi katakanlah bahwa kamu Islam
(tunduk)". (S. Al-Hujurat, ayat 14).Artinya, kamu telah menyerah pada
dhahir.
Maka yang dimaksudkan dengan Iman di sini, ialah membenarkan
dengan hati saja. Dan dengan Islam, ialah menyerah pada dhahir dengan lidah dan
anggota tubuh.
1. Yaitu : mengucapkan dua kalimah shahadah. mendirikan shalat menunaikan zakat, berpuasa bulan Ramadlan dan naik hajji ke-Baitullah.
Pada suatu hadits, di mana Jibril as.
bertanya kepada Nabi saw. tentang Iman, maka Nabi saw. menjawab : "Bahwa
engkau percaya dengan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, rasuI-rasulNya, hari
akhirat, kebangkitan setelah mati, hisab amalan dan taqdir-baiknya dan
buruknya".Kemudian Jibril as. bertanya lagi : "Apakah Islam
itu?", maka Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab dengan
menyebutkan yang lima perkara itu". (1)
Maka diibaratkan di sini dengan Islam, yaitu penyerahan secara
dhahir, dengan perkataan dan perbuatan.
Pada hadits, dari Sa'ad bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم : "
Memberikan kepada seorang laki-laki suatu pemberian dan tidak diberikannya
kepada orang lain". Lalu bertanya Sa'ad kepada Nabi صلى الله عليه وسلم. : " Wahai
Rasulullah! Engkau tinggalkan si Anu, tidak engkau berikan, pada hal dia
seorang yang beriman (mu'min)".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم: "
Atau dia seorang Islam (muslim)". Kemudian Sa'ad mengulangi lagi
pertanyaannya dan Nabi saw. pun mengulangi penjawabannya demikian. (2)
Adapun yang masuk satu kepada lainnya (at-ta-daakhul), maka juga
apa yang diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم ditanyakan :
"Amalan apakah yang paling utama?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم : "Islam!".
Ditanyakan lagi : "Islam manakah
yang paling utama?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم: "Iman!". (3)
Hadits ini menunjukkan kepada adanya perbedaan dan kepada adanya
bermasuk-masukan. Dan itu, adalah lebih sesuai bagi pemakaian di dalam bahasa,
karena Iman adalah salah satu daripada perbuatan. Dan Imanlah yang paling utama
daripadanya. Dan Islam itu, ialah menyerah, adakalanya dengan hati, adakalanya
dengan lidah dan adakalanya dengan anggota badan. Dan yang paling utama ialah
yang dengan hati. Yaitu. pembenaran, yang dinamai : Iman.
Pemakaian Iman dan Islam secara berlainan, secara bermasuk-masukan
dan secara satu pengertian, semuanya itu adalah tidak keluar daripada pemakaian
secara tidak asli (secara majaz dalam bahasa.
Adapun pengertian yang berlainan, maka yaitu dijadikan Iman ibarat
dari pembenaran dengan hati saja. Dan ini sesuai menurut bahasa. Dan Islam
ibarat dari penyerahan pada dhahir. Dan ini sesuai pula menurut bahasa. Karena
penyerahan dengan sebahagian saja itu mustahil.
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sa'ad.3.Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari 'amr bin "Anbasah, isnadnya shahih.
Penyerahan adalah berlaku menurut nama daripada penyerahan itu
sendiri. Dan tidaklah diantara syarat memperoleh nama itu harus umum
pengertiannya bagi tiap-tiap tempat yang mungkin diperoleh pengertian padanya.
Orang yang menyentuh orang lain dengan sebahagian badannya,
dinamakan penyentuh, meskipun tidak menyentuh seluruh badannya. Maka pemakaian
nama Islam kepada penyerahan dhahir, ketika tidak ada penyerahan bathin adalah
sesuai bagi lidah.
Dan berdasarkan kepada ini, berlakulah firman Allah Ta'ala :
"Orang-orang Arab dusun itu berkata : Kami beriman (percaya). Katakan :
Kamu belum percaya, tetapi katakanlah bahwa kami Islam (tunduk)". (S.
Al-Hujurat, ayat 14).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم pada hadits Sa'ad :
"Atau dia orang Islam (muslim)", karena Nabi صلى الله عليه وسلم melebih kan salah
satu daripada keduanya dari yang lain. Dan dimaksudkan dengan pengertian
yang berlainan, ialah berlebih kurang diantara dua yang disebutkan itu.
Adapun masuk satu kepada lainnya (at-tadaa-khul), maka sesuai juga
menurut bahasa, khususnya mengenai Iman. Yaitu : dijadikan Islam adalah ibarat
dari penyerahan dengan hati, perkataan dan perbuatan ketiga-tiganya. Dan Iman,
adalah ibarat dari sebahagian apa yang masuk di dalam kata-kata Islam, yaitu :
pembenaran dengan hati. Dan inilah yang kami maksudkan dengan masuk yang satu
kepada lainnya. Dan itu sesuai menurut bahasa, khusus bagi Iman (hati) dan umum
bagi Islam (hati, perkataan dan perbuatan).
Dan berdasarkan kepada ini, maka keluarlah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Iman" dalam menjawab
pertanyaan dari seorang penanya: "Islam manakah yang lebih utama?".
Karena Nabi صلى الله عليه وسلم itu membuat Iman itu
lebih khusus dari Islam, lalu dimasukkannya Iman itu ke dalam Islam.
Adapun pemakaian secara pengertian yang sama, yaitu dijadikan
kata-kata Islam ibarat dari penyerahan dengan hati bersama dengan dhahir. Maka
semuanya itu penyerahan. Dan demikian pula Iman. Dan tindakan mengenai Iman
kepada khusus, dengan mengguna-kannya secara umum serta memasukkan dhahir ke
dalam pengertiannya itu adalah dibolehkan. Karena penyerahan dhahir dengan
perkataan dan perbuatan adalah buah, hasil pembenaran dengan bathin.
Kadang-kadang dipakai nama pohon, dengan dimaksudkan pohon serta
buahnya, secara toleransi. Sehingga jadilah Iman dengan kadar penggunaannya
yang lebih umum, searti dengan kata-kata Islam dan sesuai pengertiannya. Tidak
lebih dan tidak kurang.
Berdasarkan ini, maka datanglah firman Allah : "Tetapi tiada
kami dapati di sana selain dari sebuah rumah orang Islam (muslim)". (S.
Adz-Dzariyat, ayat 36) yang telah tersebut dahulu.
Pembahasan Ketiga :
mengenai hukum syari'at
Islam dan Iman itu, keduanya adalah mengenai hukum akhirat (hukum
ukhrawi) dan hukum dunia (hukum duniawi).
Adapun hukum ukhrawi, maka ialah pengeluaran dari neraka dan
pencegahan kekal di dalamnya. Karena bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم :
يخرج من النار من كان في قلبه مثقال ذرة من إيمان
(Yakhruju minan naari man kaana fii qalbihi mitsqaalu dzarratin
min iimaan).
Artinya : "Akan keluar daripada api neraka, siapa yang ada di
dalam hatinya seberat biji sawi daripada Iman".
Telah berselisih pendapat diantara ahli agama, mengenai hukum ini,
atas apakah disusun dengan tertib itu dan mereka memajukan pertanyaan tentang
itu dengan kata-kata : "Apakah Iman itu?".
Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, semata-mata ikatan dengan
hati. Ada yang mengatakan bahwa Iman itu, ikatan dengan hati dan pengakuan
dengan lidah.
Dan ada yang mengatakan dengan menambahkan lagi yang ketiga, yaitu
mengerjakan dengan anggota badan.
Kami akan menyingkapkan
tutup tentang ini dan mengatakan bahwa barangsiapa mengumpulkan diantara tiga
perkara tadi, maka tidak adalah perselisihan lagi bahwa tempatnya di dalam
sorga. Dan inilah suatu tingkat.
Dan tingkat kedua ialah terdapat
dua dan sebahagian dari yang ketiga, yaitu : perkataan, ikatan dengan hati dan
sebahagian amal perbuatan.
Tetapi orang yang mengerjakan dosa besar atau sebahagian dari
dosa-dosa besar, maka dalam hal ini, berkata kaum Mu'tazilah, bahwa orang itu
telah keluar daripada Iman. Dan tidak masuk ke dalam kufur, tetapi namanya
orang fasiq. Dia berada pada suatu tempat diantara dua tempat dan kekal di
dalam neraka. Pendapat ini salah, sebagaimana akan kami terangkan nanti.
Tingkat ketiga : bahwa
terdapat pembenaran dengan hati dan pengakuan dengan lidah dan tidak berbuat
amalan dengan anggota badan. Maka berselisihlah pendapat ahli-ahli agama
tentang hukumnya.
Berkata Abu Thalib Al-Makki
: "Berbuat dengan anggota badan adalah setengah daripada
Iman. Dan Iman itu tiada sempurna tanpa adanya perbuatan".
Abu Thalib AI-Makki mendakwakan bahwa
para ulama sepakat atas demikian. Ia membuktikan keterangannya itu dengan
dalil-dalil yang menunjukkan kepada berlawanan dengan maksudnya. Umpamanya
firman Allah Ta'ala :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
(Walladziina aamanuu wa 'amilush shaalihaat).Artinya :
"Mereka yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik'!(S. Al-A'raaf, ayat
42).
Karena ini menunjukkan bahwa perbuatan adalah di belakang Iman, tidak
dari Iman itu sendiri. Jika tidak begitu, maka adalah perbuatan itu dalam hukum
hari akhirat.
Yang mengherankan ialah Abu Thalib Al-Makki mendakwakan ijma'
mengenai ini dan dalam pada itu, ia menukilkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
لا يكفر أحد إلا بعد جحوده لما أقر به
(Laa yakfuru illaa ba'-da juhuudihi limaa aqarra bihi).Artinya :
"Tidaklah menjadi kafir seseorang, kecuali setelah diingkarinya apa yang
telah diakuinya (diikrarkannya)". (1)
Dan Abu Thalib menentang golongan Mu'tazilah yang mengatakan kekal
di dalam neraka disebabkan berbuat dosa besar.
1.Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Sa'id, Isnad dla'if.
Abu Thalib yang mengatakan demikian itu, adalah mengatakan menurut
aliran Mu'tazilah sendiri. Karena ditanyakan kepadanya : bahwa orang yang
membenarkan dengan hatinya, mengakui dengan lidahnya dan terus mati. adakah
orang itu di dalam sorga? Maka tidak boleh tidak, Abu Thalib akan menjawab :
"Ya!".
Dan padanya, dihukumkan ada Iman, tanpa ada amal perbuatan.
Maka kami tambahkan dan katakan lagi, bahwa jikalau orang itu
terus hidup sehingga masuklah salah satu waktu shalat, lalu ditinggalkannya,
kemudian mati dia atau berzina kemudian mati dia adakah kekal ia di dalam
neraka?.
Kalau dijawab : "Ya!", maka
itu adalah maksud orang Mu'tazilah. Dan kalau dijawab : "Tidak!".
maka itu terang bahwa perbuatan tidaklah menjadi salah satu rukun daripada Iman
dan tidaklah menjadi syarat pada adanya Iman dan pada berhaknya sorga.
Kalau dijawab : "Maksudku dengan
orang itu, ialah bahwa ia hidup dalam waktu yang lama. Dan dia tidak
mengerjakan shalat dan tidak tampil berbuat sesuatu dari amal perbuatan
agama", maka kami bertanya : "Manakah batas waktu itu dan berapakah
bilangan ta'at yang ditinggalkannya, yang membatalkan Imannya dan berapakah
bilangan dosa besar, yang dengan dikerjakannya lalu membatalkan Imannya? Dan
ini tidaklah mungkin ditetapkan dengan taksiran saja dan tidak boleh
sekali-kali yang demikian".
Tingkat Keempat : bahwa adanya
pembenaran itu dengan hati, sebelum diucapkan dengan lidah atau dikerjakan dengan
anggota badan, lalu mati dia, maka adakah kita mengatakan : "Dia itu mati
sebagai mu'min, diantara dia dan Allah Ta'ala?".
Hal ini termasuk diantara persoalan yang diperselisihkan. Siapa
yang mensyaratkan akan perkataan (pengucapan) untuk kesempurnaan Iman, tentu
akan menjawab : "Orang itu mati sebelum Iman".
Penjawaban ini salah, karena sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Akan keluar
dari neraka, orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi daripada
Iman". Dan orang itu hatinya telah diliputi dengan keimanan, maka
bagaimanakah ia kekal dalam neraka? Dan tidak disyaratkan bagi Iman, menurut hadits
Jibril as. selain daripada membenarkan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya dan
hari akhirat, seperti telah diterangkan dahulu.
Tingkat Kelima : bahwa membenarkan
dengan hati dan mendapat kesempatan waktu sebelum mati untuk mengucapkan dua
kalimah syahadah serta mengetahui akan wajibnya, tetapi tidak diucapkan nya.
Maka dalam hal ini, mungkinlah dijadikan keengganannya daripada
mengucapkan itu seperti keengganannya daripada mengerjakan shalat. Lalu kita
katakan bahwa dia itu mu'min, tidak kekal dalam neraka.
Iman : ialah
pembenaran semata dan lisan ialah penterjemah bagi Iman. Maka tak dapat tidak,
Iman itu telah ada dengan sempurna sebelum lisan, sehingga diterjemahkan oleh
lisan.
Ini, jelas benar. Karena tidaklah yang
menjadi pegangan selain mengikuti apa yang di kandung oleh kata-kata dan yang
diucapkan oleh lisan, bahwa : Iman ialah ibarat daripada pembenaran dengan
hati. Dan bersabdalah Nabi صلى الله عليه وسلم: "Akan keluar dari
neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi dari Iman".
Dan tidaklah Iman itu hilang dari hati dengan diam daripada
mengucapkan yang wajib itu, sebagaimana tidak hilang dengan berdiam diri
daripada berbuat perbuatan yang wajib.
Berkata orang-orang yang mengatakan bahwa mengucapkan itu rukun,
karena tidaklah dua kalimah syahadah itu menerangkan apa yang di dalam hati,
tetapi adalah mengadakan suatu ikatan lain, permulaan pengakuan dan keharusan.
Yang pertama itulah yang lebih benar. Dan telah bertegas-tegasan
mengenai itu golongan Murjiah, dengan mengatakan bahwa orang itu tidaklah
sekali-kali masuk neraka. Dan mengatakan lagi bahwa orang mu'min, meskipun
ma'siat, tidaklah masuk neraka.
Pendapat yang di atas ini, akan kami nyatakan salahnya kepada
mereka.
Tingkat Keenam : bahwa mengucapkan
dengan lisan : Laa ilaaha illatlaah Muhammadur-rasuulullaah, tetapi tidak
membenarkannya dengan hati, maka kami tidak ragu-ragu mengatakan bahwa orang
itu menurut hukum akhirat termasuk orang kafir dan kekal di dalam neraka. Dan
kami tidak ragu-ragu mengatakan bahwa pada hukum dunia yang berhubungan dengan
imam dan wall, orang itu termasuk orang Islam karena isi hatinya tidak seorang
pun mengetahuinya. Dan kita harus menyangka bahwa apa yang diucapkan-nya dengan
lisannya, tidak lain daripada yang terlipat di dalam lembaran hatinya.
Hanya yang kita ragukan, ialah mengenai hal ketiga, yaitu hukum
duniawi diantara dia dan Allah Ta'ala.Umpamanya,padasa'at yang demikian itu
matilah seorang keluarganya yang muslim, kemudian baru ia membenarkan dengan
hatinya, lalu meminta fatwa, dengan mengatakan : "Adalah aku belum
membenarkan dengan hati ketika keluargaku itu mati. Sedang harta peninggalannya
sekarang di dalam tanganku. Maka adakah halal bagiku diantara aku dan Allah
Ta'ala?".
Atau kawin ia dengan seorang wanita Islam, kemudian baru ia
membenarkan dengan hati. Apakah wajib diulangi perkawinannya?.
Inilah hal-hal yang harus mendapat perhatian. Mungkin orang
memberi penjawaban bahwa hukum duniawi itu tergantung dengan perkataan yang
nyata, dhahir dan bathin. Dan mungkin pula orang memberi penjawaban, bahwa
bergantung menurut yang dhahir itu mengenai hak orang lain. Karena hatinya itu
tiada terang kepada orang lain. Bathinnya itu, nyata bagi dirinya sendiri,
diantara dia dan Allah Ta'ala.
Yang lebih dhahir kepada kebenaran dan ilmu yang sebenarnya adalah
pada sisi Allah Ta'ala, bahwa tidaklah halal baginya pusaka itu dan haruslah
perkawinan itu diulang kembali.
Karena itulah, Hudzaifah ra. tidak berta'ziah (bertukam) pada
orang munafiq yang meninggal. Dan Khalifah Umar ra. menjaga benar yang
demikian. Maka dia juga tiada berta'ziah apabila Hudzaifah tiada berta'ziah.
Shalat adalah perbuatan dhahir di dunia, meskipun perbuatan
dhahir itu termasuk sebahagian daripada ibadah. Dan menjaga dari yang haram
juga termasuk di dalam jumlah yang wajib karena Allah, seperti shalat, karena
sabda Nabi saw. : "Mencari yang halal adalah fardu sesudah fardlu "
Dan tiadalah ini bertentangan dengan kata kami bahwa warisan itu
hukum Islam dan Islam itu ialah menyerah. Bahkan penyerahan
yang sempurna ialah melengkapi kepada
dhahir dan bathin.
Inilah pembahasan fiqih yang berdasarkan kepada dhan (mendekati
kepada yakin), bersendi kepada kata-kata dhahir, umum dan qias (analogi). Maka
tidak wajarlah orang yang singkat ilmunya, menyangka bahwa yang dicari mengenai
itu ialah keyakinan (ketegasan) menurut adat yang berlaku di dalam Ilmu kalam,
di mana diminta adanya keyakinan itu.
Alangkah menangnya orang yang melihat kepada adat kebiasaan dan
yang resmi saja di dalam ilmu pengetahuan!.
Kalau anda bertanya : "Apakah
kesangsian golongan Mu'tazilah dan Murji-ah itu dan apakah alasan salahnya
perkataan mereka?".
Maka aku menjawab bahwa kesangsian
mereka itu ialah umumnya bunyi Al-Qur'an. Golongan Murji-ah mengatakan : orang
mu'min tidak masuk neraka meskipun ia mengerjakan segala perbuatan ma'siat
karena firman Allah Ta'ala :
فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلا يَخَافُ بَخْسًا وَلا رَهَقًا
(Faman yu'min birabbihii falaa yakhaafu bakhsan wa laa
rahaqaa).Artinya : "Maka siapa yang beriman kepada Tuhannya, dia tiada
merasa takut menderita kerugian dan teraniaya (S. Al-Jinn, ayat 13).
Dan karena firman Allah Ta'ala :
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ
(Walladziina aamanuu billaahi wa rusulihii ula'a ika
humush-shid-diiquun).Artinya :"Dan orang-orang yang beriman kepada Allah
dan tasul-rasulNya, itulah orang yang sesungguh-sungguhnya benar (dalam
kepercaya-annya)" (S. Al-Hadid, ayat 19).
Dan karena firman Allah Ta'ala :
كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
قَالُوا بَلَى قَدْ جَاءَنَا نَذِيرٌ فَكَذَّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزَّلَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ
(Kullamaa ulqiya fiihaa faujun sa-alahum khazanatuhaa alam
ya'ti-kum nadziirun, qaaluu balaa qad jaa-anaa nadziirun fakadz-dzabnaa wa
qulnaa maa nazzalallaahu min syai-in).Artinya : "Setiap suatu kaum
dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan : Belumkah ada
orang yang memberikan peringatan datang kepada kamu? Mereka menjawab : Ya, ada!
Sesungguhnya orang yang memberikan peringatan telah datang kepada
kami, tetapi kami dustakan dan kami mengatakan : Tuhan tiada menurunkan barang
suatu apapun".(S. Al-Mulk, ayat 8-9).
Maka firman Allah : "Setiap suatu
kaum dijatuhkan ke dalamnya", itu adalah umum. Maka seyogialah tiap-tiap
orang yang dijatuhkan ke dalam neraka, adalah ia mendustakan.
Dan karena firman Allah Ta'ala :
لا يَصْلاهَا إِلا الأشْقَى الَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّى
(Laa yashlaahaa illal asyqa! ladzii kadzdzaba wa tawallaa).Artinya
: "Tiada masuk ke dalamnya selain dari orang yang amat celaka. Yang'
mendustakan (kebenaran) dan membelakang". (S. Al-Lail, ayat 15 dan 16).
Ini, adalah pembatasan (hashr), istbat (positif), dan nafi
(negatif).
Dan karena firman Allah Ta'ala :
قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسَلامٌ عَلَى عِبَادِهِ الَّذِينَ اصْطَفَى آللَّهُ خَيْرٌ أَمَّا يُشْرِكُونَ
(Man jaa-a bil-hasanati falahuu khairun minhaa wa hum min faza'in
yauma idzin aaminuun).Artinya : "Barangsiapa yang membawa (mengerjakan)
perbuatan baik, dia memperoleh (balasan) lebih baik dari itu dan mereka tentram
pada hari kedahsyatan itu " (S. An-Naml, ayat 89). Dan Iman adalah kepala
segala kebaikan.
Dan karena firman Allah Ta'ala : "Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebaikan (kepada sesamanya) ". (S. Ali 'Imran,
ayat 134)
Dan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya
kami tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan
baik".(S. Al-Kahf, ayat 30).
Dan tak ada alasan bagi golongan Murjiah tentang demikian itu,
sebab di mana disebut Iman pada ayat-ayat tadi, adalah dimaksudkan : Iman serta
perbuatan. Karena telah kami terangkan bahwa Iman itu kadang-kadang disebut dan
yang dimaksudkan ialah Islam. Dan itu, bersesuaian dengan hati, perkataan dan.
perbuatan.
Dalil bagi penta'wilan ini ialah banyak hadits tentang penyiksaan
orang-orang yang berbuat ma'siat dan tingkatan-tingkatan dari siksaan itu.
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Akan
dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi
daripada Iman". Maka bagaimanakah dikeluarkan, apabila ia tidak dimasukkan
ke dalam neraka itu lebih dahulu?.
Dari Al-Qur'an, firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya Allah
tidak mengampuni -dosa- jika Dia dipersekutukan, tetapi diampuniNya selain dari
itu, bagi siapa yang dikehendakiNya (S. An-Nisaa', ayat 48).
Pengecualian dengan yang dikehendakiNya itu, menunjukkan kepada
adanya pembahagian.
Dan firman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu neraka jahannam,
mereka tetap di situ untuk masa yang lama".(S. Al-Jinn, ayat 23).
Penentuan kekekalan di dalam neraka dengan sebab kufur. adalah
lebih meneguhkan lagi.
Dan firman Allah Ta'ala : "Ingatlah,
sesungguhnya orang-orang yang bersalah itu dalam siksaan yang tetap
(lama)" (S. Asy-Syura, ayat 45)
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
membawa (mengerjakan) kejahatan, mukanya dilemparkan ke dalam neraka" (S.
An-NamI, ayat 90).
Maka kata-kata umum ini pada berlawanan (mu'aradlah) dengan
kata-kata umum mereka. Dan haruslah ada penguatan pengkhususan dan penta'wilan
pada kedua belah pihak. Karena hadits-hadits menegaskan bahwa orang-orang yang
berbuat ma'siat di'azabkan. (1)
Bahkan firmanNya : Dan tiada seorangpun
diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya". (S. Maryam, ayat 71), adalah
sebagai penjelasan bahwa yang demikian itu haruslah untuk semuanya. Karena tak
ada orang mu'min yang terlepas daripada dosa yang di perbuatnya.
Dan firmanNya : "Tiada
masuk ke dalamnya selain dari orang yang amat celaka. Yang mendustakan
(kebenaran) dan membelakang". (S. Al-Lail, ayat 15 dan 16), adalah
dimaksudkan suatu golongant ertentu atau dimaksudkan dengan orang yang amat
celaka itu, orang yang tertentu pula.
1. Dirawikan Al-Bukhari dari Anas.
Dan firmanNya : "Setiap suatu
kaum dijatuhkan ke dalamnya, penjaga-penjaga neraka itu menanyakan (S. Al-Mulk,
ayat 8), yakni : suatu kaum kafir. Dan pengkhususan bagi umum itu, adalah
mendekati kepada kebenaran.
Dari ayat ini dimungkiri oleh golongan Asy 'ariyah dan segolongan
Mutakallimin (ulama ilmu kalam), bahwa itu kata-kata umum.Dan kata-kata itu
dihentikan dulu, sampai ada tanda-tanda yang menunjukkan kepada pengertiannya.
Adapun golongan Mu 'tazilah, maka kesangsian mereka, ialah firman
Allah Ta'ala :
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
(Wa innii Iaghaffaarun liman taaba wa aamana wa 'amila shaalihan
tsummah tadaa).
Artinya : "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun kepada siapa
yang kembali kepadaKu beriman dan mengerjakan perbuatan baik, kemudian itu dia
mengikuti jalan yang benar".(S. Thaha, ayat 82).
Dan firman Allah Ta'ala : "Demi
(perhatikan) waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik ". (S. Al-Ashr,
ayat 1-2 dan 3).
Dan firman Allah Ta'ala:"Dan tiada seorangpun
diantara kamu yang tiada masuk ke dalamnya; itulah keputusan Tuhan yang tak dapat
dihindarkan (S. Maryam, ayat 71). Kemudian Allah berfirman : "Kemudian.
Kami lepaskan orang-orang yang menjaga dirinya (dan kejahatan) ". (S.
Maryam, ayat 72).
Dan firman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya, sudah tentu untuk orang itu neraka
jahannam". (S. Al-Jinn, ayat 23).
Semua ayat itu, disebutkan oleh Allah amalan shalih padanya, yang
disertai dengan Iman.
Dan firman Allah Ta'ala :
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
(Wa man yaqtul mu'minan muta'ammidan fajazaa-uhuu jahannamu
khaalidan fiihaa).
Artinya : "Dan siapa yang membunuh orang yang beriman dengan
sengaja, balasannya ialah neraka jahannam, mereka tetap di dalamnya". (S.
An-Nisaa', ayat 93).
Ayat-ayat umum ini juga, di-khususkan (diberi ketentuan) dengan
dalil firmanNya :"Dan diampuniNya selain dari itu bagi siapa yang
disukaiNya".(S. An-Nisaa', ayat 48).Maka seyogialah tinggal kehendak bagi
Allah untuk memberi pengampunan selaindari syirik (mempersekutukanNya).
Dan seperti demikian juga sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Akan
dikeluarkan dari neraka orang-orang yang ada di dalam hatinya seberat biji sawi
daripada Iman ".
Dan firman Allah Ta'ala : "Sesungguhnya
Kami tiada akan membuang saja pahala orang-orang yang melakukan perbuatan
baik". (S. Al-Kahf, ayat 30). Dan firman Allah Ta'ala : "SesungguhNya
Allah tiada menghilangkan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan".(S.
Al-Bara-ah,@ attaubah ayat 120).
Maka bagaimanakah dihilangkan pahala pokok iman
dan segala tha'at dengan suatu ma'siat saja?
Dan firman Allah Ta'ala : "Dan siapa yang
membunuh orang yang beriman dengan sengaja". (S. An-Nisaa', ayat 93),
yakni : karena keimanannya. Dan telah datang hadits-hadits Nabi saw.
yang menerangkan seperti sebab ini.
Yakni : karena
keimanannya. Dan telah datang hadits-hadits Nabi saw. yang menerangkan seperti
sebab ini.
Kalau anda bertanya bahwa telah cenderung
pilihan, bahwa Iman itu berhasil tanpa berbuat. Dan dalam pada itu, telah
terkenal dari ulama-ulama terdahulu akan perkataan mereka, bahwa Iman itu suatu
ikatan, perkataan dan perbuatan. Maka apakah artinya itu?.
Kami menjawab, tidaklah jauh daripada
kebenaran, bahwa amal perbuatan itu dihitung sebahagian daripada Iman. Karena
dia menyempurnakan dan melengkapkan Iman, sebagaimana dikatakan : kepala dan
dua tangan dari manusia. Dan dapat dimaklumi bahwa manusia akan keluar dari
adanya sebagai manusia dengan tiada kepala dan tidak akan keluar dari manusia
dengan terpotong tangan.
Dan seperti itu pula dikatakan bahwa tasbih dan takbir adalah sebahagian
dari shalat, walaupun shalat itu tidak batal dengan tak ada tasbih dan takbir.
Maka membenarkan dengan hati adalah sebagian dari Iman, seperti
kepala untuk adanya manusia. Karena manusia itu menjadi tidak ada, dengan tidak
adanya kepala.
Amalan ta'at yang lain adalah seperti anggota tubuh, sebahagiannya
lebih tinggi daripada sebahagian yang lain.
Dan bersabdalah Nabi صلى الله عليه وسلم :
لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن
(Laa yazniz zaanii hiina yaznii wa huwa mu'min).Artinya :
"Tidak melakukan zina orang yang berzina, di mana ketika dia berzina itu,
dia mu 'min ". (1)
Para shahabat ra. tidaklah beri'tiqad dengan aliran Mu'tazilah,
tentang keluar dari Iman, dengan zina. Tetapi artinya, ialah : tidak beriman
yang sebenar-benarnya, keimanan yang sempuma lagi cukup. Seumpama dikatakan
kepada orang lemah yang kehilangan anggota badannya : "Tidaklah dia ini
manusia", artinya : tiada ia mempunyai kesempurnaan yang ada di belakang
hakikat kemanu-siaannya.
Masalah II
Kalau anda mengatakan bahwa ulama terdahulu
(ulama salaf) telah sepakat bahwa Iman itu bertambah dan berkurang.
Bertambahnya dengan ta'at dan berkurangnya dengan ma'siat. Apabila pembenaran
(tashdiq) itu Iman, maka tidaklah tergambar padanya berlebih dan berkurang.
Maka aku menjawab, bahwa ulama salaf itu
adalah saksi-saksi yang adil, tak ada sepatahpun daripada perkataan mereka yang
menyeleweng. Apa yang disebutkan mereka itu benar. Hanya persoalan-nya ialah
pada memahaminya.
Pada perkataan ulama salaf itu, menunjukkan bahwa amal perbuatan
itu tidaklah sebahagian daripada Iman dan sendi-sendi wujudnya. Tetapi adalah
tambahan kepadanya, di mana Iman itu bertambah dengan adanya amal perbuatan.
(1) Maksudnya : Takbir intiqafat, yaitu takbir waktu berpindah rukun di dalam shalat,yang hukumnya sunat. (Peny)1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Yang bertambah itu ada dan yang berkurang pun ada. Dan sesuatu itu
tidaklah bertambah dengan dirinya sendiri. Maka tidak boleh dikatakan bahwa
manusia itu bertambah dengan kepalanya. Tetapi dikatakan : bertambah dengan
janggutnya dan gemuknya. Dan tidak boleh dikatakan, bahwa shalat itu bertambah
dengan ruku' dan sujud. Tetapi bertambah dengan adab dan sunat-sunat.
Maka ini, adalah penegasan bahwa Iman itu mempunyai wujud (ada).
Dan sesudah adanya, lalu berbeda keadaannya dengan bertambah dan berkurang.
Kalau anda berkata bahwa kesulitan
timbul mengenai pembenaran (tashdiq), bagaimanakah ia bertambah dan berkurang,
sedang dia itu satu hal saja?.
Maka aku menjawab bahwa apabila kita
tinggalkan tedeng aling-aling dan tidak mengambil pusing dengan ejekan orang
yang mengejek, lalu kita membuka tutupnya, niscaya hilanglah kesulitan itu.
Maka kami menjawab : bahwa Iman adalah nama yang berseku-tu, dipakai dari tiga
segi :
Pertama : dipakai untuk pembenaran
dengan hati. atas jalan i'tiqad dan taqlid, tanpa pembukaan dan pelapangan
dada. Yaitu : iman orang awwam, bahkan iman manusia seluruhnya, selain dari
orang-orang tertentu (orang-orang khawwas).
I'tiqad ini adalah suatu ikatan pada hati, sekali erat dan
kuat,sekali lemah dan luntur, seperti ikatan dengan benang umpamanya.
Dan tidaklah jauh contoh ini daripada kebenaran. Ambillah ibarat
dengan orang Yahudi dan kerasnya ia berpegang pada 'aqidahnya, yang tak mungkin
tanggal dengan hardik dan gertak, bujukan dan pengajaran, dalil dan alasan. Dan
seperti itu pulalah orang Nasrani dan orang pembuat bid'ah.
Dan pada mereka, ada orang yang mungkin diragukan dengan sedikit
pembicaraan dan mungkin turun dari 'aqidahnya dengan sedikit pancingan atau
gertak. Sedang dia sebenarnya tiada ragu di dalam 'aqidahnya itu seperti orang
yang pertama tadi (orang Yahudi).
Tetapi keduanya, berlebih-kurang tentang keteguhan pendirian.
Dan ini terdapat juga pada i'tiqad yang benar. Dan amal perbuatan
itu membekas pada tumbuh dan bertambahnya keteguhan pendirian itu, seperti
membekasnya penyiraman air pada tumbuhnya kayu-kayuan. Dan bersabda Nabi saw.
menurut riwayat pada sebahagian hadits : "Iman itu bertambah dan
berkurang". (1)
Dan itu adalah dengan pengaruh ta'at di dalam hati. Dan ini tidak
diketahui selain oleh orang yang memperhatikan akan keadaan dirinya sendiri,
pada waktu tekun beribadah dan menjuruskan kepadanya dengan kehadliran hati
serta waktu-waktu lesu. Dan mengetahui berlebih-kurangnya pada ketetapan hati
kepada aqidah-aqidah Iman dalam segala hal keadaan itu. Sehingga bertambah
eratnya ikatan Iman sebagai tantangan terhadap orang yang mau melepaskannya
dengan ke ragu-raguan. Bahkan orang yang mempunyai kepercayaan pada anak yatim,
akan arti belas kasihan, apabila ia berbuat menurut yang diharuskan oleh
kepercayaannya itu, lalu disapunya kepala anak yatim itu dan bertambah kasih
sayangnya kepadanya, niscaya diperolehnya dari bathiniyahnya, akan kekuatan dan
kegandaan kasih sayang dengan sebab perbuatannya itu.
Begitu pula orang yang berkeyakinan kepada kerendahan diri,
apabila berbuat menurut yang diharuskan oleh keyakinan itu akan sesuatu
perbuatan dengan menghadapkan diri atau bersujud kepada orang lain, niscaya ia
merasa dari hatinya dengan perasaan merendahkan diri itu, ketika tampil ia
kepada pengkhidmatan. Begitulah kiranya segala sifat hati, yang timbul
daripadanya, segala amal perbuatan anggota badan. Kemudian kembalilah membekas
segala perbuatan itu kepadanya. Lalu menguatkan dan menam-bahkannya.
1.Dirawikan Ibnu 'Uda dan A busy. Syaikh dari Abu Hurairah. Kata Ibnu 'Uda. hadits ini batil, karena dalam sanadnya ada Muhammad bin Ahmad bin Harb Al-Milhi. yang sengaja dusta.
Karena itu berfirman Allah Ta'ala :
فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا
(Fazaadat-hum iimaanaa).Artinya : "Maka
ayat-ayat itu menambah kepada keimanannya".(S. Al-Baraah, ayat
124)@ At-Taubah
Dan berfirman Allah Ta'ala :
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
(Liyaz daaduu iimaanan ma'a iimaanihim).
Artinya : "Supaya keimanan mereka bertambah dari keimanannya
yang telah ada". (S. Al-Fath, ayat 4).
Dan akan datang penjelasan ini nanti pada Bahagian
Perbuatan-perbuatan yang Melepaskan dan yang Membinasakan, ketika menerangkan
segi hubungan bathin dengan dhahir dan amal perbuatan dengan aqidah dan hati.
Karena yang demikian itu adalah termasuk jenis hubungan alam al-mulki dengan
alam al-malakut.
Yang dimaksudkan dengan alam al-mulki ialah alam nyata yang dapat
dipersaksikan dengan pancaindra. Dan dengan alam al-mala-kut ialah alam ghaib
yang diketahui dengan nur mata hati (bashirah). Dan hati itu termasuk alam
al-malakut. Dan anggota badan serta segala perbuatannya adalah termasuk alam
al-mulki.
Kehalusan dan kemumian ikatan diantara kedua alam itu, sampai
kepada batas, yang disangka oleh sebagian manusia akan kesatuan satu sama lain.
Dan disangka oleh sebahagian manusia lagi bahwa tak ada alam yang lain, selain
dari alam yang dapat dipersaksikan (alam asy-syahadah). Yaitu benda-benda ini,'
yang dilihat oleh pancaindra.
Orang yang mengetahui keduanya dan mengetahui
bilangan-bilang-annya, kemudian ikatan keduanya, niscaya menyusun kata-kata
yang merupakan madah :
"Amat haluslah kaca.
Amat haluslah khamar.
Keduanya serupa.
Sehingga menjadi samar.
Seakan-akan
khamar...................
Bukan wadah
.....................
Seakan-akan wadah,
Bukan
khamar....................
Dan marilah kita kembali kepada yang dimaksud!!!.
Sesungguhnya alam ini adalah di luar ilmu mu'amalah. Tetapi
diantara dua alam juga, ada hubungan dan ikatan. Maka karena itulah kita
melihat ilmu-ilmu mukasyafah itu pada setiap sa'at memanjat kepada ilmu-ilmu
mu'amalah. Sehingga tersingkaplah daripadanya, dengan memberatkan diri.Maka
inilah segi bertambahnya Iman dengan ta'at, dengan apa yang diharuskan oleh
pemakaian ini.
Dan karena inilah berkata
Ali ra. : "Bahwa Iman itu lahir sebagai suatu titik cahaya putih.
Apabila hamba Allah itu mengerjakan amal shalih, maka titik itu hertambahT
kemudian bertambah lagi, sehingga memutihlah hati seluruhnya. Dan bahwa nifaq
itu lahir sebagai suatu titik hitam. Maka apabila hamba itu mengeijakan yang
terlarang, maka titik hitam itu bertambah, kemudian bertambah. Sehingga
menghitamlah hati seluruhnya, lalu menjadi sifat (karakter) baginya".
كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
(Kallaa bal raana 'alaa quluubihim maa kaanuu yaksibuun).
Artinya : "Jangan berpikir betul! Bahkan, apa yang telah
mereka kerjakan itu menjadi karat bagi hati mereka". (S. Al-Muthaffifin,
ayat 14).
Pemakaian Kedua : bahwa dimaksudkan
dengan Iman itu ialah pembenaran dan amal perbuatan, seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
الإيمان بضع وسبعون باب
(Al-iimaanu bidl-'un wa sab'uuna baaban).Artinya : "Iman itu
lebih tujuh puluh pintunya' (1)
Dan seperti sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم : "Tidak
berzinalah orang yang berzina, di mana ketika ia berzina itu ia beriman.
Apabila masuklah perbuatan dalam maksud kata-kata Iman, maka
tidaklah tersembunyi bertambah dan berkurangnya Iman itu. Adakah membekas yang
demikian pada bertambahnya Iman, yang semata-mata artinya pembenaran ?.
Mengenai ini terdapat perhatian dan telah kami tunjukkan kepada
adanya membekas itu.
Pemakaian Ketiga . bahwa dimaksudkan
dengan Iman itu, pembenaran keyakinan atas jalan kasyaf (terbuka hijab),
terbuka dada dan bermusyahadah dengan nur mata hati.
Ini adalah bahagian yang terjauh daripada menerima bertambahnya
Iman itu. Tetapi aku mengatakan bahwa urusan keyakinan yang tak ada ragu
padanya, adalah berbeda ketetapan hati kepadanya. Maka tidaklah ketetapan. hati
tentang dua lebih banyak dari satu, seperti ketetapannya tentang alam, itu
dijadikan, lagi baharu. Meskipun tak ada keraguan mengenai suatupun daripada
kedua contoh tadi. Tetapi keyakinan itu berbeda tentang tingkat kejelasan dan
ketetapan hati kepadanya. Dan telah kami bentangkan hal ini dalam "Pasal
Yakin" dari "Kitab Ilmu", pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat
dahulu. Maka tiadalah perlu lagi diulangi!.
1.sudah di terangkan dulu dalam kitab ilmu2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah.
Dan telah jelas pada segala pemakaian kata-kata Iman itu, bahwa
apa yang dikatakan mereka dari hal bertambah dan berkurangnya Iman, adalah
benar. Bagaimana tidak?. Pada hadits-hadits tersebut : "Bahwa
dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di dalam hatinya seberat biji sawi
daripada Iman "
Pada sebahagian tempat pada hadits lain, tersebut : "Seberat
uang dinar", maka apakah artinya perbedaan berat timbangan Iman itu, kalau
apa yang di dalam hati tiada berlebih-kurang?.
Masalah III
Kalau anda bertanya : Apakah artinya perkataan
ulama salaf : Saya orang mu'min insya Allah (jika dikehendaki oleh
Allah)?", Dan kata-kata istitsna' itu (jika dikehendaki Allah), adalah
keraguan. Dan keraguan di dalam keimanan itu kufur. Dan ulama-ulama salaf
semuanya adalah tidak mau menjawab tegas dengan keimanan dan mereka itu amat
berhati-hati daripadanya. Maka berkatalah Sufyan Ats-Tsuri ra. :
"Barangsiapa mengatakan Saya mu'min pada Allah, maka dia itu
termasuk orang yang membohong. Dan barangsiapa mengatakan : Saya mu'min
sebenar-benamya, maka dia itu bid'ah Maka bagaimanakah dia membohong, padahal
dia mengetahui bahwa dia seorang mu'min pada dirinya? Barangsiapa mu'min pada
dirinya maka adalah dia mu'min pada Allah. Seumpama : orang yang suka menolong
dan pemurah pada dirinya dan ia mengetahui akan demikian, niscaya adalah dia
demikian pula pada Allah. Demikian juga orang yang bergembira atau berduka cita
atau mendengar atau melihat.
Jikalau ditanyakan kepada seseorang : "Adakah
saudara hewan? Tentu saja tidak baik ia menjawab : Saya hewan insya
Allah". Tatkala Sufyan berkata yang demikian lalu ditanyakan kepadanya:
"Jadi apakah yang kami katakan?". Menjawab Sufyan : "Katakanlah
: Kami beriman dengan Allah dan apa yang diturunkan kepada kami".
Jadi, apakah bedanya antara dia mengatakan : "Kami beriman
dengan Allah dan apa yang diturunkan kepada kami" dan dia mengatakan :
"Aku mu'min?".
Ditanyakan kepada Al-Hasan : "Adakah mu'min
engkau?". Menjawab Al-Hasan : "Insya Allah!".
Lalu ditanyakan kepadanya : "Mengapakah
engkau membuat ber-syarat mengenai Iman, hai Abu Sa'id?".
Menjawab Al-Hasan : "Aku takut
mengatakan : "Ya", nanti Allah mengatakan : "Bohong engkau hai
Hasan!", maka berhaklah atas diriku 'azab".
Dan berkata Al-Hasan seterusnya : "Apa
yang memberikan kepercayaan bagiku, bahwa Allah telah melihat padaku sebahagian
dari pada yang dibenciNya, maka dikutukiNya aku dan Ia berfirman :
"Pergilah! Aku tiada
menerima akan amalmu". Maka aku telah
berbuat amal pada bukan tempatnya".
Berkata Ibrahim bin Adham : "Apabila
ditanyakan kepadamu : Adakah mu'min engkau?". Maka katakanlah '."Laa
ilaahaillaIlaah.
Berkata Ibrahim pada kali yang lain :
"Jawablah, bahwa aku tidak ragu tentang keimanan dan pertanyaanmu kepadaku
itu bid'ah".
Ditanyakan kepada 'Alqamah : "Adakah mu'min engkau?'.'
Menjawab 'Alqamah : "Aku harap insya Allah".
Berkata Ats-Tsuri : "Kami beriman
dengan Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya dan Rasul-rasulNya. Dan kami tidak
mengetahui, bagaimanakah kami pada Allah Ta'ala".
Apakah artinya segala kata-kata bersyarat ini? Jawabnya, bahwa
kata-kata bersyarat ini benar, mempunyai empat arti Dua arti bersandar kepada
keraguan. Tidak pada pokok iman, tetapi pada ke sudahan atau kesempurnaan dari
iman. Dan dua arti lagi tidak bersandar kepada keraguan.
Arti Pertama : yang tidak bersandar
kepada menentang keraguan, ialah menjaga keyakinan, karena ditakuti dari pada
sifat mengakui diri : sudah bersih.
Berfirman Allah ;
فَلا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ
(Falaa tuzakkuu anfusakum).Artinya : "Janganlah, kamu
menganggap dirimu orang bersih ".(S, An-Najm, ayat 32).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ
(Alam tara ilal ladziina yuzakkuuna anfusahum).
Artinya : "Tidaklah engkau perhatikan orang-orang yang
menganggap bersih dirinya sendiri", (S. An-Nisa', ayat 49).
Dan berfirman Allah Ta'ala :
انْظُرْ كَيْفَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
(Undhur kaifa yaftaruuna 'alallaahil kadzib).
Artinya : "Perhatikanlah bagaimana mereka berbuat kedustaan
terhadap Tuhan". (S. An-Nisaa', ayat 50).
Ditanyakan kepada seorang ahli hikmah (al-hakiim)
: "Apakah kebenaran yang keji itu?".
Maka ia menjawab : "Manusia yang
memuji dirinya",
Iman itu termasuk diantara sifat kemuliaan yang tertinggi.
Keyakinan dengan Iman itu adalah pembersihan diri secara mutlak. Membuat
kata-kata bersyarat pada. Iman, seolah-olah memindahkan dari pengertian
pembersihan yang biasa dipakai itu. Seumpama ditanyakan kepada seseorang :
"Apakah tuan dokter? Atau kah tuan seorang ahli fiqih? Ataukah tuan
seorang ahli tafsir?".
Lalu menjawab orang yang ditanyakan itu : "Ya,
insya Allah!", bukanlah untuk menunjukkan ada keraguan, tetapi untuk
mengeluarkan diri dari pengakuan "diri bersih".
Kata-kata
itu memang kata-kata yang menunjukkan kepada ke ragu-raguan dan
kelemahan dari segi bunyinya. Tetapi maksudnya adalah untuk melemahkan
salah satu daripada yang biasa timbul dari kata-kata itu, yaitu : merasa
diri bersih.
Dan dengan penta'wilan ini, kalau ditanyakan mengenai sifat yang tercela„ maka tidak baiklah dibuat kata bersyarat itu.
Arti Kedua :
beradab sopan dengan mengingati Allah (berdzikir kepada Allah) dalam
segala hal serta mengembalikan seluruh persoalan kepada kehendakNya.
Sesungguhnya Allah telah mengajarkan adab kesopanan kepada NabiNya dengan firmanNya
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
(Wa laa taquulanna Ii-syai-in innii faa-'ilun dzaalika ghadan illaa an yasyaa-allaah).
Artinya
: "Janganlah engkau mengatakan dalam sesuatu hal : Bahwa aku akan
mengerjakan itu besok. Melainkan -dengan alasan- jika Tuhan menghendaki
(S. Al-Kahf, ayat 23-24).
Bahkan Tuhan tidak mencukupkan sehingga itu saja, mengenai sesuatu hal yang tidak diragukan padanya. Bahkan la berfirman :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لا تَخَافُونَ
"Sesungguhnya
kamu akan memasuki Masjid Suci (Masjidil-Haram), jika Tuhan
menghendaki, dengan perasaan tenteram, bercukur dan bergunting rambut",
(S. Al-Fath, ayat 27).
Adalah
Allah Maha Mengetahui bahwa kaum muslimin akan masuk -tak boleh tidak-
karena Dia yang menghendakinya. Tetapi maksudnya, ialah mengajari Nabi
saw. dengan demikian. Dari itu Nabi saw. beradab bersopan santun dalam
segala ha yang diberitakan daripadanya. Baik hal yang sudah dimaklumi
atau yang masih diragukan. Sehingga kalau ia memasuki tanah pekuburan,
lalu mengucapkan : "Assalaamu 'alaikum daara qaumim mu'miniin wa ana
insyaa Allaahu bikum laahiquun". (Salam kepadamu di kampung kaum yang
beriman dan kami -jika dikehendaki oleh Allah- akan mengikuti kamu).
Mengikuti
mereka yang sudah meninggal itu, tidaklah diragukan lagi. Tetapi
menurut adab kesopanan, meminta mengingati Allah dan mengikatkan segala
sesuatu kepadaNya. Dan kata-kata (Insya Allah) ini, menunjukkan kepada
yang dimaksud tadi. Sehingga menjadi terkenal pemakaiannya sekarang,
sebagai tanda kegembiraan dan pengharapan.
Kalau
orang berkata kepada anda : "Si Anu akan mati dengan segera", maka anda
menjawab : Insya Allah. Maka dapatlah dipa-hamkan dari perkataan itu
kegembiraan anda, bukan keraguan anda.
Kalau orang berkata kepada anda : "Si Anu akan hilang sakitnya dan akan sembuh", lalu anda menjawab : "Insya Allah", maka itu berarti : kegembiraan. Sehingga jadilah kalimah "Insya Allah", berkisar dari arti keraguan kepada arti kegembiraan. Dan begitu pula penggeseran kepada arti beradab bersopan santun untuk mengingati Allah Ta'ala, bagaimanapun adanya suasana.
Arti Ketiga : Adalah
sandarannya keraguan. Artinya : Saya mu'min sebenarnya insya Allah,
karena Allah Ta'ala berfirman kepada golongan tertentu, kepada diri
mereka itu sendiri :
أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
(Ulaa-ika humul mu'minuuna haqqaa).
Artinya : "Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman".(S, Al-Anfal, ayat 4).
Maka
terbagilah mereka kepada dua bahagian. Dan ini kembali kepada keraguan
mengenai kesempurnaan Iman, tidak mengenai pokok Iman. Tiap-tiap manusia
ragu mengenai kesempurnaan Imannya. Dan itu tidaklah membawa kepada
kufur.
Ragu mengenai kesempurnaan Iman adalah benar dari dua segi :
Pertama : dari
segi bahwa nifaq itu, menghilangkan kesempurnaan Iman. Dan nifaq adalah
tersembunyi, tak dapat dipastikan terlepas daripadanya.
Kedua : dari
segi bahwa Iman itu sempurna dengan amalan-amalan tha'at dan amalan itu
tiada diketahui adanya dengan sempuma, Mengenai amal perbuatan, maka
berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
(Innamal
mu'minuunal-ladziina aamanuu billaahi wa rasuulihii tsumma lam
yartaabuu wa jaahaduu bi-amwaalihim wa anfusihim fii sabiilillaahi
ulaa-ika humush shaadiquun). Artinya : Orang-orang yang sebenarnya
beriman itu hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan RasulNya,
kemudian itu tiada pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah
dengan harta dan dirinya,itulah orang-orang yang benar". (S.
Al-Hujurat,ayat 15).
Begitu pula firman Allah Ta'ala : "Tetapi
kebaikan ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhirat,
malaikat, kitab dan nabi-nabi". (S. Al-Baqarah, ayat 177). Allah
mensyaratkan dua puluh sifat, seperti menepati janji dan bersabar di
atas segala kesulitan. Kemudian pada sambungan ayat tadi Allah berfirman
: "Merekalah orang-orang yang benar"
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Allah
akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan kepada derajat yang tinggi".(S.
Al-Mujadalah, ayat 11).
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Tiada
sama diantara kamu, orang yang membelanjakan (hartanya) dan berperang
sebelum kemenangan (dengan orang yang berbuat begitu sesudah
kemenangari)". (S. Al-Hadid, ayat 10).
Dan berfirman Allah Ta'ala :"Tingkatan mereka berbeda-beda di sisi Allah" (S.Ali imran,ayat 163).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : الإيمان عريان ولباسه التقوى "Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa". (1)
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم saw. :الإيمان بضع وسبعون بابا أدناها إماطة الأذى عن الطريق فهذا "Iman
itu, lebih tujuh puluh pintunya. Yang lebih rendah daripada pintu-pintu
itu, ialah membuang sesuatu yang menyakitkan dari jalan raya".
Adalah
ini menunjukkan kepada ikatan kesempurnaan Iman dengan amal perbuatan.
Adapun ikatannya dengan kelepasan daripada nifaq dan syirik yang
tersembunyi, maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
أربع من كن فيه فهو منافق خالص وإن صام وصلى وزعم أنه مؤمن من إذا حدث كذب وإذا وعد أخلف وإذا اؤتمن خان وإذا خاصم فجر
(Arba'un
man kunna fiihi fahuwa munaafiqun khaalishun wa in shaama wa shallaa wa
za'ama annahu mu'minun : man idzaa hadda-tsa kadzaba wa idzaa wa 'ada
akhlafa wa idza'-tumina khaana wa idzaa khaashama fajara).Artinya :
"Empat perkara, siapa yang ada padanya, maka dia itu munafiq
benar-benar, walaupun ia berpuasa, mengerjakan shalat dan mendakwakan
dirinya orang mu 'min. Yaitu : apabila berbicara ia membohong, apabila
berjanji ia melanggar janji, apabila dipercayai ia berkhianat dan
apabila bermusuhan ia berbuat aniaya". (2)
1 Sudah diterangkan dulu pada Kitab Ilmu.2 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin umar.
Pada setengah riwayat, tersebut : "Apabila membuat perjanjian ia menghilang".
Pada hadits yang diriwayatkan Abi Sa'id Al-Khudri, tersebut : "Hati
itu empat : Hati yang masih suci bersih, padanya lampu yang cemerlang,
maka itulah hati orang mu'min : hati yang terben-tang padanya Iman dan
nifaq, maka Iman padanya adalah seumpama sayur-sayuran yang digenangi
air tawar. Dan nifaq padanya adalah seumpama luka yang digenangi nanah
bercampur darah. Maka benda mana diantara keduanya yang lebih banyak,
maka dengan itulah orang itu ditetapkan". (1)
Pada lain riwayat : "Mana yang lebih banyak padanya, maka itulah yang menentukan orang itu".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : أكثر منافقي هذه الأمة قراؤها
Artinya : "Yang lebih banyak menjadi munafiq daripada ummat ini, ialah orang-orang yang ahli membaca Al-Quran ". (2).
(Aktsaru munaafiqi haadzihil ummati qurraa-uhaa).
Pada Suatu Hadis tersebut:
الشرك أخفى في أمتي من دبيب النمل على الصفا
(Asy-syirku akhfaa fii ummatii min dabiibin namli 'alash-shafaa).
Artinya : "Syirik itu adalah lebih tersembunyi pada ummatku daripada semut yang melata di bukit Shofa". (3)
Berkata Huzaifah ra. : "Adalah
seorang laki-laki mengeluarkan sepatah kata pada masa Nabi saw. yang
menjadikan dia munafiq karenanya, sampai dia mati. Dan aku mendengar
kata-kata itu sekarang dari salah seorang kamu dalam sehari sampai
sepuluh kali".(4)
Berkata setengah ulama : "Yang lebih mendekatkan manusia kepada nifaq, ialah orang yang memandang dirinya terlepas daripada nifaq itu".
1 Dirawikan Ahmad dari Abi Sa'id Al-Khudri.2 Dirawikan Ahmad dan Ath-Thabrani dari 'Uqbah bin 'Amir.3 Dirawikan Abu yu'la. Ibnu Hibban dan Ibnu 'Uda dari Abu Bakar.4 Dirawikan Ahmad dari Hudzaifah.
Berkata Huzaifah ra. : "Orang-orang munafiq sekarang adalah lebih banyak daripada di masa Nabi saw صلى الله عليه وسلم . Mereka waktu itu menyembunyikan nifaqnya. Tetapi sekarang mereka melahirkan-nya".
Nifaq ini adalah melawan kebenaran dan kesempurnaan Iman. Dia
tersembunyi. Manusia yang terjauh daripadanya, ialah orang yang merasa
takut kepadanya. Dan yang terdekat kepadanya ialah orang yang memandang
dirinya terlepas daripadanya.
Ada orang menanyakan kepada Al-Hasan Al-Bashri : "Benarkah kata orang, tiada nifaq sekarang?".
Maka menjawab Al-Hasan : "Hai saudaraku! Jikalau binasalah semua orang munafiq itu, niscaya kamu merasa jijik melihat banyaknya di jalan raya".
Berkata
Al-Hasan atau orang lain : "Jikalau tumbuhlah ekor pada orang munafiq,
niscaya tiada sanggup kita meletakkan tapak kaki di atas tanah".
Ibnu Umar ra. mendengar seorang laki-laki memperkatakan Hajjaj, lalu
beliau bertanya : "Apakah pendapat engkau jika hadlir dia, lalu
mendengar apa yang engkau katakan. Apakah engkau membicarakan lagi
mengenai dia?". Maka laki-laki itu menjawab : "Tidak". Lalu Ibnu Umar
ra. menyambung : "Kami hitung sikap yang demikian itu nifaq pada masa
Rasulullah صلى الله عليه وسلم".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
من كان ذا لسانين في الدنيا جعله الله ذا لسانين في الآخرة
(Man kaana dzaalisaanaini fid-dun-yaa ja'alahullaahu dzaalisaanaini fil aakhirah).
Artinya : "Siapa yang mempunyai dua lidah di dunia, niscaya dijadikan dia oleh Allah mempunyai dua lidah di akhirat" (1)
Bersabda pula Nabi صلى الله عليه وسلم :
شر الناس ذو الوجهين الذي يأتي هؤلاء بوجه ويأتي هؤلاء بوجه
(Syarrun naasi dzul-wajhainil ladzii ya'tii haa-ulaa-i bi-wajhim wa ya'tii haa-ulaa-i biwajhih).Artinya : "Manusia
yang paling jahat, ialah yang bermuka dua. Dia datang kepada suatu
golongan dengan satu muka dan dia datang kepada golongan yang lain
dengan satu muka pula ".
1.Ini adalah sambungan perkataan Ibnu Umar ra. dl atas.
Ada orang mengatakan kepada AI-Hasan : "Bahwa suatu kaum mengatakan : Kami tidak takut kepada nifaq.".
Maka
menjawab Al-Hasan : "Demi Allah! Bahwa aku ir engetahui diriku terlepas
daripada nifaq, adalah lebih aku sukai daripada terjadinya bukit-bukit
kecil menjadi emas".
Berkata Al-Hasan : "Setengah
daripada nifaq, ialah berlainan lidah dan hati, yang tersembunyi dan
yang nyata, yang dimaksud kan dan yang dikeluarkan".
Berkata seorang laki-laki kepada Huzaifah ra. : "Saya takut, menjadi orang munafiq"..
Maka menjawab Huzaifah : "Jikalau engkau seorang munafiq maka tidaklah engkau takuti nifaq itu. Sebab orang munafiq merasa aman daripada nifaq".
Berkata Ibnu Abu Mulaikah : "Saya mendapati seratus tiga puluh, pada suatu riwayat seratus lima puluh orang shahabat Nabi. Semuanya takut kepada nifaq".
Diriwayatkan, bahwa
Rasulullah saw. duduk dalam suatu jama'ah daripada
shahabat-shahabatnya. Maka para shahabat itu menyebut-kan seorang
laki-laki dan membanyakkan pujian kepadanya, Lalu dalam pada itu,
tiba-tiba muncullah seorang laki-laki. Dari mukanya menitikkan air bekas
wudlu, alas kakinya terpegang pada tangan-nya dan diantara kedua
matanya kelihatan bekas sujud. Lalu para shahabat itu berkata : "Wahai
Rasulullah! Inilah dia laki-laki yang kami sebutkan itu!".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم : "Aku melihat pada mukanya bekas tamparan setan".
Maka datanglah laki-laki itu, memberi salam dan duduk bersama para shahabat.
Lalu bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Aku
bersumpah kepada engkau dengan Allah ,Adakah kamu mengatakan akan
dirimu ketika kamu datangi kaummu, bahwa tidak ada dalam kalangan
mereka, orang yang lebih baik daripada kamu".?
Menjawab laki-laki itu : "Ya, ada!". (1)
Nabi membaca di dalam do'anya : "Ya Allah ya Tuhanku! Aku meminta ampun kepadaMu mengenai apa yang aku ketahui dan yang tidak aku ketahui".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Takutkah engkau wahai Rasulullah?".
Maka
Nabi menjawab : "Tidak ada yang menjamin bagiku. Dan hati itu adalah
diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih.
Dibalikkannya sebagaimana kehendakNya".
Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ
(Wa badaa lahum minallaahi maa lam yakuunuu yahtasibuun).
Artinya
: "Dan ketika itu jelas bagi mereka bahwa apa-apa yang dahulunya mereka
tiada-kira itu, memang dari Tuhan (S. Az-Zumar, ayat 47).
Ada
yang mengatakan pada penafsiran ayat tadi, bahwa mereka berbuat
perbuatan dan menyangka bahwa perbuatan itu baik, tetapi adalah dia di
dalam daun neraca perbuatan jahat.
Berkata Sirri As-Saqathi : "Jikalau
seorang manusia masuk kesebuah kebun, di mana di dalamnya terdapat
segala macam pohon-pohonan, yang hinggap di atasnya bermacam-macam
burung. Maka berbicaralah tiap-tiap burung itu kepada manusia tadi
dengan suatu bahasa, seraya mengatakan : "Salam kepadamu, wahai wali
Allah! Maka senanglah hati manusia tadi mendengarnya. Maka jadilah
manusia itu tawanan di dalam tangannya sendiri".
Segala
hadits dan atsar tadi, memperkenalkan kepada kita akan gentingnya
keadaan, disebabkan nifaq yang halus dan syirik yang tersembunyi dan
tidak terasa am an daripadanya. Sehingga Umar bin Khaththab ra. sendiri
bertanya kepada Huzaifah tentang dirinya, apakah dia tersebut di dalam
golongan orang-orang munafiq?.
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani : "Aku mendengar sesuatu daripada sebahagian amir, maka aku bermaksud membantahnya.
1.Dirawikan Ahmad, Al-Bazzar dan Ad-Daraquthni dari Anas.
Tetapi
aku takut nanti aku disuruh bunuh. Bukan aku takut kepada mati, tetapi
aku takut datang ke dalam hatiku rasa kebanggaan menjadi hiasan bibir
orang banyak ketika nyawaku keluar. Dari itu, aku cegah diriku daripada
berbuat yang demikian".
Inilah sebahagian daripada nifaq yang berlawanan dengan hakikat Iman, kebenaran, kesempurnaan dan kemurniannya. Bukan pokoknya.
Nifaq itu dua :
Pertama : keluar dari agama dan menghubungi dengan orang-orang kafir, berjalan dalam jama'ah orang-orang yang kekal dalam neraka.
Kedua : nifaq
itu membawa orangnya ke dalam neraka buat sementara waktu. Atau kurang
dia dari derajat orang-orang yang tinggi serta turun dari tingkat
orang-orang shiddiq.
Yang demikian itu diragukan keimanannya. Dari itu baiklah dibuat pengecualian padanya.
Asal
pokok nifaq ini berlebih-kurang diantara yang rahasia dan yang nyata.
Diantara yang aman dari tipuan, perasaan 'ujub dan hal-hal lain, yang
tidak terlepas daripadanya, selain orang-orang shiddiq.
Arti keempat : yaitu
bersandar juga kepada keraguan. Yang demikian itu, karena takut kepada
buruk kesudahan (su-ul-khatimah). Karena tak ada yang tahu, apakah
Imannya itu selamat ketika mati atau tidak. Jika khatimahnya itu
disudahi dengan kufur, maka binasalah amalannya yang lalu, karena amalan
itu terletak pada keselamatan akhir.
Kalau
ditanyakan seseorang yang berpuasa pada pagi hari, tentang syah
puasanya di hari itu, maka dia menjawab : "Saya benar-benar berpuasa!".
Jikalau ia berbuka tengah hari sesudah itu, maka nya-talah bohongnya.
Karena syahnya puasa itu adalah terletak pada kesempurnaan puasa sampai
terbenam matahati pada akhir siang itu. Sebagaimana siang itu menjadi
tempat bagi kesempurnaan puasa, maka umur adalah tempat bagi
kesempurnaan syah Iman. Dan menyifatkan syahnya sebelum berakhir hari
itu didasarkan akan terus bersambung dari yang sudah ada, adalah
diragukan. Dan kesudahannya, ditakuti.
Dari
itu, menangislah kebanyakan orang-orang yang takut, karena "kesudahan "
(al-khatimah) itu adalah buah dari qadha yang dahulu dan kehendak yang
azali, yang tidak lahir selain dengan lahimya apa yang diqadlakan. Dan
tak ada jalan untuk mengetahuinya bagi seorangpun dari manusia. Maka
takut kepada kesudahan (al-khati-mah), adalah seperti takut kepada yang
dahulu. Kadang-kadang dhahir seketika, apa yang telah dahulu perkataan
dengan Iawannya. Siapakah yang tahu, kiranya dia termasuk diantara
orang-orang yang telah dahulu kebaikan baginya daripada Allah Ta'ala?.
Ada orang yang mengatakan mengenai arti firman Allah Ta'ala :
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
(Wa
jaa-at sakratul mauti bil-haqqi). Artinya: "Dan datanglah sakratul-maut
(kesakitan mati) dengan sebenarnya". (S. Qaf ayat 19).Artinya : dengan
yang dahulu, maka sakratul-maut itu melahirkan yang dahulu itu.
Berkata setangah ulama salaf : "Sesungguhnya ditimbang daripada amalan itu khatimahnya (kesudahannya)".
Adalah Abud Darda' ra. bersumpah : "Demi Allah! Tiada seorangpun yang merasa tenteram daripada Imannya dicabut, melainkan dicabutlah Imannya itu".
Ada
yang mengatakan bahwa sebagian daripada dosa itu ialah dosa yang
siksaannya "buruk kesudahan" (su-ul-khatimah). Kita berlindung dengan
Allah daripada yang demikian. Dan ada yang mengatakan, yaitu : siksaan
mendakwakan diri menjadi iyali dan keramat dengan mengada-adakan.
Berkata setengah arifin (orang-orang
yang benar berma'rifah kepada Allah) : "Jikalau disuruh pilih kepadaku
mati syahid di pintu rumah dan mati atas tauhid di pintu kamar, ma'ka
aku pilih mati atas tauhid di pintu kamar. Karena aku tiada mengetahui
apa yang akan datang pada hatiku, dari perobahan tentang tauhid itu
sampai ke pintu rumah".
Berkata setengah mereka : "Jikalau
aku kenal seseorang dengan ke tauhidannya selama lima puluh tahun,
kemudian terdinding antaraku dan dia dengan sebuah tiang dan mati dia,
maka tidak berani aku memastikannya bahwa dia itu mati atas tauhid".
Pada
suatu hadits tersebut :"Siapa yang mengatakan : Saya mu'min, maka dia
itu kufur. Dan siapa yang mengatakan : Saya orang yang berilmu, maka dia
itu orang bodoh". (1)
1.Diriwayatkan dari At Thabrani dari ibnu umar dengan isnad Dlaif
Dan ada yang mengatakan, mengenai firman Allah Ta'ala :
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
(Wa tammat kalimatu rabbika shidqan wa 'ad laa).
Artinya
: "Dan telah sempurnalah kalimah (firman) Tuhanmu dengan kebenaran dan
keadilannya". (S. Al-An-'aam, ayat 115), bahwa kebenaran itu bagi orang
yang mati di atas Iman dan keadilan bagi orang yang mati di atas syirik.
Dan berfirman Allah Ta'ala :
وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ
(Wa-lillaahi 'aaqibatul umuur).Artinya:"Dan adalah kepunyaan Allah, kesudahan pekerjaan mereka itu". (S. AI-Hajj, ayat 41).
Tatkala keraguan ada dengan kesudahan (al-khatimah) itu, maka pengecualian itu menjadi wajib.
Karena
Iman itu adalah ibarat dari sesuatu yang memfaedahkan sorga,
sebagaimana puasa adalah ibarat daripada sesuatu yang melepaskan dari
tanggungan kewajiban. Puasa yang rusak sebelum matahari terbenam,
tidaklah melepaskan akan tanggungan kewajiban. Maka keluarlah puasa itu
daripada adanya sebagai puasa.
Maka
demikian pulalah Iman. Bahkan tiada jauh daripada kebenaran, bila
ditanyakan akan seseorang daripada puasanya yang lalu yang tidak
diragukan mengenai syahnya, setelah selesai mengerjakannya, pertanyaan
mana, umpamanya : "Adakah anda puasa kemarin?".
Maka
menjawablah orang yang berpuasa itu : "Ya — insya Allah Ta'ala". Karena
puasa yang hakiki (yang sebenar-benarnya), ialah yang diterima (yang
maqbul). Penerimaan itu, adalah hal ghaib , tak ada yang mengetahuinya,
selain Allah Ta'ala.
Maka
dari segi ini, baiklah ada pengecualian dalam segala amal perbuatan
yang baik. Dan itu adalah karena keraguan mengenai maqbulnya. Karena
mungkin tercegah daripada maqbulnya setelah berlaku secara dhahir
syarat-syarat syah, oleh sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak
diketahui selain oleh Tuhan Yang Maha Besar.
(1)Pengecualian atau pensyaratan itu ialah-kata-kata insyaa Allah (kalau dikehendaki oleh Allah). Peny.
Maka
baiklah ada keraguan padanya. Dan inilah segi-segi baiknya pensyaratan
pada penjawaban tentang Iman itu.Segi-segi itulah sebagai penghabisan,
untuk kami sudahi Kitab Qaidah-qaidah I'tiqad ini.
Telah
tammat Kitab ini, dengan pujian kepada Allah Ta'ala. Dan rahmat Allah
kepada penghulu kita Muhammad dan kepada sekalian hambaNya yang pilihan.
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan