Beliau pilih
untuk menjadi judul nama bukunya Ihya Ulumiddin,artinya ialah : MENGHIDUPKAN
KEMBALI PENGETAHUAN AGAMA.
Sebabnya maka
itu judul yang beliau pilih, ialah karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah
hampir leka oleh ilmu yang lain, terutama oleh filsafat Yunani, khusus Filsafat
Aristoteles telah disambut dengan amat asyiknya oleh ahli-ahli fikir Islam,
yang dipelopori oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain di Timur dan kemudian
menjalar pula ke Barat (Andalusia dan Afrika Utara), sesudah Ghazali, yang
dipelopori oleh Ibnu Rusyd.
Filsafat Yunani itu pada waktu itu dinamai 'Ulumul Awail, artinya Pengetahuan orang zaman purbakala.
Oleh sebab Islam sangat berlapang dada menerima segala macam ilmu pengetahuan ataupun hikmat, walau dari manapun datangnya, maka dalam abad-abad kedua dan ketiga hijriyah, terutama di zaman permulaan fajar Daulat Bani 'Abbas, banyaklah pengetahuan lain bangsa disalin ke dalam bahasa Arab, guna memperkaya perpustakaan dan buah pikiran Arab Islam sendiri. Sebab kemajuan Islam dan Daulah Islamiyah dalam lapangan politik dan pengaruh kebudayaan, tidaklah akan dapat bertahan lama kalau pemikiran dari sarjana-sarjana tidak meluas dan mendalam.
Majulah Islam
dalam lapangan fiqhi, ilmu kalam, tasawwuf dan filsafat. Tetapi kadang-kadang
Ilmu Islam yang asli telah teledor oleh karena kemajuan dalam bidang yang
tersebut di belakang ini, yakni filsafat. Al-Ghazali telah tampil ke muka
mempersiapkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang ada pada masa itu, Beliau
memperdalam Ilmu-Kalam, beliau memperdalam fiqhi (Ilmu Hukum) dan perhatian
beliau akhimya amat tertarik kepada Filsafat sampai di- pelajarinya pula amat
mendalam. Hasil dan buah dari penyelidikannya terhadap Filsafat itu telah
diungkapkannya dalam buku-bukunya "Al-Munqidzu minadl-dlalal"
(Pembangkit dari lembah ke- sesatan), "Maqashid al-Falasifah "
(Tujuan daripada para Failasoof) dan "Tahafut al-Falasifah"
(Kekacau-balauan para Failasoof).
Beliau—setelah
pengembaraan dalam alam pikiran yang mendalam itu telah menyatakan kesimpulan
bahwa filsafat itu, baik juga untuk melatih kita berfikir. Tetapi jadi amat
berbahaya kalau sekiranya pikiran yang akan dipergunakan bagi berfilsafat tidak
terlatih terlebih dahulu dengan tuntunan Wahyu ilahi dan tuntunan Nabi. Ada
orang mengatakan bahwa berfikir filsafat itu harus bebas, obyektif, jangan ada
yang mempengaruhi terlebih dahulu. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidaklah
ada seorang manusia pun yang dapat membebaskan dirinya daripada pengaruh alam
dikelilingnya. Apakah lagi—menurut Ghazali—Failasoof-Failasoof Yunani yang
mempengaruhi berfikimya Failasoof-Failasoof Muslim seumpama Al-Farabi dan Ibnu
Sina, karena penerawangan berfikir bebas itu, telah sampai kepada kesimpulan
bahwa Alam itu adalah qodim penaka Tuhan juga. Di sini Filsafat sudah menjauh
sendirinya daripada pokok ajaran agama.
Lantaran itu,
maka Ghazali pun amat menyuruh hati-hati di dalambelajar 'Ilmul Kalam, 'Ilmu
Theologi dalam Islam. Untuk orang awam kata beliau 'Ilmul Kalam itu lebih besar
bahayanya daripada manfaatnya, sehingga beliau keluarkan sebuah risalah bernama
"Djamul 'Awam" (Mengekang orang awam) daripada membicarakan Ilmu Kalam.
Iman kepada Allah— menurut Ghazali- tidaklah dapat dengan dipelajari secara
"akal semata", melainkan hendaklah karena dirasakan, demi setelah
meleburkan diri ke dalam persada Alam yang ada dikeliling kita.
Setelah nyata
bahwa dengan filsafat bukan, dengan 'Ilmu Kalam bukan, dengan debat-berdebat
(jidal) Dmu Fiqhi-pun bukan, manakah jalan yang dapat mencapai kepada Tuhan itu?
Ghazali
akhirnya berpendapat bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma'rifat
kepada Tuhan, hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang
ditempuh oleh kaum shufi.
Ghazalipun
insyaf bahwasanya di zamannya pertentangan kaum syari'ah amat besar dengan kaum
Shufi atau kaum Hakikat. Kaum Fuqaha menghabiskan waktunya di dalam
membincangkan syah dan bathal, dengan mengabaikan perhatian kepada kehalusan
perasaan, sedang kaum Shufi saling terlalu memupuk perasaan (dzauq)
kadang-kadang tidak memperdulikan mana amalan, ibadat dan syari'at yang sesuai
dengan Sunnah Rasul dan mana yang tidak.
Tasawwuf perlu
untuk memupuk perasaan halus manusia, atau 'athifah. Tetapi kadang-kadang
terlanjur keluar dari garis syari'at. Syari'at perlu untuk mengatur kehidupan
sehari-hari menurut jalan Rasul, tetapi kadang-kadang menjadi kaku dan
kehilangan intisari karena hanya tunduk kepada yang tertulis belaka sehingga
kebebas an manusia buat berfikir, buat merasa dan buat berfantasi menjadi
hilang.
Syari'at tanpa
hakikat, menjadi bangkai tak bernyawa, Hakikat tanpa syari'at menjadi nyawa tak
bertubuh.
Ghazali
berusaha mempersatu-padukan keduanya. Dengan dasar itulah beliau ingin
menghidupkan kembali Ilmu Agama : IHYA' 'ULUMIDDIN.
Dengan
bersumber kepada Al-Qur'an, dengan kembali kepada Sunnah Rasul yang asli, kita
bongkar dan kita gali ilmu yang sejati. Di dalamnya terkandunglah hikmat-hikmat
yang tinggi, yang kadang-kadang mungkin dapat dinamai filsafat, kadang-kadang
dapat dinamai Ilmul Kalam, Fiqhi dan Iain-lain, apatah lagi buat mengetahui
rahasia yang terkandung dalam hati (Asroril-Qulub).
Apabila ilmu
telah dihidupkan kembali, syari'at mesti bertemu dengan hakikat, amal saleh
mesti dinyawai oleh Iman dan di samping riadlah jasmani (latihan badan) kita
adalah riadlah annafs atau riadlah qalb (latihan jiwa atau latihan hati).
Disitulah kita mendapat "Haqiqat al Hajah (hidup yang sejati). Sejak
daripada ibadat, sembahyang, puasa, zakat dan hajji, sampai kepada mu'amalat (pergaulan
hidup manusia sehari-hari), sampai kepada munakahat (pembangunan rumah tangga),
sampai kepada hukum-hukum pidana, semuanya beliau cari isi dan umbinya,inti
atau sarinya dalam alam hakikat dan hikmat, sehingga hidup kita sebagai muslim
berarti lahir dan bathin.
Maka kitab
"IHYA' 'ULUMIDDIN" adalah hasil karya positif sesudah beliau ragu
(syak, sceptis) terhadap segala persoalan dalam bidang kepercayaan dan akhirnya
keraguan itu sedikit demi sedikit mulai hilang, berganti dengan yakin. Dan
ituiah yang beliau hidang- kan ke dalam masyarakat muslim.
Sebagai seorang
ahli fiqih Islam yang besar, karangan beliau ini mendapat sambutan hangat.
Mendapat sanjung puji yang tinggi dan juga mendapat sanggahan yang hebat.
Di zaman
pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin di negeri Maghribi di Pas (Fez) kaum
Fuqaha sangat murka kepada Ghazali, sebab karangannya Ihya' 'Ulumiddin banyak
mengeritik kaum ahli fiqhi, yang sudah menjauh daripada Al-Qur'an dan hanya
tenggelam ke dalam taqlid. Fuqaha marah, sehingga mengusulkan kepada Sulthan
supaya Ihya' dibakar saja dan dilarang keras peredarannya ke Maghribi. Di kala
disampaikan orang berita itu kepada Ghazali serta-merta beliau berkata :
"Tuhan akan merobek kerajaan mereka sebagatmana mereka telah merobek
kitabku
Tiba-tiba
muncullah dalam majlis itu, murid beliau Muhammad bin Taumrut, yang bergelar
Al-Mahdi, lalu berkata : "Wahai Imam! Do'akanlah kepada Tuhan bahwa
keruntuhan kerajaan Bam Tasyfin akan terjadi di tangan saya'
Kemudian memang jatuhlah kerajaan Murabithin, digantikan oleh murid Imam Ghazali yang bemama Muhammad bin Taumrut itu, dengan nama Kerajaan Muwahhidin. Bila Imam Ghazali mengetahui bahwa muridnyalah yang menjadi raja, dan kitab beliau telah diakui kembali di negeri itu, beliau berniat hendak hijrah ke Maghribi. Sayang sekali sebelum beliau berangkat, beliau meninggal dunia tahun 505 H. dalam usia 55 tahun.
"Ihya
'Ulumiddin" adalah salah satu karya besar, yang diakui besar fikiran yang
terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang terkenal,
berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. adalah dua Pribadi yang amat besar
jasanya menegakkan Islam,
Pertama Imam
Bukhari karena pengumpulan Haditsnya,
Kedua Imam
Ghazali karena "Ihya'-nya".
Segala sesuatu
apabila telah tercapai kesempumaannya, nampaklah dimana kekurangannya.
"Tanda gading yang tulen, ialah retaknya". Alam ini sendiri menjadi
amat sempurna, karena serba kekurangannya. Tuhan mencipta 'Alam dalam
kesempumaannya, karena ada kekurangannya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya
Allah Ta'ala tidak kaya karena tidak menjadikan sesuatu yang bernama cacat.
Demikian juga
kitab-kitab karangan Ghazali terutama Ihya' 'Ulumiddin ini. Kadang-kadang
beliau, lantaran asyiknya memperingatkan kesucian hidup, telah jatuh kepada
bersangatan mencela dunia. Orang yang terpengaruh oleh ajaran Ghazali tentang
cacat dunia, maulah rasanya mengutuk sama sekali dunia itu. Mengutuk dunia bisa
menyebabkan dunia itu lepas dari tangan kita, hingga dipungut oleh orang lain,
sehingga negara-negara Islam teijajah.
Kadang-kadang
beliau menganjurkan hidup membujang, tak usah beristeri. Supaya beban hidup
dalam munajat kepada Tuhan menjadi ringan, padahal ajaran asli Islam tidak
mengajarkan demikian.
Dan yang Iebih
penting lagi, sebaga! seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau
membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu
daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak
memperhatikan iimu sanad had its, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan
guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya SuUamul Ushul membaca Ihya
musti hati-hati, karena banyak haditsnya lemah.
Itulah menjadi
bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah
melengkapi ilmunya dalam segala bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi
dia besar dalam penciptaan fikiran. Sebagaimana juga Ulama-Ulama Ahli Hadits,
kebanyakannya tidak sanggup buat menciptakan fiqhi atau mengeluarkan faham
bebas, sebab amat terikat oleh hadits-hadits, sehingga fikirannya menjadi buntu
karena kekuatan hafalan.
Perhatikan
kepada ajaran Filsafat Ethika (Akhlaq) Al-Ghazali sampai saat-saat sekarang ini
masih menjadi bahan yang kaya untuk direnungkan. Setengah ahli selidik dan
orientalist Barat berpendapat bahwa keraguraguan Descartes adalah pengaruh
keraguraguan Ghazali. Ragu (skeptis, syak) adalah tangga utama menuju yakin.
Pada tahun 1924 Zaki Mubarak di Mesir mencapai gelar Doktornya karena kritiknya
yang bernama "Akhlaq menurut Ghazali yang sebagai seorang sarjana yang
masih muda dia menghantam ajaran Ghazali sebagai suatu ajaran yang menyebabkan
jiwa melempem. Tetapi setelah dia berusia lebih 40 tahun dikeluarkannya pula
promosinya untuk gelar doktor yang ketiga-kalinya bernama "Tasawwuf Islam
yang kalau dibaca, temyata bahwa pukulannya kepada Ghazali khasnya dan Tasawwuf
'amnya, tidak sekeras dahulu lagi. Di tahun 1947 Dr. Sulaiman Dunia Maha Guru
Filsafat dan 'ilmu Kalam di Al-Azhar University mengeluarkan lagi studynya
"Hakikat menurut pandangan GhazaliDitahun terakhir sampai tahun 1963 masih
tetap ada sarjana Islam yang meninjaunya kembali.
Kupasan Ghazali
tidak akan habis-habisnya menjadi bahan study tentang tasawwuf, tentang aqidah,
tentang filsafat dan ethika (akhlaq).
Demikian itulah
selayang pandang saya tentang IHYA' ULUMIDDIN oleh "Hujjatul Islam " Al-Ghazali.
Di dalam
perkembangan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam di Indonesia, tasawwuf Imam
Ghazali dengan Ihya'-nya besar sekali peranannya. Madzhab Sunni yang masuk
kemari sejak zaman kerajaan Islam Pasai ialah Madzhab Syafi'i. Imam Ghazali
adalah seorang Ulama Mutaakhkhirin dalam madzhab itu.
Tasawwuf
"Wihdatul Wujud" (Pantheisme) Al-Hallaj yang mulanya amat berpengaruh
di sini menjadi terdesak karena datangnya ajaran Ghazali. Kitab Ihya'
'Ulumiddin menjadi pegangan ulama-ulama di tanah air kita. Syaikh Abdus Samad
Al-Falimbani diujung abad kedelapan belas telah mengambil inti-sari kitab Ihya
dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia (Melayu Lama) dengan nama
"Sairus-Salikin' Demikian juga terdapat dalam karangan- karangan
Ulama-ulama Aceh. Kitab Ihya'-pun telah disarikan oleh Ulama-ulama di Jawa ke
bahasa Jawa huruf Pegon. Dizaman modem ini, saya sendiri amat banyak mengambil
buah renungan Ghazali untuk buku saya "Tasawwuf Modern". Tetapi belum
ada usaha selama ini menyalin kitab yang besar 4 jilid itu ke dalam bahasa
Indonesia modem.
Tiba-tiba pada
bulan Rajab 1383 Hijriyah, bertepatan dengan hari-hari peringatan Isra' dan
Mi'raj Nabi Muhammad saw. Seorang Ulama Muda dari Aceh, yang telah lama saya
kenal, yaitu Tengku Haji Ismail Yakub MA-SH. telah datang kerumah saya
memperlihatkan salinan (terjemah) Kitab Ihya Ulumiddin ke dalam bahasa
Indonesia yang beliau keijakan sendiri dan meminta saya supaya sudi memberikan
kata sambutan atas usahanya yang amat berharga itu.
Tidak pelak
lagi kalau saya bergembira menyambut usaha beliau itu. Perhatian kepada Islam
dan inti ajarannya di zaman sekarang telah mulai besar ditanah air kita ini.
Banyak kaum terpelajar secara Barat mulai memperhatikan Islam. Banyak mereka
mendengar nama kitab Ihya' atau membaca adanya kitab itu dari kalangan
Orientalist Barat, sayang mereka tidak mengetahui bahasa Arab. TerjemahanUstadz
Tengku H, Ismail Yakub ini sudah dapat memuaskan dahaga mereka.
Banyak telah
berdiri Perguruan Tinggi Islam. Sayangnya mahasiswa kebanyakan lemah bahasa
Arabnya. Dengan salinannya Ihya' mereka sudah dapat membandingkan fikiran
ciptaan Failasoof Islam ini dengan aliran-aliran filsafat yang lain. Baik
Filsafat Yunani atau Filsafat Scholastik Kristen atau Filsafat Modem.
Muballigh-muballigh
pun mendapat banyak bahan untuk study. Dan lebih dari itu semuanya dengan
membaca salinan Ihya' ini, dengan sendirinya moga-moga isinya yang bemas dapat
mempengaruhi jiwa kita, sehingga kita dapat menjadi seorang Muslim yang tha'at
dan cinta kepada Allah dan Rasul Allah.
Dalam
pembangunan bangsa kita sekarang ini, yang kita sebagai Muslim amat ingin agar
Islam menjadi unsur mutlak dalam pembangunan itu, maka terjemahan Ihya
Ulumiddin ke dalam bahasa Indonesia oleh Ustadz Tk. H. Ismail Yakub MA- SH.,
adalah satu karya yang amat saya pujikan.
Moga-moga Tuhan
Allah memberi taufiq kita bersama dalam menuju ridlaNya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan