Cara Amalan Zahir Solat
بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
Bab kedua ;Tentang cara mengerjakan amalan dhahir dari shalat, permulaan dengan takbir dan yang sebelum takbir.
Bagi orang yang
mengerjakan shalat (mushalli), apabila telah selesai dari wudlu, dari
bersuci daripada najis pada badan, tempat dan pakaian, dari menutupi
aurat dari pusat sampai kepada lutut, bahwa ia tegak berdiri menghadap
qiblat dan merenggangkan diantara kedua tapak kakinya, tidak dirapatkan
keduanya.
Cara yang
demikian itu, termasuk diantara yang menunjukkan kepada adanya
pengertian dari seseorang. Dan : "Dilarang oleh
Nabi صلى الله عليه وسلم daripada "ash-shafan" dan as-shafad" dalam shalat''.
الصفد Ash-Shafad : yaitu
merapatkan kedua tapak kaki. Di dalam Al-Quran tersebut firman Allah
Ta'ala
: مُقَرَّنِينَ فِي الأصْفَادِ" Muqnrraniina fil-ash-fad" Artinya: "Mereka (orang-orang yang berdosa itu) terikat bersama-sama dengan rantai''. (S. Ibrahim, ayat 49).(1)
الصفن Ash-Shafan : yaitu
mengangkatkan salah satu daripada dua kaki. Di dalam Al-Qur'an tersebut
firman Allah Ta'ala
: الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ "Ash-shaafinaa-tuljiyaad". Artinya : "Kuda-kuda yang jinak tenang waktu berhenti dan amat kencang larinya". (S. Shad, ayat 31). (2)
Inilah yang dijaga oleh orang yang mengerjakan shalat mengenai kedua kakinya ketika berdiri.
Dan dijaga
mengenai kedua lututnya dan tulang belakangnya dengan lurus. Dan
mengenai kepalanya, kalau ia mau, maka dibiarkannya tegak lurus dan
kalau ia mau, maka ditundukkannya sedikit. Menundukkan kepala itu adalah
lebih mendekatkan kepada khusyu' dan lebih memincingkan kepada mata.
Dan hendaklah
matanya tertuju kepada mushallanya (tempat shalatnya), di mana ia
mengerjakan shalat padanya. Jikalau ia tiada mempunyai tikar mushalla,
maka hendaklah ia mendekati dinding atau menggariskan suatu garis
dihadapannya. Karena dengan demikian, memendekkan jaraknya penglihatan
dan mencegah daripada bersimpang-siurnya pikiran.
Dan hendaklah
ia menahan penglihatannya daripada melampaui tepi tikar mushalla dan
batas garis. Dan hendaklah berdiri tetap seperti itu sampai kepada ruku'
tanpa berpaling ke mana-mana.
(1)Dari ayat ini, dipahami bahwa arti "ash-shafad"
ialah dirapatkan, sebagaimana pada ayat tersebut "ash-fad", jama' dan
"shafad", yang berarti "dirapatkan" dengan diikat dengan rantai.
(2)Pada ayat
itu, tersebut "ash-shaaf inaat", artinya ; kuda yang jinak dan tenang
sedang berhenti. Kata-kata "ash-shaafinaat", berasal dari kata mashdar
"ash-shafan". Maka dipahami dari itu, bahwa arti "ash-shafan" ialah
tegak berdtrinya seperti Kuda terhenti, mengangkat kakinya dsb. (peny).
|
Inilah adab berdiri!.
Apabila telah berdiri lurus, menghadap qiblat dan menundukkan kepala seperti yang tersebut itu, maka hendaklah ia membaca :
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
(Qul a'uudzu bi rabbinnaas)
Artinya: "Katakanlah! Aku berlindung dengan Tuhan (Pemimpin manusia' untuk bermohon pada Tuhan penjagaan diri daripada setan".
Kemudian hendaklah ia Qaniat. Dan dalam ia mengharap akan kedatangan orang yang akan mengikutnya, maka hendaklah ia adzan lebih dahulu.
Kemudian, hendaklah ia niat, yaitu : niat shalat Dhuhur umpamanya dan mengatakan dengan hatinya : "Aku menunaikan fardlu Dhuhur karena Allah untuk membedakan dengan katanya "Aku menunaikan shalat qadla. Dan dengan fardlu untuk membedakan daripada sunat. Dan dengan Dhuhur, untuk membedakan daripada 'Ashar dan lainnya.
Dan hendaklah pengertian kata-kata itu ada pada hatinya. Yaitu, itulah niat Dan kata-kata itu adalah. yang mengingatkan dan yang menjadi sebab untuk adanya niat itu.
Dan diusahakannya supaya yang demikian itu tetap sampai kepada akhir takbiratul-ihram. tidak
hilang-hilang. Apabila telah ada pada hatinya yang demikian itu, maka
hendaklah ia mengangkat kedua tangannya sampai setentang dengan kedua
bahunya setelah dilepas-kan lebih dahulu kedua tangan itu, di mana
setentang dengan kedua tapak tangannya akan kedua bahunya dan dengan
kedua ibu jarinya akan kedua ujung bawah telinganya. Dan dengan kepala
anak-anak jarinya akan tepi atas kedua telinganya. Supaya adalah yang
demikian itu menghimpunkan segala maksud hadits-hadits yang datang
mengenai itu. Dan adalah orang yang mengerjakan shalat itu menghadap
dengan kedua tapak tangannya dan dengan kedua ibu jarinya ke qiblat. Dan
membuka segala anak jarinya, tidak menggenggamkannya. Dan tidak
memaksakan pada anak-anak jari itu dengan merenggangkan dan
menggenggamkan, tetapi membiar-kannya menurut biasanya saja, karena
dinukilkan-menurut atsar-melepaskan dan menggenggamkan. Dan yang
tersebut di atas tadi, adalah diantara keduanya (diantara melepaskan dan
menggenggamkan). Maka itulah yang lebih utama.
Apabila telah
tetap kedua tangan pada tempatnya itu, maka mulai-lah bertakbir serta
melepaskan keduanya dan menghadlirkan niat. Kemudian meletakkan kedua
tangan itu di atas pusat dan di bawah dada.
Dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri karena memulia-kan kanan, sehingga ia dipikul oleh yang kiri.
Telunjuk dan
jari mati dari tangan kanan dilepaskan di atas sepanjang lengan. Dan
digenggam dengan ibu jari, kelingking dan jari manis di atas pergelangan
tangan kiri.
Sesungguhnya telah diriwayatkan bahwa takbir itu
serta mengangkatkan kedua tangan, serta tetap keduanya dan serta
melepaskan. Semuanya itu tak ada salah padanya. Dan saya berpendapat
dengan melepaskan kedua tangan itu, adalah lebih layak.
Takbir itu adalah kata-kata untuk pengikatan ('aqad). Dan meletakkan salah satu daripada kedua tangan di atas yang lain adalah dalam bentuk pengikatan itu. Permulaan pengikatan itu ialah melepaskan kedua tangan ke bawah dan kesudakannya meletakkan kedua tangan (di atas pusat dan di bawah dada).
Permulaan takbir itu alif (ا ) dan penghabisannya ra (ر ).
Maka sepantasnyalah dipelihara penyesuaian diantara perbuatan dan
pengikatan itu. Dan mengangkatkan tangan itu adalah merupakan muqaddimah bagi permulaan ini.
Kemudian,
tidaklah seyogianya mengangkatkan kedua tangan itu ke depan sebagai
pengangkatan tangan ketika takbir. Dan tidaklah menolakkan kedua tangan
itu ke belakang kedua bahu dan tidaklah menghempaskan kedua tangan itu
ke kanan dan ke kiri, apabila telah selesai daripada takbir.
Dan melepaskan
kedua tangan itu dengan pelan-pelan, kemudian di mulai meletakkan yang
kanan ke atas yang kiri setelah dilepaskan itu. Pada setengah riwayat,
bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم: "Adalah apabila telah bertakbir, lalu
melepaskan kedua tangannya. Dan apabila hendak membaca maka
diletakkannya tangan kanan ke atas tangan kiri".
Kalau riwayat ini shah (benar), maka adalah ini lebih utama dari pada yang kami sebutkan itu.
Adapun takbir, maka seyogialah ha ( ه ) pada pengucapan الله ALLAH itu dibaris-depankan, yaitu Allaahu, dengan suara ringan, tanpa bersangatan. Dan tidak masuk antara ha dan alif, yang menyerupakan u (yaitu suara panjang), hal ini terbawa kalau dibacakan هو hu itu dengan suara keras.
Dan tidak masuk antara “ba “ ak — ba - r dan “ra”-nya itu alif, seolah-olah dibacakannya ak — baa — r (dengan panjang suara pada ba). Dan dimatikan baris ra .takbir itu, tidak dibaris-depankan. Inilah cara takbir dan hal-hal yang menyertai takbir itu.
PEMBACAAN.
Kemudian, dimulainya dengan membaca "doa iftitah " (do'a pembukaan shalat). Dan baiklah dibacakan setelah membacakan الله أكبر "Allaahu akbar" itu :
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحانالله بكرة وأصيلا
(Allaahu akbar
kabiiran wal hamdu lillaahi katsiiraa, wa subhaanal-laahi bukratan wa
ashiila. وجهت وجهي Wajjahtu wajhia)—sampai kepada— وأنا من المسلمين wa
ana minal muslimiin".)
Artinya : "Allah Maha Besar, segala pujian sebanyak-banyaknya bagi Allah. Maha Suci Allah pagi dan petang. Aku hadapkan wajah-ku". — sampai seterusnya kepada — pembacaan, yang artinya : dan aku adalah sebahagian daripada kaum muslimin.
Kemudian, dibacakannya :
سبحانك اللهم وبحمدك وتبارك اسمك وتعالى جدك وجل ثناؤك ولا إله غيرك
(Subhaanakallaahumma wa bihamdika wa tabaarakasmuka wa ta'aalaa jidduka wa jalla tsanaa-uka wa laa ilaaha ghairuk). Artinya : "Maha Suci Engkau wahai Tuhanku dan dengan memuji Engkau dan bertambah-tambahlah keagungan nama Engkau, maha besarlah pujian kepada Engkau dan tiadalah yang disembah selain Engkau ".
Kemudian, dimulainya dengan membaca "doa iftitah " (do'a pembukaan shalat). Dan baiklah dibacakan setelah membacakan الله أكبر "Allaahu akbar" itu :
Supaya dengan
pembacaan yang tersebut tadi, dapat menghimpun-kan diantara yang
berpisah-pisah dari apa yang datang pada beberapa hadits.
Jikalau ia
mengerjakan shalat di belakang imam, hendaklah diringkaskannya, apabila
imam itu tiada lama diam sesudah bertakbir, dengan membaca di dalam
diamnya itu.
Kemudian, dibacakan :
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
(A-'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim).
Artinya : "Aku berlindung dengan Allah daripada setan yang kena kutuk ".
Kemudian,
dibacakan "surat الفاتحة Al-Fatihah",di mulai
dengan بسم الله الرحمن الرحيم "Bismil-laahir rahmaanir rahiim", dengan
menyempurkan tasydid dan hu-rufnya. Dan diusahakan benar-benar membedakan diantara ضاد dlad (tebal) dan ضاد (tipis). Dan dibacakanآمين "aamiin" pada akhir surat Al-Fatihah serta dipanjangkan pembacaan آمين "A amiin ". dan janganlah sekali-kali disambung آمين "Aamiin" dengan ولا الضالين "wa ladl dlaalliin". Dan dikeraskan pembacaan (jhr) pada shalat Shubuh, Maghrib dan 'lsya\ kecuali kalau ia pengikut imam (ma'mum).
Dan dikeraskan
membaca : آمين "Aamiin". Kemudian dibacakan surat atau sekedar tiga ayat
atau lebih daripada Al-Qur'an. Dan tidak disambung akhir surat yang
dibaca itu dengan takbir berpindah untuk ruku'. Tetapi dipisahkan
diantara keduanya sekedar pembacaan "Subhaanallaah".
Dan dibacakan pada shalat Shubuh surat-surat yang panjang dan pada shalat Maghrib, surat-surat yang pendek dan pada Dhuhur 'Ashar dan 'Isya seperti surat : والسماء ذات البروج "Was samaa-i dzaatil buruuj" dan yang mendekati panjangnya. Dan pada shalat Shubuh di dalam musafir, dibacakan :قل يا أيها الكافرون "Qul yaa ayyuhal kaafiruun" dan قل هو الله أحد Qullhuwal-laahu ahad". Dan seperti itu pula pada dua raka'at shalat sunat Shubuh, sunat thawaf dan sunat tahiyyah masjid.
Orang yang
mengerjakan shalat tadi pada semua itu, terus berdiri dan meletakkan
kedua tangannya sebagaimana yang telah kami terangkan pada permulaan
shalat dahulu.
RUKU' DAN SEGALA
YANG BERHUBUNGAN DENGAN RUKU'
Kemudian ia ruku ' dan
dijaga pada ruku' itu beberapa perkara. Yaitu : bahwa ia bertakbir bagi ruku',
mengangkatkan kedua tangan serta takbir ruku' & memanjangkantakbir itu
sampai kepada ruku'. Meletakkan kedua tapak tangan atas dua lutut pada ruku' di
mana segala anak jarinya dilepaskan menghadap arah ke qiblat atas sepan-jang
betis. Bahwa ia menegakkan kedua lututnya, tidak dilipatkan. Bahwa ia
memanjangkan punggungnya dengan lurus dan adalah lehemya dan kepalanya lurus
menyamai dengan punggungnya seperti sebilah papan. Tidaklah kepalanya lebih
rendah dan tidak lebih tinggi. Bahwa ia merenggangkan kedua sikunya daripada
kedua lembungnya. Dan bagi wanita merapatkan kedua sikunya kepada kedua
lembungnya.
Dan dibacakan pada ruku tiga kali :
سبحان ربي العظيم
(Subhaana rabbiyal 'adhiim)
Artinya : Maha Suci Tuhanku Yang Maha
Besar".
Dan dilebihkan sampai tujuh dan sepuluh
adalah baik, jika ia bukan imam.
Kemudian ia bangkit daripada ruku' kepada
berdiri kembali dan mengangkatkan kedua tangannya, seraya membaca :
سمع الله لمن حمده
(Sami allaahu liman hamidah) =
Artinya : "Didengar oleh A llah akan
siapa yang memujiNya ".
Dan berkeadaan tetaplah (berthuma'ninah)
pada i'tidal itu, seraya membaca:
ربنا لك الحمد ملء السموات وملء الأرض وملء ما شئت من شيء بعد
(Rabbanaa lakalhamdu mil-us samaawaati wa
mil-ul ardli wa mil-u maa syi'-ta min syai-in ba'du).
Artinya : "Hai Tuhan Kami! Bagi
Engkau segala pujian, memenuhi segala langit, memenuhi bumi dan memenuhi apa
yang Engkau kehendaki dari sesuatu sesudahnya".
Dan tidak melamakan berdiri i'tidal ini,
selain pada shalat Tasbih, shalat Kusuf (shalat gerhana
matahari dan bulan) dan shalat Shubuh. (1)
Dan dibacakan qunut pada shalat
Shubuh pada raka'at kedua sebelum sujud, dengan
kalimah-kalimah do'a yang diperoleh dari hadits-hadits.
SUJUD.
Kemudian ia turun kepada sujud dengan
bertakbir. Maka diletakkannya kedua lututnya di atas lantai. Dan diletakkannya
dahinya, hidungnya dan kedua tapak tangannya dengan terbuka. Ia bertakbir
ketika turun kepada sujud. Dan tidak mengangkatkan kedua tangan pada bukan
ruku'.
Dan seyogialah, yang mula-mula jatuh ke atas
lantai itu, kedua lututnya. Dan diletakkannya sesudah kedua lutut itu, kedua
tangannya, kemudian mukanya. Dan diletakkannya dahi dan hidungnya atas lantai
dan direnggangkannya kedua sikunya daripada kedua lembungnya. Dan wanita tidak
berbuat demikian (artinya tidak merenggangkan kedua sikunya daripada kedua
lembungnya).
Dan direnggangkan diantara kedua kaki dan
wanita tidak berbuat demikian. Dan pada sujud itu, bagi laki-laki berbuat
"takhwiyah" di atas lantai dan bagi wanita tidak berbuat
"takhwiyah".
Takhwiyah,yaitu : mengangkatkan perut
daripada kedua paha dan menjarangkan diantara kedua
lutut.
Dan diletakkan kedua tangan di atas lantai
setentang dengan kedua bahu dan tidak dijarangkan diantara anak-anak jari kedua
tangan itu, tetapi dirapatkan. Dan dirapatkan ibu jari kepada kedua tangan itu.
Dan jika tidak dirapatkan pun, tiada mengapa.
Dan tidak didudukkan kedua lengan di
atastlantai seperti duduk-nya anjing, karena yang demikian itu dilarang. Dan
dibacakan di dalam sujud :
سبحان ربي الأعلى
(Subhaana rabbiyal-a'Iaa). 3 X
Artinya : "Maha Suci Tuhanku
yang Maha Tinggi". Kalau dilebihkan dari tiga kali, adalah baik,
kecuali ia imam.
Kemudian, bangkit daripada sujud, lalu duduk
dengan tenang (thuma'ninah) dan lurus. Ia mengangkat kepala dari sujud dengan
bertakbir dan duduk di atas kaki kiri serta menegakkan tapak kaki kanan dan
meletakkan kedua tangan di atas kedua paha. Dan segala anak jarinya, terlepas
(tidak tergenggam), tidak diberatkan mera-patkannya dan tidak merenggangkannya.
Dan membaca
ويقول رب اغفر لي وارحمني وارزقني واهدني واجبرني وعافني واعف عني
Artinya "Hai Tuhanku! Ampunilah
aku, kasihanilah aku, berikanlah aku rezeki, berikanlah aku petunjuk,
tutupkanlah kekuranganku, berikanlah aku kesehatan dan ma'afkanlah aku!'\
Dan tidak dilamakan duduk ini, kecuali pada
sujud shalat sunat tasbih.
Dan dikerjakan sujud kedua seperti
yang tadi juga.
Dan duduk dengan lurus sebentar untuk istirahat (istirahah)
pada tiap-tiap raka'at, yang tidak duduk tasyahhud di belakang raka'at itu.
Kemudian setelah duduk sebentar tadi, maka bangun berdiri dengan meletakkan
tangan di atas lantai. Dan tidak mendahulukan salah satu daripada kedua kakinya
ketika bangun berdiri itu, serta memanjangkan takbir sampai habis, diantara
tengah-tengah dari bangkitnya daripada duduk sampai kepada tengah-tengah
bangkitnya kepada berdiri, di mana "ha" dari
ucapannya الله "Alla hu" adalah
ketika duduknya sudah lurus. Dan كاف "kaff" dari أكبر "a k bar" ketika ia bertekan
dengan tangan untuk berdiri dan را "ra" dari أكبر "akba r" pada tengah-tengah bangkitnya
kepada berdiri. Dan di-mulainya pada tengah-tengah bangkitnya kepada berdiri,
sehingga jatuh takbir itu pada tengah-tengah perpindahannya. Dan tidak terlepas
daripada takbir selain kedua tepi perpindahan itu (permulaan perpindahan
dan penghabisan perpindahan dari sujud kepada
berdiri). Dan cara yang demikian adalah lebih mendekati kepada meratakan
pembacaan ibadah.
Dan dikerjakan raka'at kedua seperti
raka'at pertama dan diulangi pembacaan Auudzu billaah seperti
pada permulaan shalat.
TASYAHHUD.
Kemudian membaca tasyahhud pada raka'at
kedua yaitu, tasyahhud pertama. Kemudian membaca
selawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم . dan kepada keluarganya. Dan meletakkan tangan kanan ke
atas paha kanan dan menggenggamkan segala anak jari kanan selain dari telunjuk.
Dan tiada mengapa melepaskan ibu jari juga.
Dan diisyaratkan dengan telunjuk kanan saja
ketika mengucapkan إلا الله "illallaah", tidak ketika
mengucapkan لا إله "Laa ilaaha
Duduk ia pada tasyahhud ini di atas kaki kiri
seperti duduk diantara dua sujud. Dan pada tasyahhud akhir, disempurnakan do'a
yang diterima dari Nabi sesudah membaca selawat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم .
Sunat-sunat pada
tasyahhud akhir, adalah seperti sunat-sunat pada tasyahhud pertama. Hanya pada tasyahhud
akhir itu, duduk ia di atas punggung kiri, karena ia tidak
bangun lagi untuk berdiri tetapi terus tetap menyiapkan shalatnya.
Dan ditidurkannya kaki kirinya yang keluar
dari bawah dan dite-gakkannya kaki kanannya serta diletakkan ujung ibu jari kakinya
itu ke arah qiblat kalau tiada sukar. Kemudian membaca "السلام عليكم ورحمة الله Assalaa-mualaikum wa rahmatullaah " dan berpaling ke kanan, kira-kira
keli-hatanlah pipi kanannya dari belakang dari sebelah kanan. Dan berpaling ke
kiri, begitu pula dan membaca salam kedua.
Diniatkan keluar dari shalat dengan salam itu.
Dan diniatkan dengan salam itu memberi salam kepada siapa yang ada di kanannya,
dari para malaikat dan kaum muslim in pada salam pertama. Dan
diniatkan begitu pula pada salam kedua.
Dibacakan salam itu dengan dimatikan
huruf akhirnya dan tidak dibacakan dengan suara panjang. Begitulah sunnah
Nabi صلى الله عليه وسلم .
Inilah caranya shalat seorang diri. Ditinggikan
suara dengan segala takbir perpindahan (takbir intiqalat),
yaitu sekedar yang dapat didengar oleh dirinya.
Pada shalat jama'ah, imam
itu meniatkan imamah (menjadi imam shalat) supaya memperoleh
kurnia Allah. Jikalau tidak diniatkan-nya, maka shalat orang ramai yang di
belakangnya syah, apabila mereka itu meniatkan ikut
imam (menjadi ma'mum). Dan mereka memperoleh pahala berjama'ah.
Dan dibaca dengan suara halus (sirr) do'a
iftitah dan ta'awwuz (A'uudzu billaah) seperti orang yang bershalat
seorang diri. Dan dibaca dengan suara keras (jahr) al-fatihah dan surat pada
sha -lat Shubuh, dua raka'at pertama dari shalat 'Isya' dan Maghrib. Dan orang
yang bershalat seorang diri membacanya begitu juga.
Dan dikeraskan membaca "A a m i
n" pada, shalat yang di jahr kan (shalat Shubuh, 'Isya' dan
Maghrib). Dan begitu pula ma'mum.
Dan disamakan oleh ma'mum membaca aaminnya, bersama-sama dengan aamin imam, tidak beriring-iring. Dan
berdiam diri imam sebentar sesudah al-fatihah, supaya nafasnya
normal kembali. Dan ma'mum dapat membaca al-fatihah shalat yang
dijahrkan (shalat jahriyah) pada ketika imam berdiam diri itu, agar
ma'mum dapat mendengar pembacaan imam.
Pada shalat jahriyah, ma'mum
tidak membaca surat, kecuali apabila ia tiada mendengar suara imam.
Imam membaca سمع الله لمن حمده "Sami 'allaahu liman hamidah "
ketika mengangkatkan kepalanya daripada ruku', Dan demikian juga ma'mum. Dan
imam tidak melebihkan dari tiga kali membaca tasbih ruku' dan tasbih
sujud. Dan tidak menambahkan bacaan pada tasyahhud pertama
sesudah membaca "Allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa ali
Muhammad". Dan meringkaskan pada dua raka'at akhir atas
al-fatihah saja, tidak memperpanjangkan, karena menyusahkan bagi para ma'mum.
Dan imam tidak menambahkan do'a pada
tasyahhud akhir melebihi dari sekedar tasyahhud dan selawat kepada
Rasulullah صلى الله عليه وسلم Dan meniatkan ketika salam, memberi salam kepada orang
banyak yang menjadi ma'mum dan kepada para malaikat, Dan orang banyak pun
meniatkan dengan salamnya, menjawab salam imam.
Imam itu tetap pada tempat duduknya sekejap,
sehingga selesai orang ramai dari salam dan ia menghadap kepada mereka itu
dengan wajahnya. Yang lebih utama, imam itu tetap di situ dahulu, kalau di
belakang ma'mum laki-laki ada ma'mum wanita, supaya kaum wanita itu pergi
sebelum bangun imam. Dan tidak seorangpun dari ma'mum bangun berdiri, sebelum
bangun berdiri imam.
Imam itu pergi keluar dari sebelah mana yang
disukainya, dari sebelah kanan atau sebelah kiri. Dan menurut pendapatku, dari
sebelah kanan adalah lebih baik.
Tidaklah imam itu menentukan do'a untuk
dirinya saja pada qunut Shubuh, tetapi hendaklah ia membaca :اللهم اهدنا "Allaahummah dinaa", artinya
: "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah kami". (Tidak : Allaahummah
dinii, yang artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Tunjukilah aku!).
Imam itu membaca qunut dengan suara keras dan
para ma'mum mengaminkan, dengan mengangkatkan tangan tentang
dada dan menyapukan muka ketika selesai dari do'a qunut.
Demikian menurut hadits yang diriwayatkan
tentang itu, Kalau tidak karena hadits, maka secara qias (analogi), tangan itu
tidaklah diangkatkan seperti pada akhir tasyahhud.
LARANGAN-LARANGAN.
Dilarang oleh
Rasulullah صلى الله عليه وسلم .الصفن "ash-shafan"
dan الصفد "ash-shafad" di dalam shalat dan sudah
kami terangkan arti keduanya dahulu. Dan dilarang dari الإقعاء "iq'a",
dariالسدل "sadl", dari كفت kaff", dari الاختصار "ikhtishar",
dari الصلب "shalb",dari المواصلة "muwashalah", dari صلاة الحاقن "shalat
al-haqin", dari "haqib", dari
"hadziq", dari "shalat orang lapar", dari "shalat
orang marah" dan dari "shalat orang yang menutup muka".
Adapun الإقعاء iq 'a yaitu -menurut ahli bahasa-
artinya : duduk di atas kedua punggung, menegakkan kedua lutut dan meletakkan
kedua tangan ke atas lantai seperti duduk anjing. Dan -menurut
ahli hadits-ialah : duduk di atas kedua betis dan tiada yang di atas lantai,
selain dari ujung anak-anak jari kedua kaki dan kedua lutut.
Adapun السدل sadl, yaitu
-menurut madzhab ahli hadits- ialah berselimut dengan kain dan memasukkan kedua
tangan dari dalam, lalu ruku' dan sujud, dalam keadaan yang demikian. Cara yang
begini ialah cara Yahudi di dalam sembahyangnya. Maka dilarang daripada menyerupakan
dengan Yahudi.
Baju kemeja searti juga dengan kain itu, maka
tidaklah wajar ruku' dan sujud, sedang kedua tangan di dalam selimutan kemeja.
Ada yang mengatakan arti السدل sadl, ialah
meletakkan tengahan kain sarung di atas kepala dan melepaskan
kedua pinggirnya, dari kanan dan kiri tanpa meletakkannya ke atas dua bahu.
Arti yang pertama tadi adalah lebih mendekati kepada benar.
Adapun الكف kaff, yaitu mengangkatkan kain dari
muka atau dari belakang, apabila mau sujud. Kadang-kadang الكف kaff itu pada rambut kepala. Dari itu,
janganlah dikerjakan shalat, di mana ia menyanggul rambutnya. Larangan ini
adalah terhadap laki-laki. Pada hadits tersebut :
أمرتأن أسجد على سبعة أعضاء ولا أكفت شعرا ولا ثوبا
(Umirtu an asjuda 'alaa sab-'ati a'-dlaa-in
wa laa akuffu sya'-ran wa laa tsaubaa).
Artinya : "Disuruh aku supaya sujud
dengan tujuh anggota badan dan tidak aku mengangkatkan rambut dan kain waktu
sujud".
Ahmad bin Hanbal ra. memandang makruh berkain
sarung di atas baju kurung panjang di dalam shalat dan dipandangnya sebahagian
dari kaff.
Adapun الاختصار ikhtishar,ialah meletakkan
kedua tangan pada pinggang.
Adapun الصلب shalb, ialah meletakkan kedua tangan
pada pinggang, pada waktu berdiri dan merenggangkan antara kedua lengan pada
waktu berdiri itu.
Adapun المواصلة muwashalah (menyambung), maka ada lima
: Dua atas imam yaitu : imam itu tiada menyambung bacaannya
dengan takbiratul-ihram dan tiada menyambung ruku'nya dengan
bacaannya. Dua atas ma'mum yaitu ; ma'mum itu tiada menyambung takbiratul-ihramnya
dengan takbiratul-ihram imam dan tiada menyambung salamnya dengan
salam imam. Dan satu lagi di alas keduanya, yaitu : tidak
menyambung salam fardiu (salam pertama) dengan salam
kedua. Dan hendaklah dipisahkan diantara kedua salam itu.
Adapun shalat al-haqin, yaitu
shalat orang yang mau buang air kecil (mau kencing). Dan haqib, yaitu
shalat orang yang mau buang air besar (mau berak). Dan hadziq, yaitu
orang yang mengerjakan shalat di dalam alas kaki (muza) yang sempit. Semuanya
itu adalah mencegah daripada khusyu'.
Dan searti dengan yang di atas, ialah orang
yang sedang lapar dan susah. Dipahami larangan shalat bagi orang yang sedang
lapar, dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
إذا حضر العشاء وأقيمت الصلاة فابدءوا بالعشاء
(Idzaa hadlaral'asyaa-u wa
uqiimatish-shalaatu fab da-uu bil'asyaa-i
Artinya : "Apabila datang makanan
malam dan di qamatkan shalat, maka mulailah dengan makanan malam!". (1)
Kecuali sempit waktu atau hatinya tenang .
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Abbas.
|
Pada suatu hadits tersebut :
الخبر لا يدخلن أحدكم الصلاة وهو مقطب ولا يصلين أحدكم وهو غضبان
(Laa yadkhulanna 'ahadukumush-shalaata wa
huwa muqath-thabun wa laa yushalliyanna ahadukum wa huwa ghadlbaan).
Artinya : "Janganlah seorang kamu
melakukan shalat, sedang pikirannya terganggu. Dan janganlah bershalat seorang
kamu, di mana dia sedang marah". (1)
Berkata Al-Hasan : "Tiap-tiap shalat
yang tidak hadlir hati padanya, maka shalat itu lebih mendekati kepada
siksaan".
Pada suatu hadits tersebut : "Tujuh
perkara dalam shalat adalah dari setan : keluar darah dari hidung, datang
ngantuk, datang kesangsian hati (waswas), menguap, menggaruk, berpaling muka
dan bermain-main dengan sesuatu". Dan ditambah oleh setengah mereka : Lupa
dan ragu". (2)
Berkata setengah salaf : "Empat perkara
di dalam shalat termasuk bahagian tiada disukai : berpaling muka, menyapu muka,
meratakan batu tempat shalat dan engkau mengerjakan shalat pada jalan orang
yang melalui dihadapan engkau".
Dan juga dilarang di dalam shalat
menjerejakkan anak-anak jari atau memukulkan anak-anak jari supaya berbunyi
atau menutup muka atau meletakkan salah satu daripada kedua tapak tangan ke
atas tapak tangan yang satu lagi dan memasukkan kedua tapak tangan itu diantara
kedua paha pada ruku'.
Berkata setengah shahabat ra. : "Adalah
kami berbuat demikian, maka dilarang kami daripadanya".
Dan dimakruhkan juga menghembus ke lantai
ketika sujud untuk membersihkan lantai itu. Dan dimakruhkan juga meratakan batu
dengan tangan, karena segala perbuatan tersebut tadi tidak diperlukan.
Dan tidak diangkatkan salah satu dari kedua
tapak kaki, lalu diletakkan ke atas paha. Dan tidak bersandar ke dinding waktu
berdiri. Kalau bersandar sehingga jikalau dinding itu ditarik, niscaya ia
jatuh, maka pendapat yang lebih kuat batal (tidak syah) shalatnya.
Wallaahu a'lam — Allah yang Maha Tahu!.
1.Menurut Al Iraqi tidak pernah menjumpai
Hadis ini
2.Dirawikan At Tirmidzi dari Uda bin Tsabit
|
MEMBEDAKAN FARDLU DAN SUNAT.
Sejumlah apa yang telah kami sebutkan itu, melengkapi kepada : fardlu, sunat, adab dan cara dari hal-ihwal yang sewajarnya dipelihara seluruhnya oleh seorang murid yang menuju jalan akhirat.
Maka yang fardlu, berjumlah dua belas perkara : niat,
takbir, berdiri betul, al-fatihah, membungkuk pada ruku', sehingga
kedua tapak tangannya sampai kepada kedua lututnya, serta thuma'ninah,
i'tidal dari ruku' di dalam keadaan berdiri betul, sujud serta
thuma'ninah dan tiada wajib meletakkan dua tangan, i'tidal dari sujud
dengan duduk betul, duduk untuk tasyahhud akhir, membaca tasyahhud
akhir, selawat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . padanya dan salam pertama.
Adapun niat keluar dari shalat, maka tiada wajib.
Selain dari yang dua belas itu, tiada wajib, tetapi adalah sunat dan menjadi hai-ah (cara) pada melakukan yang sunat itu dan pada melakukan yang fardlu.
Adapun sunat, maka yang termasuk bahagian perbuatan adalah empat : mengangkat kedua tangan pada takbiratul-ihram, pada ketika turun kepada rukupada ketika bangun kepada berdiri dan duduk untuk tasyahhud pertama.
Adapun apa yang kami sebutkan, mengenai cara membuka anak-anak jari dan batas mengangkatkannya, maka itu adalah cara (sunat hai-ah) yang mengikuti sunat di atas tadi.
Mengenai tawarruk (duduk dengan punggung ke lantai pada duduk tasyahhud akhir) dan iftirasy (duduk di atas tumit kaki kiri pada duduk tasyahhud pertama dan lainnya) adalah hai-ah yang mengikuti bagi duduk itu.
Menundukkan
kepala dan meninggalkan berpaling muka adalah hai-ah bagi berdiri betul.
Membaguskan bentuk dan duduk istirahat, tidaklah terhitung sebahagian
daripada pokok-pokok sunat di dalam perbuatan shalat. Karena dia adalah
sebagai pembaikan bagi cara (hai-ah) bangun dari sujud kepada
berdiri betul. Dan tidaklah dimaksudkan untuk istirahat itu sendiri.
Dari itu tidak kami asing-kan menerangkan nya.
Adapun yang sunat dari bacaan-bacaan (adz-kar), maka yaitu : do'a iftitah, kemudian membaca A 'uudzu billah (ta'awwudz), kemudian membaca aamin, maka itu adalah sunat mu-akkadah (sunat yang lebih dikuatkan dari sunat lainnya), kemudian membaca surat Al-Qur'an, kemudian takbir-takbir intiqalat (takbir yang dibacakan waktu berpindah dari rukun ke rukun), kemudian dzikir (pembacaan tasbih) pada ruku', sujud dan i'tidal dari keduanya, kemudian tasyahhud pertama dan selawat padanya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian do'a pada penghabisan tasyahhud akhir, kemudian salam kedua.
Walaupun semuanya yang di atas tadi, kami kumpulkan di dalam nama sunat, tetapi mempunyai derajat yang berlebih-kurang. Karena empat daripadanya ditempel dengan sujud sahwi (sujud karena lupa) kalau terlupa mengerjakannya.
Adapun yang sunat dari perbuatan shalat, maka adalah satu. Yaitu duduk pertama pada tasyahhud pertama. Maka duduk pertama ini,
adalah membekaskan pada tata-tertib susunan shalat pada penglihatan
orang yang melihatnya. Karena dengan duduk pertama itu, dikenal apakah
shalat itu termasuk empat raka'at atau tidak. Lain halnya dengan
mengangkat dua tangan. Maka tidaklah membekaskan pada perobahan susunan
shalat.
Dari itu, disebut sunat yang menjadi sebahagian dari shalat (sunat ab-'adl). Dan dikatakan, sunat ab-'adl itu ditempel dengan sujud shawi apabila terlupa mengerjakannya.
Adapun sunat bacaan-bacaan (adz-kaar)itu, maka seluruhnya tidak berkehendak kepada sujud sahwi, selain tiga : qunut, tasyahhud pertama dan selawat kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, padanya. Lain halnya dengan takbir intiqalat, dzikir pada ruku', pada sujud dan pada i'tidal daripada
keduanya. Karena ruku' dan sujud di dalam bentuknya,' sudah menyalahi
daripada kebiasaan. Dari itu tercapai maksud ibadah dengan ruku' dan
sujud itu, walaupun berdiam diri daripada membaca dzikir dan bertakbir
intiqalat. Maka tidak adanya dzikir-dzikir itu, tidaklah merobah bentuk
ibadah.
Adapun duduk
bagi tasyahhud pertama, maka adalah perbuatan biasa. Dan duduk ini tidak
ditambahkan melainkan karena membaca tasyahhud. Dari itu, meninggalkan
duduk tasyahhud ini, terang benar membekasnya.
Adapun do'a iftitah dan membaca surat, maka meninggalkannya tiadalah membawa pengaruh apa-apa, di mana berdiri itu sudah terbentuk dengan membacakan al-fatihah. Dan sudah dapat dibeda-kan dari berdiri biasa, dengan al-fatihah itu,
Begitu pula do'a pada tasyahhud akhir dan qunut, adalah
amat jauh daripada ditempel dengan sujud. Tetapi disuruh melamakan
i'tidal pada shalat Shubuh karena qunut itu. Maka adalah melamakan
i'tidal tadi seperti melamakan duduk istirahat. Karena duduk istirahat
itu dengan melaraakannya serta membaca tasyahhud, menjadi duduk
tasyahhud pertama.
Maka tinggallah ini menjadi berdiri yang dilamakan, yang biasa, di mana tak ada padanya dzikir wajib.
Tentang
melamakan berdiri itu adalah menjaga dari bukan shalat Shubuh. Dan
tentang kosongnya dari dzikir wajib, adalah menjaga dari pokok berdiri
di dalah shalat.
Kalau anda
bertanya bahwa ; membedakan sunat daripada fardlu, adalah dapat
dipahami. Karena hilangnya syah shalat dengan hilangnya fardiu. Tidak
dengan hilangnya sunat. Dan dihadapkan kepada siksaan dengan tidak
-adanya fardlu, bukan dengan tidak adanya sunat. Adapun membedakan sunat
dari sunat dan semuanya disuruh atas jalan sunat dan tak ada siksaan
dengan meninggalkan segala yang sunat itu. Dan pahala itu ada dengan
mengerjakan semuanya. Maka apakah artinya itu?.
Maka ketahuilah
bahwa berserikatnya fardiu dan sunat pada pahala, siksa dan disukai,
tidaklah menghilangkan adanya berlebih-kurang pada keduanya. Marilah
kami terangkan kepada anda yang demikian itu dengan contoh. Yaitu :
bahwa manusia tidaklah bemama manusia, yang ada, lagi sempurna,
melainkan dengan pengertian bathin dan anggota dhahir.
Pengertian bathin ialah : hidup dan roh. Dan dhahir ialah segala anggota tubuhnya. Kemudian, sebagian daripada
anggota tubuh itu, adalah manusia menjadi tidak ada dengan tidak adanya
seperti : hati, jantung, otak dan semua anggota yang hilang hidup dengan hilangnya. Dan sebahagian, tidaklah hilang hidup dengan hilangnya, tetapi maksud hidup yang hilang seperti : mata, tangan, kaki dan lidah. Dan sebahagian,tidaklah
hilang hidup dan maksudnya, tetapi yang hilang ialah kebagusan, seperti
: dua alis mata, janggut, bulu mata dan kebagusan warna kulit. Dan
sebahagian lagi, tidaklah hilang sebab kecantikan dengan tidak adanya,
tetapi yang hilang ialah kesempurnaan kecantikan seperti: melengkung dua
alis mata, hitam bulu janggut dan bulu mata, bersesuaian bentuk anggota
dan bercampur merah dengan putih pada warna kulit. Maka ini semuanya
adalah bertingkat-tingkat, yang berlebih-kurang.
Maka seperti itu pulalah ibadah mempunyai bentuk yang dibentuk oleh Syara' dan kita berbuat ibadah dengan mengusahakan bentuk itu.
Maka nyawa dan hidup bathinnya ialah : khusyu \niat, hadlir hati dan ikhlas, sebagaimana akan diterangkan nanti. Dan sekarang kami terangkan bahagian-bahagian dhahirnya.
Maka ruku\ sujud, berdiri dan rukun-rukun lainnya daripada shalat adalah merupakan hati, kepala dan jantung. Karena tidak adalah wujud shalat dengan tidak adanya yang tersebut tadi.
Dan segala
sunat yang telah kami sebutkan, dari mengangkatkan kedua tangan, do'a
iftitah dan tasyahhud pertama daripada shalat adalah merupakan dua
tangan, dua mata dan dua kaki. Dan tidaklah hilang syahnya shalat dengan
tidak adanya sunat-sunat itu, sebagaimana tidak hilangnya hidup dengan
hilangnya anggota-anggota tadi. Tetapi jadilah orang dengan sebab
hilangnya, memperoleh cacat, dicela dan tidak disukai. Maka seperti itu
pulalah orang yang menyingkatkan kepada yang sedikit dari yang mencukupi
daripada shalat, adalah seperti orang yang mempersembahkan kepada
maharaja, seorang budak yang hidup tetapi tidak bertangan dan berkaki.
Adapun hai-ah, yaitu
yang bertingkat di belakang sunat. Maka adalah merupakan sesuatu yang
membawa kepada kecantikan, seperti : dua alis mata, janggut, bulu mata
dan kecantikan warna kulit.
Adapun tugas
dzikir pada sunat-sunat itu, adalah menyempurnakan kecantikan seperti :
melengkungnya dua alis mata, membulatnya janggut dan lainnya.
Maka shalat
pada ketika itu, adalah merupakan pendekatan dan persembahan kehadlirat
Raja-Diraja, seperti persembahan yang dipersembahkan oleh orang yang
mencari kedekatan diri, kepada sultan-sultan.
Persembahan itu dipersembahkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, kemudian dikembalikan kepada kita pada hari pertemuan akbar. Maka
terserahlah kepada kita, untuk membaguskan bentuknya atau
menjelekkannya. Kalau kita baguskan, maka adalah untuk kita sendiri dan
kalau kita jelekkan, maka adalah di atas kita sendiri.
Dan tidaklah layak anda mengambil bahagian daripada mempelajari fiqih, untuk membedakan diantara yang fardiu dan yang sunat. Lalu tiada yang melekat pada paham anda tentang ciri-ciri sunat itu. selain daripada boleh meninggalkannya,
lalu anda tinggalkan. Karena yang demikian itu, serupalah dengan kata
dokter bahwa kerusakan mata tidaklah melenyapkan adanya manusia. Tetapi
kerusakan mata itu menolak dibenarkan untuk diterima oleh sultan,
apabila datang kepadanya membawa hadiah yang akan dipersembahkan.
Maka begitulah
hendaknya dipahami tingkat-tingkat sunat, hai-ah dan adab. Sehingga
tiap-tiap shalat yang tidak disempurnakan ruku' dan sujudnya, menjadi
musuh pertama kepada yang empunya shalat itu di mana shalat mengatakan :
"Disia-siakan oleh Allah kiranya engkau, sebagaimana engkau telah
menyia nyiakan aku".
Maka
perhatikanlah benar-benar, segala hadits yang telah kami bentangkan
mengenai kesempurnaan rukun-rukun shalat, supaya jelaslah bagimu keadaan
yang sebenarnya!.
Bab ketiga ; Mengenai syarat syarat bathiniyah daripada amaf perbuatan hati.
Hendak kami sebutkan pada Bab ini, hubungan shalat dengan khusyu' dan kehadliran hati. Kemudian
kami sebutkan segala pengertian bathin, batas-batasnya, sebab-sebabnya
dan obatnya. Kemudian hendak kami sebutkan perincian apa yang sewajarnya
harus timbul pada tiap-tiap rukun dari rukun-rukun shalat. Supaya patut
untuk perbekalan akhirat.
Penjelasan : pensyaratan khusyu' dan kehadliran hati :
Ketahuilah kiranya bahwa dalil-dalil yang demikian itu banyak. Diantaranya firman Allah Ta'ala :وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
(Aqimish-shalaata li-dzikrii).
Artinya : "Dirikanlah shalat untuk mengingati Aku". (S. Thoha, ayat 14).
Yang jelas dari perintah (amr) ialah wajib. Dan lengah itu berlawanan dengan mengingati. Orang
yang lengah (lalai) dalam keseluruhan shalatnya, bagaimanakah ia
mendirikan shalat untuk mengingati Tuhan? Dan firman Allah Ta'ala :
(Wa laa takun minal ghaafiliin).
Artinya : "Dan janganlah engkau termasuk orang-orang lengah". (S. Al-A'raaf, ayat 205).
adalah suatu larangan, dan dhahiriyahnya menunjukkan kepada pengharaman.
Dan firman Allah 'Azza wa Jalla :
(Hattaa ta'Iamuu maa taquuluun)
Artinya : "Sampai kamu mengetahui apa yang kamu katakan".(S. An-Nisa', ayat 43)
adalah alasan bagi
larangan meminum minuman yang memabukkan. Dan memabukkan itu sering
terjadi pada orang yang alpa, yang karam dengan kesangsian dan
pikiran-pikiran duniawi. Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
إنما الصلاة تمسكن وتواضع
(Innamash shalaatu tamaskunun wa-tawaadlu' )
Artinya : "Sesungguhnya shalat itu ialah ketetapan dan kerendahan hati",
adalah pembatasan dengan adanya alif dan lam pada kata-kata shalaatu itu (yang berarti adanya shalat itu, terbatas dengan adanya ketetapan dan kerendahan hati). Dan kata-kata innamaa (sesungguhnya), berarti : penegasan dan penguatan, Dan dipahami oleh para ahli fiqih dari sabda Nabi صلى الله عليه وسلم Sesungguhnya syuf'ah (1) ialah pada benda yang tiada dapat dibagikan ", adalah itu pembatasan, itsbat (positif) dan nafi (negatif).
Dan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Barangsiapa
tidak dicegahkan oleh shalatnya dari perbuatan yang keji dan
mungkar,maka tidaklah ia bertambah dekat, kepada Allah melainkan
bertambah jauh" . Dan shalat orang yang lalai itu, tidaklah mencegah daripada kekejian dan kemungkaran.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
كم من قائم حظه من صلاته التعب والنصب
(Kam min qaa-imin, hadhdhuhu min shalaatihit ta-'abu wan nashabu)
Artinya : "Berapa banyak orang yang menegakkan shalat, memperoleh letih dan payah saja daripada shalat". (2) Dan tidaklah dimaksudkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم , dengan ucapannya itu, melainkan orang yang alpa.
1)Syuffah;
yaitu : memiliki bahagian dari hak milik kongsi, dengan menggantikan
harganya yang telah dijualnya kepada orang lain, la boleh menggantikan
harganya Itu dengan tampa izin dan persetujuan dari kongslnya dan dari
orang yang membelinya, asal benda itu benda tetap, tidak bisa dibagi,
umpamanya : rumah dan tanah. Maka ulama fiqih memahami hadits itu-bahwa
ia mengandung pembatasan, artinya terbatas syuf'ah pada yang tidak dapat
dibagi saia, mengandung itsbat (positif) artinya : adanya syuf'ah pada
benda yang tidak bisa dibagi (benda tetap) dan mengandung nafi
(negatif), artinya : tidak adanya syuf'ah pada benda yang bisa dibagi
(benda yang bergerak). —Peny.
(2) Dirawikan An-Nasa-i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah.
|
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
ليس للعبد من صلاته إلا ما عقل منها
(Laisa lil-'abdi min shalaatihi illaa maa 'aqala minha).
Artinya : "Tiadalah bagi hamba daripada shalatnya, melainkan yang ada akal pikirannya pada shalat itu". (1)
Dan yang
diyakini bahwa orang yang mengerjakan shalat itu adalah bermunajah
dengan Tuhannya 'Azza wa Jalla, sebagaimana yang tersebut pada hadits.
Dan berkata-kata dengan alpa, tidaklah sekali-kali dapat dinamakan munajah.
Jelasnya, bahwa zakat kalau
alpalah manusia daripadanya umpamanya, maka zakat itu sendiri adalah
menyalahi bagi hawa-nafsu dan berat atas diri seseorang. Demikian juga puasa, yang
memaksakan bagi kekuatan, menghancurkan kekuasaan hawa-nafsu yang
menjadi alat bagi setan musuh Allah. Maka tiadalah jauh bahwa berhasil
maksud daripada zakat itu serta alpa.
Begitu pula hajji, segala
amal perbuatannya adalah sulit dan berat. Di dalamnya dari mujahadah,
diperoleh kesakitan, adakah hati itu hadlir beserta segala perbuatannya
atau tidak?
Adapun shalat, maka tak ada padanya selain daripada dzikir, bacaan, ruku', sujud, berdiri dan duduk.
Adapun dzikir adalah bercakap-cakap dan bermunajah serta Allah Ta'ala. Maksud daripadanya, adakalanya berhadapan dan bercakap-cakap. Atau dimaksudkan daripadanya huruf-huruf dan suara-suara, sebagai
ujian bagi lisan dengan amal perbuatan. Sebagaimana diuji perut dan
kemaluan dengan menahan (imsak) pada puasa. Dan sebagaimana diuji tubuh
dengan segala kesulitan waktu mengerjakan hajji. Dan diuji hati dengan
kesulitan mengeluarkan zakat dan melepaskan harta yang dirindukan.
Dan tak ragu
lagi bahwa bahagian ini batal. Sesungguhnya menggerakkan lisan dengan
kelengahan, alangkah ringannya kepada orang yang alpa. Sebab, tak ada
padanya ujian dari segi perbuatan. Tetapi yang dimaksudkan ialah huruf-huruf dari segi ia diucapkan. Dan tidaklah itu dinamakan ucapan, kecuali apabila melahirkan apa yang terkandung di dalam hati (dlamir). Dan tidak ada itu dilahirkan, kecuali dengan kehadliran hati. Maka apakah artinya اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ: "Ihdinash shiraathal mustaqiim" (Tunjukilah aku jalan yang lurus), apabila
hati itu alpa. Apabila tidak dimaksudkan untuk merendahkan diri dan
berdo'a? Maka manakah kesulitan pada menggerakkan lisan untuk membacanya
serta alpa itu? Apa lagi kalau sudah dibiasakan!.
(1) Kata Al-lraqi, bahwa la tidak mandapati hadits ini marfu'.
|
Demikian, mengenai dzikir-dzikir itu.
Bahkan aku mengatakan, jikalau bersumpahlah seseorang dengan mengatakan
: "Demi Allah, aku akan mengucapkan terima kasih kepada si Anu, aku
puji dia dan aku mintakan sesuatu keperluan padanya". Kemudian
berlakulah kata-kata yang menunjukkan kepada maksud-maksud itu, dengan
lidahnya waktu ia sedang tidur, maka tidaklah ia terkena dengan sumpah
itu. Dan jikalau berlaku kata-kata itu dengan lidahnya di dalam gelap
dan si Anu itu hadlir di situ, sedang ia tidak mengetahuinya dan tidak
melihatnya, maka tidaklah ia terkena dengan sumpahnya. Karena tidaklah
kata-katanya itu ditujukan dan dituturkan kepada si Anu, selama dia itu
tidak hadlir di dalam hatinya.
Jikalau
kata-kata itu keluar pada lidahnya dan si Anu itu hadlir, pada siang
hari, di mana yang mengucapkan itu sedang alpa, karam di dalam
kerusuhan, dengan beraneka macam pikiran dan tak ada maksudnya
menghadapkan kata-kata tadi kepada si Anu itu ketika mengucapkannya,
niscaya tidaklah ia terkena pada sumpahnya itu.
Dan tidak syak lagi bahwa yang dimaksud daripada pembacaan dan dzikir-dzikir itu ialah : pujian, sanjungan, tadlarru' (merendahkan diri) dan do'a.
Dan yang dihadapi dengan pembicaraan itu ialah Allah 'Azza wa Jalla.
Dan hati orang itu dengan hijab kealpaan, adalah terhijab daripada
Allah Ta'ala, tiada melihat dan tiada menyaksikanNya, bahkan ia alpa
daripada Yang Ditujukan itu. Lidahnya bergerak adalah disebabkan
kebiasaan saja.
Maka alangkah
jauhnya ini daripada yang dimaksudkan dengan shalat yang disuruh oleh
Agama untuk mengasah hati, membarukan ingatan kepada Allah Ta'ala dan
meneguhkan ikatan iman kepadaNya
Inilah hukum bacaan dan dzikir!.
Kesimpulannya, maka inti ini tiada jalan untuk menentangnya pada pembacaan dan membedakannya daripada perbuatan.
Adapun ruku' dan sujud, maka yang dimaksudkan dengan keduanya itu, ialah mengagungkan semata-mata.
Jikalau bolehlah meng-agungkan Allah 'Azza wa Jalla dengan perbuatan,
sedang ia alpa daripadaNya, maka boleh pulalah ia mengagungkan patung
yang terletak dihadapannya, sedang ia alpa daripadanya. Atau
mengagungkan dinding tembok yang ada dihadapannya, sedang ia alpa
daripadanya. Dan apabila keluar daripada adanya pengagungan itu, maka
tidaklah tinggal, selain daripada semata-mata gerakan punggung dan
kepala. Dan tak ada padanya kesukaran yang dimaksudkan oleh ujian
padanya. Kemudian dijadikan semua itu tiang agama dan pemisah diantara
kufur dan Islam. Dan didahulukannya dari hajji dan ibadah-ibadah lain
dan diwajibkan bunuh dengan sebab meninggalkannya pada khususnya. Dan
aku tidak melihat bahwa kebesaran yang demikian agung seluruhnya untuk
shalat itu, dari segi amal perbuatan dhahiriyahnya, melainkan karena
ditambahkan kepadanya maksud munajah itu, Maka yang demikian
itulah,yang mendahulukannya daripada puasa, zakat, hajji dan lainnya.
Bahkan daripada segala pengorbanan dan kurban, yang menjadi mujahadah
dengan hawa nafsu dengan pengurangan harta. Berfirman Allah Ta'ala :
(Lan yanaalallaaha luhuumuhaa wa laa dimaa-uhaa wa laakin ya-naaluhut taqwaa minkum).
Artinya : "Tidak
akan sampai daging dan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang sampai
kepada Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari kamu".(Al-Hajj ayat 37).
Artinya :
suatu sifat yang menguasai hati, sehingga membawanya kepada menuruti
segala perintah yang dituntut,Maka bagaimana urusannya mengenai shalat
itu, apakah tiada tujuan pada segala amal perbuatannya?
Inilah yang menunjukkan tentang arti disyaratkan kehadiran hati itu!
Kalau anda
mengatakan, bahwa jika kita tetapkan dengan batal shalat dan kita
jadikan kehadliran hati itu menjadi syarat pada shah shalat, niscaya
kita telah menyalahi ijma' ulama fiqih. Karena mereka itu tiada mensyaratkan kehadliran hati, selain ketika takbiratul-ihram.
Maka ketahuilah kiranya bahwa telah diterangkan pada Kitab Ilmu dahulu,
bahwa ulama-ulama fiqih itu tiada mengurus mengenai bathin dan tiada
membuka persoalan hati dan jalan akhirat. Tetapi mereka mem bangun yang
dhahir dari hukum-hukum Agama, pada yang dhahir dari perbuatan-perbuatan
anggota badan. Dan perbuatan-perbuatan dhahir itu, adalah mencukupi
untuk tidak dihukum bunuh dan tidak disiksa oleh sultan (penguasa).
Adapun tentang bermanfa'atnya di akhirat, maka ini tidaklah termasuk dalam perbatasan ilmu fiqih, sehingga
tidak memungkinkan untuk didakwakan ijma'. Telah dinukilkan dari Bisyr
bin Al-Harits, menurut yang diriwayatkan Abu Thalib Al-Makki dari Sufyan
Ats-Tsuri, bahwa Sufyan Ats-Tsuri berkata : "Siapa yang tiada khusyu',
maka tidak shah shalatnya".
Diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa Al-Hasan berkata : "Tiap-tiap shalat yang tidak hadlir padanya hati, maka shalat itu lebih mencepatkan kepada siksaan".
Diriwayatkan dari Ma'az bin Jabal : "Barangsiapa mengenai orang di kanannya dan di kirinya dengan sengaja, sedang ia di dalam shalat, maka tak ada shalat baginya".
Dan diriwayatkan pula oleh Ma'az suatu hadits musnad, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم . bersabda :
إن العبد ليصلي الصلاة لا يكتب له نصفها ولا ثلثها ولا ربعها ولا خمسها ولا سدسها ولا عشرها وكان يقول إنما يكتب للعبد من صلاته ما عقل منها (Innal'abda
layushallish shalaata laa yuktabu lahu sudsuhaa wa laa 'usyruhaa wa
innamaa yuktabu Iil-'abdi min shalaatihi maa 'aqala minhaa).
Artinya : "Bahwa
hamba untuk mengerjakan shalat, tidaklah dituliskan baginya seperenam
dari shalat itu dan tidak sepersepuluhnya. Hanya dituliskan bagi hamba
itu daripada shalatnya, apa yang di pergunakan akalnya daripadanya",(1)
Dan ini kalau dinukilkan dari orang lain, tentu telah dijadikan madzhab. Maka bagaimanakah tidak menjadi perpegangan?
Berkata Abdul-Wahid bin Zaid : "Telah
ijma' (sepakat) para ulama, bahwa tiada bagi hamba daripada shalatnya,
selain apa yang dipergunakannya akal padanya. Lalu pendapat itu
dijadikan ijma'
Apa yang
dinukilkan dari sejenis ini, daripada para ulama fuqaha yang wara' dan
para ulama akhirat, adalah lebih banyak daripada dapat dihinggakan.
(1) Dirawikan Abu Dawud, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban dari 'Ammar bin Yasir.
حديث إن عمار بن ياسر صلى فأخفها فقيل له خففت يا أبا اليقظان الحديث وفيه إن العبد ليصلي صلاة لا يكتب له نصفها ولا ثلثها إلى آخره أخرجه أحمد بإسناد صحيح
|
Yang benar,
ialah kembali kepada dalil-dalil syari'at, hadits dan atsar yang jelas
mengenai syarat ini. Tetapi kedudukan fatwa mengenai taklif yang dhahir itu,
diukur menurut ukuran kesanggupan manusia. Maka tidak mungkin
disyaratkan kepada orang banyak, untuk menghadlirkan hatinya di dalam
keseluruhan shalat. Karena yang demikian itu, adalah seluruh manusia
lemah daripadanya, kecuali jumlah yang sedikit.
Apabila tidak
mungkin disyaratkan meratanya kehadliran hati itu, karena kesulitan
tersebut, maka tiada jalan keluar selain daripada disyaratkan sekedar nama kehadliran hati itu, walaupun pada masa sekejap saja. Dan masa sekejap yang paling utama itu, ialah detik takbiratul-ihram. Dari itu, kita singkatkan taklif (dimestikan) dengan yang demikian.
Dalam pada itu,
kita mengharap bahwa tidak adalah keadaan orang yang alpa di dalam
keseluruhan shalatnya, seperti keadaan orang meninggalkan kehadliran
hati itu secara keseluruhan. Karena orang yang alpa itu umumnya, tampil mengerjakannya pada dhahir dan menghadlirkan hatinya sekejap mata. Bagaimanakah
tidak demikian? Orang yang mengerjakan shalat, serta berhadats (tidak
berwudlu), karena lupa, maka shalatnya itu batal pada sisi Allah Ta'ala.
Tetapi baginya pahala sekedar perbuatannya, keteledoran dan halangan
yang dihadapinya.
Dan beserta harapan yang di atas tadi, maka ditakuti keadaan orang yang alpa itu
lebih memburuk dari keadaan orang yang meninggalkan kehadliran hati.
Bagaimana tidak? Orang yang datang melakukan pengkhidmatan dan berbuat
sembrono tiba dihadapan, berkata-kata dengan kata-kata orang
alpa, yang hina, adalah lebih buruk keadaannya dari orang yang tidak
melakukan pengkhidmatan sama sekali.
Dan apabila berlawananlah diantara sebab takut dan sebab harap dan
jadilah hal itu berbahaya pada dirinya, maka terserahlah kepada kita
kemudian, memilihnya diantara berhati-hati dan mempermu-dah-mudahkan.
Dan dalam pada itu, tidak diharapkan menyalahi ulama fiqih, yang
berfatwa shahnya shalat serta alpa itu. Karena yang demikian adalah
sebahagian daripada yang penting difatwakan, sebagaimana telah
diperingatkan dahulu.
Siapa yang mengenai kunci rahasia shalat niscaya mengetahui bahwa kealpaan itu berlawanan dengan shalat. Tetapi telah kami sebutkan pada "Bab Perbedaan antara Ilmu Bathin dan Ilmu Dhahir pada Kitab Qaidah-qaidah 'Aqidah, bahwa kurangnya kesanggupan
manusia adalah salah satu sebab yang mencegah daripada penegasan segala apa yang terbuka dari rahasia syari'at.
Maka kami
ringkaskan pembahasan sekedar ini karena mencukupilah kiranya bagi murid
yang menuntut jalan akhirat. Tetapi bagi orang membangkang yang bemiat
buruk, maka tiadalah maksud kami menghadapinya sekarang.
Pendek kata,
bahwa kehadliran hati adalah nyawa shalat. Dan sekurang-kurangnya yang
membuat nyawa itu tidak keluar, ialah hadlir-nya hati itu ketika takbiratul-ihram. Maka
kurang dari itu adalah membinasakan. Dan semakin bertambah lagi, maka
semakin me-ngembang nyawa itu di dalam segala bahagian shalat, Berapa
banyak orang yang hidup yang tidak dapat bergerak lagi, yang mendekati
kepada kematian. Maka shalat orang yang alpa itu, di dalam
keselu-ruhannya selain ketika takbir, adalah seumpama orang hidup yang
tak ada geraknya lagi. Kita bermohon kepada Allah akan pertolong-an yang
baik!.
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan