بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Qaidah Qaidah Aqidah
Pasal
ketiga: Dari kitab "Qaidah-qaidah
'Aqidah", mengenai
dalil-dalil yang cemerlang buat aqidah, yang telah kami terjemahkan dengan
"Qudus". Maka kami mulai:Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.
Segala
pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi pencinta-pencinta Sunnah
dengan nur yakin. Dan melebihkan pendukung-pendukung kebenaran akan petunjuk
kepada tiang-tiang agama. Dan
menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang yang menyeleweng dan dari
kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi taufiq kepada mereka untuk
mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan mereka untuk menuruti para
shahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka, mengikuti peninggalan ulama-ulama
terdahulu yang salih. Sehingga mereka berpegang teguh dengan
yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh kuat, dengan perjalanan
dan aqidah ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang nyata.
Maka
dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara natijah-natijah akal dan
kehendak-kehendak syari'at yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama).
Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka dari
kata-kata "Laa ilaaha illallaah, Muhammadurrasuulullaah tidaklah berfaedah
dan berhasil, jikalau tidak benar-benar meliputi dengan apa yang dibawa oleh kalimah
syahadah itu, dari isi dan pokok-pokok-nya.
Mereka
mengetahui bahwa dua kalimah syahadah di dalam kesingkatannya itu, mengandung
keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan af'alNya dan mengandung
keyakinan kebenaran Rasul.Dan mereka mengetahui bahwa pembangunan keimanan itu
adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang banyaknya empat. Dan
masing-masing rukun itu, berkisar di atas sepuluh pokok :
Rukun
Pertama : mengenai ma'rifah (mengenai) dzat Allah Ta'ala dan berkisar di atas
sepuluh pokok.(perkara)
Yaitu
: mengetahui
dengan wujud Allah Ta'ala, qidamNya, baqaNya, Dia tidak jauhar, tidak jisim dan
tidak 'aradl. Dia tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas
sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.
Rukun
Kedua : mengenai sifat-sifatNya dan melengkapi kepada sepuluh pokok.
Yaitu
: mengetahui
bahwa Dia itu hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat,
berkata-kata, mahasuci dari bertempat sifat-sifat yang baharu padaNya, qadim
kalamNya, ilmuNya dan iradahNya.
Rukun
Ketiga : Mengenai af'alNya dan berkisar di atas sepuluh pokok.
Yaitu
: bahwa
segala perbuatan hamba adalah dijadikan Allah Ta'ala; Bahwa segala perbuatan
itu adalah usaha bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia mengurniai
dengan menjadikan dan menciptakan. Bahwa Dia mempunyai hak taklif (menugaskan)
apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang yang tidak
berdosa. Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih baik. Bahwa tiada yang wajib
melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu
jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi
Muhammad saw. itu benar, yang dikuatkan dengan mu'jizat-mu 'jizat.
Rukun
Keempat : mengenai sam'iyyat (hal-hal yang didengar dari agama) dan berkisar di
atas sepuluh pokok.
Yaitu
: adanya
pengumpulan dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan Munkar dan Nakir, 'azab
qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan hukum-hukum mengenai
kepemimpinan (mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan ummat Islam), bahwa
keutamaan para shahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka
dan syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslim in (syarat-syarat memegang
jabatan imamah).
Rukun
Pertama: Dari rukun-rukun Iman, ialah mengenai (ma'rifah) dzat Allah Subhanahu
wa Ta'ala. Bahwa Allah Ta'ala itu Esa. Rukun ini berkisar di atas sepuluh pokok.
Pokok
Pertama : Mengenal
adanya Allah Ta'ala.
Nur
yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan memperoleh
ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Al-Quran. Maka tak adalah
penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta'ala.
Berfirman
Allah Ta'ala :"Bukankah
Kami telah menjadikan bumi bagai hamparan (terbentang luas)? Dan gunung-gunung
sebagai pasak (nya)? Dan kamu Kami ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan
tidurmu untuk istirahat. Dan Kami jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami
jadikan untuk mencari penghidupan. Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang
teguh. Dan Kami jadikan lampu yang terang benderang. Dan Kami turunkan dari
awan air yang tercurah. Karena dengan itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang
berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan kebun-kebun yang berlapis-lapis
pohonnya". (S. An-Naba', ayat 6 s/d ayat 16).
Berfirman
Allah Ta'ala :"Sesungguhnya
tentang ciptaan langit dan bumi, pertukaran malam dan siang, kapal yang
berlayar di lautan yang memberi manfa'at kepada manusia, air (hujan) yang
diturunkan Tuhan dari langit, lalu dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang
sudah mati (kering) dan berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran
angin dan awan yang disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya
semua itu menjadi bukti kebenaran untuk orang-orang yang mengerti (S.
Al-Baqarah, ayat 164).
Berfirman
Allah Ta'ala :"Tidakkah
kamu perhatikan, bagaimana Tuhan menciptakan tujuh langit, sepadan satu sama
lain? Dan dijadikanNya bulan bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai
pelita? Dan Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang
berangsur-angsur). Kemudian itu kamu dikembalikannya kesitu, dan kamu
dikeluarkanNya dengan kelahiran (baru)".(S. Nuh, ayat 15 s/d ayat I8).
Berfirman
Allah Ta'ala : "Tidaklah
kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan ? Kamukah yang menciptakan atau
Kamilah yang menciptakan? Kami telah mnentukan kematian kepada kamu dan Kami
tiada dapat dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam
(rupa) yang tiada kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian
yang pertama. Mengapa kamu tidak mengambil perhatian? Adakah kamu perhatikan
apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan?
Dan kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang
karenanya. (Mengatakan) : Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang.
Tetapi kami tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu
perhatikan air yang kamu minum-? Kamukah yang rnenurunkannya dari awan ata.u
Kamikah yang menurunkannya? Kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin.
Mengapakah kamu tiada berterima kasih? Adakah kamu perhatikan api yang kamu
nyalakan? Kamukah yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kamikah yang
menumbuhkannya? Itu Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi musyafir
di gunung pasir(S.
Al-Waqi'ah, ayat 58 s/d 73).
Maka
tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal, apabila memperhatikan dengan pikiran
yang sederhana saja akan kandungan ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah
pandangannya kepada segala keaja'iban makhluk Allah di bumi dan di langit,
kecantikan kejadian hewan dan tumbuh — tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat
mena'jubkan itu dan susunannya yang kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada
Pencipta yang mengaturnya, dari Pembuat yang mengokohkan dan yang
mentaqdirkannya Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci
bersih) dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA
yang menentukan dibawah pengaruhNya dan yang menentukan arah, dengan kehendak
pimpinanNya.
Dari
itu, berfirman Allah Ta'ala :
أَفِي اللَّهِ شَكٌّ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ(Afillaahi syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).Artinya :"Apakah kamu ragu-ragu tentang Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?". (S. Ibrahim, ayat 10)."
Maka
karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil ummat
kepada tauhid, supaya mengucapkan "Laa
ilaaha illallaah" (Tidak
ada yang disembah selain Allah). Dan
tidak disuruh mengucapkan :
"Kami mempunyai Tuhan dan alam pun mempunyai Tuhan". Cara yang
demikian itu adalah merupakan paksaan di dalam fithrah kejadian akal manusia,
dari permulaan pertumbuhan mereka dan masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu
berfirman Allah Ta'ala kepada kita :
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
(Wa
la-in sa-altahum man khalaqas-sam aawaati wal-ardla layaquu-lunnallaah).Artinya
:"Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan langit
dan bumi, niscaya mereka akan menjawab: 'Allah ".(S. Luqman, ayat 25).
Dan
berfirman Allah Ta'ala :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ
عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
(Fa-aqim
wajhaka liddiini haniifan fithratallaahillatii fatharannaasa 'alaihaa laa
tabdiila likhalqillaahi dzaalikaddiinul qayyimu).Artinya :"Hadapkanlah
muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan Tuhan, yang dijadikanNya manusia
sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi ciptaan Tuhan itu. Itulah agama
yang betul!".(S. Ar-Rum, ayat 30).
Jadi, di dalam fithrah kejadian manusia itu
dan dalil-dalil yang ditunjukan Al-Qur'an, sudah lebih dari cukup daripada
menegakkan dalil-dalil lain. Tetapi untuk lebih jelas dan karena mengikuti
jejak ulama-ulama yang berpandangan jauh, maka kami mengatakan bahwa dari
permulaan dalil itu, ialah :akaI Karena yang baharu (haadits) itu, tak dapat
tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya.
Bahwa
alam itu baharu, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun
kata kita bahwa yang baharu itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada
SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baharu ditentukan adanya
dengan waktu, yang mana menurut akal, waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh
jadi terkemudian.
Maka
untuk menentukan waktu itu, tidak terdahulu dan tidak terkemudian daripada
jangkanya, sudah pasti memerlukan kepada YANG MENENTUKAN (Mukhashshish).
Adapun
kata kita : alam
itu baharu, maka dalilnya ialah, bahwa tubuh (jisim) alam itu, tidak terlepas
daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu adalah baharu. Tiap-tiap sesuatu
yang tidak terlepas dari sifat-sifat baharu adalah baharu.
Di
dalam pembuktian ini, terdapat tiga dakwaan :
Dakwaan
Pertama :
kata kita bahwa jisim-jisim itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini
dapat dipahami dengan jelas dan mudah Maka tidaklah memerlukan kepada
penelitian dan pemikiran. Sebab orang yang berpikir bahwa jisim itu tidak tetap
dan diam, adalah orang itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan menderita
penyakit pikiran.
Dakwaan
Kedua : kata
kita bahwa. gerak dan diam itu adalah baharu. Hal ini ditunjukan oleh ganti
berganti diantara keduanya. Adanya yang satu sesudahnya yang lain. Dan itu
dapat dipersaksikan pada sekalian jisim, baik yang sudah dilihat ataupun yang
belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang tetap. Melainkan menurut akal dia
boleh tetap. Maka yang datang dari gerak dan tetap itu adalah baharu karena
datangnya. Dan yang dahulu itu baharu karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu
qidam (qadim), niscaya mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang
keterangannya dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Dakwaan
Ketiga : kata
kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada sifat-sifat baharu, adalah baharu.
Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian, maka sesungguhnya telah ada sebelum
tiap-tiap yang baharu itu, yang baharu-baharu (hawadits), yang tak berpermulaan
baginya.
Dan
kalau tidaklah berlalu hawadits itu, dengan keseluruhannya niscaya tidak
berkesudahanlah pergantian kepada adanya yang baharu ada sekarang. Dan
berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil.
Karena
sesungguhnya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang tiada
berkesudahan, maka tidak tersembunyilah bilangannya itu, dari genap atau ganjil
atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap dan tidak ganjil. Dan
mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak genap dan tidak
ganjil. Sebab yang demikian adalah mengumpulkan diantara nafi (tidak) dan
itsbat (ada). Karena pada meitsbatkan yang satu, adalah menafikan yang lain.
Dan mustahil adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan
bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak
berkesudahan? Dan mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan
menjadi genap dengan bertambah satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan
kepadanya, sedang dia tidak berkesudahan bilangannya?
Dan
mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak ganjil, karena dia
berkesudahan.
Maka
kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat
baharu. Maka adalah ia baharu. Dan apabila telah benar baharunya, maka dia
memerlukan kepada yang membaharu-kannya (muhdits), yang dapat diketahui dengan
mudah.
Pokok
Kedua : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala itu qadim, senantiasa, azali, tak ada bagi wujudNya
permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap sesuatu dan sebelum ada sesuatu yang
mati dan yang hidup.
Dalilnya
: jikalau
adalah Dia itu baharu, tidak qadim, maka Dia memerlukan pula kepada muhdits
(yang membaharukan). Yang muhdits itu memerlukan kepada muhdits lagi, lalu
tali-bertalilah demikian, sampai kepada yang tak berpenghabisan. Dan yang tali
bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits yang qadim,
yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang dicari yang kita namakan :
Pencipta alam, Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya.
Pokok
Ketiga : Mengetahui
bahwa Allah Ta'ala serta adaNya azali abadi, tak adalah bagi wujudNya berakhir
(berkesudahan). Dialah yang awal, yang akhir, yang dhahir dan yang bathin.
Karena manakala telah benar qidamNya, maka mustahillah tiadaNya (adamNya).
Dalilnya : jikalau Allah Ta'ala itu menghadapi ketiadaan, maka adalah Dia tidak
terlepas, adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau dengan sesuatu
yang meniadakanNya yang melawani Dia.
Jikalau
boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang tergambar kekalnya, niscaya
boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka
sebagaimana kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka demikian pula
kedatangan adam (lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan batil, bahwa dia
menerima adam oleh yang mengadamkannya, yang melawanani dia. Karena yang
mengadamkannya itu, jikalau ia qadim, maka tidak tergambarlah wujud besertanya.
Dengan
dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadimNya. Maka
bagaimanakah ada wujudNya pada qadim dan besertanya ada Iawannya?.
Jikalau
lawan yang mengAdamkannya itu baharu, maka adalah mustahil. Sebab tiadalah yang
baharu dalam perlawanannya kepada yang qadim sampai dapat memutuskan wujudnya
itu, lebih utama daripada yang qadim sendiri, dalam perlawanannya kepada yang
baharu. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan mempertahankan
wujud itu adalah lebih mudah daripada memutus-kannya. Dan yang qadim adalah
lebih kuat dan lebih utama dari yang baharu (haadits).
Pokok
Keempat : mengetahui
bahwa tiadalah Allah Ta'ala itu jauhar yang terbatas di suatu tempat. Tetapi
maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada kesesuaian tempat itu. Dalilnya :
bahwa tiap-tiap jauhar itu mengambil tempat, maka tertentulah dia dengan tempat
itu. Dan tidak terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu atau bergerak
daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang mana keduanya
itu adalah baharu. Dan apa yang tidak terlepas dari yang baharu, adalah baharu.
Jikalau
tergambarlah jauhar yang bertempat itu, qadim, maka dapatlah diterima akal akan
qadimnya jauhar-jauhar alam ini. Jikalau seseorang menamakan sesuatu jauhar dan
tidak bermaksud dengan jauhar itu mengambil tempat, maka adalah ia bersalah
dari segi kata-kata. Tidak dari segi arti.
Pokok
Kelima : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala tidaklah bertubuh (berjisim) yang tersusun daripada
jauhar-jauhar. Karena jisim adalah ibarat dari susunan jauhar-jauhar. Apabila
batillah adaNya itu jauhar yang tertentu dengan sesuatu tempat, maka batil
pulalah adaNya itu jisim. Sebab tiap-tiap jisim, tertentu dengan tempat dan
tersusun dari jauhar. Maka jauhar adalah mustahil terlepasnya dari bercerai dan
berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas.
Semuanya
itu, adalah tanda-tanda dari yang baharu. Kalau bolehlah dii'tiqadkan bahwa
pencipta alam itu jisim, maka boleh pulalah dii'tiqadkan ketuhanan matahari,
bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim. Kalau adalah
orang yang berani menamakan Allah Ta'ala itu jisim, tanpa ada maksud tersusun
dari jauhar-jauhar, maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam
meniadakan pengertian jisim.
Pokok
Keenam : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala tidaklah 'aradl (sifat) yang berdiri pada jisim atau
bertempat pada sesuatu tempat. Karena aradl ialah apa yang bertempat pada
jisim. Maka tiap-tiap jisim -tiada jalan lain- adalah baharu, di mana
muhditsnya (yang menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka bagaimanakah adaNya
bertempat pada jisim, sedang Dia sudah maujud pada azali sendiriNya, tak ada
sertaNya yang lain? Kemudian Dialah yang menjadikan jisim-jisim dan
aradl-aradl? Dan karena Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan
yang menjadikan sebagaimana akan datang keterangannya.
Sifat-sifat
tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa, berkehendak dan menjadikan) adalah
mustahil pada aradl. Bahkan tak diterima oleh akal, kecuali pada yang Maujud
yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas dengan dzatNya.Dari pokok-pokok(perkara)
yang tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa Allah itu maujud,
berdiri dengan sendiriNya , tidak Dia jauhar, jisim dan aradl. Dan alam
seluruhnya adalah jauhar, ardal dan jisim. Jadi, tidaklah Allah Ta'ala
menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah Ta'ala. Tetapi adalah
Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak sepertiNya sesuatu. Betapakah kiranya
makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya, yang ditaqdir dengan Yang
Mentaqdirkannya dan yang dibentuk dengan Yang Membentukkannya ? Segala jisim
dan 'aradl itu seluruhnya adalah dijadikan dan dicipta-kan oleh Allah Ta'ala.
Maka mustahillah menetapkan persamaan dan penyerupaan dengan Dia.'.
Pokok
Ketujuh : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala maha suci dzatNya dari ketentuan dengan arah. Arah itu
adakalanya di atas atau di bawah, di kanan atau di kiri, di muka atau di
belakang.
Arah-arah
ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan perantaraan fwasithah) kejadian
manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang satu berpegang
kepada bumi dan dinamakan kaki. Dan yang satu lagi berhadapan dengan bumi dan
dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan
nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki. Sehingga seekor semut yang berjalan
terbalik di bawah loteng, maka terba-liklah arah atas baginya, menjadi arah
bawah. meskipun bagi kita itu arah atas namanya.
Dijadikan
oleh Allah bagi manusia dua tangan, yang satu biasanya lebih kuat dari yang
lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk
Iawannya. Dan dinamakan arah yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan dan yang
mengiringi satu lagi kiri.
Dijadikan
oleh Allah bagi manusia dua pinggir, di mana manusia itu melihat dari salah
satu keduanya dan bergerak kepadanya. Maka timbullah nama hadapan (muka) untuk
arah, di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk Iawannya.
Segala arah ini adalah baharu, datang dengan datangnya manusia. Jikalau
tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang ada ini, tetapi dijadikan bundar
seperti bola, maka tak adalah sekali-kali arah-arah itu. Maka bagaimanakah
wujud Allah itu pada azali ditentukan dengan arah, sedang arah itu adalah
baharu? Atau bagaimanakah terjadinya penentuan Tuhan dengan arah sesudah tak
ada bagiNya yang demikian? Apakah caranya dengan : Allah menjadikan alam di
atas-Nya? Maha Sucilah Allah daripada atas bagiNya? Karena Maha-Sucilah Dia
dari mempunyai kepala. Dan atas adalah ibarat dari apa yang ada dijurusan
kepala. Atau dengan : Allah menjadikan alam di bawahNya? Maha-sucilah Allah
dari ada bawah bagiNya! Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah
adalah ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki.
Semuanya
itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang diterima akal
dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan tempat
ketentuan jauhar atau ditentukan dengan jauhar sebagai ketentuan 'aradl. Dan
telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu jauhar atau 'aradl. Dari itu maka
mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah.Kalau dimaksudkan dengan
arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta menolong
kepada pengertian.
Dan
karena kalau adalah Allah di atas alam, berarti adalah Dia setentang dengan
alam. Dan tiap-tiap yang setentang bagi jisim, maka adakalanya, sama dengan
jisim itu atau lebih kecil atau lebih besar daripadanya.Semua itu adalah
taksiran yang memerlukan tentunya kepada penaksir. Maha-Sucilah dari yang
demikian itu Al-Khaliq Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur.
Mengenai
pengangkatan kedua tangan ketika berdo'a kepada Allah ke arah langit, adalah
karena langit itu qiblat do'a. Dan
dengan itu juga menjadi isyarat kepada sifat Allah dengan kebesaran dan
keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud ke arah tinggi di atas sifat
kemuliaan dan ketinggian. Sesungguhnya Allah Ta'ala
Maha Tinggi di atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan kekuasaan.
Pokok
Kedelapan : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala ber-istiwa' di atas 'ArasyNya, dengan arti yang dikehendaki
oleh Allah dengan istiwa' itu. Yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat
keagunganNya. Dan tiada tersentuh kepadaNya tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan
(kelenyapan).
Inilah
yang dimaksud dengan istiwa' ke langit, di mana Allah Ta'ala berfirman di dalam
Al-Qur'an :
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
(Tsummas-tawaa
ilas samaa-i wa hiya dukhaan), Artinya :"Kemudian itu Dia beristiwa' ke
langit, ketika itu berupa asap" (S. Alfushilat, ayat 11).Dan tidaklah
demikian itu, selain dengan jalan menguasai dan memerintah, seperti kata
seorang penyair :
"Telah
beristiwa'lah manusia itu di Irak, tanpa pedang dan darah tertumpah.............
Ahli
kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penta'wilan ini, sebagaimana ahli
kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penta'wilan firman Allah : "Wa huwa ma'akum ainamaa
kuntum". (Dia serta kamu di mana saja kamu berada). Karena dengan sepakat
firman tersebut diartikan dengan meliputinya ilmu Allah dan pengetahuanNya.
Begitu
pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Hati
mu'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih
diartikan kepada qudrah dan perkasanya Tuhan.
Dan
sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : :
"Batu
hitam itu (Al-Hajrul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya diartikan
kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajrul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas
dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan.
Maka
demikian pulalah istiwa Kalau
dibiarkan artinya kepada menetap dan bertempat, maka tentulah yang bertempat
itu jisim, yang bersentuh dengan 'Arasy. Adakalanya seperti 'Arasy atau lebih
besar atau lebih kecil daripadanya. Yang demikian itu adalah mustahil. Dan
tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah mustahil.
Pokok
Kesembilan : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala serta keadaan-Nya maha-suci daripada bentuk dan batas,
maha-qudus daripada arah dan penjuru, Ia melihat dengan mata-kepala dan
mata-hati di negeri akhirat negeri ketetapan, karena firmanNya :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
(Wujuuhun
yauma-idzin naadliratun, ilaa rabbihaa naadhirah).
Artinya
: "Beberapa muka di hari itu
bercahaya. Melihat kepada Tuhannya (S. Al-Qiyamah, ayat 22-23).
Dan
IA tidak dilihat di dunia karena membenarkan firmanNya 'Azza wa Jalla :
لا تُدْرِكُهُ الأبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأبْصَارَ
(Laa
tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar).Artinya :"Penglihatan tidak
sampai (mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan (S.
AI-An'am, ayat 103).
Dan
karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as. :
(Lan
taraanii). = لَنْ تَرَانِي
Artinya
:"Engkau tidak akan dapat melihat Aku". (S. Al-A'raaf, ayat 143).
Wahai,
bagaimanakah orang Mu'tazilah itu mengenal sifat Tuhan seru sekalian alam yang
tidak dapat diketahui oleh Musa as.?Dan
bagaimana Musa as. menanyakan ru'yah (melihat) Tuhan, sedang ru'yah itu
mustahil?
Semoga
kebodohan ahli-ahli bid'ah dan hawa nafsu dari orang-orang yang bodoh dungu
itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as.
Adapun
cara melakukan ayat ru'yah tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa
kepada kemustahilan. Karena ru'yah adalah semacam kasyaf dan ilmu, tetapi lebih
sempurna dan lebih jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh penghubungan ilmu
kepada-Nya dan IA tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah penghubungan
ru'yah kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah.
Sebagaimana
jaiz (boleh) Allah melihat makhlukNya dan tidak di dalam keadaan berhadapan
dengan mereka, maka boleh pulalah Dia dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan.
Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk,
maka boleh pulalah Dia dilihat seperti itu.
Pokok
Ke sepuluh : mengetahui
bahwa Allah Ta'ala Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman
bagiNya, sendirian dengan menjadikan dan mencipta dan maha-kuasa Dia menjadikan
dan mengadakan, tiada yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan me-nyamaiNya, tiada
lawan bagiNya untuk bertengkar dan bermusuhan.
Dalilnya
firman Allah Ta'ala :
لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا
(Lau
kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).Artinya :"Kalau kiranya
di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari Allah, sudah tentu ke duanya
menjadi rusak binasa (S. Al-Anbia, ayat 22),
Keterangannya
: jikalau
tuhan itu dua dan salah satu daripada ke duanya menghendaki sesuatu, maka tuhan
yang ke dua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah tuhan yang ke
dua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia sebagai tuhan
yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka adalah tuhan
yang ke dua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama itu lemah tak
berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan