AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Rabu, 9 Januari 2013

Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala.


بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
RUKUN KETIGA : Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala. Dan berkisar atas sepuluh pokok.

Pokok Pertama : mengetahui bahwa tiap-tiap yang baharu pada 'alam adalah perbuatan (af'al) Allah, yang dijadikan dan yang diciptakanNya. Tak adalah khaliq bagi alam itu selain Dia. Tak adalah yang menjadikan makhluk, melainkan Dia. Dia yang menjadikan makhluk, yang membuatnya dan yang mengadakan qudrah dan gerak bagi makhluk itu.

Maka sekalian af'al hambaNya adalah makhlukNya dan bergantung dengan qudrahNya, hal mana dibenarkan yang demikian pada firmanNya :

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

(Allaahu khaaliqu kulli syai-in).Artinya :"Allah itu pencipta segala sesuatu ". (S. Ar-Ra'd, ayat 16)!


Dan pada firmanNya :

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

(Wallaahu khalaqakum wa maa ta'maluun). Artinya :"Dan sesungguhnya Tuhanlah yang menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (S. Ash-Shaffat, ayat 96).


Dan pada firmanNya :

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

(Wa asirruu qaulakum awijharuu bihi, innahuu 'aliimun bidzaatish shuduuri. Alaa yaiamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).Artinya :"Kamu rahasiakan perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya Tuhan itu mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya? Dan Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti" (S,Al-Mulk, ayat 13 -14).

DisuruhNya hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena Ia mengetahui tempat kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil atas pengetahuanNya dengan makhlukNya.

Bagaimanakah tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang qudrahNya adalah maha-sempurna, tak ada kekurangan padanya dan qudrah itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerak itu sendiri? Maka apakah yang menghambat sangkutannya qudrah dari sebahagian gerak dan tidak pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama? Atau bagaimanakah hewan itu berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan hewari-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang yang berfikiran tinggi? Bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya tanpa Tuhan seru sekalian alam? Padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu!


Wahai kiranya, hinalah segala makhluk itu! Dia sendirilah yang berkuasa di alam al-mulki dan di alam al-malakut, maha perkasa mengatur bumi dan langit. (1).

1.  Alam al-mulki : ialah alam Ini yang dapat kita persaksikan dengan pancaindra kita, seperti   :     langit,  bumi dan lain-lain.    Alam al-malakut: ialah alam yang tidak dapat kita persaksikan dengan pancaindra kita,  seperti : sorga, neraka, 'arasy dan lain-lain (peny).

Pokok Kedua : bahwa Allah sendirilah yang maha-suci, menjadikan segala gerak hambaNya, yang tidak dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan hambaNya sendiri atas jalan usaha. Tetapi Allah Ta'ala yang menjadikan qudrah hamba (kuasa) dan yang dikuasai-nya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan yang diusahakan.

Adapun qudrah adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Tuhan yang maha suci dan tidaklah qudrah itu dengan usaha hamba sendiri.

Adapun gerak maka adalah makhluk bagi Allah Ta'ala, sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan, yang dikuasakan dengan sebab qudrah, di mana ia menjadi sifat bagi hamba. Gerak itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain, yang dinamakan qudrah. Lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu, dinamakan usaha.

Bagaimanakah gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat diketahui akan perbedaan, diantara gerak yang diku-asai dan gerak mudah yang biasa? Atau bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi ilmunya dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan dan jumlah bilangannya?

Apabila batillah kedua tepi itu (paksaan semata atau dijadikan oleh hamba sendiri) maka tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam kei'tiqadan. Yaitu bahwa gerak itu diqudrahkan dengan qudrah Allah Ta'ala sebagai ciptaan dan dengan qudrah hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang disebut dengan usaha. Dan tidaklah dengan mudah dipahami, hubungan qudrah dengan yang diqudrahkan itu, bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena qudrah Allah Ta'ala pada azali telah ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan qudrah, di mana qudrah ketika ciptaan itu berhubungan dengan alam dalam macam hubungan yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan qudrah, tiadalah ditentukan dengan berhasilnya yang diqudrahkan dengan qudrah itu.

Pokok Ketiga : bahwa pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah keluar dari adanya dengan kehendak Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Maka tidaklah berlaku dr alam nyata (alam al-mulki)dan alam yang tidak nyata (alam al-malakut), suatu kerlingan mata, suatu lintasan di hati dan sejenak pandangan orang yang memandang, melainkan adalah dengan qadha, qudrah, iradah dan kehendakNya. DaripadaNyalah yang buruk dan yang baik, yang bermanfa'at dan yang melarat, Islam dan kufur, mengakui dan mengingkari, kemenangan dan kerugian, kesesatan dan petunjuk, tha'at dan ma'siat, syirik dan iman. Tak ada yang menolak bagi qadhaNya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya. Disesatkan-Nya akan siapa yang dikehendakiNya daun ditunjukiNya akan siapa yang dikehendakiNya. Tiadalah Dia ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya, sedang mereka itu (kita manusia ini) ditanyakan.

Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah kata ummat seanteronya : "Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak dikehendakiNya tidak ada". Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :

أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا

(An lau yasyaaullaahu lahadan naasa jamii'aa).Artinya :"Bahwa kalau Allah berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia seluruhnya". (S. Ar-Ra'd, ayat 31).


Dan firmanNya :

وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا

(Walau syi'-naa la-aatainaa kulla nafsin hudaahaa).Artinya :" Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami berikan pimpinan yang benar kepada setiap diri " (S. As-Sajadah, ayat 13).
Ditunjukkan kepada yang tersebut, dari segi 'aqli (dalil akal) ialah, bahwa perbuatan ma'siat dan dosa adalah Allah membencinya dan tidak menghendakinya. Dan adalah perbuatan-perbuatan itu berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis, yang telah kena kutukan Tuhan, di mana dianya adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai dengan kehendak musuh adalah lebih banyak daripada yang berlaku atas yang sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala.

Wahai kiranya!!, bagaimanakah seorang muslim membolehkan akan menolak kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa, yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, kepada derajat, di mana kalau sekiranya ditolakkan kepadanya pimpinan seorang pemimpin desa, niscaya tiada mau ia menerimanya! Karena jikalau yang tetap menjadi musuh bagi pemimpin itu di dalam kampung, lebih banyak daripada yang berdiri di belakangnya, maka yang banyak itu tidak mau menerima kepemimpinannya. Dan melepaskan dirinya daripada kekuasaannya.

Perbuatan ma'siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk, Semuanya itu berlaku pada ahli-ahli bid'ah, menyalahi dengan iradah Allah. Ini adalah menunjukkan paling lemah dan tiada bertenaga. Maka maha-sucilah Tuhan seru sekalian alam dari perkataan orang dhalim itu!.Kemudian, manakala telah nyata bahwa perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah terjadinya perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya.

Jikalau orang bertanya :-"Bagaimanakah Tuhan melarang apa yang dikehendakiNya dan menyuruh apa yang tiada dikehendakiNya?".

Maka kami menjawab "Suruh (amar) adalah lain dari kehendak (iradah). Dari itu, apabila seorang tuan memukul hamba sahayanya, lalu dia dimarahi oleh sultan atas perbuatannya itu, maka ia mengemukakan alasan bahwa hamba sahayanya itu melawan kepadanya. Maka ia didustakan oleh sultan, lalu ia bermaksud menerangkan kebenaran alasannya, dengan menyuruh hamba sahaya itu dengan sesuatu pekerjaan dan budak itu melawannya dihadapan sultan. Maka berkatalah ia kepada budak itu : "Pasanglah pelana hewan itu dihadapan sultan",

Maka disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya supaya budak itu menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka ke-beratannya tidak diterima oleh sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya, maka adalah orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah mustahil!.

Pokok Keempat: bahwa Allah Ta'ala mengurniakan dengan menjadikan dan menciptakan serta menganugerahkan nikmat, dengan memberikan kewajiban (taklif) kepada hambaNya. Dan tidaklah menjadikan dan memberikan taklif itu wajib atas Allah.Berkata golongan Mu'tazilah bahwa yang demikian itu wajib atas-Nya, karena ada kemuslihatan hamba padanya.

Itu adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang melarang. Maka bagaimanakah ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan sesuatu kemestian dan kata yang ditujukan?

Dan yang dimaksudkan dengan wajib, ialah salah satu daripada dua: adakalanya perbuatan yang memberi melarat kalau ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa yang akan datang, umpamanya dikatakan : wajiblah atas hamba berbuat tha'at kepada Allah. Sehingga dia tidak di'azabkan di akhirat dengan api neraka. Atau melarat itu pada masa dekat, umpamanya dikatakan .: wajiblah minum atas orang yang haus, sehingga ia tidak mati. Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib itu, ialah sesuatu yang membawa kepada mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan : adanya yang diketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada mustahil, yaitu jadinya ilmu itu kebodohan.

Kalau dikehendaki oleh pihak lawan dengan ; bahwa menjadikan itu wajib atas Allah dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada melarat. Dan kalau dikehendaki-nya, dengan arti yang kedua, maka dia adalah seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak boleh tidak, ada yang diketahui (al-ma'lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang ketiga, maka itu tidak dapat dipahami.

Mengenai kata Mu'tazilah : wajib itu karena ada kemuslihatan hamba padanya, maka perkataan itu adalah merusakkan. Karena apabila tiada mengandung melarat dengan meninggalkan kemuslihatan hamba itu, maka tiadalah kewajiban pada sisi Allah itu mengandung arti apa-apa.

Kemudian, kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka adakalanya dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan mereka kepada segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang berbahaya, huruhara dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu kegemaran pada orang-orang yang berakal.

Pokok Kelima : bahwa jaiz (tidak wajib dan tidak mustahil) bagi Allah, memikulkan (men-taklif-kan) atas makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan pendapat Mu'tazilah. Jikalau tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah permintaan menolaknya. Dan memang mereka telah meminta yang demikian, dengan mendo'akan :

رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ

(Rabbanaa wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqata lanaa bih).Artinya :" Hai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami apa yang tidak kami sanggupi !". (S. Al-Baqarah, ayat 286).

Dan karena Allah Ta'ala telah menerangkan kepada Nabi saw. bahwa Abu Jahal tidak akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh Nabiصلى الله عليه وسلم supaya menyuruh Abu Jahal membenarkan-nya pada segala perkataannya. Dan ada dari jumlah perkataannya, bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw. Bagaimanakah dia membenarkan pada yang tidak dibenarkattnya? Tidakkah ini selain dari mustahil adanya?.


Pokok Keenam : bahwa bagi Allah Ta'ala menyakitkan dan meng-'azabkan makhlukNya tanpa ada dosa yang terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan pendapat Mu'tazilah.

Hal ini, adalah karena Allah Ta'ala bertindak pada milikNya, Dan tidaklah tergambar bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat dari bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim.

Dibuktikan kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Sesungguhnya menyembelih hewan adalah menyakitkan hewan. Dan apa yang menimpa ke atas diri hewan itu dengan bermacam-macam 'azab dari pihak anak manusia, tidaklah didahului oleh adanya dosa hewan.

Kalau ada yang mengatakan : bahwa Allah Ta'ala akan mengumpulkan hewan-hewan itu di padang mahsyar dan akan memberi ganjaran yang sesuai dengan penderitaan yang dialaminya dan demikian itu wajib atas Tuhan.

Maka atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas Allah menghidupkan tiap semut yang terpijak dan tiap binatang kecil yang terbunuh, sehingga diberikan pahala atas segala -penderitaannya, maka sesungguhnya telah keluar dari syari'at dan akal. Karena dengan itu dapat dikatakan, menyifatkan pahala dan mengumpulkan di padang mahsyar itu, menjadi kewajiban atas Allah. Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada melarat, maka itu adalah suatu yang mustahil Dan jika dimaksudkan yang lain, maka telah diterangkan dahulu bahwa itu tidak dapat dipahami apabila telah keluar dari pengertian-pengertian yang tersebut bagi wajib.

Pokok Ketujuh : bahwa Allah Ta'ala berbuat sekehendakNya dengan hambaNya. Tiada wajib atasNya menjaga yang lebih baik bagi hambaNya. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu, bahwa tiada suatupun yang wajib atas Allah. Bahkan kewajiban itu tidak dapat diterima akal pada hakNya. Sebab Allah tidak ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya dan makhlukNyalah yang ditanyakan.

Alangkah ganjilnya apa yang diwajibkan oleh golongan Mu'tazilah itu dengan katanya, bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan, mengenai persoalan yang kita majukan kepadanya. Yaitu: diumpamakan terjadi perdebatan di akhirat diantara seorang anak kecil dan seorang dewasa (baligh), di mana keduanya meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah menambahkan derajat orang yang sudah dewasa dan melebihkannya dari anak kecil. Karena ia telah payah dengan beriman dan melakukan ta'at setelah dewasa. Dan yang demikian itu, wajib atas Tuhan menurut orang Mu'tazilah.

Kalau anak kecil itu berkata : "Wahai Tuhan! Mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada derajatku?",

Maka menjawab Tuhan : "Karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan ta'at".

Lalu anak kecil itu menjawab : "Engkau telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau meneruskan hidupku, sampai aku baligh, maka aku rajin beribadah. Engkau telah berpagi dari keadilan dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur, sedang aku tidak. Mengapakah dia Engkau Iebihkan?".

Maka menjawab Allah Ta'ala : "Karena Aku tahu bahwa kalau tewasalah engkau, niscaya engkau menjadi musyrik atau pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu kecil".

Ini dima'afkan oleh orang Mu'tazilah dari Allah 'Azza wa Jalla. Dan ketika itu orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka berseru, seraya berkata : "Wahai Tuhan! Apakah Engkau tiada mengetahui bahwa kami apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik? Mengapakah tidak Engkau matikan kami sewaktu kecil? Kami rela dengan derajat yang lebih rendah daripada derajat anak kecil muslim itu".

Maka apakah yang dijawab waktu itu? Dan adakah yang harus ketika itu, selain dari keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha-suci dengan keagungan daripada ditimbang dengan timbangan orang Mu'tazilah itu!.

Kalau dikatakan, bahwa manakala ditakdirkan kepada pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian ditimpakan kepada mereka sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji, tak layak dengan kebijaksanaan.Maka kami menjawab bahwa keji adalah apa yang tidak sesuai dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang dan baik pada yang lain, apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh orang, dipandang keji oleh teman-temannya dan dipandang baik oleh-musuh-musuhnya.

Kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka itu adalah mustahil, karena tak adalah maksud bagi Tuhan. Maka tidak tergambarlah daripadaNya keji sebagaimana tidak tergambar daripadaNya dhalim. Karena tidak tergambar daripadaNya bertindak pada milik orang lain.

Dan kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud orang lain, maka mengapakah anda katakan bahwa yang demikian itu mustahil atas Tuhan? Tidakkah ini selain dari semata-mata ke raguraguan, yang diakui sebaliknya oleh apa yang telah kami berikan umpamanya dahulu mengenai permusuhan diantara penduduk neraka?

Kemudian, al-hakiim, artinya : yang mengetahui akan hakikat segala sesuatu, berkuasa (sanggup) mengerjakannya, sesuai dengan kehendakNya Dan ini, maka dari manakah mewajibkan pemeliharaan yang lebih baik itu?

Adapun—al-hakiim dari kita (seorang ahli hikmah—yang bijaksana), ia memelihara yang lebih baik melihat kepada kepentingan dirinya sendiri, untuk memperoleh faedah pujian di dunia dan pahala di akhirat. Atau untuk menolak bahaya daripada dirinya. Semuanya itu mustahil bagi Allah Ta'ala.

Pokok Kedelapan : bahwa mengenal (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan berbuat tha'at kepadaNya adalah wajib. Diwajibkan oleh Allah dan syari'atNya, tidak oleh akal. Sebaliknya bagi orang Mu'tazilah. Karena akal dan kalaupun dia mewajibkan tha'at maka tidaklah terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa faedah.

Dan itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia sia. Dan adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu, tidak terlepas, adakalanya kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang disembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah Ta'ala. Maka sesungguhnya Allah maha-suci daripada segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, tha'at dan ma'siat pada pihak Allah Ta'ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang demikian itu kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah maksud bagi hamba itu waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri daripada hawa nafsu karenanya. Dan tak adalah pada hari kembali, selain daripada pahala dan siksa. Dan dari manakah diketahui bahwa Allah Ta'ala akan memberi pahala di atas perbuatan ma'siat dan tha'at dan tidak menyiksakan di atas kedua perbuatan tadi, sedang tha'at dan ma'siat pada hak Allah adalah sama? Karena tidaklah Allah Ta'ala itu condong kepada salah satu daripada keduanya. Dan tidaklah bagi salah satu daripada keduanya itu mempunyai kepentingan dengan Allah Ta'ala.

Sesungguhnya diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan Agama. Dan telah hinalah orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq dan makhluk, di mana dia membe dakan diantara syukur dan kufur. Karena dia memperoleh kesenangan, kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada keduanya dan tidak dengan yang Iain.

Kalau dikatakan, apabila tidak wajib memandang dan mengenai Allah selain dengan Agama. Dan Agama itu tidak tetap selama orang yang diberati hukum (mukallaf) tidak menaruh perhatian kepadanya. Maka apabila orang mukallaf itu berkata kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ,bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada memperhatikan dan Agama tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan, yang membawa kepada meyakinkan kebenaran Rasul صلى الله عليه وسلم

Kami menjawab : bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang yang berdiri pada salah satu tempat : "Bahwa di belakangmu ada binatang buas yang menerkam. Kalau tidak engkau berkisar dari tempat itu niscaya akan dibunuhnya engkau. Dan kalau engkau berpaling ke belakang dan melihat, maka tahulah engkau akan kebenaranku".

Maka menjawab orang yang tegak berdiri itu : "Tidak meyakinkan kebenaranmu selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan berpaling ke belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu!".

Maka ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa dirinya kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang memberi petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu.

Maka begitulah Nabi صلى الله عليه وسلم yang mengatakan : "Bahwa di belakang-mu nanti, di sana binatang buas dan api membakar. Kalau kamu tidak berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan memperhatikan kepada mu'jizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh perhatian niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barangsiapa tidak memperhatikan dan terus-menerus demikian, maka binasadan terjerumuslah dia. Dan tak ada memberi melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya binasa. Sesungguhnya kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas".

Agama memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم dan meyakininya dengan kemungkinan apa yang dikata-kannya pada masa yang akan datang. Dan tabi'at manusia (instinc) menggerakkan supaya berhati-hati daripada kemelaratan.

Dan arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkannya mendatangkan melarat.Dan arti bahwa Agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenalkan akan kemelaratan yang akan terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk mengetahui kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu.

Inilah arti Agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib itu. Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh maka tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.

Pokok Kesembilan : bahwa tidaklah mustahil pengutusan nabi-nabi as. Sebaliknya bagi kaum Brahma yang mengatakan bahwa tak adalah faedahnya mengutus nabi-nabi itu. Karena pada akal cukup mendapat kesempatan tanpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan diakhirat, sebagaimana tidaklah memperoleh petunjuk kepada obat-obat yang memberi faedah bagi kesehatan.

Keperluan makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti keperluan mereka kepada dokter-dokter. Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal kebenaran nabi dengan mu'jizat.

Pokok Kesepuluh : bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم., kesudahan segala nabi dan pembatal (nasikh) syari'at-syari'at sebelumnya : syari'at Yahudi, Nasrani dan majusi. Allah Ta'ala menguatkan Nabi صلى الله عليه وسلم itu dengan mu'jizat mu'jizat yang nyata dan tanda-tanda yang jelas seperti terbelah bulan (1) bertasbih batu (2) berbicara hewan (3) dan terpancarnya air diantara jari-jari Nabi.(4)   صلى الله عليه وسلم

Diantara tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Al-Qur'an Suci menghadapi tentangan orang Arab, di mana orang-orang Arab itu terkenal dengan fasih dan lancar berbicara. Bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir Nabi صلى الله عليه وسلم . sebagaimana diceriterakan Tuhan tentang tujuan mereka itu. Tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti Al-Qur'an, karena tidak dalam kemampuan manusia terkumpul diantara kebagusan susunan Al-Qur'an dan teraturnya.

Ini serta isinya Al-Qur'an dengan memberitakan berita-berita orang terdahulu di mana Nabi صلى الله عليه وسلم adalah ummi (tak tahu tulis baca), tidak pernah memegang  buku. Dan menceriterakan hal-hal yang ghaib mengenai keadaan-keadaan di masa depan yang diyakini kebenarannya, seumpama firman Allah Ta'ala :

لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ

(Latad-khulunnal masjidal haraama in-syaa-AUaahu aaminiina mu halliqiina ru-uusakum wa muqash-shiriin).Artinya :" Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan tenteram bercukur dan bergunting rambut ".(S. Al-Fath, ayat 27).

1 Hadits terbelah bulan, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim.

2 Dirawikan Al-Baihaqi dari Abi Dzar.

3 Dirawikan Ahmad dan Al-Baihaqi dengan isnad shahih dari Yu'la bin Murrah.

4 Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas dan lain-lain.


Dan seumpama firman Allah Ta'ala :

الم

غُلِبَتِ الرُّومُ

فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ

فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ

(Alif-laam-miim. Ghulibatir ruum, fii adnal ardli wa hum mim ba'di ghalabihim sayaghlibuun, fii bidl-'i siniin).Artinya :"Alif ,Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum. Dinegeri yang dekat dan mereka sesudah kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa tahun". (S.Ar-Rum,ayat1s/d 4).
Cara mu'jizat menunjukkan kepada kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap apa yang tidak disanggupi oleh manusia, maka itu tak lain daripada af'al Allah semata. Manakala afal  itu menyertai dengan pertahanan atas kebenaran Nabi saw. maka itu seakan-akan Allah berfirman : "Benar Engkau !". Tak ubahnya seperti seorang yang berdiri dihadapan raja, dengan mendakwakan dirinya kepada rakyat bahwa dia adalah utusan raja itu kepada mereka.


Maka manakala ia berdatang sembah kepada raja : "Jika adalah hamba ini benar maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan tiga kali dan sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku!".

Lalu raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat itu pengetahuan dlaruri (pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran). Maka perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda : "Benar kamu! ".



تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله

Tiada ulasan:

Catat Ulasan