Adab Tilawah Alquran
كتاب آداب تلاوة القرآن
وهو الكتاب الثامن من ربع العبادات
بسم الله الرحمن الرحيم
KITAB ADAB TILAWAH AL-QURAN.
Segala pujian bagi Allah yang telah meanugerahkan keni'm itan kepada segala hambaNya, dengan NabiNya صلى الله عليه وسلم yang
diutuskan dan KitabNya yang diturunkan—yang tak datang kepadanya batil
dari pihakNya dan dari pihak makhlukNya-turun dari Yang Mahabijaksana
dan Maha terpuji—sehingga meluaslah kepada ahli pikir, jalan ibarat,
dengan apa yang didalamnya, dari segala ceritera dan berita. Dan
teranglah dengan dia jalan bagi perjalanan yang benar dan lurus, dengan
apa yang diuraikan didalamnya, dari hukum-hukum. Dan Kitab itu
memisahkan antara halal dan haram. Maka dia adalah terang-benderang dan
nur. Dengan dia terlepas dari tipuan dan padanya obat untuk apa yang
didalam dada. Barangsiapa menyalahinya dari orang-orang yang *kasar,
niscaya dibinasakan oleh Allah. Dan barangsiapa menuntut ilmu pada
lainnya niscaya disesatkan oleh Allah. Al-Qur'an itulah tali Allah yang
kokoh dan nurNya yang nyata, talinya yang kuat dan perpegangan yang
sempurna. Dia itu meliputi dengan yang sedikit dan yang banyak, yang
kecil dan yang besar, tidak akan habis-habis keajaibannya, tidak akan
berkesudahan keganjilannya. Tidak diliputi oleh pembatasan dengan segala
faedahnya pada ahli ilmu pengetahuan. Dan ia tidak diburukan oleh
banyak ulangan pada ahli tilawah. Al-Qur'anlah yang memberi petunjuk
akan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian.
Dan
tatkala Al-Qur'an itu didengar oleh jin, lalu senantiasalah mereka:
menoleh kepada kaumnya, memberi peringatan. Maka berkatalah mereka:
إنا سمعنا قرآنا عجبا يهدي إلى الرشد فآمنا به ولن نشرك بربنا أحدا
(Innaa sami'naa qur-aanan 'ajaban yahdii ilar-rusydi fa-aamannaa bihi wa lan nusyrika birabbinaa ahadaa).Artinya: "Sesungguhnya
kami telah mendengar Al-Qur'an yang mena'jubkan, memberi petunjuk
kepada kebenaran, lalu kami beriman dengan dia dan tidak kami
mempersekutukan Tuhan kami dengan seseorang" (1).(1.Surah Al Jih ayat 1-2)
Maka
tiap-tiap orang yang beriman kepadanya, niscaya memperoleh taufiq dan
barangsiapa berkata-kata dengan Al-Qur'an maka benarlah dia. Dan
barangsiapa berpegang teguh dengan Al-Quran, maka ia memperoleh petunjuk
dan barangsiapa berbuat sepanjang Al-Quran maka ia memperoleh
kemenangan.
Berfirman Allah Ta'ala:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
(Innaa
nahnu nazzalnadz dzikra wa innaalahu lahaafidhuun). Artinya:
"Sesungguhnya Kami menurunkan Peringatan (Al-Qur'an) itu dan
sesungguhnya Kami Penjaganya". (S. Al-Hijr, ayat 9). Sebagian dari
sebab-sebab penjagaannya (penghafalannya) didalam hati dan
mashhaf-mashhaf, ialah berkekalan membacanya dan rajin memperlajarinya,
serta melaksanakan adab-adab dan syarat-syaratnya. Dan menjaga apa yang
didalamnya dari segala amalan batin dan adab dhahir.
Yang
demikian itu, tak boleh tidak daripada penjelasan dan penguraian. Dan
terbukalah segala maksudnya itu dalam empat bab: Bab Pertama : tentang
kelebihan Al-Qur'an dan ahli Al-Qur'an. Bab Kedua : tentang adab tilawah
pada dhahir. Bab Ketiga : tentang amalan-amalan batin ketika tilawah.
Bab Keempat: tentang pemahaman dan penafsiran Al-Qur'an dengan pendapat
pikiran dan lainnya.
BAB PERTAMA:tentang kelebihan Al-Qur'an dan ahlul-Qur-an dan pencelaan terhadap orang-orang yang teledor(Lalai) pada tilawahnya.
KELEBIHAN AL-QURAN.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Barang
siapa membaca Al-Qur'an, kemudian ia melihat bahwa ada seseorang yang
diberikan, lebih utama daripada yang diberikan kepadanya, maka
sesungguhnya ia telah mengecilkan apa yang diagungkan oleh Allah Ta'ala"
(1).
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم Tiadalah
diantara yang memberi syafa'at, yang lebih utama kedudukannya pada
Allah Ta'ala, dari pada Al-Qur'an. Tidak nabi, tidak malaikat dan tidak
lainnya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Kalau adalah Al-Qur'an itu dalam kulit yang tidak disamak (ihaab), niscaya dia tidak disentuhkan api". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Yang terutama ibadah umatku, ialah tilawah Al-Qur'an".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم pula:
"Sesungguhnya Allah 'Azza Wa Jalla membaca surat Thaha dan surat ya-sin
sebelum la menjadikan makhluk seribu tahun. Maka tatkala para malaikat
mendengar Al-Qur'an, lalu mengatakan: "Berbahagialah umat yang
diturunkan ini kepada mereka! Berbahagialah hati yang menghafalkan ini!
Berbahagialah lidah yang menuturkan dengan ini!"
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Yang terbaik kamu, ialah barangsiapa yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Berfirman
Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi: "Barangsiapa menggunakan waktunya
untuk membaca Al-Qur'an, daripada berdo'a dan meminta kepadaKu, niscaya
Aku berikan kepadanya, pahala yang lebih utama bagi orang-orang yang
bersyukur".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم'Tiga
golongan pada hari kiamat diatas bukit kecil dari kesturi hitam, tiada
menyusahkan mereka oleh kegundahan dan tiada menimpa akan mereka oleh
hisab amalan, sehingga diselesaikan apa yang diantara manusia: orang
yang membaca Al-Qur'an, karena mengharap wajah Allah 'Azza wa Jalla dan
orang yang mengimami suatu kaum dan kaum itu suka kepadanya" (2).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Ahlu'l-Quran, ialah ahlu'llah dan orang-orang yang dikhususkan olehNya" (3).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bahwa hati itu berkarat, seperti berkaratnya besi".
1.Dirawikan At Thabrani dari Abdullah bin Amr dengan isnad daif 2.Hadis ini telah diterangkan dahulu Pada “Fadhilat Azan” Di situ disebutkan tiga golongan itu 3.Dirawikan AnNasai dan Lain lain dari Anas dengan isnad hassan menurut ittihaf syarah Ihya bahawa yang dimaksudkan dengan Ahlul-Quran ialah penghafal penghafal Alquran yang selalu membacanya dengan mengamalkan isinya(pent)
Lalu orang bertanya:"Wahai Rasulullah! Bagaimanakah membersihkannya?" Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم "Membaca Al-Qur'an dan mengingati mati".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Lebih bersangatanlah perhatian Allah kepada pembaca Al-Qur'an, daripada orang yang mempunyai penyanyi kepada penyanyinya"*
Menurut atsar, diantara lain: berkat
Abu Umamah Al-Bahili: "Bacalah Al-Qur'an dan janganlah tertipu kamu
oleh mashhaf-mashhaf yang bergantungan ini. Sesungguhnya Allah Ta'ala
tiada mengazabkan hati, yang menjadi karung Al-Quran".
Berkata Ibnu Mas'ud: "Apabila
kamu menghendaki ilmu pengetahuan, maka bacalah Al-Quran! Sesungguhnya
dalam Al-Qur'an itu ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian".
Berkata Ibnu Mas'ud pula: "Bacalah
Al-Qur'an! Sesungguhnya kamu diberikan pahala dengan tiap-tiap huruf
daripadanya sepuluh kebaikan. Sesungguhnya aku tiada mengatakan satu
huruf itu alif-Iam-mim, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim
satu huruf'.
Berkata Ibnu Mas'ud pula: "Tidaklah
bertanya seseorang kamu tentang dirinya, melainkan tentang Al-Qur'an.
Kalau ia mencintai dan mena'jubkannya akan Al-Qur'an, maka dia mcncintai
akan Allah s.w.t. dan RasulNya صلى الله عليه وسلم. Kalau ia memarahi akan Al-Qur'an, maka dia itu memarahi akan Allah s.w.t. dan RasulNya".
Berkata Amru'bnu'l-'Ash: "Tiap-tiap ayat dalam Al-Qur'an adalah satu derajat dalam sorga dan satu lampu dalam rumahmu". Berkata 'Amru'bnu'I-Ash pula: "Barangsiapa
membaca Al-Quran, niscaya masuklah kenabian (nubuwwah) diantara kedua
lembungnya. Hanya tidak diturunkan wahyu kepadanya".
Berkata Abu Hurairah: "Sesungguhnya
rumah yang dibacakan padanya Al-Quran, niscaya lapanglah penghuni rumah
itu, banyaklah kebajikannya, datanglah kepadanya malaikat dan keluarlah
daripadanya setan-setan. Dan
sesungguhnya rumah yang tidak dibacakan padanya Kitabu'llah 'Azza wa
Jalla, niscaya sempitlah penghuninya, sedikitlah kebajikannya, keluarlah
daripadanya malaikat dan datanglah kepadanya setan-setan".
Berkata Ahmad bin Hanbal: "Aku
bermimpi Allah 'Azza wa Jalla didalam tidur, maka aku bertanya: "Wahai
Tuhanku! Apakah yang lebih utama, yang didekati dengan itu oleh
orang-orang yang mendekati (al-mutaqarribun) kepadaMu? Menjawab Allah
'Azza wa Jalla: "Dengan KalamKu (perkataan Ku), wahai Ahmad!" Berkata
Ahmad bin Hanbal: "Lalu aku bertanya: "Wahai Tuhanku, dengan mengerti
atau tanpa mengerti?"Menjawab Allah 'Azza wa Jalla: "Dengan mengerti
atau tanpa mengerti!"
Berkata Muhammad bin Ka'b Al-Qardhi: "Apabila
manusia mendengar Al-Quran daripada Allah 'Azza wa Jalla pada hari
kiamat, maka seakan-akan mereka itu belum pernah sekali-kali
mendengarnya".
Berkata Al-Fudlail bin 'Iyadh: "Seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, bahwa tak ada keperluannya kepada seseorang dan kepada khalifah-khalifah dan orang-orang yangdibawahnya.Maka seyogialah hajat keperluan manusia ramai ada padanya". Berkata Al-Fudlail pula: "Pembawa Al-Quran, ialah pembawa bendera Islam. Maka tidak wajarlah ia bcrsenda-gurau bersama orang yang bersenda-gurau, tidaklah ia lupa bersama orang yang lupa dan tidaklah ia berbuat yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, karena mengagungkan hak Al-Qur'an".
Berkata Al-Fudlail bin 'Iyadh: "Seyogialah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, bahwa tak ada keperluannya kepada seseorang dan kepada khalifah-khalifah dan orang-orang yangdibawahnya.Maka seyogialah hajat keperluan manusia ramai ada padanya". Berkata Al-Fudlail pula: "Pembawa Al-Quran, ialah pembawa bendera Islam. Maka tidak wajarlah ia bcrsenda-gurau bersama orang yang bersenda-gurau, tidaklah ia lupa bersama orang yang lupa dan tidaklah ia berbuat yang sia-sia bersama orang yang berbuat sia-sia, karena mengagungkan hak Al-Qur'an".
Berkata Sufyan Ats-Tsuri: "Apabila
seseorang membaca Al-Qur'an, niscaya meiaikat mencium diantara dua
matanya". Berkata 'Amr bin Maimun: "Barangsiapa membaca mashhaf
(Al-Qur'an), ketika bershalat Shubuh, lalu membaca daripadanya seratus
ayat, niscaya ia ditinggikan oleh AUah 'Azza wa Jalla seperti amal
seluruh penduduk dunia". Dan diriwayatkan; "Bahwa Khalid bin 'Uqbah
datang kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم., seraya berkata: "Bacakanlah kepadaku Al-Quran!" Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم membacakan kepadanya:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
(I'nna'llaha ya' muru bi'l-'adli wa'l-ihsaani wa iitaa-i dzi'l-qurbaa.) - S. An-Nahl, ayat 90.
Artinya: "Sesungguhnya Allah memerintahkan menjalankan keadilan, berbuat kebaikan dan memberi kepada kerabat-kerabat". Lalu Khalid berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم "Ulangilah!" Maka Nabi صلى الله عليه وسلم mengulanginya. Kemudian berkata Khalid: "Demi
Allah sesungguhnya Al-Qur'an itu mempunyai kemanisan, padanya
kecantikan, bawahnya berdaun dan atasnya berbuah dan tidaklah ini
dikatakan oleh manusia" (1)
Berkata Al-Hasan: "Demi
Allah.tidaklah selain dari Al-Quran yang kaya dan tidaklah sesudahnya
yang diatas". Berkata Al-Fudlail: "Barangsiapa membaca akhir surat
Al-Hasyr ketika pagi-pagi hari, kemudian ia meninggal pada hari itu,
niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid. Dan barangsiapa
membacanya ketika sore-sore hari, kemudian ia meninggal pada malamnya
niscaya dicapkan baginya dengan cap orang-orang syahid".
Berkata Al-Qasim bin Aburrahman: "Aku
bertanya kepada sebahagian orang-orang yang kuat beribadah: "Tiadakah
disini seseorang yang dapat menjadi teman rapat?" Lalu orang tadi
mengambil Al-mashhaf dan meletakkan diatas pangkuannya, seraya berkata:
"Ini!" Berkata Ali bin Abi Thalib r.a.: "Tiga perkara menambahkan
pemeliharaan badan dan menghilangkan dahak: bersugi, berpuasa dan
membaca Al-Qur'an".
1.Dirawikan AlBaiHaqi Dari ibnu Abbas dengan Sanad Baik
|
TENTANG: celaan tilawah orang-orang yang lalai.
Berkata Anas bin Malik: "Banyaklah
pembaca Al-Qur'an dan Al-Qur'an itu mengutuknya". Berkata Maisarah:
"Yang asing itu, ialah Al-Qur'an pada mulut orang zalim".
Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani: "Malaikat
Zabaniah itu lebih cepat kepada para pembawa Al-Qur'an yang mendurhakai
Allah 'Azza wa Jalla, daripada para penyembah berhala, ketika mereka
itu mendurhakai Allah s.w.t. sesudah membaca Al-Qur'an".
Berkata sebahagian ulama: "Apabila
seorang anak Adam membaca Al-Qur'an, kemudian mencampurkannya dengan
perkataan Iain, kemudian kembali lalu membaca lagi, niscaya dikatakan
kepadanya: "Mengapakah engkau begitu dengan kalamKu?"
Berkata Ibnu'r-Rammah: "Aku
menyesal atas hafalanku akan Al-Qur'an, karena sampai kepadaku, bahwa
teman-teman Al-Qur'an itu ditanyakan tentang apa yang ditanyakan
nabi-nabi daripadanya, pada hari kiamat".
Berkata Ibnu Mas'ud: "Seharusnyalah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, mengenal dengan malamnya apabila manusia itu tidur dan mengenal dengan siangnya, ketika manusia itu berlebih-lebihan. Dengan kesusahannya, apabila manusia itu bersuka-sukaan, dengan tangisnya, apabila manusia itu tertawa-tawa, dengan diamnya, apabila manusia itu masuk dalam pembicaraan dan dengan khusyu'nya, apabila manusia itu sombong. Dan seharusnyalah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, berkeadaan tenang dan lemah-lembut. Dan tidak wajarlah berkeadaan tegang, pemarah, memekik-mekik, membuat keributan dan bersikap keras sebagai besi".
Berkata Ibnu Mas'ud: "Seharusnyalah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, mengenal dengan malamnya apabila manusia itu tidur dan mengenal dengan siangnya, ketika manusia itu berlebih-lebihan. Dengan kesusahannya, apabila manusia itu bersuka-sukaan, dengan tangisnya, apabila manusia itu tertawa-tawa, dengan diamnya, apabila manusia itu masuk dalam pembicaraan dan dengan khusyu'nya, apabila manusia itu sombong. Dan seharusnyalah bagi seorang pembawa Al-Qur'an, berkeadaan tenang dan lemah-lembut. Dan tidak wajarlah berkeadaan tegang, pemarah, memekik-mekik, membuat keributan dan bersikap keras sebagai besi".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Kebanyakan yang menjadi munafiq dari umat ini, ialah qu'rra'nya (para ahli bacaan Al-Qur'an)" (1).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Bacalah
Al-Qur'an, dimana ia melarang engkau dari perbuatan ma'siat. Maka kalau
ia tidak melarang engkau dari perbuatan ma'siat itu niscaya tidaklah
engkau membacakannya".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم"Tiada beriman dengan Al-Qur'an orang yang menghalalkan barang yang diharamkannya" (2).
Berkata sebahagian salaf: "Sesungguhnya
seorang hamba (hamba Allah) memulai suatu surat dari Al-Qur'an, maka
berdo'a para malaikat kepadanya sampai selesai ia dari surat itu. Dan
sesungguhnya seorang hamba memulai suatu surat dari Al-Qur'an, maka para
malaikat mengutukinya, sampai selesai ia dari surat itu". Maka
ditanyakan kepada salaf tadi: "Mengapakah demikian?" Lalu ia menjawab:
"Apabila hamba itu menghalalkan yang dihalalkan surat tersebut dan
mengharamkan yang diharamkannya, maka berdo'alah para malaikat
kepadanya. Dan kalau tidak demikian, maka para malaikat itu
mengutuknya".
1.Dirawikan Ahmad Dari Uqbah Bin Amir dan Abdullah Bin Amr 2.Dirawikan AtTirmidzi dari Syuib
Berkata
sebahagian ulama: "Sesungguhnya seorang hamba yang membaca Al-Qur'an,
lalu mengutuk dirinya sendiri. Dan ia tidak tahu, seraya membaca:
أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
(Alaa la'natu'llaahi 'aladhdhaalimiin).
Artinya: "Ketahuilah kutukan Allah itu keatas orang-orang zalim". S. Hud, ayat 18. Dan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Dan:لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (Ketahuilah, kutukan Allah itu keatas orang-orang pendusta), sedang ia sebahagian daripada mereka" (1).
Berkata Al-Hassan: "Sesungguhnya
kamu membuat pembacaan Al-Quran itu beberapa jarak jauh dan kamu
jadikan malam itu unta Maka kamu mengenderai unta itu, lalu kamu
menempuh dengan dia jarak-jarak jauhnya. Dan sesungguhnya orang-orang
yang sebelum kamu, memandang Al-Qur'an itu surat-surat (rasa-il) dari
Tuhannya. Maka mereka memahamkannya pada malam dan melaksanakannya pada
waktu siang".
Berkata Ibnu Mas'ud: "Diturunkan Al-Quran kepada mereka supaya diamalkannya. Lalu mereka membuat pelajarannya amalan, Sesungguhnya seseorang daripada kamu, hendaklah membaca Al-Qur'an dari permulaannya (fatihah), sampai kepada kesudahannya (khatimah). Apa yang dihilangkan daripadanya sesuatu huruf, sesungguhnya ia telah menghilangkan amalan dengan huruf itu".
Berkata Ibnu Mas'ud: "Diturunkan Al-Quran kepada mereka supaya diamalkannya. Lalu mereka membuat pelajarannya amalan, Sesungguhnya seseorang daripada kamu, hendaklah membaca Al-Qur'an dari permulaannya (fatihah), sampai kepada kesudahannya (khatimah). Apa yang dihilangkan daripadanya sesuatu huruf, sesungguhnya ia telah menghilangkan amalan dengan huruf itu".
Pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh Jundub r.a. tersebut: "Sesungguhnya
kami telah hidup pada masa yang panjang dan seorang dari kami diberikan
iman sebelum Al-Qur'an. Maka diturunkan suatu surat kepada Muhammad صلى الله عليه وسلم. lalu
dipelajarinya yang halal, yang haram, yang menyuruh dan yang melarang
serta apa yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada surat itu.
Kemudian, sesungguhnya aku melihat beberapa orang, yang diberikan
Al-Qur'an, kepada salah seorang daripada mereka sebelum iman. Maka
dibacakannya apa yang ada diantara permulaan Kitab (fatihah Kitab)
sampai kepada kesudahannya (khatimahnya), dimana ia tiada mengetahui apa
yang menyuruhnya dan apa yang melarangnya, dan tidak mengetahui apa
yang sewajarnya ia berdiri padanya daripada kitab itu, yang
dihamburkannya yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk".
Dan
tersebut dalam Taurat: "Hai hambaKu! Adakah tidak engkau malu padaKu,
datang kepadamu sebuah kitab dari sebahagian saudaramu dan engkau
dijalan sedang berjalan. Lalu engkau berpaling dari jalan itu, seraya
duduk karena kitab tersebut, membacanya dan memahaminya huruf demi
huruf, sehingga sedikitpun daripadanya tiada luput bagimu. Dan ini
kitabKu, yang Aku turunkan kepadamu! Lihatlah, berapa banyak Aku
terangkan didalamnya penjelasan bagimu dan berapa banyak Aku
uiang-ulangi didalamnya kepadamu, supaya engkau perhatikan panjang dan
lebarnya:
1.Pada surat Ali Imran Ayat 61.
Kemudian
engkau berpaling dari Kitab itu. Adakah Aku ini lebih hina padamu dari
sebahagian saudaramu itu? Hai hambaKu! Duduk kepadamu sebahagian
saudaramu, lalu kamu terima dia dengan seluruh perhatianmu dan engkau
perhatikan segala perkataanya dengan sepenuh hatimu. Kalau ada orang
lain yang berkata atau dirintangi engkau oleh suatu perintang daripada
mendengar perkataannya, niscaya
engkau isyaratkan kepadanya supaya ia berhenti daripada berkata-kata.
Dan adalah Aku menghadapkan diri kepadamu dan bercakap-cakap dengan
kamu, sedang kamu berpaling daripadaKu dengan hatimu. Apakah engkau
jadikan Aku lebih hina padamu daripada sebahagian saudaramu?'
BAB KEDUA: mengenai yang dhahir dari adab tilawah. Yaitu: sepuluh perkara.
Pertama: tentang keadaan pembaca. Yaitu: ia didalam wudlu',
bersikap didalam keadaan adab dan tenang, baik ia berdiri atau duduk,
menghadap kiblat, menundukan kepala, tidak duduk secara metipatkan kedua
tapak kaki dibawah kedua paha (mutara'bbi'). tidak duduk sccara
bertekan (mu'ttaki') dan tidak duduk secara sombong. Dan adalah duduknya
dengan sendirian itu, seperti duduknya dihadapan guru. Keadaan yang
paling utama, ialah membaca Al-Qur'an itu didalam shalat dengan berdiri
dan adalah itu didalam masjid. Maka itulah amalan yang paling utama!
Kalau
membaca Al-Qur'an dengan tanpa wudlu' dan dia sedang berbaring diatas
tikar, maka baginya keutamaan juga, tetapi kurang dari yang tadi.
Berfirman Allah Ta'ala:
Berfirman Allah Ta'ala:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Alladziina yadzkuru-nallaaha qiyaa-man wa qu'uudan wa'ala
junuubi-him wa yatafakka-ruuna fii-khal-qis-sa-maawaa-ti wal-ardli).
Artinya: "Orang-orang yang mengingati Allah, ketika berdiri dan duduk,
ketika berbaring dan mereka memikirkan tehtang kejadian langit dan
bumi"-S.Ali Imran, ayat 191. Maka Allah Ta'ala memujikan semuanya,
tetapi mendahulukan berdiri pada mengingati Allah, kemudian duduk,
kemudian mengingati sambil berbaring.
Berkata Ali r.a:: "Barangsiapa
membaca Al-Quran, dimana ia berdiri didalam shalat, niscaya adalah
baginya dengan tiap-tiap huruf itu seratus kebajikan. Dan barangsiapa
membacanya, dimana ia duduk didalam shalat, maka baginya dengan
tiap-tiap huruf itu limapuluh kebajikan. Dan barangsiapa membacanya
diluar shalat, sedang dia berwudlu', maka duapuluh lima kebajikan. Dan
barangsiapa membacanya tanpa wudlu', maka sepuluh kebajikan. Dan apa
yang dilaksanakan dengan mengerjakan ibadah pada malam hari, maka itu
adalah lebih utama, karena lebih mencamkan bagi hati".
Berkata Abu Dzar Al-Ghaffari r.a.: "Bahwa banyaknya bersujud pada siang hari dan lamanya bangun mengerjakan ibadah pada malam hari, adalah lebih utama (afdlal)".
Kedua: tentang
jumlahnya pembacaan. Bagi para pembaca (qu'rra'), berbagai macam adat
kebiasaan tentang membanyak dan menyingkatkan pembacaan. Sebahagian
mereka, ada yang menyudahkan (mengkhatamkan) Al-Quran sehari-semalam
sekali. Sebahagian mereka, dua kali. Dan sampailah sebahagian mereka
kepada tiga kali.
Dan
sebahagian mereka, ada yang mengkhatamkan sebulan sekali. Dan yang lebih
utama untuk menjadi perpegangan tentang jumlah tilawah itu, ialah sabda
Rasulullah صلى الله عليه وسلم
من قرأ القرآن في أقل من ثلاث لم يفقهه
(Man qara-al-qur-aana fii aqalla min tsalaatsin lam yafqahhu). Artinya: "Barangsiapa membaca Al-Quran kurang dari tiga kali, niscaya ia tiada memahami akan Al-Quran itu" (1).
Yang
demikian itu, karena lebih daripadanya, mencegah bagusnya tilawah
(tartil). Berkata 'A'isyah r.a. tatkala mendengar seorang laki-laki
banyak benar salahnya pada pembacaan Al-Qur'an: "Bahwa orang itu tidaklah membaca Al-Quran dan tidak pula diam". Nabi صلى الله عليه وسلم menyuruh Abudu'llah bin 'Amr r.a. supaya mengkhatamkan Al-Quran pada tiap-tiap tujuh hari (minggu)" (2).
Dan
begitu pula, segolongan dari shahabat r.a. mengkhatamkan Al-Qur'an pada
tiap-tiap Jum'at, seperti 'Usman, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud dan Ubai
bin Ka'b-direlai oleh Allah kiranya mereka itu semuanya.
Tentang
pengkhataman, adalah empat tingkat: pengkhataman dalam sehari-semalam.
Tingkat ini telah dimakruhkan oleh segolongan ulama; pengkhataman pada
tiap-tiap bulan, dimana tiap-tiap hari itu adalah satu juz daripada
tigapuluh juz. Dan ini, seolah-olah adalah bersangatan pendek,
sebagaimana yang pertama itu bersangatan banyaknya. Diantara kedua
tingkat tadi, terdapat dua tingkat yang sederhana: yang pertama: dalam
seminggu sekali dan yang kedua dalam seminggu dua kali, mendekati kepada
tiga.
Dan
yang lebih sunat, ialah mengkhatamkan sekali khatam pada malam dan
sekali khatam pada siang. Dan menjadikan khataman siang itu hari Senin
pada dua raka'at shalat Shubuh atau sesudahnya. Dan menjadikan khataman
malam, malam Jum'at pada dua raka'at Magrib atu sesudahnya. Supaya
menghadap permulaan siang dan permulaan malam dengan khataman itu.
Karena para malaikat a.s. berdo'a kepadanya, kalau khatamannya pada
malam, sampai kepada waktu Shubuh. Dan kalau khatamannya pada siang,
sampai kepada waktu sore. Maka melengkapilah keberkatannya akan seluruh
malam dan siang.
Uraian
tetang jumlah bacaan, adalah kalau ia dari orang-orang yang kuat
beribadah, yang menempuh jalan amalan, maka tidak wajarlah berkurang
dari dua khataman dalam seminggu. Dan kalau ia dari orang-orang yang
1.Dirawikan pengarang pengarang “As Sunan” Seperti Abu Dawud dan lain lain dari Abdullah Bin Amr. 2.Dirawikan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr
menempuh
amalan hati dan berbagai macam pemikiran atau darl orang-orang yang
menghabiskan waktunya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka tiada
mengapa ia menyingkatkan dalam seminggu sekali. Dan kalau ia dari orang
yang tembus pemikirannya tentang segala maksud Al-Qur'an, maka
kadang-kadang mencukupilah dalam sebulan sekali, karena banyak
keperluannya untuk membanyakkan mengulang-ulangi dan meneliti.
Ketiga:
tentang cara pembahagian. Adapun orang yang mengkhatam dalam seminggu
sekali, maka dibagikan Al-Qur'an kepada tujuh golongan. Adalah para
shahabat menggolongkan Al-Qur'an kepada beberapa golongan.
Diriwayatkan bahwa Utsman r.a. memulai malam Jum'at dengan surat Al-Baqarah sampai kepada surat Al-Maidah. Malam Sabtu dengan surat Al-An'am sampai kepada surat Hud. Malam Ahad dengan surat Yusuf sampai kepada surat Maryam. Malam Senin dengan surat Thaha sampai kepada Tha Sin Min, Musa dan Fir-aun. Malam Selasa dengan sural Al-'Ankabut sampai kepada surat Shad. Malam Rabu dengan sifrat Tanzil sampai kepada surat Ar-Rahman. Dan disudahinya (dikhatamkannya) pada malam Kamis.
Diriwayatkan bahwa Utsman r.a. memulai malam Jum'at dengan surat Al-Baqarah sampai kepada surat Al-Maidah. Malam Sabtu dengan surat Al-An'am sampai kepada surat Hud. Malam Ahad dengan surat Yusuf sampai kepada surat Maryam. Malam Senin dengan surat Thaha sampai kepada Tha Sin Min, Musa dan Fir-aun. Malam Selasa dengan sural Al-'Ankabut sampai kepada surat Shad. Malam Rabu dengan sifrat Tanzil sampai kepada surat Ar-Rahman. Dan disudahinya (dikhatamkannya) pada malam Kamis.
Adalah Ibnu Mas'ud membagi
Al-Qur'an kepada beberapa bahagian, tidak menurut tertib susunan tadi.
Ada orang yang mengatakan bahwa kumpulan Al-Qur'an itu tujuh. Kumpulan
pertama, adalah tiga surat.
Kumpulan kedua, adalah lima surat.
Kumpulan ketiga, adalah tujuh surat.
Kumpulan keempat adalah sembilan surat.
Kumpulan kelima, adalah sebelas surat.
Kumpulan keenam, adalah tiga belas surat.
Dan kumpulan ketujuh,yang terurai, adalah dari surat Qaf sampai kepada penghabisan Al-Quran.
Begitulah dibuat kumpulannya oleh para shahabat r.a. dan mereka membacanya adalah seperti yang demikian. Dan tentang itu terdapat hadits dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم
Kumpulan kedua, adalah lima surat.
Kumpulan ketiga, adalah tujuh surat.
Kumpulan keempat adalah sembilan surat.
Kumpulan kelima, adalah sebelas surat.
Kumpulan keenam, adalah tiga belas surat.
Dan kumpulan ketujuh,yang terurai, adalah dari surat Qaf sampai kepada penghabisan Al-Quran.
Begitulah dibuat kumpulannya oleh para shahabat r.a. dan mereka membacanya adalah seperti yang demikian. Dan tentang itu terdapat hadits dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم
Dan
ini, adalah sebelum dibuat berbagi seperlima-seperlima, sepersepuluh
sepersepuluh dan berjuz-berjuz. Maka yang selain ini adalah
diada-adakan.
Keempat: tentang
penulisan. Disunatkan membaguskan penulisan dan penjelasan Al-Qur'an.
Dan tiada mengapa dengan bertitik dan bertanda merah dan lainnya. Karena
itu adalah penghiasan dan penjelasan serta pencegahan dari kesalahan
dan tidak betul bacaan bagi orang yang membacakannya
Adalah
Al-Hasan dan Ibnu Sirin menantang pembagian seperlima-seperlima,
sepersepuluh-sepersepuluh dan berjuz-juz. Diriwayatkan dari Asy-Sya'bi
dan Ibrahim akan makruhnya titik-titik dengan warna merah dan mengambil
upah atas perbuatan itu. Mereka mengatakan: "Lepaskanlah Al-Qur'an dari
yang demikian!"
Berat dugaan bahwa mereka memandang makruh membukakan pintu ini, karena ditakuti membawa kepada mendatangkan penambahan-penambahan.
Dan
menutupkan pintu dan merindukan kepada penjagaan Al-Quran dari pada
menerobos kepadanya pengobahan. Apabiia tiada membawa kepada yang
dilarang dan telah tetap keadaan umat padanya, dengan menghasilkan
bertambahnya pengetahuan, maka tiada mengapa Dan tiada dilarang yang
demikian, oleh adanya itu diada-adakan, sebab berapa banyak yang diada
adakan (bid'ah) itu, dipandang baik. Sebagaimana dikatakan mengenai
mendirikan jama'ah pada shalat tarawih, dimana itu adalah sebahagian
dari yang diada-adakan oleh Khalifah "Umar r.a. Dan itu adalah bid'ah
yang baik (bid'ah hasanah) Sesungguhnya bid'ah yang tercela (bid'ah
madzmumah), ialah yang bertentangan dengan Sunnah yang lama atau hampir
membawa kepada mengobahkannya Sebahagian mereka mengatakan: "Aku membaca pada Mashhaf yang bertitik dan tidaklah aku membuatkan titik oleh diriku sendiri".
Berkata Al-Auza'i dari Yahya bin Abi Katsir: "Adalah
Al-Qur'an itu tidak bertanda (muia'rrad) didalam mashhaf-mashhaf. Maka
yang pertama kali diadakan mereka, ialah titik pada ب ba dan ت ta
dan mereka mengatakan bahwa tiada mengapa yang demikian. Karena, itu
adalah nur baginya. Kemudian, sesudah itu, diadakan oleh mereka
titik-titik besar pada penghabisan ayat. Lalu mereka mengatakan, bahwa
tiada mengapa yang demikian, untuk mengenai permulaan ayat. Kemudian,
sesudah itu, diadakan oleh mereka penghabisan (khatimah) dan permulaan
(fatihah)". Berkata Abubakar Al-Hadzli: "'Aku tanyakan Al-Hasan tentang
memberi titik mashhaf-mashhaf dengan warna merah". Maka beliau bertanya:
"Apakah memberi titik mashhaf-mashhaf itu?" Aku menjawab: "Mereka
meng-i'rabkan kata-kata dengan bahasa Arab" Lalu beliau berkata: "Adapun
meng-i'rabkan AlQur-an itu, tiada mengapa" (1). Berkata Khalid
Al-Hadzdza': "Aku masuk ketempat Ibnu Sirin, lalu aku melihat ia membaca
pada mashhaf yang memakai titik, padahal ia memandang makruh titik".
Ada
yang mengatakan, bahwa AI-Hajjaj yang mengadakan demikian itu. Dia
mendatangkan para qari' (al-qu'rra"), sehingga mereka menghitung
kata-kata Al-Qur'an dan huruf-hurufnya. Mereka menyamakan
bahagian-bahagiannya dan membagikannya kepada tigapuluh bahagian (juz)
dan kepada bahagian-bahagian yang Iain.
Kelima tartil
(jelas bunyi tiap-tiap huruf pada pembacaannya) Itu disunatkan pada
keadaan Al-Qur'an. Karena akan kami terangkan bahwa yang dimaksud dari
pembacaan itu, ialah mengenangkan artinya (tafakkur). Dan tartil itu
menolong kepada tafakkur. Dan karena itulah, dijelaskan oleh Ummu Salmah
r.a. akan bacaan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Dia menyifatkan bacaan Nabi صلى الله عليه وسلم yang menjelaskan bunyi huruf demi huruf.
1. Meng'irabkan ialah melakukan pemakaian tata-bahasaArab untuk mengetahui baris-barisnya apakah baris diatas atau dibawah atau baris depanDan itutentunya dengan cukup tanda dari titik-titik dan sebagainya. (Pent.).
Berkata ibnu 'Abbas r.a.:
"Sesungguhnya aku membaca surat Al-Baqarah dan Ali 'Imran, dengan aku
tartilkan dan aku pahamkan akan pengertiannya, adalah lebih aku sukai
daripada membaca Al-Qur'an seluruhnya dengan cepat-cepat". Berkata ia
pula: "Sesungguhnya aku membaca surat "Idzaa zulzilat" dan "Al-Qaari'ah"
dengan memahami artinya, adalah lebih aku sukai daripada membaca surat
"Al-Baqarah" dan "Ali 'Imran" dengan cepat-cepat".
Ditanyakan
Mujahid tentang dua orang yang masuk dalam shalat, lalu lama berdiri
keduanya didalam shalat itu sama, kecuali yang seorang membaca surat
Al-Baqarah saja dan yang seorang lagi, membaca Al-Qur'an seluruhnya,
maka menjawab Mujahid: "Keduanya tentang pahala yang diperolehnya,
adalah sama".
Ketahuilah,
bahwa tartil itu disunatkan, tidak untuk semata-mata bagi pemahaman
artinya. Karena bagi seorang 'Ajam (bukan orang Arab) yang tidak
mengerti akan arti Al-Qur'an, disunatkan juga baginya tartil dan
pelan-pelan dalam pembacaan Karena yang demikian itu lebih mendekatkan
kepada pemuliaan dan penghormatan dan lebih membekas didalam hati,
daripada cepat-cepat dan buru-buru.
Keenam menangis: Menangis itu disunatkan serta membaca.
Bersabda Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.: اتلوا القرآن وابكوا فإن لم تبكوا فتباكوا "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah! Jikalau tidak engkau menangis, maka berbuatlah menangis!" (1).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
Bersabda Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم.: اتلوا القرآن وابكوا فإن لم تبكوا فتباكوا "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah! Jikalau tidak engkau menangis, maka berbuatlah menangis!" (1).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
ليس منا من لم يتغن بالقرآن
(Lsisa
minnaa man lam yataghanna bil-qur-aan).Artinya: "Tidaklah dari golongan
kami, orang yang tiada berlagu dengan Al-Qur'an" (2).
Berkata Shalih Al-Marri: "Aku bermimpi membaca Al-Qur'an dihadapan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Lalu beliau bersabda: "Bagiku hai Shalih bacaan ini, tetapi mana tangisnya?"
Berkata Ibnu 'Abbas r.a.: "Apabila kamu membaca Sajadah Subhana, maka janganlah kamu bersegera sujud, sampai kamu menangis dahulu! Jikalau tidaklah menangis mata salah seorang daripada kamu, maka menangislah hatinya!" Sesungguhnya jalan untuk memaksakan menangis, ialah mendatangkan kegundahan kepada hati. Maka dari kegundahan itu, timbullah tangis.
Bersabda Nabiصلى الله عليه وسلم "Bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dengan kedukaan hati. Maka apabila kamu mambacanya, lalu berdukacitalah!" (3).
1. Dirawikan Ibnu Majah dari Saad bin Abi Waqqash dengan isnad baik. 2.Dirawikan Al-Bukhari dari Abu Hurairah. 3.Dirawikan Abu Yu'la dan Abu Na'im dari Ibnu Umar dengan sanad dla'if.
Cara
mendatangkan kedukaan hati. ialah memperhatikan akan apa yang ada
didalamnya, tentang berita menakutkan, janji azab karena durhaka
(wa'id), segala macam janji dan perikatan yang diperpegangi. Kemudian,
memperhatikan keteledoran tentang segala perintah dan larangannya. Maka
dengan itu. sudah pasti, akan gundah hati dan menangis. Jikalau tidak
datang kegundahan hati dan tangisan, sebagaimana datangnya pada
orang-orang yang berhati suci-bersih, maka hendaklah menangis. diatas
ketiadaan kegundahan hati dan tangisan. Dan yang demikian itu, adalah
bahaya yang paling besar.
Ketujuh
memelihara akan hak-hak ayat: Apabila lalu pada ayat Sajadah, niscaya
bersujud. Dan begitu pula apabila mendengar dari bacaan orang lain, akan
ayat sajadah, niscaya bersujud apabila bersujud orang yang membacanya.
Dan janganlah sujud, kecuali berada dalam keadaan suci (berwudlu").
Dalam Al-Qur'an ada empatbelas ayat Sajadah. Dan pada surat Al-Hajj, dua Sajadah. Dan tak ada pada surat Shad, sajadah.
Sekurang-kurang
sujud, ialah bersujud dengan meletakan dahi pada bumi (tempat sujud).
Dan yang sempurna, ialah bertakbir, lalu sujud dan berdo a dalam sujud
itu. dengan apa yang layak menurut ayat yang dibacanya. Seumpama ia
membaca firman Allah Ta'ala:
(kha'rruu su'jjada'w wa sabbahuu bi hamdi ra'bbihim wa hum laa jastak-biruun) - S. As-Sajadah, ayat 15 -Artinya: "Mereka sujud meniarap,, tasbih memuji Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri". Maka ia berdo'a: اللهم اجعلني من الساجدين لوجهك المسبحين بحمدك وأعوذ بك أن أكون من المستكبرين عن أمرك أو على أوليائك
(Allahumm
aj-alnii minas-saajidiina li-wajhikal-mu-sabbihiina bihamdika wa
a'uudzu bika an akuuna minal-mustakbiriina 'an amrika au 'alaa
au-Iiaa-ik).Artinya: "Wahai Allah Tuhanku! Jadikanlah aku dari pada
mereka yang bersujud kepada wajahMu, yang bertasbih dengan memujiMu dan
aku berlindung dengan Engkau, bahwa aku ini berada sebahagian dari
orang-orang yang sombong terhadap amarMu atau terhadap para aulia (para
wali)Mu".
Dan apabila membaca firmanNya:وَيَخِرُّونَ لِلأذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
"Wa yakhi'rruuna lil-adzqaani yabkuuna wayaziiduhum khusyuu'a" — S. Al-Isra'. ayat 109.Artinya:
"Dan mereka meniarap dengan dagunya sambil menangis dan Al-Qur'an itu
menambah ketundukan hati mereka". Maka berdo'alah, yang artinya: "Wahai
Allah Tuhanku! Jadikanlah aku daripada orang yang menangis kepadaMu,
yang khusyu' bagiMu!"
Dan begitu juga terhadap tiap-tiap ayat Sajadah. Dan disyaratkan pada sujud ini, akan segala syarat shalat, dari menutup 'aurat, menghadap kiblat, suci pakaian dan badan dari hadats dan najis. Dan barangsiapa yang tidak suci (tidak berwudlu') ketika mendengar pembacaan ayat Sajadah itu, maka apabila telah bersuci, maka baru sujud. Dikatakan mengenai kesempurnaan sujud itu, ialah bertakbiratu'l-ihram dengan mengangkatkan kedua tangan,
Kemudian, bertakbir untuk turun bagi sujud. Kemudian, bertakbir untuk bangkit dari sujud, kemudian memberi salam. Dan ditambahkan oleh orang-orang yang suka menambahkan akan tasyahhud dan tak ada asal bagi ini, selain dari mengkiaskan kepada sujud shalat. Dan itu adalah jauh dari kebenaran. Yang datang amar, ialah pada sujud, maka hendaklah dituruti amar itu padanya. Dan tentang bertakbir untuk turun, adalah lebih mendekati bagi permulaan pekerjaan. Sedang selain dari itu, jauh dari kebenaran. Kemudian, seyogialah ma'mum sujud ketika sujud imam. Dan janganlah sujud karena tilawahnya sendiri, apabila ia itu ma'mum. Kedelapan membaca pada permulaan tilawahnya:
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم رب أعوذ بك من همزات الشياطين وأعوذ بك رب أن يحضرون (A'uudzu
bi'llaa-hi-'ssamii'il-'aiiim, mina'sy-syaithaani'rrajiim - Ra'bbi a
uudzu bika min hamazaati'sy-syayaathiin. Wa a'uudzu bika ra'bbi an
jahdluruuni).Artinya: "Aku berlindung dengan Allah yang mendengar
lagi mengetahui, dari setan yang kena kutuk. Hai Tuhanku! Aku berlindung
dengan Engkau dari segala gangguan setan dan aku berlindung dengan
Engkau, hai Tuhanku, dari kedatangan setan-setan itu kepadaku".
Dan hendaklah dibacakanقل أعوذ برب الناس "Qul a' uudzu bira'bbi'nnaas" dan suratالحمد لله "Alhamdu li'llah.
Dan hendaklah diucapkan ketika selesainya dari pembacaan: صدق الله تعالى وبلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم انفعنا به وبارك لنا فيه الحمد لله رب العالمين وأستغفر الله الحي القيوم "Shadaqa'llaahu ta'aala wa ba'Hagha rasuulu'llaahi sha'IIa'llaahu'alaihi wa sa'llam. Allaahu'mma'n-fa'naa bihi wa baarik lanaa fih. Alham-duli'llaahi ra'bbi'l-aalamiin, wa astagh-firu'llaaha'l-ha'jja'l-qa' yyuum".Artinya: "Benarlah Allah Yang Maha-tinggi dan telah disampaikan oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Wahai Allah Tuhanku! Berikanlah kemanfa'atan kepada kami dengan dia dan berikanlah keberkatan bagi kami padanya Segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam dan aku meminta arapun pada Allah Yang Hidup dan Yang Berdiri sendiri". Waktu sedang membaca, apabila ia lalu pada ayat tasbih,maka bertasbih dan bartakbirlah. Dan apabila lalu pada ayat do'a dan ayat istighfar (ayat yang mengandung pengertian meminta permohonan dan pengampunan pada Allah), maka berdo'a dan ber-istighfarlah.
Dan hendaklah diucapkan ketika selesainya dari pembacaan: صدق الله تعالى وبلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم انفعنا به وبارك لنا فيه الحمد لله رب العالمين وأستغفر الله الحي القيوم "Shadaqa'llaahu ta'aala wa ba'Hagha rasuulu'llaahi sha'IIa'llaahu'alaihi wa sa'llam. Allaahu'mma'n-fa'naa bihi wa baarik lanaa fih. Alham-duli'llaahi ra'bbi'l-aalamiin, wa astagh-firu'llaaha'l-ha'jja'l-qa' yyuum".Artinya: "Benarlah Allah Yang Maha-tinggi dan telah disampaikan oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Wahai Allah Tuhanku! Berikanlah kemanfa'atan kepada kami dengan dia dan berikanlah keberkatan bagi kami padanya Segala pujian bagi Allah Tuhan serwa sekalian alam dan aku meminta arapun pada Allah Yang Hidup dan Yang Berdiri sendiri". Waktu sedang membaca, apabila ia lalu pada ayat tasbih,maka bertasbih dan bartakbirlah. Dan apabila lalu pada ayat do'a dan ayat istighfar (ayat yang mengandung pengertian meminta permohonan dan pengampunan pada Allah), maka berdo'a dan ber-istighfarlah.
Dan
jika lalu pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu harapan. maka
bermohonlah dan jika lalu pada ayat yang mengandung pengertian sesuatu
yang ditakutkan, maka berlindunglah daripadanya. Diperbuat yang demikian
itu, dengan lisan atau dengan hati.
Maka diucapkanسبحان الله نعوذ بالله اللهم ارزقنا اللهم ارحمنا "Shubhaanallaahinauudzu billah. Allaahu'mma'rzuqnaa! Allaahu'mma'r-hamnaa!". Artinya: "Mahasuci
Allah! Kami berlindung dengan Allah. Ya Allah Tuhanku! Berikanlah kami
rezeki! Ya Allah Tuhanku! Berikanlah kami kerahmatan!"
Berkata Hudzaifar.:"Aku bershalat bersama Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم maka
dimu-lainya surat Al-Baqarah.Tidak dilaluinya ayat rahmat, melainkan
diminta-nya. Tidak dilaluinya ayat' azab, melainkan dimintanya
perlindungan dan tidak dilaluinya ayat tanzih (ayat tasbih), melainkan
diucapkannya tasbih".
Apabila telah selesai dari tilawah, maka dibacakan apa yang dibacakan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. ketika selesai pembacaan Al-Qur'an:اللهم
ارحمني بالقرآن واجعله لي إماما ونورا وهدى ورحمة اللهم ذكرني منه ما نسيت
وعلمني منه ما جهلت وارزقني تلاوته آناء الليل وأطراف النهار واجعله لي
حجة يا رب العالمين "Al-laahu'm-ma'rhamnii bi'l-Qur-aan wa'j-'alhu 1 ii imaama'w-wa nuura'w-wa huda'w-wa rahmah. Allaahu'mma dzakkirnii
minhu maa nasiitu wa'allimnii minhu maa jahiltu wa'r-zuqniitilaawatahu
anaa-a'liaili wa athraafa'nnahaar wa'j'alhu liihu'jjatan
jaara'bbal-'aalamiin". Artinya: "Ya
Allah Tuhanku! Berikanlah aku rahmat dengan Al-Qur'an dan jadikanlah
dia bagiku imam, nur, hidayah dan rahmat! Ya Allah Tuhanku! Ingatilah
aku daripadanya akan apa yang aku lupakan dan ajarilah aku daripadanya
akan apa yang tiada aku ketahui! Dan anugerahilah aku akan tilawahnya
pada tiap-tiap malam dan tiap-tiap hari! Dan jadikanlah Al-Qur'an itu
dalil (hujjah) bagiku, wahai Tuhan serwa sekalian alam!"
Kesembilan mengenai mengeraskan suara (jahr) dengan pembacaan: Dan tidak diragukan, bahwa tak boleh tidak dikeraskan suara pada tilawah itu, kepada batas yang didengar sendiri. Karena pembacaan, adalah artinya memutus-mutuskan suara dengan huruf-huruf. Dan itu haruslah dengan suara. Maka sekurang-kurangnya, adalah yang dapat didengar sendiri. Kalau tidak dapat didengar sendiri, niscaya tidaklah shah shalat.
Adapun jahr, dimana dapat didengar oleh orang lain, maka itu disunatkan pada satu segi dan dimakruhkan pada segi lain. Dan ditunjukkan kepada sunatnya mengecilkan suara (secara sirr), ialah: diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Kelebihan membaca secara sirr dengan membaca secara terang (keras), adalah seperti kelebihan sedekah secara sirr dengan sedekah secara terang". Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi: "Orang yang menjahrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang menjahrkan sedekah dan orang yang mensirrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang men-sirrkan sedekah".
Dan pada suatu hadits yang umum pengertiannya: "Melebihi amalan sirr diatas amalan terang, dengan tujuhpuluh ganda' Dan begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Sebaik-baik rezeki, ialah yang mencukupi dan sebaik-baik dzikir, ialah yang tersembunyi".
Kesembilan mengenai mengeraskan suara (jahr) dengan pembacaan: Dan tidak diragukan, bahwa tak boleh tidak dikeraskan suara pada tilawah itu, kepada batas yang didengar sendiri. Karena pembacaan, adalah artinya memutus-mutuskan suara dengan huruf-huruf. Dan itu haruslah dengan suara. Maka sekurang-kurangnya, adalah yang dapat didengar sendiri. Kalau tidak dapat didengar sendiri, niscaya tidaklah shah shalat.
Adapun jahr, dimana dapat didengar oleh orang lain, maka itu disunatkan pada satu segi dan dimakruhkan pada segi lain. Dan ditunjukkan kepada sunatnya mengecilkan suara (secara sirr), ialah: diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: "Kelebihan membaca secara sirr dengan membaca secara terang (keras), adalah seperti kelebihan sedekah secara sirr dengan sedekah secara terang". Dan pada susunan kata yang lain, berbunyi: "Orang yang menjahrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang menjahrkan sedekah dan orang yang mensirrkan Al-Qur'an adalah seperti orang yang men-sirrkan sedekah".
Dan pada suatu hadits yang umum pengertiannya: "Melebihi amalan sirr diatas amalan terang, dengan tujuhpuluh ganda' Dan begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Sebaik-baik rezeki, ialah yang mencukupi dan sebaik-baik dzikir, ialah yang tersembunyi".
Dalam suatu hadits, tersebut: "Janganlah menjahrkan bacaan diantara sesama kamu, antara Maghrib dan 'Isya".
Pada suatu malam, Sa'id bin Al-Musayyab mendengar dalam masjid Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bahwa
'Umar bin Abdul-aziz menjahrkan bacaan dalam shalatnya. Dan adalah
'Umar itu merdu suaranya. Lalu Sa'id berkata kepada bujangnya: "Pergilah kepada orang yang bershalat itu, suruhlah dia merendahkan suaranya!"
Maka menjawab bujang itu: "Masjid
itu bukan kepunyaan kita dan orang itu berhak padanya". Lalu Sa'id
meneriakkan suaranya dengan mengatakan: "Hai orang yang bershalat: Kalau
engkau menghendaki Allah 'Azza wa Jalla dengan shalatmu, maka
rendahkanlah suaramu! Dan kalau engkau menghendaki manusia, maka manusia
itu tidak merasa cukup sedikitpun daripada engkau, selain daripada
Allah". Maka diamlah 'Umar bin Abdul-'aziz dan memendekkan
raka'atnya. Setelah memberi salam, lalu mengambil kedua sandalnya dan
pergi. Dan dia ketika itu, adalah amir (gubernur) Madinah.
Dan menunjukkan kepada sunatnya jahr, apa yang diriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم mendengar
sekumpulan dari para shahabatnya menjahrkan pada shalat malam. Maka
beliau betulkan yang demikian itu". Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Apabila
bangun seorang kamu dari malam hari, lalu bershalat, maka hendaklah ia
menjahrkan bacaan. Sesungguhnya para malaikat dan penghuni rumah (jin
dan lainnya) mendengar bacaannya dan bershalat dengan shalatnya".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم mendatangi tiga orang shahabatnya yang berlainan keadaan mereka masing-masing. Ia datangi Abubakar r.a., dimana Abubakar r.a. itu berdo'a dengan suara yang halus saja. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya dari yang demikian.
Menjawab Abubakar r.a.: "Bahwa yang aku bermunajat dengan Dia, mendengar akan aku".
Dan Nabi datangi 'Umar r.a. yang berdo'a dengan jahr, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab 'Umar r.a.: "Aku membangun orang tidur dan menghardik setan".
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم datangi Bilal, dimana ia membaca sebuah ayat dari surat ini dan sebuah ayat dari surat itu. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab Bilal: "Aku campurkan yang baik dengan yang baik".
Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Semua kamu telah bekerja balk dan betul!" Cara mengumpulkan diantara hadits-hadits ini, ialah bahwa secara sirr itu menjauhkan dari ria dan berbuat-buat (tasha'nnu'). Maka itu adalah lebih utama bagi orang yang takut kepada yang demikian terhadap dirinya.
Menjawab Abubakar r.a.: "Bahwa yang aku bermunajat dengan Dia, mendengar akan aku".
Dan Nabi datangi 'Umar r.a. yang berdo'a dengan jahr, lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab 'Umar r.a.: "Aku membangun orang tidur dan menghardik setan".
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم datangi Bilal, dimana ia membaca sebuah ayat dari surat ini dan sebuah ayat dari surat itu. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم menanyakannya yang demikian.
Maka menjawab Bilal: "Aku campurkan yang baik dengan yang baik".
Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Semua kamu telah bekerja balk dan betul!" Cara mengumpulkan diantara hadits-hadits ini, ialah bahwa secara sirr itu menjauhkan dari ria dan berbuat-buat (tasha'nnu'). Maka itu adalah lebih utama bagi orang yang takut kepada yang demikian terhadap dirinya.
Kalau ia tidak takut dan tak ada pada jahr itu yang membisingkan waktu kepada orang lain yang bershalat, maka jahr itu
lebih utama. Karena amal adalah lebih banyak padanya dan karena
faedahnya bersangkutan pula kepada orang lain. Kebaikan yang melampaui
kepada orang lain, adalah lebih utama dari yang tetap pada dirinya
sendiri saja. Dan jahr itu membangunkan hati sipembaca dan mengumpulkan
kemauannya kepada berpikir pada yang dibacakan. Dan menjuruskan
kepadanya pendengarannya. Dan menolakkan tidur pada pembacaan dengan
suara keras, menambahkan kerajinan bagi membaca. Dan mengurangkan
kemalasan serta mengharapkan dengan jahr itu, akan terbangun orang
tidur, sehingga menjadi sebab menghidupkannya kembali. Karena
kadang-kadang ia dilihat oleh seorang pahlawan yang lalai, maka menjadi
rajin dia disebabkan kerajinannya dan rindu kepada pengkhidmatan.
Manakala telah datang kepadanya sesuatu daripada niat-niat tadi, maka
jahr adalah lebih utama. Dan kalau berhimpunlah niat-niat tersebut,
niscaya berlipat-gandalah pahala. Dan dengan banyaknya niat, lalu
bertambahlah amal perbuatan kebajikan dan berlipat-gandalah pahala bagi
mereka.
Kalau ada pada suatu amal perbuatan sepuluh niat?niscaya
adalah padanya sepuluh pahala. Karena itulah kami katakan, bahwa
membaca Al-Qur'an pada mashhaf itu lebih utama (afdhal), karena
bertambah pada perbuatan itu, melihat, memperhatikan mashhaf dan
membawanya. Sehingga bertambahlah pahala dengan sebabnya. Sesungguhnya
ada yang mengatakan, pengkhataman pada mashhaf itu dengan tujuh kali
lipat pahalanya, karena memandang pada mashhaf itu, adalah juga ibadah
'Usman r.a. telah mengoyakkan dua mashhaf, karena banyak bacaannya pada
kedua mashhaf itu.
Maka
adalah kebanyakan dari shahabat, membaca pada mashhaf. Dan memandang
makruh, bahwa berlalu sehari, dimana mereka tiada memandang pada
mashhaf. Datang sebahagian ulama fiqh Mesir kepada Asy-Syafi'i r.a. pada
waktu sahur, dimana dihadapannya mashhaf. Maka berkata kepadanya
Asy-Syafi'i: "Disibukan kamu oleh ilmu fiqih, tidak dengan Al-Qur'an. Aku sesungguhnya mengerjakan shalat malam dan meletakkan mashhaf dihadapanku dan tidak aku tutupkan dia sampai waktu shubuh".
Kesepuluh
membaguskan bacaan dan mentartilkannya dengan mengulang-ulangi suara
tanpa terlalu memanjangkan yang mengobahkan nadhamnya (susunan katanya
yang bcrsajak). Yang demikian itu, adalah sunnah.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu!"
Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiada diizinkan oleh Allah untuk sesuatu sebagaimana izinNya untuk membaguskan suara dengan Al-Qur'an".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiadalah dari kami orang yang tiada berlagu dengan Al-Qur'an". Dikatakan, bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dengan itu, ialah melagukan suara. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah mendengungkan suara. dengan lagu yang bagus dan mengulang-ulangi berbagai macam perobahan suara.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu!"
Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiada diizinkan oleh Allah untuk sesuatu sebagaimana izinNya untuk membaguskan suara dengan Al-Qur'an".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Tiadalah dari kami orang yang tiada berlagu dengan Al-Qur'an". Dikatakan, bahwa yang dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dengan itu, ialah melagukan suara. Ada yang mengatakan, bahwa yang dimaksudkan, ialah mendengungkan suara. dengan lagu yang bagus dan mengulang-ulangi berbagai macam perobahan suara.
Dan itulah yang lebih mendekati kepada benar, menurut para ahli bahasa. Diriwayatkan, bahwa Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم pada suatu malam menunggu 'A'isyah r.a. Maka sesudah bagitu lambat, barulah ia datang. Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bertanya: "Apakah yang menghambatmu sampai terlambat?" Menjawab 'A'isyah r.a.: "Wahai Rasulu'llah! Aku mendengar seorang laki-laki membaca Al-Qur'an dan belum pernah aku mendengar suara yang lebih merdu dari itu!"
Maka Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم, pun bangun pergi mendengar, sehingga lamalah beliau mendengar kemudian baru pulang, seraya bersabda: "Yang membaca itu adalah Salim, bujang Abi Hudzaifah! Segala pujian bagi Allah yang telah menjadikan pada umatku seperti dia". Juga pada suatu malam Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم mendengar pembacaan Abdu'llah bin Mas'ud dan bersama Rasulullh صلى الله عليه وسلم Abubakar r.a. dan 'Umar r.a. Lamalah mereka berhenti disitu, kemudian Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bersabda: "Barangsiapa
bermaksud membaca Al-Qur'an dengan suara yang empuk lunak, sebagaimana
diturunkan. maka hendaklah dibacakannya seperti bacaan Ibnu Ummi 'Abd".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم kepada
Ibnu Mas'ud: "Bacakanlah kepadaku!" Menjawab Ibnu Mas'ud: "Wahai
Rasulu'llah! Aku bacakan kepadamu, padahal kepadamu diturunkan?"
Menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم: "Aku suka mendengarnya dari bukan aku sendiri". Maka Ibnu Mas'ud membacanya dan kedua mata Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم basah kuyup denggrn air mata".
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. mendengar bacaan Abi Musa, lalu bersabda: "Sesungguhnya telah diberikan kepada Abu Musa itu, suling keluarga Daud".
Tatkala sabda itu sampai kepada Abu Musa, lalu ia berkata: "Wahai Rasulu'llah, Kalau aku tahu bahwa engkau mendengarnya, niscaya lebih aku baguskan lagi untukmu".
Bermimpi Haitsam - seorang ahli pembacaan Al-Qur'an (al-qari') — akan Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Maka berceritera Haitsam: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bertanya kepadaku: "Engkaukah Haitsam yang menghiaskan akan Al-Qur'an dengan suaramu?" Aku menjawab: 'Ya benar!"
Lalu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم menyambung: "Dibalaskan kiranya engkau oleh Allah dengan kebajikan!".
Pada suatu hadits, tersebut: "Adalah para shahabat Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم apabila
berkumpul, lalu mereka menyuruh seorang dari mereka, membaca suatu
surat dari Al-Qur'an. 'Umar r.a. berkata kepada Abu Musa r.a.: "Mari
kita berdzikir kepada Tuhan kita!" Lalu Abu Musa membaca Al-Qur'an
disisi 'Umar, sehingga hampirlah waktu shalat berada ditengah waktu.
Lalu orang berseru: "Wahai Amiru'I-mu'minin! Shalat! Shalat!" Maka menyahut 'Umar r.a: "Bukankah kami sekarang didalam shalat?" sebagai suatu isyarat kepada firman Allah 'Azza wa Jalla: وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ."Wa ladzik-ru'Ilaahi akbar" S. Al-Ankabut ayat 45 (Sesungguhnya mengingati Allah itu amat besar manfa'atnya).
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Barangsiapa
mendengar suatu ayat dari kitab Allah 'Azza wa Jalla, niscaya ayat itu
menjadi nur baginya pada hari kiamat". Pada suatu hadits, tersebut:
"Dituliskan baginya sepuluh kebaikan".
Manakala
besarlah pahala mendengar dan pembaca itu adalah sebab pada mendengar,
maka adalah pembaca itu berserikat pada pahalanya. Kecuali maksudnya
adalah ria dan berbuat-buat (tashannu').
BAB
KETIGA: tentang amalan bathin pada tilawah. Yaitu: sepuluh paham asal
perkataan, kemudian pengagungan, kemudian kehadiran hati, kemudian
pengertian, kemudian pemahaman, kemudian penyingkiran dari segala
pencegah paham, kemudian pengkhususan, kemudian pembekasan, kemudian
peninggian dan kemudian pelepasan.
Pertama: paham
akan keagungan dan ketinggian perkataan (kalam Allah), kurnia Allah
s.w.t. dan kelemah-lembutanNya dengan makhlukNya, pada turunnya kalam
itu, dari 'arsy kebesaranNya kepada derajat pengertian-pengertian
makhlukNya.
Maka hendaklah pembaca Al-Qur'an itu memperhatikan, betapa lemah-lembutNya dengan makhlukNya,pada
menyampaikan pengertian-pengertian kalamNya (perkataanNya), yang mana,
adalah suatu sifat qadim yang berdiri pada DzatNya, kepada
pengertian-pengertian makhlukNya. Dan bagaimanakah menampak bagi mereka
akan sifat itu dalam lipatan huruf-huruf dan suara-suara, dimana
semuanya itu adalah sifat manusia. Karena lemahlah menusia daripada
sampai kepada memahami sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla, kecuali dengan
perantaraan sifat-sifatnya sendiri. Jikalau
tidaklah tertutup hakikat keagungan kalamNya dengan pakaian, yang
diibaratkan huruf-huruf, niscaya tidaklah terbukti tegas, 'Arasy dan
bintang Tsurayya itu, mendengar kalam Allah. Dan lenyaplah sesuatu
diantara keduanya dari keagungan kekuasaan dan kesucian nurNya. Jikalau
tidaklah diberikan ketetapan oleh Allah 'Azza wa Jalla kepada Musa a.s.,
niscaya tidaklah ia sanggup mehdengar kalamNya, sebagaimana tidak
sanggup gunung pada permulaan kenyataan (tajalli)nya, dimana dia menjadi
bergoncang. Dan tidak mungkin memahami keagungan kalam Allah, kecuali
dengan contoh-contoh dalam batas pemahaman makhluk. Kerena inilah maka
disebutkan oleh sebahagian 'arifin tentang kalam itu, dengan mengatakan,
bahwa tiap-tiap huruf dari kalam Allah 'Azza wa Jalla pada Luh-mahfudh,
adalah lebih besar dari bukit Qaf. Dan sesungguhnya para malaikat a.s.,
jikalau berkumpul pada suatu huruf untuk mengangkatkannyaJ niscaya
mereka tiada sanggup, sehingga datanglah Israfil a.s. — yaitu malaikat
yang mengawal Luh-mahfudh — lalu mengangkatnya. Maka dapatlah
diangkatkannya dengan izin dan rahmat Allah 'Azza wa Jalla. Tidak dengan
kekuatan dan kesanggupannya. Tetapi Allah 'Azza wa Jalla yang
menganugerahkannya kemampuan yang demikian kepadanya dan menggunakannya.
Sebahagian ulama hikmah (hukuma') telah menyusun kata-kata dengan baik,
secara halus, untuk menyampaikan pengertian kalam serta keagungan
derajatnya, kepada pemahaman dan keyakinan manusia, serta rendahnya
tingkat manusia itu. Diberi untuk itu suatu contoh, yang tidak
dipendekkan padanya. Yaitu: bahwa diajak sebahagian raja-raja oleh
seorang ahli hikmah kepada syari'at nabi-nabi a.s. Lalu raja itu
menanyakannya tentang beberapa perkara. Maka ahli hikmah tadi menjawab
dengan cara yang dapat dipahami oleh raja itu. Maka berkatalah raja:
"Adakah engkau lihat akan apa yang dibawa para nabi itu, apabila engkau
mendakwakan, bahwa itu bukan perkataan manusia. Dan itu kalam Allah
'Azza wa Jalla. Maka bagaimanakah sanggup manusia memikulnya?"
Menjawab
ahli hikmah: "Kita melihat manusia, tatkala bermaksud memberi
pengertian kepada sebahagian hewan dan burung, akan apa yang mereka
maksudkan, tentang maju dan mundurnya, menghadap dan membelakangnya. Dan
mereka melihat hewan-hewan itu singkat pengertiannya, daripada memahami
perkataan mereka yang dari nur akal pikiran mereka, yang disertakan
dengan kebagusan, penghiasan dan keelokan susunannya. Lalu mereka turun
kepada derajat pengertian hewan dan mereka menyampaikan maksudnya kepada
batin hewan-hewan itu dengan suara yang diadakannya, yang layak dengan
mereka, seperti mengetikkan jari, bersiul dan berbagai suara yang
mendekati dengan suara hewan-hewan itu. Supaya sanggup memikulkannya.
Dan begitu pula, manusia itu lemah daripada membawa kalam Allah Azza wa
Jalla dengan hakikat dan kesempurnaan sifatNya. Maka jadilah dengan apa
yang diper-gunakan diantara sesama mereka, dari suara-suara yang
didengar mereka akan ilmu hikmah dengan suara-suara itu, seperti suara
ketikan jari dan bersiul yang didengar oleh hewan-hewan itu dari
menusia. Dan tidak dilarang oleh yang demikian akan
pengertian-pengertian yang tersembunyi pada sifat-sifat itu, dari
kemuliaan kalam, ya'ni suara-suara, adalah karena mutianya sifat-sifat
itu. Dan agungnya kalam karena pengagungan, sifat-sifat itu. Sehingga
suara itu adalah tubuh dan tempat bagi hikmah dan hikmah itu adalah
nyawa dan roh bagi suara. Maka sebagaimana tubuh manusia itu dimuliakan
dan dihormati karena tempat roh, maka seperti itu pula suara-suara
kalam, dimuliakan karena hikmah yang ada padanya.
Kalam
itu diatas kedudukan yang tinggi derajat, kekuasaan yang perkasa, dan
hukum yang tembus, pada yang hak dan yang batil. Dialah kadli yang adil,
saksi yang disenangi, menyuruh dan melarang. Tak mampulah yang batil
tegak berdiri dihadapan kalam hikmah, sebagaimana tidak mampu
bayang-bayang tegak berdiri dihadapan cahaya matahari. Dan tidak mampu
manusia menjalankan penyelidikan yang mendalam tentang hikmah,
sebagaimana mereka tidak mampu menjalankan penyelidikan dengan mata
mereka akan cahaya matahari. Tetapi mereka memperoleh dari cahaya diri
matahari itu, akan apa yang dapat hidup mata mereka dan dapat
membuktikan dengan itu akan segala keperluan mereka saja. Maka kalam itu
adalah sebagai raja yang terdinding, yang wajahnya tidak kelihatan,
tetapi perintahnya tembus keluar. Dan seperti matahari yang mulia, yang
menampakkan diri, yang tersembunyi unsurnya. Dan seperti bintang-bintang
yang cemerlang, yang kadang-kadang memperoleh petunjuk dengan dia,
orang yang tiada mengetahui tentang perjalanan bintang-bintang itu. Maka
kalam itu, adalah anak kunci gudang-gudang yang bernilai tinggi, dan
minuman kehidupan. Siapa yang minum daripadanya, niscaya tidak akan
mati. Dan obat segala penyakit dan siapa yang minum daripadanya, niscaya
tidak akan sakit". Maka ini yang disebutkan oleh ahli hikmah itu,
adalah sekelumit dari pemahaman arti kalam.
Dan
tambahan dari itu, tidaklah layak dengan ilmu mu'amalah. Maka seyogialah
disingkatkan sehingga itu saja. Kedua: pengagungan Yang Berkalam
(Mutakallim). Maka seorang pembaca ketika memulai tilawah Al-Qur'an,
seyogialah menghadirkan dalam hatinya, akan keagungan Mutakallim dan
mengetahui, bahwa apa yang dibacakannya itu, tidaklah dari perkataan
manusia. Dan bahwa dalam bertilawah kalam Allah 'Azza wa Jallla itu,
adalah sangat besar bahayanya. Allah Ta'ala berfirman:
(Laa yamassuhu illal-muthahha-ruun).
Artinya: 'Tiada yang menyentuhnya selain dari orang-orang yang disucikan. — S. Al-Waqi'ah, ayat 79.
Maka sebagaimana yang dhahir dari kulit mashhaf dan kertasnya, dijaga dari yang dhahir kulit penyentuhnya, kecuali apabila ia telah bersuci. Maka batin pengertiannya juga, disebabkan hukum kemuliaan dan keagungannya, terhijab dari batin hati. Kecuali apabila ia telah bersuci dari segala kotoran dan bersinar dengan nur pengagungan dan penghormatan. Dan sebagaimana tidak pantas disentuh kulit mashhaf oleh semua tangan, maka tidak pula pantas untuk bertilawah hurufnya oleh semua lidah dan untuk memperoleh pengertiannya oleh semua hati.
Maka sebagaimana yang dhahir dari kulit mashhaf dan kertasnya, dijaga dari yang dhahir kulit penyentuhnya, kecuali apabila ia telah bersuci. Maka batin pengertiannya juga, disebabkan hukum kemuliaan dan keagungannya, terhijab dari batin hati. Kecuali apabila ia telah bersuci dari segala kotoran dan bersinar dengan nur pengagungan dan penghormatan. Dan sebagaimana tidak pantas disentuh kulit mashhaf oleh semua tangan, maka tidak pula pantas untuk bertilawah hurufnya oleh semua lidah dan untuk memperoleh pengertiannya oleh semua hati.
Dan
bagi seumpama pengagungan ini, adalah 'Akramah bin Abi Jahl, apabila
membuka mashhaf, lalu pingsan, dan berkata: "Dia itu kalam Tuhanku! Dia
itu kalam Tuhanku!"
Maka
pengagungan kalam, adalah pengagungan Mutakallim. Dan tidak akan timbul
pengagungan Mutakalim selama tidak bertafakkur tentang sifat-sifat,
keagungan dan af-'alNya. Apabila telah hadir disanubarinya 'Arasy,
Kursi, langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya, dari jin,
manusia, hewan dan kayu dan mengetahui bahwa yang menjadikan semuanya
itu, yang berkuasa dan yang memberikan rezeki kepadanya, adalah ESA. Dan
semuanya didalam genggaman qudrahNya, yang berkisar diantara kumia dan
rahmatNya, diantara cobaan dan kekuasaanNya. Jika dianugerahiNya ni'mat,
maka adalah dengan kurniaNya dan jika disiksakanNya, maka adalah dengan
keadilanNya. Dan sesungguhnya, Dialah yang berfirman: "Mereka itu
kesorga dan mereka itu keneraka dan Aku tidak perduli!"
Inilah
pengagungan yang penghabisan dan tertinggi! Maka dengan bertafakkur
pada contoh-contoh tersebut, akan timbullah pengagungan Mutakallim
kemudian pengagungan Kalam.
Ketiga: kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Ada yang mengatakan, pada penafsiran finnan Allah Ta'ala:
(Yaa
Yahyaa, khudzil-kitaaba bi-qu'wwah) — S. Maryam, ayat 12. Artinya: "Hai
Yahya! Ambilah Kitab itu dengan sungguh-sungguh dan rajin". Mengambilnya
dengan sungguh-sungguh, ialah menghadapkan diri kepada Kitab itu
semata-mata ketika membacanya, menjuruskan kemauan hati kepadanya saja,
tidak kepada yang lain.
Ditanyakan
kepada sebahagian mereka: "Apabila engkau membaca Al-Qur'an, adakah
engkau itu, berbicara dengan dirimu akan sesuatu?" Menjawab yang
ditanyakan itu: "Adakah sesuatu yang lain, yang lebih aku cintai dari
Al-Qur'an, sehingga aku berbicara dengan dia akan diriku?"
Adalah
sebahagian salaf, apabila membaca suatu ayat dari Al-Qur'an, dimana
hatinya tak ada padanya; niscaya diulanginya kali kedua. Sifat itu
terjadi, dari pengagungan yang telah ada sebelumnya. Karena orang yang
mengagungkan Kalam yang dibacanya itu, merasa gembira dan bersuka hati
dengan bacaannya dan tidak berlengah hati daripadanya. Maka didalam
Al-Qur'an, terdapatlah yang menyukakan hati, kalau yang membaca
itu ahli. Lalu bagaimanakah mencari kesenangan dengan pikiran kepada
yang lain, sedang dia didalam kesenangan dan kesukaan hati dengan
pembacaannya? Orang yang sedang bersuka ria pada hal-hal yang
menyenangkan, niscaya tidak akan berpikir kepada yang lain.
Sesungguhnya, ada yang mengatakan: "Bahwa didalam Al-Qur'an itu terdapat
tanah-tanah lapang, kebun-kebun, istana-istana, mahligai, kain sutera,
taman dan tempat singgahan orang-orang musafir. Maka segala mim,
adalah tanah lapang bagi Al-Qur'an. Segala ra', adalah kebun-kebun
Al-Qur'an. Segala hal adalah istana-istana Al-Qur'an. Segala ayat yang
mengandung tasbih, adalah mahligai-mahligai Al-Qur'an. Segala ha-mim-nya
adalah kain sutera bagi Al-Qur'an. Surat-suratnya yang panjang, adalah
iaman-tamannya. Dan tempat-tempat singgahannya, adalah yang lain dari
itu. Maka apabila pembaca memasuki lapangan-lapangan tadi, memetik
buah-buahan dikebun, memasuki istana-istana, mempersaksikan
mahligai-mahligai, memakai kain-kain sutera, bersenang-senang ditaman
dan mendiami kamar-kamar tempat singgahan, niscaya habislah kesitu
segenap jiwa raganya dan tak ada waktu tagi untuk yang lain. Sehingga
tidak rengganglah hatinya dan tidak berpisahlah pikirannya dari
Al-Qur'an yang dibacanya.
Keempat:
pemahaman, yaitu dibalik kehadiran hati tadi. Karena kadang-kadang ia
tidak berpikir kepada selain dari Al-Qur'an, tetapi memadakan kepada
mendengar Al-Qur'an saja, sedang ia tidak memahami pengertiannya.
Yang
dimaksudkan dari pembacaan itu, ialah pemahaman (tada'bbur) Dan karena
itulah, disunatkan tartil, karena tartil secara dhahir, adalah untuk
memungkinkan tada'bbur dengan batin. Berkata Ali r.a.: "Tak ada kebajikan pada ibadah, yang tak paham padanya dan tak ada kebajikan pada bacaan, yang tak ada tada'bbur padanya".
Apabila
tiada mungkin bertada'bbur, kecuali dengan mengulang-ulangi, maka
hendaklah diulang-ulangi, kecuali kalau ia dibelakang imam. Kalau ia
terus bertada'bbur ayat, sedang imam telah berpindafi pada ayat lain,
maka adalah ja telah bersalah. Seumpama orang yang menghabiskan waktunya
dengan keheranan pada suatu perkataan dari orang yang bercakap-cakap
dengan dia, daripada memahami percakapannya yang lain.
Begitu
pula kalau berada dalam tasbih ruku', dimana ia bertafakkur tentang
ayat yang dibacakan imamnya. Maka ini adalah waswas (bisikan setan).
Diriwayatkan dari 'Amir bin Abdu Qais, bahwa ia berkata: "Waswas itu
mengganggu saya didalam shalat". Lalu ia ditanyakan: "Mengenai hal
duniawi?"
'Amir
menjawab: "Sesungguhnya berulang kali kelupaan pada saya, adalah lebih
saya sukai daripada itu. Tetapi hatiku selalu sibuk dengan tegakku
dihadapan Tuhanku 'Azza wa Jalla. Dan bagaimanakah aku berpaling dari
itu?"
Maka
dihitungnya yang demikian itu, waswas. Dan betullah demikian, karena
menyibukkannya, daripada memahami apa yang sedang dikerjakan nya. Dan
setan itu tidak sanggup mendayakan seperti 'Amir, kecuali menyibukkannya
dengan kepentingan keagamaan. Tetapi, setan itu, mencegahnya daripada
perbuatan yang lebih utama. Tatkala hal itu disebutkan kepada Al-Hasan,
lalu beliau berkata: "Kalau adalah kamu benar daripadanya, maka tidaklah
diperbuatkan oleh Allah yang demikian itu pada kami". Diriwayatkan
bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم membaca "Bismi'llaahir'rrahmaanir-rahiim", lalu mengulang-ulanginya duapuluh kali. Sesungguhnya diulang-ulangi oleh Nabi صلى الله عليه وسلم adalah karena, bertada'bbur pada segala pengertiannya (1).
Dari Abi Dzar, yang mengatakan: "Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم melakukan shalat pada suatu diulang-ulanginya, yaitu:
1. Dirawikan Abu Dzar AlHarawi dari Abu Hurairah dengan sanad dlaif.
إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(in
tu'adz-dzibhum fa i'nnahum 'ibaaduka wa in taghfir lahum) .......sampai
akhir ayat - S. Al-Maidah, ayat 118. Artinya: "Kalau mereka Engkau
siksa, maka mereka itu hamba-hamba Engkau dan kalau mereka Engkau
ampuni....'." (1).
Dan Tamim Ad-Dari mengerjakan shalat pada suatu malam dengan membaca ayat:
('Am hasiba'lladziina'j-tarahu's-sayyiaat).....sampai akhir ayat — S.Al-Jatsiyah, ayat 21.
Artinya: "Apakah orang-orang yang membuat kesalahan itu mengira.......".
Sa'id bin Jubair mengerjakan shalat pada suatu malam, yang mengulang-ulangi ayat:
(Wa'mtaazu'l-yauma a'yyuha'l-muj-rimuun) — S. Yasin, ayat 59. Artinya: "Bersisihlah kamu pada hari ini hai orang-orang berdosa!" Berkata sebahagian mereka: "Sesungguhnya
aku memulai sebuah surat, maka dihentikan aku oleh sebahagian apa yang
aku persaksikan padanya, daripada selesai, sehingga terbitlah fajar". Adalah sebahagian mereka berkata: "Suatu ayat yang tidak aku pahami dan tak ada hatiku padanya, maka tiada aku hitungkan pahala baginya". Diceriterakan dari Abi Sulaiman Ad-Darani, yang mengatakan: "Sesungguhnya
aku membaca suatu ayat, maka aku bangun padanya empat malam atau lima
malam. Dan kalau tidaklah aku putuskan pemikiran padanya, niscaya
tidaklah aku lewatkan kepada yang lain". Dari sebahagian salaf.
didapati, bahwa ia tetap pada surat Hud, enam bulan diulang-ulanginya
dan tidak selesai daripada bertada'bbur padanya. Berkata
sebahagian 'arifin: "Bagiku pada tiap-tiap Jum'at sekali khatam. Pada
tiap-tiap bulan sekali khatam. Dan pada tiap-tiap tahun sekali khatam.
Dan bagiku sekali khatam semenjak tigapuluh tahun, yang tidak selesai
aku sesudah itu daripadanya". Yang demikian itu, adalah menurut derajat
pemahaman dan pemeriksaannya. Dan sebahagian 'arifin yang tadi
mengatakan pula: "Aku
1, Dirawikan An-Nasa-i dan Ibnu Majah, dengan sanad shahih.
|
tempatkan
diriku, sebagai orang-orang mengambil upah. Maka sesungguhnya aku
bekerja harian, mingguan, bulanan dan tahunan". Kelima: pemahaman, yaitu
memperoleh penjelasan dari tiap-tiap ayat, akan apa yang layak baginya.
Karena Al-Qur'an itu, melengkapi penyebutan sifat-sifat Allah 'Azza wa
Jalla, penyebutan afalNya, penyebutan hal-ikhwal nabi-nabi a.s. dan
penyebutan hal-ikhwal orang-orang yang mendustakan mereka serta
bagaimana mereka itu binasa, penyebutan segala suruhan dan laranganNya,
penyebutan sorga dan neraka.Adapun sifat-sifat Allah "Azza wa Jalla,
yaitu seperti firmanNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Laisa ka-mitslihi syai-un wa huwas-samii'ul bashiir).
Artinya:
"Tiada sesuatupun serupa dengan Dia dan Dia mendengar dan melihat
dengan terang" - S Asy-Syura, ayat 11. Dan seperti firmanNya:
(Al-rnalikul-qudduusus-salaamul-'mu'minul-muhaiminul-'azii-zul-jabba-rul-muta-kabbir).
Artinya:
"Dia itu Raja, Mahasuci, Pembawa Keselamatan, Pemelihara Keamanan,
Penjaga segala sesaatu, Mahakuasa, Mahaperkasa dan Maha besar" — S.
Al-Hasyr, ayat 23.
Maka
hendaklah diperhatikan arti nama-nama dan sifat-sifat ini, supaya
terbukalah segala rahasianya, yang dibukakan oleh segala pengertian yang
tertanam, yang tidak akan terbuka kecuali bagi orang-orang yang
mendapat taufiq! Dan kepada itulah ditunjukkan oleh Ali r.a. dengan
ucapannya: 'Tiada dirahasiakan kepadaku oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم sesuatu
yang disembunyikannya dari manusia lain, melainkan didatangkan oleh
Allah 'Azza wa Jalla seorang hamba yang memahami KitabNya. Maka
hendaklah ia bersungguh-sungguh menuntut pemahaman itu!"
Berkata Ibnu Mas'ud r.a.: "Barangsiapa
bermaksud ilmu pengetahuan orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian,
maka hendaklah ia membahas pengertian Al-Qur'an. Dan yang terbesar dari
ilmu pengetahuan Al-Qur'an, ialah dibawah nama-nama Allah 'Azza wa
Jalla dan sifat-sifatNya. Karena tiada diketahui oleh kebanyakan makhluk
daripadanya, kecuali beberapa perkara yang layak dengan pemahaman
mereka dan tidak akan diperoleh mereka sampai sedalam-dalamnya". Adapun
afal Allah Ta'ala, maka seperti disebutkanNya kejadian langit bumi dan
lainnya. Maka hendaklah dipahami oleh pembaca dari af'alNya itu akan
sifat-sifat Allah Ta'ala dan keagunganNya.
Karena
afal (perbuatan) itu menunjukkan kepada pembuat (fa'il). Maka
ditunjukkan oleh keagungan perbuatan kepada keagungan pembuatnya. Maka
sewajarnyalah dipersaksikan pada perbuatan, akan pembuat, tidak
perbuatan. Maka barangsiapa mengenal kebenaran, niscaya melihat yang
demikian pada tiap-tiap sesuatu. Karena tiap-tiap sesuatu itu, adalah
daripadaNya, kepadaNya, dengan Dia dan untuk Dia. Maka husemua, menurut
yang sebenarnya. Dan barangsiapa tiada melihat yang demikian, pada
tiap-tiap sesuatu yang dilihatnya, maka seolah-olah ia tiada
mengenalNya. Dan barangsiapa mengenalNya, niscaya mengenal, bahwa
tiap-tiap sesuatu selain Allah itu batil dan tiap-tiap sesuatu itu
binasa, selain WajahNya. Bukan sesuatu itu akan batil dalam keadaan yang
kedua nanti (hari kiamat), tetapi sekarang juga batil, kalau dipandang
kepada dirinya dari segi diri itu sendiri. Kecuali, dipandang adanya
(wujudnya) sesuatu itu, dari segi adanya dengan sebab Allah "Azza wa
Jalla dan dengan QudrahNya. Maka adanya itu dengan jalan ikutan
(tab'iyah) dan adalah batil semata-mata bila dengan jalan
berdiri-sendiri (istiqlal).
Ini,
adalah langkah pertama dari langkah-langkah (pokok-pokok)
ilmu-mukasyafah. Karena itu, seyogialah apabila pembaca itu membaca
firman Allah Ta'ala:
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
(Aa fa ra-aitum maa tahrutsuun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam" - S. Al-Waqi'ah, ayat 63.
(Afa ra-aitum maa tumnuun).
Artinya: "Tiadakah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan?" - S. Al-Waqi'ah, ayat 58.
(Afara-aitumul-maa-alladzii tasy-rabuun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum?" — S. AL-Waqi'ah, ayat 68.
(A fara-aitumunnaa-rallatii tuuruun).
Artinya: "Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan?" -
S. Al-Waqi'ah, ayat 71, lalu tidak memendekkan pandangannya kepada air,
api, tanaman dan mani saja. Tetapi memperhatikan tentang mani itu.
Yaitu, setitik air hanyir. yang serupa segala bahagiannya. Kemudian ia
melihat tentang bagaimana terbaginya kepada daging, tulang^urat dan
saraf. Dan bagaimana pembentukan anegota-anggotanya dengan
bermacam-macam bentuk, dari kepala, tangan, kaki, paru, jantung dan
lain- lain. Kemudian kepada apa yang dhahir padanya, dari sifat-keadaan
mulia, dari pendengaran. penglihatan, akal pikiran dan lain-lain,
Kemudian kepada apa yang dhahir padanya, dari sifat-keadaan tercela,
dari kemarahan, hawa nafsu, tekebur, kebodohan, berdusta dan
pertengkaran seperti firman Allah Ta'ala:
(A-wa-lam yaral-insaanu annaa khalaqnaahu min-nuth fatin fa-idzaa huwa khashiimun mubiin),Artinya: "Apakah
manusia itu tidak melihat, bahwa Kami menjadikannya dari air mani?
Tetapi, lihatlah, dia telah menjadi musuh terang-terangan!" - S.YaSin, ayat 77. Maka
diperhatikan segala keajaiban ini, supaya dapat mendaki kepada yang
ajaibul-ajaib. Yaitu: sifat, yang terbit daripadanya segala keajaiban
ini. Maka senantiasalah ia memandang kepada ciptaan, lalu ia melihat
akan Pencipta.
Adapun hal-ikhwal nabi-nabi a.s.: maka apabila mendengar hal-ikhwal nabi-nabi, bahwa bagaimana mereka itu didustakan, dipukul dan dibunuh sebahagian mereka, lalu hendaklah dipahami daripadanya akan sifat tidak memerlukan (sifat-istighna') bagi Allah 'Azza wa Jalla. kepada rasul-rasul (utusan-utusan) dan umat yang diutuskan rasul-rasul itu kepadanya. Dan kalau binasalah mereka itu semuanya, niscaya tidaklah membekaskan sesuatu dalam kerajaanNya. Dan apabila mendengar, bahwa rasul-rasul a.s. itu memperoleh pertolongan pada akhir pekerjaannya, maka hendaklah dipahami akan qudrah Allah 'Azza wa Jalla dan iradahNya untuk menolong kebenaran.
Adapun
hal-ikhwal orang-orang yang mendustakan: seperti 'Ad, Tsamud dan yang
berlaku atas mereka, maka hendaklah dipahami daripadanya, akan perasaan
takut dari kekuasaan dan pembalasanNya! Hendaklah
keuntungannya
dari yang demikian itu, mengambil ibarat pada dirinya sendiri! Dan
kalau lengah, bertindak diluar kesopanan dan tertipu dengan
tertangguhnya pembalasan, maka kadang-kadang pembalasan itu akan
diperoleh dan terdapat dengan segera.
Begitu
pula, apabila mendengar keadaan sorga, neraka dan yang lain-lain yang
tersebut dalam Al-Qur'an, maka tidaklah mungkin mendalami apa yang
dipahamkan daripadanya. Karena yang demikian itu, tak ada kesudahan
baginya. Hanya bagi masing-masing hamba memperoleh sekedar bahagiannya
daripadanya. Maka tidak adalah yang basah dan yang kering, melainkan
semuanya itu ada didalam kitab yang menjelaskan-.
قُلْ
لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ
قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
(Qullaukaanal-bahru
midaadan likalimaati rabbii lanafidal-bahru qabla an tanfada kalimaatu
rab-bii walau ji'naabimits-lihi madadaa).Artinya: "Katakan:
Kalau kiranya lautan (menjadi) tinta untuk (menuliskan) perkataan
Tuhanku, niscaya lautan itu menjadi kering sebelum habis perkataan
Tuhanku (dituliskan) biarpun Kami datangkan sebanyak itu pula
tambahannya" - S. Al-Kahf, ayat 109.
Karena
itulah, berkata Ali r.a.: "Jikalau aku mau, niscaya dapatlah aku isikan
pikulan tujuhpuluh ekor unta dari penafsiran surat Al-Fatihah saja".
Maka
maksud daripada apa yang kami sebutkan itu, ialah memberitahukan jalan
pemahaman, supaya terbukalah pintunya. Adapun secara mendalam, maka tak
usahlah diljarapkan!
Orang
yang tidak mempunyai pemaltaman apa yang didalam Al-Qur'an, walaupun
dalam tingkatan yang paling rendah, maka termasuklah dia dalam firman
Allah Ta'ala: "Dan diantara mereka itu, ada yang mendengarkan perkataan
(bacaan) engkau, tetapi akhirnya, ketika mereka telah keluar dari tempat
engkau, mereka berkata kepada orang-orang yang berpengetahuan: Apakah
yang dikatakannya sebentar itu? Itulah orang-orang yang dicap (ditutup)
hati mereka oleh Allah". - S. Muhammad, ayat 16. Dan cap itu, ialah
pencegah-pencegah yang akan kami sebutkan, pada pencegah-pencegah
pemahaman. Sesungguhnya ada yang mengatakan: "Tidaklah murid (yang
berkehendak) itu, seorang murid, sebelum ia memperoleh didalam
Al-Qur'an, akan apa yang dikehendakinya. Mengenai daripadanya akan
kekurangan daripada tambahan dan merasa cukup dengan penghulu daripada
budak.
Keenam: penyingkiran dari segala pencegah paham. Sesungguhnya kebanyakan manusia tercegah daripada memahami pengertian Al-Qur'an,
karena
beberapa sebab dan hijab, yang dikembangkan oleh setan pada hati
mereka. Lalu menjadi butalah mereka tentang segala keajaiban rahasia
Al-Quran. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Jikalau
tidaklah setan-setan itu mengedari hati anak Adam (manusia), niscaya
mereka melihat kepada alam malakut". Dan segala pengertian Al-Qur'an
adalah sebahagian dari jumlah alam malakut. Dan tiap-tiap yang jauh dari
pancaindra dan tidak diketahui, selain dengan nur matahati
(nur-al-bashirah), maka adalah sebahagian dari alam malakut. Yang
menghijabkan pemahaman, adalah empat:
Pertama, adalah
perhatiannya tertuju kepada penyebutan huruf, dengan mengucapkannya
_menurut pengucapannya (makhrajnya). Penjagaannya ini dipengaruhi oleh
setan, yang ditugaskan kepada para pembaca Al-Qur'an (qu'rra'), supaya
mengelakkan mereka daripada memahami pengertian-pengertian kalam 'Azza
wa Jalla. Maka senantiasalah dibawanya para pembaca itu kepada
mengulang-ulangi huruf, yang terguris dalam hati mereka, bahwa belum
mengucapkannya dari -makhrajnya.
Orang
tadi, adalah perhatiannya tertuju kepada makhraj-makhraj huruf. Maka
bilakah terbuka baginya pengertian? Dan yang amat menertawakan setan,
ialah: orang yang menta'ati kepada seumpama pengacauan ini. Kedua,
adalah ia seorang muqallid (yang bertaqlid) kepada suatu mazhab, yang
didengarnya dengan taqlid, dan ia membeku kepadanya. Dan tetaplah pada
jiwanya kefanatikan (ta'ash-shub), dengan semata-mata mengikuti yang
didengar, tanpa sampai kepadanya dengan mata hati dan penyaksian batin.
Maka
ini, adalah orang yang dikungkung oleh aqidahnya, daripada melampauinya.
Maka tidaklah mungkin bahwa terguris dihatinya, selain daripada
aqidahnya. Lalu jadilah perhatiannya terhcnti kepada yang didengarinya.
Kalau berkilatlah suatu kilat dari jauh dan teranglah kepadanya salah
satu dari pengertian-pengertian yang bertentangan dengan yang
didengarnya, niscaya dipikulkan keatas pundaknya oleh setan taqlid,
seraya setan itu berkata: "Bagaimana maka terguris itu dihatimu, pada
hal itu bersalahan dengan aqidah bapa-bapamu?" Maka ia melihat, bahwa
itu adalah tipuan setan, lalu ia menjauhkan diri daripadanya dan menjaga
daripada yang menyerupainya. Dan bagi yang seperti ini, telah berkata ulama-ulama shufi: "Bahwa ilmu itu suatu hijab". Dimaksudkan
mereka dengan ilmu tadi, ialah segala 'aqidah (kepercayaan) yang
dipegang terus-menerus oleh sabahagian besar manusia, dengan taqlid
semata-mata. Atau dengan kata-kata perdebatan semata-mata, yang
diuraikan oleh orang-orang yang fanatik kepada mazhab-mazhab dan
diajarkannya kepada mereka.
Adapun
ilmuhaqiqi, yaitu: kasyaf dan musyahadah dengan nur-bashi-rah, maka
bagaimanakah dia itu hijab, sedang dia adalah: yang dicari terakhir?
Taqlid
itu kadang-kadang adalah batil, maka jadilah dia penghalang, seperti
orang yang beri'tiqad tentang istiwa' diatas 'Arasy itu, tetap dan tidak
berpindah.
Jikalau
tergurislah baginya — umpamanya — tentang Allah Yang Mahasuci, bahwa
Dia itu mahasuci dari tiap-tiap apa saja yang jaiz diatas makhlukNya,
niscaya tidak memungkinkan oleh ke-taqlid-annya itu, bahwa faham yang
demikian menetap pada dirinya. Dan jikalau menetap pada dirinya, niscaya
membawa kepada kasyaf kedua, ketiga dan terus bersambung. Tetapi
bersegeralah ia menolak yang demikian dari gurisan hatinya, karena
berlawanan dengan taqlidnya yang batil, Dan taqlid itu kadang-kadang
benar (haq) dan juga dia itu pencegah dari faham dan kasyaf. Karena haq
yang memberatkan makhluk untuk mempercayainya, mempunyai Jingkat-tingkat
dan derajat-derajat. Mempunyai pokok yang dhahir dan isi yang batin.
Dan membekunya labia t seseorang diatas yang dhahir, mencegah kan nya
daripada sampai kepada isi mendalam bagi batin, sebagaimana telah kami
sebutkan dahulu, mengenai perbedaan antara ilmu dhahir dan ilmu batin
dalam: Kitab kaedah-kaedah i'tiqad.
"Ketiga: adalah
dia itu berkekalan diatas dosa atau bersifat dengan tekebur atau kena
percobaan pada umumnya, mematuhi dengan kecondongan pada dunia. Maka itu
adalah sebab kegelapan hati dan berkarainya. Dan 4tu adalah seperti
najis diatas kaca, lalu "mencegah jelasnya kebenaran (haq) daripada
menampak padanya. Dan itu. adalah hijab yang terbesar bagi hati. Dan
dengan itulah. terhijab kebanyakan orang. Manakala hawa-nafsu itu
sangiat tebal. niscaya pengertian Kalam adalah sangat terhijab. Dan
manakala tipis dari hati, segala beban dunia, niscaya mendekatlah
kecemerlangan pengertian padanya. Hati itu, adalah seumpama kaca dan
nafsu syahwat itu seumpama karat. Segala pengertian Al-Qur'an adalah
seumpama bentuk yang menampak pada kaca. Dan latihan bagi hati dengan
melenyapkan nafsu-syahwat, adalah seumpama menggosok bersih bagi kaca.
Dan karena itulah, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Apabila
diagungkan oleh umatku akan dinar dan dirham, niscaya dicabutkan
daripadanya kehebatan Islam. Dan apabila mereka meninggalkan amar ma'ruf
dan nahi munkar, niscaya diharamkan mereka dari keberkatan wahyu". Berkata Ai-Fudlail: "Ya'ni: diharamkan mereka dari memahami Al-Qur'an".
Telah
disyaratkan oleh Allah 'Azza wa Jalla, kembali kepada pemahaman dan
pengingatan. Berfirman Allah Ta'ala : "Menjadi pemandangan dan
pengajaran bagi setiap hamba yang kembali (kepada Tuhan)". S. Qaf, ayat
8, Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Hanyalah orang yang kembali (kepada Tuhan) yang dapat menerima pelajaran". - S. Al-Mu'min, ayat 13. Berfirman Allah Ta'ala: "Hanyalah orang-orang yang berakal dapat mengerti". -
S. Ar-Ra'd, ayat 19. Maka orang yang memilih tipuan duniadari ni'mat
akhirat, maka dia tidaklah dari orang-orang yang berakal. Dan karena
itulah, tiada terbuka baginya rahasia-rahasia Kitab Suci.
Keempat, dia
telah membaca tafsir yang dlahir dan berkeyakinan, bahwa tak ada
pengertian bagi kalimat-kalimat Al-Qur'an, selain daripada apa yang
diperoleh oleh naql (diterima atau disalin) dari ibnu'Abbas, Mujahid dan
lain-lainnya. Dan yang dibalik dari itu, adalah penafsiran dengan
buah pikiran. Dan barangsiapa menafsirkan Al-Quran dengan buah
pikirannya niscaya tersedialah tempat duduknya dart api neraka. Maka ini
juga sebahagian hijab besar. Dan akan kami terangkan pengertian
penafsiran dengan buah pikiran pada Bab Keempat. Dan itu berlawanan dengan perkataan Ali r.a.: "Kecuali diberikan oleh Allah kepada seorang hamba akan pemahaman pada Al-Quran". Dan
sesungguhnya, kalau pengertian itu, yaitu: yang dhahir, yang dinuqilkan
saja, niscaya tidaklah terdapat perselisihan manusia padanya.
Ketujuh: (dari sepuluh, yang disebut pada awal Bab "Ketiga") pengkhususan.
Yaitu: dia mengumpamakan, bahwa dialah yang dimaksud.,., dengan
tiap-tiap kata yang ditujukan dalam Al-Qur'an. Kalau ia' mendengar amar
atau nahi, niscaya diumpamakannyalah bahwa dialah yang dilarang dan yang
disuruh. Dan kalau dia mendengar janji ni'mat (wa'ad) atau janji 'azab
(wa'id), maka seperti itulah ia menilaikan pada dirinya. Dan kalau ia
mendengar ceritera (kisah) orang-orang dahulu dan nabi-nabi, niscaya ia
tahu, bahwa ceritera itu bukanlah yang dimaksudkan. Tetapi yang
dimaksudkan, adalah untuk diambil menjadi ibarat. Dan hendaklah
diambilnya dari ceritera yang berlapis-lapis itu, akan apa yang
diperlukannya. Maka tidak suatu kisah pun didalam Al-Qur'an, melainkan
pembawaannya bagi sesuatu paedah terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم dan umatnya.Karena itulah, maka berfirman Allah Ta'ala:مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ
(Maa nutsabbitu bihi fu-aadak).
Artinya: "Yang dapat memperteguh hati engkau" - S. Hud, ayat 120. (1).
Maka
hendaklah diumpamakan oleh seorang hamba, bahwa Allah telah menetapkan
hatinya, dengan apa yang diceriterakan oleh Allah kepadanya, dari
hal-ikhwal nabi-nabi, kesabaran mereka diatas penganiayaan dan keteguhan
mereka pada Agama, demi menunggu pertolongan Allah Ta'ala.
Bagaimanakah tidak diumpamakan yang demikian? Sedang Al-Quran itu tidaklah diturunkan kepada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم., karena dia utusan Allah khususnya, tetapi adalah Al-Quran itu obat, petunjuk, rahmat dan nur Bagi alam seluruhnya.
1.Ayat 120 seluruhnya ,Dan segala yang kami ceritakan kepada engkau iaitu sebahagian dari cerita rasul rasul,yang dapat memperteguh hati engkau,dan didalam cerita ini engkau mendapat kebenaran, serta pengajaran dan peringatan untuk orang orang beriman(pent)
Dan karena itulah, disuruh oleh Allah Ta'ala manusia seluruhnya, mensyukuri keni'matan Kitab Suci itu. Berfirman Allah Ta'ala:
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ
(Wadz-kuruu ni'matal-laahi 'alaikum wa maa anzala'alaikum minal-kitaabi wal-hikmati-ya'idhukumbih). -Artinya: "Dan
ingatilah ni'mat Allah kepadamu dan apa yang diturunkanNya kepadamu.
diantaranya Kitab dan kebijaksanaan. Ia mengajari kamu dengan itu". — S. Al-Baqarah, ayat 231.
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan
sesungguhnya Kami turunkan Kitab kepadamu yang didalamnya ada
peringatan (pengajaran) buat kamu, Tidakkah kamu perhatikan?" - S. Al-Anbia, ayat 10.
BerfiTman Allah Ta'ala : "Dan Kami turunkan kepada engkau pengajaran (Al-Qur'an) supaya engkau jelaskan kepada menusia, apa yang telah diturunkan kepada mereka". -S. An-Nahl, ayat 44.
Firman Allah Ta'ala: Begitulah Allah membuat perumpamaan untuk pelajaran bagi manusia". S. Muhammad, ayat 3. Berfirman Allah Ta'ala: "Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan kepada kamu dari Tuhanmu". S. Az-Zumar, ayat 55.
Berfirman Allah Ta'ala: "Inilah keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan yang benar dan rahmat bagi kaum yang yakin (dalam kepercayaannya)". S. Al-Jatsiyah, ayat 20. Berfirman Allah Ta'ala : "Al-Quran
- inilah keterangan-keterangan yang jelas untuk manusia, pimpinan
kepada kebenaran dan pengajaran untuk orang-orang yang memelihara
dirinya (dari kejahatan)". S. Ali 'Imran, ayat 138. Apabila
dimaksudkan dengan penghadapkan kata (khithab) kepada seluruh manusia,
maka sesungguhnya adalah dimaksudkan kepada masing-masing orang. Maka sipembaca yang seorang itu, adalah yang dimaksudkan. Apakah bedanya bagi yang seorang itu dan bagi manusia lain? Maka hendaklah ia mengumpamakan, bahwa dialah dimaksudkan.
Berfirman Allah Ta'ala: "Dan diwahyukan kepadaku Al-Quran ini, supaya dengan itu, aku dapat memberi ingat kepada kamu dan kepada siapa yang sampai Al-Quran kepadanya". S. Al-An'aam, ayat 19.
Berkata Muhammad bin Ka'b Al-Qardhi: "Barangsiapa sampai kepadanya Al-Quran, maka seolah-olah Allah Ta'ala telah berkalam dengan dia". Apabila
telah diumpamakan yang demikian, niscaya tidak diperbuatnya pelajaran
Al-Quran itu sebagai pekerjaannya. Tetapi dibacanya Al-Qur'an itu,
seperti seorang hamba membaca surat tuannya, yang dituliskan kepadanya
untuk diperhatikannya dan dilaksanakannya menurut yang dikehendaki surat
itu.
Karena
itulah, berkata sebahagian ulama: "Al-Qur'an itu adalah risalah-risalah
(surat-surat), yang datang kepada kita dari pihak Tuhan kita 'Azza wa
Jalla, dengan segala janjiNya, yang kita tada'bburkan didalam shalat.
Kita tegak berdiri diatas risalah-risalah itu, pada tempat kesepian
(didalam khilwah) dan kita laksanakannya pada perbuatan tha'at dan sunat
yang dituruti". Bertanya Malik bin Dinar: "Apakah
yang ditanamkan Al-Qur'an dalam hatimu, wahai ahli Al-Quran?
Sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah musim bunga bagi orang mu'min,
sebagaimana hujan rintik-rintik adalah musim bunga bagi bumi".
Berkata Qatadah: "Tiada duduk seseorang dengan Al-Quran ini, melainkan
ia bangun daripadanya, dengan ada tambahan atau kekurangan".
Berfirman Allah Ta'ala:
Berfirman Allah Ta'ala:
هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا
(Huwa syifaa-un warahmatun lil-mu' miniina wa laa ya-iiidudh-dhaali-miina ilia khasaaraa).Artinya: "Dia
itu menjadi obat dan rahmat untuk orang-orang yang beriman dan itu
tiada akan menambah kepada orang-orang yang bersalah, selain dari
kerugian saja". S.Al-Isra', ayat 82.
Kedelapan: pembekasan. Yaitu
membekas kepada hatinya dengan berbagai macam bekas, menurut
bermacam-macam ayat yang dibacanya. Maka adalah haI-keadaannya menurut
masing-masing paham yang ada baginya. Dan terdapatlah hatinya bersifat
dengan kedukaan, ketakutan, keharapan dan lainnya. Manakala ma'rifahnya
telah sempurna niscaya adalah ketakutan menjadi keadaannya yang
terbanyak, pada hatinya. Sesungguhnya penyempitan (tadlyiq), adalah
biasa terdapat pada ayat-ayat Al-Qur'an. Maka tidak terlihat penyebutan
ampunan dan rahmat melainkan disertai dengan syarat-syarat, yang sukar
bagi seorang yang tahu, untuk memperolehnya, seperti firman Allah 'Azza
wa Jalla:وَإِنِّي لَغَفَّارٌ
(Wa innii laghaffaa-run).— S.Thaha,ayat82. Artinya;"Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun". Kemudian, diikutkanNya yang demikian itu, dengan empat syarat:
(Liman
taaba wa aamana wa 'amila shaalihan tsumma'htadaa) sambungan ayat 82
diatas.Artinya: "Bagi orang yang bertobat,beriman dan mengerjakan
perbuatan baik, kemudian, ia mengikuti jalan yang benar".
Dan firmannya: "Demi
waktu. sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Selain dari
orang-orang, yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik dan mewasiatkan
(memesankan) satu sama lain dengan kebenaran dan mewasiatkan satu sama
lain supaya bersabar". — S. AI-'Ashr, ayat 1-2-3. Disebutkan disitu
empat syarat.
Dan dimana diringkaskan, maka disebutkan satu syarat saja yang melengkapkan (syarat jaami'), lalu Allah Ta'ala berfirman:
(Fnna rahmatallaahi qariibun mina'lmuhsiniin) —S. Al-A'raaf, ayat 56.
Artinya:
"Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada orang-orang yang berbuat
kebaikan kepada orang lain (berbuat ihsaan)". Berbuat kebaikan kepada
orang lain (berbuat ihsaan) itu, meratai seluruhnya.
Dan
begitulah orang yang membuka halaman Al-Qur'an, dari permulaannya sampai
kepada penghabisannya dan orang yang memahami demikian. Maka layaklah
kiranya, bahwa keadaannya itu bersifat dengan ketakutan dan kedukaan.
Karena itulah berkata Al-Hasan: "Demi Allah, tidaklah pada hari ini
seorang hamba yang membaca Al-Qur'an yang di-imaninya melainkan
banyaklah kedukaannya, sedikitlah kegembiraannya, banyaklah tangisnya,
sedikitlah ketawanya, banyaklah pekerjaan dan perbuatannya, sedikitlah
istirahat dan perbuatannya yang sia-sia". Berkata Wuhaib bin Al-Ward:
"Kami melihat pada segala pembicaraan dan pengajaran ini, maka kami
tiada mendapati sesuatu yang lebih menghaluskan hati dan menarik
kedukaan, daripada membaca Al-Qur'an, memahami dan mentada'bburkannya,
Maka membekaslah hamba dengan tilawah itu, bahwa ia bersifat dengan
perihal ayat yang dibacakan. Ketika membaca ayat wa'id (ayat yang
mengandung ancaman azab) dan pengikatan ampunan dengan syarat-syarat,
yang lemah dia dari ketakutannya, seakan-akan ia hampir meninggal dunia.
Dan ketika membaca ayat yang melapangkan dan janji ampunan, ia
bergembira, seolah-olah ia terbang dari kegembiraan. Ketika menyebut
Allah, sifat-sifat dan nama-namaNya, lalu tertunduklah ia menekur
kepala, karena merendahkan diri bagi keangunganNya dan merasakan
kebesaran-Nya. Ketika disebutkan oleh orang-orang kafir akan apa yang
mustahil bagi AHah 'Azza wa Jalla seperti disebutkan mereka bahwa Allah
'Azza wa Jalla mempunyai anak dan teman hidup, lalu suaranya merendah
dan batinnya hancur, karena malu dari kejinya perkataan orang-orang
kafir itu. Dan ketika disifatkan sorga, lalu menggeraklah batinnya
karena rindu kepadanya. Dan ketika disifatkan neraka, lalu gemetarlah
sendi-sendinya, karena takut daripadanya.
Tatkala Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم bersabda kepada Ibnu Mas'ud: "Bacalah kepadaku!", maka Ibnu Mas'ud berceritera: "Lalu aku mulai dengan surat An-Nisa'. Tatkala sampai kepada ayat:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاءِ شَهِيدًا
(Fakaifa idzaa ji'naa min ku'lli u'mmatin bisyahiidin wa ji'naa bika "alaa haa-ulaa-i syahiidaa) An-Nissa, ayat 42.Artinya: "Bagaimanakah ketika Kami datangkan kepada tiap umat seorang saksi dan engkau Kami jadikan saksi atas umat ini" aku melihat kedua matanya berlinang air mata, seraya mengatakan kepadaku: "Cukuplah sekian sekarang!"
Itu
adalah karena dengan mempersaksikan keadaan yang demikian mempengaruhi
keseluruhan isi jiwanya. Dan ada dalam golongan orang-orang yang takut
(al-khaaifun), orang yang jatuh tersungkur kepitaman pada ayat-ayat
wa'id. Dan diantara mereka, ada yang terus meninggal waktu mendengar
ayat-ayat itu.
Hal-hal
yang seperti ini, membuat sipembaca itu diluar daripada dia sebagai
menceriterakan saja kalam Allah Ta'ala. Apabila ia membaca:
إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
(Innii akhaafu in 'ashaitu rabbit 'adzaaba yaumin adhiim). Artinya: "Sesungguhnya aku takut, akan kena siksaan hari yang besar, jika aku mendurhakai Tuhanku". S. At. An'am, ayat 15. Dan tidaklah dia itu takut, bila dis hanya membaca saja.
Dan apabila ia membaca:عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ "Alaika tawakkalnaa wa ilaika anabnaa wa ilaika'l-mashiir" — S.Al-Mumtahanah, ayat 4 artinya: "Kepada Engkau, Kami bertawakkal dan kepada Engkau, kami kembali dan kepada Engkau juga kesudahannya!" —
dan tak adalah keadaannya bertawakkal dan kembali, maka adalah dia
membacakan saja kalam Allah Ta'ala. Dan apabila ia membaca: وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آذَيْتُمُونَا "Wa lanashbira'nna 'alaa maa aadzaitumuunaa" — S. Ibrahim, ayat 12.
Artinya: "Dan sesungguhnya kami akan bersabar terhadap perbuatan kamu yang menyakitkan kami" —
Maka hendaklah keadaan sipembaca itu sabar atau bercita-cita atas
kesabaran, sehingga ia memperoleh kemanisan tilawah. Kalau tidaklah ia
bersifat dengan sifat-sifat tersebut dan hatinya tidak bulak-balik
dengan hal-hal itu, maka adalah keuntungannya dari tilawah itu, ialah
menggerakkan lidah serta dengan tegas mengutuk dirinya sendiri, waktu
membaca firman Allah Ta'ala:أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ (Alaa la'natul-laahi 'aladh-dhaa-limiin). Artinya: "Ingatlah, kutukan Allah itu adalah untuk orang-orang zalim" — S. Hud. ayat I8.
(Kabura-maqtan 'indallaa-hi an taquuluu maa laa taf aluun).
Artinya: "Sangat dibenci Allah, bahwa kamu ucapkan apa yang tiada kamu perbuat".- s. Ash-Shaff, ayat 3.
Pada firman Allah 'Azza wa Jalla: "Sedangkan mereka masih dalam kelaiaian dan tiada memperdulikannya". S. Al-Anbia, ayat 1. Pada firman Allah Ta'ala: "Berpalinglah engkau dari orang yang tiada memperdulikan pengajaran Kami dan hanya menginginkan kehidupan dunia semata". -S. An-Najm, ayat 29. Dan pada firman Allah Ta'ala: "Siapa yang tiada bertobat. itulah orang-orang yang zalim". — S. Al-Hujurat, ayat 11. Dan ayat-ayat lain sebagainya. Dan termasuklah dia dalam maksud firman Allah 'Azza wa Jalla: "Diantaranya ada yang buta huruf, tidak mengetahui Kitab selain dari dongengan". S. Al-Baqarah, ayat 78. Ya'ni: semata-mata tilawah saja. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: ''Dan banyaklah keterangan-keterangan dilangit dan dibumi yang mereka lalui, tetapi mereka tidak mempefhatikannya". -
S.Yusuf, ayat 105". Karena Al-Ouran itulah yang menerangkan ayat-ayat
itu dilangit dan dibumi. Manakala dilaluinya ayat-ayat itu tanpa
membekas kepadanya, maka adalah dia itu tidak memperhatikanya. Karena
itulah dikatakan, bahwa orang yang tiada bersifat dengan perilaku budi
(akhlak) yang tersebut dalam Al-Qur'an, maka apabila ia membaca
Al-Qur'an itu, lalu ia dipanggilkan oleh Allah Ta'ala: "Mengapakah engkau begitu terhadap KalamKu, dan engkau tidak memperhatikan kepadaKu? Tinggalkanlah KalamKu, bila engkau tidak kembali Kepadaku!"-
Seorang
pendurhaka apabila membaca Al-Quran dan mengulang-ulanginya, adalah
seumpama orang yang mengulang-ulangi membaca surat raja, pada tiap-tiap
hari beberapa kali. Surat itu telah dituliskan kepadanya dalam gedung
kerajaan dari raja itu. Sipembaca tadi, bekerja meruntuhkan gedung
tersebut dan bertekun mempelajari surat raja. Kalau sekiranya ia
meninggalkan mempelajari surat itu, ketika keadaannya begitu
bertentangan, niscaya adalah dia terjauh daripada mempermain-mainkan dan
daripada berhak mendapat kutukan.
Karena
itulah, berkata Yusuf bin Asbath: "Sesungguhnya aku amat mementingkan
tilawah Al-Qur'an. Apabila aku sebutkan sesuatu didalam Al-Qur'an, yang
aku takut akan kena kutukan, lalu aku berpaling kepada tasbih dan
istighfar.
Orang yang berpaling daripada mengamalkan menurut Al-Quran, itulah yang dimaksudkan dengan firmanNya: "Kemudian
janji itu mereka buang kebelakang dan mereka mengambil sedikit
keuntungan gantinya. Amatlah buruknya apa yang mereka ambil itu". S. Aali 'Imran, ayat 187.
Karena itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bacalah
Al-Quran, apa yang menjinakkan hatimu dan melembutkan kulitmu! Apabila
kamu menyalahinya, maka tidaklah kamu membacanya". (1).
Pada sebahagian riwayat tersebut: "Apabila kamu menyalahinya, maka bangunlah dari Al-Qur'an itu!"
Berfirman Allah Ta'ala:
إِذَا
ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ
آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
(AUadziina
idzaa dzukjraliaaftu wa jilat Quluubuhum wa idzaa tuliat 'alai-him
aayatuhu zaadathum iimaa-nan wa'alaa rab-bihim ya-tawakka-luun).
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang berfirinan itu, ialah mereka
yang ketika disebut nama Allah, hatinya penuh ketakutan dan apabila
dibacakan kepadanyaketerangan-keteranganNya, bertambah keimanan nya
karena itu dan mereka bertawakkal kepada Tuhannya". S. Al-An al ayat 2.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم Sebaik-baik
suara manusia dengan Al-Qur'an, ialah apabila engkau mendengar ia
membaca, niscaya engkau melihat ia takut akan Allah Ta'ala". Bersabda
Nabi صلى الله عليه وسلم 'Tidaklah terdengar Al-Qur'an dari seseorang, yang lebih merindukan, daripada orang yang takut akan Allah 'Azza wa Jalla". (2).
Maka
Al-Qur'an, dimaksudkan untuk menarik segala hal keadaan itu kepada hati
dan berbuat dengan dia. Kalau tidak demikian, maka kesulitan pada
menggerakkan lidah dengan huruf-hurufnya, adalah ringan.
Karena
itulah berk'ala sebahagian ahli bacaan Al-Qur'an (al-qur-ra'): "Aku
baca Al-Qur'an dihadapan guruku, kemudian aku kembali untuk membacakan
kali kedua, lalu dibentaknya aku seraya berkata: "Engkau jadikan
Al-Qur'an sebagai suatu perbuatan atasku. Pergilah, bacakanlah karena
Allah 'Azza wa Jalla! Perhatikanlah dengan apa disuruhNya kamu dan
dengan apa dilarangNya kamu!".
Dengan inilah, para shahabat r.a. i
tu sibuk, dalam segala keadaan dan perbuatan. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم wafat meninggalkan shahabat sebanyak duapuluh ribu orang, dimana tidak ada yang menghafalkan Al-Qur'an selain enam orang. Dua orang dari yang enam inipun, diperselisihkan (Ada riwayat yang mengatakan bahwa keduanya menghafal Al-Qur'an dan ada yang mengatakan tidak). ! !.
tu sibuk, dalam segala keadaan dan perbuatan. Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم wafat meninggalkan shahabat sebanyak duapuluh ribu orang, dimana tidak ada yang menghafalkan Al-Qur'an selain enam orang. Dua orang dari yang enam inipun, diperselisihkan (Ada riwayat yang mengatakan bahwa keduanya menghafal Al-Qur'an dan ada yang mengatakan tidak). ! !.
1.Dirawikan Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdullah Al Bajali. 2.Dirawikan Abu Abdillah Al Hakim,Menurut yang tersebut dalam kitab “Fadlaa ilul Quran.
Sebahagian
besar dari mereka menghafal satu surat dan dua surat. Dan adalah yang
menghafal sural Al-Baqarah dan Al-An'am, dari ulama-ulama
shanaba.Tatkala salah seorang pergi untuk mempelajari Al-Qur'an, lalu
sampailah peinbacaannya ptda firman Allah 'Azza wa Jalla:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ, وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
SURAT 99. AZ ZALZALAH ayat 7 dan 8 Artinya: Dan siapa yang mengerjakan perbuatan baik sebesar atom, akan dilihatnya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat atom, akan dilihatnya", Maka berkatalah orang Tadi: "Cukuplah ini saja!" Lalu ia pun pergi. Maka bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Telah pergi orang itu dan dia adalah seorang yang berpaham (faqih).
Sesungguhnya
iarangiah seperti keadaan itu yang lelab dik^miakan oleh Allah 'Azza wa
Jail:; kedaram hati orang mu'min, setelah men.'shami ayat itu. Acapuu
semata-mata menggerakkan lidah maka adalah sedikit faedahnya. Bahkan
orang yang membaca dengan lisan, yang berpaling dan perbuatan, adalah
wajar bahwa dialah yang dimaksud dengan firman Atfah Ta'ala:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
(Wa mar. a' radla an dzikrii fa inna lahu in&'iisyatan diankan wa nahsyunjhii yaurna-qjaamati almaa)Artinya: "Dan
barangsiapa yang menyangkal mengingati Aku, sudah tentu dia akan
memperoieh kehidupan yang sulit (sempit) dan Kami. kumpuikan dihari
kiamat (kebangunan) sebagai orang buta". S. Tha Ha ayat 124.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Begitulah (semestinya).
Keterangan-keterangan Kami telah datang kepada engkau, tetapi tidak
engkau perdulikan; dan begitulah dihari ini. engkau tidak pula Kami
perdulikan". — S. Tha Ha, ayat 126.
1. Mengenai waktu Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم wafat,meninggalkan shahabat sebanyak duapuluh ribu orang, yang menghafalkan Al-Qur'an lebih kurang enam orang itu, menurut catatan dibawah "Ihya", dalam bahasa 'Arab, mungkin yang dimaksud di Madinah saja. Sebab menurut riwayat dari Abi Zar'ah Ar-Raz;, menerangkan bahwa ketika Nabi صلى الله عليه وسلم wafat, meninggalkan shahabat sebanyak seratus empat-belas ribu orang. Dan menurut Anas, Al-Quran itu dikumpulkan pada masa Nabi صلى الله عليه وسلم oleh empat orang, semuanya dari orang anshar, yaitu Ubai bin Ka'b, Ma'az bin Jabal, Zaid dan Abu Zaid. (Pent.).
Artinya:
engkau tinggalkan keterangan-keterangan itu, tidak engkau perhatikan
dan perdulikan. Orang yang menyia-nyiakan suatu perintah (amar),
dikatakan: orang yang melupakan suatu amar (periniah). Bertilawah
Al-Qur'an yang sebenar-benarnya, ialah mengkongsikan padanya lidah, akal
dan hats. Bahagian lidah, ialah membetulkan huruf dengan pentartilan.
Bahagian akal, ialah penafsiran pengertian. Dan bahagian hati. ialah
mengambil pengajaran dan membekas dengan memperingatkan hati dan
menuruti perintah.
Maka lidah itu bertartil akal itu menterjemah dan hati itu mengambil pengajaran.
Kesembilan: peninggian. Yang saya maksudkan dengan peninggian itu, ialah
bahwa meninggilah sipembaca tersebut, sampai ia mendengar Kalam
daripada Allah 'Azza wa Jalla, tidak daripada dirinya sendiri. Dari itu, maka tingkat pembacaan adalah tiga:
1.Yang paling kurang daripadanya, ialah
diumpamakan oleh hamba itu, seolah-olah ia membaca Al-Qur'an dihadapan
Allah 'Azza wa Jalla, berdiri dihadapanNya. Dan dia memandang kepadaNya
dan mendengar daripadaNya. Maka adalah keadaannya orang itu, pada
penguntpamaan ini, meminta. berwajah manis, merendahkan diri dan
bermohon.
2.Bahwa ia mengakui dengan hatinya, seolah-olah
Allah 'Azza wa Jalla melihat dan berbicara kepadanya dengan segala
kelemah-iembutanNya. Dan ia bermunajah dengan Dia dengan segala
keni'matan dan ihsanNya. Dari itu, maka kedudukannya adalah dalam
keadaan malu, pengagungan, pemerbatian dan pemahaman.
3.Bahwa ia melihat pada Kalam itu akan Mutakallim dan
pada kata-kata itu, akan sifat. Maka tidaklah ia memandang kepada
dirinya, kepada bacaan nya dan kepada sangkutan keni'matan kepadanya,
dari segi bahwa dia yang diberikan keni'matan kepadanya. Bahkan, adalah
tertuju cita-cita kepada Mutakallim dan terhenti pemikiran kepadaNya,
seolah-olah ia tenggelam dengan memandang (musyahadah) Mutakallim, tanpa
yang lain. Dan inilah tingkat Muqarrabin (orang-orang yang dekat kepada
Allah Ta'ala). Dan sebelum ini, adalah tingkat golongan kanan
(ash-hahu'l-yamin). Dan yang diluar dari ini, adalah tingkat orang-orang
lalai (al-ghafilin).
Dan diri tingkat yang tinggi itu, diceriterakan oleh Ja far bin Muhammad Ash-Shadiq r.a. dengan mengatakan: "Demi
Allah, sesungguhnya telah menampak (tajalli) Allah 'Azza wa Jalla bagi
makhlukNya pada KalamNya. Tetapi mereka tidak melihatNya".Berkata
Ja'far pula, dimana mereka menanyakan kepadanya, tentang keadaan yang
mengenainya dalam shalat, sampai ia jatuh tersungkur. Maka setelah ia
sembuh, lalu ditanyakan kepadanya tentang itu, maka ia menjawab: "Senantiasalah
aku mengulang-ulangi suatu ayat pada hatiku, sehingga aku mendengarnya
dari yang memfirmankannya (Mutakallim). Lalu tidak tetaplah tubuhku
untuk memandang qudrahNya".
Maka
pada tingkat yang seperti ini, maha agunglah manisnya dan lazatnya
bermunajah. Karena itulah berkata sebahagian ahli hikmat (hukama'):
"Adalah aku membaca Al-Qur'an, maka tidaklah aku peroleh baginya
kemanisan, sehingga bertilawahlah aku akan Al-Qur'an itu, seolah-olah
aku mendengarnya dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. yang membacakan kepada shahabat-shahabatnya. Kemudian
aku diangkat ketingkat yang diatas itu, maka aku mentilawahkannya,
seolah-olah aku mendengarnya dari Jibril a.s. yang membacakannya kepada
Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم. Kemudian
diberikan oleh Allah tingkat yang lain, maka sekarang aku mendengarnya
dari Mutakallim. Pada tingkatan ini, aku memperolah kelazatan dan
keni'matan, yang tidak sabar aku jauh daripadaNya
Berkata Utsman dan Hudzaifah r.a.: "Kalau hati itu suci bersih, niscaya dia tidak kenyang-kenyang dari membaca Al-Qur'an". Mereka
mengatakan demikian, karena dengan kesucian, hati itu meninggi kepada
musyahadah Mutakallim pada KalamNya. Dan karena itulah, berkata Tsabit
Al-Bannani: "Aku menanggung kesukaran pada pembacaan Al-Quran
selama duapuluh tahun dan aku merasakan keni'matan dengan Al-Qur'an
selama duapuluh tahun". Dan dengan musyahadah Mutakallim,
tanpa lainNya, maka hamba itu adalah mengikuti firman Allah 'Azza wa
Jalla: "Fafirruu ila'llaah" - S.Adz-Dzariyat, ayat 50 Artinya: "Maka bersegeralah pergi kepada Allah'"( Dan karena firmanNya: "Wa laa taj'aluu ma'allaahi ilaahan aakhar". — S. Adz-Dzaariyat, ayat 51. Artinya: "Janganlah kamu adakan tuhan yang lain' disamping Allah".
Orang
yang tiada melihat Allah Ta'ala pada tiap-tiap sesuatu, tentu melihat
lainNya. Dan tiap apa saja yang dipandang oleh hamba kepadanya, selain
Allah Ta'ala, niscaya pandangannya itu mengandung ' sesuatu dari syirk
yang tersembunyi. Karena tauhid yang bersih, adalah tidak melihat pada
tiap-tiap sesuatu, selain Allah 'Azza wa Jalla.
Kesepuluh: pelepasan.
Saya maksudkan dengan pelepasan itu, ialah melepaskan diri dari daya
dan upaya sendiri dan melepaskan diri daripada memandang kepada diri
sendiri dengan pandangan kesenangan dan kesucian
Maka
apabila membaca ayat-ayat yang mengandung janji kesenangan dan pujian
bagi orang-orang baik (shalihin), maka tidaklah memandang dirinya yang
demikian. Tetapi memandang bahwa orang-orang yang yakin dan yang
shiddiq,yang dimaksudkan pada ayat-ayat itu. Dan mengharap kiranya dia
dihubungkan oleh Allah 'Azza wa Jalla dengan orang-orang itu.
Apabila
membaca ayat-ayat yang mengandung cacian dan celaan terhadap
orang-orang yang durhaka dan yang lalai, maka memandang kepada dirinya
berada disitu. Dan mengumpamakan bahwa dialah yang ditujukan,
karena
takut dan mengharap dikasihani. Karena itulah Ibnu 'Umar r.a. berdo'a:
"Ya Allah Tuhanku! Aku meminta ampun padaMu karena kezalimanku dan
kekufuranku!"
Maka
ditanyakan kepadanya: "Kezaliman itu benarlah, tetapi betapakah tentang
kekufuran itu?" Maka Ibnu 'Umar r.a. membaca firman Allah 'Azza wa
Jalla: إِنَّ الإنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
(Inna'l-insaana ladhaluumun ka'ffaar). - S. Ibrahim, ayat 34. Artinya: "Sesungguhnya manusia itu banyak kesalahannya (banyak kezalimannya) dan tiada tahu berterima kasih (banyak kekufuran)". Ditanyakan kepada Yusuf bin Asbatir. "Apabiia engkau membaca Al-Qur'an, dengan apakah engkau berdo'a?" Yusuf menjawab; "Dengan apakah aku berdo'a? Aku meminta ampun pada Allah 'Azza wa Jalla, dari kelalaianku tujuh puluh kali".
Apabila
melihat dirinya dalam bentuk keteledoran pada pembacaan Al-Qur'an,
niscaya penglihatannya itu menjadi sebab untuk mendekatkan dirinya
kepada Allah Ta'ala. Barangsiapa melihat kejauhan dalam dekat, niscaya
melembutkannya kepada takut. Sehingga takut itu, membawanya kepada
tingkat yang lain dalam kedekatan dibalik tingkat itu. Barangsiapa
melihat kedekatan dalam jauh, niscaya membawa ia tertipu dengan
keamanan, yang membawanya kepada tingkat yang lain dalam kejauhan itu,
dibawah daripada apa yang ada padanya.
Manakala
ia melihat dirinya sendiri dengan pandangan kesenangan, niscaya ia
menjadi terhijab dengan dirinya sendiri. Apabila telah melewati batasan
memandang kepada diri sendiri dan tidak memandang lagi selain kepada
Allah Ta'ala dalam tilawah itu, niscaya terbukalah baginya rahasia alam
ghaib (sirrul-malakut). Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani r.a.: "Berjanji
Ibnu Tsauban dengan saudaranya untuk berbuka puasa padanya. Maka
terlambatlah Ibnu Tsauban sampai kepada terbit fajar. Keesokan harinya.
ia berjumpa dengan saudaranya itu, seraya bertanya kepadanya: "Engkau
berjanji dengan aku, bahwa engkau berbuka puasa padaku, lalu engkau
menyalahi janji itu".
Menjawab
Ibnu Tsauban: "Kalau tidaklah aku berjanji dengan engkau, niscaya tidak
aku ceriterakan kepada engkau, akan sebab yang menghambatkan aku
daripada engkau. Sesungguhnya setelah aku mengerjakan shalat 'Isya',
lalu aku bertanya kepada diriku sendiri: "Apakah aku mengerjakan shalat
witir sebelum aku datang kepada engkau, karena aku tiada merasa
terpelihara dari kematian yang akan datang. Tatkala aku dalam do'a
witir, lalu terangkatlah kepadaku suatu taman yang hijau, didalamnya
berbagai macam bunga-bungaan sorga.
Maka
senantiasalah aku memandang kepadanya sehingga pagi hari". Segala yang
tampak ini yang tampak dalam kasyaf - al-mukasya-fat), i'idak ada
kecuali setelah melepaskan diri dari hawa- nafsu. Tidak menoleh
kepadanya dan kepada segala keinginannya.
Kemudian dikhususkan al-mukasyafat
ini, menurut keadaan al-mu-kasyif yang memperoleh kasyaf). Maka dimana
ia membaca ayat-ayat harapan (ar-roja') dan membanyakkan kegembiraan
pada keadaannya, niscaya terbukalah baginya gambaran sorga. Lalu
dipersaksikannya, seakan-akan dilihatnya dengar: mata kepala. Dan
jikalau membanyak padanya ketakutan, niscaya diberikan kep'adanya kasyaf
dengan neraka, sehingga ia melihat akan berbagai macam azabnya. Yang
demikian itu, adalah karena Kalam Allah 'Azza wa Jalla melengkapi kepada
mudah yang lemah-lembut, keras yang menggetarkan. yang diharapkan dan
yang Jiiakutkan, yang mana itu menurut sifat-sifatnya. Karena sebahagian dari fat-sifatnya itu, adalah kerahmatan, ke lemah- lembutan, pembalasan dan kekerasan.
Maka
dengan semata-mata menyaksikan kata-kata dan sifat-sifat, ialu
bertukarlah hati dalam bermacam keadaan. Dan dengan semata-mata keadaan
itu. maka sebahagian daripadanya menyediakan diri bagi mukasyafah.
dengan sesuatu yang sesuai dengan keadaan itu dan yang rnenginibanginya.
Karena mustahillah ada keadaan orang yang mendengar itu semacam dan
yang didengar itu berbeda daripadanya. Karena padanya, ada kalam yang
merelai. kaiam yang memarahi, kalam yang mcanugerakan keni'matan, kalam
yang memberikan tuntutan pambalasan, kalam perkasa yang menyombong yang
tidak memperdulikan dan kalam yang mempunyai kerahmatan, lemah "lembut yang tidak disia-siakan.
BAB KEEMPAT: tentang pemahaman Al-Our-an dan pentafsirannya dengan buah pikiran tanpa naql (diambil dari Nabi صلى الله عليه وسلم, atau shahabat).
Semoga
anda mengatakan.. bahwa aku telah mengagungkan pada keterangan yang
lalu. tentang pemahaman rahasia-rahasia Al-Qur'an dan apa yang terbuka
bagi orang-orang yang berhati suci, dari segala pengertian Al-Qur'an.
Maka bagaimanakah disunatkan yang demikian? Sedang Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda:
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
(Man fassaral-qur-aana bi-riryhi fat-yata-bawwa" maq'adahu minar-naar). Artinya:
"Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya, maka
sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api neraka". (1).
Dan
dari inilah. dilecehkan oleh ahli ilmu tafsir secara dlahir, akan
ahli-ahli tasawuf, dari ahli-ahli tafsir yang dikatakan berminat kepada
tasawuf, tentang penta'wilan kalimat-kalimat dalam Al-Quran, berbeda
dari apa yang dinaqlkan dari Ibnu 'Abbas dan penafsir-penafsir yang
lain. Dan mereka berpendapat, bahwa itu kufur.
Maka kalau benarlah.
apa yang dikatakan oleh ahli tafsir tadi, maka apakah arti memahami
Al-Quran selain daripada menghafal tafsirnya? Dan kalau yang demikian
itu tidak benar, maka apakah artinya sabda Nabi صلى الله عليه وسلم.:
"Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya,
maka sesungguhnya dia menyediakan tempat duduknya dari api nereka?"
(2).
Maka
ketahuilah kiranya, bahwa orang yang menda'wakan, tak ada pengertian
bagi Al-Qur'an, selain dari yang diterjemahkan oleh tafsir secara
dhahir, maka dia itu adalah orang yang menerangkan tentang batas
dirinya. Dan dia itu betul pada menerangkan tentang dirinya, tetapi ia
salah dalam hukum, dengan mengembalikan makhluk seluruhnya? kepada
tingkatnya, yang menjadi batas dan tempatnya Bahkan hadits-hadits dan
atsar menunjukkan, bahwa pada pengertian Al-Qur'an itu adalah amat luas
bagi orang-orang yang berpaham. Berkata 'Ali r.a.: "Melainkan, bahwa didatangkan oleh Allah akan hamba yang memahami akan Al-Qur'an". Kalau tidaklah ada selain dari terjemah yang dinaqlkan, maka apakah pemahaman itu? Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم.: "Sesungguhnya Al-Qur'an itu, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan" (3).
Diriwayatkan
pula, yang demikian dari Ibnu Mas'ud yang dimauqufkan padanya(riwayat
hadits itu terhenti pada Ibnu Mas'ud saja), sedang dia adalah dari ulama
tafsir.
1.Dirawikan AtTirmidzi Dari Ibnu Abbas dan dipandangnya hadith Hassan. 2.Hadis Yang di Atas TAdi. 3.Dirawikan Ibnu Hibban dari Ibnu Masud, Hadis Marfu
Maka apakah arti nya: dhahir dan batin batas dan permulaan'? Berkata 'Ali-dimuliakan
Allah akan wajahnya —: "Kalau aku kehendaki, niscaya aku buatkan yang
membebani tujuhpuluh ekor unta dari tafsir Al-Fatihah itu''.
Apakah artinya itu, sedang tafsir dhahirnya adalah sangat pendek? Berkata Abu'-Darda": "Tidak berpahamlah seseorang, kecuali ia membuat bagi Al-Quran beberapa wajah".
Berkata setengah ulama: "Bagi tiap-tiap ayat itu enampuluh ribu paham dan apa yang masih tinggal dari pemahamannya itu, adalah lebih banyak lagi".
Berkata sebahagian ulama yang lain: "Al-Qur'an itu mengandung tujuh puluh tujuh ribu dua ratus ilmu, karena tiap-tiap perkataan itu satu ilmu. Kemudian, berlipat ganda yang demikian itu empat kali. Karena tiap-tiap perkataan, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan". Diulang-ulangi oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم akanبسم الله الرحمن الرحيم "Bismi'llahi'rrahmani'rrahim" duapuluh kali, tidak adalah yang demikian, kecuali untuk bertada'bbur akan batin pengertiannya. . Kalau bukanlah bagitu, maka penterjemahan dan penafsiran nya adalah jelas, tidak memerlukan bagi orang seperti Nabi صلى الله عليه وسلم. kepada mengulang-ulangi.
Berkata setengah ulama: "Bagi tiap-tiap ayat itu enampuluh ribu paham dan apa yang masih tinggal dari pemahamannya itu, adalah lebih banyak lagi".
Berkata sebahagian ulama yang lain: "Al-Qur'an itu mengandung tujuh puluh tujuh ribu dua ratus ilmu, karena tiap-tiap perkataan itu satu ilmu. Kemudian, berlipat ganda yang demikian itu empat kali. Karena tiap-tiap perkataan, mempunyai dhahir dan batin, batas dan permulaan". Diulang-ulangi oleh Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم akanبسم الله الرحمن الرحيم "Bismi'llahi'rrahmani'rrahim" duapuluh kali, tidak adalah yang demikian, kecuali untuk bertada'bbur akan batin pengertiannya. . Kalau bukanlah bagitu, maka penterjemahan dan penafsiran nya adalah jelas, tidak memerlukan bagi orang seperti Nabi صلى الله عليه وسلم. kepada mengulang-ulangi.
Berkata Ibnu Mas'ud r.a.: "Barangsiapa
bermaksud kepada ilmu orang-orang dahulu dan orang-orang kemudian,maka
hendaklah ia bertada'bbur akan Al-Qur'an". Yang demikian itu, tidak akan
berhasil dengan semata-mata tafsirnya yang dhahir saja.
Kesimpulannya,
ilmu pengetahuan itu semuanya masuk dalam af'al Allah 'Azza wa Jalla
dan sifat-sifatNya. Dan dalam Al-Qur'an itu penguraian ZatNya, af'alNya
dan sifat-sifatNya. Dan segala pengetahuan tersebut, tak ada baginya
kesudahan. Dan dalam Al-Qur'an itu, ada penunjukan kepada keseluruhannya
dan tingkat-tingkat dalam mendalami perinciannya. yang kembali kepada
pemahaman Al-Qur'an. Dan semata-mata tafsir dhahir, tidaklah menunjukkan
kepada yang demikian. Tetapi tiap-tiap yang membawa kepada kesulitan
bagi pemerhati-pemerbati dan bersehsih padanya orang banyak tentang
pandangan dan pemikiran,maka didalam Al-Qur'an terdapat tanda-tanda
(rumuz) dan penunjuk-penunjuk kepadanya, yang hanya
ahli paham yang dapat mengetahuinya. Maka bagaimanakah dapat sempurna
dengan demikian itu, terjemahan dhahirnya dan penafsirannya saja? Karena
itulah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bacalah Al-Qur'an dan carilah yang ganjil-ganjil (ghara-ib) daripadanya". Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم dalam hadits yang diriwayatkan Ali dimuliakan Allah akan wajahnya: "Demi
Allah yang mengutuskan aku dengan sebenarnya menjadi nabi! Sesungguhnya
akan bercerai-berai umatku dari pokok agamanya dan kumpulannya kepada
tujuhpuluh dua golongan.
Semuanya
sesat menyesatkan, yang membawa mereka kepada neraka. Apabila telah ada
yang demikian, maka haruslah kamu berpegang teguh dengan Kitab Allah
'Azza wa Jalla (Al Quran). Karena didalamnya, berita orang-orang yang
sebelum kamu dan berita terrtang apa yang akan datang sesudah kamu. Dan
hukum yang dijalankan diantara kamu, oleh orang-orang yang berkuasa,
yang menyalahi akan Al-Qur'an. Dia dibinasakan oleh Allah 'Azza wa
Jalla. Barangsiapa mencari ilmu yang lain dari Al-Qur'an. niscaya dia
disesatkan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Al-Qur'an itu, adalah tali Allah
yang mahakokoh, nurNya yang menerangkan. obatNya yang bermanfa'at,
pemeliharaan bagi orang yang berpegang dengan dia dan kelepasan bagi
orang yang mengikutinya. Tiada ia bengkok maka AI-Qur-anlah yang
meluruskan. Tiada ia menyeleweng maka Al-Quranlah yang membetulkan.
Tidak akan habis-habis keaja'ibannya dan tidak akan diburukkan dia oleh
banyak ulang-ulangan".......sampai akhir hadits (1).
Pada hadits Hudzaifah. tersebut: "Tatkala diceriterakan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم kepada
Hudzaifah, akan pcrselisihan dan pecrpecahan sesudahnya, dimana
Hudzaifah menerangkan: "Lalu aku bertanya: "Wahai Rasulu'llah! Apakah
kiranya yang engkau suruhkan aku, kalau aku dapati masa itu?"'
Nabi صلى الله عليه وسلم menjawab:
"Pelajarilah Kitab Allah, laksanakanlah apa yang tersebut didalamnya.
Maka itulah. yang mengeluarkan dari yang demikian!"
Menyambung Hudzaifah ceriteranya: "Maka aku ulangi pertanyaan itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلم tiga kali". Maka Nahi صلى الله عليه وسلم pun
bersabda tiga kali: "Pelajarilah Kitab Allah 'Azza wa Jalla,
lakksanakanlah apa yang tersebut didalamnya! Maka padanyalah kelepasan".
Berkata 'Ali —
dimuliakan Allah akan wajahnya: "Barangsiapa memahami akan Al-Qur'an.
niscaya ia telah menafsirkan akan sejumlah iimu-pengetahuan".
Ditunjukkan oleh 'Ali dengan ucapannya itu, bahwa Al-Qur'an menunjukkan
kepada kumpulan ilmu pengetahuan seluruhnya. Berkata Ibnu 'Abbas r.a.
tentang firman Allah Ta'ala :
وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
(Wa man yu'ta'l-hikmata faqad uutia khairan katsiiraa".) - S. Al-Baqarah. ayat 269.
Artinya:
"Dan orang yang diberiNya hikmah (kebijaksanaan) itu. sesungguhnya
telah diberi kebaikan yang banyak" - ya'ni: memahami akan Al-Qur'an.
1. Hadits ini gharib dan isnadnya majhul.
|
Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: 'Dan Kami memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukuman (yang lebih tepat) itu. Dan kepada masing-masing, kami berikan ilmu hukum dan pengetahuan". — S. Al-Anbiya. ayat 79.
Dinamakan apa yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada keduanya (Daud dan Sulaiman). pengetahuan dan ilmu hukum dan dikhususkanNya bagi Sulaiman sendiri dengan mendalaminya, dengan nama: pemahaman Dan dijadikanNya mendahului kepada ilmu hukum dan pengetahuan.
Maka
segala hal tersebut menunjukkan, bahwa pada pemahaman segala pengertian
Al-Qur'an itu jalan yang lapang dan tempat yang luas menyampaikan. Dan
yang dinaqalkan dari penafsiran dhahir itu, tidaklah merupakan
pengertian yang terakhir.
Adapun sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan buah pikirannya......." dan larangan Nabi صلى الله عليه وسلم daripadanya
dan ucapan A.bubakar r.a.: "Bumi mana pun yang menempatkan aku dan
langit manapun yang menaungi aku, apabila aku mengatakan pada Al-Qur'an
menurut buah pikiranku......." dan lain sebagainya, dari apa yang
datang pada hadits dan atsar, tentang pelarangan panafsiran Al-Qur'an
dengan buah pikiran, maka itu tidak tersembunyi: adakalanya yang
dimaksudkan dengan yang demikian, ialah: terbatas kepada naqal dan yang
didengar saja, serta meninggalkan pemahaman dan kebebasan berpaham. Atau
dimaksudkan: hal yang lain dari itu. Dan batillah benar-benar. kalau
yang dimaksdkan dengan itu, bahwa tidak boleh seseorang memperkatakan
tentang Al-Qur'an selain daripada apa yang didengarnya, disebabkan
karena beberapa segi.
Pertama: disyaratkan bahwa yang demikian itu, adalah didengar dari pada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم,
dan disandarkan kepadanya. Dan yang demikian, terrnasuklah yang tidak
dijumpai, selain pada sebahagian saja dari Al-Qur'an. Adapun
seperti yang dikatakan oleh Ibnu 'Abbas dan Ibnu Mas'ud dari pihaknya
sendiri. maka seyogiaiah tidak diterima. Dan boleh dikatakan, bahwa itu
adalah; penafsiran dengan buah pikiran, karena mereka tidak mendengarnya
daripada Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم Dan begitu juga dengan shahabat-sahabat yang lain-direlai Allah kiranya mereka sekalian.
Kedua: para
shahabat dan penafsir-penafsir (al-mufa'ssirin). berselisih tentang
penafsiran sebahagian ayat. Mereka mengatakan berbagai macam perkataan
yang berlainan, yang ridak mungkin dipersatukan. Dan mendengar semuanya
itu dari Rasulu'llah صلى الله عليه وسلم,
adalah hal yang mustahil. Jikalau sstu yang didengar, maka tertolaklah
yang selebihnya. Maka nyatalah, bahwa masing-masing penafsiran itu
mengatakan tentang sesuatu pengertian, menurut apa yang zahir kepadanya,
dengan pemahamannya.
Sehingga
mereka mengatakan tentang huruf-huruf pada awal beberapa surat, tujuh
macam perkataan yang berbeda-beda, yang tidak mungkin dipersatukan. Maka
ada yang mengatakan, bahwa alif itu Allah, lam itu lath'f (lemah lembut) dan ra itu
rahim.Dan ada yang mengatakan, lain dari itu. Dan mempersatukan
(mengumpulkan) diantara semuanya, tidak mungkin. Maka bagaimanakah,
adanya semuanya itu didengar?
Ketiga: bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم telah berdo'a untuk Ibnu 'Abbas r.a. dengan mengucapkan: "Ya Allah Tuhanku! Anugerahilah dia pemahaman dalam agama dan ajarilah dia penta'wilan!"
Kaiau penta'wilan itu menurut yang didengar seperti ayat yang
diturunkan dan dihafalkan seperti ayat itu, maka apakah artinya
mengkhususkan Ibnu 'Abbas dengan demikian?
Keempat: bahwa Allah 'Azza wa Jalla berfirman: "Tentulah orang-orang yang memperhatikan itu, akan dapat mengetahui yang sebenarnya" -
S An-Nisa' ayat 83. Maka diakuiNya adanya penelitian bagi ahli ilmu.
Dan sesungguhnya diima'lumi, bahwa yang demikian itu adalah tanpa
mendengar.
Kesimpulan
dari apa yang kami naqalkan dari atsar-atsar mengenai pemahaman
Al-Qur'an, adalah berlawanan dengan khayalan itu. Maka batallah
disyaratkan mendengar untuk penta'wilan. Dan bolehlah bagi tiap-tiap
orang mengambil pemahaman dengan ketelitian (ber-istinbath) dari
Al-Qur'an menurut kesanggupan pemahaman dan ketajaman akal pikirannya.
Adapun larangan, maka itu ditempatkan diatas salah satu dari dua segi.
Pertama: bahwa
dia mempunyai pendapat tentang sesuatu dan kecondongan tabi'at dan
hawa-nafsunya kepada sesuatu itu. Lalu dita'wilkannya Al-Qur'an menurut
pendapat dan hawa-nafsunya tadi, untuk membuktikan benar maksud
tujuannya. Dan kalau ia tidak mempunyai pendapat dan hawa-nafsu itu,
niscaya tidak menampak pengertian itu baginya dari Al-Qur'an.
Sekali, ini adalah disertai pengetahuan, seumpama orang yang mengambil dalil dengan sebahagian ayat Al-Qur'an untuk membenarkan bidahnya. Sedang ia tahu bahwa itu tidaklah yang dimaksudkan dengan ayat yang dibacakannya itu, tetapi di kacau- balaukannya untuk mengalahkan Iawannya.
Sekali, adalah disertai kebodohan. Tetapi apabila ayat itu mempunyai kemungkinan, lalu condonglah pemahamannya kepada segi yang sesuai dengan maksudnya. Dan segi itu dikuatkannya dengan pendapat dan hawa-nafsunya.
Maka ia telah menafsirkan Al-Qur'an menurut pendapatnya. Artinya: pendapatnya yang mendorong dia kepada penafsiran itu. Kalau tidaklah akal pikirannya, niscaya tidaklah menguat cara itu padanya. Dan sekali, kadang-kadang :a mempunyai maksud yang benar, lalu ia mencari dalil dari Al-Qur'an. Dan ia mengambil dalil dengan apa yang diketahuinya, bahwa sebenarnya tidaklah dimaksudkan dengan yang demikian. Seumpama orang yang berdo'a, minta diampunkan dosanya dengan makan sahur, lalu mengambil dalil dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bersahurlah, sesungguhnya pada bersahur itu mempunyai barakah".
Sekali, ini adalah disertai pengetahuan, seumpama orang yang mengambil dalil dengan sebahagian ayat Al-Qur'an untuk membenarkan bidahnya. Sedang ia tahu bahwa itu tidaklah yang dimaksudkan dengan ayat yang dibacakannya itu, tetapi di kacau- balaukannya untuk mengalahkan Iawannya.
Sekali, adalah disertai kebodohan. Tetapi apabila ayat itu mempunyai kemungkinan, lalu condonglah pemahamannya kepada segi yang sesuai dengan maksudnya. Dan segi itu dikuatkannya dengan pendapat dan hawa-nafsunya.
Maka ia telah menafsirkan Al-Qur'an menurut pendapatnya. Artinya: pendapatnya yang mendorong dia kepada penafsiran itu. Kalau tidaklah akal pikirannya, niscaya tidaklah menguat cara itu padanya. Dan sekali, kadang-kadang :a mempunyai maksud yang benar, lalu ia mencari dalil dari Al-Qur'an. Dan ia mengambil dalil dengan apa yang diketahuinya, bahwa sebenarnya tidaklah dimaksudkan dengan yang demikian. Seumpama orang yang berdo'a, minta diampunkan dosanya dengan makan sahur, lalu mengambil dalil dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Bersahurlah, sesungguhnya pada bersahur itu mempunyai barakah".
Ia
menda'wakan, bahwa yang dimaksudkan dengan itu, ialah bersahur dengan
dzikir. Dan ia tahu, bahwa yang dimaksudkan ialah makan. Dan seumpama
orang yang menyerukan kepada melatih (mujahadah) hati yang kesat, lalu ia mengatakan: "Berfirman Allah 'Azza wa Jalla: "Pergilah kepada Fir'aun: sesungguhnya dia durhaka meliwati batas" - S. Tha Ha, ayat 24. Ditunjukkannya kepada hatinya dan diisyaratkannya, bahwa hatilah yang dimaksudkan dengan: Fir'aun.
Hal yang
seperti ini, kadang-kadang dipakai oleh sebahagian juru nasehat pada
maksud-maksud yang benar. untuk membaguskan perkataan dan menyukakan
pendengar, hal mana, adalah dilarang. Kadang-kadang dipakai oleh
golongan batiniyah pada maksud-maksud yang salah, untuk menipu manusia
dan mengajak mereka kepada alirannya yang batil, Maka ditempatkan oleh
mereka akan Al-Qur'an, sesuai dengan pendapat dan alirannya, diatas
hal-keadaan yang diketahui mereka benar-benar, bahwa tidaklah
dimaksudkan dengan demikian.
Kepandaian-kepandaian yang seperti itu, adalah salah satu dari dua segi yang
dilarang dalam menafsirkan menurut akal pikiran. Dan yang dimaksudkan
dengan buah pikiran tadi, ialah: buah pikiran yang salah, yang sesuai
dengan hawa-nafsu. tanpa ijtihad yang benar. Dan buah pikiran itu.
terdiri dari: yang benar dan yang salah. Dan yang bersesuaian dengan hawa-nafsu, kadang-kadang dikhususkan juga dengan nama: buah-pikiran.
Segi
kedua: bahwa bergegas-gegas kepada menafsirkan Al-Qur'an dengan yang
dhahir saja dari bahasa Arab, tanpa dibantu dengan mendengar dan
menaqalkan,tentang yang berhubungan dengan yang gharib-gharib dari
Al-Qur'an, kata-kata yang tidak begitu jelas (lafadh mubham), kata-kata
yang digantikan, yang diringkaskan, dibuang, disembunyikan, didahulukan
dan dikemudiankan. Maka orang yang tidak berpegang teguh kepada yang
dhahir dari penafsiran dan bersegera kepada mengambil pengertian dengan
semata-mata pemahaman bahasa Arab, niscaya banyaklah salahnya. Dan
masuklah dia dalam golongan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan buah
pikiran. Menaqalkan dan mendengar itu harus ada, pada yang dhahir dari
penafsiran, pada pertama kali. Supaya terpelihara dari tempat-tempat
yang mungkin mendatangkan kesalahan. Kemudian, sesudah itu, barulah
meluas pemahaman dan penelitian. Yang gharib-gharib dari Al-Qur'an —
yang tidak dipahami kecuali dengan mendengar - itu banyak. Akan kami
tunjukkan sejumlah besar daripadanya. untuk dibuat menjadi dalil kepada
yang lain-lain yang mcnyerupainya. Dan diketahuilah kiranya, bahwa tiada
boleh dipermudah-mudahkan, dengan penghafalan pertama-tama tafsir yang
dhahir. Dan tiada harapan akan sampai kepada yang batin, sebelum
mengokohkan yang dhahir. Barangsiapa menda'wakan telah memahami segala
rahasia Al-Qur'an dan tiada teguh mengetahui tafsir yang dhahir, maka
dia adalah seperti orang yang menda'wakan telah sampai kedalam rumah,
sebelum melewati pintu. Atau menda'wakan telah memahami segala maksud
orang-orang Turki dari percakapan mereka, sedang dia tidak mengerti
bahasa Turki.
Sesungguhnya
tafsir yang dhahir itu berlaku seperti pengajaran bahasa, yang tak
boleh tidak untuk pemahaman. Dan yang tak boleh tidak, yang diperoleh
dari mendengar itu, mempunyai banyak kepandaian. Sebagian dari padanya:
menyingkatkan dengan dibuang dan disembunyikan, seperti firman Allah
Ta'ala: وَآتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا (Wa atainaa tsamuudan-naaqata mubshiratan fadha-lamuu bihaa) — S. Ai-Isra', ayat 59.
Kalau menurut kata-katanya, maka dapat diartikan: "Kami berikan kepada Tsamud unta betina yang melihat jelas, lalu mereka berbuat zalim dengan unta betina itu" Yang
dimaksudkan: bukan unta betina yang melihat jelas (mubshiratan), tetapi
ada kata-kata yang dibuang sebelum mubshiratan, yaitu: ayatan. Sehingga
artinya menjadi: suatu tanda bukti yang menampak jelas. Begitu pula:
mereka berbuat zalim dengan unta betina itu, maksudnya dengan:
membunuhnya.
Orang
yang melihat kepada yang dhahir dari bahasa Arab, menyangka, bahwa yang
dimaksudkan, ialah: unta betina itu yang melihat jelas, tidak dia itu
buta. Dan ia tidak mengetahui: dengan apa mereka itu menganiayakan
(berbuat zalim). Dan apakah mereka itu berbuat aniaya kepada orang lain
atau kepada diri mereka sendiri.
Dan firman Allah Ta'ala:وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ "Wa usyribuu fii QuluubihimuTijla bikufrihim" - S. Al-Baqarah, ayat 93.
Artinya: "Diminumkan mereka didalam hatinya, akan anak lembu, dengan sebab kekafirannya". Ya'ni: mencintai anak lembu dan kata-kata: mencintai itu, dibuang. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla:إِذًا لأذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ "Idzan
la-adzaqnaaka dli'fa-hayati wa dli'fa'lmamaati". - S. Aisra', ayat 75.
A.rtinya: "Kalau hal itu terjadi, tentulah akan Kami rasakan kepada
engkau berlipat ganda kehidupan dan berlipat ganda kematian". Ya'ni:
berlipat ganda azab bagi segala orang yang hidup dan berlipat ganda azab
bagi segala orang yang mati. Maka dibuang kata-kata: azab. Dan
digantikan kata-kata al-ahya' (orang-orang yang hidup) dan al-mauta
(orang-orang yang mati), dengan menyebutkan: al-hayati (kehidupan) dan
al-mauti (kematian).Semuanya itu dibolehkan dalam kefasihan bahasa. Dan
firman Allah Ta'ala:
Artinya
menurut kata-kata: "Bertanyalah kepada negeri tempat kami berada atau
kepada kafilah yang serombongan pulang dengan kami". Ya'ni: kepada
penduduk negeri (ahli'l-qaryah) dan yang punya kafilah (ahirHr). Maka
kata-kata: al-anli pada keduanya: dibuang, disembunyikan Dan firman
Allah Azza wa Jalla:ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Tsaqulat
fi'ssanisawaati wa'l-ardli) - S. Al-A'raf, ayat 187. Artinya secara
dhahir kata-kata: "Beratlah dia (kiamat) itu dilangit dan dibumi".
Pengertian: "Sangat tersembunyilah kiamat itu kepada penduduk langit dan bumi.
Dan sesuatu itu apabila tersembunyi, niscaya berat. Lalu digantikan
kata-kata: tersembunyi dengan kata-kata: berat. Dan ditempatkan
pada tempat yang diatas Lalu disembunyikan kata-kala 'al-ahli"
(penduduk) dan dibuang.
Dan firman Allah Ta'ala أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ , وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ "Wa taj'aluuna rizqakum a'nnakum tukadz-dzibuun" - S. Al-Waqi'ah, ayat 82. Artinya menurut kata-kata: "Kamu jadikan rezekimu untuk mendustakan (kebenaran) .' Ya'ni: kesyukuran dari rezekinu;.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla.وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ آتِنَا مَا "Aatinaa maa wa'attanaa alaa rusulika" - S. Ali 'Imran, ayat 194. Artinya: "Berikanlah kami apa yang telah Engkau janjikan dengan perantaraan rasul-rasul Engkau", ya'ni:
dengan perantaraan lisan rasul-rasul Engkau. Maka kata-kata: lisan itu
dibuang. Dan firman Allah Ta'ala: "Irmaa anzalnaahu fiilailati'l-qadr" -
S Al-Qadr, ayat 1. Artinya: 'Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan (lailatul-qadr)" -
dimaksudkan yang diturunkan itu, ialah: Al-Qur'an dan apa yang telah
disebutkan sebelumnya. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Ha't-taa
tawaarat bil-hijaab" - S. Shad, ayat 32. Artinya: "Sehingga ia tersembunyi dengan tabir (malam)". Yang
dimaksudkan ialah: matahari dan apa-apa yang telah disebutkan
sebelumnya. Dan firman Allah Ta'ala: "Wa lladziina'ttakhadzuu min
duunthi auliaa-a maa na' buduhum illaa liyu-qa'rribunaa ilallahi zulfaa —
S. Az-Zumar, ayat 3. Artinya: "Dan orang-orang yang mengambil
pelindung-pelindurng selain dari Tuhan itu: Kami tiada menyembahnya
melainkan untuk membawa kami lebih dekat kepada Allah". Ya'ni: mereka mengatakan: kami tidak menyembahnya.........
Dan firman Aila Azza wa. Jalla: "Tetapi
mengapa orang-orang itu tidak mengerti akan sesuatu kejadian? Apa-apa
kebaikan yang engkau peroleh itu, datangnya dari Allah dan apa-apa
bahaya yang menimpa engkau itu, berasal dan dirimu sendiri" - S.
An-Nisa', ayat 78 dun 79. Maksudnya: mereka tiada mengerti sesuatu
kejadian, dimana mereka itu mengatakan: apa-apa kebaikan yang engkau
peroleh itu,datangnya dari Allah. Kalau bukan begitu maksudnya. artinya:
menambahkan kata-kata: dimana mereka itu mengatakan. maka adalah
berlawanan dengan firman Allah Ta'ala: 'Katakanlah! Semuanya daripada Allah" - S. An-Nisa', ayat 78. (Dalam ayat yang baru tadi diatas). Dan mazhab "Al-Qa-dariah" telah dahulu kepada pemahaman daripadanya.
Sebahagian
daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, ialah yang dinaqalkan,
lagi terbalik, seperti firman Allah Ta'ala: "Wa thuuri siinisn" - S
Attin, ayat 2. Artinya: Thur Sina! Dan firman Ailah Ta'ala: "Saiaarnun
'alaa il Yaasin - S. Ash-Shaffat, ayat 130. Artinya: Keselamatan untuk Ilyas.Dan
ada yang mengatakan: untuk Idris, karena menurut huruf tulisan Ibnu
Mas'ud: Salamun 'ala Idrasin". Sebahagian daripada yang diperoleh dengan
mendengar itu, ialah berulang-ulang. yang memutuskan sambungan kalirnat
(kalam) pada dhahir, seperti firman Allah Azza wa Jalla: "Tiadalah
diikuti oleh mereka yang menyembah sekutu-sekutu, selain Allah; tiadalah
mereka ikuti, selain daripada persangkaan saja" - S, Yunus, ayat 66.
Maksudnya: Tiada diikuti oleh mereka yang menyembah sekutu-sekutu, melainkan persangkaan saja.
Dan firman Allah Azza wa Jalla: "Berkatalah beberapa orang yang menyombong dari kaumnya kepada mereka yang lemah, kepada orang yang beriman daripada mereka" - S. Al-A'raf. ayat 75. Maksudnya: Berkata mereka yang sombong kepada orang yang beriman dari orang-orang yang lemah.
Sebahagian
daripada yang diperoleh dengan mendengar itu. ialah didahulukan dan
dikemudiankan. Dan inilah menjadi tempat sangkaan bagi kesalahan,
seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan jikalau tidaklah perkataan
telah terdahulu dari Tuhanmu, sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah
semestinya (dicepatkan) dan waktu yang ditetapkan"- S. Tha Ha, ayat
129. Maksudnya: "Jikalau tidaklah perkataan dari Tuhan dan waktu yang
ditetapkan, niscaya sesungguhnya adalah (hukuman) itu sudah semestinya
(dicepatkan). Dan kalau tidak, niscaya ia ditegakkan, seperti yang
semestinya".
Dan berfirman Allah Ta'ala: "Mereka bertanya kepada engkau, seakan-akan engkau dapat menerangkan nya "-S.Al-A'raf, ayat 187. Ya'ni: mereka menanyakan engkau dari hal (kiamat), seakan-akan engkau dapat menerangkannya.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia. Sebagaimana dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran" -
S. Al-Anfal, ayat 4 dan 5. Kalam tersebut tidak bersambung. Dan kembali
kepada firmanNya yang lalu, yaitu: Quli'l-anfaalu li'llaahi wa'rrasuul"
— S. Al-Anfal, ayat 1. Ya'ni: Katakanlah, segala rampasan perang itu, kepunyaan Allah dan Rasul. Sebagaimana
dikeluarkan engkau oleh Tuhan dari rumah engkau dengan kebenaran!
Artinya: maka jadilah segala rampasan perang itu untuk engkau, karena
engkau menyetujui dengan keluar engkau , sedang mereka itu (segolongan
dari orang mu'min) tidak menyukai. Maka membelintanglah diantara Kalam
itu. amar (disuruh) dengan taqwa dan lainnya.
Dan sebahagian dari macam ini, ialah Firman Allah 'Azza wa Jalla: "Sehingga kamu beriman dengan Allah Tuhan Yang Mahaesa, kecuali kata Ibrahim kepada ayahnya......sampai akhir ayat". S. Al-Mumtahanah,ayat 4.
Sebahagian
daripada yang diperoleh dengan mendengar itu, kata-kata mubham (tidak
begitu tegas), yaitu: kata-kata yang digunakan diantara beberapa
pengertian, dari kata-katanya atau dari hurufnya. Adapun kata-kata, maka
seperti: sesuatu (asy-syai'), teman (alqarin), umat (al-ummah), nyawa
(ar-ruh) dan lain-lain sebagainya. Berfirman Allah Ta'ala: "Allah Ta'ala
membuat perumpamaan, yaitu seorang hamba sahaya kepunyaan (orang lain),
tidak berkuasa atas sesuatu" - S. An-Nahl, ayat 75. Dimaksudkan dengan
sesuatu itu, yaitu: perbelanjaan dari apa yang diberikan rezeki
kepadanya.
Dan
firman Allah 'Azza wa Jalla: "Dan Allah Ta'ala membuat perumpamaan, dua
orang laki-laki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatu" — S.
An-Nahl, ayat 76. Ya'ni: suruhan dengan keadilan dan kelurusan.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kalau engkau mengikuti aku, maka janganlah ditanyakan
kepadaku tentang sesuatu" - S. Al-Kahf, ayat 70. Yang dimaksudkan
dengan sesuatu itu, dari sifat-sifat ketuhanan, yaitu: ilmu yang tidak
boleh ditanyakan. Sehingga orang yang mengetahuinya, memulai pada waktu
yang mustahak.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Merekakah yang diciptakan dari tiada suatu apa ataukah mereka yang menciptakan?" -
S. Ath-Thur, ayat 35. Ya'ni: dari tanpa khaliq (Pencipta).
Kadang-kadang meragukan, bahwa itu menunjukkan kepada: tidak diciptakan
sesuatu, melainkan dari sesuatu. Tentang al-qarin (teman), maka seperti
firman Allah 'Azza wa Jalla: "Berkata temannya (qarin-nya): Yang
didekatku ini telah siap sedia-catatan amalannya. Diperintahkan
Lemparkanlah kedalam neraka setiap orang yang kafir" - S. Qaf, ayat
23 dan 24. Yang dimaksudkan dengan al-qarin itu, ialah: malaikat yang
diserahkan tugas menuliskan segala pekerjaannya. "
Firman Allah Ta'ala: 'Temannya (qarinnya) berkata: Wahai Tuhan kami! Aku tiada membawanya kepada kejahatan, tetapi dia sendiri berada dalam kesesatan yang jauh itu" - S. Qaf, ayat 27. Yang dimaksudkan dengan teman (al-qarin) disitu, ialah: setan.
Tentang umat (al-ummah), -maka ditujukan kepada delapan macam:
1.Umat dengan arti: sekumpulan, seperti firman Allah Ta'ala: "Didapatinya disana sekumpulan (ummatan) orang yang sedang memberi minum (binatangnya)" — S. AI-Qashash, ayat 23.
2.Dengan arti: pengikut nabi-nabi, seperti kita katakan: Kami ini dari umat (pengikut) Muhammad صلى الله عليه وسلم
3.Dengan
arti; seorang yang berkumpul padanya sifat-sifat yang baik, yang
diikuti, seperti firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya Ibrahim adalah
(ummatan) yang patuh kepada Allah" - S. An-Nahl, ayat 120.
4.Dengan
arti: agama, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kami dapati
bapa-bapa kami mengikuti suatu agama (ummatin)"— S. Az-Zukhruf, ayat 22
5.Dengan
arti: waktu dan masa, seperti finnan Allah 'Azza wa Jalla: "Kalau Kami
undurkan dari mereka siksaan itu, sampai waktu yang ditentukan (ummatin
ma'duudah)" S - Hud, ayat 8. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla: "Kemudian
baru teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa lama (ba'da ummatin)" - S.
Yusuf ayat 45.
6.Dengan arti: bentuk badan (al-qamah), seperti dikatakan: Si Anu itu bentuk badannya bagus (husnu'l-ummah).
7.Dengan
arti: seorang yang sendirian dengan sesuatu agama, tidak ada seorangpun
yang lain bersama dia menganut agama itu, seperti sabda Nabi صلى الله عليه وسلم "Diutuskan Zaid bin 'Amr bin Nufail sebagai umat yang sendirian".
8.Dengan arti: ibu, seperti dikatakan: Ini, ibu si Zaid (Ummatu Zaid), artinya: ummu (ibu) Zaid.
Ruh (nyawa) juga terdapat dalam Al-Qur'an, dengan pengertian yang banyak dan tidak kami panjangkan penjelasan nya.
Begitu pula, kadang-kadang terdapat yang meragukan pada huruf-huruf, seperti firman Allah 'Azza wa Jalla:
(Fa-atsarna
bi-hi naq'an, fa wasathna bi-hi jam'aa) - Al-'Adiyat, ayat 4 dan 5.
Artinya: "Maka menerbangkan debu dan menembus ketengah-tengah orang
banyak". Maka ha pertama (hi pada bi-hi pertama), adalah tunjukan yang
tidak tegas (kinayah) dari kuku-kuku hewan (kuda), yang betlari kencang,
menginjakkan batu-batu, yang menerbitkan api. Ya'ni: "Atsarna
bi'l-hawaafiri naq'an" - Artinya: Menerbangkan debu dengan kuku-kuku
hewan itu". Ha kedua (hi pada bi-hi kedua) adalah kinayah dari
penyerbuan (al-igharah), yaitu: yang menyerbu dipagi hari. Lalu menyerbu
ditengah-tengah kaum musyrikin (musuh). sehingga dapat discrang semua mereka itu.
Dan firman Allah Ta'ala: "Lalu Kami turunkan daripadanya air", ya'ni: awan. Lalu Kami keluarkan dengan sebabnya berbagai macam buah-huahan, ya'ni: air ". -
S. AI-A'-raf. ayat 57. yang seperti itu dalam Al-Qur'an, adalah tidak
terhingga banyaknya. Sebahagian daripada yang diperoleh dengan mendengar
itu, ialah: beransur-ansur memberi penjelasan (at-tadrij fil-bayan),
seperti firman Allah 'Azza wa Jalla: "Bulan Ramadlan, yang diturunkan padanya Al-Quran" -
S. Al-Baqarah, ayat 185. Karena tidak jelas dengan itu, apakah malam
atau siang. Lalu jelaslah dengan firmanNya Allah 'Azza wa Jalla: "Sesungguhnya Kami turunkan Al-Quran itu pada malam yang diberkati" S. Ad-Dukhan, ayat 3. Dan tidak dijelaskan dengan itu, pada malam apa? Lain jelaslah dengan firmanNya Ta'ala: "Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Ouran itu, pada malam kemuliaan (lailatu'l-qadar)" - S. Al Qadar, ayat 1. Kadang-kadang timbul persangkaan, bahwa pada dhahirnya. terdapat pertentangan diantara ayat-ayat itu.
Maka
yang tersebut itu dan yang menyerupainya, adalah termasuk hal yang tidak
mencukupi, kecuali dengan naqal dan mendengar. Dari itu, Al-Quran dan
permulaannya sampai kepada penghabisan nya, tiada terlepas dan hal yang
semacam itu. Karena dia diturunkan dengan bahasa Arab, waka ia
melengkapi dengan segala macam susunan kata mereka, dari: dipersingkat
dan diperpanjang, disembunyikan dan dibuang, digantikan. didahulukan dan
dikemudiankan. Supaya adalah yang demikian itu memuaskan bagi mereka
dan melemahkan mereka untuk menirunya (karena Al-Qur'an itu mu'jizat
Nabi صلى الله عليه وسلم Maka
tiap-tiap orang yang merasa cukup dengan memahami yang dhahir saja dan
bahasa Arab dan bersegera menafsirkan Al-Qur'an dan dia tidak meminta
bantuan dengan mendengar dan menaqalkan dalam segala hai itu, niscaya ia
masuk dalam golongan orang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan buah
pikirannya. Seumpama ia memahami dari perkataan "ummah" akan pengertian
yang lebih terkenal, lalu condonglah tabi'at dan pendapatnya kesitu.
Apabila
ia mendengar pada tempat lain, lalu condonglah pendapatnya kepada yang
didengarnya itu daripada pengertiannya yang terkenal. Dan ia tinggalkan
menyefidiki naqal pada kebanyakan dari pengertian Al-Qur'an itu.
Hal ini, tidak mungkin dilarang, tanpa memahami rahasia pengertian Al-Qur'an, sebagaimana telah diterangkan dahulu.
Apabila
telah memperoleh pendengaran, dengan contoh-contoh hal itu, niscaya ia
telah mengetahui tafsir secara dhahir. Yaitu: terjemahan kata-kata. Dan
yang demikian itu, tidak mencukupi untuk memahami hakikat pengertian
Al-Quran. Dan dapat diketahui perbedaan antara: hakikat pengertian dan tafsiran dhahir, dengan contoh.Yaitu: Allah Ta'ala berfirman: وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى (Wa maa ramaita idz ramaita wa laaki'nna'llaaha ramaa). S. Al-Anfal, ayat 17. Artinya: "Bukan engkau yang melemparkan ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar". Maka
tafsiran dhahiriahnya itu jelas dan hakikat pengertiannya itu sulit.
Karena disitu, terdapat adanya lempar dan tidak adanya lempar. Dan
keduanya adalah berlawanan pada dhahiriyahnya, selama tidak dipahami,
bahwa dia melempar dari satu segi dan tidak melempar dari satu segi. Dan
dari segi dia tidak melempar, maka dilemparkan oleh Allah 'Azza wa
Jalla. Begitu pula, firman Allah Ta'ala: قَاتِلُوهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ بِأَيْدِيكُمْ (Qaatiluuhum yu'adz-dzib-humu'llaahu bi-aidiikum) S. Al-Bara'ah(AtTaubah), ayat 14. Artinya: 'Terangilah mereka, Allah akan menyiksa mereka dengan tanganmu".
Apabila mereka itu yang berperang, maka bagaimanakah Allah s.w.t. itu
yang mengazabkan? Dan kalau Allah Ta'ala yang mengazabkan dehgan
menggerakkan tangan mereka, maka apakah artinya mereka itu disuruh
berperang?
Maka
hakikat pengertian ini dapat dipahami dari lautan besar ilmu-mukasyafah,
yang tidak mencukupi dengan tafsiran dhahir saja. Yaitu: hendaklah
diketahui: segi ikatan af'al dengan qudrah yang baharu dan memahami segi
ikatan qudrah. itu dengan Qudrah Allah 'Azza wa Jalla. Sehingga,
setelah jelas beberapa hal yang banyak, -yang sulit-sulit, menjelaslah
kebenaran firmanNya 'Azza wa Jalla: "Wa maa ramaita idz ramaita wa
laaki'nna'llaa ha ramaa" tadi.
Kalau
sekiranya seluruh umur dipergunakan untuk menyingkap segala rahasia
pengertian itu dan apa yang bersangkutan dengan segala mukaddimah dan
hubungannya, niscaya habislah umur itu, sebelum sempurna segala
hubungannya. Dan tidak satu kata pun dari Al-Qur'an, melainkan untuk
membentangkan hakikatnya, memerlukan kepada yang seperti itu, Dan
sesungguhnya terbuka bagi orang-orang yang mendalam pengetahuanya,
segala rahasia Al-Qur''an, menurut banyaknya ilmu pengetahuan mereka,
bersihnya hati mereka, sempurnanya faktor-faktor yang membawa kepada
pemahaman dan semata-matanya mereka untuk mempelajari Al-Qur'an. Dan
masing-masing mempunyai batas pada ketinggian, sampai kepada derajat
yang tertinggi daripadanya Adapun derajat kesempurnaan, maka jangan
diharapkan. Kalaulah lautan itu menjadi tinta dan pohon-pohon menjadi
pena, maka sesungguhnya rahasia Kalam Allah, tak ada kesudahan baginya.
Maka habislah segala lautan, sebelum habis Kalam Allah 'Azza wa Jalla.
Maka
dari segi ini, berlebih-kuranglah manusia pada pemahaman, sesudah
sama-sama mengetahui tafsiran dhahir. Dan tafsiran dhahir itu, tidaklah
mencukupi. Contohnya seperti pemahaman sebahagian Arba-bi'l-qulub (para
ulama yang mempunyai hati untuk berpikir) dari bacaan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam sujudnya: "أعوذ برضاك من سخطك وأعوذ بمعافاتك من عقوبتك وأعوذ بك منك لا أحصى ثناء عليك أنت كما أثنيت على نفسك Aku
berlindung dengan kerelaanMu daripada kemarahanMu. Aku berlindung
dengan kema'afanMu dari siksaanMu. Aku berlindung dengan Engkau daripada
Engkau.Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau, sebagaimana
Engkau pujikan akan Engkau sendiri". Sesungguhnya dikatakan kepadanya: "Sujudlah dan dekatkanlah diri!"
Maka
terdapatlah pendekatan diri dalam sujud, lalu diperhatikan kepada
sifat-sifat. Maka diminta perlindungan sebahagian daripadanya dengan
sebahagian yang lain.
Kerelaan dan kemarahan adalah dua sifat. Kemudian bertambahlah mendekatnya, Lalu masuklah pendekatan pertama padanya, maka. meninggilah kepada zat. Maka ia membacakan: "Aku berlindung dengan Engkau daripada Engkau". Kemudian
bertambah mendekatnya dengan apa yang ia malukan, dari perlindungan
diatas hamparan pendekatan. Maka ia bersandar kepada pemujian, lalu
dipujinya dengan mengucapkan: "Tidaklah dapat aku hinggakan pujian kepada Engkau". Kemudian ia tahu, bahwa yang demikian itu masih kurang, lalu ia mengucapkan: "Sebagaimana Engkau pujikan akan Engkau sendiri".
Maka inilah gurisan-gurisan yang terbuka bagi Arbabi'l-qulub. Kemudian
dibalik itu, gurisan-gurisan itu mempunyai lapisan yang dalam. Yaitu:
pemahaman arti pendekatan, dan pengkhususannya dengan sujud. Pengertian berlindung dari suatu sifat dengan sifat yang lain dan daripada Dia dengan Dia.
Rahasia
itu adalah banyak. Dan tafsiran menurut kata-kata secara dhahir,
tidaklah menunjukkan kepadanya. Dan tidaklah ia berlawanan bagi tafsir
dhahiriyah itu. Tetapi menyempurnakan dan menyampaikan kepada isinya
dari dhahiriyahnya.
Inilah
yang kami bentangkan untuk memahami pengertian-pengertian batin. Tidak
kami bentangkan apa yang berlawanan dengan yang dhahir. Dan Allah yang
Maha-mengetahuinya!
Telah
sempuma Kitab Adab Tilawah. Dan segala pujian bagi Allah Tuhan serwa
sekalian alam. Dan selawat. dan salam kepada Muhammad, kesudahan
nabi-nabi dan kepada tiap-tiap hamba pilihan dari seluruh alam dan
kepada keluarga Muhammad dan shahabatnya dan selamatlah kiranya!
Akan diiringi Insya AllahTa'alaoleh "Kitab Dzikir dan Do'a". Dan Allah tempat meminta pertolongan. Tidak ada Tuhan, selain Dia!
TAMAT J1-K08
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan