Pengertian Batin Solat
بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون} سورة: آل عمران
– الآية: 102
OLEH:AL FADHIL USTAZ MUHAMAD NAJIB SANURI
PENJELASAN : pengertian bathin yang menyempurnakan kehidupan
shalat.
Ketahuilah, bahwa semua pengertian itu, banyaklah kata-kata yang
ditujukan kepadanya. Tetapi dapat dikumpulkan oleh enam patah
kata-kata, yaitu : kehadliran hati, pemahaman, pengagungan, kehebatan,
harap dan malu. Maka haruslah kami terangkan
penguraian-nya, kemudian sebab-sebabnya, kemudian cara pada mengusahakannya.
Adapun penguraiannya, maka yang
pertama, ialah kehadliran hati.
Kami maksudkan dengan kehadliran
hati, ialah bahwa hati itu kosong dari yang
lain, dari apa yang dilaksanakan dan yang dibicarakannya.
Maka adalah pengetahuannya
dengan perbuatan dan perkataan itu, menyertai
dengan keduanya. Dan tidaklah pikirannya, menerawang kepada yang lain.
Manakala pikirannya itu berpaling dari yang bukan apa ia di
dalamnya, dan adalah di dalam hatinya ingatan bagi apa yang ia di dalamnya dan
tak ada pada hati itu kealpaan dari keseluruhannya, maka sesungguhnya
telah berhasillah kehadliran hati. Tetapi pemahaman arti dari
kata-kata yang dibacakan, adalah suatu hal di balik kehadliran
hati. Kadang-kadang hati itu hadlir bersama kata-kata dan tidak hadlir bersama
arti dari kata-kata itu. Maka melengkapnya hati atas pengetahuan dengan arti
dan kata-kata yang dibacakan, itulah yang kami maksudkan dengan pemahaman.
Dan ini, suatu kedudukan yang berlebih-kurang manusia padanya.
Karena tiadalah bersekutu manusia tentang memahami segala arti Al-Qur'an dan
tasbih-tasbih. Berapa banyak pengertian-pengertian yang halus, yang dipahami
oleh orang yang mengerjakan shalat (mushalli), waktu sedang shalat dan tidak
terlintas di hatinya yang demikian sebelumnya.
Dari segi inilah, shalat itu adalah pencegah dari perbuatan keji
dan mungkar. Karena shalat memberi pemahaman hal-hal, sudah pasti mencegah dari
perbuatan keji.
Adapun pengagungan, yaitu suatu hal, di balik
kehadliran hati dan pemahaman. Karena orang yang berbicara dengan budaknya
sesuatu pembicaraan, adalah hatinya hadlir pada pembicaraan itu dan memahami
artinya, sedang ia tidaklah mengagungkan budak itu. Maka pengagungan itu
menambahkan kehadliran hati dan pemahaman arti.
Adapun kehebatan, maka menambahkan atas
pengagungan. Bahkan kehebatan itu adalah ibarat dari
ketakutan, yang timbulnya dari rasa pengagungan. Karena orang
yang tidak takut, maka tidaklah dinamakan dia orang yang merasa
kehebatan. Ketakutan kepada kalajengking dan kejahatan budi seseorang
dan sebagainya, dari sebab-sebab yangmengejikan, tidaklah dinamakan takut
kehebatan. Tetapi takut kepada sultan yang diagungkan, itulah yang
dinamakan takut kehebatan.
Kehebatan, ialah takut yang
sumbernya pengagungan.
Adapun harap, maka tak ragu lagi, adalah suatu
tambahan. Berapa banyak orang membesarkan seseorang raja; ia takut kepadanya
atau takut akan kekuasaannya. Tetapi ia tiada mengharap akan pembalasannya.
Dan hamba sewajarnyalah mengharap dengan shalatnya itu, akan
pahala daripada Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana ia takut dengan
keteledorannya akan siksaan Allah 'Azza wa Jalla. Adapun malu, maka
adalah suatu tambahan pada umumnya. Karena sandarannya
ialah perasaan keteledoran dan sangkaan berdosa.
Dan tergambarlah pengagungan, takut dan harap, dengan
tanpa malu, di mana tidak ada sangkaan teledor dan berbuat dosa.
Adapun sebab-sebab daripada pengertian yang enam itu, maka
ketahuilah kiranya bahwa kehadliran hati, sebabnya ialah cita-cita. Hati
kita mengikuti cita-cita kita. Dia tidak hadlir, kecuali
mengenai apa yang kita cita-citakan. Manakala ada sesuatu hal yang menjadi
cita-cita kita, maka hadlirlah hati padanya, dengan kehendak atau tanpa kehendak.
Hati itu terpaksa dan tunduk patuh kepadanya.
Apabila hati itu tidak hadlir di dalam shalat, bukanlah dia itu
menganggur, tetapi menerawang pada cita-cita yang datang kepadanya dari
hal-ikhwal duniawi.
Dari itu, tiada daya dan cara untuk menghadlirkan hati, selain
dengan menjuruskan cita-cita kepada shalat. Dan cita-citanya itu, tidak
menjurus kepadanya, selama belum nyata bahwa maksud yang dicari terpaku
padanya. Yang demikian itu ialah iman dan membenarkan bahwa akhirat,
adalah lebih baik dan kekal abadi. Dan shalat
adalah jalan kepadanya.
Apabila ini ditambahkan kepada pengetahuan yang sejati dengan
kehinaan dunia dan kepentingannya, niscaya secara keseluruhan, berhasillah
kehadliran hati itu di dalam shalat. Dan dengan alasan yang seperti ini, hati
anda itu hadlir apabila anda berada dihadapan sebahagian pembesar, yang tidak
sanggup memberi kemelaratan dan kemanfa'atan kepadaanda.
Apabila hati itu tidak hadlir ketika bermunajah dengan
Raja-Diraja, di mana di dalam tanganNya alam al-mulki dan alam al-malakut,
kemanfa'atan dan kemelaratan, maka janganlah kiranya anda me-nyangka ada
sesuatu sebab yang lain baginya, selain dari kelemahan iman. Maka
bersungguh-sungguhlah sekarang menguatkan iman itu! Dan caranya akan dibahas
secara mendalam, tidak pada tempat ini.
Adapun pemahaman, maka sebabnya setelah
kehadliran hati, ialah ketekunan berpikir dan menjuruskan hati kepada memahami
arti. Dan obatnya adalah obat menghadlirkan hati, serta menghadapkan kepada
pemikiran dan terus-menerus menolak segala yang terlintas di dalam bathin. Dan
obat menolak segala yang terlintas yang membawa kepada kebimbangan bathin ialah
memutuskan segala materi-nya. Yakni mencabut diri dari segala sebab yang
menarik segala yang terlintas itu kepadanya. Selama materi-materi itu tidak
dipiituskan maka selama itu pulalah, segala yang terlintas itu, tidak berpaling
daripadanya.
Barangsiapa menyukai sesuatu, niscaya banyaklah
menyebut-nyebutnya. Maka menyebut-nyebutkan yang disukai itu, lalu dengan
sendirinya menyerbu ke dalam hati. Dari itu, kita melihat bahwa orang yang
mencintai selain Allah Ta'ala, maka tidaklah bersih shalatnya dari
lintasan-lintasan ke dalam bathin.
Adapun pengagungan, adalah suatu keadaan bagi
hati, yang terjadi daripada dua ma'rifah (pengenalan) :
Pertama : mengenai kebesaran
dan keagungan Allah 'Azza wa Jalla. Dan itu adalah sebagian dari pokok-pokok
iman. Siapa yang tidak mengimani keagunganNya, niscaya jiwanya tidak meyakini
akan keagunganNya.
Kedua : mengenali kehinaan
diri, kerendahan dan keadaannya sebagai hamba yang mematuhi dan tunduk kepada
Tuhannya. Sehingga dari ma'rifah yang dua ini, lahirlah ketenangan, kesepian
hati dari dunia dan kekhusyukan jiwa kepada Allah yang Maha Suci. Lalu
dikatakanlah yang demikian itu : pengagungan. Selama tidak
terjalin ma'rifah kehinaan diri dengan ma'rifah keagungan Ilahi, maka selama
itu pulalah tidak teratur keadaan pengagungan dan kekhusyukan
hati.
Orang yang merasa tiada memerlukan kepada orang lain dan merasa
aman kepada dirinya sendiri, maka boleh ia mengenai dari orang lain itu
akan sifat keagungan. Dan tidaklah ke-khusyu'-an hati dan
mengagungkan orang itu menjadi perilakunya, karena faktor yang
lain yaitu mengenai kehinaan diri dan memerlukan diri kepada orang itu tidak
ada padanya.
Adapun kehebatan dan ketakutan, maka
adalah keadaan bagi diri, yang terjadi dari mengenal kekuasaan Allah,
keperkasaan dan ke-tembusan kehendakNya, serta kurang perhatian kepadaNya. Dan
kalaulah Ia membinasakan segala orang yang terdahulu dan yang terkemudian,
niscaya tidaklah berkurang dari kerajaanNya sebesar biji صلى الله عليه وسلم i pun.
Hal ini, disamping membaca segala peristiwa yang berlaku pada nabi-nabi dan
wali-wali, dari bermacam-macam musi-bah dan malapetaka, serta berkuasa Ia
menolak, sebaliknya daripada apa yang tampak pada raja-raja dunia.
Kesimpulannya, semakin bertambah ilmu dengan Allah, maka semakin
bertambah ketakutan dan kehebatan kepadaNya. Dan akan datang nanti, penjelasan
sebab-sebab yang demikian, pada "Kitab Takut", dari "Rubu' Yang
Melepaskan".
Adapun harap, maka sebabnya ialah karena mengenai
kelemah-lembutan Allah 'Azza wa Jalla, kemurahanNya, kemerataan nik-matNya,
kehalusan perbuatanNya dan mengenai kebenaranNya pada janjiNya akan sorga
dengan shalat.
Apabila berhasillah keyakinan dengan janjiNya dan ma'rifah dengan
kelemah-lembutanNya, niscaya dari keseluruhannya itu, pastilah
membangkitkan pengharapan.
Adapun malu, maka adalah dengan perasaan keteledoran
di dalam ibadah dan mengetahui dengan kelemahan menegakkan keagungan Allah
'Azza wa Jalla. Dan malu itu kuat dengan pengetahuan kekurangan diri, bahaya
hawa nafsu, kurang keikhlasan, kotor kebathinan dan condong kepada kebahagiaan
yang segera (dunia) di dalam segala amal perbuatannya. Serta mengetahui dengan
keagungan, yang dikehendaki oleh kebesaran Allah 'Azza wa Jalla dan mengetahui
bahwa Ia melihat kepada rahasia dan segala getaran hati, meskipun halus dan
tersembunyi.
Segala pengetahuan ini, apabila mendatangkan keyakinan, niscaya
membangkitlah dengan sendirinya dari hati itu suatu keadaan yang dinamakan malu.
Inilah sebab-sebab dari sifat-sifat itu. Tiap-tiap apa yang dicari
supaya berhasil, maka obatnya ialah : mendatangkan sebab adanya. Di dalam
mengenai sebab itu, dapatlah mengenai obatnya.
Dan pengikat segala sebab itu ialah iman dan yakin. Yakni
: segala ma'rifah ini yang telah kami sebutkan.
Arti adanya yakin, ialah tiada ragu dan ma'rifah itu berkuasa pada
hati, sebagaimana telah diterangkan pada "Penjelasan Tentang
Yakin", dari Kitab Ilmu.
Menurut kadarnya yakin, khusyu'lah hati. Dari itu berkatalah
'Aisyah ra. : "Adalah Rasulullah صلى الله عليه وسلم .
bercakap-cakap dengan kami dan kami pun bercakap-cakap dengan beliau. Maka
apabila datanglah shalat, lalu seakan-akan beliau tiada mengenai kami dan kami
pun tiada mengenai beliau".
Diriwayatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan wahyu
kepada Musa as.: "Wahai Musa! Apabila engkau menyebut-kan (berdzikir) akan
Aku, maka sebutkanlah akan Aku, di mana seluruh anggota tubuhmu bergerak. Dan
adalah engkau ketika berdzikir kepadaKu itu khusyu' dan tenang. Apabila engkau
me-nyebutkan akan Aku, maka jadikanlah lidahmu di belakang hatimu! Dan apabila
engkau berdiri dihadapanKu, maka berdirilah sebagaimana berdirinya seorang
hamba yang hina! Bermunajahlah dengan Aku, dengan hati yang gemetar dan lidah
yang benar!".
Diriwayatkan bahwa Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Musa as. :
"Katakanlah (Musa) kepada ummatmu yang durhaka, agar mereka tiada
menyebutkan akan Aku! Karena Aku telah berjanji kepada diriKu sendiri, bahwa
siapa yang berdzikir kepada Aku, maka Aku ingat kepadanya. Maka apabila
orang-orang yang durhakakan itu menyebutkan Aku, maka Aku sebutkan mereka
dengan kutukan (la'nat)".
Ini, adalah mengenai perdurhaka yang tidak alpa mengingatiNya.
Maka bagaimanakah pula, apabila berkumpul kealpaan dan kedurhakaan?.
Dan dengan berbagai macam pengertian yang telah kami sebutkan
mengenai hati itu, terbagilah manusia kepada : orang
yang alpa yang menyempurnakan shalatnya dan tidak hadlir
hatinya sekejap pun di
dalam shalat, dan orang yang menyempurnakan dan tidak hilang
kehadliran hatinya sekejappun. Bahkan kadang-kadang
seluruh perhatiannya kepada shalat, di mana ia tiada merasa apa yang berlaku
dihadapannya. Karena itulah, Muslim bin Yassar, tiada merasa dengan jatuhnya
tiang dalam masjid, di mana orang banyak sudah berkerumun kepadanya.
Setengah mereka, menghadliri shalat jama'ah pada suatu ketika dan
sekali-kali tiada mengenai, siapa yang dikanannya dan yang dikirinya. Dan bunyi
detakan jantung Ibrahim as. adalah terdengar sampai dua mil jaraknya. Dan suatu
golongan ketika shalat itu pucat mukanya dan kembang-kempis perutnya.
Semuanya itu, tiadalah jauh daripada dapat dipahami. Karena
berlipat gandanya yang demikian, dapat dipersaksikan pada cita-cita penduduk
dunia dan ketakutan raja-raja dunia serta kelemahan dan kedla'ifan raja-raja
itu. Dan memburuknya nasib yang diperoleh daripada raja-raja itu. Sehingga
jikalau masuklah seseorang kepada raja atau menteri (wazir) dan membicarakan
kepentingan-nya, kemudian keluar, lalu ditanyakan tentang orang di keliling
raja atau tentang kain yang dipakai oleh raja, maka tiadalah sanggup ia
menceriterakannya. Karena seluruh perhatiannya kepada raja, tidak kepada kain
dan orang yang di kelilingnya.
Masing-masing orang mempunyai tingkatan daripada apa yang
dikerjakannya. Maka keuntungan masing-masing daripada shalatnya, ialah menurut
takut, khusyu' dan pengagungannya akan Allah.
Sesungguhnya tempat perhatian Allah akan hembaNya ialah hati, bukan
gerakan dhahir. Dari itu, berkatalah setengah shahabat ra. : "DikumpUlkan
manusia pada hari qiamat, menurut keadaan mereka di dalam shalat, dari thuma'ninah, ketenangan, dari adanya perasaan
nikmat dan lezat dengan shalat.
Sesungguhnya benarlah perkataan itu, karena manusia itu seluruhnya
dikumpulkan atas apa, ia mati. Dan ia mati atas apa ia hidup. Yang diperhatikan
pada yang demikian itu ialah keadaan hatinya, tidak
keadaan dirinya. Maka dari sifat hati, tertuang bentuk pada hari akhirat. Dan
tidaklah terlepas, selain orang yang datang kepada Allah dengan hati yang
sejahtera.
Kita bermohon kepada Allah akan kebaikan taufiq dengan
kasih-sayang dan kemurahanNya!.
penjelasan :Obat
yang bermanfa'at pada kehadliran hati.
Ketahuilah! Bahwa orang mu'min tak boleh tidak, mengagungkan Allah
'Azza wa Jalla, takut kepadaNya, mengharap daripadaNya dan malu karena
keteledorannya,
Maka tidaklah terlepas seorang mu'min itu dari hal-ikhwal yang
tersebut tadi sesudah keimanannya, walaupun kekuatan hal-ikhwal tadi, adalah
menurut kekuatan keyakinannya. Terlepasnya dari keadaan yang tersebut di dalam
shalat, tiada sebabnya, selain daripada bercerai-berai pemikiran,
bersimpang-siur yang terlintas pada hati, Ienyap jiwa daripada munajah dan alpa
daripada shalat. Dan tidaklah yang melengahkan dari shalat, selain
lintasan-lintasan yang mendatang dan yang membimbangkan.
Maka obat untuk menghadlirkan hati itu, ialah menolak segala
lintasan yang terlintas di dalam hati. Dan sesuatu itu tidak dapat ditolak,
selain dengan menolak sebabnya. Maka hendaklah diketahui sebabnya. Dan sebab
kedatangan lintasan-lintasan itu, adakalanya, ia sesuatu yang datang dari
luar atau sesuatu yang
berada di dalam (bathiniyah).
Adapun yang dari luar, ialah
sesuatu yang mengetok pendengaran
atau yang nyata pada penglihatan. Kadang-kadang
yang demikian itu, mempengaruhi cita-cita, sehingga diturutinya dan ia
bertindak padanya. Kemudian tertariklah pemikiran daripadanya kepada yang lain
dan lalu tali-bertalilah.
Memandang itu adalah menjadi sebab untuk berpikir. Kemudian,
sebahagian pemikiran itu menjadi sebab bagi pemikiran yang lain. Siapa yang
kuat niatnya dan tinggi cita-citanya, niscaya tidaklah dapat diganggu oleh apa
yang berlaku atas pancaindranya.
Tetapi orang yang lemah -sudah pasti- membawa kepada
bercerai-berai pemikirannya. Dan obatnya, ialah memutuskan segala sebab itu,
dengan memincingkan matanya atau mengerjakan shalat dalam rumah yang gelap atau
tidak membiarkan dihadapannya sesuatu yang mengganggu pancaindranya dan
mendekatkan diri kepada dinding ketika shalat, sehingga tiadalah luas jarak
pemandangannya. Dan menjaga daripada melakukan shalat di tepi jalan, pada
tempat-tempat yang penuh dengan ukiran kesenian dan pada tikar yang dicelup
dengan warna yang menarik.
Dari itu, adalah orang-orang yang rajin beribadah, melakukan
ibadahnya pada rumah kecil yang gelap. Luasnya sekedar dapat bersujud, supaya
yang demikian itu, dapat mengumpulkan segala cita-citanya.
Orang-orang kuat daripada mereka, datang ke masjid dan menutup-kan
mata. Dan tidak melampaui pandangan nya daripada tempat sujud. Mereka melihat
bahwa kesempurnaan shalat adalah dengan tiada mengenai orang yang di kanan dan
yang di kirinya. Adalah Ibnu Umar ra. tiada membiarkan pada tempat shalatnya
mashhaf. Ia tiada membiarkan pedang, melainkan dicabutkannya dan tulisan
melainkan dihapuskannya.
Adapun sebab-sebab bathiniyah, maka
adalah lebih sulit lagi. Karena siapa yang bercabang ingatannya pada
lembah-lembah dunia, niscaya tiadalah terkungkung pemikirannya pada suatu
persoalan. Tetapi senantiasalah terbang melayang dari sudut ke sudut. Dan
pemicingan mata, tiadalah memadai baginya. Karena apa yang telah jatuh ke dalam
lubuk hatinya tadi, telah cukup untuk membim-bangkannya.
Dari itu, jalannya ialah menarik diri secara paksa, kepada
memahami apa yang dibacakan di dalam shalat dan memberikan perhatian kepadanya,
tidak kepada yang lain. Dan dapat menolongnya untuk yang demikian, dengan
mengadakan persiapan sebelum ber-takbiratul-ihram, dengan memperbaharukan ke
dalam jiwanya ingatan kepada akhirat, tempat tegak munajah, berbahayanya tempat
berdiri dihadapan Allah Ta'ala dan huru-haranya peman-dangan. Dan menyelesaikan
hatinya sebelum bertakbir untuk shalat, daripada apa saja yang mempengaruhinya.
Sehingga tiada lagi tempat di dalam jiwanya untuk sesuatu urusan yang berpaling
kepadanya lintasan bathinnya.
Bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم . kepada
Usman bin Abi Syaibah :
إني نسيت أن أقول لك أن تخمر القدر الذي في البيت . فإنه لا ينبغي أن يكون في البيت شيء يشغل الناس عن صلاتهم
(Innii nasiitu an aquula laka an tukhmiral qidral ladzii fil baiti
fainnahu laa yanbaghii an yakuuna fil baiti syai-un yasyghalun naasa 'an
shalaatihim).
Artinya : "Aku lupa mengatakan kepadamu, supaya engkau
menyembunyikan periuk yang ada di rumah. Maka sesungguhnya tiada wajar, ada
di rumah sesuatu, yang mengganggu manusia dari shalatnya".(1).
1.Dirawikan
Abu Dawud dari Usman bin Thalhah
|
Inilah jalan menenteramkan pikiran. Kalau tiada juga
menenteram-kan pikiran dengan obat yang menenteramkan, maka tiadalah yang
melepaskannya, melainkan obat cuci perut yang mengeluarkan benda penyakit dari
urat yang paling dalam. Yaitu : memperhatikan kepada segala keadaan, yang
menyeleweng, yang mempengaruhi daripada kehadliran hati.
Dan
tiada ragu kiranya, bahwa segala keadaan itu kembali kepada kepentingannya. Dan
kepentingan itu, menjadi kepentingan hawa-nasfunya. Maka hendaklah ia
menyiksakan dirinya dengan mencabut diri dari segala hawa-nafsu dan memutuskan
segala hubungan. Segala yang mengganggunya dari shalat, maka adalah lawan
Agama-nya dan tentara Iblis musuhnya. Menahankannya, adalah lebih mendatangkan melarat
kepadanya daripada menge luar kannya. Maka haruslah ia membersihkan diri
daripadanya dengan mengeluarkan benda yang mengganggu itu, Sebagaimana
diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم: "tatkala memakai -khamishah- (kain hitam empat
persegi) yang dihadiahkan oleh Abu Jahm kepadanya. Dan pada kain itu ada cap
bendera Nabi. Lalu Nabi bershalat dengan kain itu. Maka dibukanya sesudah
shalat", seraya bersabda :
اذهبوا بها إلى أبي جهم فإنها ألهتني آنفا عن صلاتي وائتوني بأنبجانية أبي جهم
(Idzhabuu
bihaa ilaa abii jahmin fa-innahaa alhatnii aanifan 'an shalaatii wa'-tuunii
bi-anbijaaniyyati abii jahm).
Artinya : "Kembalikanlah kain ini
kepada Abu Jahm, karena telah mengganggu aku tadi dari shalatku. Dan bawalah
saja kepadaku kain selimut Abu Jahm (1)
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruh
memperbaharukan alas kakinya bahagian atas. Kemudian beliau memandang kepadanya
di dalam shalat, karena barunya. Maka beliau suruh membukanya dan mengembalikan
bahagian atas alas kaki yang lama.
Adalah
Rasulullah صلى الله عليه وسلمم memakai
alas kaki, lalu mena'jubkan beliau oleh kebagusannya. Maka beliau bersujud
kepada Allah, kemudian bersabda; "Aku merendahkan
diri kepada Tuhanku 'Azza wa Jalla, kiranya tidak dikutukiNya aku". Kemudian
beliau keluar membawa alas kaki itu dan memberikannya kepada peminta pertama
yang dijumpainya. Kemudian, disuruhnya Ali ra. membelikan dua alas kaki dari
kulit yang disamak, yang telah dibuang bulunya, lalu dipakainya.
1.Dirawikan
Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah.
|
Adalah pada tangan Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebentuk
cincin dari emas, sebelum diharamkan. Dan ketika itu beliau di atas mimbar,
lalu dilemparkannya cincin itu, seraya bersabda : "Diganggu aku
oleh benda ini, karena memandang kepadanya dan memandang kepada kamu ".
Diriwayatkan : "Bahwa Abu Thalhah bershalat dalam suatu
dinding tembok, padanya ada sebatang kayu. Maka mena'jubkannya oleh seekor
burung yang kehitam-hitaman, terbang di pohon itu mencari jalan keluar. Lalu
diikuti oleh Abu Thalhah sebentar burung itu dengan matanya. Kemudian ia tiada
mengetahui lagi, berapa raka'at sudah shalatnya. Maka Abu Thalhah menerangkan
apa yang telah menimpa dirinya dari kekacauan itu, kepada Nabi صلى الله عليه وسلم .
Kemudian ia menyambung : "Wahai Rasulullah! Dinding tembok itu adalah
sedekahku. Perbuatkanlah menurut kehendakmu!".
Diriwayatkan dari orang lain, bahwa Abu Thalhah bershalat di dalam
dinding temboknya dan pohon kurma berbuat lebat. Maka Abu Thalhah memandang
kepada pohon kurma itu dan mena'jub-kannya. Sehingga ia tak tahu, berapa
raka'at sudah shalatnya. Peristiwa ini diceriterakannya kepada Usman ra. seraya
ia mengatakan : "Dinding tembok itu, sedekahku, buatkanlah dia pada jalan
Allah 'Azza wa Jalla!". Maka dijual oleh Usman ra. dengan lima puluh ribu.
Mereka berbuat demikian, untuk menghilangkan bahan yang mengganggu
pemikiran dan menutup apa yang telah terjadi daripada kekurangan shalat.
Inilah obat yang mencegah unsur penyakit dan tidak mempan dengan
yang lain.
Apa yang telah kami sebutkan dari berlemah-lembutnya menetapkan
hati dan mengembalikannya kepada memahami dzikir, adalah bermanfa'at pada hawa
nafsu yang lemah dan angan-angan yang tidak mengganggu selain dari tepi-tepi
hati.
Adapun hawa nafsu yang meluapluap, yang payah dikendalikan, maka
tidaklah bermanfa'at padanya penetapan hati dengan kelemah-lembutan. Tetapi
senantiasalah engkau menarik dia dan dia menarik engkau. Kemudian ia
mengalahkan engkau dan berlalulah seluruh shalat engkau dalam gangguan
tarik-menarik. Adalah seumpama seorang lelaki, di bawah sepohon kayu. Ia
bermaksud hendak menjemihkan pikirannya, tetapi nyanyian burung pipit
mengganggunya. Maka senantiasalah diusirnya burung pipit itu, dengan sepotong
kayu pada tangannya. Dan kembali ia menenangkan pikirannya. Kemudian burung itu
kembali lagi, lalu iapun kembali mengusirnya dengan kayu yang ada di tangannya.
Maka berkatalah orang kepadanya : "Ini adalah pekerjaan yang
tak ada hasilnya! Dan tidak akan habis. Kalau engkau mau terlepas, maka
potonglah pohon itu!".
Maka seperti itu pulalah pohon hawa nafsu. Apabila
telah bercabang dan banyak ranting-rantingnya, niscaya tertarik kepadanya
segala pikiran, sebagaimana tertariknya burung-burung pipit kepada pohon-pohon.
Dan tertariknya lalat kepada barang-barang buruk. Dan lamalah usaha untuk
mengeny ah kannya.
Lalat itu, tiap kali dihancurkan, kembali lagi berkembang. Dari
itulah, maka ia dinamakan lalat. Maka seperti itu pulalah,
segala lintasan di dalam hati.
Hawa nafsu itu banyak macamnya. Amat sedikitlah manusia terlepas
daripadanya. Dan semuanya itu dikumpulkan oleh satu
pokok, yaitu : mencintai dunia.
Dan begitu pula, kepala tiap-tiap kesalahan, sendi tiap-tiap
kekurangan dan sumber tiap-tiap kerusakan. Maka siapa yang terlibat hatinya
kepada mencintai dunia, sehingga condong kepada sesuatu daripadanya, bukan
untuk mencari bekal daripadanya dan memperoleh pertolongan untuk negeri
akhirat, maka janganlah diharapkan, akan jernih kelezatan bermunajah di dalam
shalat. Karena orang yang senang dengan dunia, niscaya ia tidak senang dengan
Allah Ta'ala dan dengan bermunajah dengan Dia.
Cita-cita seseorang, adalah beserta kesayangannya. Kalau
kesayangannya ada pada dunia, maka -sudah pasti- kemauannya berpaling kepada
dunia itu.
Tetapi, dalam pada itu, tiadalah wajar meninggalkan mujahadah,
mengembalikan hati kepada shalat dan menyedikitkan sebab-sebab yang menjadi
gangguan.
Ini adalah obat yang pahit. Dan karena pahitnya, maka dimuntahkan
oleh tabi'at manusia. Sehingga tinggallah penyakit itu melum-puhkan badan dan
jadilah penyakit itu penghalang. Sehingga beberapa pembesar, bersungguh-sungguh
melakukan shalat dua raka'at, di mana mereka tiada memperkatakan dengan dirinya
di dalam shalat tadi, akan hal-ikhwal duniawi, maka temyata mereka lemah dari
yang demikian itu. Maka tak adalah harapan seperti kita-kita ini!.
Semoga kiranya, selamatlah shalat kita, setengah atau sepertiga
dari padanya, dari kebimbangan hati. Supaya kita termasuk orang yang
mencampurkan amalan baik dan amalan buruk.
Kesimpulannya, maka cita-cita dunia dan cita-cita akhirat di dalam
hati, adalah seperti air yang dituangkan ke dalam gelas yang penuh dengan cuka.
Seberapa banyak air yang masuk ke dalam gelas itu, maka -sudah pasti- sebanyak
itu pula cuka keluar. Dan tidaklah keduanya itu berkumpul menjadi satu.
Penjelasan : perincian
apa yang selayaknya hadlir di dalam hati, pada tiap-tiap rukun dan syarat dari
perbuatan shalat.
Maka kami katakan, hak anda kalau benarlah anda dari orang-orang
yang mencari akhirat, ialah yang pertama-tama tidak
melengahkan segala peringatan yang mengenai syarat-syarat dan rukun-rukun
shalat.
Adapun syarat-syarat yang mendahului shalat, yaitu : adzan,
bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, berdiri betul dan niat. Apabila
kita mendengar seruan muadzin, maka hadlirkanlah kiranya ke
dalam hati kita, huru-hara seruan pada hari qiamat. Dan
bersiaplah dengan dhahir dan bathin kita, memperkenan dan menyegerakan. Karena
orang-orang yang menyegerakan diri kepada seruan ini, adalah mereka yang
diserukan dengan lembah-lembut pada hari pertemuan akbar itu. Maka bawalah hatimu kepada seruan
ini! Kalau anda memperolehnya penuh dengan kesenangan dan kegembiraan,
melimpah-limpah dengan keinginan untuk ber-segera, maka ketahuilah bahwa anda
didatangi oleh seruan dengan berita gembira dan
kemenangan di hari keputusan yang akan tiba.
Karena itulah, bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
(Arihnaayaa bilaal)= أرحنا يا بلال
Artinya : "Berikanlah
kesenangan kepada kami, hai Bilal". (1)
(1)
Dirawikan Abu Dawud dari Bilal.
|
Artinya : Berikanlah kesenangan kepada kami dengan shalat
dan dengan seruan kepadanya! Karena kecintaan hati Nabi صلى الله عليه وسلم adalah
padanya.
Adapun bersuci, maka apabila anda telah
laksanakan pada tempat anda, yaitu lingkungan
yang mengelilingi anda, yang lebih jauh, kemudian pada pakaian anda,
yaitu pembalut anda yang lebih dekat, kemudian pada kulit
anda, yaitu kulit anda yang lebih dekat lagi, maka janganlah anda
melupakan isi badan anda, yang menjadi diri anda sendiri,
yaitu hati anda. Maka bersungguh-sungguhLah menyucikan
hati itu, dengan bertaubat dari menyesali diri atas perbuatan yang telah
terlanjur dan memusatkan cita-cita, untuk meninggalkannya pada masa yang akan
datang. Maka sucikanlah bathin anda dengan yang tersebut tadi, karena bathiniah
tempat yang dilihat oleh Tuhan yang kita sembah.
Adapun menutup aurat, maka ketahuilah
bahwa arti menutup aurat itu, ialah menutup tempat-tempat yang jelek pada badan
anda dari mata manusia.
Sesungguhnya yang dhahir dari badan anda, adalah tempat pandangan
manusia. Maka bagaimanakah pikiran anda mengenai aurat bathin anda dan
rahasia-rahasia anda yang keji, yang tidak dilihat selain oleh Tuhan anda 'Azza
wa Jalla, Maka kemukakanlah segala kekejian itu pada hati anda dan mintalah
diri anda menutupkannya. Dan yakinlah bahwa tiada suatupun yang dapat
menutupkannya pada penglihatan Allah Ta'ala. Hanya segala kekejian itu dapat
ditutup oleh penyesalan, malu dan takut, Maka dengan menghadlirkan segala
kekejian itu ke dalam hati, dapatlah anda memperoleh faedah, menggerakkan tentara takut dan malu dari
tempat persembunyiannya. Lalu dengan yang demikian, anda hinakan diri anda dan
hati anda akan menjadi tenteram di bawah perasaan malu itu. Dan tegak
berdirilah anda dihadapan Allah 'Azza wa Jalla, sebagaimana berdirinya hamba
yang berdosa, yang berbuat jahat dan yang melarikan diri selama ini, yang telah
menyesal. Maka ia kembali kepada tuannya dengan kepala menekur, karena malu dan
takut.
Adapun menghadap qiblat, yaitu memalingkan
wajah dhahir anda dari pihak-pibak yang lain, ke pihak Baitullah. Adakah
anda berpendapat, bahwa memalingkan hati dari segala hal yang lain, kepada
perintah Allah 'Azza wa Jalla, tidak diminta dari anda?.
Amat jauh dari yang demikian! Maka tidaklah diminta selain itu!.
Sesungguhnya segala yang dhahir ini, adalah segala penggerak bagi
bathin, pengendalian dan penenangan bagi segala anggota badan, dengan
penetapan arah yang satu itu. Sehingga segala yang dhahir itu,
tidak mendurhakai hati. Karena apabila ia mendurhakai dan menganiayai di dalam
segala geraknya dan berpalingnya kepada segala pihak itu, niscaya dia menarik
akan hati dan berbalik daripada wajah Allah 'Azza wa Jalla.
Dari itu, hendaklah wajah hati engkau bersama dengan wajah tubuh
engkau!.
Ketahuilah kiranya bahwa sebagaimana muka tidak menghadap ke arah
Baitullah, kecuali dengan berpaling dari lainnya, maka begitu pula hati tiada
akan berpaling kepada Allah 'Azza wa Jalla, kecuali dengan mengosongkan hati
itu daripada lainNya.
Telah bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم: "Apabila
berdirilah hamba kepada shalatnya, maka hawa-nafsunya, wajahnya dan hatinya
berpaling kepada Allah 'Azza wa Jalla, adalah seperti hari ia dilahirkan oleh
ibunya(1)
Adapun i'tidal dengan berdiri betul, adalah
berdiri lurus dengan diri dhahir dan hatinya dihadapan Allah 'Azza wa Jalla.
Maka hendaklah kepala anda, yaitu anggota tubuh anda yang tertinggi, menekur,
menunduk dan melihat ke bawah! Dan hendaklah kerendahan kepala dari
ketinggiannya, memberi pengertian kepada keharusan bagi hati untuk merendahkan,
menghinakan dan melepaskan dari sifat keangkuhan dan kesombongan! Dan hendaklah
ada pada ingatan anda di sini, tergurisnya di hati berdiri dihadapan Allah
'Azza wa Jalla, pada huru-hara pandangan ketika datang untuk pertanyaan amal!.
Ketahuilah, dalam keadaan ini, sesungguhnya anda adalah berdiri
dihadapan Allah 'Azza wa Jalla! Ia melihat kepada anda. Dari itu berdirilah
dihadapanNya, sebagaimana anda berdiri dihadapan setengah raja-raja zaman
sekarang, kalau anda merasa lemah dari pada mengenai dzatNya yang Maha Tinggi,
Tetapi umpamakanlah selama anda berdiri di dalam shalat itu, bahwa anda
diperhatikan dan diintip oleh mata yang bersinar berapi-api, dari seorang
laki-laki yang shalih, dari keluarga anda atau dari orang yang anda mgini,
untuk mengenai anda sebagai orang shalih. Maka pada ketika itu, tenanglah
sendi-sendi anda, khusyu'lah anggota-anggota tubuh
1.Menurut
Al-lraq, beliau tidak menjumpai hadith ini.
|
anda dan tenteramlah segala bahagian badan anda. Karena takut
dikatakan anda oleh orang yang lemah lagi miskin itu, bahwa anda kurang
khusyu".
Apabila anda telah merasa pada diri anda, dengan pemegangan diri,
dari perhatian hamba yang miskin itu, maka celalah diri anda dan katakanlah
kepada diri itu : "Bahwa engkau, hai
diri, mendakwakan mengenai dan mencintai Allah, Apakah engkau tidak malu dari
keberanian engkau kepadaNya, serta engkau memuliakan salah seorang daripada
hambaNya? Atau engkau takut kepada manusia dan engkau tidak takut kepadaNya?
Pada hal, Dialah yang lebih berhak ditakuti! Karena itu, tatkala bertanya Abu
Hurairah "Bagaimanakah malu kepada Allah?".
Maka menjawab Nabi صلى الله عليه وسلم : "Engkau malu
kepadaNya, adalah sebagaimana engkau malu kepada laki-laki yang baik dari kaum
engkau". (1)
Dan diriwayatkan pada riwayat yang lain : "dari keluarga
engkau".
Adapun niat, maka berhasratlah untuk
memenuhi perintah Allah 'Azza wa Jalla, pada mengikuti perintahNya dengan
shalat dan menyempurnakannya, mencegah dari segala yang meruntuhkan dan yang
merusakkan shalat itu. Serta mengikhlaskan semuanya itu bagi wajah Allah
Ta'ala, karena mengharap pahala dari padaNya, takut daripada siksaanNya,
mencari kehampiran diri padaNya dan mengharapkan nikmat dengan keizinanNya.
Awaslah pada bermunajah itu dengan adabmu yang buruk dan ma'siatmu
yang banyak. Dan agungkanlah di dalam jiwamu banyak sedikitnya bermunajah
dengan Dia! Dan lihatlah dengan siapa anda bermunajah dan bagaimana anda
bermunajah! Dan dengan apa anda bermunajah?.
Pada ketika ini sewajarnyalah berkeringat pipimu daripada perasaan
malu, kembang-kempislah perutmu daripada perasaan kehebatan dan menguninglah
wajahmu daripada perasaan ketakutan.
Adapun takbir, apabila lisan anda mengucapkannya, maka
seyogialah tidak didustakannya oleh hati anda. Kalau di dalam hati anda, ada
sesuatu, yang lebih agung daripada Allah Ta'ala, maka Allah menyaksikan, bahwa
anda itu pembohong, meskipun perkataan anda itu benar.
(1)
Dirawikan Al-Kharaithi dari Abu Hurairah.
|
Seperti yang disaksikan pada orang-orang munafiq tentang perkataan
mereka, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم itu Rasul
Allah.
Kalau hawa-nafsu anda lebih keras pada anda daripada perintah
Allah 'Azza wa Jalla, sehingga anda lebih mematuhi panggilan hawa-nafsu itu
daripada panggilan Allah, maka sesungguhnya anda telah mengambil hawa-nafsu itu
menjadi Tuhan anda dan telah mengagungkannya. Maka adalah ucapan Allahu
Akbar (Allah Maha Besar) itu, adalah ucapan dengan lisan semata-mata.
Dan hati menyalahi daripada menolong lisan itu.
Alangkah besarnya bahaya yang demikian itu, jikalau tidaklah
bertaubat, bermohon ampun dan membaikkan sangka dengan kemurahan dan kema'afan
Allah Ta'ala.
Adapun do'a iftitah, maka kata-kata pertamanya
ialah ucapan anda : "Wajjahtu wajhia lilladzii fatharas-samaawaati
wal-ardh". (Aku hadapkan wajah ku kepada yang menjarlikan
langit dan bumi)
Tidaklah dimaksudkan dengan wajah itu, wajah
dhahir. Karena anda apabila menghadapkan wajah itu ke arah qiblat dan
Allah Ta'ala maha suci, daripada didapati oleh pihak-pihak, sehingga anda
menghadapkan dengan wajah tubuh anda kepadaNya. Sesungguhnya wajah
hatilah, yang anda hadapkan kepada Pencipta langit dan bumi. Maka lihatlah
kepada hati itu, adakah ia menghadap kepada cita-citanya dan kemauannya, di
rumah dan di pasir; yang mengikuti hawa-nafsu atau menghadap kepada Pencipta
langit?".
Awaslah daripada adanya permulaan munajah anda itu, dengan bohong
dan dibuat-buat. Dan tidaklah berpaling wajah itu kepada Allah Ta'ala, selain
dengan berpalingnya daripada selain Allah.
Dari itu, bersungguh-sungguhlah pada waktu sekarang,
memaling-kannya kepada Allah. Dan jikalau anda lemah terus-menerus daripada
yang demikian, maka hendaklah ada pada waktu sekarang ini, ucapan anda itu
benar!.
Apabila anda mengucapkan : "hanifam-muslima"
(memilih agama yang benar, lagi muslim), maka seyogialah bahwa,
terlintas pada hati anda, bahwa muslim, ialah yang selamat orang muslim in lain
daripada lidah dan tangannya. Kalau tidak adalah anda seperti yang demikian,
maka adalah anda pembohong. Maka berusahalah sung-guh-sungguh, untuk berhasrat
yang demikian pada masa yang akan datang dan menyesali diri terhadap hal-ikhwal
yang telah lalu,
Apabila anda mengucapkan : "wa maa ana minal muij^n^an. (dan
tidaklah aku termasuk orang musyrik), maka guriskanlah hatinya hati anda "syirk
khafi", (mempersekutukan Tuhan secara tersembunyi, tidak
kelihatan). Bahwa firman Allah Ta'ala :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
(Fa man kaana yarjuu liqaa-a rabbihii falya'mal amalan shaalihan
wa laa yusyrik bi'ibadati rabbihii ahadaa).
Artinya : "Maka siapa yang mengharap akan menemui
Tuhannya, hendaklah dia mengerjakan pekerjaan yang baik-baik dan jangan dia
mempersekutukan dalam menyembah Tuhannya (peribadatan) dengan siapapun". (S.
Al-Kahf, ayat 110),
turun mengenai orang yang bermaksud dengan ibadahnya akan wajah
Allah dan pujian manusia.
Hendaklah anda berhati-hati menjaga diri dari syirk ini! Dan
meresaplah kiranya perasaan malu di dalam hati anda, kalau anda menyifatkan
diri sendiri, bahwa anda tidaklah termasuk orang musyrik, tanpa terlepas dari
pada syirk itu.
Nama syirk itu, terjadi pada
sedikit dan banyak dari padanya.
Apabila anda mengucapkan : "mahyaaya wa mamaatii
lillaah" (hidup ku dan matiku bagi Allah), maka
ketahuilah bahwa ini adalah keadaan seorang hamba yang memandang dirinya tidak
ada, hanya adanya untuk tuannya.
Bahwa sesungguhnya, kalau terbitlah kata-kata tadi dari orang,
yang relanya dan marahnya, tegaknya dan duduknya, sukanya kepada hidup dan
takutnya kepada mati, untuk urusan keduniaan, maka tiadalah sesuai kata-kata
itu dengan keadaan.
Apabila anda mengucapkan : "A'uudzu billaahi minasy
syaithaanir rajiim" (Aku berlindung dengan Allah daripada setan
yang terkutuk), maka ketahuilah bahwa setan itu musuh mu dan mencari
kesempatan untuk memalingkan hatimu daripada Allah 'Azza wa Jalla. Karena
dengkinya kepadamu bermunajah dengan Allah Ta'ala dan sujudmu kepadaNya. Sedang
dia telah terkutuk, disebabkan satu sujud yang ditinggalkannya dan tidak
disetujuinya.
Bahwa engkau berlindung dengan Allah Ta'ala daripada setan, adalah
dengan meninggalkan apa yang disukai setan dan mengganti-kannya dengan apa yang
disukai Allah 'Azza wa Jalla. Tidaklah dengan semata-mata perkataan engkau itu
saja. Karena orang yang dimaksudkan oleh binatang buas atau oleh musuh, mau
diterkam atau dibunuhnya, lalu mengucapkan : "Aku berlindung daripadamu
dengan benteng yang kokoh kuat itu", sedang ia tetap pada tempatnya, maka
yang demikian itu, tiadalah bermanfa'at baginya. Tetapi tidaklah melindunginya,
kecuali dengan menggantikan tempat itu.
Seperti itu pulalah orang yang menuruti hawa-nafsu, yang menjadi
kesukaan setan dan kebencian Tuhan, maka tiada mencukupi dengan semata-mata
perkataan. Tetapi hendaklah disertakan perkataan itu dengan hasrat melindungkan
diri dengan benteng Allah 'Azza wa Jalla daripada kejahatan setan itu.
Dan bentengNya, ialah:"Laa ilaaha illallaah" (Tiada
yang disembah dengan sebenarnya, selain Allah). Karena berfirman Allah
Ta'ala, menurut apa yang diterangkan oleh Nabi kita صلى الله عليه وسلم . :
لا إله إلا الله حصني فمن دخل حصني أمن من عذابي
(Laa ilaaha illallaahu hishnii faman dakhala hishnii amina min
'adzaabii).
Artinya : "Laa ilaaha illallaah adalah bentengKu. Maka
siapa yang masuk ke dalam bentengKu, niscaya ia aman daripada azabKu". (1)
Yang berbenteng dengan benteng Allah, ialah orang yang tiada
menyembah selain Allah swt.
Adapun orang yang mengambil hawa-nafsunya menjadi tuhannya, maka
dia adalah di dalam tanah lapang setan, tidak di dalam benteng Allah 'Azza wa Jalla.
Ketahuilah bahwa diantara tipu-daya setan itu ialah diganggunya
anda di dalam shalat, dengan mengingati akhirat dan memahami perbuatan
kebajikan, supaya mencegah anda daripada memahami apa yang anda baca.
Maka ketahuilah bahwa tiap-tiap yang mengganggu anda daripada
memahami arti bacaan anda, itu adalah gangguan setan. Karena bukanlah gerak
lidah yang dimaksud, tetapi yang dimaksud ialah arti dari gerak lidah itu.
(1)
Dirawikan Al-Hakim dan Abu Na'im dari Ali dengan isnad dla'if
|
Adapun bacaan, maka manusia mengenai bacaan ini tiga golongan.
A.Segolongan ialah orang yang menggerakkan lidahnya dan hatinya alpa.
B.Segolongan orang
yang menggerakkan lidahnya dan hatinya mengikuti lidahnya, maka ia
mengerti dan mendengar bacaan dari lidahnya, seakan-akan ia mendengar
dari orang lain. Yaitu : derajat orang golongan kanan.
C.Segolongan lagi, ialah orang, pertama-tama : mendahului hatinya kepada maksud, kemudian lidahnya berkhidmat kepada hati, lalu lidah itu menjadi juru-bahasa daripada hati. Maka dibedakan, antara lidah menjadi juru-bahasa dari hati atau guru dari hati. Adapun orang muqarrabun (orang-orang yang menghampirkan diri kepada Allah Ta'ala), lidah mereka itu adalah juru-bahasa yang menuruti hati dan tidaklah hati yang menuruti lidah.
Perincian terjemah dari segala maksud yang dibaca itu, ialah apabila anda membaca : "Bismillaahir rahmaanir rahiim", (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka berniatlah memperoleh barakah (berkat) untuk memulai bacaan kalam Allah Ta'ala. Dan pahamilah bahwa maksudnya, ialah : segala sesuatu itu seluruhnya pada Allah Ta'ala.
Dan yang dimaksudkan dengan "nama " di sini, ialah "yang dinamakan " (yang diberi nama kepadanya).Apabila segala sesuatu adalah pada Allah Ta'ala, maka tegaslah, bahwa pujian itu adalah bagi Allah. Artinya : syukur (terima kasih) itu bagi Allah, karena segala nikmat itu daripada Allah.
Siapa yang melihat, nikmat itu dari selain Allah atau bermaksud bersyukur kepada selain Allah, tidak dari segi bahwa yang lain dari Allah itu
adalah menjalankan perintah Allah Ta'ala, maka pada menamakan dan
memujikan yang lain dari Allah itu, mengandung kekurangan, menurut kadar
berpalingnya kepada selain Allah.
Apabila anda membaca الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "arrahmaanir-rahiim".(yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang), maka hadlirkanlah ke dalam hati anda
segala macam kasih-sayangNya. Supaya jelaslah bagi anda rahmatNya, lalu
tergeraklah harapan anda, kemudian meluaplah dari hati anda keagungan
dan ketakutan dengan ucapan anda . مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ "maliki yaumiddin" (Yang memerintah hati agama).
Adapun keagungan, maka karena tak adalah pemerintahan, melainkan kepunyaanNya. Dan adapun takut, maka karena kehuru-haraan hari pembalasan dan penghitungan amal, di mana Dialah yang mempunyainya.
Kemudian perbaharuilah keikhlasan dengan ucapan anda : إِيَّاكَ نَعْبُدُ "Iyyaa-ka na'budu" (Hanyalah Engkau yang kami sembah!) Dan perbaharuilah rasa kelemahan diri, rasa berhajat kepadaNya dan tidak mempunyai daya dan upaya, dengan ucapan anda : وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ "Wa iyyaaka nasta'iin" (Dan kepada Engkau kami memohon pertolongan!) Dan
yakinlah, bahwa tiadalah memperoleh kemudahan berbuat ta'at, melainkan
dengan pertolonganNya. Dialah yang mempunyai nikmat, karena memberikan
taufiq kepada kita untuk berbuat ta'at kepadaNya. Dan dijadikanNya kita,
dapat berkhidmat memper-hambakan diri kepadaNya dan menjadikan kita
dapat bermunajah dengan Dia.
Kalau tidak
dianugerahiNya kita daripada memperoleh taufiq, niscaya adalah kita
termasuk orang-orang yang terusir bersama setan yang terkutuk.
Kemudian apabila anda telah selesai daripada membaca : "A'uudzu billaah", daripada membaca : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ "Bismillaahir-rahmaanir-rahiim",
dari pada membaca : "Alhamdulillaah", dan daripada melahirkan hajat
umumnya kepada pertolonganNya, maka tentukanlah permohon-anmu! Dan tidak
meminta selain daripada hajatmu yang terpenting, yaitu ucapkanlah :اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ "Ihdinash-shiraathal-mustaqiim" (Pimpinlah kami ke jalan yang lurus), yang membawa kami ke sisi Engkau dan menghantarkan kami kepada kerelaan Engkau!.
Dan
tambahkanlah penguraian, perincian, peneguhan dan pengakuan bersama
mereka yang telah dianugerahiNya kenikmatan petunjuk, yaitu nabi-nabi,
orang-orang shiddiq, orang-orang syahid dan orang-orang shalih. Tidak
mereka yang telah dimarahi, yaitu : Yahudi, Nasrani dan Majusi.
Kemudian bermohonlah makbul, dengan mengucapkan : "Aamin"(Perkenankanlah ya Allah!).
Apabila sudah membaca al-fatihah seperti
yang tersebut diatas, maka menyerupailah anda dengan orang-orang yang
dikatakan oleh Allah Ta'ala tentang mereka itu, menurut apa yang
diceriterakan Nabi صلى الله عليه وسلم . : "Aku bagi shalat itu dua
bahagian, antaraKu dan ham-baKu. Sebahagian bagiKu dan sebahagian lagi
bagi hambaKu. Dan hambaKu memperoleh apa yang dimintanya". Berkatalah
hamba :الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Alhamdulillaahi rabbil-'aalamiin" (Segala pujian untuk Allah, Pemimpin semesta alam), maka berfirman Allah 'Azza wa Jalla : "Telah dipuji Aku oleh hambaKu dan disanjunginya Aku". Yaitu : maksud dari bacaannya : "Sami'allaahu liman hamidah". (Didengar oleh Allah siapa yang memujiNya). (1)
Kalau sekiranya
tak ada bagi anda keuntungan dari shalat itu, selain dari diingati oleh
Allah akan anda di dalam kebesaran dan keagunganNya, maka itupun
merupakan suatu hadiah yang berharga. Maka betapa lagi dengan apa yang anda harapkan, yang merupakan pahala dan kurnia dari padaNya?.
Begitu pula,
sewajarnyalah anda pahami tiap-tiap yang anda baca dari surat-surat
Al-Qur'an, sebagaimana akan datang penjelasannya pada Kita Membaca Al-Qur~an. Maka
janganlah anda alpa dari perintahNya, dan laranganNya, janji nikmatNya
dan janji 'azabNya, segala pengajaranNya, berita dari nabi-nabiNya,
ingatan kepada nikmat-nikmatNya dan kebaikanNya.
Masing-masing itu mempunyai hak. Maka harap, adalah hakdari
janji nikmat. Dan takut, adalah hak dari janji 'azab. Dan cita-cita, adalah hak dari suruhan dan larangan. Dan menerima pengajaran adalah hak dari pengajaran. Syukur adalah hak dari ingatan kepada nikmat. Dan memperoleh pengertian adalah hak berita dari Nabi-Nabi.
Diriwayatkan, bahwa Zararah bin Aufa, tatkala sampai pembacaannya kepada firman Allah Ta'ala :
(Fa idzaa nuqira fin-naaquur) = فَإِذَا نُقِرَ فِي النَّاقُورِ
Artinya: "Ketika terompet dibunyikan (S. Al-Muddatstsir, ayat 8).
lalu jatuh tersungkur dan meninggal dunia.
Adalah Ibrahim An-Nakha'i, apabila mendengar firman Allah :
(Idzas-samaa-un-syaqqat) = إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ Artinya : "Ketika langit belah". (S. Al-Insyiqaq, ayat 1), gemetar tubuhnya sehingga lemahlah sendi-sendinya.
Berkata
Abdullah bin Waqid : "Saya melihat Ibnu Umar mengerjakan shalat, dalam
keadaan tidak sadar. Kiranya benarlah, bahwa hatinya terbakar dengan
janji nikmat dan janji 'azab Tuhannya. Karena dia adalah hamba yang
berdosa lagi hina, dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, lagi Maha Perkasa!'
Dan adalah
segala pengertian tadi, menurut tingkat pemahaman masing-masing. Dan
pemahaman itu adalah menurut kesempurnaan ilmu dan kebersihan hati. Dan
tingkat-tingkat tersebut, tidak terhingga banyaknya.
(1) Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah.
|
ilmu dan kebersihan hati. Dan tingkat-tingkat tersebut, tidak terhingga banyaknya.
Shalat itu adalah kunci hati. Di dalam shalat terbukalah segala kunci rahasia kalimah-kalimah yang dibaca. Dan inilah hak bacaan, juga
hak dzikir dan tasbih. Kemudian, dijaga kehebatan pada bacaan, maka
bacalah dengan bacaan yang bagus dan tidak terburu. Karena dengan
demikian, lebih memudahkan bagi perhatian.
Dan
diperbedakan pada pembacaan itu, diantara turun naiknya suara, mengenai
ayat-ayat yang mengandung rahmat dan "azab, janji pahala dan janji
siksa, pemujian, pengagungan dan penghor-matan.
Adalah An-Nakha'i apabila melalui di dalam pembacaannya seperti firman Allah Ta'ala :
(Mat-takhadzallaahu miw-waladin wa maa kaana ma'ahuu min ilaah).
Artinya : "Allah tiada mengambil (mempunyaij anak dan tiada pula Tuhan yang lain disampingNya". (S. Al-Mu'minun, ayat 91),
maka beliau merendahlah suaranya, seperti orang yang malu menyebutkan sesuatu yang tidak layak.
Diriwayatkan,
bahwa dikatakan kepada pembaca Al-Qur'an : "Bacalah, tinggikanlah dan
baguskanlah pembacaan, sebagaimana engkau membaguskanpembacaan mengenai
ikhwal duniawi!". (1)
Adapun berkekalan berdiri di dalam shalat, adalah pemberitahuan kepada ketegakan hati serta Allah Ta'ala di atas sifat dari kehadlirannya.
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
إن الله عز وجل مقبل على المصلي ما لم يلتفت
(Innallaaha 'azza wa jalla muqbilun "alal-mushallii maalam yaltafit).
Artinya : "Sesungguhnya Allah Ta'ala menghadap pada orang yang bershalat, selama orang itu tiada berpaling kepada yang lain". (2)
1.Dirawikan Abu Dawud At Tirmidzi dan lain lain dari Abdullah Bin Umar,Hadis Baik dan sahih
2.Dirawikan Abu Dawud ,An Nasa-i dan Lain Lain dari Abi Dzar
|
Sebagaimana
harus menjaga kepala dan mata daripada berpaling kepada segala pihak,
maka seperti itu pulalah wajib menjaga rahasia (bathin) daripada
berpaling kepada bukan shalat. Apabila berpaling kepada yang lain, maka
peringatilah hati itu, bahwa Allah Ta'ala melihatnya. Dan merupakan
penghinaan yang keji kepada Allah ketika kealpaan orang yang bermunajah
itu. Supaya kembalilah hati itu kepadaNya.
Dan haruslah
mengusah akan khusyu' bagi hati, dengan terlepasnya hati daripada
berpaling kepada yang lain, pada bathin dan pada dhahir, sebagai hasil
dari khusyu'. Dan manakala telah khusyu bathin, niscaya khusyu'lah
dhahir, Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم ., ketika melihat seorang
laki-laki yang mengerjakan shalat dan mempermainraainkan janggutnya :
أما هذالو خشع قلبه لخشعت جوارحه
(Ammaa haadzaa lau khasya'a qalbuhu lakhasya at jawa'ri-huh).
Artinya : "Adapun orang ini jikalau khusyu'lah hatinya, maka pastilah khusyu anggota badannya'.
Karena. rakyat itu adalah menurut pimpinan dari pemimpinnya, Dari itu tersebut pada do'a Nabi صلى الله عليه وسلم :
اللهم أصلح الراعي والرعية
(Allaahumma ashlihir-raa-'iya war-ra'iyyah).
Artinya : "Ya Allah, ya Tuhanku! Perbaikilah pemimpin dan rakyat yang dipimpin", yaitu hati dan anggota badan ". (2)
Adalah Abu
Bakar Shiddiq ra. di dalam shalatnya, seolah-olah dia itu tonggak. Dan
Ibnu Zubair ra., seolah-olah dia itu tiang. Setengah mereka adalah
menetap di dalam ruku'nya, sehingga jikalau jatuh-lah burung pipit ke
atasnya, maka dia adalah seakan-akan barang keras.
Semuanya itu,
adalah kehendak tabi'at manusia, dihadapan yang diagungkan daripada
anak-anak dunia. Maka bagaimana pula, tidak diperlakukan yang demikian,
dihadapan Raja-Diraja pada orang yang mengenai akan Raja-Diraja itu?.
Tiap-tiap orang
yang tenang dengan khusyu' dihadapan selain Allah dan tidak tenang
anggota badannya dengan bermain-main dihadapan Allah, maka adalah karena
singkat pengetahuannya tentang kebesaran Allah dan tentang penglihatan
Allah kepada rahasia dan isi hatinya.
1.Dirawikan Al Hakim Dan AtTirmidzi dari Abu Hurairah
2.Menurut AlIraqi Beliau tidak pernah Menemui Hadis ini
|
Berkata'Akramah
tentang firmanAllah Azza wa jalla
.
وجل الذي يراك حين تقوم وتقلبك في الساجدين
(Alladzii yaraaka hiina taquumu wa taqal-lubaka fis-saajidiin).
Artinya : "Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (mengerjakan shalat). Dan melihat gerak badan engkau diantara orang-orang yang sujud". (S.Asy-Syu'ara',ayat218— 219),
yaitu : berdiri, ruku', sujud dan duduk dari orang yang mengerjakan shalat itu.
Adapun ruku' dan sujud, maka
sewajarnyalah membaru ingatan kepada kebesaran Allah Ta'ala ketika
mengerjakan keduanya. Dan anda mengangkatkan kedua tangan, dengan
bermohon kema'afan Allah Ta'ala dari siksaanNya, dengan membaharukan
niat dan mengikuti sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم .
Kemudian anda mengulangi lagi, menghinakan dan merendahkan diri
kepadaNya dengan ruku' anda. Dan berusaha benar-benar melembutkan hati
anda, membaharukan khusyu' anda. Anda merasakan akan demikian, kemuliaan
Tuhan anda, kerendahan anda dan keagungan Tuhan anda. Anda bermohon
pertolongan supaya tetaplah yang demikian itu dalam hati anda dengan
lisan anda. Maka bertasbihlah akan Tuhan dan mengakuilah keagunganNya.
Bahwa Dia Maha
Agung dari segala yang agung! Anda mengulang-ulangi yang demikian dalam
hati anda, supaya bertambah kuat dengan mengulang-ulangi itu. Kemudian
anda bangkit dari ruku' dengan mengharap, kiranya Ia merahmati anda. Dan
kuatkan harapan itu pada jiwa anda, dengan bacaan :سمع الله لمن حمده "Samiallahu liman hamidah" (Didengar oleh Allah akan siapa yang memujikanNya). Artinya : dikabulkanNya do'a orang yang mensyukuriNya.
Kemudian, anda iringi yang demikian itu, dengan kesyukuran yang menghendaki penambahan itu, lalu anda bacakan : ربنا لك الحمد "Rabbanaa lakalhamd", (Hai Tuhan kami, bagi Engkau segala jenis pujian). Anda perbanyakkan pujian itu, dengan bacaan : ملء السموات وملء الأرض "Mil-ussamaawaati wa mil-ul-ardli". (Memenuhi segala langit dan bumi). Kemudian,
anda turun kepada sujud, yaitu tingkat tertinggi dari ketetapan hati.
Maka anda tetapkan anggota badan anda yang termulia, yaitu, muka, kepada benda yang terhina, yaitu tanah. Kalau dapat janganlah anda buat dinding diantara
keduanya, maka sujudlah di atas bumi! Perbuatlah yang demikian, karena
lebih menarik kepada kekhusyu'an hati dan lebih menunjukkan kepada
kehinaan.
Apabila anda
meletakkan diri anda pada tempat kehinaan, maka ketahuilah bahwa anda
telah meletakkannya pada tempatnya dan telah anda kembalikan cabang
kepada pokoknya. Karena anda, dari tanah dijadikan dan kepadanya anda kembali,
Maka ketika itu, perbaharuilah di dalam hatimu keagungan Allah dan ucapkanlah : "سبحان ربي الأعلى Subhaana rabbial-a'laa", (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi). Dan
kuatkanlah dengan diulang-ulangi! Karena sekali adalah lemah
membekasnya. Apabila hati anda telah meng-halus dan telah nyata yang
demikian itu, maka benarkanlah harap-an anda kepada rahmat Allah! Karena
rahmatNya bersegera kepada yang lemah dan yang hina, tidak kepada yang takabur dan meng-gagah.
Kemudian, angkatkanlah kepala anda dengan bertakbir dan bermohon hajat anda, dengan membaca :رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم "Rabbighfir warham wa tajaawaz 'ammaa ta'lam", (Hai Tuhanku! Ampunilah dan kasihanilah! Dan lepaskanlah (aku) daripada sesuatu (dosa) yang Engkau ketahui!). Ataupun
anda bacakan sesuatu do'a yang anda kehendaki. Kemudian, teguhkanlah
merendahkan diri itu, dengan mengulang-ulangi membacakannya!.
Kemudian, kembalilah kepada sujud kedua seperti tadi!.
Adapun tasyahhud, maka
apabila anda duduk tasyahhud itu, maka duduklah dengan adab. Dan
tegaskanlah bahwa seluruh apa yang dilaksanakan dari amal perbuatan
shalat dan tingkah laku yang suci, adalah karena Allah dan kepunyaan
Allah. Itulah, yang dimaksudkan dengan : segala kehormatan (tahiyyah)
untuk Allah, Dan hadlirkanlah di dalam hati anda,
Nabi صلى الله عليه وسلم . dan pribadinya yang mulia, dengan
mengucapkan :"سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته Salaamun 'alaika ayyuhanna-biyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh", (Selamat sejahtera kepadamu wahai Nabi dan rahmat Allah serta berkatNya). Dan
hendak-nya benarkanlah cita-cita anda, pada menyampaikan salam
kepadanya dan semoga dibalaskannya kepada anda dengan yang lebih
sempurna.
Kemudian, anda
mengharapkan selamat sejahtera kepada diri anda sendiri dan kepada
sekalian hamba Allah yang shalih. Kemudian, anda mengharapkan kiranya
Allah mengembalikan selamat sejahtera yang lebih sempurna kepada anda,
sebanyak bilangan hambaNya yang shalih itu. Kemudian, anda mengakui
dengan ke Esaan Allah dan kenabian Muhammad صلى الله عليه وسلم .
dengan risalah yang dibawanya, di mana anda membaharukan janji kepada
Allah dengan mengulangi dua kalimah syahadah dan mengulangi
kembali untuk membentengi diri dengan kalimah itu. Kemudian, anda
berdo'a pada akhir shalat anda, dengan do'a yang berasal dari Nabi صلى الله عليه وسلم serta
dengan merendahkan diri, khusyu' hati, memohon, meminta dan mengharap
dengan harapan yang sebenarnya, diperkenankan kiranya oleh Allah. Anda
sertakan di dalam do'a itu, akan do'a kepada kedua ibu-bapa anda dan
kaum muslim in lainnya.
Dan tujukan ketika memberi salam itu,
kepada para malaikat dan hadlirin yang ada di tempat shalat anda. Dan
niatkan menyudahi shalat dengan salam itu dan mesrakanlah di dalam hati
akan rasa syukur kepada Allah Ta'ala, atas taufiqNya, dapat
menyempurnakan ibadah ini!.
Dan buatkanlah
sangkaan di dalam hati, bahwa anda meninggalkan shalat anda ini dan
boleh jadi anda tidak akan lama hidup, dapat menyelesaikan shalat yang
seperti ini lagi! Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم . kepada orang yang
diberinya wasiat :
صل صلاة مودع
(Shalli shalaata muwaddi ) =
Artinya : Bershalatlah seperti shalat orang yang mengucapkan selamat tinggal!" (1)
Kemudian,
rasakanlah di dalam hati akan perasaan takut dan malu dari keteledoran
di dalam shalat! Dan takutilah shalat anda itu tidak diterima dan anda
dikutuki dengan dosa dhahir atau bathin, lalu shalat anda itu ditolak ke
muka anda. Dari itu anda berharap, kiranya diterimaNya shalat anda
dengan kemurahan dan kumiaNya.
Adalah Yahya
bin Watstsab apabila telah mengerjakan shalat, maka ia berhenti —
masya-Allah — sampai kita kenal padanya, seperti tanda shalat. Dan
adalah Ibrahim, berhenti sesudah shalat satu jam lamanya, seolah-olah ia
sakit.
Maka inilah
perincian shalat orang-orang yang khusyu', di mana mereka khusyu' di
dalam shalatnya. Dan mereka memelihara shalatnya dan mereka tetap
mengerjakan shalatnya dan bermunajah dengan Allah menurut kesanggupannya
dalam peribadatan.
Hendaklah
manusia mendatangkan dirinya kepada shalat yang seperti ini! Maka
menurut kesanggupan yang diperolehnya, sewajarnyalah ia bergembira. Dan
terhadap yang tidak diperolehnya,sewajarnyalah ia merasa rugi. Dan
sewajarnyalah ia berusaha mengobati yang tidak diperolehnya itu!.
1.Dirawikan Abubakar bin malik dari Maaz Bin Jabbal
|
Adapun shalat
orang-orang yang alpa, maka adalah membahayakan, kecuali Allah
melindunginya dengan rahmatNya. Rahmat Allah adalah Maha Halus dan
kemurahanNya adalah melimpah-limpah, Kita bermohon kepada Allah, kiranya
Ia menyarungi kita dengan rahmatNya dan menyelubungi kita dengan
ampunanNya. Karena tak adalah jalan bagi kita selain daripada mengaku
dengan kelemahan daripada menta'atiNya.
Ketahuilah,
bahwa melepaskan shalat dari segala bahaya, meng-ikhlaskannya karena
Allah 'Azza wa Jalla dan mengerjakannya dengan segala syarat bathiniyah
yang telah kami sebutkan itu, yaitu : khusyu', pengagungan dan malu, adalah sebab untuk memperoleh nur yang cemerlang di dalam hati, di mana nur itu adalah kunci dari ilmu mukasyafah.
Wali-wali Allah yang memperoleh kasyaf (terbuka hijab) dengan segala alam malakut langit dan bumi serta segala rahasia ketuhanan, adalah
terbukahijabnya di dalam shalat. Lebih-lebih di dalam sujud, karena
hamba itu mendekati Tuhannya dengan sujud. Dari itu, berfirman Allah
Ta'ala :
Artinya : "Dan sujudlah dan dekatkanlah diri (kepada Tuhan)!". (S. Al-'alaq, ayat 16).
Terbukanya kasyaf bagi
tiap-tiap orang yang mengerjakan shalat itu, adalah menurut tingkat
kebersihannya dari kotoran duniawi. Berbeda yang demikian itu, menurut
kuat dan lemahnya, sedikit dan banyaknya, terang dan tersembunyinya,
sehingga terbukalah bagi setengah mereka sesuatu itu dengan
sebenar-benarnya. Dan terbukalah bagi setengah yang lain sesuatu itu
sekedarnya, sebagaimana terbuka bagi setengah mereka, dunia itu dalam
bentuk bangkai dan setan itu dalam bentuk anjing, yang datang meniarap
memanggil kepadanya.
Dan berbeda pula, apa yang padanya mukasyafah. Setengah mereka terbuka baginya tentang sifat Allah dan kebesaranNya. Setengah mereka terbuka tentang af'al (perbuatan) Allah. Dan setengah mereka terbuka tentang yang halus-halus ilmu mu'amalah. Untuk ketentuan segala pengertian itu pada tiap-tiap waktu, ada sebab-sebab yang tersembunyi, yang tidak terhingga banyaknya.
Diantara
sebab-sebab itu yang sangat sesuai, ialah cita-cita. Karena, apabila
cita-cita itu ditujukan kepada sesuatu yang tertentu, maka adalah itu
yang lebih utama dengan terbuka (inkisyaf).
Tatkala segala keadaan ini tidak dapat terlihat, selain pada kaca yang halus licin dan kaca itu seluruhnya berkarat, maka terdindinglah daripadanya hidayah (petunjuk).
Bukan karena kikir dari pihak Pemberi nikmat hidayah, tetapi karena
kotoran yang berlapis-lapis karatnya pada tempat mengalirnya hidayah, di
mana bergegas-gegas lidah manusia membantahnya. Karena telah menjadi
tabi'at manusia, membantah yang tidak di mukanya.
Jikalau adalah
bagi anak dalam kandungan, akal pikiran, niscaya dibantahnya akan
kemungkinan adanya manusia pada udara luas terbuka. Jikalau adalah bagi
anak kecil, dapat membedakan sesuatu, niscaya mungkin dibantahnya akan
apa yang didakwakan oleh orang-orang yang berakal mengetahuinya, dari
alam al-malakut langit dan bumi.
Begitulah
manusia pada tiap-tiap tingkat, hampirlah selalu membantah apa yang ada
pada tingkat sesudahnya. Siapa yang membantah tingkat ke-wali-an
tentulah ia membantah tingkat ke-nabi-an. Dan makhluk itu dijadikan
bertingkat-tingkat. Maka tidak wajarlah, tiap-tiap orang membantah yang
di belakang tingkatnya.
Ya, manakala
mereka meminta ini diperdebatkan dan dibahas dengan cara yang
mengacaukan itu dan tidak dimintanya dari segi membersihkan hati dari
selain Allah Ta'ala, niscaya mereka tiada memperolehnya, lalu
membantahnya. Dan orang yang tidak dari ahli ilmu mukasyafah, maka tidak sedikit yang beriman dengan ghaib (yang
tidak dapat diketahui dengan pancaindra atau yang termasuk bahagian
metafisika) dan membenarkannya, sampai dapat dipersaksikannya dengan
percobaan.
Pada hadits tersebut : "Bahwa
hamba apabila berdiri pada shalat, maka diangkat oleh Allah dinding
(hijab), antaraNya dan hamba-Nya. Ia menghadapi hambaNya dengan
wajahNya. Dan berdirilah para malaikat dari sejak kedua bahunya sampai
ke udara, bershalat dengan shalatnya dan mengucapkan amin atas
do'anya. Bahwa orang yang mengerjakan shalat itu, bertaburanlah ke
atasnya kebajikan dari puncak langit sampai kepada belahan kepalanya.
Dan menyerulah seorang penyeru : "Jikalau tahulah orang yang bermunajah
ini dengan siapa ia bermunajah, niscaya ia tidak berpaling kepada yang
lain. Bahwa pintu-pintu langit itu, dibuka bagi orang-orang yang
mengerjakan shalat. Dan Allah 'Azza wa Jalla mem-banggakan kepada para
malaikatNya akan hambaNya yang bersha lat itu". (1)
1.Hadis ini menurut Aliraqi tidak pernah menjumpainya
|
Maka pembukaan
pintu-pintu langit dan muwajahah Allah Ta'ala dengan wajahNya akan
hambaNya, adalah kinayah dari kasyaf yang kami sebutkan itu.
Dalam Taurat, tertulis : "Hai
anak Adam! Jangan engkau merasa lemah berdiri dihadapanKu, sebagai
orang yang bershalat, yang menangis. Akulah Allah yang engkau dekati
dari hati engkau dan dengan ghaib, engkau melihat akan nurKu".
Ia berkata : "Maka kita melihat bahwa kehalusan perasaan, ketangisan dan keterbukaan yang diperoleh oleh orang yang bershalat dalam hatinya, adalah dari kedekatan Tuhan dari hatinya. Dan
apabila tidak ada kedekatan ini, yaitu dekat dengan tempat, maka tidak
adalah artinya, selain dari kedekatan dengan hidayah, rahmat dan terbuka
hijab. Dan dikatakan, bahwa hamba itu apabila bershalat
dua raka'at, niscaya ta'jublah sepuluh barisan daripada malaikat.
Tiap-tiap barisan adalah sepuluh ribu banyaknya. Dan Allah membanggakan
dengan hambaNya yang bershalat itu, kepada seratus ribu malaikat. Yang
demikian ini, adalah karena hamba itu telah mengumpulkan di dalam
shalatnya, antara berdiri, duduk, ruku' dan sujud. Dan telah
dipisah-pisahkan oleh Allah yang demikian, itu kepada empat puluh ribu
malaikat. Maka para malaikat yang berdiri, mereka tidak ruku' sampai
hari qiamat. Dan yang sujud, tidak mengangkat kepalanya, sampai hari
qiamat. Dan begitu pulalah yang ruku' dan yang duduk.
Maka apa yang
direzekikan oleh Allah kepada para malaikat itu, dari kedekatan diri dan
derajat tinggi, adalah berlaku terus-menerus demikian, dalam suatu
keadaan, tiada bertambah dan tiada berkurang. Dan karena itulah,
diceriterakan oleh Allah, bahwa para malaikat itu berkata :
(Wa maa minnaa illaa lahuu maqaamun ma'luum).
Artinya : "Dan tak adalah dari kami selain dari suatu kedudukan yang dimaklumi". (S. Ash-Shaffat, ayat 164).
Dan manusia itu
berbeda daripada malaikat, tentang kenaikan dari tingkat ke tingkat.
Maka senantiasalah manusia itu mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala,
lalu memperoleh faedah bertambahnya kedekat itu, Dan pintu untuk tambah
mendekat, adalah tertutup bagi para malaikat as. Dan tidaklah bagi
masing-masing malaikat, melainkan derajatnya yang diuntukkan kepadanya
dan ibadahnya yang tetap dikerjakannya. Tidak berpindah kepada yang lain
dan tidak berhenti dari ibadah yang tertentu itu.
وَمَنْ عِنْدَهُ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا يَسْتَحْسِرُونَ يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ
"Para
malaikat itu tiada menyombong dengan ibadahnya dan tiada merasa letih.
Mereka bertasbih siang dan malam dan tiada pernah berhenti". (S. Al-Anbiya', ayat 19 — 20).
Kunci bertambahnya derajat itu, ialah shalat. Berfirman AllahTa'ala :
...قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
(Qad aflahal-mu'minuunal-ladziina hum fii shalaatihim khaasyi-'uun).
Artinya : "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman itu. Mereka yang khusyu dalam shalatnya". (S. Al-Mu'minun, ayat 1 dan 2).
Allah memujikan mereka sesudah iman, dengan shalat tertentu, yang disertai dengan khusyu'. Kemudian disudahiNya sifat-sifat orang yang beruntung itu, dengan shalat pula, maka berfirman Ia :
"Dan mereka yang menjaga shalatnya". (S. Al-Mu'minun, ayat 9).
kemudian berfirman Allah Ta'ala, mengenai buah dari sifat-sifat itu : "Itulah orang-orang yang mempusakai. Mereka yang mempusakai sorga firdaus. Mereka kekal di dalamnya". (S. Al-Mu'minun, ayat 10 dan 11).
Allah menyifatkan mereka, pertama dengan keberuntungan dan penghabisan dengan
mempusakai sorga Firdaus. Dan menurut pendapatku, bahwa banyaknya
kata-kata dari lidah serta hati alpa, berkesudahan sampai kepada batas
itu.Karena itulah, berfirman Allah Ta'ala tentang orang-orang yang
berlawanan dengan mereka :
(Maa salakakum fii saqara. Qaaluu lam naku minal-mushalliin).
Artinya : "Apakah yang membawa kamu masuk neraka,? Mereka menjawab : "Kami tiada termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat(S. Al-Muddatstsir, ayat 42 dan 43).
Orang-orang yang mengerjakan shalat itu, ialah mereka yang mewarisi sorga firdaus. Merekalah yang menyaksikan nur Allah Ta'ala, memperoleh kesenangan dengan mendekatiNya dan dekatNya dari hati mereka.
Kita bermohon
pada Allah, kiranya dijadikanNya kita sebahagian dari mereka dan
dilindungiNya kita dari siksaan yang ditimpakan kepada orang-orang yang
terhias kata-katanya dan keji perbuatannya. Sesungguhnya Allah Maha
Pemurah, yang menganugerahkan bermacam-macam nikmat, yang qadim,
mempunyai banyak kebaikan.
Rahmat Allah kepada tiap-tiap hambaNya yang pilihan!.
Hikayat dan Cerita:Tentang shalat orang-orang khusyu Kiranya Allah merelai amalan mereka.
Ketahuilah,
bahwa khusyu', adalah buah iman dan natijah keyakinan, yang diperoleh
dengan kebesaran Allah 'Azza wa Jalla. Siapa yang direzekikan demikian,
adalah ia orang khusyu' di dalam shalat dan pada bukan shalat. Bahkan di
dalam kesepiannya dan di dalam kamar kecil ketika membuang air.
Sesungguhnya,
yang mengharuskan khusyu' itu, ialah mengetahui menglihatnya Allah
kepada hamba, mengetahui kebesaranNya dan mengetahui keteledoran hamba.
Maka dari
segala pengetahuan ini, terjadilah khusyu' dan tidaklah pengetahuan itu
tertentu dengan shalat saja. Dari itu diriwayatkan dari setengah mereka,
bahwa ia tiada mengangkatkan kepalanya arah ke langit selama empat
puluh tahun, karena malu kepada Allah Ta'ala dan khusyu' kepadaNya.
Ar-Rabi' bin
Khaitsam, karena sangat memicingkan matanya dan menekurkan kepalanya,
lalu disangka oleh sebahagian orang, bahwa ia buta. Ia bulak-balik ke
rumah Ibnu Mas'ud selama dua puluh tahun. Apabila dilihat oleh budak
wanita Ibnu Mas'ud, lalu budak itu mengatakan kepada Ibnu Mas'ud :
"Teman tuan yang buta itu telah datang!". Maka Ibnu Mas'ud tertawa
mendengar perkataan budak wanitanya itu.
Apabila
Ar-Rabi' mengetok pintu, lalu budak wanita itu keluar. Maka dilihatnya
Ar-Rabi' menekur dan memicingkan matanya. Dan Ibnu Mas'ud, apabila
memandang kepadanya, berkata : وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ
Artinya : "Gembirakanlah orang-orang yang merendahkan diri!". (S. Al-Hajj, ayat 34).
Demi Allah!
Kalau dilihat engkau oleh Muhammad صلى الله عليه وسلم ., niscaya
gembira beliau kepada engkau". Pada riwayat yang lain : "niscaya sayang
beliau akan engkau". Dan pada riwayat yang lain : "niscaya tertawa
beliau".
Pada suatu
hari, Ar-Rabi pergi bersama Ibnu Mas'ud kepada tukang besi. Maka tatkala
dilihatnya tempat api yang ditiup dan api yang menyala-nyala, lalu
peninglah Ar-Rabi' dan jatuh pingsan ke Lantai,. Dan Ibnu Mas'ud duduk
pada kepalanya, sampai masuk waktu shalat, dia belum sembuh. Lalu
didukung oleh Ibnu Mas'ud dibawa pulang ke rumahnya. Ia pingsan terus
sampai kepada sa'at dia mulai pening tadi. Sehingga luputlah lima
shalat. Dan Ibnu Mas'ud yang duduk pada kepalanya mengatakan : "Demi
Allah! Inilah yang dinamakan takut!".
Ar-Rabi'
mengatakan : "Tiadalah sekali-kali aku masuk ke dalam shalat, yang aku
pentingkan di dalamnya, selain dari apa yang aku bacakan dan apa yang
dibacakan kepadaku".
Adalah 'Amir
bin Abdullah, termasuk orang yang khusyu' di dalam shalat. Dan apabila
ia mengerjakan shalat, kadang-kadang anak perempuannya memukul rebana
dan wanita-wanita bercakap-cakap sesuka hatinya di rumah. Ia tidak
mendengar dan tidak memahami yang demikian itu. Dan pada suatu hari,
ditanyakan kepadanya : "Adakah jiwa engkau mengatakan sesuatu kepada
engkau di dalam shalat?".
la menjawab : "Ya, ada, dengan tegakku dihadapan Allah 'Azza wa Jalla dan berpaling aku kepada salah satu dari dua negeri".
Ditanyakan lagi : "Adakah engkau mendapati sesuatu daripada hal-ikhwal duniawi?".
Ia menjawab :
"Meskipun tanggal gigiku, aku lebih menyukai dari pada aku dapati di
dalam shalatku, apa yang kamu dapati". Dan adalah 'Amir bin Abdullah
mengatakan lagi : "Jikalau terbukalah tutup, niscaya tidaklah bertambah
keyakinanku"
Dan adalah
Muslim bin Yassar, termasuk diantara orang yang khusyu' di dalam shalat.
Dan telah kami nukilkan dahulu, bahwa ia tiada merasa dengan jatuhnya
tiang dalam masjid dan dia waktu itu di dalam shalat. Dan kenallah salah
satu daripada anggota badan sebahagian mereka, yang memerlukan kepada
dipotong. Dan pe-motongan itu, tidak mungkin dilakukan.
Maka ada yang
mengatakan, bahwa kalau dia di dalam shalat, niscaya tiada merasakan
dengan apa yang dilakukan ke atas dirinya. Maka dipotonglah, ketika ia
di dalam shalat.
Betapa
sebahagian mereka bahwa shalat itu dari akhirat. Apabila kita masuk ke
dalamnya, maka kita telah keluar dari dunia. Ditanyakan kepada seorang
khusyu' yang lain : "Adakah jiwamu mem-bicarakan sesuatu tentang urusan
duniawi di dalam shalat?. Ia menjawab : "Tidak dalam shalat dan tidak
pada yang lain dari shalat".
Ditanyakan setengah mereka : "Adakah engkau teringat sesuatu dalam shalat?".
Maka ia menjawab : "Adakah sesuatu yang lam, yang lebih saya cintai daripada shalat, maka saya ingat dia di dalam shalat?".
Berkata
Abud-Darda' ra. : "Diantara tanda mengertinya seseorang, ialah dia
memulai dengan keperluannya, sebelum ia masuk ke dalam shalat. Supaya ia
masuk ke dalam shalat itu dan hatinya kosong dari yang lain".
Setengah mereka, tidak berlama-lama di dalam shalat, karena takut datang was-was (gangguan pikiran, tiada tenteram).
Diriwayatkan,
bahwa 'Ammar bin Yasir, mengerjakan suatu shalat lalu tidak berlama-lama
padanya, Maka orang bertanya kepadanya : "Mengapakah engkau
sederhanakan shalat itu, wahai Abul-Yaq-dhan?".
Maka 'Ammar
menjawab : "Adakah engkau melihat, aku mengu-rangkan sesuatu dari
batas-batas yang dimestikan dari shalat?". "Tidak!" menjawab yang
bertanya tadi.
Maka menyambung 'Ammar : "Aku memburu, di waktu setan lengah. Bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم . bersabda : "Bahwa
hamba yang mengerjakan shalat itu, tidak dituliskan untuknya setengah
shalat, Udak sepertiganya, tidak seperempatnya, tidak seperlimanya,
tidak seperenamnya dan tidak sepersepuluhnya". Dan seterusnya Nabi
menjelaskan : "Sesungguhnya, dituliskan bagi hamba itu daripada
shalatnya, ialah apa yang dipergunakannya akal padanya".
Dan
diceriterakan bahwa Thalhah, Az-Zubair dan segolongan dari para shahabat
ra., adalah termasuk diantara orang yang mengerjakan shalat dengan
sederhana (tidak mengerjakannya dengan cara yang memberatkan). Mereka
itu mengatakan : "Kami menyegerakan shalat itu, karena menjaga daripada
gangguan setan".
Diriwayatkan
bahwa Umar bin Al-Khaththab ra. berpidato atas mimbar : "Sesungguhnya
orang itu beruban kedua jambangnya dalam Islam dan tidak
disempurnakannya shalat karena Allah Ta'ala".
Lalu orang menanyakan : "Bagaimanakah, maka demikian?"!
Menjawab Umar : "Tidak sempurna khusyunya, tawadlunya dan menghadapnya ke hadlirat Allah Ta'ala di dalam shalat itu".
Lalu orang menanyakan : "Bagaimanakah, maka demikian?"'
Menjawab Umar : "Tidak sempurna khusyu-nya, tawadlunya dan menghadapnya ke hadlirat Allah Ta'ala di dalam shalat itu".
Ditanyakan Abul-Aliyah tentang firman Allah Ta'ala : (Alladziinahum 'an shalaatihim saahuun).
Artinya : "Mereka yang lalai dari shalatnya ".
(S. Al-Ma'un, ayat 5) lalu ia menjawab : "Yaitu, orang yang lalai dalam
shalatnya. Ia tidak tahu, pada raka'at berapa ia berpindah. Adakah atas
yang genap atau atas yang ganjil?".
Dan berkata Al-Hasan : "Yaitu, orang yang lalai dari waktu shalat, sehingga waktu itu keluar",
Berkata
setengah meraka : "Yaitu, orang kalau mengerjakan shalat pada awal
waktu, ia tiada gembira. Dan kalau dikemudiankannya dari waktu, ia tiada
merasa sedih. Ia tiada melihat kebajikan dengan menyegerakan shalat dan
dosa dengan mengemudiankannya".
Ketahuilah!
Bahwa shalat itu, kadang-kadang dikira sebahagian-nya dan ditulis
sebahagiannya, tanpa sebahagian lagi, sebagaimana ditunjukkan oleh
hadits-hadits kepada yang demikian itu.
Kalau ada ahli fiqih mengatakan bahwa shalat itu mengenai syahnya, tidak terbagi-bagi. Tetapi yang demikian, adalah mempunyai pengertian lain yang telah kami sebutkan dahulu.
Pengertian itu, telah ditunjukkan oleh beberapa hadits, karena telah tersebut pada suatu hadits, tentang "penempelan kekurangan fardlu dengan sunat'. Pada suatu hadits tersebut : "Berkata 'Isa as. : Berfirman Allah Ta'ala : "Dengan fardlu, mendapat kelepasan hambaKu daripada 'azabKu. Dengan sunat, mendekatkan diri hambaKu kepadaKu ".
Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم : "Berfirman
Allah Ta'ala : Tiada mendapat kelepasan hambaKu daripada 'azabKu,
selain dengan mengerjakan apa yang Aku wajibkan kepadanya
Diriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم :
"mengerjakan suatu shalat, maka tertinggallah dari bacaannya suatu
ayat. Maka tatkala Nabi صلى الله عليه وسلم . berpaling. lalu bartanya :
"Apakah yang aku bacakan tadi?". Maka berdiam dirilah orang ramai, lalu
Nabi صلى الله عليه وسلم bertanya
kepada Ubai bin Ka'b ra. Ubai menjawab : "Engkau membaca surat anu dan
engkau tinggalkan ayat anu. Kami tiada mengetahui, apakah ayat itu sudah
dimansukhkan atau sudah diangkatkan?".
Maka menyahut Nabi صلى الله عليه وسلم : "Benar, engkau, wahai Ubai!", "Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم menghadap kepada orang yang banyak itu, seraya bersabda : "Bagaimanakah
kiranya keadaan kaum yang mengerjakan shalatnya, menyempurnakan shafnya
dan Nabi mereka berada dihadapan mereka? Mereka tiada tahu apa yang
dibacakan Nabi mereka, kepada mereka dari kitab Tuhan. Ketahuilah bahwa
Bani lsrail telah berbuat demikian, Maka diwahyukan oleh Allah Azza wa
Jalla kepada Nabi mereka, yang artinya "Katakanlah kepada kaummu! :
Engkau hadlirkan kepadaKu badanmu, engkau berikan kepadaKu lidahmu dan
engkau jauhkan daripadaKu hatimu, Adalah batil apa yang engkau kerjakan
itu!",
Ini menunjukkan
bahwa memperhatikan apa yang dibacakan imam dan memahaminya, adalah
ganti daripada membacakan sendiri surat itu. Dan, berkata setengah
mereka : "Bahwa orang yang bersujud suatu sujud kepada Allah, adalah ia
menghampirkan diri dengan sujud itu kepadaNya. Maka kalau dibagikan
segala dosanya pada sujudnya itu kepada penduduk kotanya, niscaya
binasalah mereka itu semuanya".
Lalu orang bertanya : "Bagaimanakah terjadi yang demikian itu?".
Menjawab
setengah mereka tadi : "Adalah orang itu sujud pada Allah, sedang
hatinya memperhatikan kepada hawa-nafsu dan menyaksikan yang batil, yang
telah mempengaruhinya''.
Inilah sifat orang-orang yang khusyu, Telah dibuktikan oleh ceritera dan riwayat tadi serta yang telah kami bentangkan, bahwa pokok pada shalat ialah khusyu' dan kehadliran hati. Dan semata-mata gerak serta alpa, adalah kurang faedahnya pada hari kembali (hari akhirat).
Wallahu Alam! Allah Maha Tahu!
Kita bermohon kepada Allah taufiq yang baik!.
************************************************************************
تصنيف
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
حجة الإسلامالإمام أبي حامد الغزالي
وهو أبو حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي
الطوسيتغمده الله برحمتهومعه تخريج الحافظ العراقي رحمه الله
Tiada ulasan:
Catat Ulasan