بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
RUKUN
KETIGA : Mengetahui dengan segala af'al Allah Ta'ala. Dan berkisar atas sepuluh
pokok.
Pokok
Pertama : mengetahui
bahwa tiap-tiap yang baharu pada 'alam adalah perbuatan (af'al) Allah, yang
dijadikan dan yang diciptakanNya. Tak adalah khaliq bagi alam itu selain Dia.
Tak adalah yang menjadikan makhluk, melainkan Dia. Dia yang menjadikan makhluk,
yang membuatnya dan yang mengadakan qudrah dan gerak bagi makhluk itu.
Maka
sekalian af'al hambaNya adalah makhlukNya dan bergantung dengan qudrahNya, hal
mana dibenarkan yang demikian pada firmanNya :
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
(Allaahu
khaaliqu kulli syai-in).Artinya :"Allah itu pencipta segala sesuatu
". (S. Ar-Ra'd, ayat 16)!
Dan
pada firmanNya :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
(Wallaahu
khalaqakum wa maa ta'maluun). Artinya :"Dan sesungguhnya Tuhanlah yang
menjadikan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (S. Ash-Shaffat, ayat 96).
Dan
pada firmanNya :
وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
(Wa
asirruu qaulakum awijharuu bihi, innahuu 'aliimun bidzaatish shuduuri. Alaa
yaiamu man khalaqa wa huwallathiiful khabiir).Artinya :"Kamu rahasiakan
perkataanmu atau kamu lahirkan dengan terang-terangan, sesungguhnya Tuhan itu
mengetahui isi hati. Tiadakah Tuhan itu mengetahui apa yang diciptakanNya? Dan
Dia Maha lemah-lembut dan Maha mengerti" (S,Al-Mulk, ayat 13 -14).
DisuruhNya
hambaNya berhati-hati pada pembicaraan, perbuatan, rahasia dan isi hati. Karena Ia mengetahui tempat
kedatangan segala perbuatan mereka. Dan Ia mengambil dalil atas pengetahuanNya
dengan makhlukNya.
Bagaimanakah tidak Allah itu yang menjadikan perbuatan hambaNya, sedang qudrahNya adalah maha-sempurna, tak ada kekurangan padanya dan qudrah itu menyangkut dengan gerak tubuh hambaNya dan gerak-gerik itu adalah menyamai satu sama lain dan menyangkut qudrah dengan gerak-gerik itu adalah karena gerak-gerak itu sendiri? Maka apakah yang menghambat sangkutannya qudrah dari sebahagian gerak dan tidak pada sebahagian lagi, sedang gerak-gerak itu sama? Atau bagaimanakah hewan itu berkuasa penuh dengan menciptakan, dan muncul dari lawa-lawa, lebah dan hewari-hewan yang lain, perbuatan yang halus-halus yang mengherankan orang-orang yang berfikiran tinggi? Bagaimanakah hewan-hewan itu sendirian menciptakannya tanpa Tuhan seru sekalian alam? Padahal hewan-hewan itu tidak mengetahui secara terperinci apa yang timbul daripadanya dari usaha itu!
Wahai
kiranya, hinalah segala makhluk itu! Dia sendirilah yang berkuasa di alam
al-mulki dan di alam al-malakut, maha perkasa mengatur bumi dan langit. (1).
1. Alam al-mulki : ialah alam Ini yang dapat kita persaksikan dengan pancaindra kita, seperti : langit, bumi dan lain-lain. Alam al-malakut: ialah alam yang tidak dapat kita persaksikan dengan pancaindra kita, seperti : sorga, neraka, 'arasy dan lain-lain (peny).
Pokok
Kedua : bahwa
Allah sendirilah yang maha-suci, menjadikan segala gerak hambaNya, yang tidak
dikeluarkannya gerak-gerak itu dari kekuasaan hambaNya sendiri atas jalan
usaha. Tetapi Allah Ta'ala yang menjadikan qudrah hamba (kuasa) dan yang
dikuasai-nya. Dialah yang menjadikan usaha (ikhtiar) dan yang diusahakan.
Adapun
qudrah adalah sifat bagi hamba dan makhluk bagi Tuhan yang maha suci dan
tidaklah qudrah itu dengan usaha hamba sendiri.
Adapun
gerak maka adalah makhluk bagi Allah Ta'ala, sifat dan usaha bagi hamba. Gerak itu dijadikan, yang
dikuasakan dengan sebab qudrah, di
mana ia menjadi sifat bagi hamba. Gerak
itu mempunyai hubungan kepada suatu sifat yang lain, yang dinamakan qudrah.
Lalu gerak tadi dengan memandang kepada hubungan itu, dinamakan usaha.
Bagaimanakah
gerak itu menjadi paksaan semata, padahal dengan mudah dapat diketahui akan
perbedaan, diantara gerak yang diku-asai dan gerak mudah yang biasa? Atau
bagaimanakah usaha itu dijadikan oleh hamba, padahal tidak meliputi ilmunya
dengan segala perincian bahagian gerak-gerak yang diusahakan dan jumlah
bilangannya?
Apabila
batillah kedua tepi itu (paksaan semata atau dijadikan oleh hamba sendiri) maka
tidak adalah yang tinggal, selain yang sederhana dalam kei'tiqadan. Yaitu bahwa
gerak itu diqudrahkan dengan qudrah Allah Ta'ala sebagai ciptaan dan dengan
qudrah hamba atas segi yang lain dari hubungan, yang disebut dengan usaha. Dan
tidaklah dengan mudah dipahami, hubungan qudrah dengan yang diqudrahkan itu,
bahwa adanya dengan ciptaan saja. Karena qudrah Allah Ta'ala pada azali telah
ada berhubungan dengan alam. Dan tidaklah ciptaan itu berhasil dengan qudrah,
di mana qudrah ketika ciptaan itu berhubungan dengan alam dalam macam hubungan
yang lain. Maka dengan itu, nyatalah bahwa hubungan qudrah, tiadalah ditentukan
dengan berhasilnya yang diqudrahkan dengan qudrah itu.
Pokok
Ketiga : bahwa
pekerjaan hamba meskipun itu adalah usaha hamba sendiri, tetapi tidaklah keluar
dari adanya dengan kehendak Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Maka tidaklah berlaku
dr alam nyata (alam al-mulki)dan alam yang tidak nyata (alam al-malakut), suatu
kerlingan mata, suatu lintasan di hati dan sejenak pandangan orang yang
memandang, melainkan adalah dengan qadha, qudrah, iradah dan kehendakNya.
DaripadaNyalah yang buruk dan yang baik, yang bermanfa'at dan yang melarat,
Islam dan kufur, mengakui dan mengingkari, kemenangan dan kerugian, kesesatan
dan petunjuk, tha'at dan ma'siat, syirik dan iman. Tak ada yang menolak bagi
qadhaNya. Tak ada yang menentang bagi hukumNya. Disesatkan-Nya akan siapa yang
dikehendakiNya daun ditunjukiNya akan siapa yang dikehendakiNya. Tiadalah Dia
ditanyakan daripada apa yang diperbuatNya, sedang mereka itu (kita manusia ini)
ditanyakan.
Ditunjukkan
kepada yang tersebut, dari dalil naqli (yang dinukilkan) ialah kata ummat
seanteronya : "Apa yang dikehendakiNya ada dan apa yang tidak
dikehendakiNya tidak ada". Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :
أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا
(An
lau yasyaaullaahu lahadan naasa jamii'aa).Artinya :"Bahwa kalau Allah
berkehendak, niscaya ditunjukiNya manusia seluruhnya". (S. Ar-Ra'd, ayat
31).
Dan
firmanNya :
وَلَوْ شِئْنَا لآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا
(Walau
syi'-naa la-aatainaa kulla nafsin hudaahaa).Artinya :" Dan kalau Kami
kehendaki, niscaya Kami berikan pimpinan yang benar kepada setiap diri "
(S. As-Sajadah, ayat 13).
Ditunjukkan
kepada yang tersebut, dari segi 'aqli (dalil akal) ialah, bahwa perbuatan
ma'siat dan dosa adalah Allah membencinya dan tidak menghendakinya. Dan adalah
perbuatan-perbuatan itu berlaku sesuai dengan kehendak musuh Iblis, yang telah
kena kutukan Tuhan, di mana dianya adalah musuh Allah. Dan yang berlaku, sesuai
dengan kehendak musuh adalah lebih banyak daripada yang berlaku atas yang
sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala.
Wahai
kiranya!!, bagaimanakah
seorang muslim membolehkan akan menolak kekuasaan Tuhan Yang Maha Perkasa, yang
mempunyai keagungan dan kemuliaan, kepada derajat, di mana kalau sekiranya
ditolakkan kepadanya pimpinan seorang pemimpin desa, niscaya tiada mau ia
menerimanya! Karena jikalau yang tetap menjadi musuh bagi pemimpin itu di dalam
kampung, lebih banyak daripada yang berdiri di belakangnya, maka yang banyak
itu tidak mau menerima kepemimpinannya. Dan melepaskan dirinya daripada
kekuasaannya.
Perbuatan
ma'siat adalah yang lebih banyak bagi makhluk, Semuanya itu berlaku pada
ahli-ahli bid'ah, menyalahi dengan iradah Allah. Ini adalah menunjukkan paling
lemah dan tiada bertenaga. Maka maha-sucilah Tuhan seru sekalian alam dari
perkataan orang dhalim itu!.Kemudian, manakala telah nyata bahwa
perbuatan-perbuatan hamba itu adalah makhluk Allah, maka shahlah terjadinya
perbuatan-perbuatan itu atas kehendakNya.
Jikalau
orang bertanya :-"Bagaimanakah
Tuhan melarang apa yang dikehendakiNya dan menyuruh apa yang tiada
dikehendakiNya?".
Maka
kami menjawab "Suruh
(amar) adalah lain dari kehendak (iradah). Dari itu, apabila seorang tuan
memukul hamba sahayanya, lalu dia dimarahi oleh sultan atas perbuatannya itu, maka
ia mengemukakan alasan bahwa hamba sahayanya itu melawan kepadanya. Maka ia
didustakan oleh sultan, lalu ia bermaksud menerangkan kebenaran alasannya,
dengan menyuruh hamba sahaya itu dengan sesuatu pekerjaan dan budak itu
melawannya dihadapan sultan. Maka berkatalah ia kepada budak itu :
"Pasanglah pelana hewan itu dihadapan sultan",
Maka
disuruhnya budak itu perbuatan yang tidak dikehendakinya supaya budak itu
menurutinya. Kalau tidak disuruhnya maka ke-beratannya tidak diterima oleh
sultan. Dan kalau orang itu berkehendak budak itu menurutinya, maka adalah
orang itu bermaksud membinasakan dirinya sendiri. Dan itu adalah mustahil!.
Pokok
Keempat: bahwa Allah Ta'ala mengurniakan dengan menjadikan dan
menciptakan serta menganugerahkan nikmat, dengan memberikan kewajiban (taklif)
kepada hambaNya. Dan tidaklah menjadikan dan memberikan taklif itu wajib atas
Allah.Berkata golongan Mu'tazilah bahwa
yang demikian itu wajib atas-Nya, karena ada kemuslihatan hamba padanya.
Itu
adalah mustahil, karena Dialah yang mewajibkan, yang menyuruh dan yang melarang.
Maka bagaimanakah ditujukan kepadaNya kewajiban atau didatangkan sesuatu
kemestian dan kata yang ditujukan?
Dan
yang dimaksudkan dengan wajib, ialah salah satu daripada dua: adakalanya perbuatan yang memberi
melarat kalau ditinggalkan. Baik melarat itu pada masa yang akan datang,
umpamanya dikatakan : wajiblah atas hamba berbuat tha'at kepada Allah. Sehingga
dia tidak di'azabkan di akhirat dengan api neraka. Atau melarat itu pada masa
dekat, umpamanya dikatakan .: wajiblah minum atas orang yang haus, sehingga ia
tidak mati. Adakalanya yang dimaksudkan dengan wajib itu, ialah sesuatu yang
membawa kepada mustahil oleh tidak adanya. Umpamanya dikatakan : adanya yang
diketahui itu wajib, karena tidak adanya itu membawa kepada mustahil, yaitu
jadinya ilmu itu kebodohan.
Kalau
dikehendaki oleh pihak lawan dengan ; bahwa menjadikan itu wajib atas Allah
dengan arti yang pertama, maka sesungguhnya dia telah mendatangkan kepada
melarat. Dan kalau dikehendaki-nya, dengan arti yang kedua, maka dia adalah
seorang muslim. Karena setelah didahulukan oleh ilmu, maka tak boleh tidak, ada
yang diketahui (al-ma'lum). Dan kalau dikehendakinya, dengan arti yang ketiga,
maka itu tidak dapat dipahami.
Mengenai
kata Mu'tazilah :
wajib itu karena ada kemuslihatan hamba padanya, maka perkataan itu adalah
merusakkan. Karena apabila tiada mengandung melarat dengan meninggalkan
kemuslihatan hamba itu, maka tiadalah kewajiban pada sisi Allah itu mengandung
arti apa-apa.
Kemudian,
kemuslihatan hamba dengan dijadikan mereka dalam sorga, maka adakalanya
dijadikannya di dalam negeri yang penuh percobaan dan didatangkan mereka kepada
segala dosa. Kemudian ditujukan mereka kepada siksaan yang berbahaya, huruhara
dan hisab amalan. Dan tidak adalah pada yang demikian itu kegemaran pada
orang-orang yang berakal.
Pokok
Kelima : bahwa
jaiz (tidak wajib dan tidak mustahil) bagi Allah, memikulkan (men-taklif-kan)
atas makhluk, apa yang tidak disanggupinya. Sebaliknya dengan pendapat
Mu'tazilah. Jikalau tidaklah jaiz yang demikian, maka mustahillah permintaan
menolaknya. Dan memang mereka telah meminta yang demikian, dengan mendo'akan :
رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
(Rabbanaa
wa laa tuhammilnaa maa laa thaaqata lanaa bih).Artinya :" Hai Tuhan kami!
Janganlah Engkau pikulkan ke atas kami apa yang tidak kami sanggupi !".
(S. Al-Baqarah, ayat 286).
Dan
karena Allah Ta'ala telah menerangkan kepada Nabi saw. bahwa Abu Jahal tidak
akan membenarkannya. Kemudian Allah menyuruh Nabiصلى الله عليه وسلم supaya menyuruh Abu Jahal
membenarkan-nya pada segala perkataannya. Dan ada dari jumlah perkataannya,
bahwa Abu Jahal itu tidak membenarkan Nabi saw. Bagaimanakah dia membenarkan
pada yang tidak dibenarkattnya? Tidakkah ini selain dari mustahil adanya?.
Pokok
Keenam : bahwa
bagi Allah Ta'ala menyakitkan dan meng-'azabkan makhlukNya tanpa ada dosa yang
terdahulu dan tanpa ada pahala yang akan datang. Sebaliknya dengan pendapat
Mu'tazilah.
Hal
ini, adalah karena Allah Ta'ala bertindak pada milikNya, Dan tidaklah tergambar
bahwa akan melampaui tindakanNya akan milikNya. Dhalim adalah ibarat dari
bertindak pada milik orang lain tanpa izinnya. Dan itu adalah mustahil atas
Allah. Karena tidaklah dijumpai adanya milik orang lain, sehingga dapat
dikatakan bahwa tindakanNya itu dhalim.
Dibuktikan
kepada bolehnya yang demikian oleh adanya. Sesungguhnya menyembelih hewan
adalah menyakitkan hewan. Dan apa yang menimpa ke atas diri hewan itu dengan
bermacam-macam 'azab dari pihak anak manusia, tidaklah didahului oleh adanya
dosa hewan.
Kalau
ada yang mengatakan : bahwa
Allah Ta'ala akan mengumpulkan hewan-hewan itu di padang mahsyar dan akan
memberi ganjaran yang sesuai dengan penderitaan yang dialaminya dan demikian
itu wajib atas Tuhan.
Maka
atas perkataan itu kami menjawab bahwa orang yang mendakwakan wajib atas Allah
menghidupkan tiap semut yang terpijak dan tiap binatang kecil yang terbunuh,
sehingga diberikan pahala atas segala -penderitaannya, maka sesungguhnya telah
keluar dari syari'at dan akal. Karena dengan itu dapat dikatakan, menyifatkan
pahala dan mengumpulkan di padang mahsyar itu, menjadi kewajiban atas Allah.
Bila dimaksudkan dengan meninggalkannya membawa kepada melarat, maka itu adalah
suatu yang mustahil Dan jika dimaksudkan yang lain, maka telah diterangkan
dahulu bahwa itu tidak dapat dipahami apabila telah keluar dari
pengertian-pengertian yang tersebut bagi wajib.
Pokok
Ketujuh : bahwa
Allah Ta'ala berbuat sekehendakNya dengan hambaNya. Tiada wajib atasNya menjaga
yang lebih baik bagi hambaNya. Karena apa yang telah kami sebutkan dahulu,
bahwa tiada suatupun yang wajib atas Allah. Bahkan kewajiban itu tidak dapat
diterima akal pada hakNya. Sebab Allah tidak ditanyakan daripada apa yang
diperbuatNya dan makhlukNyalah yang ditanyakan.
Alangkah
ganjilnya apa yang diwajibkan oleh golongan Mu'tazilah itu dengan katanya,
bahwa berbuat yang lebih baik adalah wajib atas Tuhan, mengenai persoalan yang
kita majukan kepadanya. Yaitu: diumpamakan terjadi perdebatan di akhirat
diantara seorang anak kecil dan seorang dewasa (baligh), di mana keduanya
meninggal sebagai muslim. Bahwa Allah menambahkan derajat orang yang sudah
dewasa dan melebihkannya dari anak kecil. Karena ia telah payah dengan beriman
dan melakukan ta'at setelah dewasa. Dan yang demikian itu, wajib atas Tuhan
menurut orang Mu'tazilah.
Kalau
anak kecil itu berkata :
"Wahai Tuhan! Mengapakah Engkau tinggikan derajatnya daripada
derajatku?",
Maka
menjawab Tuhan :
"Karena dia telah dewasa dan rajin mengerjakan ta'at".
Lalu
anak kecil itu menjawab : "Engkau
telah mematikan aku sewaktu kecil. Adalah kewajiban Engkau meneruskan hidupku,
sampai aku baligh, maka aku rajin beribadah. Engkau telah berpagi dari keadilan
dengan memberikan kepadanya kelanjutan umur, sedang aku tidak. Mengapakah dia
Engkau Iebihkan?".
Maka
menjawab Allah Ta'ala : "Karena
Aku tahu bahwa kalau tewasalah engkau, niscaya engkau menjadi musyrik atau
pendurhaka. Maka adalah lebih baik bagimu mati sewaktu kecil".
Ini
dima'afkan oleh orang Mu'tazilah dari Allah 'Azza wa Jalla. Dan ketika itu
orang-orang kafir dari tingkat yang paling bawah daripada neraka berseru,
seraya berkata : "Wahai Tuhan! Apakah Engkau tiada mengetahui bahwa kami
apabila telah dewasa, menjadi orang musyrik? Mengapakah tidak Engkau matikan
kami sewaktu kecil? Kami rela dengan derajat yang lebih rendah daripada derajat
anak kecil muslim itu".
Maka
apakah yang dijawab waktu itu? Dan adakah yang harus ketika itu, selain dari
keputusan bahwa urusan ketuhanan adalah maha-suci dengan keagungan daripada
ditimbang dengan timbangan orang Mu'tazilah itu!.
Kalau
dikatakan, bahwa manakala
ditakdirkan kepada pemeliharaan yang lebih baik bagi hamba, kemudian ditimpakan
kepada mereka sebab-sebab penyiksaan, niscaya adalah yang demikian itu keji,
tak layak dengan kebijaksanaan.Maka kami menjawab bahwa keji adalah apa yang tidak sesuai
dengan maksud. Sehingga kadang-kadang sesuatu itu adalah keji pada seseorang
dan baik pada yang lain, apabila sesuai dengan maksud salah seorang dari
keduanya dan tidak dengan lainnya. Sehingga membunuh orang, dipandang keji oleh
teman-temannya dan dipandang baik oleh-musuh-musuhnya.
Kalau
dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu
yang tiada sesuai dengan maksud Tuhan Yang Maha Suci, maka itu adalah mustahil,
karena tak adalah maksud bagi Tuhan. Maka tidak tergambarlah daripadaNya keji
sebagaimana tidak tergambar daripadaNya dhalim. Karena tidak tergambar
daripadaNya bertindak pada milik orang lain.
Dan
kalau dimaksudkan dengan keji ialah sesuatu yang tiada sesuai dengan maksud
orang lain, maka mengapakah anda katakan bahwa yang demikian itu mustahil atas
Tuhan? Tidakkah ini selain dari semata-mata ke raguraguan, yang diakui sebaliknya
oleh apa yang telah kami berikan umpamanya dahulu mengenai permusuhan diantara
penduduk neraka?
Kemudian,
al-hakiim, artinya :
yang mengetahui akan hakikat segala sesuatu, berkuasa (sanggup) mengerjakannya,
sesuai dengan kehendakNya Dan ini, maka dari manakah mewajibkan pemeliharaan
yang lebih baik itu?
Adapun—al-hakiim
dari kita (seorang
ahli hikmah—yang bijaksana), ia memelihara yang lebih baik melihat kepada
kepentingan dirinya sendiri, untuk memperoleh faedah pujian di dunia dan pahala
di akhirat. Atau untuk menolak bahaya daripada dirinya. Semuanya itu mustahil
bagi Allah Ta'ala.
Pokok
Kedelapan : bahwa
mengenal (ma'rifah) akan Allah Ta'ala dan berbuat tha'at kepadaNya adalah
wajib. Diwajibkan oleh Allah dan syari'atNya, tidak oleh akal. Sebaliknya bagi
orang Mu'tazilah. Karena akal dan kalaupun dia mewajibkan tha'at maka tidaklah
terlepas, adakalanya dia mewajibkan itu tanpa faedah.
Dan
itu adalah mustahil. Sebab akal tidaklah mewajibkan yang sia sia. Dan
adakalanya dia mewajibkan karena ada faedah dan maksud. Dan yang demikian itu,
tidak terlepas, adakalanya kembali faedah dan maksud itu kepada Tuhan yang
disembah. Dan itu adalah mustahil pada hak Allah Ta'ala. Maka sesungguhnya
Allah maha-suci daripada segala maksud dan faedah. Bahkan kufur, iman, tha'at
dan ma'siat pada pihak Allah Ta'ala, adalah sama. Dan adakalanya kembali yang
demikian itu kepada maksud hamba sendiri. Dan itupun mustahil karena tak adalah
maksud bagi hamba itu waktu sekarang. Bahkan ia payah dan menyingkirkan diri
daripada hawa nafsu karenanya. Dan tak adalah pada hari kembali, selain
daripada pahala dan siksa. Dan dari manakah diketahui bahwa Allah Ta'ala akan memberi
pahala di atas perbuatan ma'siat dan tha'at dan tidak menyiksakan di atas kedua
perbuatan tadi, sedang tha'at dan ma'siat pada hak Allah adalah sama? Karena
tidaklah Allah Ta'ala itu condong kepada salah satu daripada keduanya. Dan
tidaklah bagi salah satu daripada keduanya itu mempunyai kepentingan dengan
Allah Ta'ala.
Sesungguhnya
diketahui perbedaan yang demikian itu adalah dengan Agama. Dan telah hinalah
orang yang mengambil ini dari perbandingan diantara Khaliq dan makhluk, di mana
dia membe dakan diantara syukur dan kufur. Karena dia memperoleh kesenangan,
kemuliaan dan kelezatan dengan salah satu daripada keduanya dan tidak dengan
yang Iain.
Kalau
dikatakan, apabila tidak wajib memandang dan mengenai Allah selain dengan
Agama. Dan Agama itu tidak tetap selama orang yang diberati hukum (mukallaf)
tidak menaruh perhatian kepadanya. Maka apabila orang mukallaf itu berkata
kepada Nabi صلى الله عليه وسلم ,bahwa akal tidaklah mewajibkan kepada
memperhatikan dan Agama tidaklah menetap padaku, selain dengan memperhatikan
tadi dan aku tidak tampil kepada memperhatikan, yang membawa kepada meyakinkan
kebenaran Rasul صلى الله عليه وسلم
Kami
menjawab : bahwa ini menyerupai dengan kata orang yang mengatakan kepada orang
yang berdiri pada salah satu tempat : "Bahwa di belakangmu ada binatang
buas yang menerkam. Kalau tidak engkau berkisar dari tempat itu niscaya akan
dibunuhnya engkau. Dan kalau engkau berpaling ke belakang dan melihat, maka
tahulah engkau akan kebenaranku".
Maka
menjawab orang yang tegak berdiri itu : "Tidak meyakinkan kebenaranmu
selama aku belum berpaling ke belakang. Dan aku tidak akan berpaling ke
belakang dan tidak akan melihat, selama belum nyata kebenaranmu!".
Maka
ini menunjukkan kepada kebodohan orang yang menjawab itu dan membawa dirinya
kepada kebinasaan. Dan tiada memberi melarat apa-apa kepada orang yang memberi
petunjuk dan yang menunjukkan jalan itu.
Maka
begitulah Nabi صلى الله عليه وسلم yang
mengatakan : "Bahwa
di belakang-mu nanti, di sana binatang buas dan api membakar. Kalau kamu tidak
berhati-hati daripadanya dan tidak mengakui kebenaranku dengan memperhatikan
kepada mu'jizatku, niscaya binasalah kamu. Barangsiapa menaruh perhatian
niscaya mengenal, berhati-hati dan selamatlah dia. Dan barangsiapa tidak memperhatikan
dan terus-menerus demikian, maka binasadan terjerumuslah dia. Dan tak ada
memberi melarat apa-apa kepadaku jikalau manusia seluruhnya binasa.
Sesungguhnya kewajibanku, hanyalah menyampaikan dengan tegas dan jelas".
Agama
memberitahukan adanya binatang buas yang menerkam sesudah mati. Dan akal
memfaedahkan untuk memahami perkataan Nabi صلى الله عليه وسلم dan meyakininya dengan kemungkinan apa
yang dikata-kannya pada masa yang akan datang. Dan tabi'at manusia (instinc)
menggerakkan supaya berhati-hati daripada kemelaratan.
Dan
arti bahwa sesuatu itu wajib ialah kalau meninggalkannya mendatangkan
melarat.Dan arti bahwa Agama itu mewajibkan, ialah ia memperkenalkan akan
kemelaratan yang akan terjadi. Karena akal tiada memperoleh petunjuk untuk mengetahui
kemelaratan sesudah mati, ketika ia menuruti hawa nafsu.
Inilah
arti Agama dan akal serta pengaruh keduanya untuk menilai yang wajib itu.
Jikalau tidaklah takut kepada siksaan dengan meninggalkan apa yang disuruh maka
tidak adalah yang wajib itu menetap. Karena tak adalah arti wajib itu, kecuali
ada hubungan kemelaratan di akhirat dengan meninggalkannya.
Pokok
Kesembilan : bahwa
tidaklah mustahil pengutusan nabi-nabi as. Sebaliknya
bagi kaum Brahma yang
mengatakan bahwa tak adalah faedahnya mengutus nabi-nabi itu. Karena pada akal
cukup mendapat kesempatan tanpa mereka. Sebab akal tidaklah memperoleh petunjuk
kepada perbuatan-perbuatan yang melepaskan diakhirat, sebagaimana tidaklah
memperoleh petunjuk kepada obat-obat yang memberi faedah bagi kesehatan.
Keperluan
makhluk kepada nabi-nabi adalah seperti keperluan mereka kepada dokter-dokter.
Tetapi dikenal kebenaran dokter dengan percobaan dan dikenal kebenaran nabi
dengan mu'jizat.
Pokok
Kesepuluh : bahwa
Allah Subhaanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم., kesudahan segala nabi
dan pembatal (nasikh) syari'at-syari'at sebelumnya : syari'at Yahudi, Nasrani
dan majusi. Allah Ta'ala menguatkan Nabi صلى الله عليه وسلم itu dengan mu'jizat mu'jizat yang nyata
dan tanda-tanda yang jelas seperti terbelah bulan (1) bertasbih batu (2)
berbicara hewan (3) dan terpancarnya air diantara jari-jari
Nabi.(4) صلى الله عليه وسلم
Diantara
tanda-tanda yang jelas ialah keagungan Al-Qur'an Suci menghadapi tentangan
orang Arab, di mana orang-orang Arab itu terkenal dengan fasih dan lancar
berbicara. Bermaksud hendak menawan, menangkap, membunuh dan mengusir Nabi صلى الله عليه وسلم . sebagaimana diceriterakan Tuhan
tentang tujuan mereka itu. Tetapi mereka tidak mampu mendatangkan seperti
Al-Qur'an, karena tidak dalam kemampuan manusia terkumpul diantara kebagusan
susunan Al-Qur'an dan teraturnya.
Ini
serta isinya Al-Qur'an dengan memberitakan berita-berita orang terdahulu di
mana Nabi صلى الله عليه وسلم adalah ummi (tak tahu tulis baca),
tidak pernah memegang buku.
Dan menceriterakan hal-hal yang ghaib mengenai keadaan-keadaan di masa depan
yang diyakini kebenarannya, seumpama firman Allah Ta'ala :
لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ
(Latad-khulunnal
masjidal haraama in-syaa-AUaahu aaminiina mu halliqiina ru-uusakum wa
muqash-shiriin).Artinya :"
Bahwa kamu akan memasuki Masjid Suci, jika Tuhan menghendaki, dengan perasaan
tenteram bercukur dan bergunting rambut ".(S. Al-Fath, ayat 27).
1
Hadits terbelah bulan, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim.
2
Dirawikan Al-Baihaqi dari Abi Dzar.
3
Dirawikan Ahmad dan Al-Baihaqi dengan isnad shahih dari Yu'la bin Murrah.
4
Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas dan lain-lain.
Dan
seumpama firman Allah Ta'ala :
الم
غُلِبَتِ الرُّومُ
فِي أَدْنَى الأرْضِ وَهُمْ مِنْ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُونَ
فِي بِضْعِ سِنِينَ لِلَّهِ الأمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ
(Alif-laam-miim.
Ghulibatir ruum, fii adnal ardli wa hum mim ba'di ghalabihim sayaghlibuun, fii
bidl-'i siniin).Artinya :"Alif
,Lam, Mim. Dikalahkan Kerajaan Rum. Dinegeri yang dekat dan mereka sesudah
kalah itu akan menang lagi nanti. Dalam beberapa tahun".
(S.Ar-Rum,ayat1s/d 4).
Cara
mu'jizat menunjukkan kepada kebenaran rasul-rasul itu, ialah tiap-tiap apa yang
tidak disanggupi oleh manusia, maka itu tak lain daripada af'al Allah semata.
Manakala afal itu menyertai
dengan pertahanan atas kebenaran Nabi saw. maka itu seakan-akan Allah berfirman
: "Benar Engkau !". Tak ubahnya seperti seorang yang berdiri
dihadapan raja, dengan mendakwakan dirinya kepada rakyat bahwa dia adalah
utusan raja itu kepada mereka.
Maka
manakala ia berdatang sembah kepada raja : "Jika adalah hamba ini benar
maka sudilah kiranya Tuanku bangun dari tempat peristirahatan tiga kali dan
sudilah kiranya duduk di luar kebiasaan Tuanku!".
Lalu
raja itu berbuat demikian, sehingga berhasillah bagi segala yang hadir melihat
itu pengetahuan dlaruri (pengetahuan mudah tanpa memerlukan pemikiran). Maka
perbuatan raja itu menunjukkan seakan-akan dia bersabda : "Benar kamu!
".
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan