AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Rabu, 9 Januari 2013

Qaidah Qaidah Aqidah

بسم الله الرحمن الر حيم

إن الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمرانالآية: 102


                                     OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI

Qaidah Qaidah Aqidah

Pasal ketiga: Dari kitab "Qaidah-qaidah 'Aqidah", mengenai dalil-dalil yang cemerlang buat aqidah, yang telah kami terjemahkan dengan "Qudus". Maka kami mulai:Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi pencinta-pencinta Sunnah dengan nur yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung kebenaran akan petunjuk kepada tiang-tiang agama. Dan menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang menyeleweng dan dari kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi taufiq kepada mereka untuk mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan mereka untuk menuruti para shahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka, mengikuti peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga mereka berpegang teguh dengan yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh kuat, dengan perjalanan dan aqidah ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang nyata.

Maka dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara natijah-natijah akal dan kehendak-kehendak syari'at yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama). Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka dari kata-kata "Laa ilaaha illallaah, Muhammadurrasuulullaah tidaklah berfaedah dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang dibawa oleh kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokok-nya.

Mereka mengetahui bahwa dua kalimah syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan af'alNya dan mengandung keyakinan kebenaran Rasul.Dan mereka mengetahui bahwa pembangunan keimanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang banyaknya empat. Dan masing-masing rukun itu, berkisar di atas sepuluh pokok :

Rukun Pertama : mengenai ma'rifah (mengenai) dzat Allah Ta'ala dan berkisar di atas sepuluh pokok.(perkara)

Yaitu : mengetahui dengan wujud Allah Ta'ala, qidamNya, baqaNya, Dia tidak jauhar, tidak jisim dan tidak 'aradl. Dia tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.

Rukun Kedua : mengenai sifat-sifatNya dan melengkapi kepada sepuluh pokok.

Yaitu : mengetahui bahwa Dia itu hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, mahasuci dari bertempat sifat-sifat yang baharu padaNya, qadim kalamNya, ilmuNya dan iradahNya.

Rukun Ketiga : Mengenai af'alNya dan berkisar di atas sepuluh pokok.

Yaitu : bahwa segala perbuatan hamba adalah dijadikan Allah Ta'ala; Bahwa segala perbuatan itu adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia mengurniai dengan menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia mempunyai hak taklif (menugaskan) apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang yang tidak berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih baik. Bahwa tiada yang wajib melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi Muhammad saw. itu benar, yang dikuatkan dengan mu'jizat-mu 'jizat.

Rukun Keempat : mengenai sam'iyyat (hal-hal yang didengar dari agama) dan berkisar di atas sepuluh pokok.

Yaitu : adanya pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan Munkar dan Nakir, 'azab qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan hukum-hukum mengenai kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan ummat Islam), bahwa keutamaan para shahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslim in (syarat-syarat memegang jabatan imamah).

Rukun Pertama: Dari rukun-rukun Iman, ialah mengenai (ma'rifah) dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahwa Allah Ta'ala itu Esa. Rukun ini berkisar di atas sepuluh pokok.

Pokok Pertama : Mengenal adanya Allah Ta'ala.

Nur yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan memperoleh ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Al-Quran. Maka tak adalah penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta'ala.

Berfirman Allah Ta'ala :"Bukankah Kami telah menjadikan bumi bagai hamparan (terbentang luas)? Dan gunung-gunung sebagai pasak (nya)? Dan kamu Kami ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami jadikan untuk mencari penghidupan. Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang teguh. Dan Kami jadikan lampu yang terang benderang. Dan Kami turunkan dari awan air yang tercurah. Karena dengan itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang berlapis-lapis pohonnya". (S. An-Naba', ayat 6 s/d ayat 16).

Berfirman Allah Ta'ala :"Sesungguhnya tentang ciptaan langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfa'at kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Tuhan dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti (S. Al-Baqarah, ayat 164).

Berfirman Allah Ta'ala :"Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Tuhan menciptakan tujuh langit, sepadan satu sama lain? Dan dijadikanNya bulan bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita? Dan Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang berangsur-angsur). Kemudian itu kamu dikembalikannya kesitu, dan kamu dikeluarkanNya dengan kelahiran (baru)".(S. Nuh, ayat 15 s/d ayat I8).
Berfirman Allah Ta'ala : "Tidaklah kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan ? Kamukah yang menciptakan atau Kamilah yang menciptakan? Kami telah mnentukan kematian kepada kamu dan Kami tiada dapat dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam (rupa) yang tiada kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian yang pertama. Mengapa kamu tidak mengambil perhatian? Adakah kamu perhatikan apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan? Dan kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang karenanya. (Mengatakan) : Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang. Tetapi kami tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu perhatikan air yang kamu minum-? Kamukah yang rnenurunkannya dari awan ata.u Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin. Mengapakah kamu tiada berterima kasih? Adakah kamu perhatikan api yang kamu nyalakan? Kamukah yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kamikah yang menumbuhkannya? Itu Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi musyafir di gunung  pasir(S. Al-Waqi'ah, ayat 58 s/d 73).
Maka tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah pandangannya kepada segala keaja'iban makhluk Allah di bumi dan di langit, kecantikan kejadian hewan dan tumbuh — tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat mena'jubkan itu dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada Pencipta yang mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang mentaqdirkannya Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci bersih) dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA yang menentukan dibawah pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak pimpinanNya.

Dari itu, berfirman Allah Ta'ala :
أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
(Afillaahi syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).Artinya :"Apakah kamu ragu-ragu tentang Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?". (S. Ibrahim, ayat 10)."

Maka karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil ummat kepada tauhid, supaya mengucapkan "Laa ilaaha illallaah" (Tidak ada yang disembah selain Allah). Dan tidak disuruh mengucapkan : "Kami mempunyai Tuhan dan alam pun mempunyai Tuhan". Cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam fithrah kejadian akal manusia, dari permulaan pertumbuhan mereka dan masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu berfirman Allah Ta'ala kepada kita :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ

(Wa la-in sa-altahum man khalaqas-sam aawaati wal-ardla layaquu-lunnallaah).Artinya :"Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: 'Allah ".(S. Luqman, ayat 25).

Dan berfirman Allah Ta'ala :

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

(Fa-aqim wajhaka liddiini haniifan fithratallaahillatii fatharannaasa 'alaihaa laa tabdiila likhalqillaahi dzaalikaddiinul qayyimu).Artinya :"Hadapkanlah muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan Tuhan, yang dijadikanNya manusia sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi ciptaan Tuhan itu. Itulah agama yang betul!".(S. Ar-Rum, ayat 30).

Jadi, di dalam fithrah kejadian manusia itu dan dalil-dalil yang ditunjukan Al-Qur'an, sudah lebih dari cukup daripada menegakkan dalil-dalil lain. Tetapi untuk lebih jelas dan karena mengikuti jejak ulama-ulama yang berpandangan jauh, maka kami mengatakan bahwa dari permulaan dalil itu, ialah :akaI Karena yang baharu (haadits) itu, tak dapat tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya.

Bahwa alam itu baharu, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun kata kita bahwa yang baharu itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baharu ditentukan adanya dengan waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh jadi terkemudian.

Maka untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak terkemudian daripada jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN (Mukhashshish).

Adapun kata kita : alam itu baharu, maka dalilnya ialah, bahwa tubuh (jisim) alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu adalah baharu. Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari sifat-sifat baharu adalah baharu.

Di dalam pembuktian ini, terdapat tiga dakwaan :

Dakwaan Pertama : kata kita bahwa jisim-jisim itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini dapat dipahami dengan jelas dan mudah Maka tidaklah memerlukan kepada penelitian dan pemikiran. Sebab orang yang berpikir bahwa jisim itu tidak tetap dan diam, adalah orang itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan menderita penyakit pikiran.

Dakwaan Kedua : kata kita bahwa. gerak dan diam itu adalah baharu. Hal ini ditunjukan oleh ganti berganti diantara keduanya. Adanya yang satu sesudahnya yang lain. Dan itu dapat dipersaksikan pada sekalian jisim, baik yang sudah dilihat ataupun yang belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang tetap. Melainkan menurut akal dia boleh tetap. Maka yang datang dari gerak dan tetap itu adalah baharu karena datangnya. Dan yang dahulu itu baharu karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu qidam (qadim), niscaya mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang keterangannya dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha Tinggi dan Maha Suci.

Dakwaan Ketiga : kata kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada sifat-sifat baharu, adalah baharu. Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang baharu itu, yang baharu-baharu (hawadits), yang tak berpermulaan baginya.

Dan kalau tidaklah berlalu hawadits itu, dengan keseluruhannya niscaya tidak berkesudahanlah pergantian kepada adanya yang baharu ada sekarang. Dan berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil.

Karena sesungguhnya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang tiada berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap atau ganjil atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap dan tidak ganjil. Dan mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap dan tidak ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan itsbat (ada). Karena pada meitsbatkan yang satu, adalah menafikan yang lain. Dan mustahil adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak berkesudahan? Dan mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan menjadi genap dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepadanya, sedang dia tidak berkesudahan bilangannya?

Dan mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak ganjil, karena dia berkesudahan.

Maka kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat baharu. Maka adalah ia baharu. Dan apabila telah benar baharunya, maka dia memerlukan kepada yang membaharu-kannya (muhdits), yang dapat diketahui dengan mudah.

Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah Ta'ala itu qadim, senantiasa, azali, tak ada bagi wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup.

Dalilnya : jikalau adalah Dia itu baharu, tidak qadim, maka Dia memerlukan pula kepada muhdits (yang membaharukan). Yang muhdits itu memerlukan kepada muhdits lagi, lalu tali-bertalilah demikian, sampai kepada yang tak berpenghabisan. Dan yang tali bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits yang qadim, yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang dicari yang kita namakan : Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya.

Pokok Ketiga : Mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta adaNya azali abadi, tak adalah bagi wujudNya berakhir (berkesudahan). Dialah yang awal, yang akhir, yang dhahir dan yang bathin. Karena manakala telah benar qidamNya, maka mustahillah tiadaNya (adamNya). Dalilnya : jikalau Allah Ta'ala itu menghadapi ketiadaan, maka adalah Dia tidak terlepas, adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau dengan sesuatu yang meniadakanNya yang melawani Dia.

Jikalau boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang tergambar kekalnya, niscaya boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka sebagaimana kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka demikian pula kedatangan adam (lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan batil, bahwa dia menerima adam oleh yang mengadamkannya, yang melawanani dia. Karena yang mengadamkannya itu, jikalau ia qadim, maka tidak tergambarlah wujud besertanya.

Dengan dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadimNya. Maka bagaimanakah ada wujudNya pada qadim dan besertanya ada Iawannya?.

Jikalau lawan yang mengAdamkannya itu baharu, maka adalah mustahil. Sebab tiadalah yang baharu dalam perlawanannya kepada yang qadim sampai dapat memutuskan wujudnya itu, lebih utama daripada yang qadim sendiri, dalam perlawanannya kepada yang baharu. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan mempertahankan wujud itu adalah lebih mudah daripada memutus-kannya. Dan yang qadim adalah lebih kuat dan lebih utama dari yang baharu (haadits).

Pokok Keempat : mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta'ala itu jauhar yang terbatas di suatu tempat. Tetapi maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada kesesuaian tempat itu. Dalilnya : bahwa tiap-tiap jauhar itu mengambil tempat, maka tertentulah dia dengan tempat itu. Dan tidak terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu atau bergerak daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang mana keduanya itu adalah baharu. Dan apa yang tidak terlepas dari yang baharu, adalah baharu.

Jikalau tergambarlah jauhar yang bertempat itu, qadim, maka dapatlah diterima akal akan qadimnya jauhar-jauhar alam ini. Jikalau seseorang menamakan sesuatu jauhar dan tidak bermaksud dengan jauhar itu mengambil tempat, maka adalah ia bersalah dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti.

Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah bertubuh (berjisim) yang tersusun daripada jauhar-jauhar. Karena jisim adalah ibarat dari susunan jauhar-jauhar. Apabila batillah adaNya itu jauhar yang tertentu dengan sesuatu tempat, maka batil pulalah adaNya itu jisim. Sebab tiap-tiap jisim, tertentu dengan tempat dan tersusun dari jauhar. Maka jauhar adalah mustahil terlepasnya dari bercerai dan berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas.

Semuanya itu, adalah tanda-tanda dari yang baharu. Kalau bolehlah dii'tiqadkan bahwa pencipta alam itu jisim, maka boleh pulalah dii'tiqadkan ketuhanan matahari, bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim. Kalau adalah orang yang berani menamakan Allah Ta'ala itu jisim, tanpa ada maksud tersusun dari jauhar-jauhar, maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam meniadakan pengertian jisim.

Pokok Keenam : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah 'aradl (sifat) yang berdiri pada jisim atau bertempat pada sesuatu tempat. Karena aradl ialah apa yang bertempat pada jisim. Maka tiap-tiap jisim -tiada jalan lain- adalah baharu, di mana muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka bagaimanakah adaNya bertempat pada jisim, sedang Dia sudah maujud pada azali sendiriNya, tak ada sertaNya yang lain? Kemudian Dialah yang menjadikan jisim-jisim dan aradl-aradl? Dan karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan yang menjadikan sebagaimana akan datang keterangannya.

Sifat-sifat tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa, berkehendak dan menjadikan) adalah mustahil pada aradl. Bahkan tak diterima oleh akal, kecuali pada yang Maujud yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas dengan dzatNya.Dari pokok-pokok(perkara) yang tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa Allah itu maujud, berdiri dengan sendiriNya , tidak Dia jauhar, jisim dan aradl. Dan alam seluruhnya adalah jauhar, ardal dan jisim. Jadi, tidaklah Allah Ta'ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah Ta'ala. Tetapi adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak sepertiNya sesuatu. Betapakah kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya, yang ditaqdir dengan Yang Mentaqdirkannya dan yang dibentuk dengan Yang Membentukkannya ? Segala jisim dan 'aradl itu seluruhnya adalah dijadikan dan dicipta-kan oleh Allah Ta'ala. Maka mustahillah menetapkan persamaan dan penyerupaan dengan Dia.'.

Pokok Ketujuh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha suci dzatNya dari ketentuan dengan arah. Arah itu adakalanya di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri, di muka atau di belakang.

Arah-arah ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan fwasithah) kejadian manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang satu berpegang kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi berhadapan dengan bumi dan dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga seekor semut yang berjalan terbalik di bawah loteng, maka terba-liklah arah atas baginya, menjadi arah bawah. meskipun bagi kita itu arah atas namanya.

Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat dari yang lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk Iawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan yang mengiringi satu lagi kiri.

Dijadikan oleh Allah bagi manusia dua pinggir, di mana manusia itu melihat dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya. Maka timbullah nama hadapan (muka) untuk arah, di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk Iawannya. Segala arah ini adalah baharu, datang dengan datangnya manusia. Jikalau tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang ada ini, tetapi dijadikan bundar seperti bola, maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu. Maka bagaimanakah wujud Allah itu pada azali ditentukan dengan arah, sedang arah itu adalah baharu? Atau bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah tak ada bagiNya yang demikian? Apakah caranya dengan : Allah menjadikan alam di atas-Nya? Maha Sucilah Allah daripada atas bagiNya? Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan kepala. Atau dengan : Allah menjadikan alam di bawahNya? Maha-sucilah Allah dari ada bawah bagiNya! Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah adalah ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki.

Semuanya itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang diterima akal dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan tempat ketentuan jauhar atau ditentukan dengan jauhar sebagai ketentuan 'aradl. Dan telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu jauhar atau 'aradl. Dari itu maka mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah.Kalau dimaksudkan dengan arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta menolong kepada pengertian.

Dan karena kalau adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang dengan alam. Dan tiap-tiap yang setentang bagi jisim, maka adakalanya, sama dengan jisim itu atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya.Semua itu adalah taksiran yang memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha-Sucilah dari yang demikian itu Al-Khaliq Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur.

Mengenai pengangkatan kedua tangan ketika berdo'a kepada Allah ke arah langit, adalah karena langit itu qiblat do'a. Dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan kebesaran dan keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke arah tinggi di atas sifat kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Tinggi di atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.

Pokok Kedelapan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala ber-istiwa' di atas 'ArasyNya, dengan arti yang dikehendaki oleh Allah dengan istiwa' itu. Yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan tiada tersentuh kepadaNya tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan (kelenyapan).

Inilah yang dimaksud dengan istiwa' ke langit, di mana Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an :

ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ

(Tsummas-tawaa ilas samaa-i wa hiya dukhaan), Artinya :"Kemudian itu Dia beristiwa' ke langit, ketika itu berupa asap" (S. Alfushilat, ayat 11).Dan tidaklah demikian itu, selain dengan jalan menguasai dan memerintah, seperti kata seorang penyair :
"Telah beristiwa'lah manusia itu di Irak, tanpa pedang dan darah tertumpah.............

Ahli kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penta'wilan ini, sebagaimana ahli kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penta'wilan firman Allah : "Wa huwa ma'akum ainamaa kuntum". (Dia serta kamu di mana saja kamu berada). Karena dengan sepakat firman tersebut diartikan dengan meliputinya ilmu Allah dan pengetahuanNya.

Begitu pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :

"Hati mu'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih diartikan kepada qudrah dan perkasanya Tuhan.

Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : :

"Batu hitam itu (Al-Hajrul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya diartikan kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajrul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan.

Maka demikian pulalah istiwa Kalau dibiarkan artinya kepada menetap dan bertempat, maka tentulah yang bertempat itu jisim, yang bersentuh dengan 'Arasy. Adakalanya seperti 'Arasy atau lebih besar atau lebih kecil daripadanya. Yang demikian itu adalah mustahil. Dan tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah mustahil.

Pokok Kesembilan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta keadaan-Nya maha-suci daripada bentuk dan batas, maha-qudus daripada arah dan penjuru, Ia melihat dengan mata-kepala dan mata-hati di negeri akhirat negeri ketetapan, karena firmanNya :

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ

إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

(Wujuuhun yauma-idzin naadliratun, ilaa rabbihaa naadhirah).

Artinya : "Beberapa muka di hari  itu bercahaya. Melihat kepada Tuhannya (S. Al-Qiyamah, ayat 22-23).

Dan IA tidak dilihat di dunia karena membenarkan firmanNya 'Azza wa Jalla :

لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ

(Laa tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar).Artinya :"Penglihatan tidak sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan (S. AI-An'am, ayat 103).

Dan karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as. :

(Lan taraanii). = لَنْ تَرَانِي

Artinya :"Engkau tidak akan dapat melihat Aku". (S. Al-A'raaf, ayat 143).

Wahai, bagaimanakah orang Mu'tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian alam yang tidak dapat diketahui oleh Musa as.?Dan bagaimana Musa as. menanyakan ru'yah (melihat) Tuhan, sedang ru'yah itu mustahil?

Semoga kebodohan ahli-ahli bid'ah dan hawa nafsu dari orang-orang yang bodoh dungu itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as.
Adapun cara melakukan ayat ru'yah tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa kepada kemustahilan. Karena ru'yah adalah semacam kasyaf dan ilmu, tetapi lebih sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh penghubungan ilmu kepada-Nya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah penghubungan ru'yah kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah.

Sebagaimana jaiz (boleh) Allah melihat makhlukNya dan tidak di dalam keadaan berhadapan dengan mereka, maka boleh pulalah Dia dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan. Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk, maka boleh pulalah Dia dilihat seperti itu.

Pokok Ke sepuluh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya, sendirian dengan menjadikan dan mencipta dan maha-kuasa Dia menjadikan dan mengadakan, tiada yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan me-nyamaiNya, tiada lawan bagiNya untuk bertengkar dan bermusuhan.

Dalilnya firman Allah Ta'ala :

 لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :"Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke duanya menjadi rusak binasa (S. Al-Anbia, ayat 22),

Keterangannya : jikalau tuhan itu dua dan salah satu daripada ke duanya menghendaki sesuatu, maka tuhan yang ke dua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah tuhan yang ke dua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia sebagai tuhan yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka adalah tuhan yang ke dua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama itu lemah tak berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.



تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله

Tiada ulasan:

Catat Ulasan